PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERKAIT PERSETERUAN KPK DAN POLRI
(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun oleh :
Febrina
060904071
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Lembar Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Febrina
NIM : 060904071
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait
Perseteruan Kpk dan Polri
(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK dan Polri pada
Surat Kabar Kompas)
Medan, 26 Mei 2010
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Hendra Harahap, Msi Drs. Amir Purba, M.A
NIP. 196710021994031002 NIP.195102191987011001
a.n Dekan
Pembantu Dekan 1,
Drs. Humaizi, M.A
ABSTRAKSI
KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkatnya dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait
Perseteruan Kpk Dan Polri. Penulis mengucapkan terima kasih buat orangtua
penulis yang tercinta, Bapak (Kris Meliala) dan Mamak (Baik Sinuhaji) karena
dukungannya yang selalu ada buat penulis
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M. A selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP USU.
3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku sekretaris Departemen ilmu
Komunikasi FISIP USU.
4. Ibu Mazdalifah, M.Si, selaku dosen wali penulis.
5. Drs. Hendra Harahap, Msi selaku dosen pembimbing yang sangat banyak
membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Kak Ros, Kak icut dan Kak Maya yang sangat banyak membantu dalam
urusan perlengkapan administrasi.
7. Kepada kedua saudari penulis, Kak Irna Rosalyn dan Aldora Klarisa
terimakasih buat semua dukungan dan senantiasa menguatkan penulis
8. Teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU khususnya
angkatan 2006, buat Doley, Andi, Nelvita, Efron dan Maydop yang selalu
bersedia berbagi informasi.
9. Kepada kelompok kecil Euodia Benaya: Kak Cisna, Kak Ibeth, Tiwi,
Gusti, Ncy, Ayu, Hana dan Jojo, terimakasi buat persekutuan indah yang
terjalin dan terimakasih buat doa-doa kalian.
10. Kepada rekan kerja di radio anak muda medan 104,6 Star FM: Bang Boy,
Hafiz, Mira, Mika, Sabrina, Abi, Puspa, Barbut, dll. Terimakasih buat
waktu berjuang menyelesaikan kuliah, bekerja, bersenang-senang.
11. Buat teman-teman karib yang selalu setia membantu menyediakan waktu
memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi: Bang Pian, Yanti, Rico, Goan.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga kiranya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan banyak
terimakasih.
Medan, 26 Mei 2010
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR i
ABSTRAKSI iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR LAMPIRAN v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 6
1.3 Pembatasan Masalah 6
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
1.5 Kerangka Teori 7
1.6 Kerangka Konsep 17
1.7 Defenisi Operasional Variabel 19
1.8 Metodologi Penelitian 21
BAB II URAIAN TEORITIS
II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial 4
II.2 Berita 28
II.3 Surat Kabar 30
II.4 Citra 33
II.5 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis 34
II.6 Analisis Framing 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 43
III.3 Subjek Penelitian 49
III.4 Teknik Pengumpulan Data 49
III.5 Kerangka Konsep 50
III. 6 Defenisi Operasional Variabel 50
III.7 Metode Analisis Data 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Sekilas Tentang Penelitian 54
IV.2 Pemberitaan Sikap Presiden 55
IV.3 Media Kompas Sebagai Arena Sosial 65
IV.4 Analisis Data 68
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan 107
V.2 Saran 109
DAFTAR PUSTAKA BIODATA
ABSTRAKSI
KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat
demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan
melaksanakan sistem demokrasi. Meskipun pada kenyataannya tidak ada tolok
ukur tunggal dalam menghitung kemajuan demokrasi, namun Indonesia kerap kali
dijadikan contoh negara non-barat yang berhasil menerapkan sistem demokrasi di
dunia internasional. Harus diakui, ‘kompetisi' diantara lembaga penegak hukum
sesungguhnya merupakan bagian dari proses pelembagaan demokrasi yang
positif. Akan tetapi, hal tersebut akan berjalan buruk, apabila kemudian
bercampur dengan kepentingan politik seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.
Perseteruan antara lembaga hukum yang seharusnya melindungi dan
mengayomi rakyat akhirnya mengakibatkan kepercayaan rakyat kepada
pemerintah pun terancam pudar. Lembaga-lembaga penegak hukum di negara
Indonesia sibuk saling menyalahkan dan mencari kebenaran diri sendiri. Dan
lagi-lagi masalah ini tidak terlepas dari penyakit lama bangsa Indonesia, yaitu Korupsi.
Perseteruan terbuka seperti ini akan memperlemah peran dan fungsi kedua
institusi dalam penegakan hukum, khususnya pada kasus-kasus korupsi. Sebab
biar bagaimanapun KPK tidak dapat bekerja sendiri dalam melakukan
antara Polri dan KPK, namun kedua pimpinan lembaga tersebut harus menyadari
bahwa membiarkan situasi tersebut berlarut-larut akan merugikan proses
penegakan hukum di Indonesia. Perlu langkah-langkah yang bersifat saling
menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi, agaknya sulit berharap kedua
pimpinan tersebut duduk satu meja tanpa mediasi yang mengikat keduanya. Oleh
sebab itu selaku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ikut campur
tangan dalam menyelesaikan perseteruan tersebut.
Konflik ini pada dasarnya merupakan buntut dari kasus pembunuhan
Nasruddin Zulkarnaen yang awalnya dikaitkan dengan cerita ‘cinta segi-tiga’
antara korban, rani Juliani (seorang caddy belia) dan Antasari, ketua KPK saat itu.
Dari hasil pengembangan penyidikan atas kasus pembunuhan Nasruddin inilah
Polri akhirnya mencium aroma tidak sedap pada sejumlah oknum pimpinan KPK.
Ceritanya kemudian merambat kemana-mana, dari kasus pengadaan sistem
komunikasi di Departemen Kehutanan dengan tokoh utamanya Anggoro Widjojo,
skandal alih fungsi di Tanjung Api-api hingga mega skandal Bank Century.
Konflik antara Polri dan KPK dipicu oleh testimoni Antasari yang berisi
pengakuan bahwa sejumlah pimpinan KPK juga menerima suap dari Anggoro
agar status cekal Anggoro dicabut. Berpijak pada testimoni Antasari ini, Polri
memanggil empat pimpinan KPK dan empat pejabat KPK. Polisi memanggil
petinggi KPK dengan jeratan pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor
20 Tahun 2001 atas dugaan telah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP.
Sejak Juli lalu SBY sudah berusaha menyelesaikan ketidakharmonisan ini
Rapat Koordinasi. Namun langkah tersebut agaknya tidak cukup untuk
menyelesaikan ketidakharmonisan ini, oleh sebab itu langkah selanjutnya
disiapkan presiden seperti halnya membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta
dan Proses Hukum Sdr. Chandra M.Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto (2/11).
Tim Independen ini yang sering disebut Tim-8 bekerja selama 2 minggu, siang
dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi
telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada Presiden. Setelah
menerima hasil rekomendasi dari Tim 8 akhirnya pada tanggal 23 November
Presiden menyatakan sikapnya atas kasus ini. Namun, pada kenyataannya sikap
presiden justru mengandung kontroversi di kalangan masyarakat.
Kisruh perseteruan antara lembaga pemerintahan ini pun akhirnya berhasil
menjadi sorotan masyarakat. Bahkan menjadi sorotan utama yang mengalahkan
pemberitaan-pemberitaan lain seperti masalah pendidikan dan kemiskinan. Setiap
detil informasi dapat dikonsumsi masyarakat melalui media sebab media massa
muncul sebagai penyaji informasi fakta dari peristiwa yang terjadi. Berbagai
pandangan mengenai perseteruan ini dikemukakan dan dimuat di dalam media,
termasuk setiap keterlibatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
menyikapi kasus ini. Secara otomatis, setiap sikap yang ditunjukkan presiden
sangat berpengaruh terhadap citra SBY selaku presiden. Selama ini Presiden SBY
selalu dikenal sebagai presiden yang memiliki citra yang baik. Bahkan bisa
dikatakan kemenangan SBY dalam pemilihan umum diperolehnya karena citra
positif yang berhasil dibentuknya. Untuk itu presiden SBY sangat berhati-hati
dalam menunjukkan sikapnya terhadap kasus ketidakharmonisan yang terdapat
Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial saling
berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh kelompok
dominan, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk
mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Media
bahkan menjadi sarana dimana kelompok dominan bukan hanya memantapkan
posisi mereka, tetapi juga memarjinalkan dan meminggirkan posisi kelompok
yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:53). Media dipandang sebagai agen
konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.
Media juga dipandang sebagai mediator oleh wartawan dalam menuangkan pola
pikirnya sehingga mampu membingkai pemberitaan yang ditulisnya.
Dalam penelitian ini, penulis memilih media Kompas sebagai objek
penelitian. Pemilihan harian Kompas dalam penelitian ini didasarkan pada dua
alasan: Pertama, karena harian ini merupakan harian nasional yang mapan secara
ekonomis. Kompas memiliki berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah
atap kelompok Kompas Gramedia seperti majalah, stasiun radio, penerbitan,
percetakan, hingga hotel. Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan
yang memanjakan pegawainya, mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk
anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga kali dalam satu tahun, piknik keluarga,
pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran. Pemberian insentif seperti ini
dimaksudkan untuk menghindari adanya ‘wartawan amplop’, sehingga wartawan
lebih berintegritas dalam menyusun berita. Kedua, Kompas memiliki khalayak
pembaca yang terbesar di seluruh Indoneisa. Hingga saat ini, Kompas masih
dikenal sebagai koran berskala nasional terbesar di Indonesia dengan oplah lebih
demikian pemberitaan Kompas cukup berdampak luas bagi khalayak pembaca di
Indonesia. Adapun penelitian dilakukan sepanjang bulan November adalah
sebagai pembatasan penelitian. Selain itu, bulan November dianggap memiliki
banyak sejarah penting dalam perkembangan kasus perseteruan KPK – Polri
dimana Presiden cukup banyak memberikan respon. Salah satu diantaranya adalah
pembentukan tim Delapan yang diiinstruksikan langsung oleh Presiden, adanya
keputusan langsung dari Presiden untuk menghentikan kasus.
Perangkat analisis yang digunakan peneliti adalah analisis framing.
Framing dalam perspektif ilmu komunikasi dipakai untuk membedah cara-cara
atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi
seleksi, penonjolan dam pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna,
lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi
khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan
untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh
wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004 : 162).
Sedangkan analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
framing Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami
framing sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media
memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling
mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu ide
sentral dari suatu berita.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti pencitraan
presiden Susilo Bambang Yodhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK pada
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
”Bagaimanakah citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan
Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009 dikonstruksi oleh harian
kompas?”
I.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan
mengambang, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah
yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini hanya akan dilakukan pada harian Kompas.
2. Isi berita yang akan diteliti hanya berita yang menjadi headline tentang
sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri
dan KPK.
3. Subjek penelitian adalah surat kabar Kompas terbitan November 2009.
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana surat kabar kompas memaknai, memahami
dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait
2. Untuk melihat citra yang dibentuk oleh harian Kompas terhadap presiden
Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama
bulan November 2009.
Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis
framing.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tempat bagi
penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama masa kuliah dan
memperluas cakrawala pengetahuan.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang
berhubungan dengan tema penelitian ini.
I.5 Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka
teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disoroti (Nawawi,1995:39).
Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:
1. Media Massa Sebagai Arena Sosial
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan
mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”.
Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai
kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini
berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang
paling sahih (Hidayat 1999:48).
Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat
dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:
a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya
Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana
setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang
melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnya pada kaitannya
dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap
bahwa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat
dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara dengan baik bukan
malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau
merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan
kualitas hidup (Gamson, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya
terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media
sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini
sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada
khalayak.
b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor
Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang
isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan
berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha,
masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain
bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah
mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu
tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat,
1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter yaitu dimensi
effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media
dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus
mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi
acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui
repoter/jurnalisnya berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam
peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas
peristiwa yang diliput.
Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make
news atau pewawancara terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa
proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi
oleh elit sumber.
c. Media Practices/ Kegiatan media
Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali
secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal
tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah
berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan
berlangsung (Gamson, 1989:7). Disini awak media sangat berperan
penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim
menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri,
menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan
retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan
tertentu (Sudibyo, 2001:187).
2. Berita
Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang
dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik
perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena
pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti
human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang
dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman
fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan
sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).
Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua
peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita
banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya
akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam
presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).
Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai
faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang
1. Faktor Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola
media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal
dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan
ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis
kelamin, umur, atau agama.
2. Level Rutinitas Media
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses
penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran
tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik,
atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas
yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi
pengelola media yang berada di dalamnya.
3. Level Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan
bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia
sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri.
Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai
redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi,
bagian umum dan seterusnya.
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.
meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar
organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus
mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah
sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli
media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan
ideologi (kerangka berpikir/referensi).
3. Surat Kabar
Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio,
televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan
meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam
kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media
massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan
saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa
yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat
banyak.
Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media
komunikasi massa tidak dapat diragukan lagi kemampuannya dalam
menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini
publik.
Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik
kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug
kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang
membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil
masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa
yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa
wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan
diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.
Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk
mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen
penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa
disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam
bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan
perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa
terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat,
dan tingkat keberaksaraan masyarakat
Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica
(Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:
Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat
kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi
penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak
pembacanya.
Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat
membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan
pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi
mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya
mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.
Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti
dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah
didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem
kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan
antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang
dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.
4. Teks Berita : Pandangan Konstruksionis
Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog
interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger,
realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara
berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai
konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa
sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan)
dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi
atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media.
karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara
berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat
peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi
peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).
Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan
peristiwa atau fakta dalam arti yang rill.disini realitas bukan diperoleh
begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan
dengan fakta.
5. Analisis Framing
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.
Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya
analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah
membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis
framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan,
dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik,
lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak
sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan
secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek
tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi
tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya
Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam
frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang
dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa
menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka
maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian
yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat
difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian
bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252).
Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu,
mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak.
Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa
peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak?
Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun
peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu?
Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sementara yang lain tidak?
Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber
berita lain yang diwawancarai?
Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji
pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang
dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi,
yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna
tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi
penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat
frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan
politis tersendiri.
Dalam penelitian ini perangkat framing yang digunakan ialah
model framing yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani.
Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami framing
sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media
memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling
mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu
ide sentral dari suatu berita.
I.6 Kerangka Konsep
Kerangka sebagai hasil dari pemikiran yang rasional merupakan uraian
yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang
dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumus hipotesis
(Nawawi,1995:40).
Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti
yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak
kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu
sosial (Singarimbun,1995:57).
Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam
menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah
yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang
dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani seperti gambar berikut ini;
Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani
Sumber : Eriyanto, 2001 : 256 Media Package
(Perspektif)
Core Frame
Considering Symbols
Reasoning Devices Framing Devices
1. Roots
2. Appeals to Devices 3. COnsequences 1. Metaphors
I.7 Defenisi Operasional Variabel I.7.1 Framing
Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana
satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative packages) saat
mengkonstruksi dan memberikan makna suatu isu. Sebuah package
memiliki struktur internal. Pada inti struktur terdapat gagsan sentral (core
frame) yang berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang
relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isu yang dibangun
melalui condensing symbol. Condesing symbols terdiri dari framing
devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) dan reasoning
devices )yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya
dilakukan terhadap isu tersebut).
a. Framing Devices
a.1 Metaphors
dipahami sebagai cara memindahkan (transpose) makna sesuatu
dengan merelasikan dua fakta analogi, sering berupa kiasan
menggunakan kata : seperti, bak, laksana, dll.
a.2 Exemplars
adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu saja secara
mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk
dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan
wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya
a.3 Cathprases
adalah istilah, bentukan kata atau fase khas cerminan fakta yang
merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu guna
mendukung praktek kekuasaan. Dalam wacana cathprases dapat
berwujud jargon, slogan, semboyan.
a.4 Depictions
adalah penggambaran fakta melalui kata, istilah, kalimat bermakna
konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak
terarah kecitra tertentu, misalnya mencuatkan gairah, harapan,
ketakutan, posisi, moral serta perubahan. Depiction berupa
stigmasi, disfemisme dan akronimisasi.
a.5 Visual image
adalah pemakaian foto, diagram grafism tabel, kartun dan
sejenisnya yntuk mengekspresikan pesan. Misalnya perhatian
(penegasan) atau penolakan (kontras) menggunakan huruf
dibesarkan, dikecilkan, ditebalkan, dimiringkan atau digarisbawahi
serta pemakaian bermacam wacana.
Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media
b. Reasoning Devices
b.1 Roots
analisis kausal dengan mengedepankan hubungan yang melibatkan
suatu objek atau lebih yang dianggap suatu sebab terjadinya hal lain.
Tujuannya untuk memberikan alasan pembenar dalam
b.2 Appelas to principles
upaya memberikan alasan pembenar memakai logika dan prinsip
moral untuk mengklaim suatu kebenaran saat membangun wacana.
Sifat appelas to principles yang apriori, dogmatis, simplistik dan mono
kausal terkadang membuat khalayak tak berdaya menyanggahi isi
argumentasi.
b.3 Consequences
adapun efek atau konsekuensi yang didapat dari framing.
I. 8 Metodologi Penelitian
Metode dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan
bagaimana peneliti dalam menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data
yang diperlukan, serta analisis data. Metodologi dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif.
Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya. Riset ini tidak
mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau
sampling-nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudak mendalam dan bisa
menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.
Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) bukan
I.8.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini menggunakan
model analisis framing yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani.
I.8.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini berupa kumpulan berita tentang sikap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK.
I.8.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu:
1. Studi Dokumenter
Data-data unit analisis dikumpulkan dengan cara mengumpulkan data dari
bahan-bahan tertulis pada harian Kompas yang memuat berita tentang program
kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data
melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.
Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku,
literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
I.8.4 Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan
Tabel 1. Berita Pembentukan citra Presiden SBY terkait kasus Perseteruan
Polri dan KPK.
No Judul Berita Edisi Hlm Deskripsi Umum
Tabel 2. Frame isi Pemberitaan
Frame :
Metaphors Roots
Catchphrases Appeals to Principle
Depictions Consequences
Exemplaar
[image:31.595.109.519.238.559.2]BAB II
URAIAN TEORITIS
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka
teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disoroti (Nanawi, 2001:39).
Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini:
II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan
andre modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka
mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”.
Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai
kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini
berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang
paling sahih (Hidayat 1999:48).
Dan di dalam penelitiannya tersebut, gamson menyimpulan bahwa
ada tiga frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama,
aggregate frame, yaitu merupakan proses pendefenisian isu mengenai
masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar fraame peristiwa
tersebut sadar bahwa isu yang sedang berkembang tersebut adalah yang
berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus Frame, yaitu proses
pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial yang hanya bisa
proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan
tindakan kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan.
Dan selanjutnya hasil studi tersebut menjadi teori yang memandang bahwa
media massa merupakan suatu arena dari pihak-pihak yang berkepentingan
dalam masyarakat (Eriyanto, 2002 :221-222).
Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat
dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:
a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya
Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana
setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang
melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnyapada kaitannya
dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap
bawa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan
adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara denganbaik bukan malah
menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak
alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas
hidup (gamson dan modigliani, 1989 :6). Pada kasus ini media yang
didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur
media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh
media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan
kepada khalayak.
Nilai kebudayaan ini bersifat konstan. Hal ini membantu kita untuk
menerangkan perubahan dalam surut dan mengalirnya paket (packages)
melengkapi kerja sponsor dan memperkuat pengaru aktifitas sponsor dan
posisi media.
Karena setiap individu masing-masing memiliki latar belakang
sejarah, interaksi sosial dan kecenderungan psikologis yang berbeda dalam
melakukan proses konstrusi makna. Umumnya, pendekatan yang
dilakukan terhadap suatu isu adalah membuat suatu bagan pendahuluan,
sekalipun hanya bersifat sementara (Gamson dan modigliani, 1987:2)
b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor
Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang
dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan
isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan
berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha,
masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain
bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah
mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu
tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat,
1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter tyaitu dimensi
effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media
dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus
mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi
acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui
peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas
peristiwa yang diliput.
Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make
news atau pewawancarfa terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa
proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi
oleh elit sumber.
c. Media Practices/ Kegiatan media
Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali
secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal
tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah
berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan
bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini
berlangsung (gamson-modigliani, 1989:7). Disini awak media sangat
berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka
lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri,
menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan
retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan
II.2 Berita
Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang
dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik
perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena
pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti
human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang
dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman
fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan
sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).
Secara sosiologis, berita adalah semua hal ang terjadi di dunia.
Dalam gambaran yang sederhana, berita adalah apa yang dituliskan surat
kabar, apa yang disiarkan radio dan apa yang ditayangkan televisi. Berita
menampilkan fakta, tetapi tidak setiap setiap orang bisa dijadikan berita.
Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya
sebagian kecil saja yang dilaporkan (Sumadiria, 2005:63).
Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: berita berat
(hard newa) dan berita ringan (soft news). Selain itu berita juga dapat
dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di tempat
tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita bisa dipilah menjadi
berita diduga dan berita tidak diduga. Selebihnya, berita juga bisa dilihat
menurut materi isinya yang berneka ragam (Sumadiria, 2005:65-66).
Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua
peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita
akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam
presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).
Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai
faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang
pemberitaan yaitu:
5. Faktor Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola
media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal
dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan
ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis
kelamin, umur, atau agama.
6. Level Rutinitas Media
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses
penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran
tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik,
atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas
yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi
pengelola media yang berada di dalamnya.
7. Level Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan
bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia
sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri.
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai
redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi,
bagian umum dan seterusnya.
8. Level Ekstramedia
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.
meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar
organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus
mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah
sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli
media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan
ideologi (kerangka berpikir/referensi).
II.3 Surat Kabar
Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio,
televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan
meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam
kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media
massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan
saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa
yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat
banyak.
Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media
menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini
publik.
Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik
kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug
berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan
kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang
membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil
masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa
yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa
wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan
diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.
Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk
mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen
penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa
disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam
bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan
perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa
terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat,
dan tingkat keberaksaraan masyarakat
Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica
(Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:
Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat
penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak
pembacanya.
Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat
membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan
pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi
informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar
mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya
mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.
Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti
dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah
didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem
kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan
antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang
dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.
Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan
media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat
kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan
pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana
dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu. Di samping itu pada
media massa tercetak bahasa yang digunakan adalah bahasa tulisan, tidak
seperti media massa radio dan televisi, bvahasa yang digunakan adalah
bahasa tuturan yang sangat dipengaruhi pula oleh cara penyajiannya, maka
tidak menjadi permasalahan dan penulisan bilangan sampai
sekecil-kecilnya tidak akan menimbulkan permasalahan.
II.4 Citra
Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap
perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang
atau organisasi (Soemirat, 2004 :112).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah:
1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran
2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan,
organisasi atau produk.
3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase
atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa
atau puisi.
(Soemirat, 2004 :114).
Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan
kesan yang dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek. Sikap dan
tindakan orang terhadap objek sangat ditentukan oleh citra objek
tersebut.
Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa cutra Anda selalu
berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adlag gambaran tentang
realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah
Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat
indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda,
orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang
ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas
tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh
tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain.
Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi
berita. Payahnya, karena kita tidak dapat- dan tidak sempat- mengecek
peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh
informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan
media massa.
Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial
kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
II.5 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis
Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog
interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger,
realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara
berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai
konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa
dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi
atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media.
karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara
berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat
memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu
peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi
peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).
Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan
peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh
begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan
dengan fakta.
Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu
menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger
menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa
(Eriyanto, 2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan
atau ekspresi diri manusia dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun
fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri
ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai
ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap
dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suaru dunia-dengan kata lain,
manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu
itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari
manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat
menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan- itu
misalnya manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau
kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun
bagasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan
dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda
atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang
objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari
produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas
objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagia setiap orang.
Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia
menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih emrupakan
penyerapan kembali dunia objektid ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Berbagai
macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap
sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala
internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari
masyarakat.
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga
sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan
dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/plural.
realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan
tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan
realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural,
konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004:15).
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial
bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan
bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis
ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia
sering dilawankan dengan parafigma positivis/paradigma transmisi
(Eriyanto, 2004:37).
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan kontruksionis.
Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politk pemaknaan
dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas.
Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam
suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang
dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan
komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis
memeriksa bahaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam
sisi penerima ia memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi
komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi
makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai
ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Sesorang
komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu
kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu
peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto,
2004 :40-41).
II.6 Analisis Framing
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.
Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya
analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah
membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis
framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan,
dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik,
lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak
sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).
Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson
tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual
atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandanga politik,
kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standard
untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih
kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam
membaca realitas. (Sudibyo, 2001 :219).
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan
secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek
tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi
tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya
(Sudibyo, 2004 :186).
Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam
frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang
dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa
menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka
maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian
yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat
difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian
bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252).
Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu,
mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak.
Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa
peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak?
Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun
peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu?
Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber
berita lain yang diwawancarai?
Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji
pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang
dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi,
yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna
tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi
penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya
bagian tertentu saja yang lebih bermakna.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas.
Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin
memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu
terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang
dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian
mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas yang
tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih
angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain,
memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya,
peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaan dan konstruksi
atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.
Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan
menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan
bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu
diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan
aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang
sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu:
penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian
belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya,
generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan
sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan
realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari
memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang
ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokaaso dan perhatian
yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk
membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan
diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:69-70).
Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre
Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada
sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan
dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan
dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi.
Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame
tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari
peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana
media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui
mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan
untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan
dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut
cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005
:223-224).
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat
frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 1.1.Sejarah Harian Umum KOMPAS
Ide awal penerbitan harian ini datang dari
mengutarakan keinginannya kepada
yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan
keinginan itu kepada dua teman baiknya
sebagai editor in-chief pertamanya.
Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Atas usul
Presiden
fakta dari segala penjuru.
Kompas mulai terbit pada tanggal
penjualan surat kabar secara nasional. Pada t
mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi
610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh
Seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian Kompas dibagi
menjadi tiga halaman bagian, yaitu bagian depan yang memuat berita nasional
dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, serta bagian berita
1.2.Visi, Misi dan Motto KOMPAS
1.2.1. Visi kompas
“Menjadi Institusi Yang Memberikan Pencerahan Bagi
Perkembangan Masyarakat Indonesia Yang Demokratis Dan Bermartabat
Serta Menjunjung Tinggi Asa Dan Nilai Kemanusiaan”
Dalam kiprahnya di industri pers, “visi KOMPAS” berpartisipasi
membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui
prinsip humanisme trancendental (persatuan dalam perbedaan) dengan
menghormati individu dan masyarakat adil dan makmur. Secara lebih
spesifik bisa diuraikan sebagai berikut:
a. KOMPAS adalah lembaga pers yang bersifat umum dan
terbuka.
b. Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok
tertentu baik politikm agama, sosial, atau golongan ekonomi.
c. KOMPAS secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif
dengan segala kelompok.
d. KOMPAS adalah koran nasional yang bersih mewujudkan
aspirasi dan cita-cita bangsa.
e. KOMPAs bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang
dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur
1.2.2. Misi kompas
“Mengantasisipasi Dan Merespon Dinamika Masyarakat Secara
Profesional, Sekaligus Memberi Arah Perubahan (Trend Setter) Dengan
Menyediakan Dan Menyebarluaskan Informasi Terpercaya.”
KompaS berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor
satu dalam semua