MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT
KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN
(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)
RUSLAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan: Studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi iniDengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRACT
RUSLAN. Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (case study in PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra). Under direction of SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, and MANUWOTO.
A primary issue in the management of oil palm plantations own by both nucleus smallholder and independent farmers currently is still sectoral and not based on the consideration of multi-sectoral and multi-dimensional. This causes multiple losses such as the loss of income’s farmers, environmental deterioration, and social problem. The objective of this research is to design a management model for sustainable nucleus smallholder of oil palm which meet aspects of biophysical (planet), economic (profit), and social (people). This research was conducted at PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra Province, where located between 4°-6° south longitude and 104°-106° east latitude, in July 2011 to September 2012. The result of this analysis indicate that soil of land use of oil palm plantations contain C-org less than the forest soils, especially in the surface layer (0-20 cm). This indicates the occurrence of land degradation at the sites caused by erosion mostly at the surface layer of soil. Sustainability analysis of oil palm plantation showed that the economic dimension has the highest sustainability index of 88.97, followed by social index of 81.02, technological index of 69.17, ecological index of 68.21, and the the lowest is 30.71 for institutions index. Result of this analysis was also revealed that sustainability of plantation and motivation of employees are determined by the company support i.e. PT. Nusantara Plantation VII. Based on the multi-dimensional index of sustainable nucleus-plasma oil palm plantation was 67.67 meaning that is quite continuous. Model development shows that the implementation of soil conservation brings a consequences of increasing outcome every year. In the year 2010 was allocated IDR 1,801,271,159.73 and predicted to remain increase to IDR 4,384,575,338.50 in year 2040. If farmers follow the fertilization protocols used by nucleus smallholder, it will increase profits to IDR 7,446,289, - per hectare.
RINGKASAN
RUSLAN. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, dan MANUWOTO.
Di Indonesia ada tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta dengan total luas areal tahun 2005 luas kebun kelapa sawit 5.445 ribu hektar, Pulau Sumatera mendominasi ke tiga jenis pengusahaan, sedangkan Pulau Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Meskipun memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional, pembangunan agribisnis kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga menjamin kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial masyarakat sekitar, serta mampu menghindarkan tindakan marjinalisasi. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat di pertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi (Sabiham 2005).
Permasalahan pokok dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti dan plasma hingga saat ini adalah masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda berupa hilangnya pendapatan petani, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek biofisik (planet), ekonomi (profit), dan sosial (people). Sedangkan tujuan spesifik adalah: 1) Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 2) Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 3) Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit, dan 4). Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan di PT Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis terletak antara 4°- 6 ° Lintang Selatan dan antara 104° - 106° Bujur Timur.Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 – September 2012. Analisis degradasi lahan di kebun kelapa sawit dilakukan berdasarkan perubahan kandungan C-org terhadap hutan. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm dan 40-60 cm pada lereng bagian atas, tengah dan bawah, selanjutnya dianalisis kandungan C-org di laboratorium.
(buruk/tidak berkelanjutan), 25,01-50,00 (kurang/kurang berkelanjutan), 50,01-75,00 (cukup/cukup berkelanjutan), dan 75,01-100,00 (baik/sangat berkelanjutan).
Kinerja masyarakat (Yi) merupakan variabel yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor dinamis (Xij). Analisis data yang dapat digunakan dalam menduga pengaruh faktor-faktor alami dan manusia terhadap model pengeleloaan kebun kelapa sawit pola inti-plasma dengan pendekatan SEM (Structural Equation Model) yaitu LISREL (Linear Structural Relationship). Pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan ini menggunakan metode pendekatan sistem, baik pendekatan Hard System Methodology (HSM), maupun Soft Systems Methodology (SSM). HSM akan terdiri dari berbagai metode pengukuran, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang berkaitan dengan aspek geofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, serta simulasi sistem dinamik. Sementara SSM difokuskan pada legal review, serta analisis pendapat pakar (expert survey) dan stakeholders yang berkaitan dengan restriksi, peluang, serta strategi, dan pemilihan alternatif dalam pengelolaan kelapa sawit pola inti-plasma.
Hasil analisa degradasi lahan menunjukkan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma memiliki kandungan C-org yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah hutan terutama pada lapisan permukaan (0-20 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi lahan di lokasi penelitian yang disebabkan oleh erosi pada lapisan permukaan tanah. Pada tanah lapisan bawah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas. Hasil analisa keberlanjutan perkebunan kelapa sawit menunjukkan dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi yaitu 88,97, kemudian disusul sosial dengan nilai indeks 81,02, dimensi teknologi dengan nilai indeks 69,17, dimensi ekologi dengan nilai indeks 68,21, dan indeks yang paling rendah adalah kelembagaan sebesar 30,71. Ada sepuluh atribut utama atau faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma, yaitu: 1). pekerja, 2). pupuk rekomendasi, 3). waktu dan cara pemupukan, 4). produksi kelapa sawit, 5). aksesibilitas perbankan, 6). pengolahan tanah, 7). jarak tanam, 8). pemanfaatan skim pelayanan pembiayaan, 9). jumlah mata air, dan 10). kelompok tani. Indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma adalah 67,67 artinya status keberlanjutannya adalah cukup berlanjut. Hasil analisa penentu kinerja masyarakat menunjukkan bahwa motivasi karyawan sangat ditentukan oleh dukungan PT. Perkebunan Nusantara VII (koefisien 0,68 dengan t-hitung 14,48). PT.Perkebunan Nusantara VII juga sangat menentukan keberlanjutan (koefisien 0,08 dengan nilai t-hitung 3,42). Dari hasil pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pola berkelanjutan ini menunjukkan bahwa dengan penerapan upaya konservasi menimbulkan konsekuensi biaya yang selalu meningkat setiap tahun. Pada tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp 1.801.271.159,73 dan terus meningkat menjadi Rp 4.384.575.338,50 pada tahun 2040. Jika petani plasma mengikuti pola pemupukan inti akan meningkatkan keuntungan hingga Rp 7.446.289,- setiap hektarnya.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT
KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN
(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc
Dr. Ir. Saharuddin, M.Si
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan rahmat dan nikmatnya dalam penyelesaian disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan pola Inti-Plasma (Studi kasus di PT.Perkebunan Nusantara VII Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dengan bimbingan, peran serta dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai ketua komisi pembimbing, Bpk. Prof .Dr.Ir.Sumardjo, MS dan Bpk.Dr.Ir.Manuwoto,MS sebagai anggota komisi pembimbing. Dan juga diucapkan terimakasih kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS selaku ketua program studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dan Bpk.Dr.Ir.Widiatmaka, M.Sc selaku sekretaris program studi, serta diucapkan terimakasih juga disampaikan kepada Bpk/Ibu Dosen pengajar mata kuliah selama penulis mengikuti kuliah di PS PSL IPB dan Istri saya tercinta Dr.Ir.Reny Herawati, MP dan anak-anak Rully Restiana, SS, Reza Rustandi, Rifqi Padlurahman serta RiqqahSalsabila yang telah memberikan suport dan do’anya serta teman-teman angkatan 2009 yang telah membantu terselesaikannya disertasi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu pada tanggal 12 November 1963, dan merupakan anak pertana dari empat bersaudara dari ayah Japri (Alm.) dan ibu Abaniah Suri. Penulis menikah dengan Reny Herawati pada tahun 1989 dan dikaruniai empat orang putra putri bernama Rully Restiana, Reza Rustandi, Rifqi Fadhlurahman, dan Riqqah Salsabila.
Penulis menyelesaikan SD pada tahun 1976, SMP pada tahun 1980, dan SMA pada tahun 1983 di Curup. Pada tahun 1988 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan S1 jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas terbuka pada tahun 1996. Tahun 2005 Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Administrasi Publik pada bidang ilmu Kebijakan Publik jurusan Pemerintah Daerah dan pada tahun yang sama Program Pascasarjana STIA LAN RI di Jakarta. Sejak tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor Program Studi PSL dan Sumber Daya Alam Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
2.1.ModelPengelolaan Perkebunan Inti Rakyat 15
2.1.1. Model 15
2.2.Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat KelapaSawitBerkelanjutan.. 2.2.1. AspekEkonomi
2.2.2. AspekLingkunganHidup
24 27 28
2.3.Karakteristik Pola PIRBUN 31
2.4.PT.Perkebunan Nusantara VII 34
2.5.Kelembagaan Petani 39 3.2.RancanganPenelitian
3.2.1.Menganalisis Degradasi lahan 3.2.2.Menganalisis status keberlanjutan
3.2.3.Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat 3.2.4. Membangun Model pengelolaan perkebunan inti rakyat
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
V.DEGRDASI LAHAN TERKAIT PENGELOLAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN
VI.EVALUASI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT
6.1. Status keberlanjutandimensi Ekologi 6.2. Status keberlanjutandimensi Ekonomi 6.3. Status keberlanjutandimensi Sosial 6.4. Status keberlanjutandimensi teknologi 6.5. Status keberlanjutandimensi kelembagaan 6.6. Status keberlanjutan Multidimensi 6.7. Nilai Stress dan koefisien diterminasi 6.8. Pengaruh galat
6.9. Faktor-faktor penentu (fakto dominan) terhadap keberlanjutan Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
VII.ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU KINERJA
MASYARAKAT DAN INSTITUSI LOKAL DALAM MENDUKUNG PERKEBUNAN INTI RAKYAT
97
VIII.MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT
105
8.1. Model Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit 108
8.1.1. Sub model social kependudukan 108
8.1.2. Sub model ekonomi 8.1.3. Sub model lingkungan 8.1.4. Sub model kelembagaan 8.2. Analisis Produktifitas petani plasma
8.2.1. Hubungan pemupukan dengan produktifitas antara inti dan Plasma
8.2.2. Produktifitas kebun suli dan kebun suni plasma pada tahun Tanam 1987,1988dan 1989
8.2.3. Analisis dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Petani
X. PENUTUP 10.1. Kesimpulan 10.2. S a r a n
DAFTAR PUSTAKA
131 131
132
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Penelitian dan metode hasil penelitian terkait Novelty 12 2. Karakteristik pengelolaan perkebunan kelapa sawit sistim PIR 33 3. Unit-unit usaha yang ada di PT.Perkebunan Nusantara VII 34 4. Tahun Tanam, luas areal dan jumlah petani kebun unit Sungai
Niru PT.Perkebunan Nusantara VII
36
5. TahunTanam, luas areal danjumlahpetanikebun unit Sungai Lengi
Plasma PT.Perkebunan Nusantara VII
36
6. Jenisdan model analisis tanah di laboratorium dan metode penerapannya
48
7
8
Kategori status keberlanjutan pengelolaan perkebunan intirakyat kelapa sawit berkelanjutan
Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian
52
60 9 Jumlah penduduk per kecamatan di lokasipenelitian 61 10 Jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja
selama 1 minggu di kabupaten Muara Enim tahun 2009
62
11 Kandungan C-Organik, N-Total, P dan K pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengankedalaman 0-20 cm
66
12 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 0-20 cm
68
13 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 20-40 cm
70
14 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 40-60 cm
71
15 Perbandingan hasil analisa tanah pada kedalaman 40-60 Cm pada bagian bawah, tengah dan atas Tahun tanam 1987
74
16 Atribut sensitive keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan
89
17 Nilai stress dan koefisien diterminasi rap insus kelapa sawit
pengelolaan perkebunan inti rakyat 90
18 Hasil analisis monte carlo untuk nilai rap-insus kelapa sawit pada selang kepercayaan 95 %
91
19 Indeks kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 2010-2040 107 20 Hasil Simulasi perkembangan hasil penjualan, biaya
produksidan benefit 2010-2040
109
21 Simulasi biaya konservasi lahan kebun dan pemeliharaan kebun 2010-2040
111
22 Simulasi perkembangan Kelompok tani dan Gapoktan 2010-2040
113
2010-2040
24 Hasil analisis kebutuhan actor/stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian 11
2. Pendekatan Sistem 18
3. Diagram input-output Model pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
20
4. Garis-besar pengembangan model dinamis 22
5. Diagram input-output system 22
6. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim
24
7 Lokasi penelitian kebun sungai Lengi plasma dan kebun sungai Niru Kabupaten MuaraEnim Propinsi Sumatera Selatan
46
8 . Ilustasi indeks keberlanjutan setiap dimensi 52
9 Eleman Proses Aplikasi Rapfish 53
10 Tahapan Analisis penelitian dengan pendekatan system 58 11 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit
dimensi ekologi
79
12 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skalaberkelanjutan 0-100
80
13 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dimensi ekonomi
81
14 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100
82
15 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dimensi sosial
83
16 Nilai sensitivitas atribut dimensi social yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100
84
17 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma dimensi teknologi
86
18 Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100
87
19 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma dimensi kelembagaan
88
20 Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-10
90
21
22
Diagram layang-layang indeks dan status kerberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan Koefisien pengaruh petani terhadap kinerja perkebunan inti rakyat kelapa sawit
94
99
23 T-Hitung pengaruh Pendukung keberhasilan Petani terhadap Kinerja
102
24 Causa loopmodel pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa Sawit
106
kelapa sawit
26 Skenario perkembangan penduduk dan tenaga kerja 108 27 Hasil simulasi kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 109 28 Hasil simulasi perkembangan kelompok tani dan Gapoktan tahun
2010-2040
110
29 Hasil simulasi hasil penjualan TBS, Biaya produksi dan benefit 111
30 Hasil simulasi biaya konservasi 112
31 Indeks pemeliharaankebun 2010-2040 113
32 Perkembangan lahan kebun 2010-2040 113
33 Perkembangan Kelompok Tani dan Gapoktan 2010-2040 115 34 Indeks Produktifitas Kelompok Tani dan gapoktan dari kebun
plasma
116
35 Pemupukan antara kebun inti dan kebun plasma tahun tanam
1987,1988dan 1989 117
36 Produktifitas kebun suli inti dan kebun suni plasma 118 37 Keuntungan petani plasma menggunakan pupuk sama dengan inti 120 38 Model Konseptual pengelolaan perkebunan inti rakyat Kelapa
sawit
Pengembangan perkebunan besar dikembangkan dalam bentuk pola
ke-mitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero)
dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah
memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk
Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan). Pola
kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan
kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode
pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan
dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang
menganggap bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit secara
besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Alih guna lahan (land
convention) dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit banyak dilaporkan telah
menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada jenis penggunaan lahan berupa lahan Di Indonesia terdapat tiga pilar perkebunan
kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan milik negara dan perkebunan
milik swasta. Seluruh perkebunan sawit di Indonesia tersebut memiliki luas
7,32 juta hektar dengan komposisi 43,8% merupakan areal perkebunan rakyat,
8,4%, perkebunan milik negara, dan 47,9% perkebunan milik swasta (Dirjenbun
2010). Sebesar 44,5% dari seluruh produksi CPO dunia berasal dari Indonesia,
menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, disusul Malaysia
41,3%, Nigeria 3,0%, Thailand 2,7%, Columbia 1,9% dan selebihnya 7.4%
diproduksi oleh negara Pantai Gading, Ekuador, dan Papua Nugini (Dirjenbun
2010). Devisa yang dihasilkan dari CPO sebesar USD 12,3 milyar yang sangat
signifikan untuk mendongkrak perekonomian nasional (Gapki 2010).
Pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia ini tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang berpihak pada rakyat pada akhir 1970an yang mendorong
pembukaan areal perkebunan di luar Pulau Jawa. Pembangunan industri kelapa
sawit semakin berkembang dengan diterapkannya pola Perkebunan Inti Rakyat
kritis dan semak belukar yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit justru akan
meningkatkan kualitas lingkungan terutama dari serapan karbon.
Secara umum, fenomena perubahan iklim ini dipicu oleh peristiwa
pemanasan global yang ditandai dengan kenaikan suhu baik di daratan, lautan, dan
di atmosfer. Studi mengenai perubahan suhu ini dilaksanakan dengan
membandingkan rata-rata suhu saat ini dengan suhu pada zaman dulu. Hasil studi
ini melaporkan bahwa telah terjadi kenaikan suhu rata-rata (udara di daratan dan
permukaan laut) sejak tahun 1861 hingga sekarang sebesar 0,6 ± 0,2 oC (IPCC, 2001). Pada kondisi normal, energi radiasi matahari yang diterima ke bumi
melalui atmosfer adalah seimbang dengan energi yang dipancarkan kembali ke
atmosfer. Energi radiasi ini sangat dibutuhkan oleh bumi untuk melangsungkan
siklus hidrologi, menghangatkan tanah dan udara. Energi radiasi dan makhluk
hidup yang ada di dalamnya untuk melangsungkan proses metabolisme seperti
proses fotosintesis tumbuhan berklorofil, proses enzymatic dan beberapa proses
metabolisme lain secara tidak langsung. Bagian atmosfer yang memegang peranan
sangat penting adalah keberadaan gas-gas seperti gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC-23), klorofluorokarbon (CFC-11), dan perfluorokarbon (CF4). Gas-gas ini mampu
menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari dan meneruskannya sebagai
gelombang pendek yang sangat dibutuhkan oleh bumi. Proses ini mirip dengan
proses hangatnya suhu di dalam rumah kaca sehingga disebut sebagai efek rumah
kaca (green house effect), sedangkan gas-gas tersebut disebut sebagai gas rumah
kaca (GRK/green house gases). Apabila di atmosfer tidak terdapat GRK yang
memiliki waktu eksis (life time) yang panjang tersebut, maka suhu bumi
diperkirakan lebih dingin 34o
Perusakan dan penebangan hutan akan berpengaruh negatif terhadap siklus
hidrologi wilayah. Dengan hilangnya tutupan lahan hutan menyebabkan tanah
dengan mudah tererosi sehingga kualitas tanah menurun yang ditandai dengan
peningkatan laju dekomposisi, hilangnya humus tanah, berkurangnya kandungan C dari suhu yang sekarang kita rasakan (Hairiah dan
Murdiyarso, 2007). Keadaan ini mulai berubah ketika konsentrasi GRK di
atmosfer meningkat sehingga akumulasi radiasi gelombang pendek juga
meningkat, diikuti dengan kenaikan suhu di atas ambang batas sehingga
bahan organik tanah, menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi tanah, dan
menurunnya kapasitas tanah memegang air (water holding capacity).
Peningkatan sedimen dan aliran permukaan (run off) akan menyebabkan
penurunan kualitas air permukaan lainnya seperti danau dan sungai. Lahan
pada saat dan setelah konversi hutan akan meningkat sensitifitasnya sehingga
setiap aktivitas yang dilakukan di atasnya akan berpengaruh terhadap lingkungan
dan aliran sungai (Connoly dan Pearson 2005).
Menurut Elias (1998), alih guna lahan hutan alam menjadi kebun kelapa
sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm yang terus
berlangsung hingga tanaman tersebut dewasa dan berkembang kanopinya.
Dalam kaitannya dengan siklus karbon, perkebunan kelapa sawit di daerah
tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon melebihi hutan. Dilaporkan
Lamade dan Setyo (2002), bahwa perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa
(kisaran umur 8-18 tahun) mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara
1198-2014 C/m2/th, lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di kepulauan hawai sebesar 519 C/m2/th atau hutan pegunungan merapi di Indonesia sebesar 844 C/m2
1. Tanah yang tererosi memiliki NPP (Net Primary Productivity) yang
rendah dibandingkan tanah yang tidak tererosi karena penggunaan input
pupuk dan irigasi yang lebih tinggi (Dick and Gregorich, 2003). Kualitas
tanah yang menurun disebabkan oleh penurunan efektifitas perakaran, /th. Perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi
besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Untuk menjamin
tingkat produktivitas lahan, kelestarian lingkungan, dan tanggung jawab sosial
masyarakat, maka pembangunan industri kelapa sawit harus dilaksanakan dengan
tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.
Degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan kualitas tanah
selanjutnya akan menurunkan tingkat keberlanjutan pertanian. Degradasi lahan
terutama di Indonesia secara teknis lebih disebabkan oleh erosi tanah (Subagyono
et al. 2003; Firman 2003). Hipotesis bahwa kehilangan C yang dominan
bersumber dari C-org tanah dapat menyebabkan degradasi lahan adalah sebagai
penurunan ketersediaan air dan kapasitas retensi hara, ketidakseimbangan
air dan hara, dan kerusakan siklus hidrologi.
2. Erosi menyebabkan hancurnya agregat tanah dan dispersi tanah, dan
menyingkap bahan organik terhadap akses mineralisasi akibat proses yang
melibatkan mikrob dan enzim. Bahan organik pada sedimen hasil erosi
mudah temineralisasi dan sekitar 20-30% teremisi ke atmosfer (Jacinthe
and Lal, 2001).
Pembalikan tanah akibat pengaruh iklim dan pengelolaan tanah pada lapis olah
(climatic perturbation) akan menyingkap bahan organik pada kedalaman 20 cm
sehingga mudah termineralisasi. Degradasi tanah adalah suatu proses yang
menurunkan kemampuan aktual dan atau potensial tanah memproduksi benda atau
jasa (kuantitatif dan atau kualitatif). Degradasi tanah tidak terjadi terus menerus,
proses tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu relatif singkat antara dua
keadaan keseimbangan ekologi (Riquier 1977).
Penerapan konservasi tanah dan air yang baik dapat memperkecil kehilangan
tanah akibat erosi, pengendalian secara vegetatif dan sipil teknis seperti
waterways, strip penyangga, strip cropping dan pembangunan dam dapat
dilakukan untuk mengurangi erosi tanah dan laju aliran permukaan (United State
Society of Agronomy 2005).
Pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani/rakyat dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu: petani plasma dan petani mandiri. Petani plasma bergabung
dalam sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan perusahaan inti sehingga
lebih terorganisir; sedangkan petani mandiri mengelola lahan dan memasarkan
hasil panen secara mandiri sesuai dengan kemampuannya. Secara umum,
pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani plasma akan lebih baik
dibandingkan petani mandiri karena adanya kerjasama dengan perusahaan inti.
Dalam sistim PIR perusahaan perkebunan besar sebagai inti memiliki tugas
untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Petani plasma
harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui
perusahaan inti. Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan pada pasal 11 menyebutkan bahwa setiap perusahaan
perkebunan yang memiliki IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membangun
yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat dapat
dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil dan pelaksanan
pembangunannya dilakukan secara bersamaan dengan lahan milik perusahaan.
Menurut Ahmad (1998), latar belakang dan motivasi berkembangnya proyek PIR
di Indonesia, karena beberapa faktor, antara lain: (1).Kondisi petani pada
perkebunan rakyat yang miskin. (2). Adanya “ Enclave” pada perkebunan besar
milik negara dan (3). Pertimbangan untuk kepentingan makro.
PIR-Trans merupakan pengembangan dari pola PIR sebelumnya.
Program ini dibuat untuk menyelaraskan antara program pengembangan
perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh
pemerintah. Skema PIR merupakan bagian penting dari program transmigrasi
untuk memukimkan kembali rakyat miskin dan tanpa lahan dari Jawa, Bali dan
Sumatera ke pulau-pulau yang kurang padat penduduknya, khususnya
Kalimantan. Berdasarkan skema ini, maka sebuah perusahaan terkait
bekerjasama dengan pemerintah mengembangkan plasma di atas lahan seluas 2
hektar bagi masing-masing pemukim di sekitar perkebunan inti rakyat
(Vermeulen dan Goad 2006).
Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan cara
sederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkan
pendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami berbagai
penyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin 2005).
Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem
adalah dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu
permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh.
Pemecahan masalah malalui pendekatan sistem dilakukan antara lain melalui
tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.model tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis,
perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena
tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time constant).
Sebaliknya model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi
untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et al.
1.2. Perumusan Masalah
Pada umumnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha
budidaya tanaman dapat berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas
air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat
berkurangnya bahan organik tanah dan penggunaan pestisida. Rona lingkungan
yang turut terpengaruh dapat berupa perubahan kondisi ekosistem, hidrologi,
bentang alam, dan karakter penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan.
Hasil Evaluasi dan penelitian Balitbang Pertanian (2010), pada pola PIR
kerjasama antara inti dengan plasma tidak berjalan dengan baik. Hubungan
kerja perusahaan inti dan koperasi bukan merupakan kesepakatan bersama atas
pondasi kebersamaan ekonomi. Produktivitas kebun plasma jauh dibawah
kebun inti, waktu konversi yang selalu ditunda, dan penetapan harga dan
pembayaran hasil TBS (Tandan Buah Segar) tidak transparan. Pekebun
umumnya dalam posisi tawar yang lemah, sehingga harga, rendemen dan
mutu TBS ditentukan oleh perusahaan inti.
Kendala yang ditimbulkan dari perkembangan pola PIR ini berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, baik menyangkut masalah sosial
ekonomi, teknis, kelembagaan, dan aspek lingkungan (Hasibuan 2005). Adapun
beberapa isu pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah:
1. Degradasi lahan yang terjadi akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang
belum tepat.
2. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk
mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi menjadi rendah.
3. Posisi tawar-menawar (bargaining position) petani dalam penentuan
harga TBS masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani
masih dibawah tingkat harga wajar.
4. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) non inti
yang memicu ketidakharmonisan mekanisme kinerja dan hubungan
petani plasma dengan perusahaan inti.
5. Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD, dan
petani plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga
6. Lemahnya kerjasama antar institusi yang terkait baik pada tingkat
kabupaten, kecamatan, dan desa dalam memberdayakan sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia.
Berdasarkan pertimbangan permasalahan di atas maka penelitian ini
dimaksudkan untuk menyusun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa
sawit berkelanjutan (studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan).
Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah:
1. Sejauh mana pembangunan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berpotensi
menyebabkan terjadinya degradasi lahan?
2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa
sawit?
3. Faktor-faktor apa saja penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung
program perkebunan inti rakyat kelapa sawit?
4. Bagaimana model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit
berkelanjutan?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model
pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu
memenuhi aspek biofisik, ekonomi, dan sosial.
Sedangkan tujuan spesifik adalah :
1. Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat
kelapa sawit.
2. Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat
kelapa sawit.
3. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam
mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit.
4. Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit
ber-kelanjutan.
1.4. Kerangka Pemikiran
Menurut Wigena (2009), bahwa model pengelolaan kebun kelapa sawit
memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial dengan indikator produksi TBS
rata-rata 25,83 ton/ha/th, diiringi dengan rendahnya degradasi lahan dan
rendahnya penurunan daya dukung lingkungan, masing-masing sebesar
0,03-0,08% dan 0,02-0,01%. Pendapatan petani rata-rata sebesar Rp 22.859.950,-
/ha/th dan pendapatan masyarakat sekitar kebun rata-rata sebesar Rp
16.845,025,-/ha/th yang melebihi tingkat upah minimum regional provinsi.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia tercermin dari tingkat pendidikan
yang disetarakan dengan pendapatan yang diperoleh sebagai tenaga kerja di
perkebunan kelapa sawit mencapai Rp 55.000.000,-/th.
Menurut Iswati (2004), pola PIR-Trans kelapa sawit merupakan
pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menjadi tanggung
jawab petani. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut diperlukan upaya
untuk merubah perilaku dan memotivasi petani melalui suatu organisasi
petani yaitu kelompok tani dan KUD. Tetapi kemampuan kelompok tani masih
relatif rendah dan peranan KUD belum efektif, sehingga menyebabkan petani
plasma tidak mampu mengelola kebunnya secara berkelanjutan. Hal ini
mengakibatkan produksi rendah, tanah mengalami degradasi sifat kimia, fisika,
biologi tanah, dan pada akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan petani.
Oleh sebab itu pengelolaan kebun yang kurang memperhatikan masalah
lingkungan terutama sumber daya tanah dan air berkontribusi besar terhadap
penurunan kualitas lingkungan.
Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya
oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal ini antara lain dapat
ditelusuri dari beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang
kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah
dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola
perusahaan inti rakyat (PIR), seperti: PIR-perkebunan, PIR-perunggasan, tambak
inti rakyat, tebu inti rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara
prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan untuk dapat berlangsung atas dasar
norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian
Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha
pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha,
meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala usaha, serta dalam
rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra
yang mandiri. Dalam sistem agribisnis di Indonesia, terdapat enam bentuk
kemitraan antara petani dengan pengusaha besar (Sumardjo et al. 2004) yaitu: (1)
Pola Kemitraan Inti Plasma, (2) Pola Kemitraan Subkontrak, (3) Pola Kemitraan
Dagang Umum, (4) Pola Kemitraan Keagenan, (5) Pola Kemitraan Kerjasama
Operasional Agribisnis, dan (6) Pola Kemitraan Usaha Pertanian.
Wigena (2009), interaksi yang sinergis dari aspek lingkungan, ekonomi dan
sosial mampu menciptakan kondisi pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan
yang ciri-cirinya dapat dilihat dari tiga aspek.yaitu: (1) ekologis berupa
terpeliharanya kualitas lingkungan atau terkendalinya tingkat pencemaran
lingkungan sehingga kualitas hidup petani semakin membaik, (2) ekonomi
berupa meningkatnya pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup
petani yang mengarah pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, (3) sosial yang
meliputi (a) manusiawi dimana gejolak sosial seperti tingkat kriminalitas dan
konflik menurun, kinerja lembaga sosial desa membaik, produktivitas tenaga kerja
meningkat dan lain-lain, (b) berkeadilan dimana semua stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan merasakan manfaat dari keberadaan kebun sawit
tersebut, dan (c) bersifat fleksibel atau kondisi luwes yang menggambarkan
bahwa apa yang sudah dicapai tersebut tidak mudah goyah melainkan punya
toleransi tinggi dan mampu bertahan terhadap perubahan kondisi, baik kondisi
eksternal maupun internal yang dinamis. Penerapan pendekatan sistem dalam
pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pada hakekatnya untuk
harmonisasi dari tiga aspek, yakni aspek ekonomi, aspek biofisik ekologi dan
aspek sosial budaya, sehingga indikator pengelolaan perkebunan kelapa sawit
tidak hanya dilihat dari kelayakan ekonomi dan tidak merusak lingkungan, tetapi
juga harus dapat diterima oleh masyarakat sekitar (economically feasible,
ecologically sustainable dan sosiologically acceptable). Hal ini sejalan dengan
konsep triple bottom line yakni pembangunan tidak hanya dilihat dari nilai
lingkungan agar pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit menjadi
berkelanjutan.
Kerangka pemikiran penelitian disajikan dalam ilustrasi pada Gambar 1.
1.5.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain, sebagai
berikut:
1. Masyarakat memahami degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti
rakyat kelapa sawit dan berupaya memperbaikinya.
2. Memberikan keuntungan bagi bagi masyarakat karena status pengelolaan
perkebunan inti rakyat kelapa sawit akan berlanjut.
3. Memberikan kemudahan bagi PT.Perkebunan Nusantara VII karena
faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program
perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat di ketahui.
4. Memberikan dukungan bagi stakeholders dalam membangun model
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Strategi Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit
Rusaknya Fungsi Ekologis Lemahnya Regulasi Lemahnya Sumber Daya Manusia
Pendekatan Sistem:
Integrasi kondisi ekologi, ekonomi, sosial
Sub Sistem Ekologi:
Kelembagaan yang tangguh Pendapatan meningkat Kebijakan yang berkeadilan
1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty)
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah
dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian dan Metode serta Hasil Penelitian Terkait Novelty
No. Peneliti Metode Hasil Penelitian
1. Erningpraja
4. Iswati (2004) Pengelolaan kebun
plasma kelapa sawit yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem.
Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan merupakan fungsi dari jenis tanah (T), kemiringan lereng (L), kemampuan petani (M), pendapatan petani (E) dan budaya (B).
Fungsi tersebut dirumuskan sebagai Pl = f (T,L,M,E,B) aspek fisik, sosial dan ekonomi, diperlukan model perkebunan berkelanjutan dengan konsep dan kriteria sesuai dengan isu-isu yang berkembang saat ini yang tertuang dalam The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Untuk masa mendatang, konsep dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu
pada RSPO karena sudah
mengakumulasikan aspek fisik, sosial
Pengelolaan lingkungan perkebunan inti rakyat kelapa sawit sebagai
suatu sumberdaya lahan untuk kepentingan produksi hasil perkebunan kelapa
sawit dengan pendekatan holistik semakin penting untuk dilakukan. Hal ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: (1) pengelolaan perkebunan
inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan, sangat perlu untuk dilanjutkan sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat; (2) pengelolaan
lingkungan perkebunan kelapa sawit akan melibatkan banyak pemangku
kepentingan; dan (3) setiap wilayah mempunyai karakteristik berbeda-beda yang
memerlukan pendekatan holistik dan terpadu sesuai dengan kondisi
sumberdaya pada setiap daerah (Mitchell et al. 2003).
Adapun kebaruan dari penelitian saya yang berjudul “Model Pengelolaan
Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan”, adalah adanya analisis
degradasi lahan dengan menggunakan sampel berdasarkan tahun tanam pada
berbagai topografi dan berbagai kedalaman serta menganalisis kelembagaan
petani menjadi faktor penting untuk keberlanjutan program Perkebunan Inti
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat. 2.1.1. Model
Definisi model adalah sebuahrepresentasidarisebuahsistem yang
me-mungkinkanuntukinvestigasisifatdarisistemdan, dalambeberapakasus,
predik-sihasil di masadepan. SelanjutnyaDe Wit (1982) mendefinisikan model simulasi
sebagai seni dalam membangun model matematik untuk mengkaji sifat-sifat di
dalam sistem. Pada dasarnya tujuan utama penyusunan atau pembuatan model
yang bersifat mekanistik bukan pada ketepatan model, melainkan bagaimana
model tersebut dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem
yang dimodelkan.
Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan
carasederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan
menerapkanpendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami
berbagaipenyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin
2005).SelanjutnyaEriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan
sistem adalah dapatmengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu
permasalahan dandapat mengarahkan pemecahannya secara
menyeluruh.Pemecahan masalah melalui pendekatan sistem dilakukan antara
lainmelalui tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.Model tersebut
dapat
2.1.2. Sistem
diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model
statis,perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena
tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time
constant ).Model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi
untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et
al.2001).
Marimin (2005) menyatakan bahwa sistem adalah suatu kesatuan usaha yang
terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai
input, proses, output suatu sistem dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu
sistem analisis, sistem desain, dan sistem kontrol. Pendekatan sistem adalah suatu
pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik
tolak analisis. Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa sistem merupakan
totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional
serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu,setiap
pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik
yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Metodologi sistem
pada dasarnya melalui enam tahap analisis sebelum sintesa (rekayasa), meliputi:
(1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasimasalah, (4)
pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik,sosial dan
politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial).
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan
Park 1979 dalam Eriyatno 1999). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi
dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono 1983). Sistem dinamik
memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu.
Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan
ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu.
Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada
nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : (1)
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktor
yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3)
probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan
maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan
sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal
oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam
penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih
ditekankan pada ” apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas
maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat Sistem
dinamis adalah suatu metode analisis masalah yang melibatkanaspek waktu
dioperasikan.Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang
sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian
permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.
2.1.3. Tahapan Pendekatan Sistem
Masalah pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus melibatkan
banyak pihak yaitu masyarakat, petani plasma, PT.Perkebunan Nusantara VII,
pemerintah, dinas perkebunan, badan pertanahan, dinas koperasi, dinas pekerjaan
umum, dan LSM. Karena perkebunan kelapa sawit merupakan suatu sistem yang
terdiri dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan,
sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan
dan keberlanjutan.
Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri
dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan
sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi. Pelaksanaan semua
tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno
1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu
pendekatan sistem yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : (1) dapat
menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan
(2) adanya umpan balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2001 dan Kholil
2005). Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft
ware tool)komputer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak Powersim dapat
dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat tren
(pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga
perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang
diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : (a)
perbaikan struktural, yakni dengan melakukan penyempurnaan model
(menambah/mengurangi), dan (b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan
penyempurnaan unsur – unsur sistem. Ada dua pertimbangan dasar yang harus
fungsional), yaitu: (a) feasibility dan (b) desirability. Feasibility menekankan
bahwa perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata
(real world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar
dapat didukung oleh semua unsur dan sumber daya.
2.1.4. Analisis Kebutuhan
Analiss kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
pengembangan sistem model. Analisis kebutuhan masuk dalam rangkaian
pendekatan sistem disajikan pada Gambar 2.
Gambar2. Pendekatan Sistem (Hartisari 2007)
Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap
pelaku (aktor) yang terlibat dalam perkebunan inti rakyat kelapa sawit
berkelanjutan berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat..
Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan yang terkait dengan
pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit : (a) kebutuhan masing – masing
individu (individual needs) yang dapat mengarah pada conflict of interest, dan (b)
kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common
problem)
Pemodelan Sistem Analisis Kebutuhan
Mulai
Formulasi Masalah
Identifikasi Sistem
A Selesai
Verifikasi dan Validasi
Implementasi
2.1.5. Formulasi Masalah
Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of
interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam
mencapai tujuan system (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut,
maka dalam upaya pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, ada
permasalahan yang mengancam kelangsungan perkebunan kelapa sawit pola
inti-plasma adalah:
1. Rusaknya fungsi ekologis:
Rusaknya fungsi ekologis perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat
disebabkan oleh meningkatnya pengelolaan kesuburan tanah, kesesuaian
lahan, pembakaran sisa tanaman, pengendalian hama penyakit menggunakan
racun, belum adanya daur ulang bahan organik, pola tanam monocropping.
Hal ini menyebabkan rusaknya fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit
sebagai: (a) Sumber plasma nuftah; (b) Tempat berlangsungnya siklus hidup
jenis flora/fauna; (c)Tempat hidup biota air dan darat; (d) Pengendali banjir;
(e) Rekreasi/wisata; (f) Tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari
air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah
tanah; (g)memelihara iklim mikro, dimana keberadaan ekosistem kelapa sawit
dapat mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; (h) sarana
tranportasi
2. Lemahnya regulasi:
Lemahnya regulasi dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit
disebabkan oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas
kerusakan lingkungan dan perambahan hutan di sekitar perkebunan terus
berlangsung.
3. Lemahnya sumberdaya manusia
Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap pengrusakan hutan dan
pencemaran di sekitar perkebunan kelapa sawit disebabkan oleh: sumber daya
manusia yang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya pelestarian
lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial
2.1.6. Identifikasi sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari
kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam
rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah
untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling
mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Menurut
Marimin (2004), identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram
sebab akibat dan diagram input output (black box), seperti terlihat pada gambar 3.
Diagram sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting
yang diturunkan dari identifikasi kebutuhan dan masalah yang telah
diformulasikan pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat
interaksi antar komponen sistem terkait.
Gambar 3. Diagram input output model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan • Perkebunan inti rakyat kelapa
sawit berkelanjutan
• Pembukaan areal memenuhi standar
b
INPUT TERKENDALI
• Potensi SDM (Petani,Tenaga kerja)
• Pengelolaan penanaman kelapa sawit
• Sistem dan kapasitas kelembagaan
• Jumlah Kelompok tani
• Komitmen dukungan PEMDA
2.1.7.Sistem Dinamik
Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun
kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan
kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan
valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat merepresentasikan
suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan
proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti empiris akan
meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model
sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai
berikut:
(1) Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam
model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.
(2) Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model
dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model;
(3) Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model
terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.
Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar
terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Tahap seleksi konsep dan variabel
Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi
cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka
berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif
map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang
sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan
mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan
parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan
tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.
2. Konstruksi model (tahap pengembangan model)
Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model
Konsep sistem Permasalahan
Diagram sebab akibat
Konstruksi model
Validasi
Simulasi
Analisis kebijakan OK ?
Tidak
Selesai
windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi
model simulasi.
a. Tahap analisis sensivitas
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh
nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi
model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh
dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada
variabel kunci.
b. Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus
terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk
mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Dari
tahapan pengembangan model dinamik, dapat digambarkan garis besarnya
seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Garis besar pengembangan model dinamik
Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta
manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan
terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain
sistem pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan (Gambar
5).
Gambar 5. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007)
2.1.8. Konsep Sistem Dinamik
Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk
mengilustrasikan sistim dinamika yang kompleks serta menganalisis
implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai
suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi
dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Model sistem dinamik dapat
memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap
mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan.
Sistem dinamik dikenal variabel level, variabel rate, dan variabel auxiliary.
Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan
menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level
adalah:
Init LEV = kondisi awal; flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM)
dengan: LEV = level (unit); RM = rate (laju) masukan;
RK = rate (laju) keluaran; dt = interval waktu simulasi (satuan waktu)
Init = initial, nilai awal; flow = aliran untuk variabel level.
Proses
UMPAN BALIK
Input Lingkungan Input Tak Terkontrol
Input Terkontrol
Output Yang Diinginkan
Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya
suatu level.Rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar.Rate
masuk akan menambah akumulasi di dalam suatulevel dan dilambangkan dengan
katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan
katub yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbul awan menunjukkan
sourcedan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level. Aliran dalam
powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas.Aliran ini merupakan
penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem.Jika aliran informasi
keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat
di dalam level.
Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan
dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang
membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan
dengan suatu lingkaran penuh. Simbul belah ketupat dalam powersim
menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses
simulasi (Gambar 6).
Gambar 6. Diagram alir model sistem dinamikmenggunakan program powersim
2.1.9. Pola – Pola Dasar Sistem Dinamik
Kim dan Anderson (1998), mengemukakan bahwa secara empiris ada 8 pola
dasar sistem dinamis : (1) Perbaikan yang gagal (Fixes that Fail), (2)Pemindahan
yang berubah (Drifting Goals),(5) Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and
underinvestment),(6) Sukses Bagi yang berhasil (Sucess to the
Succesful),(7)Eskalasi (Escalation), dan (8)Kesulitan Bersama (Tragedy of the
Commons). Pola – pola dasar sistem dinamik atau pola lingkaran dinamika sistem
adalah terdiri atas lingkaran umpan balik. Selanjutnya, gabungan lingkaran umpan
balik membuat kerumitan yang tidak dapat dimengerti, penyederhanaan terhadap
kerumitan tersebut dapat dikenali melalui pola lingkaran umpan balik. Sejauh ini
telah dapat dikenali tiga kelompok pola, yaitu pengelolaan sistem, pemecahan
masalah, dan kecenderungan pelaku.
Kelompok pertama adalah pola – pola pengelolaan sistem terdiri dari :
1. Tindakan perbaikan yang tertunda,
2. Penyesuaian tujuan,
3. Batas pertumbuhan,
4. Pertumbuan dan kekurangan modal.
Kelompok pola kedua adalah pola – pola pemecahan masalah yang terdiri dari:
1. Perbaikan yang gagal
2. Pergeseran beban.
Kelompok pola ketiga adalah pola – pola kecenderungan pelaku terdiri dari :
1. Sukses bagi yang berhasil,
2. Percepatan, dan
3. Kesulitan bersama.
2.1.10. Analisis Kebijakan
Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi
model (Muhamadi 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan
kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan
alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk
mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara
mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan
alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif
kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem
Kebijakan yang dilakukan PT.Perkebunan Nusantara VII dalam
pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit masih bersifat parsial berdasarkan
kondisi kebun setempat, sehingga menyebabkan managemen kebun tidak berani
melakukan terobosan, karena takut disalahkan suatu saat kelak. Sebaiknya
ditetapkan kebijakan di tingkat Direksi terhadap model pengelolaan perkebunan inti
rakyat kelapa sawit terhadap suatu kebun berdasarkan kondisi dimana kebun tersebut
berada.
2.2. Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan adalah
suatu pendekatan pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan dua atau
lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara
terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit secara
berkelanjutan. Keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral,
bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa
perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau
instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration), dan antar
tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi,
sampai tingkat pusat (vertical integration).Keterpaduan dari sudut pandang
keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit
hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan antar disiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,
teknik, sosiologi, hukum, dan ilmu lainnya yang relevan. Hal ini diperlukan
karena pembangunan kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang
terjalin secara kompleks dan dinamis serta pada dasarnya tersusun dari berbagai
macam ekosistem (hutan, kelapa sawit, tanah dan lainnya) yang satu sama lain
saling terkait, tidak berdiri sendiri.
Menurut Manuwoto (2007), kebijakan yang terkait pembangunan
berkelanjutan harus memenuhi kriteria dan pokok-pokok pembangunan
berkelanjutan. Kriteria pembangunan berkelanjutan tersebut adalah kesetaraan
valuation) (Comhar 2007).Sementara pokok-pokok pembangunan berkelanjutan
terdiri dari tujuh pokok yang dijabarkan ke dalam 12 prinsip, yaitu :
1. Pemenuhan kebutuhan manusia melalui penggunaan sumber daya yang efisien;
a. Minimalisasi penggunaan sumber daya tak terbarukan;
b. Minimalisasi penggunaan bahan pencemar/berbahaya dan minimalisasi
limbah, serta penanganannya secara ramah lingkungan;
2. Kesetaraan antar generasi;
a. Penggunaan sumber daya yang sesuai dengan kapasitas untuk regenerasi;
b. Perbaikan dan perawatan kualitas sumber daya tanah dan air;
3. Penghormatan terhadap integritas lingkungan dan keanekaragaman hayati;
a. Perbaikan dan perawatan kehidupan liar, habitat, dan spesies;
4. Kesetaraan antar negara dan wilayah;
a. Perlindungan terhadap udara dan atmosfir, serta minimalisasi dampak
aktifitas manusia terhadap iklim;
b. Pembangunan potensi sumber daya di satu wilayah tidak mengganggu
kemampuan potensi sumber daya wilayah lain;
5. Kesetaraan sosial;
a.Upaya memajukan kekhasan sosial guna meningkatkan kualitas
kehidupan secara keseluruhan;
b.Pembangunan berkelanjutan yang bergantung pada kerjasama dan
persetujuan antar daerah;
6. Penghormatan terhadap keragaman/warisan budaya;
a.Perbaikan dan perawatan kualitas lanskap, warisan lingkungan buatan
manusiayangbersejarah, serta budaya;
7. Pengambilan keputusan yang baik;
a.Penyampaian pengambilan keputusan hingga ke tingkat yang tepat;
b.Peran serta semua pihak pada semua tingkat pengambilan keputusan.
Syarat untuk dapat tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya
fisik dan pengendalian kerusakan ekosistem saja, melainkan juga dengan adanya
pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar-negara dan antara
kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Pembangunan