• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

Agusman Ibrahim

Keanekaragaman kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, salah satu diantaranya memiliki berbagai macam satwa yang tersebar keseluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia. Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah ciri suatu pulau yang didiami satwa tersebut. di Indonesia sendiri satwa-satwa tersebut sudah sangat langka untuk ditemui di habitat aslinya. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa yang dilindungi selama ini banyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. Manusia ingin memiliki satwa untuk dipelihara, dimiliki demi kesenangan tersendiri. Berdasarkan hal ini maka penulis mengajukan skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK)” adapun permasalahan yang diajukan adalah :a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi (studi putusan perkara No. 331/Pid.Sus/2011.PN.TK.), dan b) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi (studi putusan perkara No. 331/Pid.Sus/2011.PN.TK.)

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan (Liberty Research)dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode pemeriksaan data (editing), sistematis data(sistemazing), klasifikasi.

(2)

alap-Agusman Ibrahim

alap dan burung hantu yang habitatnya hampir punah namun sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak sesuai dengan apa yang harus dipertanggungjawabkan. Jika melihat untuk kedepannya maka perbuatan terdakwa ini akan mengakibatkan punahnya ekosistem dan habitat dari satwa-satwa yang dilindungi tersebut. Dalam kasus ini terdakwa sudah memenuhi semua unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dan dianggap mampu bertanggungjawab atas apa yang diperbuat.2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana satwa yang dilindungi diwilayah Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung untuk register perkara Nomor 331/Pid.Sus/2011/PN.TK, yaitu dilihat dari adanya faktor keyakinan hakim, faktor psikologis hakim, dan faktor yang diperoleh dari persidangan. Kemudian dilihat hal-hal yang memeberatkan terdakwa yaitu tindak pidana tersebut termasuk kejahatan yang dapat merusak kelestarian lingkungan dan ekosistem alam dan dapat dipidana sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana yang dapat merusak kelestarian lingkungan dan habitatnya. Selain itu terdapat juga hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu : mengakui terus terang atas perbuatannya, terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sebagai tulang punggung keluarganya. Hal tersebut yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman kekayaan alam yang beragam, diantaranya

mempunyai berbagai macam satwa. Satwa-satwa tersebut tersebar keseluruh pulau-pulau yang

ada di Indonesia. Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah ciri suatu pulau yang

didiami satwa tersebut, karena ekosistemnya mendukung akan perkembangbiakan satwa

tersebut. di Indonesia sendiri satwa-satwa tersebut sudah sangat langka untuk ditemui di habitat

aslinya.

Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa yang dilindungi selama ini banyak yang telah rusak

ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab.

Manusia ingin memiliki satwa untuk dipelihara, dimiliki demi kesenangan tersendiri. Itu semua

tidak terlepas dari perilaku satwa itu sendiri yang mana satwa tersebut mempunyai daya tarik

untuk dimiliki. Pada sekarang ini untuk memiliki satwa-satwa tersebut dapat ditemui, misalnya

di pasar hewan banyaknya penjualan satwa-satwa langka yang dilindungi terdapat didaerah

tersebut, serta dengan cara berburu maka nantinya satwa yang diburu itu kebanyakan akan

diawetkan, diambil kulitnya dan bagian tubuh lainnya hanya untuk kesenangan dan keindahan

bagi yang memilikinya.

Disisi lain perdagangan satwa dapat menyebabkan eksploitasi besar-besaran yang mengancam

kepunahan satwa. Akibat perdagangan liar, yang semakin meningkat akhir-akhir ini, selain

ekspor satwa hidup. Keinginan manusia untuk memakai produk satwa seperti tas kulit buaya atau

(4)

satwa yang dilindungi tersebut perlu dilakukan, sebab tidak tertutup kemungkinan

spesies-spesies yang telah punah atau hampir punah tersebut memiiki peran yang sangat penting bagi

keseimbangan ekosistem. Faktor terancam punahnya satwa liar tersebut salah satunya adalah

untuk diperdagangkan secara ilegal.

Perdagangan satwa liar secara ilegal menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di

Indonesia. Satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal berdasarkan berbagai fakta yang

ditemukan dilapangan kebanyakan adalah hasil tangkapan dari alam, bukan dari penangkaran.

Jenis-jenis satwa liar yang dilindungi dan terancam punah juga masih diperdagangkan secara

bebas di pasar-pasar hewan seluruh Indonesia. Perdagangan beberapa jenis satwa terutama

burung-burung hiasan untuk dipelihara diperkirakan berlangsung setiap bulan dengan omzetnya

tidak kurang mencapai ratusan trilyun rupiah. Burung-burung yang sering diperdagangkan

tersebut misalnya meliputi kakaktua jambul kuning (cacatau galerit ) burung bayan (elektus

roratus) nuri kepala hitam (lorius lorry) cendrawasih, burung alap-alap (elanus caerulleus) dan

burung hantu. (http://beritadaerah.com/article/jabodetabek/48869.diakses tanggal 4 november 2011)

Manusia melakukan perburuan satwa liar pada dasarnya antara lain bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman

ataupun kebudayaan, maka perburuan satwa liar kini juga dilakukan sebagai hobi maupun

kesenangan yang bersifat ekslusif memelihara satwa liar yang dilindungi, sebagai simbol status

dan untuk diperdagangkan dalam bentuk produk dari satwa yang dilindungi misalnya burung

alap-alap dan burung hantu. Masyarakat lokal umumnya tidak mengenal jual beli satwa liar, bagi

mereka berburu adalah untuk dikonsumsi dan untuk menyambung hidup sehari-hari.

(5)

bukan hanya sekedar untuk dikonsumsi namun juga diperdagangkan dalam keadaan hidup

sebagai satwa peliharaan, dalam bentuk awetan, bahan dasar obat untuk olahan berbagai bentuk

souvenir. Sindikat perdagangan satwa liar tersebut kemudian mamperdaya penduduk lokal

dengan berbagai janji dan keuntungan apabila mau membantu perdagangan satwa-satwa tersebut.

Perdagangan satwa secara ilegal tersebut apabila tidak segera ditangani tentunya akan

mengakibatkan permasalahan yang cukup serius di kemudian hari, antara lain kepunahan

populasi yang ada di alam, bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem dan siklus rantai

makanan yang ada dan pada akhinya membawa dampak buruk yang sangat vital bagi

keberlangsungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi. Apabila terus dibiarkan, maka

dikhawatirkan suatu saat akan terjadi suatu kepunahan yang menyebabkan generasi mendatang

hanya akan bisa mengenal hewan-hewan tersebut melalui foto dokumentasi saja. Pengendalian

perdagangan satwa liar yang dilindungi ini agar tidak menjadi punah harus memerlukan

penanganan yang serius dari pemerintah.

Hukum juga merasa perlu melindungi satwa liar yang hampir punah berikut ekosistemnya tentu

bukan tanpa alasan. Satwa-satwa liar tersebut seperi halnya manusia merupakan bagian dari alam

dan juga bagian dari lingkungan ataupun ekosisitem. Kepunahan berbagai hewan-hewan yang

dianggap langka tersebut apabila terjadi, bukan mustahil akan megakibatkan terganggunya

ekosistem dan keseimbangan alam seperti misalnya rantai makanan dan keberadaan hewan

langka tersebut. Perdagangan satwa-satwa liar jika tidak juga segera dihentikan, bukan mustahil

pada masa yang akan datang, kita tidak akan bisa lagi melihat secara langsung harimau

(6)

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mengambil contoh kasus berdasarkan Putusan Perkara

No.331/Pid.Sus/2011/PN.TK. Kasus ini terjadi di Pasar Ambarawa Kab. Pringsewu, terdakwa

Marsino yang bekerja sebagai tukang ojek ini didatangi temannya yang bernama Solihin

meminta tolong kepada terdakwa membelikan 21 ekor burung alap-alap tikus dan 12 ekor

burung hantu dengan uang terdakwa terlebih dahulu kepada orang yang bernama Lihin yang

beralamat di Dusun sedayu Kecamatan Kota Agung Kab. Tanggamus, dan selanjutnya Solihin

meminta kepada terdakwa agar burung-burung tersebut dibawa pulang kerumah terdakwa, dan

nanti burung alap-alap tikus itu akan dibeli Solihin seharga dua kali lipat harga semula.

Setelah mendengar permintaan tersebut terdakwa tertarik karena akan mendapatkan keuntungan

dari Solihin maka terdakwa menyetujui permintaan untuk membelikan burung tersebut dengan

uang terdakwa sendiri. Pada saat terdakwa mengendarai motor dan melintasi Dusun Pekon

Terbaya Kab. Tanggamus, terdakwa berhasil ditangkap Oleh saksi Agus Hartono,S.Sos,

Maryadi,S.H., dan Luthfi, S.Pt, selaku Petugas patroli pengamanan hasil hutan

tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisa Selatan

(BBTNBBS) Wilayah Kota Agung Tanggamus Propinsi Lampung, bersama petugas Polsek Kota

Agung dan RPU-YABI selanjut terdakwa bersama barang buktinya dibawa ke Polres Tanggamus

dan seterusnya diserahkan ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Konservasi Sumber

Daya Alam (BKSDA) Lampung di Bandar Lampung.

Berdasarkan kasus ini terdakwa Marsino Bin Simin Als Seno Krikit pada hari Senin, tanggal 10

Januari 2011 pukul 21:30 wib bertempat di Dusun Tulang Pekon Terbaya Kecamatan Kota

Agung Kab. Tanggamus, terdakwa bersalah melakukan tindak pidana telah melanggar larangan

(7)

Burung alap-alap tikus (Elanus Caerulleus) sendiri merupakan burung yang dilindungi

sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun

1999 TGL. 27 Januari 1999 Tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi pada No.

urut 96.

Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan “barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan

ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Berdasarkan kasus ini hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan Pasal 21 ayat (2)

huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, Jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999

tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dengan pidana penjara

selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Kasus perniagaan dan perdagangan burung alap-alap dan burung hantu yang merupakan salah

satu hewan yang dilindungi di Indonesia merupakan sebuah tindak pidana. Kasus tersebut akan

dikaji dengan menganalisis studi putusan tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi yang pernah terjadi di Kecamatan Ambarawa

(8)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengambil judul skripsi mengenai : Analisis

Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi

(Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan tersebut, maka dapatlah

dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan

satwa yang dilindungi (studi putusan perkara No. 331/Pid.Sus/2011.PN.TK.) ?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi (studi putusan perkara No.

331/Pid.Sus/2011.PN.TK.) ?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup dalam penelitian skripsi ini pada lingkup ilmu pengetahuan hukum pidana.

Ruang lingkup substansinya hanya pada lingkup Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku

Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi. Pelaku disini yaitu setiap orang baik

laki-laki atau perempuan yang berusia 18 (delapan belas) tahun keatas yang melakukan tindak pidana

perdagangan satwa yang dilindungi. Contohnya : Kasus Perdagangan Satwa yang dilindungi.

Sedangkan ruang lingkup wilayah di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringewu dengan

wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

(9)

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi pemasalahan tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan

skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan

satwa yang dilindungi.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak

pidana perdagangan satwa yang dilindungi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Skripsi ini nantinya diharapkan secara teoritis dapat bermanfaat untuk memberikan masukan

untuk perkembangan kemajuan hukum pidana pada khususnya serta menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan mengenai Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak

Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi.

b. Kegunaan Praktis

1). Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat,

lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum, dan pemerintah dalam melakukan penelitian

yang berkaitan dengan Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

(10)

2). Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, aparatur penegak hukum, lembaga swadaya

masyarakat, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam upaya memberikan

perlindungan terhadap satwa liar yang dilindungi dengan menggunakan sarana hukum

pidana.

3). Menumbuhkan sikap kecintaan dan kepedulian terhadap kelestarian satwa dan satwa liar yang

dilindungi tersebut sehingga satwa liar yang dilindungi tersebut tetap akan ada dan tidak

mengalami kepunahan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil

penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian. ( Soerjono

Soekanto,1986 : 23).

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah kerangka teoritis untuk mengidentifikasikan data yang

akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan atau harus

dipertanggungjawabkan kepada sipembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya

(Roeslan Saleh, 1983: 80).

Pertanggungjawaban pidana merupakan pemberian sanksi pidana kepada pelaku atau pembuat.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut

(11)

Pada suatu kesalahan hukum yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan

hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang

bertanggungjawab atas perbuatannya, pembuat haruslah terbukti bersalah (schuld hebben) tindak

pidana yang dilakukan dan seseorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Pembuat harus memiliki unsur kesalahan dan sebelumnya harus memenuhi :

a. Suatu perbuatan melawan hukum (unsur melawan hukum)

b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.

Dilihat dari perbuatan yang dilakukan seseorang akan dipertanggungjawabkan pidananya atas

tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Selain unsur yang terdapat

dalam pertanggungjawaban pidana yang menentukan seseorang dapat dikenakan sanksi atau

tidak adalah kesalahan.

Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak

pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana

yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasannya

pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap amar/dictum

putusan hakim (Lilik Mulyadi, 1996 : 219).

Kewenangan hakim sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No.48

Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal

28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No.48 Tahun 2009

(12)

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

dalam masyarakat.

(2) Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang

baik dan jahat dari terdakwa.

Pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik

fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan koklusi komulatif dari keterangan

para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan.

Fakta-fakta terungkap ditingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan

sementara (voor onderzoek), sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang

(gerechtelijk onderzoek) yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan

(Harun M.Husein, 2005:118).

Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas. Jika tidak

diketemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mernpergunakan

metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks

undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hakim

mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks

undang-undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat

hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem (Achmad Rifa’i, SH., MH, 2010:167).

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim

dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara (Ahmad Rifai, 2010:106),

(13)

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan

dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan

masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai

diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang

wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau

penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam

penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan

secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan

putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan-putusan hakim. Pendekatan

keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim

tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu

pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara

yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi

(14)

hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu

perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. TeoriRatio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala

aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

berperkara

Setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan

dipertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestandeelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan

oleh jaksa/penuntut umum dan pledoi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya.

Memperdagangkan dan memiliki satwa yang dilindungi merupakan studi yang masih harus

banyak diteliti oleh semua orang karena sampai saat inipun masih banyak orang yang belum

memahami benar betapa pentingnya hewan tersebut bagi kesetimbangan alam dan dimasa depan

bagi Negara kita ataupun dunia.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep

khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui (

(15)

Adapun batasan dan pengertian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis adalah Penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui yang

sebenarnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993 : 43).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana

terhadap seseorang yang melakaukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Untuk adanaya

pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

(Roeslan Saleh, 1983:75).

c. Pelaku Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut (Moeljatno, 2000:4).

d. Perdagangan adalah Perbuatan perniagaan atau perdagangan menurut pasal 3 yang lama

KUHD pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang, benda atau sesuatu untuk dijual

lagi.

e. Satwa adalah Semua jenis sumber daya hewani baik yang hidup di darat, dan atau di air atau

di udara. ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Ayat (5) tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ).

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang skripsi ini, kemudian menarik permasalahan-permasalahan

yang dianggap penting dan membatasi ruang lingkup penulisan, juga memuat tujuan dan

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman dan pengertian umum

tentang pokok bahasan mengenai pengertian satwa langka yang dilidungi, pengaturan terhadap

tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi dan penegakan hukum pidana terhadap

perniagaan satwa yang dilindungi.

III. METODE PENELITIAN

Menjelaskan tentang metode penulisan skripsi berupa langkah-langkah yang digunakan dalam

pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, penentuan populasi dan sample, prosedur

pengolahan data serta analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada, yaitu pembahasan

tentang penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran memperniagakan dan memiliki satwa

yang dilindungi (burung hantu dan burung alap-alap) serta pengaturan terhadap tindak pidana

peniagaan satwa langka yang dilindungi.

V. PENUTUP

Merupaan Bab terakhir yang berisi Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan

kemudian ditarik berupa saran yang dapat membantu serta berguna bagi pihak-pihak yang

(17)
(18)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap

seseorang yang melakaukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Untuk adanaya

pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

(Roeslan Saleh, 1983 :75).

Dalam hukum pidana konsep responbility atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Hukum pidana merupakan sarana yang penting

dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang

meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya.

Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif

(penindakan).

Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana,

sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk

menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin

yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan

manusia.

Syaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang,

(19)

tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum

untuk pidana yang dilakukannya.

Dilihat dari perbuatan yang dilakukan seseorang akan dipertanggungjawabkan pidananya atas

tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Selain unsur yang terdapat

dalam pertanggungjawaban pidana yang menentukan seseorang dapat dikenakan sanksi atau

tidak adalah kesalahan.

Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika ia memenuhi unsur kesalahan. Adapun

unsur-unsur kesalahan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan perbuatan pidana;

2. Mampu bertanggungjawab;

3. Dengan sengaja atau alpa;

4. Tidak ada alasan pemaaf;

(Roeslan Saleh, 1983 : 11).

Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu

membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.

Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas

nama yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seorang dikatakan mampu bertangungjawab,

bila memenuhi tiga syarat yaitu :

1. Dapat menginsyafi makna dari pada perbuatan;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan

(20)

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakuakan perbuatan.

(Roeslan Saleh, 1983 : 80).

Pasal 44 KUHP menentukan :

(1) Barang siapa melakuakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena

pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, makan hakim dapat

memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun

sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan

Pengadilan Negeri.

B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan dasar dalam hukum pidana. Pebuatan jahat dalam arti yuridis normatif

adalah perbuatan seperti yang terwujud dalam peraturan pidana. Dalam bahasa Belanda istilah

tindak pidana tersebut dengan “strafbaarfeit” atau delict. Perbuatan pidana adalah Perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum (Roeslan Saleh, 1983 :

9).

Menurut Wirjono Prododikoro, tindak pidana adalah : Suatu perbuatan yang terhadap pelakunya

dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2008 : 55).

Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut diatas ada beberapa yang perlu diketahui

(21)

adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 2000 : 56).

Menurut Van Hamel, tindak pidana adalah : kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang

bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno, 2000 :

56).

Seperti yang kita lihat juga dalam ketentuan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah

memberikan penjelasan mengenai siapa yang dianggap sebagai pelaku suatu tindak pidana.

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menentukan :

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan

atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi

kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbutan.

(2) Tehadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,

beserta akibat-akibatnya.

Adapun definisi-definisi yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno yaitu :

a. Perbuatan manusia;

b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (sayart formil : sebagai konsekuensi adanya asas

(22)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan karena bertentangan

dengan tata pergaulan di masyarakat);

d. Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana

karena ini terletak pada orang yang berbuat.

Dilihat dari sudut pandang terjadinya suatu tindak pidana seseorang akan

dipertanggungjawabkan pidananya atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut

melawan hukum. Namun, bila dilihat dari kemampuan bertanggungjawab maka seseorang yang

mampu bertanggungjawab dapat dipertanggungjawabkan. Selain adanya unsur

pertanggungjawaban pidana maka terhadap seseorang terlebih dahulu adanya unsur kesalahan

yang memenuhi rumusan undang-undang.

Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang

dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh

Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang-Undang-Undang, baik itu

merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah

keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena

digerakkan oleh pihak ketiga. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang

memenuhi suatu rumusan delik (Barda Nawawi Arif, 2002 : 37).

Melihat batasan dan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa orang yang dapat dinyatakan sebagai

pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam :

1. Orang yang melakukan (dader plagen)

(23)

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)

Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang, yakni orang yang menyuruh

melakukan dan yang disuruh melakukan, jadi bukan pelaku utama yang melakukan tindak

pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yng hanya merupakan alat saja.

3. Orang yang turut melakukan (mede plagen)

Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini

pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dader plagen) dan

orang yang turut melakukan (mede plagen).

4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat,

memakai paksaan atau orang dengan sengaja membujuk orang melakukan perbuatan

(uitloker). Orang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya

memakai cara-cara dengan memberikan upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau

martabat dan lain sebagainya.

Kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap

ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku

kriminal akan diberikan sanksi hukum atau akibat berupa pidana atau pemidanaan. Sanksi

tersebut merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadap sipembuat.

C. Pengertian Perdagangan Terhadap Satwa yang Dilindungi

1. Pengertian Satwa dan Satwa yang Dilindungi

Pengertian perlindungan satwa liar tersebut sebelumnya diuraikan lebih lanjut, maka pertama

(24)

dikategorikan sebagai satwa liar yang dilindungi. Pemakaian bahasa sehari-hari menunjukkan

bahwa satwa dapat diistilahkan dengan berbagai kata yaitu hewan, binatang maupun fauna

ataupun mahluk hidup lainnya selain manusia yang dapat bergerak dan berkembang biak serta

memiliki peranan dan manfaat dalam kehidupan.

Pengertian satwa itu sendiri menurut UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 5 menentukan :

Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup didarat maupun diair.

Penjabaran mengenai berbagai pengertian tentang satwa yang dilindungi seperti yang telah

diuraikan sebelumnya menunjukkan kriteria satwa dan perlindungan seperti apa yang akan

diberikan, dari berbagai uraian tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

perlindungan satwa yang dilindungi ialah suatu bentuk perlindungan yang tidak hanya mencakup

terhadap satwa yang masih hidup saja tetapi juga mencakup kepada keseluruhan bagian-bagian

tubuh yang tidak terpisahkan dari satwa liar tersebut seperti gading dengan gajahnya, cula

dengan badaknya, harimau dengan kulitnya dan sebagainya.

Perdagangan satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun yang sudah mati ataupun

bagian-bagian tubuhnya adalah merupakan suatu tindak pidana. Pasal 21 ayat (2) huruf d UU

No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan

:

“Setiap orang dilarang untuk : Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan Memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan

(25)

Perlindungan terhadap satwa tersebut umumnya ditujukan pada beberapa karakteristik tertentu

dimana satwa-satwa tersebut terancam kepunahan yaitu :

a. Nyaris punah, dimana tingkat kritis dan habitatnya telah menjadi sempit sehingga

jumlahnya dalam keadaan kritis.

b. Mengarah kepunahan, yakni populasinya merosot akibat eksploitasi yang berlebihan dan

kerusakan habitatnya.

c. Jarang, populasinya berkurang.

Satwa di bagi menurut jenis dan juga keberadaannya. Tujuan dari membedakan jenis

dari pada satwa ini adalah untuk melestarikan dan juga melindungi satwa. Tujuan dari pelestarian

dan melindungi satwa bukan hanya untuk menyelamatkan spesies satwa dari ancaman, tetapi

juga untuk menjamin keanekaragaman ekologi dan keseimbangan dari keseluruhan ekosistem

yang telah mengalami gangguan atau yang akan dirusak perluasan aktivitas manusia merambah

kawasan hutan alami yang menjadi habitat satwa (Departemen Kehutanan, 2007 : 172).

2. Perdagangan Satwa yang Dilindungi

Bentuk-bentuk perdagangan satwa yang dilindungi seperti ini pada umunya ialah terhadap

satwa-satwa liar yang biasanya diperjualbelikan untuk dipelihara oleh manusia dengan harga tinggi.

Satwa-satwa seperti ini kebanyakan ialah satwa langka dan untuk jenisnya kebanyakan ialah dari

bangsa jenis burung-burungan (aves) seperti kakaktua raja, kakaktua jambul kuning, gelatik,

burung bayan, burung alap-alap, burung hantu dan sebagainya maupun dari jenis mamalia atau

primate seperti monyet hitam atau jenis lainnya yang kebanyakan dipelihara manusia sebagai

(26)

Satwa-satwa tersebut diburu dari alam kemudian diselundupkan untuk kemudian diperdagangkan

diberbagai kota besar bahkan hingga kemancanegara. Satwa-satwa yang masih hidup ini pada

umumnya diperdagangkan oleh para pelaku dengan menggunakan jalur pelabuhan laut.

Satwa-satwa tersebut dibius terlebih dahulu untuk kemudian diangkat dengan kapal yang pada akhirnya

tidak jarang mengakibatkan satwa-satwa tersebut mati dalam perjalanan.

3. Konservasi Satwa

Tujuan dari pelestarian dan perlindungan satwa bukan hanya untuk menyelamatkan spesies

satwa dari ancaman kepunahan tetapi juga untuk menjamin keanekaragaman ekologi dan dan

keseimbangan ekosistem yang telah mengalami gangguan yang akan dirusak akibat perluasan

aktivitas manusia merambah kawasan hutan alami yang menjadi habitat satwa (Departemen

Kehutanan, 2007 : 172).

Demi keperluan usaha pengelolaan terhadap satwa untuk aspek perlindungan, pengawetan dan

pelestarian serta pengembangan budi daya satwa maka di dalam buku Pedoman Pengelolaan

Satwa Langka yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perlindungan dan Pelestarian Alam

(sekarang Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan selanjutnya disingkat

Ditjen PHKA) ditetapkan kategori satwa berdasarkan tingkat kelangkaannya. Kategori itu terdiri

dari :

1. Kategori 1 yaitu satwa yang telah mendekati kepunahan atau nyaris punah (Endangered).

2. Kategori 2 adalah satwa yang populasinya jarang atau terbatas dan mempunyai

resiko punah (Restricted/Rage).

3. Kategori 3 adalah satwa yang sedang mengalami penurunan pesat dari populasi di alam

(27)

4. Kategori 4 yaitu yang terancam punah tetapi belum ditetapkan tingkat

kelangkaannya, 1997 : 173).

4. Pengaturan Hukum tentang Konservasi Satwa

Hukum pada dasarnya mengatur hubungan hukum dimana hubungan hukum terdiri dari

ikatan-ikatan antar individu yang tercermin pada hak dan kewajiban. Dalam usahanya mengatur hukum

menyesuaikan antara berbagai kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hukum sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah mempunyai sisi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku

bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang

tidak boleh dilakukan serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada

kaidah-kaidah (Sudikno Mertokusumo, 1991 : 33).

Penggunaan hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan juga dikarenakan hukum

memiliki kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integratif, memiliki legitimasi, didukung oleh

adanya mekanisme pelaksanaan dan memiliki sanksi (Bambang Sunggono, 1994 : 78).

Secara umum upaya konservasi satwa masuk dalam UUK yang merupakan penjabaran dari

kebijakan dunia yaitu WCS yang dikeluarkan pada tahun 1980 oleh The International Union for

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yaitu badan PBB yang khusus

menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan konservasi alam dan sumber daya alam.

Secara khusus upaya konservasi satwa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1999

tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis

(28)

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Keputusan Menteri Nomor

62/Kpts-11/1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Tata Usaha Peredaran Tumbuhan dan Satwa

Liar serta Keputusan Menteri Nomor 479/Kpts-11/1998 Tanggal 8 Juni 1998 tentang Lembaga

Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar.

5. Kewenangan Pemerintah dalam Upaya Konservasi Satwa

Kewenangan pemerintah menurut pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2000

tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah hak

dan kekuasaan pemerintah untuk menentukan atau mengambil tindakan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan.

Kewenangan pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan

dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan

konservasi satwa masuk dalam kewenangan bidang lain yaitu bidang kehutanan dan perkebunan

yang terdiri dari :

1. Penetapan kriteria dan standar pengurusan kawasan konservasi.

2. Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan dan penatagunaan

kawasan konservasi.

3. Penetapan kriteria dan standar pembentukan kawasan konservasi.

4. Penyelenggaraan pengolahan kawasan konservasi.

5. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan fauna, pemanfaatan

(29)

6. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang

meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.

(30)

I. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan masalah

Dalam membahas permasalah yang terdapat dalam skripsi ini, penulis melakukan pendekatan

yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, guna memperoleh suatu hasil penelitian yang

benar dan objektif.

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk melakukan penelaahan terhadap teori-teori,

konsep-konsep, pandangan-pandangan, peraturan-peraturan serta perumusan-perumusan yang

berkaitan dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Secara operasional, pendekatan ini

dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), study komparatif dan

interprestasi terhadap berbagai literatur. Dengan mengadakan pendekatan tersebut

dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas terhadap permasalahan

yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

(31)

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan penelitian lapangan yaitu penelitian yang

dilakukan dengan membandingkan antara sikap, perilaku, atau pendapat secara nyata dengan

teori yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan Analisis

Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang

Dilindungi (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK).

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan dan lapangan. Sedangkan jenis data

dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan pada obyek

yang diteliti, beberapa keterangan dari aparat penegak hukum di kepolisian dan pengadilan

negeri yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini.

b. Data Sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Hayati dan

Ekosistem.

(32)

1. Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981(Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3209).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan

KUHAP.

3. Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pelaksanaan KUHAP.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1999 tentang Perburuan Satwa Buru.

5. Peraturan Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan

Satwa.

7. Putusan Hakim Nomor 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari : karya -karya ilmiah, bahan

seminar, literatur dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang

dibahas.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Mengingat

objek penelitian ini mengenai Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak

Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi (Studi Putusan Perkara No.

331/Pid.Sus/2011/PN.TK), dan sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu didalam

suatu penelitian.

(33)

berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis dalam rangka memenuhi data yang diinginkan

penulis dan dianggap telah mewakili populasi.

Adapun responden yang dianggap dapat mewakili sampel dalam mencapai tujuan penelitian

sebagai berikut :

1. Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang

2. Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 2 (dua) orang

3. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung : 2 (dua) orang

4. Dosen Hukum Pidana : 2 (dua) orang

Jumlah : 7 (tujuh) orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara untuk mendapatkan data sekunder yaitu,

melakukan serangkaian studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip

buku-buku atau literatur serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang mempunyai

hubungan dengan Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

(34)

b. Studi Lapangan (field research)

Studi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data primer, yang dilakukan dengan

mengadakan wawancara dengan responden atau pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan

informasi terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

2. Metode Pengolahan Data

Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah melalui kegiatan seleksi, yaitu :

a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa ulang dan diteliti kembali mengenai

kelengkapan, kejelasan amupun kebenaran yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya

masing-masing setelah dianalisis sesuai dengan permasalahan.

c. Editing, yaitu dengan cara memeriksa dan meneliti ulang terhadap data yang telah diperoleh

untuk menjamin apakah data-data tersebut lengkap atau tidak kejelasannya dan relevansinya

bagi penelitian. (Bambang Sunggono.1998 : 129)

d. Sistematisasi, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan tujuan

agar tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Pada kegiatan ini yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu

untuk mendiskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian di lapangan ke dalam bentuk

penjelasan, yakni mengenai keterangan-keterangan yang diberikan oleh aparat penegak hukum

(35)

tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam

mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.

(36)

1

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat

diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi yang

terjadi diwilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Bandar Lampung

untuk register perkara Nomor 331/Pid.Sus/2011/PN.TK. dengan terdakwa

Marsino bin Simin yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini

terlihat dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa yakni menjual satwa

yang dilindungi khususnya burung alap-alap dan burung hantu yang habitatnya

hampir punah namun sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak sesuai. Jika

melihat untuk kedepannya maka perbuatan terdakwa ini akan mengakibatkan

punahnya ekosistem dan habitat dari satwa-satwa yang dilindungi tersebut. Dalam

kasus ini terdakwa sudah memenuhi semua unsur-unsur pertanggungjawaban

pidana dan dianggap mampu bertanggungjawab atas apa yang diperbuat.

Berdasarkan Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, disini dapat dilihat dari

keadaan jiwa pelaku yang sama sekali tidak terganggu oleh penyakit yang terus

menerus maupun sementara, lalu melihat dari fisiknya pelaku tidak cacat dalam

pertumbuhan dan dari sikapnya pun pelaku tidak terganggu karena terkejut

(37)

2

dan membenarkan atas perbuatannya, serta dapat menentukan kehendaknya atas

tindakan yang telah diperbuat. Dengan kata lain pelaku sudah memenuhi semua

unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

perdagangan satwa tersebut, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana

satwa yang dilindungi diwilayah Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar

Lampung untuk register perkara Nomor 331/Pid.Sus/2011/PN.TK, yaitu dilihat

dari adanya faktor keyakinan hakim, faktor psikologis hakim, dan faktor yang

diperoleh dari persidangan. Kemudian dilihat hal-hal yang memeberatkan

terdakwa yaitu tindak pidana tersebut termasuk kejahatan yang dapat merusak

kelestarian lingkungan dan ekosistem alam dan dapat dipidana sesuai dengan

Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) perbuatan yang dilakukan terdakwa

merupakan suatu tindak pidana yang dapat merusak kelestarian lingkungan dan

habitatnya. Selain itu terdapat juga hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu :

mengakui terus terang atas perbuatannya, terdakwa belum menikmati hasil

kejahatannya, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sebagai tulang

punggung keluarganya. Hal tersebut yang menjadi pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

(38)

3

1. Penegakkan hukum pidana harus dilakukan lebih optimal, terpadu dan terarah

yang tidak hanya berupa penegakan dalam landasan teori yaitu pembuatan

sejumlah peraturan perundang-undangan, melainkan penegakan hukum yang

diwujudkan dalam praktek sebagai salah satu upaya nyata keseriusan pemerintah

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan satwa yang

dilindungi.

2. Peranan aparat pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih ditingkatkan

terutama bagi mereka yang bertugas langsung dilapangan seperti pengawas

kehutanan, Polisi Hutan maupun aparat Departemen Kehutanan, dan Aparat bea

cukai dalam hal memberantas, menindak dan mencegah perdagangan ilegal satwa

yang dilindungi.

3. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kejahatan dan tindak pidana harus

lebih ditingkatkan terutama kepada masyarakat setempat yang tinggal didekat

lokasi suaka alam maupun hutan tempat habitat satwa-satwa liar tersebut dengan

cara memberikan penyuluhan dan melakukan pengawasan agar tidak mudah

(39)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI

(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR 331/Pid.Sus/2011/PN.TK)

Skripsi

Oleh

AGUSMAN IBRAHIM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(40)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACAN DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup……….. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual……….. 9

E. Sistematika Penulisan……….. 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban pidana....……….. 17

B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana………... 19

C. Pengertian Perdagangan Terhadap Satwa yang Dilindungi……. 23

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………..………... 30

B. Sumber Data………..….. 31

(41)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data...………..… 33 E. Analisis Data……….………... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden………...……….. 36 B. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Satwa yang Dilindungi (Studi Putusan Perkara

No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK) 38

C. Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi (Studi Putusan Perkara No.

331/Pid.Sus/2011/PN.TK) 52

V. PENUTUP

A. Kesimpulan……… 62

B. Saran…. ………….……… 64

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Adimaharja, Mintarsih. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta

Husein, Harun M, 2005. Lingkungan Hidup. Rineka Cipta. Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Liberty. Yogyakarta.

Moeljatno. 2000. Azaz-Azaz Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 1996. Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar Maju. Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika, Cet I, Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

(43)

Sunggono, Bambang. 1994. Hukum Lingkungan dan Dinamika Kependudukan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Tatang, M Amirin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Rajawali. Jakarta.

Undang-Undang :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 502 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya .

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Satwa Liar.

Undang- Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Satwa Liar.

Situs Website :

(44)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG

DILINDUNGI

(STUDI PUTUSAN PERKARA NO.331/Pid.SuS/2011/PN.TK)

Oleh

AGUSMAN IBRAHIM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(45)

Judul Skripsi : Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi (Studi Putusan Perkara

No.331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)

Nama Mahasiswa :

Agusman Ibrahim

No. Pokok Mahasiswa : 0852011014

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H NIP 19620817 198703 2 003

Maya Shafira, S.H., M.H NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(46)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua/Penguji :Diah Gustianti, S.H., M.H ...

Sekretaris :Maya Shafira, S.H., M.H ...

Penguji Utama :Firganefi, S.H., M.H ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S NIP 19621109 198703 1 003

(47)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9

Agustus 1990 merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara dari pasangan Bapak Sodri dan Ibu Emma

Yati.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada

sekolah Taman Kanak-kanak di TK Taruna Jaya

Perumnas Way Halim Bandar Lampung pada tahun 1996, pada tahun 2002

penulis menamatkan Sekolah Dasar di SDN 02 Perumnas Way Halim Bandar

Lampung, Menamatkan Sekolah Menengah Pertamanya dari SMP Gajah Mada

Bandar Lampung pada tahun 2005, dan pada tahun 2008 menamatkan Sekolah

Menengah Atas di SMA Gajah Mada Bandar Lampung.

Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Penulis Mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di

Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kecamatan Way Kenanga, Desa Mercubuana

(48)

MOTTO

Perbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup

selama-lamanya, tapi perbuatlah juga untuk akhiratmu

seakan-akan engkau akan mati besok

Bagaimanapun beratnya suatu pekerjaan, kalau dihadapi dengan

penuh rasa tanggung jawab dan cinta, maka pekerjaan itu akan

terasa ringan. Sebaliknya bagaimanapun ringannya suatu

pekerjaan, kalau dianggap sebagai beban, maka pekerjaan itu

akan terasa berat

Lebih baik terlihat biasa tetapi ada yang dibanggakan

Dari pada terlihat luar biasa namun tidak ada yang bisa

dibanggakan

Niat untuk sukses berasal dari hati yang baik juga

(49)

PERSEMBAHAN

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati Kuucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, Ku persembahkan karya kecil ku ini teruntuk :

Untuk Ayahku Sodri dan Ibuku tercinta Emma Yati

Yang tidak pernah berhenti memanjatkan do a dalam

tiap hembusan nafas di tiap sujudnya, serta selalu memberikan cinta

dan kasih sayangnya kepadaku

yang selalu memberikan semangat, nasehat dan motivasi untuk terus

dapat menyelesaikan studiku selama ini

Adikku

Ferdiansyah Kurniawan dan Tri Pandu Winata Saputra

Yang selalu memberikan dukungan moril kepadaku

Seluruh Keluarga Besarku

Atas dukungannya selama ini

(50)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya

dengan segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan ridho-nya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana

terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa yang Dilindungi

(Studi Putusan Perkara No.331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)”, sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak

terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H Selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan, motivasi dan

sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H Selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam

(51)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H Dosen Pembahas I, yang telah sudi meluangkan

waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran,

sehingga selesainya skripsi ini.

5. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H Selaku Dosen Pembahas II, yang

telah sudi meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan

sumbangan pemikiran, sehingga selesainya skripsi ini.

6. Desy Churul Aini, S.H., M.H Selaku Pembimbing Akademik yang telah

bersedia membantu dalam proses perkuliahan hingga proses terselesaikannya

skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan bekal

ilmu pengetahuan, bimbingan dan bantuan kepada penulis selama menjadi

mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Tante Ita, Babe Narto, Mbak Sri dan Mbak Yanti (makasih buat kalian yang

banyak membantu dari awal seminar I, seminar II, sampe kompre sekarang

ini).

9. Buat Instansi tempat penulis melakukan riset, terima kasih atas bantuannya.

10. Ayahku tercinta, you’re the best father in the world. Terima kasih atas pengorbananmu, do’amu, semangatmu,kedemokrasianmu, pengertianmu dan

kasih sayang serta cintamu yang selalu diberikan hingga kini.

11. Ibuku tercinta, terima kasih atas air susumu sehingga aku bisa tumbuh sehat

(52)

12. Adikku : Endeh (Ferdi) dan Ameng (Pandu) yang selalu memberikan

dukungan dan semangat untuk keberhasilanku.

13. Seluruh keluarga besarku : Yayik, Andung, Bakas (alm), Nyaik, Uwak Hoya,

Uwak Uni, Pak Raden, Bunda, serta Sepupu-sepupuku (Ifint, Ranu, Dedek

Rani) yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas do’a

dan dukungannya.

14. Buat Uni dan Hoya : “akhirnya saya bisa Sarjana seperti Uni dan Hoya

mudah-mudahan saya bisa Sukses seperti Uni dan Hoya, amiinnnnn *-* “.

15. Bapak Warsito selaku Bendahara Desa di Desa Mercubuana Kec. Way

Kenanga Kab. Tulang Bawang Barat beserta keluarga dan seluruh warga desa

yang telah bersedia menerima penulis dan teman-teman kelompok

Mercubuana untuk tinggal di kediamannya selama melaksanakan KKN.

16. Vera Febriana yang dengan sabar memberi waktu, bantuan, saran, kritik,

motivasi serta dukungannya dan telah menjadi penyemangatku.

17. Anak-anak Sapta Budaya yang selalu memberikan masukan dan motivasi

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

18. Buat sahabat-sahabat dari KNPI, organisasi-organisasi PMII, SAPMA PP,

LMN, yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

19. Buat sahabat-sahabatku HATIPERS Forever ( Hakim, Putra, Idiyus, Tika ),

yang selalu memberikan tawa dan ceria, yang selalu menemaniku disaat susah

(53)

20. Tim Futsal The Law, (makasih atas support nya selama ini...hehehehe,

semoga kalian semakin jaya).

21. Semua temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman Fakultas Hukum

yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semua pihak yang telah membantu

baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis disebutkan

satu persatu… Sory banget ya and Thanks banget.

22. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

23. Almamaterku tercinta

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasannya penyusunan skripsi ini.

Untuk itu atas segala keterbatasan yang ada, maka penulis dengan senang hati

menerima segala kritikan dan saran demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala yang diberikan

oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan dapat

bermanfaat bagi para pembaca. Amin ...

Bandar Lampung, 2012

Penulis,

Referensi

Dokumen terkait

Sistem penjualan barang rietail ini memerlukan peranan komputer beserta software untuk mencapai hasil yang optimal, dalam hal ini laporan penjualan yang dibuat oleh kasir untuk manager

Dalam hal ini ppenulis mencoba menulis dan membuat suatu alat yang banyak digunakan masyarakat, yaitu tentang jam melayang sebagian orang mungkin akan bertanya bagaimana sebenarnya

These approaches need not lead to widely different lists of virtues, for excellent ways of being for the good typically are beneficial too; but the two types of theory

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Karena dari penelitian yang telah dilakukan, ditemukan banyak sekali bak mandi di perkotaan yang melimpah akan air, sehingga dengan kondisi air yang melimpah akan menjadi

Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Sukabumi dalam Pengelolaan Objek Wisata. Optimalisasi tugas dinas daerah sebagai unsur pelaksana otonomi daerah dan

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan