• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren (Studi Kasus Di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren (Studi Kasus Di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara)"

Copied!
438
0
0

Teks penuh

(1)

,

-.

*

(2)

-Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Program Kecakapan Hidup ( ) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al!Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Expansion of Life Skills Program for Community’s Empowerment Surrounding an Islamic Boarding School: A Case Study in Center of Community Learning’s Activities “Al!Wathoniyah” Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara. Under direction of PUDJI MULJONO and HOLIL SOELAIMAN.

Due to the post economic crisis in 1998 and global economic crisis situation since 2008, Indonesia deals with various social problems such as unemployment, the increasing of drop!out students, and the increasing rate of the poverty. This phenomenon drives the Department of National Education to carry out the Life Skills Program involving the society. The government policy in giving wide opportunity for the society to actively engage in education area is responded by the community of Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara by establishing PKBM Al!Wathoniyah. PKBM carries out the external education school (pendidikan luar sekolah/PLS) including life skills program and cooperates with Mambaul Quran islamic boarding school. This establishment is driven by the relatively low level of wealth and education in Sukosono community. The implementation of this program needs to be evaluated and given feedback through research and action programs, in order for the program to be implemented better in the future.

(4)

DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Pengembangan Program Kecakapan Hidup ( ) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al!Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan HOLIL SOELAIMAN.

Pasca krisis ekonomi tahun 1998 dan dihadapkan pada situasi krisis keuangan global sejak tahun 2008, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan seperti banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kriminalitas, maraknya permasalahan sosial misalnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis, bertambahnya anak putus sekolah, serta meningkatnya jumlah penduduk miskin. Dari segi ekonomi, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja dan tingkat pendidikan. Rendahnya daya serap ini karena sempitnya lapangan kerja dan kompetensi yang diinginkan oleh lembaga penerima tenaga kerja tidak dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Fenomena ini mendorong Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyelenggarakan + '+ & #% $ ) ! ) , antara lain menyerahkan pengelolaannya

kepada #' ! # 2 + " + $ . Meskipun program ini

dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat dalam peningkatan ekonomi dan perluasan jaringan, tetapi secara konsep dan implementasinya, terdapat

perbedaan antara Depdiknas dengan WHO ( ).

Kebijakan pemerintah memberikan kesempatan seluas!luasnya bagi masyarakat untuk turut berperan serta aktif dalam dalam bidang pendidikan, menjadi dasar pembentukan PKBM Al!Wathoniyah di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. PKBM Al!Wathoniyah merupakan kelembagaan yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM) ! meski! pun tetap menggunakan aturan main yang ditetapkan pemerintah ! berperan dalam bidang garapan pendidikan luar sekolah (PLS) dalam wilayah Desa Sukosono dan sekitarnya. Pendirian PKBM sesuai dengan konsep

dan merupakan karena dibentuk

dengan konsep DOUM tersebut. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah program kecakapan hidup ( ) untuk memberikan alternatif jenis keterampilan yang dapat dikembangkan oleh warga belajarnya dalam memperoleh penghasilan agar tidak tergantung pada sektor meubel. Di Sukosono, penyelenggaraan antara lain bekerja sama dengan pesantren Mamba’ul Qur’an, sebuah lembaga keagamaan Islam yang telah ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono.

(5)

Penyelenggaraan PLS oleh PKBM Al!Wathoniyah perlu mendapatkan evaluasi dan umpan balik melalui penelitian dan program aksi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan program, mengetahui faktor pendukung dan penghambat program, serta merancang program aksi untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren melalui pengembangan

yang telah berjalan. Hasil analisis tersebut dijadikan tolok ukur untuk merancang strategi pengembangan program demi tercapainya tujuan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, melalui teknik !

(FGD). Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, berkembangnya industri kecil, kolaborasi dengan swasta dan dunia industri, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta mendapatkan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga.

Melalui FGD, dibentuk beberapa rencana program aksi tersebut, yaitu: program peningkatan mutu produk, yang dilakukan untuk tetap mempertahankan jenis yang bermanfaat dan berlanjut sampai sekarang serta “menghidupkan” jenis keterampilan yang berhenti di tengah jalan; program pengembangan usaha, dengan pengembangan jejaring dan peningkatan kerja

sama antar ; dan program pembentukan usaha baru, untuk

menjangkau lebih banyak masyarakat yang memerlukan , antara lain penyediaan alat peraga edukatif (APE) dan usaha bordir.

Kata kunci: kesejahteraan, pendidikan luar sekolah, , PKBM, pesantren.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang!Undang

" # $

$ $ $ $

% &

% '#(

(7)

! "

#

$ !

#% &

!

#

!'

( ) #! *#) +

,

-Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

.

*

(8)

* ' $ + 3 #!'#&( !' ! + '+ & #% $ ) ! ) ! $ #&(#+ " ! " + $ #$ +

# ! +#! ! "

# $ ! #% & ! # !' ( ) #!

*#) +

& 4 3 ! + &5 ! 6

& + $ $ 3 7890:0//8

# 2

& #&( &( !'

+; +; 2 2 ! < ; ; #

+ ; # & !< < !''

$#

# + '+ & ' #+ + 6# ! #!'#&( !' ! " + $

+; +; 2 + ; . ( < ; ;

#$ ! #$ % +2 !

+ 6; +; +; ; + !4 + ) + < ; ;

(9)

.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah ) .

Shalawat dan salam sejahtera semoga disampaikan kepada Nabi Muhammad

*+ , beserta keluarga dan sahabatnya serta para

penerus perjuangannya. Amin.

Setiap manusia mengalami proses pembelajaran sepanjang hidupnya. Dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran itu dirumuskan dalam asas

(pendidikan sepanjang hayat). Dalam konsep tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah (PLS). Penulis berusaha menganalisis salah satu jenis PLS berupa kecakapan hidup ( ) ! program yang digulirkan Depdiknas ! yang diselenggarakan oleh PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat untuk menguasai keterampilan praktis yang dapat dimanfaatkan dalam mencari penghasilan. PLS fleksibel sifatnya, dapat dikolaborasikan dengan kelembagaan masyarakat yang telah ada. Penulis ingin mencari efektifitas pengembangan penyelenggaraan PLS khususnya oleh PKBM yang antara lain dikola! borasikan dengan kelembagaan pesantren agar bermanfaat bagi masyarakat.

Penulis menyadari bahwa Kajian Pengembangan Masyarakat ini bukan hasil jerih payah sendiri. Hasil ini diperoleh berkat bimbingan, dorongan, dukungan, dan doa yang tiada henti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih dari hati yang

terdalam (% % )) dan penghargaan setinggi!tingginya

kepada institusi: Departemen Sosial RI c.q. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana dalam mengikuti program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat ini, Institut Pertanian Bogor, serta Pemerintah Kabupaten Kudus yang memberi kesempatan dan izin mengikuti kuliah. Secara khusus ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing: Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. dan Drs. Holil Soelaiman, MSW, APU.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Noor Salim dan Ibu Subingah; mertua, Papah Irlan Surapermana dan Mamah Siti Fatimah; istri dan anak tercinta, Ira Yulistiana dan Najmi Azira Rifa Hanafi; serta kakak!kakak dan adik!adik penulis. Begitu pun kepada Mas Zaenun Eko Riyanto, Tenaga Lapangan Dikmas Kecamatan Kedung atas segenap bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian kajian; serta teman! teman MPM angkatan V atas segala cinta, persahabatan, pertemanan, kritik, dan saran. Semoga seluruh pengorbanan dari berbagai pihak tersebut, memperoleh

balasan yang berlipat ganda dari Allah ) .

Semoga kajian ini dapat berguna bagi pihak!pihak yang tertarik dan berkeinginan mengembangkan program!program PLS khususnya program

melalui PKBM, atau pun sebatas sebagai bahan kajian bagi peneliti lain.

.

(10)

Terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan Noor Salim dan Subingah pada tanggal 26 Oktober 1976, penulis tumbuh dan berkembang di kota Jepara, kota kecil paling utara pulau Jawa. Tumbuh dalam keluarga guru, penulis sangat menyadari akan arti penting pendidikan dalam perkembangan watak dan perilaku seseorang. Pada tahun 1989, penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Jambu 2, tahun 1992 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2, dan tahun 1995 tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1; semuanya di Jepara. Pada tahun 1994, penulis menjadi Siswa Teladan Kabupaten Jepara. Kemudian tahun 1995 sampai dengan 1999, penulis berkesempatan untuk menjalani program pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor Sumedang.

Semasa di STPDN, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun kedua di sekolah kedinasan tersebut. Setelah lulus pada tahun 1999, penulis ditugaskan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. Penulis diberikan kepercayaan sebagai Kepala Seksi Pemerintahan di Kelurahan Purwosari Kecamatan Kota Kudus pada tahun 2005, setelah sebelumnya bekerja sebagai staf di Bagian Kepegawaian dan Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Kudus selama enam tahun. Pada tahun 2007, penulis tergerak untuk kembali memasuki dunia akademis melalui kesempatan yang diberikan oleh Departemen Sosial yang memberikan beasiswa untuk program pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerja sama Institut Pertanian Bogor dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Pada tahun yang sama, karena menjalankan tugas belajar di MPPM, penulis dipindahkan status kepegawaiannya ke Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kudus, sampai dengan sekarang.

(11)

,

-.

*

(12)

-Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Program Kecakapan Hidup ( ) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al!Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2009

(13)

DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Expansion of Life Skills Program for Community’s Empowerment Surrounding an Islamic Boarding School: A Case Study in Center of Community Learning’s Activities “Al!Wathoniyah” Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara. Under direction of PUDJI MULJONO and HOLIL SOELAIMAN.

Due to the post economic crisis in 1998 and global economic crisis situation since 2008, Indonesia deals with various social problems such as unemployment, the increasing of drop!out students, and the increasing rate of the poverty. This phenomenon drives the Department of National Education to carry out the Life Skills Program involving the society. The government policy in giving wide opportunity for the society to actively engage in education area is responded by the community of Village Sukosono Subdistrict Kedung District Jepara by establishing PKBM Al!Wathoniyah. PKBM carries out the external education school (pendidikan luar sekolah/PLS) including life skills program and cooperates with Mambaul Quran islamic boarding school. This establishment is driven by the relatively low level of wealth and education in Sukosono community. The implementation of this program needs to be evaluated and given feedback through research and action programs, in order for the program to be implemented better in the future.

(14)

DIAN NOOR TAMZIS HANAFI. Pengembangan Program Kecakapan Hidup ( ) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM Al!Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan HOLIL SOELAIMAN.

Pasca krisis ekonomi tahun 1998 dan dihadapkan pada situasi krisis keuangan global sejak tahun 2008, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan seperti banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kriminalitas, maraknya permasalahan sosial misalnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis, bertambahnya anak putus sekolah, serta meningkatnya jumlah penduduk miskin. Dari segi ekonomi, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja dan tingkat pendidikan. Rendahnya daya serap ini karena sempitnya lapangan kerja dan kompetensi yang diinginkan oleh lembaga penerima tenaga kerja tidak dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Fenomena ini mendorong Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyelenggarakan + '+ & #% $ ) ! ) , antara lain menyerahkan pengelolaannya

kepada #' ! # 2 + " + $ . Meskipun program ini

dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat dalam peningkatan ekonomi dan perluasan jaringan, tetapi secara konsep dan implementasinya, terdapat

perbedaan antara Depdiknas dengan WHO ( ).

Kebijakan pemerintah memberikan kesempatan seluas!luasnya bagi masyarakat untuk turut berperan serta aktif dalam dalam bidang pendidikan, menjadi dasar pembentukan PKBM Al!Wathoniyah di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. PKBM Al!Wathoniyah merupakan kelembagaan yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM) ! meski! pun tetap menggunakan aturan main yang ditetapkan pemerintah ! berperan dalam bidang garapan pendidikan luar sekolah (PLS) dalam wilayah Desa Sukosono dan sekitarnya. Pendirian PKBM sesuai dengan konsep

dan merupakan karena dibentuk

dengan konsep DOUM tersebut. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah program kecakapan hidup ( ) untuk memberikan alternatif jenis keterampilan yang dapat dikembangkan oleh warga belajarnya dalam memperoleh penghasilan agar tidak tergantung pada sektor meubel. Di Sukosono, penyelenggaraan antara lain bekerja sama dengan pesantren Mamba’ul Qur’an, sebuah lembaga keagamaan Islam yang telah ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono.

(15)

Penyelenggaraan PLS oleh PKBM Al!Wathoniyah perlu mendapatkan evaluasi dan umpan balik melalui penelitian dan program aksi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan program, mengetahui faktor pendukung dan penghambat program, serta merancang program aksi untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren melalui pengembangan

yang telah berjalan. Hasil analisis tersebut dijadikan tolok ukur untuk merancang strategi pengembangan program demi tercapainya tujuan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, melalui teknik !

(FGD). Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, berkembangnya industri kecil, kolaborasi dengan swasta dan dunia industri, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta mendapatkan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga.

Melalui FGD, dibentuk beberapa rencana program aksi tersebut, yaitu: program peningkatan mutu produk, yang dilakukan untuk tetap mempertahankan jenis yang bermanfaat dan berlanjut sampai sekarang serta “menghidupkan” jenis keterampilan yang berhenti di tengah jalan; program pengembangan usaha, dengan pengembangan jejaring dan peningkatan kerja

sama antar ; dan program pembentukan usaha baru, untuk

menjangkau lebih banyak masyarakat yang memerlukan , antara lain penyediaan alat peraga edukatif (APE) dan usaha bordir.

Kata kunci: kesejahteraan, pendidikan luar sekolah, , PKBM, pesantren.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang!Undang

" # $

$ $ $ $

% &

% '#(

(17)

! "

#

$ !

#% &

!

#

!'

( ) #! *#) +

,

-Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

.

*

(18)

* ' $ + 3 #!'#&( !' ! + '+ & #% $ ) ! ) ! $ #&(#+ " ! " + $ #$ +

# ! +#! ! "

# $ ! #% & ! # !' ( ) #!

*#) +

& 4 3 ! + &5 ! 6

& + $ $ 3 7890:0//8

# 2

& #&( &( !'

+; +; 2 2 ! < ; ; #

+ ; # & !< < !''

$#

# + '+ & ' #+ + 6# ! #!'#&( !' ! " + $

+; +; 2 + ; . ( < ; ;

#$ ! #$ % +2 !

+ 6; +; +; ; + !4 + ) + < ; ;

(19)

.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah ) .

Shalawat dan salam sejahtera semoga disampaikan kepada Nabi Muhammad

*+ , beserta keluarga dan sahabatnya serta para

penerus perjuangannya. Amin.

Setiap manusia mengalami proses pembelajaran sepanjang hidupnya. Dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran itu dirumuskan dalam asas

(pendidikan sepanjang hayat). Dalam konsep tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah (PLS). Penulis berusaha menganalisis salah satu jenis PLS berupa kecakapan hidup ( ) ! program yang digulirkan Depdiknas ! yang diselenggarakan oleh PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat untuk menguasai keterampilan praktis yang dapat dimanfaatkan dalam mencari penghasilan. PLS fleksibel sifatnya, dapat dikolaborasikan dengan kelembagaan masyarakat yang telah ada. Penulis ingin mencari efektifitas pengembangan penyelenggaraan PLS khususnya oleh PKBM yang antara lain dikola! borasikan dengan kelembagaan pesantren agar bermanfaat bagi masyarakat.

Penulis menyadari bahwa Kajian Pengembangan Masyarakat ini bukan hasil jerih payah sendiri. Hasil ini diperoleh berkat bimbingan, dorongan, dukungan, dan doa yang tiada henti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih dari hati yang

terdalam (% % )) dan penghargaan setinggi!tingginya

kepada institusi: Departemen Sosial RI c.q. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana dalam mengikuti program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat ini, Institut Pertanian Bogor, serta Pemerintah Kabupaten Kudus yang memberi kesempatan dan izin mengikuti kuliah. Secara khusus ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing: Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. dan Drs. Holil Soelaiman, MSW, APU.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Noor Salim dan Ibu Subingah; mertua, Papah Irlan Surapermana dan Mamah Siti Fatimah; istri dan anak tercinta, Ira Yulistiana dan Najmi Azira Rifa Hanafi; serta kakak!kakak dan adik!adik penulis. Begitu pun kepada Mas Zaenun Eko Riyanto, Tenaga Lapangan Dikmas Kecamatan Kedung atas segenap bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian kajian; serta teman! teman MPM angkatan V atas segala cinta, persahabatan, pertemanan, kritik, dan saran. Semoga seluruh pengorbanan dari berbagai pihak tersebut, memperoleh

balasan yang berlipat ganda dari Allah ) .

Semoga kajian ini dapat berguna bagi pihak!pihak yang tertarik dan berkeinginan mengembangkan program!program PLS khususnya program

melalui PKBM, atau pun sebatas sebagai bahan kajian bagi peneliti lain.

.

(20)

Terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan Noor Salim dan Subingah pada tanggal 26 Oktober 1976, penulis tumbuh dan berkembang di kota Jepara, kota kecil paling utara pulau Jawa. Tumbuh dalam keluarga guru, penulis sangat menyadari akan arti penting pendidikan dalam perkembangan watak dan perilaku seseorang. Pada tahun 1989, penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Jambu 2, tahun 1992 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2, dan tahun 1995 tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1; semuanya di Jepara. Pada tahun 1994, penulis menjadi Siswa Teladan Kabupaten Jepara. Kemudian tahun 1995 sampai dengan 1999, penulis berkesempatan untuk menjalani program pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor Sumedang.

Semasa di STPDN, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun kedua di sekolah kedinasan tersebut. Setelah lulus pada tahun 1999, penulis ditugaskan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. Penulis diberikan kepercayaan sebagai Kepala Seksi Pemerintahan di Kelurahan Purwosari Kecamatan Kota Kudus pada tahun 2005, setelah sebelumnya bekerja sebagai staf di Bagian Kepegawaian dan Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Kudus selama enam tahun. Pada tahun 2007, penulis tergerak untuk kembali memasuki dunia akademis melalui kesempatan yang diberikan oleh Departemen Sosial yang memberikan beasiswa untuk program pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerja sama Institut Pertanian Bogor dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Pada tahun yang sama, karena menjalankan tugas belajar di MPPM, penulis dipindahkan status kepegawaiannya ke Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kudus, sampai dengan sekarang.

(21)

-Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 8

Tujuan Kajian ... 8

Manfaat Kajian ... 9

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis ... 10

Konsep Pendidikan Nasional ... 10

Pemberdayaan ... 15

Pesantren ... 17

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ... 23

Program Kecakapan Hidup ( ) ... 26

Kelembagaan ... 31

Pemantauan dan Evaluasi ... 33

Tinjauan terhadap Konsep Depdiknas ... 35

Kerangka Pikir Kajian ... 41

METODOLOGI Strategi Kajian ... 44

Lokasi dan Waktu ... 44

Cara Penentuan Responden dan Informan ... 46

Kriteria Responden ... 46

Kriteria Informan... 46

Cara Pengumpulan dan Analisis Data ... 46

Teknik Pengumpulan Data ... 46

Tahapan Cara Analisis Data ... 48

Rancangan Penyusunan Program ... 49

PETA SOSIAL DESA SUKOSONO Gambaran Umum Lokasi ... 50

Kependudukan ... 51

Perekonomian ... 54

Pendidikan ... 56

Pelapisan Sosial Ekonomi ... 58

Organisasi dan Kelembagaan ... 61

Kelembagaan Formal ... 61

Kelembagaan Non Formal ... 61

Tradisi ... 62

Sumber Daya Lokal ... 62

(22)

ANALISIS PROFIL PROGRAM ' , -' DI PKBM AL!WATHONIYAH Proses Pembentukan PKBM Al!Wathoniyah... 70 Sarana Belajar ... 74 Pesantren Mamba’ul Qur’an ... 77 Pemilihan Program ... 82 Perekrutan Tutor dan Warga Belajar ... 86 Proses Pencairan Dana ... 87 Penyelenggaraan Program ... 89

ANALISIS EFEKTIFITAS PROGRAM ' , -' OLEH PKBM AL!WATHONIYAH

Analisis Kelembagaan PKBM Al!Wathoniyah ... 105 Perubahan Kelembagaan ... 105 Pilar Penopang Kelembagaan ... 110 PKBM sebagai Organisasi dan Kontrol terhadap Sumber Daya ... 112 Analisis Proses Pembentukan PKBM Al!Wathoniyah ... 113 Analisis Penyelenggaran Pendidikan Luar Sekolah oleh PKBM ... 116 Pemenuhan Syarat Minimal ... 116 Bidang!Bidang Kegiatan yang Dikelola ... 118 Analisis Indikator Keberhasilan PKBM ... 124 Analisis Efektifitas Program ... 126 Analisis Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat

Program ... 132 Faktor Pendukung ... 132 Faktor Penghambat ... 140

RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

! ... 144 Proses Jalannya Diskusi ... 145 Tanggapan Peserta Diskusi ... 147 Rancangan Program Aksi ... 154 Latar Belakang ... 154 Tujuan ... 155 Sasaran ... 156 Strategi ... 156

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan ... 166 Rekomendasi ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 170

LAMPIRAN ... 175

(23)

-

.

Halaman

1 Persentase Penduduk Sukosono menurut Tingkat Pendidikan dan

Tingkat Kesejahteraan Tahun 2006 ... 5

2 Perbedaan Konsep menurut WHO dan Depdiknas ... 39

3 Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat ... 45

4 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data ... 47

5 Wilayah Kerja Administrasi Kabupaten Jepara ... 50

6 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 52

7 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Bagi 5 Tahun Ke Atas Tahun 2006 57

8 Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukosono Tahun 2006 ... 58

9 Banyaknya Rumah Tangga Menurut Status Kesejahteraan

pada Tahun 2006 ... 59

10 Komposisi Luas Wilayah Desa dan Pemanfaatannya ... 63

11 Penghargaan yang Pernah Diperoleh ... 74

12 Program yang Telah Dihasilkan ... 74

13 Sarana Belajar yang Digunakan ... 76

14 Program Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan oleh PKBM

Al!Wathoniyah Tahun 2007 ... 83

15 Jenis , Koordinator, Peserta, dan Tingkat Keswadayaan

yang Diselenggarakan PKBM Al!Wathoniyah ... 103

16 Identifikasi di Sukosono ... 104

17 Perubahan Kelembagaan Pendidikan Luar Sekolah ... 110

18 Tiga Pilar Kelembagaan ... 111

19 Data Nama Kejar, Tutor, dan Penyelenggara Program PBA

di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara ... 120

(24)

Halaman

21 Analisis Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah

Program ... 152

22 Program Peningkatan Mutu Produk ... 158

23 Operasionalisasi Program Peningkatan Mutu Produk ... 160

24 Jenis , Kondisi, dan Rancangan Program

Pengembangan Usaha ... 163

25 Program Pembentukan Usaha Baru ... 165

(25)

-Halaman

1 Diagram Klasifikasi ... 27

2 Model Pencapaian ... 36

3 Kerangka Pikir Kajian ... 43

4 Piramida Penduduk Desa Sukosono ... 52

5 Grafik Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa Sukosono 2006 ... 60

6 Diagram Pemanfaatan Lahan Desa Sukosono Tahun 2006 ... 63

7 Pemanfaatan Lahan di Desa Sukosono Tahun 2006 ... 64

8 Diagram Alir Hubungan Kemiskinan dengan Penyelenggaraan Pendidikan 68

9 Gambar Pilar Penopang Kelembagaan PKBM Al!Wathoniyah ... 112

(26)

. + # $ !'

Sampai dengan saat ini, kondisi kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian utama. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990! an, kondisi masyarakat semakin terpuruk, ditambah dengan minimnya akses masyarakat miskin terhadap sumber daya, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, serta rendahnya kualitas masyarakat yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan. Kondisi yang demikian dirasakan semakin membebani masyarakat miskin. Kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per tanggal 23 Mei 2008 silam, meskipun pada bulan Desember 2008 Pemerintah menurunkan harga BBM untuk bahan bakar bersubsidi tertentu, tetapi sudah cukup banyak menimbulkan dampak bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena sosial bahwa setiap terjadi kenaikan harga BBM selalu diikuti oleh kenaikan harga!harga sembilan bahan pokok (sembako), yang selanjutnya akan menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tidak langsungnya adalah menurunnya tingkat kesejahteraan sosial masyarakat yang ditandai dengan menurunnya pendapatan/penghasilan, daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat, dan melemahnya kondisi dunia usaha. Sementara dampak langsungnya adalah banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kriminalitas, maraknya permasalahan sosial seperti anak jalanan, gelandangan dan pengemis, bertambahnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah penduduk dan rumah tangga miskin, penurunan pendapatan riil, serta ketidakpastian jaminan kesejahteraan sosial masyarakat. BPS (2007) menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,2 juta jiwa.

(27)

mengambil keputusan merumahkan para pekerja. Sejumlah pabrik mobil pun ditutup. Hasilnya adalah gagal bayarnya pekerja manufaktur itu ke

. Efek berantai tidak dapat dihindari, industri keuangan AS melemah saat Merryl Lynch, Bear Sterns, dan Lehman Brothers menyatakan bangkrut. Lemahnya kondisi keuangan di AS tersebut diikuti oleh krisis di berbagai industri berbasis ekspor di berbagai negara akibat melemahnya permintaan pasar dunia. Kondisi ini turut mengakibatkan banyak industri berbasis ekspor di Indonesia mengalami kemunduran, antara lain industri meubel.

Timbulnya krisis ekonomi dan krisis keuangan global yang berimbas kepada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan tersebut, menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan penguasaan keterampilan praktis dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain dapat ditempuh melalui jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah (PLS).

Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks. Suharto (2006) mengungkapkan bahwa, secara ekonomis, yang tampaknya menjadi sorotan bahwa seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin adalah karena

(ketiadaan atau ketidakmampuan mengakses sumber daya) yang

disebabkan karena , serta

kurangnya dukungan pemerintah dan kelompok kuat, yang mana hal ini telah memudarkan spirit mereka untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan, sehingga mereka hidup dengan sikap apatis dan putus asa yang pada gilirannya memicu munculnya berbagai permasalahan sosial. Di satu sisi, struktur tenaga kerja Indonesia saat ini adalah 63,5% hanya berpendidikan SD ke bawah, serta tiap tahun terjadi penambahan angkatan kerja baru lebih dari 2 juta orang dan yang terserap di lapangan kerja, baik dalam sektor formal maupun informal, rata! rata di bawah 10% (SUSENAS BPS 2000). Rendahnya daya serap ini bukan semata!mata sempitnya lapangan kerja, akan tetapi kompetensi yang diinginkan oleh lembaga penerima tenaga kerja tidak dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja. Melihat pemikiran dan realitas ini, maka #$ + )#! $ ! merupakan sektor yang teramat penting bagi pemberantasan kemiskinan, yaitu untuk

"

Peningkatan pendidikan merupakan upaya yang harus dilakukan terus! menerus, karena pendidikan dipandang sebagai modal penting untuk

(28)

jangka menengah dan panjang. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan

masyarakat menyebabkan . / # (Juklak

Depdagri 1997) menetapkan bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu alat untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu wilayah. Demikian pula pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa! Bangsa (PBB) bulan September 2000, disepakati adanya Tujuan Pembangunan

Milenium (0 / ! 10 ! ), yang salah satunya adalah

mencapai pendidikan dasar untuk masyarakat dunia. Dalam penanggulangan kemiskinan, kebijakan dan program yang dilakukan antara lain dengan

&#&( $ )# !' ( ' + !' & $ !, memberdayakan kelompok miskin, dan melindungi kelompok miskin. Untuk membuka peluang bagi kaum miskin, berbagai kebijakan dan program dapat dilaksanakan antara lain dengan:

)+ '+ & )#! !'$ ! & < + ! < ! )+ + ! )#! $ !, program beasiswa bagi anak!anak keluarga miskin, serta program pemberdayaan masyarakat, )#! !'$ ! )#! $ ! ! ! 6 +& ! $# #+ &) ! bagi masyarakat miskin.

Fenomena dampak krisis berkepanjangan di Indonesia menuntut dunia pendidikan untuk me kebijakan pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (2004) telah merumuskan bahwa ada tiga tantangan besar di dunia pendidikan di Indonesia. # , sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil!hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. - , untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. - , sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan atau keadaan daerah dan peserta didik serta mendorong partisipasi masyarakat.

(29)

jalur, jenis, dan jenjang pendidikan pada “pendidikan kecakapan hidup (

)” melalui pendekatan “ ” atau pendidikan berbasis

pada kebutuhan masyarakat luas. Pendidikan merupakan salah satu

PLS, yang dikembangkan dengan konsep %

melalui pemanfaatan segala sumber daya yang ada dalam masyarakat dalam upaya penyelenggaraannya, dan merupakan

karena ditujukan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

+ '+ & #% $ ) ! ) yang digulirkan oleh Depdiknas melalui Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, dalam petunjuk pelaksanaannya dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap warga belajar di bidang pekerjaan/usaha tertentu sesuai dengan bakat, minat, perkembangan fisik dan jiwanya, serta potensi lingkungannya. Penyelenggaraan pendidikan

diarahkan pada upaya pengentasan kemiskinan dan upaya memecahkan masalah pengangguran, oleh karena itu pemilihan keterampilan yang akan dipelajari oleh warga belajar didasarkan atas kebutuhan masyarakat, potensi lokal, dan kebutuhan pasar, sehingga diharapkan akan memberikan manfaat positif bagi warga belajar, masyarakat sekitar, dan pemerintah. Program ini diselenggarakan dengan melibatkan berbagai pihak yaitu lembaga!lembaga kursus, perguruan tinggi, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat

Terpadu (LPTM), serta #' ! # 2 + " + $ .

Konsep menurut WHO ( ) adalah

kemampuan perilaku positif dan adaptif yang mendukung seseorang untuk secara efektif mengatasi tuntutan dan tantangan, selama hidupnya. Dalam Undang!Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa LSE ( , ) digolongkan

sebagai pendidikan non formal, yang memberikan keterampilan personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional untuk bekerja secara mandiri. Hal ini berarti program yang digulirkan Depdiknas menurut pengertian di atas haruslah mencakup semua jenis kecakapan hidup, bukan semata!mata menitikberatkan pada kecakapan vokasional saja. Karena jika hanya dititikberatkan pada vokasional, program ini lebih tepat apabila disebut sebagai / 1

(30)

Melalui kegiatan pemetaan sosial yang dilaksanakan penulis pada Pebruari 2007, diketahui bahwa di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara terdapat sebuah PKBM, yaitu PKBM Al!Wathoniyah yang berpusat di Desa Sukosono. PKBM Al!Wathoniyah aktif menyelenggarakan kegiatan PLS, antara lain adalah program menurut pengertian Depdiknas tersebut. Program yang dilaksanakan meliputi seni ukir/meubel, bobok, jahit!menjahit dan bordir, pembuatan makanan ringan (rengginan), pembuatan roti bolu, serta sablon. Program ini dilaksanakan di Desa Sukosono Kecamatan Kedung, lokasi di mana PKBM Al!Wathoniyah berada. Beberapa program lain yang juga diselenggarakan PKBM Al!Wathoniyah di luar Desa Sukosono, yaitu pembuatan terasi di Desa Bulak Baru dan kepiting keramba di Desa Surodadi.

Pelapisan sosial ekonomi masyarakat Desa Sukosono dapat dilihat pada tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan. Berdasarkan tingkat kesejahteraan, jumlah rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I di Desa Sukosono mencapai 69,40%; suatu angka yang cukup besar. Berdasarkan pendidikan, masyarakat Sukosono dibedakan dari yang berpendidikan tinggi (sarjana dan diploma), menengah (SLTP dan SLTA), dan rendah (SD dan tidak tamat SD); di mana terlihat bahwa 74,05% penduduk Sukosono berada pada tingkat pendidikan rendah. Melihat bahwa sebagian besar masyarakat Sukosono berpendidikan rendah, hal ini berkorelasi dengan banyaknya masyarakat pada tingkat prasejahtera dan sejahtera I, seperti ditampilkan dalam tabel berikut:

(# =; #+ #! # #! $ $ ! &#! + !'$ #! $ ! !

!'$ # #2 #+ ! ! /00>

; !'$ #! $ ! * &

+ !' ?

!'$

# #2 #+ !

* & + &

!'' ?

1. Tidak/belumbersekolah 622 12,93 Prasejahtera 619 7><8/

2. belum/tidak tamat SD)Rendah (SD dan 3561 :9<08 Sejahtera I 557 7/<@>

3. Menengah (SLTP danSLTA) 595 12,37 Sejahtera II 189 11,15

4. Tinggi (sarjana dan

diploma) 31 0,65 Sejahtera III 232 13,69

Sejahtera III+ 98 5,78

* & 9;@01 =00 =;>18 =00

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah

Mencermati tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

(31)

Kesimpulan ini juga didukung oleh sejumlah penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan yang positif antara pendidikan dan kemajuan pembangunan suatu negara. BPS (2005) menyebutkan bahwa dalam lingkup rumah tangga, data menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga berhubungan erat dengan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Berdasarkan SUSENAS Tahun 2004 diketahui bahwa mayoritas penduduk miskin dikepalai oleh kepala rumah tangga berpendidikan tidak/belum tamat SD (41,67%), SD (38,36%), dan hanya 0,75% yang kepala rumah tangganya berpendidikan tinggi (di atas SLTA).

Berdasarkan jenis mata pencaharian, sebagian besar penduduk Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan. Kondisi saat ini menyebabkan sektor permeubelan di Sukosono mengalami pasang!surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu dan kompetitifnya harga produksi. Harga bahan baku meubel meningkat tajam, sedangkan harga barang jadi tetap bahkan cenderung menurun. Apalagi dengan kompetitifnya harga produksi meubel yang terkadang harus “memaksa” pengusaha meubel menurunkan harga barang jadinya. Kondisi permeubelan yang tidak stabil ini, mengakibatkan tingkat pere! konomian masyarakat statis cenderung menurun. Untuk memberikan alternatif jenis pekerjaan kepada masyarakat Sukosono agar tidak hanya bergantung pada sektor meubel, maka PKBM Al!Wathoniyah berupaya memberikan keterampilan praktis lain kepada masyarakat melalui program .

Penulis tertarik meneliti penyelenggaraan program melalui PKBM untuk mengetahui efektif tidaknya program dilaksanakan, serta mengidentifikasi potensi dan peluang dalam masyarakat yang mungkin untuk dikembangkan melalui pelaksanaan program , dengan mengambil studi kasus di PKBM Al!Wathoniyah Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Hal ini karena prinsip yang digunakan dalam pembentukan PKBM beserta program!programnya adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM), yang sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat (

/ ) yang menjadi disiplin ilmu penulis.

(32)

dapat ditelaah dari pengertian pengembangan masyarakat, yaitu sebagai suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya

dan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan, di mana

semua usaha masyarakat dengan usaha!usaha

pemerintah setempat untuk , dengan sebesar mungkin

ketergantungan pada masyarakat sendiri, serta

sehingga proses pembangunan berjalan " PKBM dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat dengan partisipasi dan inisiatif masyarakat sendiri, memanfaatkan swadaya masyarakat, berintegrasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam usaha menaikkan pengetahuan dan keterampilan warga belajar dengan pelayanan teknis oleh Penilik PLS dan TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) agar pelaksanaan program berjalan dengan efektif. Menilik dari pengertian tersebut, PKBM dapat dikategorikan sebagai pengembangan masyarakat.

Hal yang menarik dalam penyelenggaraan program ini di Desa Sukosono adalah bahwa penyelenggaraannya selain dengan masyarakat sekitar, dijalankan melalui kolaborasi antara PKBM Al!Wathoniyah dengan pesantren Mamba’ul Qur’an, dengan didampingi oleh dinas teknis terkait. Kolaborasi memungkinkan semua yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. Dalam hal ini, PKBM Al!Wathoniyah menyelenggarakan sebagai bentuk fungsi dan peranannya dalam melayani kebutuhan PLS bagi masyarakat, dapat menunjukkan eksistensinya sebagai kelembagaan pendidikan di tengah masyarakat, selain karena alasan!alasan ekonomis. Bagi pemerintah khususnya Dinas dan Cabang Dinas P dan K, mendampingi penyelenggaraan program

merupakan salah satu tugas pokok dan fungsinya sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Bagi pesantren Mamba’ul Qur’an, dapat melengkapi kegiatan pembelajaran bagi

santrinya berupa transfer ilmu!ilmu dan dalam rangka

memberikan bekal pengetahuan bagi para santri yang merupakan salah satu tugas pokoknya. Sedangkan bagi warga belajar, yang terdiri dari para santri dan masyarakat Sukosono dan sekitarnya, program ini turut membantu memberi keterampilan sebagai bekal di dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Bagi para santri, program ini melengkapi penguasaan ilmu pengetahuan dan

keterampilan di samping 1 (ijasah hapal Al!Qur’an dari

(33)

Secara mandiri dan alamiah, pesantren telah lama berjalan dengan konsep swadayanya, dan akan lebih baik apabila pesantren diberi ruang yang luas dalam mengisi pembangunan. Keberadaan pesantren ini bisa menjadi kapital sosial yang besar, apabila secara partisipatif disinergikan dan terintegrasi dalam kebijakan pembangunan. Pesantren dapat didorong untuk berdaya guna dan berkembang sesuai dengan potensinya masing!masing, tidak hanya sebatas tempat pengembangan sumber daya manusia, akan tetapi juga pusat pengembangan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat bagi masyarakat sekitarnya. Pesantren selain memiliki lingkungan, juga milik lingkungannya. Untuk mengetahui potensi dan peluang yang mungkin untuk dikembangkan melalui pelaksanaan program PLS khususnya , perlu dilakukan identifikasi kebutuhan dan sumber belajar masyarakat. Pemberdayaan lembaga pesantren merupakan hasil dari identifikasi kebutuhan dan sumber belajar masyarakat, di mana masyarakat pesantren ( ) sudah mulai membuka diri dan menganggap pendidikan umum sama pentingnya dengan pendidikan keagamaan. Maka tugas selanjutnya adalah menjawab tantangan, “bagaimana mengembangkan program kecakapan hidup ( ) untuk memberdayakan masyarakat sekitar pesantren”.

& !

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang sesuai dengan kondisi di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana profil program yang diselenggarakan PKBM Al!

Wathoniyah sebagai yang berkolaborasi dengan

pesantren Mamba’ul Qur’an di Desa Sukosono?

2. Bagaimana efektifitas program tersebut dilaksanakan?

3. Apa faktor pendukung dan faktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan program tersebut?

4. Bagaimana merancang program di PKBM untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren?

2 ! 2 !

(34)

1. Menggambarkan profil program yang diselenggarakan PKBM Al!

Wathoniyah sebagai yang berkolaborasi dengan

pesantren Mamba’ul Qur’an di Desa Sukosono;

2. Menganalisis efektifitas program dilaksanakan;

3. Menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan program tersebut;

4. Merancang program di PKBM untuk pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren.

!6 2 !

Manfaat dari kajian ini adalah:

1. Menambah wawasan dalam penyelenggaraan program PLS khususnya

program ;

2. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi PKBM Al!Wathoniyah dalam pengembangan PLS pada umumnya dan pengembangan program

pada khususnya di lingkungannya;

(35)

*

!2 ! # +

! #) #! $ ! !

Pendidikan, menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Ahmadi dan Uhbiyati (1991) mencoba memberikan pengertian bahwa kata pendidikan, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, , terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan “again” diterjemahkan membimbing. Jadi, yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak. Sementara Hatimah dkk (2006) menulis

bahwa berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata dan .

# berarti anak, dan berarti .# diartikan sebagai seni

dan ilmu mendidik anak. Brodjonegoro (Ahmadi & Uhbiyati 1991) mengatakan bahwa pendidikan atau mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai terjadinya kedewasaan dalam arti jasmani dan rohani.

Dunia pendidikan mengenal konsep atau pendidikan

(36)

dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Pada perkembangannya, konsep PSH diadopsi oleh banyak negara berkembang, sehingga negara!negara tersebut lebih berani mencari alternatif!alternatif dari sistem pendidikan yang ada khususnya pendidikan non formal. Konsep PSH telah menggeser anggapan bahwa proses pendidikan yang terjadi hanya di dunia sekolah; di luar sekolah sebenarnya terdapat pula proses pendidikan yang terjadi pada orang!perorang.

Tujuan pendidikan nasional (Mujahidin 2005) pada hakikatnya adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal itu dapat terlihat pada rumusan Ki Hadjar Dewantara, Undang!Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar!Dasar Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia, Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional 1965, Undang!Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan Undang!Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian “manusia seutuhnya” adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan tersebut, meskipun bersifat “eksplosif” (mengandung pengertian yang besar dan rumit), tetapi mencerminkan perpaduan pengembangan

2 (IQ), 2 (EQ), dan 2 (SQ).

Pengembangan IQ terlihat dari tujuan mendidik manusia yang menguasai ilmu, cakap, dan kreatif. Pengembangan EQ termaktub dari tujuan mendidik manusia yang berkepribadian mandiri, demokratis, dan mempunyai rasa tanggung jawab. Adapun pengembangan SQ terumuskan dalam tujuan mendidik manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.

(37)

masyarakat madani adalah masyarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab. Selanjutnya Tilaar (2000) juga merumuskan bahwa masyarakat madani Indonesia yang dicita!citakan adalah masyarakat yang mengakui (martabat manusia) yang berarti pengakuan pada setiap orang untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri baik secara perorangan maupun dalam hidup bersama.

Pencapaian visi dan misi pendidikan tersebut dilaksanakan melalui pilar! pilar pendidikan (Hatimah 2008; Winatapura 2007), yaitu bahwa pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan belajar untuk mengetahui

( ), belajar untuk melakukan sesuatu ( ), belajar

untuk menjadi seseorang ( ), dan belajar menjalani kehidupan

bersama ( ). Satu hal yang perlu dicatat bahwa proses

pendidikan tidak terbatas hanya berlangsung dalam lembaga pendidikan, melainkan sesuai dengan prinsip PSH, terjadi di mana pun, misalnya dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan bahkan dalam lingkungan kerja. Misi pendidikan yang diemban oleh kelembagaan!kelembagaan tersebut sama pentingnya dengan proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah atau institusi pendidikan lainnya. Lebih lanjut Hatimah (2008) menulis bahwa untuk

menuju / , dikembangkan konsep , yaitu

bahwa proses pengambilan keputusan pendidikan melibatkan semua tingkatan secara maksimal. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan adalah:

1. perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan;

2. pendidikan untuk semua;

3. pemberdayaan dan pendayagunaan berbagai institusi kemasyarakatan;

4. pengakuan hak!hak masyarakat termasuk hak pendidikan; dan

5. kerja sama dengan dunia usaha dan industri.

(38)

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal. Karena itu dalam konteks sistem pendidikan nasional, keluarga yang merupakan tempat berlangsungnya pendidikan informal, sekolah sebagai tempat pendidikan formal, dan masyarakat dalam kaitan dengan pendidikan non formal; merupakan komponen sistem pendidikan. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk non formal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk!bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga jenis pendidikan dimaksud digabung menjadi dua bagian, yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (PLS) yang mencakup pendidikan informal dan non formal. Dengan demikian, PLS bersifat lebih umum dan memiliki cakupan yang luas dalam kegiatan pembelajarannya.

#! $ ! 6 +& terlaksana di dalam pranata sosial yang disebut sekolah. Di dalam pendidikan sekolah kita kenal berbagai jenis dan jenjang di dalam program yang berstruktur yang dikenal sebagai kurikulum. Pola pikir yang dikembangkan adalah bahwa sekolah merupakan sarana penunjang keberhasilan pembangunan. Sekolah dibagi atas tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Sedangkan pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas yang merupakan kelanjutan dari jenjang pendidikan menengah.

(39)

masyarakat dalam bentuk kursus!kursus. Biasanya lama pendidikan terbatas meskipun programnya tetap berstruktur. Tetapi, PLS tidak terbatas pada kursus semata, karena kita kenal adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang setara dengan pendidikan Taman Kanak!Kanak, Kelompok Belajar Paket A, B, dan C yang setara dengan sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain kursus!kursus, terdapat juga program Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Perempuan, , Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan magang yang diarahkan kepada penguasaan keterampilan fungsional, yaitu agar keterampilan yang dikuasai tersebut dapat difungsikan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh - (Mujahidin

2005), PLS memiliki tiga model pendekatan, yaitu model pelengkap

( ), model sejajar ( ), dan model alternatif

( / ). Model pelengkap menunjuk kepada kegiatan PLS yang dilaksanakan untuk menambah kemampuan peserta didik dalam masalah! masalah tertentu. Penyelenggaraan kegiatannya dilakukan di luar kegiatan pendidikan sekolah. Di Indonesia, PLS yang termasuk dalam kategori ini adalah bimbingan belajar siswa, pramuka, dan lain!lain. Model sejajar menunjuk pada penyelenggaraan PLS yang paralel dengan pendidikan sekolah. Kedua jenis pendidikan ini berjalan berdampingan dan saling menunjang antara yang satu dengan lainnya. Para peserta didik adalah mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Contoh dari pendekatan ini yaitu program SLTP Terbuka. Adapun model alternatif menunjuk kepada PLS sebagai alternatif pendidikan sekolah. Model ini memiliki kebebasan yang luas dalam mengembangkan sistem dan program!program PLS. Contoh dari pendekatan ini adalah berbagai kursus dan pelatihan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam dunia pendidikan saat ini dikembangkan pula konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan

berbasis masyarakat ( ). Pembelajaran berwawasan

kemasyarakatan yaitu pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan berbagai potensi (sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi; sedangkan

(40)

masyarakat, dan untuk masyarakat sendiri. Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan harus didasarkan pada hal!hal:

1. kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi peserta didik; 2. pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran;

3. materi pembelajaran terintegrasi dengan kehidupan sehari!hari peserta didik; 4. masalah yang diangkat dalam pembelajaran ada kesesuaian dengan

kebutuhan peserta didik;

5. menekankan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik; 6. menumbuhkan kerja sama di antara peserta didik; dan

7. menumbuhkan kemandirian.

Pendidikan memiliki tiga aspek, sebagaimana dikemukakan Darmodihardjo (1978) yaitu (1) pembentukan kepribadian, (2) pengembangan ilmu pengetahuan, dan (3) pengetrapan ilmu pengetahuan yang berwujud keterampilan. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan berarti meneruskan dan mengembangkan nilai!nilai hidup serta nilai ilmu pengetahuan. Itu berarti bahwa ilmu pengetahuan yang benar bagi Indonesia adalah ilmu yang dapat diamalkan bagi pengembangan budi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kaidah!kaidah ilmiahnya.

#&(#+ " !

(41)

idenya, keputusan!keputusannya, dan tindakan!tindakannya. Sementara Parsons (Suharto 2006) berpendapat bahwa pemberdayaan kebanyakan dilakukan secara kolektif dengan kelompok sebagai media intervensi, seperti pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok sebagai strategi dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka mampu memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, Payne (1997, diacu oleh Adi 2003) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan ( ) pada intinya, ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Shardlow (1998) dan Biestek (1961, diacu oleh Adi 2003) menulis bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan salah satu prinsip dasar dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yaitu ‘ 3 ’ yang pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan dalam membentuk hari depannya.

Dalam konsep pembangunan masyarakat, konsep pemberdayaan erat kaitannya dengan konsep!konsep yang melingkupinya antara lain, konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Partisipasi menurut Mikkelsel (1999), merupakan keterlibatan mental atau pikiran dan emosi seseorang dalam mendorong memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Sedangkan menurut Soelaiman (1985), partisipasi merupakan adalah keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya.

(42)

semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar.

Strategi / dikembangkan dalam konsep

pembangunan masyarakat. Ife (1995) mengatakan bahwa

/ sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas. Melalui strategi pemberdayaan tersebut masyarakat akan memperluas partisipasinya dalam pembangunan secara menyeluruh dan secara bertahap yang mengakses kepada pembangunan kemandirian (Chamber 1996).

Berbagai macam pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan yang dimaksud dalam penulisan kajian ini adalah proses peningkatan dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Asumsinya adalah bahwa warga belajar yang terdiri dari masyarakat Desa Sukosono, santri pesantren Mamba’ul Qur’an, dan masyarakat sekitarnya didorong selain untuk terus meningkatkan kualitas terhadap pendalaman ilmu! ilmu agama Islam ( ) juga dapat turut serta aktif membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ( ) melalui program . Untuk mencapai maksud tersebut, maka diperlukan adanya bentuk intervensi sosial dalam aras (individu dan keluarga) yaitu kepada para santri dan masyarakat sekitar pesantren sebagai peserta program, aras (kelompok! kelompok kecil) yaitu kepada PKBM dan pesantren sebagai penyelenggara program, serta aras (organisasi dan institusi yang lebih besar) yaitu kepada Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kedung serta instansi di atasnya.

# ! +#!

(43)

sehingga pesantren juga berarti “tempat pendidikan manusia baik!baik”. Mujahidin (2005) menulis bahwa kata pesantren atau santri diduga berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India dari akar kata yang berarti “buku! buku suci”, “buku!buku agama”, atau “buku!buku tentang ilmu pengetahuan”.

Geertz (Ziemek 1986; Mujahidin 2005) menjelaskan bahwa santri memiliki arti sempit dan luas. Santri secara sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pesantren. Adapun dalam arti yang lebih luas, kata santri mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh!sungguh. Dari pengertian Geertz dapat ditarik pemahaman bahwa santri hanya dikenal dalam struktur masyarakat Jawa dan sekaligus pembeda dari masyarakat yang disebut abangan dan priyayi. Menurut Thaba (1996), lembaga pendidikan seperti pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu! Budha, dalam bentuk pendidikan asrama!asrama. Islam kemudian mengadopsi dan mengislamkannya. Sehingga dalam diri pesantren terkandung dua makna: makna keislaman dan makna keaslian Indonesia ( ).

Rahardjo (1998, diacu oleh Riani 2005) mengatakan lembaga pesantren seperti lembaga ‘gotong!royong’ yang dikatakan sebagai ciri khas, bagian dari tradisi dan merupakan hal yang ‘asli Indonesia’, yang merefleksikan pola kultural masyarakat Indonesia. Sehingga, pondok pesantren dengan cara hidupnya yang kolektif, merupakan perwujudan dari semangat dan tradisi gotong!royong atau sebagai wujud dari kapital sosial yang umumnya terdapat di perdesaan, di mana pesantren sebagian besar berada dan melakukan eksistensinya.

(44)

(3) kyai dan santri tinggal bersama!sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut “pondok”.

Menurut Zarkasyi, pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor (1970, diacu oleh Riani 2005), pesantren dibangun dari prinsip!prinsip dasar, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kepercayaan pada diri sendiri, dan kebebasan. Dari prinsip!prinsip dasar tersebut lahir paling tidak dua pengaruh fenomenal yang berkembang, yaitu , tradisi kepesantrenan sanggup bertahan dalam kurun waktu ratusan tahun. - , karena sikap egaliter (percaya bahwa semua orang sederajat ! pen) dari para kyai dan para pengasuhnya, pesantren menjadi pilihan alternatif yang diminati berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, fakta menunjukkan, di Indonesia terdapat puluhan ribu pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah, baik kota maupun desa. Kondisi saat ini, pesantren tidak lagi semata!mata berfungsi mendidik santri, tetapi telah berkembang menjadi lembaga sosial yang bergerak di luar pesantren, terutama masyarakat pedesaan. Hubungan antara pesantren dan masyarakat dijalin melalui aktifitas pengajian dan gotong!royong. Ada kalanya pesantren menjadi juru penerang masyarakat untuk menyukseskan program pemerintah seperti keluarga berencana, transmigrasi, pelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pendidikan formal/non formal.

Islam sebagai pandangan hidup, sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi, telah menempa manusia yang lahir dari pesantren menjadi manusia yang kokoh dalam wawasan, mental, dan akhlaknya. Untuk itu, secara ideal pesantren merupakan institusi penting yang harus terus dipelihara, dipacu keberadaannya dan diberdayakan komunitasnya. Melalui sejarah yang panjang, pesantren telah memainkan peran pentingnya dalam mengokohkan

bangsa. Perjuangan merintis kemerdekaan bangsa tidak terlepas dari perjuangan para santri, yang berjuang secara fisik maupun diplomasi. Lahirnya berbagai organisasi sosial keislaman bahkan partai politik yang dipelopori para kyai dan santri menjadi bukti bahwa pesantren mempunyai kontribusi yang tidak kecil terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia. Sampai dengan saat ini, dunia mengenal bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan terbesar jumlah umat Islamnya.

(45)

diidentikkan dengan : kemandegan (% ), kumuh, dan menghasilkan manusia yang kurang berdaya serta kurang kompetitif. Dan tidak dipungkiri bahwa, kesenjangan perkembangan pesantren juga sangat kita rasakan dari data yang sering dijumpai di lapangan (Forum Lintas Pelaku 2002, diacu oleh Riani 2005).

Senada dengan itu, Sidik (2000) menyatakan bahwa dunia pesantren sering diidentikkan dengan % , keterbelakangan, dan ketertinggalam terhadap dunia ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bagi sebagian kalangan masih meragukan potensi yang ada pada pondok pesantren. Selain itu, terdapat pendapat di kalangan pesantren, bahwa urusan tidak sepenting urusan , menjadikan pesantren makin tidak berdaya dalam kehidupan . Akibatnya, setelah santri menamatkan pendidikan pesantren untuk kemudian masuk ke kehidupan masyarakat umum, mereka kelabakan dan tidak siap menghadapi kemajuan jaman serta persaingan hidup yang semakin kompleks. Dari sisi lain, anggapan yang melekat pada pesantren tradisional adalah kemiskinan, baik dari segi kehidupan dunia maupun pengetahuan umum. Sehingga diperlukan lembaga kepesantrenan yang mampu memberikan pendidikan tambahan seperti pendidikan umum yang dilaksanakan di sekolah! sekolah. Mundurnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia Islam menurut Sidik (2000) mengutip pendapat Prof. Dr. Abdus Salam, tidak terlepas dari pemikiran salah seorang cendekiawan terbesar Islam yaitu Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa mempelajari ayat!ayat (ayat!ayat alam raya dan fenomenanya) adalah tidak ada gunanya dibandingkan mempelajari ayat!ayat (ayat!ayat yang tertulis dalam kitab suci). Pemikiran ini mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia Islam karena diucapkan oleh salah seorang cendekiawan besar pada jamannya. Sikap acuh terhadap bagian dunia lain yang mempelajari ayat!ayat , yang semula dikembangkan oleh dunia Islam itulah merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam.

(46)

yakin pesantren dapat memberikan ilmu sebagai bekal hidup pada masa yang akan datang.

Dalam kehidupan pesantren, segala sesuatu tidak lepas dari otoritas pemimpin atau kyai atau pengasuh pondok pesantren. Hal ini karena kyai merupakan panutan bagi komunitas santri. Usman (2006) mengungkapkan:

Di kalangan komunitas santri, para kyai mempunyai posisi yang amat mulia karena dengan kemampuan dan pengetahuannya para kyai telah menempatkan dirinya sebagai ulama!ulama pewaris Nabi Muhammad SAW, atau menjadi ‘penjaga’ utama proses sosialisasi ajaran Islam. Anggapan demikian dalam perkembangannya menjadi tali pengikat ‘emosi!religius’ baik bagi lapisan bawah (yang kebanyakan bercirikan tradisional!agraris) maupun lapisan menengah yang telah mengenyam pendidikan modern. Dari sini, berkembanglah tradisi 2 , yaitu suatu kepatuhan yang hampir tanpa syarat.

Kyai secara tradisional dianggap mempunyai otoritas yang tak tergoyahkan dan kharismatik, walaupun di beberapa kasus, kepemimpinan kharismatik ini telah mulai tergeser oleh kepemimpinan rasional. Hal ini semakin menciptakan kehidupan yang lebih partisipatoris di dunia pesantren.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa pesantren merupakan perwujudan kultur asli Indonesia, muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat. Peran para kyai sangat dominan dalam kehidupan pesantren, yang sangat berperan besar dalam perkembangan masyarakat. Pesantren selain memiliki lingkungan, juga milik lingkungannya. Dengan kemandiriannya, pesantren mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Mengingat posisi pesantren tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesantren mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan masyarakat ( / ) yang bila ‘dipertemukan’ dengan program! program pemerintah yang tepat akan mempunyai manfaat yang besar pula.

Berdasarkan perkembangan selanjutnya, pesantren dapat diklasifikasikan kepada empat jenis (Arifin 1995, diacu oleh Mujahidin 2005) yaitu:

(47)

# , pesantren , yaitu pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya, selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader dai, juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan dapat mengisi posisi!posisi strategis, baik di dalam pemerintahan maupun di tengah masyarakat.

# ' , pesantren (modern), yaitu pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disebut , karena adanya berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tidak hanya diberikan materi agama dan umum, tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan atau

/ (keterampilan).

##&) , pesantren % ) (asrama pelajar dan mahasiswa), yaitu pesantren yang memberikan pengajian kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam perspektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar di sekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal.

Berbeda dengan Arifin, Ziemek (1986, diacu oleh Mujahidin 2005) membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi dari pesantren tersebut. Atas dasar hal itu, pesantren dibagi kepada lima jenis, yaitu:

#+ & , pesantren (pesantren kaum sufi), yaitu pesantren yang menyelenggarakan pengajian!pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Di sini, beberapa orang santri diterima belajar dan berdiam di rumah kyai. Pesantren tarekat lebih menekankan kepada

pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah ) .

Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah ) dengan berbagai kegiatan, seperti

melaksanakan , , dan sebagainya.

(48)

# ' , pesantren plus sekolah, yaitu pesantren dengan komponen!komponen klasik yang dilengkapi dengan suatu madrasah (sekolah) yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dan pembaruan Islam. Madrasah tersebut memiliki tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah!sekolah yang resmi.

##&) , pesantren, sekolah, plus pendidikan keterampilan; yaitu pesantren yang di samping menyelenggarakan sekolah, juga menyelenggarakan berbagai pendidikan keterampilan bagi santri dan warga sekitarnya. Pendidikan keterampilan tersebut antara lain jahit!menjahit, teknik elektro yang sederhana, perbengkelan, pertukangan, dan lain!lain.

# & , pesantren modern, yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah dasar hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga menyelenggarakan program pendidikan keterampilan. Program!program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren ini.

#' ! # 2 + " + $

(49)

2006, pada tahun 2002 BPS mencatat sekitar 3.580.000 anak usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah dan sekitar 7,9 juta anak usia 16!18 tahun tidak bersekolah di SLTA. Penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 15 juta orang dan untuk kelompok usia 10!44 tahun tercatat sekitar 4 juta orang. Jumlah penduduk yang terindikasi buta aksara mengalami kenaikan, mencapai 9,1%. Apabila jumlah penduduk Indonesia adalah 200 juta jiwa, maka terdapat 18 juta jiwa lebih di Indonesia termasuk dalam kategori buta aksara. Di Kabupaten Jepara, masih tercatat 12,8% jumlah penduduk Kabupaten Jepara yang terindikasi buta aksara. Berbagai kelompok masyarakat yang tidak tertampung oleh jalur formal inilah yang sebagian harus dilayani melalui jalur pendidikan non formal, yang salah satunya diselenggarakan oleh PKBM.

PKBM didefinisikan sebagai suatu wadah berbagai pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya; yang pengelolaannya berdasarkan prinsip DOUM (Direktori PKBM Jawa Barat 2006, diacu oleh Yuliantoro 2008). Dari konsepsi tersebut, terlihat penekanan pada aspek partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembelajaran/pendidikan.

Sejalan dengan Ife (1995) yang mengatakan bahwa /

sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas, maka penyelenggaraan pendidikan non formal melalui PKBM dapat diartikan sebagai / "

PKBM memberikan wahana bagi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar berupa pengetahuan dan keterampilan yang bermakna bagi kehidupannya, berfungsi sebagai wadah berbagai kegiatan belajar masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan masyarakat. Tujuan dibentuknya PKBM adalah untuk memperluas kesempatan warga belajar, khususnya bagi anak keluarga tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Dalam bingkai konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (

(50)

Terdapat empat bidang kegiatan yang dikelola PKBM, yaitu:

1) Pendidikan, meliputi: bimbingan, pengajaran, dan pelatihan keterampilan;

2) Pelayanan informasi: menghimpun dan memberikan layanan informasi dari PKBM kepada masyarakat sekitar dan lembaga luar;

3) Jaringan informasi dan kemitraan, meliputi:

a. mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga lokal maupun di luar masyarakat;

b. memelihara jaringan yang telah terbina;

4) Pembinaan tenaga kependidikan PKBM meliputi: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, instruktur, maupun nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun difasilitasi dari luar (pemerintah).

Secara operasional, PKBM merupakan tempat di mana kegiatan PLS dipusatkan pelaksanaannya dengan lokasi berada di tingkat kecamatan. Syarat minimal dapat didirikan PKBM adalah:

1. Adanya gedung sekolah/gedung lainnya yang kosong dan tidak dimanfaatkan;

2. Minimal dapat digunakan selama 5 tahun;

3. Ada izin tertulis dari pihak berwenang;

4. Memiliki sekurang!kurangnya 2 lokal;

5. Letaknya mudah dijangkau oleh masyarakat; serta

6. Adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan.

Indikator keberhasilan PKBM yang ditetapkan Depdiknas adalah:

1. Keberhasilan pengelolaan

a. Setiap hari ada kegiatan pembelajaran;

b. Minimal diselenggarakan lima jenis kegiatan pembelajaran.

2. Keberhasilan proses pembelajaran

a. Meningkatkan peran serta warga belajar dan masyarakat sekitarnya; b. Terciptanya suasana belajar yang kondusif;

c. Semakin meningkatnya kemampuan warga belajar dan warga masyarakat sekitar dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya atau sebagai mata pencaharian warga desa setempat; d. Semakin meningkatnya kualitas hidup warga belajar dan masyarakat

(51)

+ '+ & #% $ ) ! )

atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika dirunut dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu dan " berarti hidup, sedangkan adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan; sehingga

secara bahasa dapat diartikan sebaga

Gambar

Gambar�di�atas�menyebutkan�bahwa�pencapaian�������������meliputi�empat�
Tabel�di�atas�menunjukkan�bahwa�jumlah�rumah�tangga�prasejahtera�dan�
Grafik� di� bawah� ini� memperlihatkan� rumah� tangga� di� Desa� Sukosono�
Tabel�di�atas�dapat�disajikan�dalam�bentuk�gambar�di�bawah�ini:�
+5

Referensi

Dokumen terkait

Citra dari spektrum ini menunjukkan bahwa atom hidrogen menyerap paling banyak pada panjang gelombang 6561.227 dengan fluks absorbsi − 1. Bintang

diri dalam mengambil inisiatif dengan menjadi orang yang dapat memulai sendiri. dan mendorong diri sendiri sehingga dapat memberikan pelayanan

Pola lagu kalimat terdiri dari tiga nada suara dalam BMU yang terdapat dalam tiap unit jeda dengan satu tekanan kalimat. Satu kalimat dapat ter- diri dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi model distribusi sedimen EARM agar dapat digunakan untuk memprediksi kurva H-V.Lokasi penelitian inidi

Murid diberikan gambar karangan naratif dan diakhiri dengan borang refleksi bagi memberikan mereka ruang untuk mengukur pemahaman mereka dalam memberi maklum balas dan

Adapun faktor penghambat Fungsi Humas Pemerintahan Dalam Mediasi Dan Publikasi Pada Kantor Perwakilan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan) Sulawesi

Berdasarkan olah data diperoleh nilai signifikan pada struktur modal, kemampulabaan dan ukuran perusahaan yang mana nilai tersebut lebih kecil daripada nilai

Dari hasil analisa diketahui bahwa terdapat 5 faktor dengan eigenvalue &gt; 1, atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa terbentuk 5 faktor penarik baru