• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic Analysis of Law

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Economic Analysis of Law"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

EKONOMIC ANALYSIS OF LAW

Oleh :

Chairul Lutfi, S.HI., SH

Praktisi Hukum Ekonomi Syariah / Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal

sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui

pemikiran utilitarian-isme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik

bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan

mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis

mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas

proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai

tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan

dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan

artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab

hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan

penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum

kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.1

Dalam perkembangannya Economic Analysis of Law mengalami

perkembangan yang luas terhadap berbagai permasalahan baik di bidang hukum

maupun kebijakan publik. Dalam praktiknya di Indonesia, orientasi ekonomi

menjadi dominan dalam pembentukan perundang-undangan mapun dalam

konteks penentuan kebijkan pemerintah. Sehingga unsur ekonomi masuk kategori

1

(2)

2

yang substansial mempengaruhi beberapa undang-undang dari produk politik

hukum di Indonesia.

Salah satu produk undang-undang yang erat kaitannya dengan Economic

Analysis of Law di Indonesia adalah tentang penyelesaian sengketa bisnis. Pada

tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut membahas

bagaimana prosedur penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan (litigasi)

maupun jalur di luar pengadilan (non litigasi) yang biasa disebut dengan ADR

(Alternative Dispute Resolution)2

Selanjutnya aplikasi Economic Analysis of Law di Indonesia pada

bidang perdata kepailitan dan PKPU yang Pada tahun 1998 diatur dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan,

selanjutnya ditetapkan dengan UU Nomor 4 Tahun 1998 dan telah diperbaharui

dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.3

Economic Analysis of Law meluas juga dalam pembahasan

undang-undang ekonomi lainnya, serta mempengaruhi dalam penerapan putusan-putusan

pengadilan yan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Richard A Posner

utamanya dalam perundang-undangan, penegakan hukum dan putusan hakim di

Indonesia.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah

sebagaimana berikut :

1. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis

Ekonomi Syariah?

2

ADR (Alternative Dispute Resolution) Model ini cukup popular di Amerika Serikat dan Eropa dalam penyelesaian sengketa bisnis dan ekonomi

3

(3)

3

2. Bagaimana Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam

Perkara Kepailitan ?

3. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi

(Insentive v. Sanksi) ?

4. Bagaimana Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan ?

C.Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini

bertujuan sebagaimana berikut :

1. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa

Bisnis Ekonomi Syariah

2. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap

Dalam Perkara Kepailitan

3. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan

Ekonomi (Insentive v. Sanksi)

(4)

4

PEMBAHASAN

A.

Pengertian Economic Analysis of Law

Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum meluas pada

setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan

hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut4:

“Suatu studi tentang banyak aplikasi pada pemikiran ekonomi tentang

kebijakan hukum dan publik termasuk paeraturan di bidang ekonomi bisnis,

pemaksaan anti trust, dan hal-hal lain yang menadasar seperti hak properti, cacat

hukum dalam hukum kontrak dan perbaikannya, prosedur sipil dan kriminal.

Tidak ada latar belakang, ekonomi istimewa yang diperlukan: konsep ekonomi

yang relevan akan dikembangkan dengan analisis berbagai aplikasi hukum”

Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak buku

Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun 1973.

Tidak jauh berbeda dengan para pakar Hukum dan Ekonomi lainnya, ia

mengembangkan ajaran-ajaran pasca-Coasian dan ilmu ekonomi. Salah satu hal

yang menarik di dalam karya-karyanya, Posner tidak pernah lepas untuk

mengembangkan analisisnya secara normatif dan empiris. Bobot pengkajian

hukum di dalam Economic Analysis of Law nya lebih menonjol dibandingkan

dengan analisis predeterminasi ekonomi. Selain memang pada hakikatnya

Economic Analysis of Law merupakan analisis hukum yang menggunakan

bantuan ilmu ekonomi dalam memperluas dimensi hukum, Posner tidak pernah

secara formal mendapatkan pendidikan di ilmu ekonomi. Sejak 1983, ia menjabat

sebagai dosen senior di University of Chicago Law School dan sebagai hakim di

US Court of Appeals, Seventh Circuit.5

“... economics is the science of rational choice in a our world-in which resources are limited world-in relation to human wants. The task of economics is to explore the implications of assuming that man is a

4

Sumanto, S.H., h. 88

5

(5)

5 rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall

call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions

which are attended for the regulation of the bevaviour of persons whose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions, as measured in economic terms. Law is, therefore, created and applied primarily for the purpose of maximizing overall social

utility”.6

Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat

dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan

mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula

untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaintannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economic tools untuk mencapai maximization of happiness.7 Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan

tidak menghi-langkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic

standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan

(utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia. Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang dikembangkan oleh Posner

kemudian dikenal dengan the economic conception of justice, artinya hukum

diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan

umum seluas (maximizing overall social utility)8

Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk

menjelaskan hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih

diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk

mempertahankan inti pendiriannya, Posner mengembangkan Hukum dan

Ekonomi melalui bukunya The Economics Justice (1981). Posner mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way than human

satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay for goods and

6

Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A., h. 3, 249-256 dalam Fajar Sugianto, h.16

7

Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007, h.1 dalam Fajar Sugianto, h.17

8

(6)

6

services is maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). Walaupun definisi ini dikatakan sempit, Posner hingga sekarang terus membangun analisisnya (bahkan

memperluas konsep utilitas).9

Posner bukan orang pertama yang melahirkan ide tentang economy analysis of law. Teori ini sebetulnya sudah muncul dan dikembangkan oleh kalangan utilitarianisme seperti Jeremy Bentham dan John Stuarth Mill. Teori

utilitas ini mengutamakan asas kebergunaan sesuatu/tool. Jadi sesuatu/esse harus

memberikan manfaat/nilai utilities bagi esse yang lain (social welfare).10

Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas

Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia,

maka mengkritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan

prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan

rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang

menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya

ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement

dari peraturan perundang-undangan.11

Diantaranya, Economic Analysis of Law dalam penyelesaian sengketa

bisnis, Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara

Kepailitan, Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi,

dan Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan.

9

utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang. Unit teoritikal untuk penjumlahan utilitas adalah util. Doktrin dari utilitarianisme ,elihat maksimalisasi dari utilitas sebagai kriteria moral untuk organisasi dalam masyarakat. Menurut para utilitarian, seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan untuk memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk "kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar"

10

Bdk. Erman Radjagukguk, dalam Artikel Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2

11

(7)

7 B.Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi

Syariah

Kegiatan bisnis di era globalisasi dan modernisasi dewasa ini semakin

meningkat dengan banyaknya terjadi ransaksi-transaksi yang terus mengikuti,

kemudian tidak mungkin dihindari pasti akan terjadi sengketa (dispute/difference)

antara para pihak yang terlibat didalamnya. Setiap jenis sengketa yang terjadi

selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat dan tepat untuk

mendapatkan sebuah solusi yang berkeadilan selain juga memiliki biaya yang

mudah dijangkau/murah (quick and lower in time and money to the parties.)12

Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada

kemungkinan atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah

yaitu silang sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan

dunia bisnis atau perjanjian; mengenai bagaimana cara melaksanakan

klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar

dugaan karena keadaan memaksa (overmacht; force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian

sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian

sengketa, dapat dengan cara; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli.13

Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut:

1. Sengketa perniagaan

2. Sengketa perbankan

3. Sengketa Keuangan

4. Sengketa Penanaman Modal

5. Sengketa Perindustrian

6. Sengketa HKI

7. Sengketa Konsumen

8. Sengketa Kontrak

12

Pihak yang bersengketa akan cenderung memilh penyelesaian yang bisa diselesaikan dengan cepat dan biaya murah, lihat Ramdlon Naning, Artikel, h. 27

13

(8)

8

9. Sengketa pekerjaan

10. Sengketa perburuhan

11. Sengketa perusahaan

12. Sengketa hak

13. Sengketa property

Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui

prosedur litigasi atau penyelesaian dimuka pengadilan dalam posisi yang

demikian para pihak yang bersengketa dengan antagonistis. Penyelesaian

menurut jalur hukum seperti ini biasanya kurang popular dikalangan dunia bisnis

sehingga model ini tidak direkomendasikan jikapun akhirnya terpaksa ditempuh

penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai pilihan terakhir (ultimum remidium)

setelah alternative lain tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Penyelesaian

sengketa selain menggunakan system peradilan (ordinary court) juga dapat diselesaikan dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu

alternatif penyelesaian non-litigasi diluar pengadilan.14 Penyelesaian melalui

Alternatif Dispute Resolution (ADR) antara lain adalah :

a. Nogosiasi (negosiation);

b. Mediasi (mediation);

c. Konsiliasi (conciliation);

d. Arbitrase (arbitration)15

Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)16

Terjadinya sengketa dalam dunia bisnis dipaparkan oleh Gery

Goodpaster, menurutnya dalam hal terjadinya sengketa bermacam-macam, baik

dalam hal isinya yang spesifik, pihak-pihak yang bersengketa maupun persoalan

14

Ramdlon Naning, Artikel, h. 27

15

Ramdlon Naning, Artikel, h. 27-28

16

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

(9)

9

yang disengketakan.17 Kemudian dalam proses selanjutnya, penyelesaian sengketa

tersebut memiliki opsi untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigation)

maupun di luar pengadilan (out of court).

Alternatif penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam

Bab II pada Pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam Pasal 1 angka 10

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli” dan rumusan Pasal 6 ayat (1) “Sengketa atau beda pendapat

perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian

sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.18

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang haruslah terdapat klausul arbitrase (arbitration clause) maupun perjanjian arbitrase (submission agreement atau acte compromise). Dari kedua bentuk perjanjian tersebut, yang sering digunakan dalam praktik adalah klausul

arbitrase sebagaimana dikatakan oleh A.C. Foutoucos.19

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase di Indonesia di bawah

kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).20 Para pihak harus

bersepakat memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa

bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikan sengketanya melalui Peradilan,

karena akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta sunt servanda), namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang,

17

Garr Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h.3

18

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

19

A.C. Faoutoucos, Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988, h.115

20

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki klausul sebagaimana berikut

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh

(10)

10

terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak

bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.

Oleh sebab itu kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu

keharusan penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase yang putusannya bersifat

final dan binding.

Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya

perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo. ataupun akta kompromis. Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun

1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa

adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum

yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara,

termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau

sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat

klausula arbitrase.21

Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan

perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang

mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase

dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian

untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu

persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa

perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya

dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena

itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi / isi perjanjian,

21

Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah

(11)

11

pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.22 Sehingga secara tegas

dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum

yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat

sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).

Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat

persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase,

yang berbunyi:

1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2)

sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.23

Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik

ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah

satunya adalah BASYARNAS yang secara khusus mempunyai kewenangan

menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadapi oleh umat Islam.

Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan besar bagi kewenangan Peradilan

Agama. Kewenangan Peradilan Agama diperluas dengan memasukkan bidang

ekonomi syariah sebagai salah satu bidang kompetensinya yang tercantum dalam

pasal 49. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit

22

Abdul Ghofur Anshori, “Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU

No.21 Tahun 2008”, cet. Ke-1 (Yogyakarta: UGM Press, 2010), h.. 68.

23

(12)

12

bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan

Agama.24

Kemudian secara yuridis Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama terkait kewenangan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi

syariah bertentangan dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008

yang mengandung ketidakjelasan hukum.25

Kesimpulannya, dengan dinyatakannya penjelasan pasal Penjelasan Pasal

55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, maka konsekunsi logisnya adalah: seluruh sengketa perbankan

syari’ah (dalam jalur litigasi) harus diselesaikan di Pengadilan Agama,26

sesuai

ketentuan pasal 55 Ayat 1 Undang-undang a quo, yang berbunyi, “Penyelesaian

sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama.”27

24

undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diUndang-undangkan kembali dengan lahirnya Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

25

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

26 M. Yahya Harahap, “

Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) h.. 181.

27

Jo. Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi,

(13)

13 Kelebihan dan Kekurangan Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui BASYARNAS

Arbitrase memiliki kelebihan dengan juga kekurangan berdasarkan

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dijelaskan bahwa antara kelebihan arbitrase

adalah: a) kerahasiaan para pihak dijamin; b) dapat menghindari kelambatan yang

diakibatkan karena prosedural dan administratif; c) pihak-pihak dapat memilih

arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta

latar belakang yang cukup untuk mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan

adil, d) pihak-pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e) putusan

arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata

cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.28

Kelebihan utama arbitrase disbanding dengan pengadilan adalah sifat

kerahasiaannya, karena keputusan arbitrase tidak dipublikasikan. Hal inilah yang

sangat penting bagi para pebisnis, sebab masyarakat umum tidak mengetahui

adanya sengketa dalam perusahaan tertentu. Seseorang pebisnis biasanya merasa

terganggu bermitra dengan pebisnis lain yang sedang bermasalah ke pengadilan

dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya; atas dasar itu, arbitrase merupakan

faktor yang mendukung reputasi pebisnis di dunia usaha pada umumnya.29

Arti penting arbitrase dalam menyelesaikan sengketa adalah sifat

fleksibelitasnya dan kecenderungan tidak formal. Hal ini berdampak pada sikap

para pihak yang bersengketa sehingga tidak terlalu bersitegang dalam

menyelesaikan perkara. Iklim seperti ini sangat kondusif dan lebih mendorong

28Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa dalam Dunia Usaha” dalam

Djarab, dkk (ed.), Prospek dan Pelaksanaan, h. 139; dan Ais Chatamarrasjid, “Penyelesaian

Konflik: Arbitrase dan Pengadilan” (Jakarta: t.pn. 1999), h. 3-4. Dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 74-75

29

(14)

14

semangat kerjasama para pihak sehingga mempercepat proses penyelesaiaan

perkara.30

Arbitrase bagi dunia usaha merupakan pilihan yang cocok dengan

semangat menumbuhkan etika bisnis. Hal ini penting sekali guna mengurangi

kebiasaan kolusi dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan

sengketa-sengketa bisnis, dengan demikian akan tumbuh budaya hukum di kalangan

pebisnis. 31

Sedangkan diantara kelemahan arbitrase adalah: a) hanya tersedia dengan

baik bagi perusahaan-perusahaan yang bonafide; b) due process kurang terpenuhi; c) kurangnya unsure finality;d) kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke penyelesaiaan; e) kurangnya kekuatan untuk menghadirkan barang bukti, saksi

dan lain-lain; f) kurangnya kekuatan dalam hal law enforcement dan eksekusi keputusan; g) tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; h)

kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain

karena tidak ada system preseden terhadap keputusan sebelumnya, dan juga

karena unsur fleksibelitas dari arbitrer. Oleh karena itu, keputusan arbitrase tidak

predictable; i) kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standard mutu keputusan

arbitrase. Oleh karena itu sering, sering dikatakan , “an arbitration is as good as arbitrators”; j) berakibat kurangnya upaya untuk mengubah system pengadilan yang ada; dan k) berakibat semakin tinggi rasa kurang senang terhadap

pengadilan.32

30Adolf, “Arbitrase Komersial”.h. 14 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75.

31

Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian” h. 139. Mediasi atau Arbitrase telah berkembang di berbagai Negara seperti antara lain dijelaskan oleh Atja Sanjaja. Lihat Atja

Sandjaja, “Perkembangan Mediasi di Berbagai Negara”, hand out disampaikan pada acara pelatihan Mediasi bagi Hakim yang diselenggarakan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung RI tanggal 26 Maret 2009, h. 1-12 dalam Jaih Mubarok, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75

32

(15)

15 C.Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara

Kepailitan

Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacaetan

pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failliet”. Sedang dalam

hukum Anglo America, Undang-Undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act.33

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan

pailit. Berhubung pernyataan pailit terhadap debitor itu harus melalui proses

pengadilan (melalui fase-fase pemeriksaan) maka segala sesuatu yang

menyangkut tentang peristiwa pailit itu disebut kepailitan.34

Pengertian pailit menurut Black’s Law Dictionary dihubungkan dengan

suatu kondisi ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor) atas

utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai

dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara

sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar

debitor), suatu permohonan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan

permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor. Tanpa adanya permohonan

tersebut kepengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah

tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan

diperkuat dengan suatu putusan pernyataan oleh hakim pengadilan, baik itu yang

merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohoan kepailitan

yang diajukan.35

Pengertian lain dari kepailitan yaitu eksekusi massal yang ditetapkan

dengan putusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan sitaan umum

atas semua harta kekayaan orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada

waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung,

33

Rahayu Hartini,. 2012. Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press h.6

34

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h.. 25.

35

(16)

16

untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak

yang berwajib.36

Dalam pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang37, kepailitan

didefinisikan sebagaimana berikut; Kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang

undang ini. Sita umum mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan

semua kriditur. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator

kepada semua kriditur dengan memperhatikan hak masing-masing kreditur secara

adil.38

Jika pengertian kepailitan tersebut dikaitkan dengan pasal 2 UU No. 37

tahun 2004 tersebut, pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan niaga,

berarti sebelum adanya pernyataan pailit seorang debitur tidak dapat dinyatakan

pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit berlaku pula ketentuan pasal 1131

Kitab Undang Undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitur pailit

yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan.Pernyataan

pailit oleh Pengadilan Niaga haruslah adanya permohonan dengan persyaratan

yang telah diatur di dalam Undang-Undang.

Ada dua cara yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang39 agar

debitor terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah

36

Retno Wulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996, h.. 85.

37

Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. II. 2007. (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing for law and justice reform) h. 4

38

R. Anton Suyatno,S.H.,M,H. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012 hal45.

39

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) merupakan revisi terhadap peraturan yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 merupakan

“revisi” atas Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening) yang telah ada yaitu Staatsblad

(17)

17

atau akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi

utangutangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya

serta dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada

seluruh kreditor.

Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban

pembayaran utang disingkat PKPU (atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillissementsverordening atau Suspension of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris). PKPU diatur dalam Bab ketiga Pasal 222 sampai dengan Pasal

294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan pengajuan PKPU menurut Pasal 222 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk mengajukan rencana perdamaian

yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.

Menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud

dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren maupun kreditor yang

didahulukan. Cara yang kedua yang dapat ditempuh oleh debitor agar harta

kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara

debitor dengan para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh

pengadilan.40

Adapun mengenai syarat bagi debitor untuk dapat mengajukan PKPU

menurut Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:

(1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

40

(18)

18

Dasar pemikiran PKPU adalah pemberian kesempatan kepada debitor

untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran

seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Jika hal tersebut dapat

terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi

kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.41

Dalam proses PKPU, sebelum pengadilan memutuskan untuk

mengadakan pemberian PKPU tetap, baik debitor maupun kreditor dapat

mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara.Dalam hal permohonan

diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak

tanggal didaftarkannya permohonan harus mengabulkan penundaan kewajiban

pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari

hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama

dengan debitor mengurus harta debitor. Tugas hakim pengawas dalam penundaan

kewajiban pembayaran utang mirip dengan tugas hakim pengawas dalam

kepailitan.

Pengurus yang diangkat harus independen dan tidak memiliki benturan

kepentingan dengan debitor atau kreditor. Sejak diangkatnya seorang atau lebih

pengurus, maka serta-merta kekayaan debitor berada di bawah pengawasan

pengurus. Jangka waktu PKPU tetap yang diputuskan oleh pengadilan niaga

berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari

terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Pihak yang berhak untuk

menentukan apakah kepada debitor akan diberikan PKPU tetap adalah kreditor

konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan

persetujuan kreditor konkuren. Pada umumnya permohonan penundaan kewajiban

pembayaran utang yang diajukan oleh debitor selalu diikuti dengan rencana

perdamaian yang diajukan oleh debitor sendiri. Rencana perdamaian tersebut

adalah suatu tahap final dan sangat penting dalam proses penundaan kewajiban

pembayaran utang, sebab apabila rencana perdamaian tersebut tidak selesai dan

41

(19)

19

dapat diterima oleh para kreditor, maka perusahaan debitor yang mengajukan

rencana perdamaian tersebut menjadi pailit.42

D.Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi (Insentive v. Sanksi)

Permasalahan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah

ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya

ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga

non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para

pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut

tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut:

“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila

upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut

harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak

gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat

dalam perjanjian arbitrase.

Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang- undangan

yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen

perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab

Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan

dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh)

42

(20)

20

tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan

jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk

memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen

dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan

dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses

pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan

pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja,

sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang

juga dimungkinkan berda-sarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan

akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.43

E.Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan

Sebagai salah satu unsur dalam sistem peradilan hakim memiliki posisi

dan peran penting, apalagi dengan segala kewenangan yang dimiliki. sebagaimana

dinyatakan oleh Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman: “Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.” Melalui

putusannya seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang,

mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan

sewenangwenang pemerintah terhadap masyarakat, hingga memerintahkan

penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu tugas dan

wewenang yang dimiliki hakim harus dilaksanakan dalam kerangka penegakan

hukum, kebenaran dan keadilan sesuai peraturan perundang-undangan maupun

kode etik dengan memperhatikan prinsip equality before the law. Kewenangan

hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga

putusan pengadilan yang dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bermakna bahwa kewajiban menegakkan kebenaran

dan keadilan harus dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua

43

(21)

21

manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa.44

Penguatan sistem hukum tidak saja soal prinsip formil hukum (rules)

tetapi juga peran kinerja penegak hukum. Beberapa waktu terakhir, hukum

Indonesia bergejolak, pasalnya salah satu hakim agung, yakni Yamani diduga

memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba45. Selain itu,

tantangan untuk memberikan putusan yang “adil” terutama menghadirkan

efisiensi mendapat tantangan di dalam draft RUU MA Pasal 97. Pasal 97

menyatakan bahwa: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dilarang (a) membuat

putusan yang melanggar UU. Pasal ini menunjukkan sangat kuat dipengaruhi oleh

pemikiran legal positive. Untuk mencapai efisiensi, hakim agung harus bisa

berpikir lebih jauh dari UU sebab produk UU adalah produk baku yang terjadi

berdasarkan situasi tertentu dengan analisis kemungkinan tertentu pada masa yang

akan datang. Karena itu, jika hal ini tidak dipangkas, efisiensi yang diutamakan

untuk mencapai keadilan sosial akan sulit dicapai.46

Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan

Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie.47 Hillary adalah warga

negara Nigeria yang bekerja sebagai pebisnis sepatu. Hillary didakwa sebagai

salah satu pengedar narkoba dengan jenis heroin dan termasuk dalam jenis

44

Chatamarrasjid Ais, Pola Rekrutmen dan Pembinaan Karier Aparat Penegak Hukum yang Mendukung Penegakan Hukum, makalah disampaikan dalam seminar tentang Reformasi Sistem Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Kantor Wilayah Dephukham Provinsi Sumatra Selatan, di Palembang 3 – 4 April 2007, h. 1-2. Dalam laporan penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI

45

Dalam penjelasan kutipan Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia : Juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan hakim agung Ahmad Yamani sempat memalsukan putusan Peninjauan Kembali atas terpidana narkoba, Hengky Gunawan. Menurut Djoko, dalam putusan PK bernomor 39 PK/Pid.Sus/2011 ini, Yamani membuat tulisan dengan tangan yang menyatakan vonis bos pabrik narkoba itu 12 tahun penjara. Padahal, kata dia, majelis hakim dalam persidangan PK kasus Hengky ini memutuskan hukuman 15 tahun penjara, lihat “Hakim

Yamani Palsukan Vonis PK Bos Narkoba Hengky”,

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/17/063442373/Hakim- Yamani-Palsukan-Vonis-PK-Bos-Narkoba-Hengky, tanggal akses 14 Desember 2012.

46

Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2

47

(22)

22

narkotika golongan I. Oleh karena itu, terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal

6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang produksi dan

pengedaran Narkotika dan obat-obtan terlarang. Dengan demikian, berdasarkan

putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.1083/Pid .B/2002 /PN.Tng.

dan No.1084/p id .B/ 2002 /PN.Tng tanggal 4 Februari 2002, terdakwa kemudian

dijatuhi hukuman mati.

Melihat desakan tersebut, terdakwa pernah melakukan banding pada

tingkat kasasi pada tahun 2004, namun Mahkamah Agung RI melalui putusan

bernomor 643/K/Pid /2004 tanggal 19 Juli 2004 menolak kasasi terdakwa.

Terdakwa kemudian mengajukan peninjauan kembali dalam masa-masa menanti

pelaksanaan eksekusi mati, pihak pemohon pun mengajukan novum baru untuk

meyakinkan hakim agung. Akhirnya, MA RI melalui putusan No. 45

PK/Pid.Sus/2009 mengurangi hukuman terdakwa menjadi 12 tahun.

Adapun alasan yang diajukan para pemohon terhadap PK tersebut antara lain:

1. Ditemukannya novum baru yang meringankan keterkaitan Hilary dengan

gembong narkoba lain, yakni Marlena, Izuchukwu Okoloaja dan Kholisan

Nkomo. Pada saat kasasi, Marlena dan Okoloaja telah meninggal dalam

masa penjara. Bahkan pemohon PK menuduh bahwa kematian kedua

terpidana itu karena pihak penyidik melakukan intimidasi agar memberikan

keterangan palsu terhadap pemohon PK. Lagi pula, oknum Okoloaja yang

dianggap pihak kepolisian sebagai nama lain (alias) dari Kholisan Nkomo

ternyata tidak benar. Kepolisian Nigeria menyebutkan bahwa Nkomo yang

adalah pengedar narkoba masih hidup di Nigeria dan tercatat sedang

mengalami masalah kriminal dengan kepolisian RI. Dengan demikian, BAP

yang dibuat Okoloaja alias Nkomo (dalam pikiran Penyidik) tidak dapat

dibenarkan karena subjek hukum ternyata bukan satu orang melainkan dua

orang, sehingga kemungkinan akan adanya rekayasa BAP akan semakin

besar.

2. Mengingat banyak negara Eropa yang memikirkan ulang tentang hukuman

mati, pihak pemohon pun mengajukan hal tersebut sebagai salah satu

(23)

23

kalau hukuman mati melanggar hakikat HAM yang sangat menjunjung

tinggi kemanusiaan.

3. Bahwa mengenai pemidanaan Pemohon penin jauan Kembali/Terpidana

oleh Majelis Hakim dijatuhi pidana mati adalah dalam lingkup kebebasan Hakim untuk menjatuhkan pidana (“Judicial discreation in sentencing”) adalah berdasarkan pemikiran modern dalam ilmu kriminology yang

dipengaruhi oleh ilmu Psikology dan ilmu sosial lainnya, yang menekankan

bahwa dalam menjatuhkan pidana, Hakim haruslah mempergunakan asas “individualis” sesuai dengan tindak pidana pelakunya dan ini berarti bahwa Hakim harus membedakan Terdakwa yang satu dengan Terdakwa lainnya,

kemudian menentukan pidana yang paling tepat sesuai dengan data-data

tentang fakta untuk persidangan tersebut

Selanjutkan putusan hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan

Kepolisian RI c.q Kepolisian Daerah Banjarmasin Putusan No. 417

K/Pid.Sus/2011. Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-Liong adalah seorang

wiraswasta yang bertempat tinggal di Banjarmasin. Terdakwa ditahan oleh

kepolisian Banjarmasi sejak tanggal 29 Desember 2009 saat ia tertangkap tangan

memperoleh kiriman yang berisi lebih dari 5 kilogram jenis shabu-shabu dan

heroin di tempatnya, di alamat Putra Jaya Motor kabupaten Banjar. Ia dituntut

telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 114 Ayat (2) Undang- Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga pada tanggal 24 September 2010,

jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim mengganjar hukuman penjara

20 tahun. Padu 29 September 2010, tuntutan ini dikabulkan majelis hakim

Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan hukuman 17 tahun penjara. Putusan ini

lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin pada 13 Desember 2010.

Namun, ketika ia melakukan banding pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI

mengabulkan seluruh permohonan terdakwa bahkan langsung memberikan

(24)

24

Adapun alasan terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim agung

adalah:

1. Kiriman yang diperoleh oleh Liong-Liong diperoleh dari Jakarta tanpa nama

pengirim dan ditujukan kepada A Liong dengan alamatnya. Bahkan daftar

alamat penerima juga tidak tepat.

2. Mencurigai adanya kiriman yang aneh, pihak bea cukai yang juga termasuk

staf BNN Banjarmasin langsung menghubungi sesama tim penyidik untuk

melakukan penggeledahan, termasuk pembongkaran terhadap kiriman

terdakwa. Pihak penyidik kemudian menyamar sebagai petugas pengirim

barang, sampai kemudian mereka menangkap Liong-Liong. Polisi diduga

telah melakukan rekayasa. Pembukaan barang kiriman adalah kecerobohan

pihak penyidik.

3. Di tempat Liong-Liong maupun rumahnya, tidak ditemukan barang bukti

sejenis narkotika dan psikotropika. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan,

Liong tidak teridentifikasi sebagai pengguna narkoba.

4. Aadanya surat perintah penyelidikan yang dilakukan beberapa hari sebelum

kasus itu terjadi. Padahal, penyelidikan dibuat jika sudah ada kasus yang

terkuak.

5. Liong merasa dirinya menjadi korban rekayasa pihak kepolisian yang

berusaha mengalihkan kasus karena sudah terlanjur salah. Selain itu, ada

iming-iming kenaikan pangkat, membuat polisi dan penyidik berusaha

(25)

25

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan penulisan makalah ini

adalah sebagaimana berikut :

1. Sengketa bisnis ekonomu syariah dapat berupa sengketa sebagai berikut:

Sengketa perniagaan Sengketa perbankan syariah, Sengketa Keuangan,

Sengketa Penanaman Modal, Sengketa Perindustrian, Sengketa HKI,

Sengketa Konsumen, Sengketa Kontrak, Sengketa pekerjaan, Sengketa perburuhan, Sengketa perusahaan, Sengketa hak, Sengketa property. Kemudian untuk menelesaikan sengketa bisnis ekonomi syariah melalui

jalur pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi).

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Badan Syariah Nasional

Nasional (BASYARNAS). Economic Analysis of Law Dalam

Penyelesaian Sengketa Bisnis dibutuhkan dalam rangka mencapai

efisiensi, baik melalui prosedur litigasi maupun non litigasi. Salah satu

contoh penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan Niaga (litigasi)

dan/atau melalui arbitrase apabila terdapat klausul arbitrase jika terjadi

sengketa bisnis dari kesepakatan/perjanjian sebelumnya.

2. Kaitannya dengan Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU

Tetap Dalam Perkara Kepailitan, Ada dua cara yang disediakan oleh

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, agar debitor terhindar dari ancaman harta

kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam

keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi utangutangnya sehingga

debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta dapat memberi

suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh kreditor,

Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban

pembayaran utang disingkat PKPU. Dasar pemikiran PKPU adalah

pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi

utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian

(26)

26

baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan

meneruskan usahanya.

3. Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi

khususnya pada beberapa undang-undang yaitu: Undang-undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan

Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

Permasalahan yang terjadi yaitu ketidakharmonisan antara satu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini

menyebabkan inefisiensi, oleh karena itu dalam konteks

perundang-undangan harus memenuhi efisiensi untuk memenuhi kepastian hukum

yang efektif dan efisien.

4. Kewenangan Hakim diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim memiliki peran penting

dalam penyelesaian sengketa maupun kasus baik pidana maupun perdata.

Kaitannya dengan putusan hakim yang kontroversial terjadi dikarenakan

beberapa sebab, baik motivasi untuk melakukan KKN maupun faktor

laiinya. Contohnya adalah terjadi pada hakim agung, yakni Yamani diduga

memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba.

Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan

Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie. Selanjutkan putusan

hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan Kepolisian RI c.q

(27)

27

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Cetakan I, Penerbit Unsri, Palembang, 2007.

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.

Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007

Chatamarrasjid, Ais. “Penyelesaian Konflik: Arbitrase dan Pengadilan”.Jakarta: t.pn. 1999.

Faoutoucos, A.C. Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988.

Goodpaster, Garr. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995

Hartini,Rahayu.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press, 2012.

Hartono, Darminto. Economic Analysis of Law Atas Putusan PKPU Tetap, Ctk. Pertama, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Lontoh, Rudy A. Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013

Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A.,

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Sutantio, Retno Wulan. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996.

Suyatno,R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012.

(28)

28 B.Laporan Penelitian, Artikel, dan Jurnal

Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, H.16

Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI Rahmani Timorita Yulianti, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007

Qohar, Adnan. Artikel, Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia

Sumanto, S.H. Analisis Pengembangan Ekonomi atas Hukum di Indonesia Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 2, Agustus 2008

Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang. Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997

Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan

Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011, h. 20.

Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), h. 20 – 35.

C.Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan Pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Acara Pengucapan Putusan (Jakarta: Kamis 29 Agustus 2013) Pengujian UU NO. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah [Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3)] Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(29)

29 D.Internet

https://yanthojehadu.wordpress.com/2013/01/06/tiga-putusan-mahkamah-agung-yang-kontroversial-dalam-kacamata-filsafat-hukum/ diakses pada tanggal 13 November 2015

Fitri, Ali. Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Eksistensinya.

http://www.badilag.net/datadiakses pada tanggal 13 November 2015

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015 Iqbal, Muhammad. Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Referensi

Dokumen terkait

Artinya ketika guru melakukan proses pembelajaran dengan metode ceramah di depan kelas, tanya jawab, dan mengerjakan latihan dalam hal ini akan menguntungkan

Hal ini disebabkan karena zat warna reaktif yang digunakan merupakan zat warna reaktif golongan monochlorotriazin (MCT) yang mempunyai karakteristik yaitu temperatur proses

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh perubahan capital structure yang terjadi pada Koperasi Dwiasa Unigal Ciamis dari tahun ke tahun disebabkan adanya penambahan atau

Dokumen Renop ini memuat rumusan rencana dan target pencapaian yang bersifat kuantitatif dan kualitatif dari masing-masing indikator kinerja pencapaian tujuan

a) Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra satelit Pleiades 1A, citra satelit SPOT6, DEM Astrium Terra SAR-X, data titik koordinat GCP dan ICP

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, perilaku cyberbullying pada remaja dilakukan dengan mengunggah postingan, memberikan komentar, ataupun mengirim

Analisis data pada penelitian ini menggunakan model analisis data interaktif yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan teknik penarikan kesimpulan