• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Perlindungan Kebebasan Beragama

PENJABARAN KONSTITUSI RI DIDALAM MENJAMIN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA

B. Perlindungan HAM Melalui Kovenan Internasional

2. Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Perlindungan Kebebasan Beragama

Pada tanggal 28 Oktober 2005 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan pengesahan atau ratifikasi atas dua instrimen internasional Hak

Asasi Manusia (HAM), yakni Internasional Covenant on Economic, Social, and

Sosial, dan Budaya, dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), masing-masing dengan UU No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Sebenarnya tidak ada suatu ketentuanpun, baik didalam hukum nasional maupun didalam hukum internasional, yang mewajibkan Negara meratifikasi konevensi atau perjanjian internasional. Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar Negara-negara anggotanya meratifikasi perjanjuan internasional itu. Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya.150

Pada perkembangannya dewasa ini ada tuntutan dari masyarakat internasional maupun kekuatan-kekuatan didalam negeri sendiri (misalnya LSM) yang menghendaki negara anggota PBB meratifikasi konvensi-konevensi tentang HAM, karena hal tersebut dianggap mendasar sebagai tuntutan universal umat manusia. Oleh sebab itu, meski semula bukan kewajiban hukum, banyak negara kemudian melakukan ratifikasi, dengan demikian negara tersebut terikat untuk melaksanakannya.

Ratifikasi kedua instrument tersebut dikeluarkan dalam bentuk UU karena, menurut UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan Perjanjian Internasional, yang

150

Mahfud MD loc.cit. hal 200, sebagaimana dikutip dari Sumaryo Suryokusumo, “Ratifikasi

Konvensi-Konvensi Internasional dan Perspektif Sistem Perundang-undangan Indonesia”, dalam Laporan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, BPHN DepKum-HAM, 7-9 September 2004, hal. 138.

menyangkut hal-hal tertentu harus dilakukan dengan UU sedangkan yang menyangkut hal lainnya dilakukan dengan Keputusan Presiden. Hal-hal tertentu yang harus dilakukan dengan UU adalah konvensi atau perjanjian internasional yang menyangkut:151

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan mereka;

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. Kedaualatan atau hak berdaulat negara;

4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

5. Pembentukan kaidah hukum baru;

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negari.

Hak atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan dan Beragama ini semakin diperjelasnya penjaminan hak tersebut dengan diaturnya hal tersebut didalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada Pasal 18:152

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengalaman, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk

menganut atau meneriman suatu agama atau kepercayaanya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya

dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindugi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain.

4. Negara-negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati

kebebasan orangtua, dan jika ada wali, wali yang sah, untuk memastikan 151

Ibid. hal. 20

152

Hukum Online, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan

bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Penyusunan draft Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, argument-argumen serupa mengemuka lagi. Dalam keberatannya atas kalimat “hak ini mencakup kebebasan berganti agama atau keyakinan’, delegasi dari Saudi

Arabia mengemukakan” 153

sebagian agama menekankan pentingnya usaha misionaris, bahkan dirancang aktivitas-aktivitas pemindahan agama (proselytizing activities), sedangkan yang lain tidak demikian. Kemudian, negara kuat dengan agama cenderung menggantikan agama orang, jika menggemgam media massa, maka bisa menimbulkan keraguan pada pemeluk agama lain. Jika individu itu memang harus menikmati kebebasan beragama secara penuh, maka ia harus dilindungi dari tekanan, upaya pemindahan agama (proselytism) dan juga dari kesalahan dan bid’ah (heresy). Banyak orang yang benar-benar dapat dibujuk untuk berganti agama bukan saja lantaran dalil-dalil intelektual dan moral meyakinkan, melainkan juga lantaran karena kelemahan dan kemudahannya tertipu. Kalimat kedua pada pasal itu terlalu menekankan hak untuk mengubah agama seseorang. Lagi pula pilihan kata-kata tidak bersyarat yang diambil tidak mempertimbangkan pola piker yang berlaku di sejumlah masyarakat, dan tidak pula ia mencermati situasi individu-individu, dalam beberapa masyarakat lain,yang tidak menyesuaikan diri dengan standar-standar kukuh dan individu yang misalnya, semata-mata memiliki agama ateis.

Alih-alih mencoret kalimat itu secara utuh, tercapai kompromi untuk mengubah bahasanya menjadi ‘ hak ini harus mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri; yang lantas diambil secara bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-usulan yang diajukan oleh Brazil, Filipina dan Inggris. Komite Hak Asasi Manusia mengidikasikan bahwa kebebasan’ Unutk menganut atau menerima’ Mencakup kebebasan’ Untuk mengganti

153

agama atau kepercayaan ateistik, sebagaimana juga mencakup kebebasan mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang.154

Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan 1981 menyatakan bahwa, “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya, dan kebebasan baik sendiri atau dalam bersama dengan orang lain, baik secara publik maupun pribadi untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan”. Hingga saat ini instrumen internasional yang satu ini belum diratifikasi oleh Indonesia.155

Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama (Hak Kelompok Minoritas) menguraikan mengenai pengaturan kebebasan beragama dalam pasal-pasal berikut: 156

1. Pasal 2 ayat (1) “Orang-orang yang termasuk bangsa atau suku bangsa,

agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang orang yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi”, (2) Orang-orang yang termasuk kaum minoritas mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik secara efektif.

2. Pasal 4 ayat (2) “Negara harus melakukan upaya-upaya untuk menciptakan

kondisi-kondisi yang berpihak untuk memugkinkan seseorang dari kelompok minoritas mengekspresikan karakter mereka dan mengembangkan kebudayaan, bahasa, agama, tradisi dan kebiasaan mereka, kecuali praktek-154 Ibid. 155 Ibid 156 Ibid

praktek tertentu melanggar hukum nasional dan berlawanan dengan standar-standar internasional. Pasal 4 ayat (5) “Negara harus mempertimbangkan upaya-upaya yang tepat sehingga seseorang dari kelompok minoritas dapat berpartisipasi secara penuh dalam kemajuan ekonomi dan pembangunan Negaranya.

3. Pasal 7 “Negara harus bekerja sama untuk mempromosikan penghormatan

terhadap hak-hak yang tertera didalam deklarasi ini.

4. Pasal 8 ayat (2) “pelaksanaan terhadap hak-hak yang tertera didalam deklarasi ini tidak boleh mengurangi penikmatan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang terlah dikenal secara universal oleh semua orang. Pasal 8 ayat (4)” tidak ada ketentuan dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembolehan atas segala aktivitas yang berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa, termasuk kesetaraan kedaulatan, integritas territorial dan kemerdekaan politik Negara-negara.

Hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah kita untuk meratifikasi konvensi ini sebagaimana konvensi internasional lainnya. Kembali ditegaskan karena sebenarnya tidak ada suatu ketentuanpun, baik didalam hukum nasional maupun didalam hukum internasional, yang mewajibkan Negara meratifikasi konevensi atau perjanjian internasional. Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar Negara-negara anggotanya meratifikasi perjanjuan internasional itu. Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. Jika Indonesia tidak meratifikasi suatu konvensi pasti ada pertimbagana khusus yang berhubungan dengan kepentingan nasional demikian juga berhubungan dengan nilai filosofis yang termaktub didalam Pancasila.

C.Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama di