• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Pasal 29 ayat (2) menentukan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

4. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Pasal 18 ayat (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk men-jalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasan nya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. (3).Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindugi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain. (4).Negara-negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua, dan jika ada wali, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Selain itu pemerintah dalam hal pelaksanaan kebebasan beragama juga mengeluarkan regulasi dalm pelaksanaan kerukunan umat beragama. Regulasi

tersebut adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, tertanggal 21 Maret 2006. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Konstitusi RI yang memiliki sinkronisasi satu sama lain.

Pemerintah juga melakukan pengaturan masalah penyiaran agama melalui Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, tertanggal 2 Januari 1979. Aturan yang merupakan penjabaran dari konsitusi ini adalah sinkron dengan konsitusi RI.

Berdasarkan uraian diatas, pengaturan jaminan terhadap kebebasan beragama di Indonesia dengan lahirnya berbagai regulasi yang secara khusus dan tegas menjamin pelaksanaan hak tersebut didapati adanya sikronisasi dengan apa dimuat didalam konsitusi RI. Indonesia juga mengambil langkah yang tepat ketika memutuskan untuk meratifikasi beberapa kovenan internasional yang memuat tentang jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Aturan-aturan tersebut sesuai satu sama lain dalam hal substansinya.

Proses pengaturan dan penjabaran didalam peraturan perundang-undangan perihal perlindungan kebebasan beragama, tidak terlepas dari asas-asas atau prinsip-prinsip dasar harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang harus diperhatikan didalam menjabarkan jenis

peraturan perundangan-udangan apapun sebagai turunan dari konsitusi. Asas-asas tersebut adalah:159

a. kejelasan tujuan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; bahwa setiap jenisPeraturanPerundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan harus benar-benar memperhati kan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan PerundangPerundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; bahwa setiap Peraturan Perundangund angan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. kejelasan rumusan; bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan : adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untukmemberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas-asas sebagai berikut:160

159

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik.

f. Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan kepastianhukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,

masyarakat dan kepentinganbangsa dan negara.

k. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. asas lain sesuai

dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan

160

antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,dan asas praduga tak

bersalah; dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara

lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, danitikad baik.

Perlu menyadari bahwa berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia masih memerlukan sinkronisasi satu sama lain. Lebih dari itu, bahwa di lapangan boleh jadi masih banyak terjadi yang belum sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Masyarakat harus sadar mengenai tanggung jawab mereka bahwa dalam menegakkan HAM seseorang tidak boleh mengganggu HAM orang lain. Bahwa pelaksanaan suatu HAM tidak boleh membahayakan ketentraman dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokrasi.

Pelanggaran HAM juga dapat terjadi karena pembiaran oleh para aparatur negara, atau oleh pembiaran masyarakat yang tidak mau melaporkan dan menjadi saksi tentang terjadinya suatu pelanggaran HAM. Bahkan pelanggaran HAM juga dapat terjadi di lembaga-lembaga sosial yang memberlakukan peraturan-peraturan internal yang melanggar prinsip-prinsip HAM. Karena itu maka kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan dan diberdayakan, sehingga pada gilirannya mening-katkan komitmen untuk menegakkan HAM.

Menguatnya hak asasi manusia secara tekstual konstitutif, tidak serta merta kerangka normatifnya akan memberikan jawaban tuntas atas kerangka implementatifnya. Jumlah rakyat yang kehilangan hak-hak juga meningkat justru

ketika standar dan norma hak asasi manusia kian lengkap. Semakin banyak orang yang berdiri memberkati kerangka normatif hak asasi manusia melalui instrumen konstitusional dan internasional, semakin meluas dan menajam lahirnya penderitaan rakyat yang secara eksistensi tersingkirkan perwujudan dan penikmatan hak-hak asasi manusianya.

Berdasarkan hal tersebut, didalam penegakkan HAM dalam hal ini kebebasan beragama, perlu ada acuan norma merupakan penjabaran dari konstitusi sebagai turunan yang jelas sebagai petunjuk pelaksanaan kebebasan beragama. Tidak dapat dipungkiri semangat keagamaan yang merupakan hak asasi manusia merupakan hal yang sangat sensitif dan fundamental bagi individu-individu. Sering sekali terjadi benturan ketika semagat keagamaan ini mencuat. Baik memanifestasikan agama, menyebarluaskan agama. Semangat keagamaan kelompok tertentu bisa menimbulkan benturan terhadap kelompok agama yang lain. Belum lagi dengan semangat untuk mendirikan agama baru atau kelompok aliran kepercayaan yang baru.

Acuan yang dimaksudkan adalah acuan yang merupakan rumusan dari tata cara pelaksanaan kebebasan beragama. Karena kebebasan beragama tidak lepas dari kerukunan umat beragama. Rukun dengan sesama agama, demikian juga rukun dengan lintas agama dan kepercayaan.Saat ini sudah ada Rancangan Undang Undang Kerukunan Umat Beragama. Namun, masih dalam tahap pematangan konsep dari undang-undang tersebut. Pemerintah merasa perlu mengatur masalah hal ini. kendatipun sebenarnya setiap sendi-sendi agama sudah jelas menjamin masalah kerukunan ini. namun tidak bisa dipungkiri pemahaman manusia berbeda-beda dan

memiliki tingkatan. Tidak jarang terjadi konflik karena tidak memiliki wacana yang tepat menghadapi perbedaan agama yang sebenarnya sangat sensitif.

Permasalahan sikron atau tidak sikronnya peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari konsitusi tentang pelaksanaan kebebasan beragama dapat dipastikan akan memberikan pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebebasan beragama tersebut. Tetapi dalam prakteknya tidak jarang ditemukan aturan-aturan yang tidak sikron dan menimbulkan multitafsir terhadap norma-norma yang lebih tinggi diatasnya. Secara hierarki khususnya berdasarkan substansi pengaturan perihal kebebasan beragama bertentangan satu sama lain.

2. Penjabaran Konsitusi RI Tentang Kebebasan Beragama Yang Dianggap