• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK Dan POLRI (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK Dan POLRI (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERKAIT PERSETERUAN KPK DAN POLRI

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh :

Febrina

060904071

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Febrina

NIM : 060904071

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait

Perseteruan Kpk dan Polri

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK dan Polri pada

Surat Kabar Kompas)

Medan, 26 Mei 2010

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, Msi Drs. Amir Purba, M.A

NIP. 196710021994031002 NIP.195102191987011001

a.n Dekan

Pembantu Dekan 1,

Drs. Humaizi, M.A

(3)

ABSTRAKSI

KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkatnya dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait

Perseteruan Kpk Dan Polri. Penulis mengucapkan terima kasih buat orangtua

penulis yang tercinta, Bapak (Kris Meliala) dan Mamak (Baik Sinuhaji) karena

dukungannya yang selalu ada buat penulis

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang

terhormat :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M. A selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku sekretaris Departemen ilmu

Komunikasi FISIP USU.

4. Ibu Mazdalifah, M.Si, selaku dosen wali penulis.

5. Drs. Hendra Harahap, Msi selaku dosen pembimbing yang sangat banyak

membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kak Ros, Kak icut dan Kak Maya yang sangat banyak membantu dalam

urusan perlengkapan administrasi.

7. Kepada kedua saudari penulis, Kak Irna Rosalyn dan Aldora Klarisa

terimakasih buat semua dukungan dan senantiasa menguatkan penulis

(5)

8. Teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU khususnya

angkatan 2006, buat Doley, Andi, Nelvita, Efron dan Maydop yang selalu

bersedia berbagi informasi.

9. Kepada kelompok kecil Euodia Benaya: Kak Cisna, Kak Ibeth, Tiwi,

Gusti, Ncy, Ayu, Hana dan Jojo, terimakasi buat persekutuan indah yang

terjalin dan terimakasih buat doa-doa kalian.

10. Kepada rekan kerja di radio anak muda medan 104,6 Star FM: Bang Boy,

Hafiz, Mira, Mika, Sabrina, Abi, Puspa, Barbut, dll. Terimakasih buat

waktu berjuang menyelesaikan kuliah, bekerja, bersenang-senang.

11. Buat teman-teman karib yang selalu setia membantu menyediakan waktu

memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi: Bang Pian, Yanti, Rico, Goan.

12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kiranya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan banyak

terimakasih.

Medan, 26 Mei 2010

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR i

ABSTRAKSI iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR LAMPIRAN v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 6

1.3 Pembatasan Masalah 6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

1.5 Kerangka Teori 7

1.6 Kerangka Konsep 17

1.7 Defenisi Operasional Variabel 19

1.8 Metodologi Penelitian 21

BAB II URAIAN TEORITIS

II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial 4

II.2 Berita 28

II.3 Surat Kabar 30

II.4 Citra 33

II.5 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis 34

II.6 Analisis Framing 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 43

(7)

III.3 Subjek Penelitian 49

III.4 Teknik Pengumpulan Data 49

III.5 Kerangka Konsep 50

III. 6 Defenisi Operasional Variabel 50

III.7 Metode Analisis Data 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 Sekilas Tentang Penelitian 54

IV.2 Pemberitaan Sikap Presiden 55

IV.3 Media Kompas Sebagai Arena Sosial 65

IV.4 Analisis Data 68

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan 107

V.2 Saran 109

DAFTAR PUSTAKA BIODATA

(8)

ABSTRAKSI

KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat

demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan

melaksanakan sistem demokrasi. Meskipun pada kenyataannya tidak ada tolok

ukur tunggal dalam menghitung kemajuan demokrasi, namun Indonesia kerap kali

dijadikan contoh negara non-barat yang berhasil menerapkan sistem demokrasi di

dunia internasional. Harus diakui, ‘kompetisi' diantara lembaga penegak hukum

sesungguhnya merupakan bagian dari proses pelembagaan demokrasi yang

positif. Akan tetapi, hal tersebut akan berjalan buruk, apabila kemudian

bercampur dengan kepentingan politik seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

Perseteruan antara lembaga hukum yang seharusnya melindungi dan

mengayomi rakyat akhirnya mengakibatkan kepercayaan rakyat kepada

pemerintah pun terancam pudar. Lembaga-lembaga penegak hukum di negara

Indonesia sibuk saling menyalahkan dan mencari kebenaran diri sendiri. Dan

lagi-lagi masalah ini tidak terlepas dari penyakit lama bangsa Indonesia, yaitu Korupsi.

Perseteruan terbuka seperti ini akan memperlemah peran dan fungsi kedua

institusi dalam penegakan hukum, khususnya pada kasus-kasus korupsi. Sebab

biar bagaimanapun KPK tidak dapat bekerja sendiri dalam melakukan

(10)

antara Polri dan KPK, namun kedua pimpinan lembaga tersebut harus menyadari

bahwa membiarkan situasi tersebut berlarut-larut akan merugikan proses

penegakan hukum di Indonesia. Perlu langkah-langkah yang bersifat saling

menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi, agaknya sulit berharap kedua

pimpinan tersebut duduk satu meja tanpa mediasi yang mengikat keduanya. Oleh

sebab itu selaku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ikut campur

tangan dalam menyelesaikan perseteruan tersebut.

Konflik ini pada dasarnya merupakan buntut dari kasus pembunuhan

Nasruddin Zulkarnaen yang awalnya dikaitkan dengan cerita ‘cinta segi-tiga’

antara korban, rani Juliani (seorang caddy belia) dan Antasari, ketua KPK saat itu.

Dari hasil pengembangan penyidikan atas kasus pembunuhan Nasruddin inilah

Polri akhirnya mencium aroma tidak sedap pada sejumlah oknum pimpinan KPK.

Ceritanya kemudian merambat kemana-mana, dari kasus pengadaan sistem

komunikasi di Departemen Kehutanan dengan tokoh utamanya Anggoro Widjojo,

skandal alih fungsi di Tanjung Api-api hingga mega skandal Bank Century.

Konflik antara Polri dan KPK dipicu oleh testimoni Antasari yang berisi

pengakuan bahwa sejumlah pimpinan KPK juga menerima suap dari Anggoro

agar status cekal Anggoro dicabut. Berpijak pada testimoni Antasari ini, Polri

memanggil empat pimpinan KPK dan empat pejabat KPK. Polisi memanggil

petinggi KPK dengan jeratan pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor

20 Tahun 2001 atas dugaan telah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang

sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP.

Sejak Juli lalu SBY sudah berusaha menyelesaikan ketidakharmonisan ini

(11)

Rapat Koordinasi. Namun langkah tersebut agaknya tidak cukup untuk

menyelesaikan ketidakharmonisan ini, oleh sebab itu langkah selanjutnya

disiapkan presiden seperti halnya membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta

dan Proses Hukum Sdr. Chandra M.Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto (2/11).

Tim Independen ini yang sering disebut Tim-8 bekerja selama 2 minggu, siang

dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi

telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada Presiden. Setelah

menerima hasil rekomendasi dari Tim 8 akhirnya pada tanggal 23 November

Presiden menyatakan sikapnya atas kasus ini. Namun, pada kenyataannya sikap

presiden justru mengandung kontroversi di kalangan masyarakat.

Kisruh perseteruan antara lembaga pemerintahan ini pun akhirnya berhasil

menjadi sorotan masyarakat. Bahkan menjadi sorotan utama yang mengalahkan

pemberitaan-pemberitaan lain seperti masalah pendidikan dan kemiskinan. Setiap

detil informasi dapat dikonsumsi masyarakat melalui media sebab media massa

muncul sebagai penyaji informasi fakta dari peristiwa yang terjadi. Berbagai

pandangan mengenai perseteruan ini dikemukakan dan dimuat di dalam media,

termasuk setiap keterlibatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam

menyikapi kasus ini. Secara otomatis, setiap sikap yang ditunjukkan presiden

sangat berpengaruh terhadap citra SBY selaku presiden. Selama ini Presiden SBY

selalu dikenal sebagai presiden yang memiliki citra yang baik. Bahkan bisa

dikatakan kemenangan SBY dalam pemilihan umum diperolehnya karena citra

positif yang berhasil dibentuknya. Untuk itu presiden SBY sangat berhati-hati

dalam menunjukkan sikapnya terhadap kasus ketidakharmonisan yang terdapat

(12)

Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial saling

berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh kelompok

dominan, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk

mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Media

bahkan menjadi sarana dimana kelompok dominan bukan hanya memantapkan

posisi mereka, tetapi juga memarjinalkan dan meminggirkan posisi kelompok

yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:53). Media dipandang sebagai agen

konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.

Media juga dipandang sebagai mediator oleh wartawan dalam menuangkan pola

pikirnya sehingga mampu membingkai pemberitaan yang ditulisnya.

Dalam penelitian ini, penulis memilih media Kompas sebagai objek

penelitian. Pemilihan harian Kompas dalam penelitian ini didasarkan pada dua

alasan: Pertama, karena harian ini merupakan harian nasional yang mapan secara

ekonomis. Kompas memiliki berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah

atap kelompok Kompas Gramedia seperti majalah, stasiun radio, penerbitan,

percetakan, hingga hotel. Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan

yang memanjakan pegawainya, mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk

anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga kali dalam satu tahun, piknik keluarga,

pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran. Pemberian insentif seperti ini

dimaksudkan untuk menghindari adanya ‘wartawan amplop’, sehingga wartawan

lebih berintegritas dalam menyusun berita. Kedua, Kompas memiliki khalayak

pembaca yang terbesar di seluruh Indoneisa. Hingga saat ini, Kompas masih

dikenal sebagai koran berskala nasional terbesar di Indonesia dengan oplah lebih

(13)

demikian pemberitaan Kompas cukup berdampak luas bagi khalayak pembaca di

Indonesia. Adapun penelitian dilakukan sepanjang bulan November adalah

sebagai pembatasan penelitian. Selain itu, bulan November dianggap memiliki

banyak sejarah penting dalam perkembangan kasus perseteruan KPK – Polri

dimana Presiden cukup banyak memberikan respon. Salah satu diantaranya adalah

pembentukan tim Delapan yang diiinstruksikan langsung oleh Presiden, adanya

keputusan langsung dari Presiden untuk menghentikan kasus.

Perangkat analisis yang digunakan peneliti adalah analisis framing.

Framing dalam perspektif ilmu komunikasi dipakai untuk membedah cara-cara

atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi

seleksi, penonjolan dam pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna,

lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi

khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan

untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh

wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004 : 162).

Sedangkan analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

framing Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami

framing sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media

memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling

mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu ide

sentral dari suatu berita.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti pencitraan

presiden Susilo Bambang Yodhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK pada

(14)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka

permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

”Bagaimanakah citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan

Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009 dikonstruksi oleh harian

kompas?”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan

mengambang, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah

yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya akan dilakukan pada harian Kompas.

2. Isi berita yang akan diteliti hanya berita yang menjadi headline tentang

sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri

dan KPK.

3. Subjek penelitian adalah surat kabar Kompas terbitan November 2009.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana surat kabar kompas memaknai, memahami

dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait

(15)

2. Untuk melihat citra yang dibentuk oleh harian Kompas terhadap presiden

Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama

bulan November 2009.

Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis

framing.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tempat bagi

penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama masa kuliah dan

memperluas cakrawala pengetahuan.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang

berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang

berhubungan dengan tema penelitian ini.

I.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir

dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka

teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

penelitian akan disoroti (Nawawi,1995:39).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:

1. Media Massa Sebagai Arena Sosial

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan

(16)

mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”.

Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai

kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini

berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang

paling sahih (Hidayat 1999:48).

Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat

dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:

a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya

Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana

setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang

melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnya pada kaitannya

dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap

bahwa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat

dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara dengan baik bukan

malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau

merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan

kualitas hidup (Gamson, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya

terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media

sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini

sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada

khalayak.

b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor

Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang

(17)

isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan

berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha,

masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain

bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah

mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu

tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat,

1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter yaitu dimensi

effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media

dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus

mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi

acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui

repoter/jurnalisnya berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam

peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas

peristiwa yang diliput.

Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make

news atau pewawancara terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa

proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi

oleh elit sumber.

c. Media Practices/ Kegiatan media

Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali

secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal

tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah

berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan

(18)

berlangsung (Gamson, 1989:7). Disini awak media sangat berperan

penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim

menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri,

menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan

retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan

tertentu (Sudibyo, 2001:187).

2. Berita

Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang

dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik

perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena

pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti

human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang

dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman

fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan

sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua

peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita

banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya

akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam

presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).

Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai

faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang

(19)

1. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola

media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal

dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan

ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis

kelamin, umur, atau agama.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses

penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran

tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik,

atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas

yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi

pengelola media yang berada di dalamnya.

3. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara

hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan

bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia

sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri.

Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi

mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai

redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi,

bagian umum dan seterusnya.

(20)

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.

meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar

organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus

mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah

sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli

media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan

ideologi (kerangka berpikir/referensi).

3. Surat Kabar

Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio,

televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan

meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam

kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media

massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan

saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa

yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat

banyak.

Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media

komunikasi massa tidak dapat diragukan lagi kemampuannya dalam

menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini

publik.

Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik

kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug

(21)

kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang

membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil

masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa

yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa

wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan

diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.

Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk

mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen

penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa

disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam

bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan

perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa

terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat,

dan tingkat keberaksaraan masyarakat

Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica

(Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:

Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat

kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi

penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak

pembacanya.

Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat

membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan

pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi

(22)

mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya

mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.

Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti

dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah

didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem

kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan

antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang

dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.

4. Teks Berita : Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog

interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger,

realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan

oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara

berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai

konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa

sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan)

dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi

atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media.

karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara

berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat

(23)

peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi

peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan

peristiwa atau fakta dalam arti yang rill.disini realitas bukan diperoleh

begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan

dengan fakta.

5. Analisis Framing

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.

Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya

analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah

membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis

framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat

mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan,

dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik,

lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak

sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran

tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan

secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek

tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi

tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya

(24)

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam

frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang

dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa

menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka

maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian

yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat

difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian

bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252).

Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu,

mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak.

Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa

peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak?

Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun

peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu?

Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sementara yang lain tidak?

Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber

berita lain yang diwawancarai?

Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji

pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang

dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi,

yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna

tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi

penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya

(25)

Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat

frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan

politis tersendiri.

Dalam penelitian ini perangkat framing yang digunakan ialah

model framing yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani.

Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami framing

sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media

memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling

mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu

ide sentral dari suatu berita.

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil dari pemikiran yang rasional merupakan uraian

yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang

dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumus hipotesis

(Nawawi,1995:40).

Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti

yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak

kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu

sosial (Singarimbun,1995:57).

Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam

menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah

yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka

(26)

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang

dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani seperti gambar berikut ini;

Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani

Sumber : Eriyanto, 2001 : 256 Media Package

(Perspektif)

Core Frame

Considering Symbols

Reasoning Devices Framing Devices

1. Roots

2. Appeals to Devices 3. COnsequences 1. Metaphors

(27)

I.7 Defenisi Operasional Variabel I.7.1 Framing

Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana

satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative packages) saat

mengkonstruksi dan memberikan makna suatu isu. Sebuah package

memiliki struktur internal. Pada inti struktur terdapat gagsan sentral (core

frame) yang berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang

relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isu yang dibangun

melalui condensing symbol. Condesing symbols terdiri dari framing

devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) dan reasoning

devices )yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya

dilakukan terhadap isu tersebut).

a. Framing Devices

a.1 Metaphors

dipahami sebagai cara memindahkan (transpose) makna sesuatu

dengan merelasikan dua fakta analogi, sering berupa kiasan

menggunakan kata : seperti, bak, laksana, dll.

a.2 Exemplars

adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu saja secara

mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk

dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan

wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya

(28)

a.3 Cathprases

adalah istilah, bentukan kata atau fase khas cerminan fakta yang

merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu guna

mendukung praktek kekuasaan. Dalam wacana cathprases dapat

berwujud jargon, slogan, semboyan.

a.4 Depictions

adalah penggambaran fakta melalui kata, istilah, kalimat bermakna

konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak

terarah kecitra tertentu, misalnya mencuatkan gairah, harapan,

ketakutan, posisi, moral serta perubahan. Depiction berupa

stigmasi, disfemisme dan akronimisasi.

a.5 Visual image

adalah pemakaian foto, diagram grafism tabel, kartun dan

sejenisnya yntuk mengekspresikan pesan. Misalnya perhatian

(penegasan) atau penolakan (kontras) menggunakan huruf

dibesarkan, dikecilkan, ditebalkan, dimiringkan atau digarisbawahi

serta pemakaian bermacam wacana.

Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media

b. Reasoning Devices

b.1 Roots

analisis kausal dengan mengedepankan hubungan yang melibatkan

suatu objek atau lebih yang dianggap suatu sebab terjadinya hal lain.

Tujuannya untuk memberikan alasan pembenar dalam

(29)

b.2 Appelas to principles

upaya memberikan alasan pembenar memakai logika dan prinsip

moral untuk mengklaim suatu kebenaran saat membangun wacana.

Sifat appelas to principles yang apriori, dogmatis, simplistik dan mono

kausal terkadang membuat khalayak tak berdaya menyanggahi isi

argumentasi.

b.3 Consequences

adapun efek atau konsekuensi yang didapat dari framing.

I. 8 Metodologi Penelitian

Metode dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan

bagaimana peneliti dalam menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data

yang diperlukan, serta analisis data. Metodologi dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif.

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan

sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya. Riset ini tidak

mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau

sampling-nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudak mendalam dan bisa

menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.

Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) bukan

(30)

I.8.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini menggunakan

model analisis framing yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani.

I.8.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini berupa kumpulan berita tentang sikap

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK.

I.8.3 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu:

1. Studi Dokumenter

Data-data unit analisis dikumpulkan dengan cara mengumpulkan data dari

bahan-bahan tertulis pada harian Kompas yang memuat berita tentang program

kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II.

2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data

melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku,

literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

I.8.4 Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan

(31)
[image:31.595.98.533.139.194.2]

Tabel 1. Berita Pembentukan citra Presiden SBY terkait kasus Perseteruan

Polri dan KPK.

No Judul Berita Edisi Hlm Deskripsi Umum

Tabel 2. Frame isi Pemberitaan

Frame :

Metaphors Roots

Catchphrases Appeals to Principle

Depictions Consequences

Exemplaar

[image:31.595.109.519.238.559.2]
(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir

dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka

teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

penelitian akan disoroti (Nanawi, 2001:39).

Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini:

II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan

andre modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka

mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”.

Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai

kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini

berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang

paling sahih (Hidayat 1999:48).

Dan di dalam penelitiannya tersebut, gamson menyimpulan bahwa

ada tiga frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama,

aggregate frame, yaitu merupakan proses pendefenisian isu mengenai

masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar fraame peristiwa

tersebut sadar bahwa isu yang sedang berkembang tersebut adalah yang

berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus Frame, yaitu proses

pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial yang hanya bisa

(33)

proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan

tindakan kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan.

Dan selanjutnya hasil studi tersebut menjadi teori yang memandang bahwa

media massa merupakan suatu arena dari pihak-pihak yang berkepentingan

dalam masyarakat (Eriyanto, 2002 :221-222).

Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat

dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:

a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya

Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana

setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang

melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnyapada kaitannya

dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap

bawa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan

adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara denganbaik bukan malah

menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak

alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas

hidup (gamson dan modigliani, 1989 :6). Pada kasus ini media yang

didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur

media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh

media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan

kepada khalayak.

Nilai kebudayaan ini bersifat konstan. Hal ini membantu kita untuk

menerangkan perubahan dalam surut dan mengalirnya paket (packages)

(34)

melengkapi kerja sponsor dan memperkuat pengaru aktifitas sponsor dan

posisi media.

Karena setiap individu masing-masing memiliki latar belakang

sejarah, interaksi sosial dan kecenderungan psikologis yang berbeda dalam

melakukan proses konstrusi makna. Umumnya, pendekatan yang

dilakukan terhadap suatu isu adalah membuat suatu bagan pendahuluan,

sekalipun hanya bersifat sementara (Gamson dan modigliani, 1987:2)

b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor

Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang

dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan

isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan

berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha,

masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain

bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah

mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu

tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat,

1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter tyaitu dimensi

effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media

dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus

mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi

acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui

(35)

peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas

peristiwa yang diliput.

Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make

news atau pewawancarfa terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa

proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi

oleh elit sumber.

c. Media Practices/ Kegiatan media

Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali

secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal

tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah

berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan

bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini

berlangsung (gamson-modigliani, 1989:7). Disini awak media sangat

berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka

lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri,

menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan

retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan

(36)

II.2 Berita

Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang

dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik

perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena

pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti

human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang

dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman

fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan

sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).

Secara sosiologis, berita adalah semua hal ang terjadi di dunia.

Dalam gambaran yang sederhana, berita adalah apa yang dituliskan surat

kabar, apa yang disiarkan radio dan apa yang ditayangkan televisi. Berita

menampilkan fakta, tetapi tidak setiap setiap orang bisa dijadikan berita.

Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya

sebagian kecil saja yang dilaporkan (Sumadiria, 2005:63).

Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: berita berat

(hard newa) dan berita ringan (soft news). Selain itu berita juga dapat

dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di tempat

tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita bisa dipilah menjadi

berita diduga dan berita tidak diduga. Selebihnya, berita juga bisa dilihat

menurut materi isinya yang berneka ragam (Sumadiria, 2005:65-66).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua

peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita

(37)

akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam

presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).

Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai

faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang

pemberitaan yaitu:

5. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola

media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal

dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan

ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis

kelamin, umur, atau agama.

6. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses

penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran

tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik,

atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas

yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi

pengelola media yang berada di dalamnya.

7. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara

hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan

bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia

sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri.

(38)

mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai

redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi,

bagian umum dan seterusnya.

8. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.

meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar

organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus

mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah

sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli

media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan

ideologi (kerangka berpikir/referensi).

II.3 Surat Kabar

Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio,

televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan

meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam

kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media

massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan

saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa

yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat

banyak.

Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media

(39)

menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini

publik.

Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik

kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug

berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan

kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang

membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil

masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa

yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa

wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan

diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.

Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk

mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen

penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa

disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam

bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan

perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa

terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat,

dan tingkat keberaksaraan masyarakat

Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica

(Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:

Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat

(40)

penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak

pembacanya.

Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat

membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan

pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi

informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar

mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya

mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.

Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti

dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah

didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem

kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan

antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang

dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.

Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan

media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat

kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan

pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana

dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu. Di samping itu pada

media massa tercetak bahasa yang digunakan adalah bahasa tulisan, tidak

seperti media massa radio dan televisi, bvahasa yang digunakan adalah

bahasa tuturan yang sangat dipengaruhi pula oleh cara penyajiannya, maka

(41)

tidak menjadi permasalahan dan penulisan bilangan sampai

sekecil-kecilnya tidak akan menimbulkan permasalahan.

II.4 Citra

Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap

perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang

atau organisasi (Soemirat, 2004 :112).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah:

1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran

2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan,

organisasi atau produk.

3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase

atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa

atau puisi.

(Soemirat, 2004 :114).

Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan

kesan yang dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek. Sikap dan

tindakan orang terhadap objek sangat ditentukan oleh citra objek

tersebut.

Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa cutra Anda selalu

berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adlag gambaran tentang

realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah

(42)

Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat

indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda,

orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang

ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas

tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh

tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain.

Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi

berita. Payahnya, karena kita tidak dapat- dan tidak sempat- mengecek

peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh

informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan

media massa.

Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial

kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

II.5 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog

interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger,

realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan

oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara

berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai

konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa

(43)

dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi

atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media.

karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara

berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat

memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu

peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi

peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan

peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh

begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan

dengan fakta.

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu

menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger

menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa

(Eriyanto, 2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan

atau ekspresi diri manusia dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun

fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri

ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai

ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap

dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suaru dunia-dengan kata lain,

manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental

maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu

(44)

itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari

manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat

menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan- itu

misalnya manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau

kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun

bagasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan

dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda

atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang

objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari

produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas

objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagia setiap orang.

Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia

menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih emrupakan

penyerapan kembali dunia objektid ke dalam kesadaran sedemikian rupa

sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Berbagai

macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap

sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala

internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari

masyarakat.

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga

sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan

dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/plural.

(45)

realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan

tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan

realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural,

konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004:15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial

bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil konstruksi. Karenanya,

konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan

bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa

konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis

ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia

sering dilawankan dengan parafigma positivis/paradigma transmisi

(Eriyanto, 2004:37).

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan kontruksionis.

Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politk pemaknaan

dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas.

Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam

suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang

dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan

komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis

memeriksa bahaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam

sisi penerima ia memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi

komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi

makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai

(46)

menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai

ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Sesorang

komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu

kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu

peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto,

2004 :40-41).

II.6 Analisis Framing

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.

Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya

analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah

membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis

framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat

mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan,

dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik,

lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak

sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson

tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual

atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandanga politik,

kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standard

untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih

(47)

kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam

membaca realitas. (Sudibyo, 2001 :219).

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran

tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan

secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek

tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi

tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya

(Sudibyo, 2004 :186).

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam

frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang

dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa

menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka

maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian

yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat

difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian

bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252).

Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu,

mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak.

Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa

peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak?

Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun

peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu?

(48)

Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber

berita lain yang diwawancarai?

Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji

pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang

dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi,

yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna

tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi

penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya

bagian tertentu saja yang lebih bermakna.

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas.

Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin

memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu

terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang

dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian

mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas yang

tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih

angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain,

memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya,

peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaan dan konstruksi

atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.

Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan

menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan

(49)

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan

bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu

diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan

aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang

sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu:

penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian

belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan

memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan

orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya,

generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan

sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan

realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari

memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang

ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokaaso dan perhatian

yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk

membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan

diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:69-70).

Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre

Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada

sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan

dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan

dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi.

Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame

(50)

tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari

peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana

media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui

mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan

untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang

digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.

Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan

fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan

dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut

cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005

:223-224).

Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat

frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 1.1.Sejarah Harian Umum KOMPAS

Ide awal penerbitan harian ini datang dari

mengutarakan keinginannya kepada

yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan

keinginan itu kepada dua teman baiknya

sebagai editor in-chief pertamanya.

Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Atas usul

Presiden

fakta dari segala penjuru.

Kompas mulai terbit pada tanggal

penjualan surat kabar secara nasional. Pada t

mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi

610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh

Seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian Kompas dibagi

menjadi tiga halaman bagian, yaitu bagian depan yang memuat berita nasional

dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, serta bagian berita

(52)

1.2.Visi, Misi dan Motto KOMPAS

1.2.1. Visi kompas

“Menjadi Institusi Yang Memberikan Pencerahan Bagi

Perkembangan Masyarakat Indonesia Yang Demokratis Dan Bermartabat

Serta Menjunjung Tinggi Asa Dan Nilai Kemanusiaan”

Dalam kiprahnya di industri pers, “visi KOMPAS” berpartisipasi

membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui

prinsip humanisme trancendental (persatuan dalam perbedaan) dengan

menghormati individu dan masyarakat adil dan makmur. Secara lebih

spesifik bisa diuraikan sebagai berikut:

a. KOMPAS adalah lembaga pers yang bersifat umum dan

terbuka.

b. Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok

tertentu baik politikm agama, sosial, atau golongan ekonomi.

c. KOMPAS secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif

dengan segala kelompok.

d. KOMPAS adalah koran nasional yang bersih mewujudkan

aspirasi dan cita-cita bangsa.

e. KOMPAs bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang

dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur

(53)

1.2.2. Misi kompas

“Mengantasisipasi Dan Merespon Dinamika Masyarakat Secara

Profesional, Sekaligus Memberi Arah Perubahan (Trend Setter) Dengan

Menyediakan Dan Menyebarluaskan Informasi Terpercaya.”

KompaS berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor

satu dalam semua

Gambar

Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani
Tabel 1. Berita Pembentukan citra Presiden SBY terkait kasus Perseteruan
Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani
Tabel 4.1 Berita-berita mengenai sikap presiden dalam menyikapi perseteruan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Tinggi Sekolah Dasar se-Gugus IV Kecamatan Pengasih Tahun Ajaran 2011/2012..

Huruf yang hilang gambar di bawaah ini menjadi sebuah kata suasana

• Pada komponen struktur tekan dengan lilitan spiral, maka panjang lewatan yang berada dalam lingkupan tulangan spiral diijinkan untuk dikalikan dengan 0,75, namun tidak boleh

variabel yang ada dalam penelitian ini, yaitu gaya berpikir dan coping strategy. sebagai variabel independen dan resiliensi sebagai

[r]

[r]

i) All financial transactions of Islamic MFB shall be in accordance with the injunctions of Shariah. ii) Every Islamic MFB shall be required to appoint a Shariah Advisor who