• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (Case Study In Pt Perkebunan Nusantara Vii, Muara Enim District, South Sumatra)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (Case Study In Pt Perkebunan Nusantara Vii, Muara Enim District, South Sumatra)"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT

KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,

Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)

RUSLAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan: Studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRACT

RUSLAN. Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (case study in PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra). Under direction of SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, and MANUWOTO.

A primary issue in the management of oil palm plantations own by both nucleus smallholder and independent farmers currently is still sectoral and not based on the consideration of multi-sectoral and multi-dimensional. This causes multiple losses such as the loss of income’s farmers, environmental deterioration, and social problem. The objective of this research is to design a management model for sustainable nucleus smallholder of oil palm which meet aspects of biophysical (planet), economic (profit), and social (people). This research was conducted at PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra Province, where located between 4°-6° south longitude and 104°-106° east latitude, in July 2011 to September 2012. The result of this analysis indicate that soil of land use of oil palm plantations contain C-org less than the forest soils, especially in the surface layer (0-20 cm). This indicates the occurrence of land degradation at the sites caused by erosion mostly at the surface layer of soil. Sustainability analysis of oil palm plantation showed that the economic dimension has the highest sustainability index of 88.97, followed by social index of 81.02, technological index of 69.17, ecological index of 68.21, and the the lowest is 30.71 for institutions index. Result of this analysis was also revealed that sustainability of plantation and motivation of employees are determined by the company support i.e. PT. Nusantara Plantation VII. Based on the multi-dimensional index of sustainable nucleus-plasma oil palm plantation was 67.67 meaning that is quite continuous. Model development shows that the implementation of soil conservation brings a consequences of increasing outcome every year. In the year 2010 was allocated IDR 1,801,271,159.73 and predicted to remain increase to IDR 4,384,575,338.50 in year 2040. If farmers follow the fertilization protocols used by nucleus smallholder, it will increase profits to IDR 7,446,289, - per hectare.

(5)

RINGKASAN

RUSLAN. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, dan MANUWOTO.

Di Indonesia ada tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta dengan total luas areal tahun 2005 luas kebun kelapa sawit 5.445 ribu hektar, Pulau Sumatera mendominasi ke tiga jenis pengusahaan, sedangkan Pulau Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Meskipun memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional, pembangunan agribisnis kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga menjamin kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial masyarakat sekitar, serta mampu menghindarkan tindakan marjinalisasi. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat di pertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi (Sabiham 2005).

Permasalahan pokok dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti dan plasma hingga saat ini adalah masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda berupa hilangnya pendapatan petani, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek biofisik (planet), ekonomi (profit), dan sosial (people). Sedangkan tujuan spesifik adalah: 1) Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 2) Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 3) Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit, dan 4). Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di PT Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis terletak antara 4°- 6 ° Lintang Selatan dan antara 104° - 106° Bujur Timur.Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 – September 2012. Analisis degradasi lahan di kebun kelapa sawit dilakukan berdasarkan perubahan kandungan C-org terhadap hutan. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm dan 40-60 cm pada lereng bagian atas, tengah dan bawah, selanjutnya dianalisis kandungan C-org di laboratorium.

(6)

(buruk/tidak berkelanjutan), 25,01-50,00 (kurang/kurang berkelanjutan), 50,01-75,00 (cukup/cukup berkelanjutan), dan 75,01-100,00 (baik/sangat berkelanjutan).

Kinerja masyarakat (Yi) merupakan variabel yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor dinamis (Xij). Analisis data yang dapat digunakan dalam menduga pengaruh faktor-faktor alami dan manusia terhadap model pengeleloaan kebun kelapa sawit pola inti-plasma dengan pendekatan SEM (Structural Equation Model) yaitu LISREL (Linear Structural Relationship). Pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan ini menggunakan metode pendekatan sistem, baik pendekatan Hard System Methodology (HSM), maupun Soft Systems Methodology (SSM). HSM akan terdiri dari berbagai metode pengukuran, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang berkaitan dengan aspek geofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, serta simulasi sistem dinamik. Sementara SSM difokuskan pada legal review, serta analisis pendapat pakar (expert survey) dan stakeholders yang berkaitan dengan restriksi, peluang, serta strategi, dan pemilihan alternatif dalam pengelolaan kelapa sawit pola inti-plasma.

Hasil analisa degradasi lahan menunjukkan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma memiliki kandungan C-org yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah hutan terutama pada lapisan permukaan (0-20 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi lahan di lokasi penelitian yang disebabkan oleh erosi pada lapisan permukaan tanah. Pada tanah lapisan bawah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas. Hasil analisa keberlanjutan perkebunan kelapa sawit menunjukkan dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi yaitu 88,97, kemudian disusul sosial dengan nilai indeks 81,02, dimensi teknologi dengan nilai indeks 69,17, dimensi ekologi dengan nilai indeks 68,21, dan indeks yang paling rendah adalah kelembagaan sebesar 30,71. Ada sepuluh atribut utama atau faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma, yaitu: 1). pekerja, 2). pupuk rekomendasi, 3). waktu dan cara pemupukan, 4). produksi kelapa sawit, 5). aksesibilitas perbankan, 6). pengolahan tanah, 7). jarak tanam, 8). pemanfaatan skim pelayanan pembiayaan, 9). jumlah mata air, dan 10). kelompok tani. Indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma adalah 67,67 artinya status keberlanjutannya adalah cukup berlanjut. Hasil analisa penentu kinerja masyarakat menunjukkan bahwa motivasi karyawan sangat ditentukan oleh dukungan PT. Perkebunan Nusantara VII (koefisien 0,68 dengan t-hitung 14,48). PT.Perkebunan Nusantara VII juga sangat menentukan keberlanjutan (koefisien 0,08 dengan nilai t-hitung 3,42). Dari hasil pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pola berkelanjutan ini menunjukkan bahwa dengan penerapan upaya konservasi menimbulkan konsekuensi biaya yang selalu meningkat setiap tahun. Pada tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp 1.801.271.159,73 dan terus meningkat menjadi Rp 4.384.575.338,50 pada tahun 2040. Jika petani plasma mengikuti pola pemupukan inti akan meningkatkan keuntungan hingga Rp 7.446.289,- setiap hektarnya.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT

KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,

Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan rahmat dan nikmatnya dalam penyelesaian disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan pola Inti-Plasma (Studi kasus di PT.Perkebunan Nusantara VII Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dengan bimbingan, peran serta dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai ketua komisi pembimbing, Bpk. Prof .Dr.Ir.Sumardjo, MS dan Bpk.Dr.Ir.Manuwoto,MS sebagai anggota komisi pembimbing. Dan juga diucapkan terimakasih kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS selaku ketua program studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dan Bpk.Dr.Ir.Widiatmaka, M.Sc selaku sekretaris program studi, serta diucapkan terimakasih juga disampaikan kepada Bpk/Ibu Dosen pengajar mata kuliah selama penulis mengikuti kuliah di PS PSL IPB dan Istri saya tercinta Dr.Ir.Reny Herawati, MP dan anak-anak Rully Restiana, SS, Reza Rustandi, Rifqi Padlurahman serta RiqqahSalsabila yang telah memberikan suport dan do’anya serta teman-teman angkatan 2009 yang telah membantu terselesaikannya disertasi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu pada tanggal 12 November 1963, dan merupakan anak pertana dari empat bersaudara dari ayah Japri (Alm.) dan ibu Abaniah Suri. Penulis menikah dengan Reny Herawati pada tahun 1989 dan dikaruniai empat orang putra putri bernama Rully Restiana, Reza Rustandi, Rifqi Fadhlurahman, dan Riqqah Salsabila.

Penulis menyelesaikan SD pada tahun 1976, SMP pada tahun 1980, dan SMA pada tahun 1983 di Curup. Pada tahun 1988 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan S1 jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas terbuka pada tahun 1996. Tahun 2005 Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Administrasi Publik pada bidang ilmu Kebijakan Publik jurusan Pemerintah Daerah dan pada tahun yang sama Program Pascasarjana STIA LAN RI di Jakarta. Sejak tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor Program Studi PSL dan Sumber Daya Alam Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(13)

DAFTAR ISI

2.1.ModelPengelolaan Perkebunan Inti Rakyat 15

2.1.1. Model 15

2.2.Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat KelapaSawitBerkelanjutan.. 2.2.1. AspekEkonomi

2.2.2. AspekLingkunganHidup

24 27 28

2.3.Karakteristik Pola PIRBUN 31

2.4.PT.Perkebunan Nusantara VII 34

2.5.Kelembagaan Petani 39 3.2.RancanganPenelitian

3.2.1.Menganalisis Degradasi lahan 3.2.2.Menganalisis status keberlanjutan

3.2.3.Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat 3.2.4. Membangun Model pengelolaan perkebunan inti rakyat

(14)

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V.DEGRDASI LAHAN TERKAIT PENGELOLAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

VI.EVALUASI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

6.1. Status keberlanjutandimensi Ekologi 6.2. Status keberlanjutandimensi Ekonomi 6.3. Status keberlanjutandimensi Sosial 6.4. Status keberlanjutandimensi teknologi 6.5. Status keberlanjutandimensi kelembagaan 6.6. Status keberlanjutan Multidimensi 6.7. Nilai Stress dan koefisien diterminasi 6.8. Pengaruh galat

6.9. Faktor-faktor penentu (fakto dominan) terhadap keberlanjutan Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

VII.ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU KINERJA

MASYARAKAT DAN INSTITUSI LOKAL DALAM MENDUKUNG PERKEBUNAN INTI RAKYAT

97

VIII.MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

105

8.1. Model Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit 108

8.1.1. Sub model social kependudukan 108

8.1.2. Sub model ekonomi 8.1.3. Sub model lingkungan 8.1.4. Sub model kelembagaan 8.2. Analisis Produktifitas petani plasma

8.2.1. Hubungan pemupukan dengan produktifitas antara inti dan Plasma

8.2.2. Produktifitas kebun suli dan kebun suni plasma pada tahun Tanam 1987,1988dan 1989

8.2.3. Analisis dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Petani

(15)

X. PENUTUP 10.1. Kesimpulan 10.2. S a r a n

DAFTAR PUSTAKA

131 131

132

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Penelitian dan metode hasil penelitian terkait Novelty 12 2. Karakteristik pengelolaan perkebunan kelapa sawit sistim PIR 33 3. Unit-unit usaha yang ada di PT.Perkebunan Nusantara VII 34 4. Tahun Tanam, luas areal dan jumlah petani kebun unit Sungai

Niru PT.Perkebunan Nusantara VII

36

5. TahunTanam, luas areal danjumlahpetanikebun unit Sungai Lengi

Plasma PT.Perkebunan Nusantara VII

36

6. Jenisdan model analisis tanah di laboratorium dan metode penerapannya

48

7

8

Kategori status keberlanjutan pengelolaan perkebunan intirakyat kelapa sawit berkelanjutan

Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian

52

60 9 Jumlah penduduk per kecamatan di lokasipenelitian 61 10 Jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja

selama 1 minggu di kabupaten Muara Enim tahun 2009

62

11 Kandungan C-Organik, N-Total, P dan K pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengankedalaman 0-20 cm

66

12 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 0-20 cm

68

13 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 20-40 cm

70

14 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 40-60 cm

71

15 Perbandingan hasil analisa tanah pada kedalaman 40-60 Cm pada bagian bawah, tengah dan atas Tahun tanam 1987

74

16 Atribut sensitive keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan

89

17 Nilai stress dan koefisien diterminasi rap insus kelapa sawit

pengelolaan perkebunan inti rakyat 90

18 Hasil analisis monte carlo untuk nilai rap-insus kelapa sawit pada selang kepercayaan 95 %

91

19 Indeks kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 2010-2040 107 20 Hasil Simulasi perkembangan hasil penjualan, biaya

produksidan benefit 2010-2040

109

21 Simulasi biaya konservasi lahan kebun dan pemeliharaan kebun 2010-2040

111

22 Simulasi perkembangan Kelompok tani dan Gapoktan 2010-2040

113

(17)

2010-2040

24 Hasil analisis kebutuhan actor/stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian 11

2. Pendekatan Sistem 18

3. Diagram input-output Model pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

20

4. Garis-besar pengembangan model dinamis 22

5. Diagram input-output system 22

6. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim

24

7 Lokasi penelitian kebun sungai Lengi plasma dan kebun sungai Niru Kabupaten MuaraEnim Propinsi Sumatera Selatan

46

8 . Ilustasi indeks keberlanjutan setiap dimensi 52

9 Eleman Proses Aplikasi Rapfish 53

10 Tahapan Analisis penelitian dengan pendekatan system 58 11 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit

dimensi ekologi

79

12 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skalaberkelanjutan 0-100

80

13 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dimensi ekonomi

81

14 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

82

15 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dimensi sosial

83

16 Nilai sensitivitas atribut dimensi social yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

84

17 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma dimensi teknologi

86

18 Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

87

19 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma dimensi kelembagaan

88

20 Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-10

90

21

22

Diagram layang-layang indeks dan status kerberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan Koefisien pengaruh petani terhadap kinerja perkebunan inti rakyat kelapa sawit

94

99

23 T-Hitung pengaruh Pendukung keberhasilan Petani terhadap Kinerja

102

24 Causa loopmodel pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa Sawit

106

(19)

kelapa sawit

26 Skenario perkembangan penduduk dan tenaga kerja 108 27 Hasil simulasi kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 109 28 Hasil simulasi perkembangan kelompok tani dan Gapoktan tahun

2010-2040

110

29 Hasil simulasi hasil penjualan TBS, Biaya produksi dan benefit 111

30 Hasil simulasi biaya konservasi 112

31 Indeks pemeliharaankebun 2010-2040 113

32 Perkembangan lahan kebun 2010-2040 113

33 Perkembangan Kelompok Tani dan Gapoktan 2010-2040 115 34 Indeks Produktifitas Kelompok Tani dan gapoktan dari kebun

plasma

116

35 Pemupukan antara kebun inti dan kebun plasma tahun tanam

1987,1988dan 1989 117

36 Produktifitas kebun suli inti dan kebun suni plasma 118 37 Keuntungan petani plasma menggunakan pupuk sama dengan inti 120 38 Model Konseptual pengelolaan perkebunan inti rakyat Kelapa

sawit

(20)

Pengembangan perkebunan besar dikembangkan dalam bentuk pola

ke-mitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero)

dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah

memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk

Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan). Pola

kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan

kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode

pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi nasional.

Pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan

dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang

menganggap bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit secara

besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Alih guna lahan (land

convention) dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit banyak dilaporkan telah

menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada jenis penggunaan lahan berupa lahan Di Indonesia terdapat tiga pilar perkebunan

kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan milik negara dan perkebunan

milik swasta. Seluruh perkebunan sawit di Indonesia tersebut memiliki luas

7,32 juta hektar dengan komposisi 43,8% merupakan areal perkebunan rakyat,

8,4%, perkebunan milik negara, dan 47,9% perkebunan milik swasta (Dirjenbun

2010). Sebesar 44,5% dari seluruh produksi CPO dunia berasal dari Indonesia,

menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, disusul Malaysia

41,3%, Nigeria 3,0%, Thailand 2,7%, Columbia 1,9% dan selebihnya 7.4%

diproduksi oleh negara Pantai Gading, Ekuador, dan Papua Nugini (Dirjenbun

2010). Devisa yang dihasilkan dari CPO sebesar USD 12,3 milyar yang sangat

signifikan untuk mendongkrak perekonomian nasional (Gapki 2010).

Pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia ini tidak terlepas dari kebijakan

ekonomi yang berpihak pada rakyat pada akhir 1970an yang mendorong

pembukaan areal perkebunan di luar Pulau Jawa. Pembangunan industri kelapa

sawit semakin berkembang dengan diterapkannya pola Perkebunan Inti Rakyat

(21)

kritis dan semak belukar yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit justru akan

meningkatkan kualitas lingkungan terutama dari serapan karbon.

Secara umum, fenomena perubahan iklim ini dipicu oleh peristiwa

pemanasan global yang ditandai dengan kenaikan suhu baik di daratan, lautan, dan

di atmosfer. Studi mengenai perubahan suhu ini dilaksanakan dengan

membandingkan rata-rata suhu saat ini dengan suhu pada zaman dulu. Hasil studi

ini melaporkan bahwa telah terjadi kenaikan suhu rata-rata (udara di daratan dan

permukaan laut) sejak tahun 1861 hingga sekarang sebesar 0,6 ± 0,2 oC (IPCC, 2001). Pada kondisi normal, energi radiasi matahari yang diterima ke bumi

melalui atmosfer adalah seimbang dengan energi yang dipancarkan kembali ke

atmosfer. Energi radiasi ini sangat dibutuhkan oleh bumi untuk melangsungkan

siklus hidrologi, menghangatkan tanah dan udara. Energi radiasi dan makhluk

hidup yang ada di dalamnya untuk melangsungkan proses metabolisme seperti

proses fotosintesis tumbuhan berklorofil, proses enzymatic dan beberapa proses

metabolisme lain secara tidak langsung. Bagian atmosfer yang memegang peranan

sangat penting adalah keberadaan gas-gas seperti gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC-23), klorofluorokarbon (CFC-11), dan perfluorokarbon (CF4). Gas-gas ini mampu

menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari dan meneruskannya sebagai

gelombang pendek yang sangat dibutuhkan oleh bumi. Proses ini mirip dengan

proses hangatnya suhu di dalam rumah kaca sehingga disebut sebagai efek rumah

kaca (green house effect), sedangkan gas-gas tersebut disebut sebagai gas rumah

kaca (GRK/green house gases). Apabila di atmosfer tidak terdapat GRK yang

memiliki waktu eksis (life time) yang panjang tersebut, maka suhu bumi

diperkirakan lebih dingin 34o

Perusakan dan penebangan hutan akan berpengaruh negatif terhadap siklus

hidrologi wilayah. Dengan hilangnya tutupan lahan hutan menyebabkan tanah

dengan mudah tererosi sehingga kualitas tanah menurun yang ditandai dengan

peningkatan laju dekomposisi, hilangnya humus tanah, berkurangnya kandungan C dari suhu yang sekarang kita rasakan (Hairiah dan

Murdiyarso, 2007). Keadaan ini mulai berubah ketika konsentrasi GRK di

atmosfer meningkat sehingga akumulasi radiasi gelombang pendek juga

meningkat, diikuti dengan kenaikan suhu di atas ambang batas sehingga

(22)

bahan organik tanah, menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi tanah, dan

menurunnya kapasitas tanah memegang air (water holding capacity).

Peningkatan sedimen dan aliran permukaan (run off) akan menyebabkan

penurunan kualitas air permukaan lainnya seperti danau dan sungai. Lahan

pada saat dan setelah konversi hutan akan meningkat sensitifitasnya sehingga

setiap aktivitas yang dilakukan di atasnya akan berpengaruh terhadap lingkungan

dan aliran sungai (Connoly dan Pearson 2005).

Menurut Elias (1998), alih guna lahan hutan alam menjadi kebun kelapa

sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm yang terus

berlangsung hingga tanaman tersebut dewasa dan berkembang kanopinya.

Dalam kaitannya dengan siklus karbon, perkebunan kelapa sawit di daerah

tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon melebihi hutan. Dilaporkan

Lamade dan Setyo (2002), bahwa perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa

(kisaran umur 8-18 tahun) mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara

1198-2014 C/m2/th, lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di kepulauan hawai sebesar 519 C/m2/th atau hutan pegunungan merapi di Indonesia sebesar 844 C/m2

1. Tanah yang tererosi memiliki NPP (Net Primary Productivity) yang

rendah dibandingkan tanah yang tidak tererosi karena penggunaan input

pupuk dan irigasi yang lebih tinggi (Dick and Gregorich, 2003). Kualitas

tanah yang menurun disebabkan oleh penurunan efektifitas perakaran, /th. Perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi

besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Untuk menjamin

tingkat produktivitas lahan, kelestarian lingkungan, dan tanggung jawab sosial

masyarakat, maka pembangunan industri kelapa sawit harus dilaksanakan dengan

tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.

Degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan kualitas tanah

selanjutnya akan menurunkan tingkat keberlanjutan pertanian. Degradasi lahan

terutama di Indonesia secara teknis lebih disebabkan oleh erosi tanah (Subagyono

et al. 2003; Firman 2003). Hipotesis bahwa kehilangan C yang dominan

bersumber dari C-org tanah dapat menyebabkan degradasi lahan adalah sebagai

(23)

penurunan ketersediaan air dan kapasitas retensi hara, ketidakseimbangan

air dan hara, dan kerusakan siklus hidrologi.

2. Erosi menyebabkan hancurnya agregat tanah dan dispersi tanah, dan

menyingkap bahan organik terhadap akses mineralisasi akibat proses yang

melibatkan mikrob dan enzim. Bahan organik pada sedimen hasil erosi

mudah temineralisasi dan sekitar 20-30% teremisi ke atmosfer (Jacinthe

and Lal, 2001).

Pembalikan tanah akibat pengaruh iklim dan pengelolaan tanah pada lapis olah

(climatic perturbation) akan menyingkap bahan organik pada kedalaman 20 cm

sehingga mudah termineralisasi. Degradasi tanah adalah suatu proses yang

menurunkan kemampuan aktual dan atau potensial tanah memproduksi benda atau

jasa (kuantitatif dan atau kualitatif). Degradasi tanah tidak terjadi terus menerus,

proses tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu relatif singkat antara dua

keadaan keseimbangan ekologi (Riquier 1977).

Penerapan konservasi tanah dan air yang baik dapat memperkecil kehilangan

tanah akibat erosi, pengendalian secara vegetatif dan sipil teknis seperti

waterways, strip penyangga, strip cropping dan pembangunan dam dapat

dilakukan untuk mengurangi erosi tanah dan laju aliran permukaan (United State

Society of Agronomy 2005).

Pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani/rakyat dapat dibagi menjadi

dua macam yaitu: petani plasma dan petani mandiri. Petani plasma bergabung

dalam sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan perusahaan inti sehingga

lebih terorganisir; sedangkan petani mandiri mengelola lahan dan memasarkan

hasil panen secara mandiri sesuai dengan kemampuannya. Secara umum,

pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani plasma akan lebih baik

dibandingkan petani mandiri karena adanya kerjasama dengan perusahaan inti.

Dalam sistim PIR perusahaan perkebunan besar sebagai inti memiliki tugas

untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Petani plasma

harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui

perusahaan inti. Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan

Usaha Perkebunan pada pasal 11 menyebutkan bahwa setiap perusahaan

perkebunan yang memiliki IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membangun

(24)

yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat dapat

dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil dan pelaksanan

pembangunannya dilakukan secara bersamaan dengan lahan milik perusahaan.

Menurut Ahmad (1998), latar belakang dan motivasi berkembangnya proyek PIR

di Indonesia, karena beberapa faktor, antara lain: (1).Kondisi petani pada

perkebunan rakyat yang miskin. (2). Adanya “ Enclave” pada perkebunan besar

milik negara dan (3). Pertimbangan untuk kepentingan makro.

PIR-Trans merupakan pengembangan dari pola PIR sebelumnya.

Program ini dibuat untuk menyelaraskan antara program pengembangan

perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh

pemerintah. Skema PIR merupakan bagian penting dari program transmigrasi

untuk memukimkan kembali rakyat miskin dan tanpa lahan dari Jawa, Bali dan

Sumatera ke pulau-pulau yang kurang padat penduduknya, khususnya

Kalimantan. Berdasarkan skema ini, maka sebuah perusahaan terkait

bekerjasama dengan pemerintah mengembangkan plasma di atas lahan seluas 2

hektar bagi masing-masing pemukim di sekitar perkebunan inti rakyat

(Vermeulen dan Goad 2006).

Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan cara

sederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkan

pendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami berbagai

penyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin 2005).

Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem

adalah dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu

permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh.

Pemecahan masalah malalui pendekatan sistem dilakukan antara lain melalui

tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.model tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis,

perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena

tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time constant).

Sebaliknya model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi

untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et al.

(25)

1.2. Perumusan Masalah

Pada umumnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha

budidaya tanaman dapat berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas

air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat

berkurangnya bahan organik tanah dan penggunaan pestisida. Rona lingkungan

yang turut terpengaruh dapat berupa perubahan kondisi ekosistem, hidrologi,

bentang alam, dan karakter penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan.

Hasil Evaluasi dan penelitian Balitbang Pertanian (2010), pada pola PIR

kerjasama antara inti dengan plasma tidak berjalan dengan baik. Hubungan

kerja perusahaan inti dan koperasi bukan merupakan kesepakatan bersama atas

pondasi kebersamaan ekonomi. Produktivitas kebun plasma jauh dibawah

kebun inti, waktu konversi yang selalu ditunda, dan penetapan harga dan

pembayaran hasil TBS (Tandan Buah Segar) tidak transparan. Pekebun

umumnya dalam posisi tawar yang lemah, sehingga harga, rendemen dan

mutu TBS ditentukan oleh perusahaan inti.

Kendala yang ditimbulkan dari perkembangan pola PIR ini berlangsung

dalam jangka waktu yang panjang, baik menyangkut masalah sosial

ekonomi, teknis, kelembagaan, dan aspek lingkungan (Hasibuan 2005). Adapun

beberapa isu pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah:

1. Degradasi lahan yang terjadi akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang

belum tepat.

2. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk

mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan

kualitas dan kuantitas produksi menjadi rendah.

3. Posisi tawar-menawar (bargaining position) petani dalam penentuan

harga TBS masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani

masih dibawah tingkat harga wajar.

4. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) non inti

yang memicu ketidakharmonisan mekanisme kinerja dan hubungan

petani plasma dengan perusahaan inti.

5. Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD, dan

petani plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga

(26)

6. Lemahnya kerjasama antar institusi yang terkait baik pada tingkat

kabupaten, kecamatan, dan desa dalam memberdayakan sumberdaya

alam dan sumberdaya manusia.

Berdasarkan pertimbangan permasalahan di atas maka penelitian ini

dimaksudkan untuk menyusun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa

sawit berkelanjutan (studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan).

Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah:

1. Sejauh mana pembangunan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berpotensi

menyebabkan terjadinya degradasi lahan?

2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa

sawit?

3. Faktor-faktor apa saja penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung

program perkebunan inti rakyat kelapa sawit?

4. Bagaimana model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit

berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model

pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu

memenuhi aspek biofisik, ekonomi, dan sosial.

Sedangkan tujuan spesifik adalah :

1. Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat

kelapa sawit.

2. Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat

kelapa sawit.

3. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam

mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit.

4. Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit

ber-kelanjutan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Menurut Wigena (2009), bahwa model pengelolaan kebun kelapa sawit

(27)

memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial dengan indikator produksi TBS

rata-rata 25,83 ton/ha/th, diiringi dengan rendahnya degradasi lahan dan

rendahnya penurunan daya dukung lingkungan, masing-masing sebesar

0,03-0,08% dan 0,02-0,01%. Pendapatan petani rata-rata sebesar Rp 22.859.950,-

/ha/th dan pendapatan masyarakat sekitar kebun rata-rata sebesar Rp

16.845,025,-/ha/th yang melebihi tingkat upah minimum regional provinsi.

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia tercermin dari tingkat pendidikan

yang disetarakan dengan pendapatan yang diperoleh sebagai tenaga kerja di

perkebunan kelapa sawit mencapai Rp 55.000.000,-/th.

Menurut Iswati (2004), pola PIR-Trans kelapa sawit merupakan

pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menjadi tanggung

jawab petani. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut diperlukan upaya

untuk merubah perilaku dan memotivasi petani melalui suatu organisasi

petani yaitu kelompok tani dan KUD. Tetapi kemampuan kelompok tani masih

relatif rendah dan peranan KUD belum efektif, sehingga menyebabkan petani

plasma tidak mampu mengelola kebunnya secara berkelanjutan. Hal ini

mengakibatkan produksi rendah, tanah mengalami degradasi sifat kimia, fisika,

biologi tanah, dan pada akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan petani.

Oleh sebab itu pengelolaan kebun yang kurang memperhatikan masalah

lingkungan terutama sumber daya tanah dan air berkontribusi besar terhadap

penurunan kualitas lingkungan.

Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya

oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal ini antara lain dapat

ditelusuri dari beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang

kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah

dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola

perusahaan inti rakyat (PIR), seperti: PIR-perkebunan, PIR-perunggasan, tambak

inti rakyat, tebu inti rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara

prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan untuk dapat berlangsung atas dasar

norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling

memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian

(28)

Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha

pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha,

meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala usaha, serta dalam

rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra

yang mandiri. Dalam sistem agribisnis di Indonesia, terdapat enam bentuk

kemitraan antara petani dengan pengusaha besar (Sumardjo et al. 2004) yaitu: (1)

Pola Kemitraan Inti Plasma, (2) Pola Kemitraan Subkontrak, (3) Pola Kemitraan

Dagang Umum, (4) Pola Kemitraan Keagenan, (5) Pola Kemitraan Kerjasama

Operasional Agribisnis, dan (6) Pola Kemitraan Usaha Pertanian.

Wigena (2009), interaksi yang sinergis dari aspek lingkungan, ekonomi dan

sosial mampu menciptakan kondisi pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan

yang ciri-cirinya dapat dilihat dari tiga aspek.yaitu: (1) ekologis berupa

terpeliharanya kualitas lingkungan atau terkendalinya tingkat pencemaran

lingkungan sehingga kualitas hidup petani semakin membaik, (2) ekonomi

berupa meningkatnya pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup

petani yang mengarah pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, (3) sosial yang

meliputi (a) manusiawi dimana gejolak sosial seperti tingkat kriminalitas dan

konflik menurun, kinerja lembaga sosial desa membaik, produktivitas tenaga kerja

meningkat dan lain-lain, (b) berkeadilan dimana semua stakeholders yang

terlibat dalam pengelolaan merasakan manfaat dari keberadaan kebun sawit

tersebut, dan (c) bersifat fleksibel atau kondisi luwes yang menggambarkan

bahwa apa yang sudah dicapai tersebut tidak mudah goyah melainkan punya

toleransi tinggi dan mampu bertahan terhadap perubahan kondisi, baik kondisi

eksternal maupun internal yang dinamis. Penerapan pendekatan sistem dalam

pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pada hakekatnya untuk

harmonisasi dari tiga aspek, yakni aspek ekonomi, aspek biofisik ekologi dan

aspek sosial budaya, sehingga indikator pengelolaan perkebunan kelapa sawit

tidak hanya dilihat dari kelayakan ekonomi dan tidak merusak lingkungan, tetapi

juga harus dapat diterima oleh masyarakat sekitar (economically feasible,

ecologically sustainable dan sosiologically acceptable). Hal ini sejalan dengan

konsep triple bottom line yakni pembangunan tidak hanya dilihat dari nilai

(29)

lingkungan agar pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit menjadi

berkelanjutan.

Kerangka pemikiran penelitian disajikan dalam ilustrasi pada Gambar 1.

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain, sebagai

berikut:

1. Masyarakat memahami degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti

rakyat kelapa sawit dan berupaya memperbaikinya.

2. Memberikan keuntungan bagi bagi masyarakat karena status pengelolaan

perkebunan inti rakyat kelapa sawit akan berlanjut.

3. Memberikan kemudahan bagi PT.Perkebunan Nusantara VII karena

faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program

perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat di ketahui.

4. Memberikan dukungan bagi stakeholders dalam membangun model

(30)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Strategi Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit

Rusaknya Fungsi Ekologis Lemahnya Regulasi Lemahnya Sumber Daya Manusia

Pendekatan Sistem:

Integrasi kondisi ekologi, ekonomi, sosial

Sub Sistem Ekologi:

Kelembagaan yang tangguh Pendapatan meningkat Kebijakan yang berkeadilan

(31)

1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah

dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penelitian dan Metode serta Hasil Penelitian Terkait Novelty

No. Peneliti Metode Hasil Penelitian

1. Erningpraja

4. Iswati (2004) Pengelolaan kebun

plasma kelapa sawit yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem.

Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan merupakan fungsi dari jenis tanah (T), kemiringan lereng (L), kemampuan petani (M), pendapatan petani (E) dan budaya (B).

Fungsi tersebut dirumuskan sebagai Pl = f (T,L,M,E,B) aspek fisik, sosial dan ekonomi, diperlukan model perkebunan berkelanjutan dengan konsep dan kriteria sesuai dengan isu-isu yang berkembang saat ini yang tertuang dalam The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Untuk masa mendatang, konsep dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu

pada RSPO karena sudah

mengakumulasikan aspek fisik, sosial

(32)

Pengelolaan lingkungan perkebunan inti rakyat kelapa sawit sebagai

suatu sumberdaya lahan untuk kepentingan produksi hasil perkebunan kelapa

sawit dengan pendekatan holistik semakin penting untuk dilakukan. Hal ini

didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: (1) pengelolaan perkebunan

inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan, sangat perlu untuk dilanjutkan sebagai

upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat; (2) pengelolaan

lingkungan perkebunan kelapa sawit akan melibatkan banyak pemangku

kepentingan; dan (3) setiap wilayah mempunyai karakteristik berbeda-beda yang

memerlukan pendekatan holistik dan terpadu sesuai dengan kondisi

sumberdaya pada setiap daerah (Mitchell et al. 2003).

Adapun kebaruan dari penelitian saya yang berjudul “Model Pengelolaan

Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan”, adalah adanya analisis

degradasi lahan dengan menggunakan sampel berdasarkan tahun tanam pada

berbagai topografi dan berbagai kedalaman serta menganalisis kelembagaan

petani menjadi faktor penting untuk keberlanjutan program Perkebunan Inti

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat. 2.1.1. Model

Definisi model adalah sebuahrepresentasidarisebuahsistem yang

me-mungkinkanuntukinvestigasisifatdarisistemdan, dalambeberapakasus,

predik-sihasil di masadepan. SelanjutnyaDe Wit (1982) mendefinisikan model simulasi

sebagai seni dalam membangun model matematik untuk mengkaji sifat-sifat di

dalam sistem. Pada dasarnya tujuan utama penyusunan atau pembuatan model

yang bersifat mekanistik bukan pada ketepatan model, melainkan bagaimana

model tersebut dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem

yang dimodelkan.

Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan

carasederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan

menerapkanpendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami

berbagaipenyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin

2005).SelanjutnyaEriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan

sistem adalah dapatmengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu

permasalahan dandapat mengarahkan pemecahannya secara

menyeluruh.Pemecahan masalah melalui pendekatan sistem dilakukan antara

lainmelalui tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.Model tersebut

dapat

2.1.2. Sistem

diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model

statis,perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena

tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time

constant ).Model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi

untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et

al.2001).

Marimin (2005) menyatakan bahwa sistem adalah suatu kesatuan usaha yang

terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai

(34)

input, proses, output suatu sistem dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu

sistem analisis, sistem desain, dan sistem kontrol. Pendekatan sistem adalah suatu

pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik

tolak analisis. Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa sistem merupakan

totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional

serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu,setiap

pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik

yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Metodologi sistem

pada dasarnya melalui enam tahap analisis sebelum sintesa (rekayasa), meliputi:

(1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasimasalah, (4)

pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik,sosial dan

politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial).

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan

terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan

Park 1979 dalam Eriyatno 1999). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi

dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono 1983). Sistem dinamik

memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu.

Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan

ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu.

Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada

nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : (1)

kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktor

yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3)

probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan

maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan

sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal

oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam

penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih

ditekankan pada ” apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas

maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat Sistem

dinamis adalah suatu metode analisis masalah yang melibatkanaspek waktu

(35)

dioperasikan.Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang

sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian

permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.

2.1.3. Tahapan Pendekatan Sistem

Masalah pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus melibatkan

banyak pihak yaitu masyarakat, petani plasma, PT.Perkebunan Nusantara VII,

pemerintah, dinas perkebunan, badan pertanahan, dinas koperasi, dinas pekerjaan

umum, dan LSM. Karena perkebunan kelapa sawit merupakan suatu sistem yang

terdiri dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan,

sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara

satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan perkebunan kelapa

sawit berkelanjutan perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan

dan keberlanjutan.

Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri

dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan

sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi. Pelaksanaan semua

tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno

1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu

pendekatan sistem yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : (1) dapat

menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan

(2) adanya umpan balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2001 dan Kholil

2005). Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft

ware tool)komputer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak Powersim dapat

dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat tren

(pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga

perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang

diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : (a)

perbaikan struktural, yakni dengan melakukan penyempurnaan model

(menambah/mengurangi), dan (b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan

penyempurnaan unsur – unsur sistem. Ada dua pertimbangan dasar yang harus

(36)

fungsional), yaitu: (a) feasibility dan (b) desirability. Feasibility menekankan

bahwa perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata

(real world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar

dapat didukung oleh semua unsur dan sumber daya.

2.1.4. Analisis Kebutuhan

Analiss kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses

pengembangan sistem model. Analisis kebutuhan masuk dalam rangkaian

pendekatan sistem disajikan pada Gambar 2.

Gambar2. Pendekatan Sistem (Hartisari 2007)

Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap

pelaku (aktor) yang terlibat dalam perkebunan inti rakyat kelapa sawit

berkelanjutan berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat..

Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan yang terkait dengan

pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit : (a) kebutuhan masing – masing

individu (individual needs) yang dapat mengarah pada conflict of interest, dan (b)

kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common

problem)

Pemodelan Sistem Analisis Kebutuhan

Mulai

Formulasi Masalah

Identifikasi Sistem

A Selesai

Verifikasi dan Validasi

Implementasi

(37)

2.1.5. Formulasi Masalah

Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of

interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam

mencapai tujuan system (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut,

maka dalam upaya pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, ada

permasalahan yang mengancam kelangsungan perkebunan kelapa sawit pola

inti-plasma adalah:

1. Rusaknya fungsi ekologis:

Rusaknya fungsi ekologis perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat

disebabkan oleh meningkatnya pengelolaan kesuburan tanah, kesesuaian

lahan, pembakaran sisa tanaman, pengendalian hama penyakit menggunakan

racun, belum adanya daur ulang bahan organik, pola tanam monocropping.

Hal ini menyebabkan rusaknya fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit

sebagai: (a) Sumber plasma nuftah; (b) Tempat berlangsungnya siklus hidup

jenis flora/fauna; (c)Tempat hidup biota air dan darat; (d) Pengendali banjir;

(e) Rekreasi/wisata; (f) Tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari

air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah

tanah; (g)memelihara iklim mikro, dimana keberadaan ekosistem kelapa sawit

dapat mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; (h) sarana

tranportasi

2. Lemahnya regulasi:

Lemahnya regulasi dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit

disebabkan oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas

kerusakan lingkungan dan perambahan hutan di sekitar perkebunan terus

berlangsung.

3. Lemahnya sumberdaya manusia

Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap pengrusakan hutan dan

pencemaran di sekitar perkebunan kelapa sawit disebabkan oleh: sumber daya

manusia yang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya pelestarian

lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial

(38)

2.1.6. Identifikasi sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari

kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam

rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah

untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling

mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Menurut

Marimin (2004), identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram

sebab akibat dan diagram input output (black box), seperti terlihat pada gambar 3.

Diagram sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting

yang diturunkan dari identifikasi kebutuhan dan masalah yang telah

diformulasikan pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat

interaksi antar komponen sistem terkait.

Gambar 3. Diagram input output model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan • Perkebunan inti rakyat kelapa

sawit berkelanjutan

Pembukaan areal memenuhi standar

b

INPUT TERKENDALI

Potensi SDM (Petani,Tenaga kerja)

Pengelolaan penanaman kelapa sawit

Sistem dan kapasitas kelembagaan

Jumlah Kelompok tani

Komitmen dukungan PEMDA

(39)

2.1.7.Sistem Dinamik

Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun

kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan

kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan

valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat merepresentasikan

suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan

proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti empiris akan

meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model

sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai

berikut:

(1) Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam

model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.

(2) Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model

dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model;

(3) Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model

terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.

Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar

terdiri dari 4 tahap, yaitu :

1. Tahap seleksi konsep dan variabel

Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi

cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka

berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif

map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang

sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan

mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan

parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan

tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.

2. Konstruksi model (tahap pengembangan model)

Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model

(40)

Konsep sistem Permasalahan

Diagram sebab akibat

Konstruksi model

Validasi

Simulasi

Analisis kebijakan OK ?

Tidak

Selesai

windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi

model simulasi.

a. Tahap analisis sensivitas

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh

nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi

model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh

dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada

variabel kunci.

b. Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus

terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk

mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Dari

tahapan pengembangan model dinamik, dapat digambarkan garis besarnya

seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Garis besar pengembangan model dinamik

Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input

terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta

manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan

(41)

terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain

sistem pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan (Gambar

5).

Gambar 5. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007)

2.1.8. Konsep Sistem Dinamik

Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk

mengilustrasikan sistim dinamika yang kompleks serta menganalisis

implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai

suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi

dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Model sistem dinamik dapat

memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap

mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan.

Sistem dinamik dikenal variabel level, variabel rate, dan variabel auxiliary.

Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan

menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level

adalah:

Init LEV = kondisi awal; flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM)

dengan: LEV = level (unit); RM = rate (laju) masukan;

RK = rate (laju) keluaran; dt = interval waktu simulasi (satuan waktu)

Init = initial, nilai awal; flow = aliran untuk variabel level.

Proses

UMPAN BALIK

Input Lingkungan Input Tak Terkontrol

Input Terkontrol

Output Yang Diinginkan

(42)

Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya

suatu level.Rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar.Rate

masuk akan menambah akumulasi di dalam suatulevel dan dilambangkan dengan

katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan

katub yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbul awan menunjukkan

sourcedan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level. Aliran dalam

powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas.Aliran ini merupakan

penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem.Jika aliran informasi

keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat

di dalam level.

Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan

dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang

membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan

dengan suatu lingkaran penuh. Simbul belah ketupat dalam powersim

menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses

simulasi (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram alir model sistem dinamikmenggunakan program powersim

2.1.9. Pola – Pola Dasar Sistem Dinamik

Kim dan Anderson (1998), mengemukakan bahwa secara empiris ada 8 pola

dasar sistem dinamis : (1) Perbaikan yang gagal (Fixes that Fail), (2)Pemindahan

(43)

yang berubah (Drifting Goals),(5) Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and

underinvestment),(6) Sukses Bagi yang berhasil (Sucess to the

Succesful),(7)Eskalasi (Escalation), dan (8)Kesulitan Bersama (Tragedy of the

Commons). Pola – pola dasar sistem dinamik atau pola lingkaran dinamika sistem

adalah terdiri atas lingkaran umpan balik. Selanjutnya, gabungan lingkaran umpan

balik membuat kerumitan yang tidak dapat dimengerti, penyederhanaan terhadap

kerumitan tersebut dapat dikenali melalui pola lingkaran umpan balik. Sejauh ini

telah dapat dikenali tiga kelompok pola, yaitu pengelolaan sistem, pemecahan

masalah, dan kecenderungan pelaku.

Kelompok pertama adalah pola – pola pengelolaan sistem terdiri dari :

1. Tindakan perbaikan yang tertunda,

2. Penyesuaian tujuan,

3. Batas pertumbuhan,

4. Pertumbuan dan kekurangan modal.

Kelompok pola kedua adalah pola – pola pemecahan masalah yang terdiri dari:

1. Perbaikan yang gagal

2. Pergeseran beban.

Kelompok pola ketiga adalah pola – pola kecenderungan pelaku terdiri dari :

1. Sukses bagi yang berhasil,

2. Percepatan, dan

3. Kesulitan bersama.

2.1.10. Analisis Kebijakan

Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi

model (Muhamadi 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan

kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan

alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk

mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara

mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan

alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif

kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem

(44)

Kebijakan yang dilakukan PT.Perkebunan Nusantara VII dalam

pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit masih bersifat parsial berdasarkan

kondisi kebun setempat, sehingga menyebabkan managemen kebun tidak berani

melakukan terobosan, karena takut disalahkan suatu saat kelak. Sebaiknya

ditetapkan kebijakan di tingkat Direksi terhadap model pengelolaan perkebunan inti

rakyat kelapa sawit terhadap suatu kebun berdasarkan kondisi dimana kebun tersebut

berada.

2.2. Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan adalah

suatu pendekatan pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan dua atau

lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara

terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit secara

berkelanjutan. Keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral,

bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa

perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau

instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration), dan antar

tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi,

sampai tingkat pusat (vertical integration).Keterpaduan dari sudut pandang

keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit

hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan antar disiplin ilmu

(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,

teknik, sosiologi, hukum, dan ilmu lainnya yang relevan. Hal ini diperlukan

karena pembangunan kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang

terjalin secara kompleks dan dinamis serta pada dasarnya tersusun dari berbagai

macam ekosistem (hutan, kelapa sawit, tanah dan lainnya) yang satu sama lain

saling terkait, tidak berdiri sendiri.

Menurut Manuwoto (2007), kebijakan yang terkait pembangunan

berkelanjutan harus memenuhi kriteria dan pokok-pokok pembangunan

berkelanjutan. Kriteria pembangunan berkelanjutan tersebut adalah kesetaraan

(45)

valuation) (Comhar 2007).Sementara pokok-pokok pembangunan berkelanjutan

terdiri dari tujuh pokok yang dijabarkan ke dalam 12 prinsip, yaitu :

1. Pemenuhan kebutuhan manusia melalui penggunaan sumber daya yang efisien;

a. Minimalisasi penggunaan sumber daya tak terbarukan;

b. Minimalisasi penggunaan bahan pencemar/berbahaya dan minimalisasi

limbah, serta penanganannya secara ramah lingkungan;

2. Kesetaraan antar generasi;

a. Penggunaan sumber daya yang sesuai dengan kapasitas untuk regenerasi;

b. Perbaikan dan perawatan kualitas sumber daya tanah dan air;

3. Penghormatan terhadap integritas lingkungan dan keanekaragaman hayati;

a. Perbaikan dan perawatan kehidupan liar, habitat, dan spesies;

4. Kesetaraan antar negara dan wilayah;

a. Perlindungan terhadap udara dan atmosfir, serta minimalisasi dampak

aktifitas manusia terhadap iklim;

b. Pembangunan potensi sumber daya di satu wilayah tidak mengganggu

kemampuan potensi sumber daya wilayah lain;

5. Kesetaraan sosial;

a.Upaya memajukan kekhasan sosial guna meningkatkan kualitas

kehidupan secara keseluruhan;

b.Pembangunan berkelanjutan yang bergantung pada kerjasama dan

persetujuan antar daerah;

6. Penghormatan terhadap keragaman/warisan budaya;

a.Perbaikan dan perawatan kualitas lanskap, warisan lingkungan buatan

manusiayangbersejarah, serta budaya;

7. Pengambilan keputusan yang baik;

a.Penyampaian pengambilan keputusan hingga ke tingkat yang tepat;

b.Peran serta semua pihak pada semua tingkat pengambilan keputusan.

Syarat untuk dapat tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya

fisik dan pengendalian kerusakan ekosistem saja, melainkan juga dengan adanya

pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar-negara dan antara

kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Pembangunan

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1. Penelitian dan Metode serta Hasil Penelitian Terkait Novelty
Gambar 3.  Diagram input output  model pengelolaan perkebunan inti rakyat
Gambar 4. Garis besar pengembangan model dinamik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumah sakit umum daerah kabupaten Timor Tengah Selatan adalah pusat pelayanan kesehatan dengan beribu-ribu data pasien dari berbagai jenis penyakit. Oleh kerena

Namun, sesungguhnya yang lebih dahsyat dari gegap gempita ini adalah kenyataan bahwa suatu program acara televisi bisa juga memberi manfaat sehat bagi orang

Jika gagal berpisah pada oogenesis, gonosom gamet yang mungkin adalah X, XX, dan O, sedangkan dalam spermatogenesis terjadi gagal berpisah maka gonosom gamet yang

Dengan slogan “We Have Everything You Need” SuperWash Laundry & Dry Clean memiliki beberapa pelayanan laundry yang lengkap dengan spesialisasi laundry kiloan, laundry

Meskipun dokumen ini telah dipersiapkan dengan seksama, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia tidak bertanggung jawab atas segala konsekuensi hukum dan keuangan

Analisis menunjukkan beberapa strategi-strategi pemahaman telah digunakan dalam penyelesaian masalah matematik berperkataan iaitu strategi pemahaman dari segi umum

Gabungan kata atau kelompok kata yang merupakan frasa yang tidak berderivasi tidak diberlakukan sebagai lema atau sublema, tetapi diberlakukan sebagai contoh pemakaian

Pada poin ini mengemukakan pembahasan tentang angket motivasi yang telah diberikan kepada siswa yang terdiri dari dua kelas guna untuk mengetahui tingkat motivasi