1
EKONOMIC ANALYSIS OF LAW
Oleh :
Chairul Lutfi, S.HI., SH
Praktisi Hukum Ekonomi Syariah / Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal
sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui
pemikiran utilitarian-isme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik
bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan
mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis
mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas
proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai
tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan
dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan
artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab
hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan
penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum
kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.1
Dalam perkembangannya Economic Analysis of Law mengalami
perkembangan yang luas terhadap berbagai permasalahan baik di bidang hukum
maupun kebijakan publik. Dalam praktiknya di Indonesia, orientasi ekonomi
menjadi dominan dalam pembentukan perundang-undangan mapun dalam
konteks penentuan kebijkan pemerintah. Sehingga unsur ekonomi masuk kategori
1
2
yang substansial mempengaruhi beberapa undang-undang dari produk politik
hukum di Indonesia.
Salah satu produk undang-undang yang erat kaitannya dengan Economic
Analysis of Law di Indonesia adalah tentang penyelesaian sengketa bisnis. Pada
tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut membahas
bagaimana prosedur penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan (litigasi)
maupun jalur di luar pengadilan (non litigasi) yang biasa disebut dengan ADR
(Alternative Dispute Resolution)2
Selanjutnya aplikasi Economic Analysis of Law di Indonesia pada
bidang perdata kepailitan dan PKPU yang Pada tahun 1998 diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan,
selanjutnya ditetapkan dengan UU Nomor 4 Tahun 1998 dan telah diperbaharui
dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.3
Economic Analysis of Law meluas juga dalam pembahasan
undang-undang ekonomi lainnya, serta mempengaruhi dalam penerapan putusan-putusan
pengadilan yan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Richard A Posner
utamanya dalam perundang-undangan, penegakan hukum dan putusan hakim di
Indonesia.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagaimana berikut :
1. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Ekonomi Syariah?
2
ADR (Alternative Dispute Resolution) Model ini cukup popular di Amerika Serikat dan Eropa dalam penyelesaian sengketa bisnis dan ekonomi
3
3
2. Bagaimana Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam
Perkara Kepailitan ?
3. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi
(Insentive v. Sanksi) ?
4. Bagaimana Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan ?
C.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini
bertujuan sebagaimana berikut :
1. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa
Bisnis Ekonomi Syariah
2. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap
Dalam Perkara Kepailitan
3. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan
Ekonomi (Insentive v. Sanksi)
4
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Economic Analysis of LawPerkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum meluas pada
setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan
hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut4:
“Suatu studi tentang banyak aplikasi pada pemikiran ekonomi tentang
kebijakan hukum dan publik termasuk paeraturan di bidang ekonomi bisnis,
pemaksaan anti trust, dan hal-hal lain yang menadasar seperti hak properti, cacat
hukum dalam hukum kontrak dan perbaikannya, prosedur sipil dan kriminal.
Tidak ada latar belakang, ekonomi istimewa yang diperlukan: konsep ekonomi
yang relevan akan dikembangkan dengan analisis berbagai aplikasi hukum”
Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak buku
Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun 1973.
Tidak jauh berbeda dengan para pakar Hukum dan Ekonomi lainnya, ia
mengembangkan ajaran-ajaran pasca-Coasian dan ilmu ekonomi. Salah satu hal
yang menarik di dalam karya-karyanya, Posner tidak pernah lepas untuk
mengembangkan analisisnya secara normatif dan empiris. Bobot pengkajian
hukum di dalam Economic Analysis of Law nya lebih menonjol dibandingkan
dengan analisis predeterminasi ekonomi. Selain memang pada hakikatnya
Economic Analysis of Law merupakan analisis hukum yang menggunakan
bantuan ilmu ekonomi dalam memperluas dimensi hukum, Posner tidak pernah
secara formal mendapatkan pendidikan di ilmu ekonomi. Sejak 1983, ia menjabat
sebagai dosen senior di University of Chicago Law School dan sebagai hakim di
US Court of Appeals, Seventh Circuit.5
“... economics is the science of rational choice in a our world-in which resources are limited world-in relation to human wants. The task of economics is to explore the implications of assuming that man is a
4
Sumanto, S.H., h. 88
5
5 rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall
call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions
which are attended for the regulation of the bevaviour of persons whose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions, as measured in economic terms. Law is, therefore, created and applied primarily for the purpose of maximizing overall social
utility”.6
Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat
dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan
mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula
untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaintannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economic tools untuk mencapai maximization of happiness.7 Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan
tidak menghi-langkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic
standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan
(utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia. Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang dikembangkan oleh Posner
kemudian dikenal dengan the economic conception of justice, artinya hukum
diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan
umum seluas (maximizing overall social utility)8
Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk
menjelaskan hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih
diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk
mempertahankan inti pendiriannya, Posner mengembangkan Hukum dan
Ekonomi melalui bukunya The Economics Justice (1981). Posner mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way than human
satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay for goods and
6
Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A., h. 3, 249-256 dalam Fajar Sugianto, h.16
7
Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007, h.1 dalam Fajar Sugianto, h.17
8
6
services is maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). Walaupun definisi ini dikatakan sempit, Posner hingga sekarang terus membangun analisisnya (bahkan
memperluas konsep utilitas).9
Posner bukan orang pertama yang melahirkan ide tentang economy analysis of law. Teori ini sebetulnya sudah muncul dan dikembangkan oleh kalangan utilitarianisme seperti Jeremy Bentham dan John Stuarth Mill. Teori
utilitas ini mengutamakan asas kebergunaan sesuatu/tool. Jadi sesuatu/esse harus
memberikan manfaat/nilai utilities bagi esse yang lain (social welfare).10
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas
Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia,
maka mengkritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan
prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan
rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang
menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya
ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement
dari peraturan perundang-undangan.11
Diantaranya, Economic Analysis of Law dalam penyelesaian sengketa
bisnis, Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara
Kepailitan, Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi,
dan Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan.
9
utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang. Unit teoritikal untuk penjumlahan utilitas adalah util. Doktrin dari utilitarianisme ,elihat maksimalisasi dari utilitas sebagai kriteria moral untuk organisasi dalam masyarakat. Menurut para utilitarian, seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan untuk memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk "kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar"
10
Bdk. Erman Radjagukguk, dalam Artikel Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2
11
7 B.Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi
Syariah
Kegiatan bisnis di era globalisasi dan modernisasi dewasa ini semakin
meningkat dengan banyaknya terjadi ransaksi-transaksi yang terus mengikuti,
kemudian tidak mungkin dihindari pasti akan terjadi sengketa (dispute/difference)
antara para pihak yang terlibat didalamnya. Setiap jenis sengketa yang terjadi
selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat dan tepat untuk
mendapatkan sebuah solusi yang berkeadilan selain juga memiliki biaya yang
mudah dijangkau/murah (quick and lower in time and money to the parties.)12
Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada
kemungkinan atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah
yaitu silang sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan
dunia bisnis atau perjanjian; mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar
dugaan karena keadaan memaksa (overmacht; force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian
sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa, dapat dengan cara; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.13
Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut:
1. Sengketa perniagaan
2. Sengketa perbankan
3. Sengketa Keuangan
4. Sengketa Penanaman Modal
5. Sengketa Perindustrian
6. Sengketa HKI
7. Sengketa Konsumen
8. Sengketa Kontrak
12
Pihak yang bersengketa akan cenderung memilh penyelesaian yang bisa diselesaikan dengan cepat dan biaya murah, lihat Ramdlon Naning, Artikel, h. 27
13
8
9. Sengketa pekerjaan
10. Sengketa perburuhan
11. Sengketa perusahaan
12. Sengketa hak
13. Sengketa property
Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui
prosedur litigasi atau penyelesaian dimuka pengadilan dalam posisi yang
demikian para pihak yang bersengketa dengan antagonistis. Penyelesaian
menurut jalur hukum seperti ini biasanya kurang popular dikalangan dunia bisnis
sehingga model ini tidak direkomendasikan jikapun akhirnya terpaksa ditempuh
penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai pilihan terakhir (ultimum remidium)
setelah alternative lain tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Penyelesaian
sengketa selain menggunakan system peradilan (ordinary court) juga dapat diselesaikan dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu
alternatif penyelesaian non-litigasi diluar pengadilan.14 Penyelesaian melalui
Alternatif Dispute Resolution (ADR) antara lain adalah :
a. Nogosiasi (negosiation);
b. Mediasi (mediation);
c. Konsiliasi (conciliation);
d. Arbitrase (arbitration)15
Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)16
Terjadinya sengketa dalam dunia bisnis dipaparkan oleh Gery
Goodpaster, menurutnya dalam hal terjadinya sengketa bermacam-macam, baik
dalam hal isinya yang spesifik, pihak-pihak yang bersengketa maupun persoalan
14
Ramdlon Naning, Artikel, h. 27
15
Ramdlon Naning, Artikel, h. 27-28
16
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
9
yang disengketakan.17 Kemudian dalam proses selanjutnya, penyelesaian sengketa
tersebut memiliki opsi untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigation)
maupun di luar pengadilan (out of court).
Alternatif penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam
Bab II pada Pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam Pasal 1 angka 10
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli” dan rumusan Pasal 6 ayat (1) “Sengketa atau beda pendapat
perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.18
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang haruslah terdapat klausul arbitrase (arbitration clause) maupun perjanjian arbitrase (submission agreement atau acte compromise). Dari kedua bentuk perjanjian tersebut, yang sering digunakan dalam praktik adalah klausul
arbitrase sebagaimana dikatakan oleh A.C. Foutoucos.19
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase di Indonesia di bawah
kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).20 Para pihak harus
bersepakat memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa
bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikan sengketanya melalui Peradilan,
karena akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta sunt servanda), namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang,
17
Garr Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h.3
18
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
19
A.C. Faoutoucos, Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988, h.115
20
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki klausul sebagaimana berikut
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh
10
terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak
bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.
Oleh sebab itu kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu
keharusan penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase yang putusannya bersifat
final dan binding.
Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya
perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo. ataupun akta kompromis. Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa
adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum
yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara,
termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau
sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat
klausula arbitrase.21
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan
perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang
mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase
dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian
untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa
perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya
dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena
itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi / isi perjanjian,
21
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah
11
pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.22 Sehingga secara tegas
dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum
yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat
sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat
persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase,
yang berbunyi:
1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2)
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.23
Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik
ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah
satunya adalah BASYARNAS yang secara khusus mempunyai kewenangan
menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadapi oleh umat Islam.
Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan besar bagi kewenangan Peradilan
Agama. Kewenangan Peradilan Agama diperluas dengan memasukkan bidang
ekonomi syariah sebagai salah satu bidang kompetensinya yang tercantum dalam
pasal 49. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit
22
Abdul Ghofur Anshori, “Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU
No.21 Tahun 2008”, cet. Ke-1 (Yogyakarta: UGM Press, 2010), h.. 68.
23
12
bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan
Agama.24
Kemudian secara yuridis Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama terkait kewenangan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah bertentangan dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
yang mengandung ketidakjelasan hukum.25
Kesimpulannya, dengan dinyatakannya penjelasan pasal Penjelasan Pasal
55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, maka konsekunsi logisnya adalah: seluruh sengketa perbankan
syari’ah (dalam jalur litigasi) harus diselesaikan di Pengadilan Agama,26
sesuai
ketentuan pasal 55 Ayat 1 Undang-undang a quo, yang berbunyi, “Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.”27
24
undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diUndang-undangkan kembali dengan lahirnya Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
25
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
26 M. Yahya Harahap, “
Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) h.. 181.
27
Jo. Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi,
13 Kelebihan dan Kekurangan Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui BASYARNAS
Arbitrase memiliki kelebihan dengan juga kekurangan berdasarkan
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dijelaskan bahwa antara kelebihan arbitrase
adalah: a) kerahasiaan para pihak dijamin; b) dapat menghindari kelambatan yang
diakibatkan karena prosedural dan administratif; c) pihak-pihak dapat memilih
arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta
latar belakang yang cukup untuk mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil, d) pihak-pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e) putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.28
Kelebihan utama arbitrase disbanding dengan pengadilan adalah sifat
kerahasiaannya, karena keputusan arbitrase tidak dipublikasikan. Hal inilah yang
sangat penting bagi para pebisnis, sebab masyarakat umum tidak mengetahui
adanya sengketa dalam perusahaan tertentu. Seseorang pebisnis biasanya merasa
terganggu bermitra dengan pebisnis lain yang sedang bermasalah ke pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya; atas dasar itu, arbitrase merupakan
faktor yang mendukung reputasi pebisnis di dunia usaha pada umumnya.29
Arti penting arbitrase dalam menyelesaikan sengketa adalah sifat
fleksibelitasnya dan kecenderungan tidak formal. Hal ini berdampak pada sikap
para pihak yang bersengketa sehingga tidak terlalu bersitegang dalam
menyelesaikan perkara. Iklim seperti ini sangat kondusif dan lebih mendorong
28Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa dalam Dunia Usaha” dalam
Djarab, dkk (ed.), Prospek dan Pelaksanaan, h. 139; dan Ais Chatamarrasjid, “Penyelesaian
Konflik: Arbitrase dan Pengadilan” (Jakarta: t.pn. 1999), h. 3-4. Dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 74-75
29
14
semangat kerjasama para pihak sehingga mempercepat proses penyelesaiaan
perkara.30
Arbitrase bagi dunia usaha merupakan pilihan yang cocok dengan
semangat menumbuhkan etika bisnis. Hal ini penting sekali guna mengurangi
kebiasaan kolusi dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa bisnis, dengan demikian akan tumbuh budaya hukum di kalangan
pebisnis. 31
Sedangkan diantara kelemahan arbitrase adalah: a) hanya tersedia dengan
baik bagi perusahaan-perusahaan yang bonafide; b) due process kurang terpenuhi; c) kurangnya unsure finality;d) kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke penyelesaiaan; e) kurangnya kekuatan untuk menghadirkan barang bukti, saksi
dan lain-lain; f) kurangnya kekuatan dalam hal law enforcement dan eksekusi keputusan; g) tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; h)
kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain
karena tidak ada system preseden terhadap keputusan sebelumnya, dan juga
karena unsur fleksibelitas dari arbitrer. Oleh karena itu, keputusan arbitrase tidak
predictable; i) kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standard mutu keputusan
arbitrase. Oleh karena itu sering, sering dikatakan , “an arbitration is as good as arbitrators”; j) berakibat kurangnya upaya untuk mengubah system pengadilan yang ada; dan k) berakibat semakin tinggi rasa kurang senang terhadap
pengadilan.32
30Adolf, “Arbitrase Komersial”.h. 14 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75.
31
Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian” h. 139. Mediasi atau Arbitrase telah berkembang di berbagai Negara seperti antara lain dijelaskan oleh Atja Sanjaja. Lihat Atja
Sandjaja, “Perkembangan Mediasi di Berbagai Negara”, hand out disampaikan pada acara pelatihan Mediasi bagi Hakim yang diselenggarakan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung RI tanggal 26 Maret 2009, h. 1-12 dalam Jaih Mubarok, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75
32
15 C.Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara
Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacaetan
pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failliet”. Sedang dalam
hukum Anglo America, Undang-Undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act.33
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan
pailit. Berhubung pernyataan pailit terhadap debitor itu harus melalui proses
pengadilan (melalui fase-fase pemeriksaan) maka segala sesuatu yang
menyangkut tentang peristiwa pailit itu disebut kepailitan.34
Pengertian pailit menurut Black’s Law Dictionary dihubungkan dengan
suatu kondisi ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor) atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai
dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara
sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar
debitor), suatu permohonan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan
permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor. Tanpa adanya permohonan
tersebut kepengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah
tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan
diperkuat dengan suatu putusan pernyataan oleh hakim pengadilan, baik itu yang
merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohoan kepailitan
yang diajukan.35
Pengertian lain dari kepailitan yaitu eksekusi massal yang ditetapkan
dengan putusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan sitaan umum
atas semua harta kekayaan orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada
waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung,
33
Rahayu Hartini,. 2012. Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press h.6
34
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h.. 25.
35
16
untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak
yang berwajib.36
Dalam pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang37, kepailitan
didefinisikan sebagaimana berikut; Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang
undang ini. Sita umum mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan
semua kriditur. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator
kepada semua kriditur dengan memperhatikan hak masing-masing kreditur secara
adil.38
Jika pengertian kepailitan tersebut dikaitkan dengan pasal 2 UU No. 37
tahun 2004 tersebut, pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan niaga,
berarti sebelum adanya pernyataan pailit seorang debitur tidak dapat dinyatakan
pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit berlaku pula ketentuan pasal 1131
Kitab Undang Undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitur pailit
yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan.Pernyataan
pailit oleh Pengadilan Niaga haruslah adanya permohonan dengan persyaratan
yang telah diatur di dalam Undang-Undang.
Ada dua cara yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang39 agar
debitor terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah
36
Retno Wulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996, h.. 85.
37
Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. II. 2007. (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing for law and justice reform) h. 4
38
R. Anton Suyatno,S.H.,M,H. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012 hal45.
39
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) merupakan revisi terhadap peraturan yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 merupakan
“revisi” atas Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening) yang telah ada yaitu Staatsblad
17
atau akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi
utangutangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya
serta dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada
seluruh kreditor.
Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban
pembayaran utang disingkat PKPU (atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillissementsverordening atau Suspension of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris). PKPU diatur dalam Bab ketiga Pasal 222 sampai dengan Pasal
294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan pengajuan PKPU menurut Pasal 222 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud
dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren maupun kreditor yang
didahulukan. Cara yang kedua yang dapat ditempuh oleh debitor agar harta
kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara
debitor dengan para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh
pengadilan.40
Adapun mengenai syarat bagi debitor untuk dapat mengajukan PKPU
menurut Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
(1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.
(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.
40
18
Dasar pemikiran PKPU adalah pemberian kesempatan kepada debitor
untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran
seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Jika hal tersebut dapat
terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi
kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.41
Dalam proses PKPU, sebelum pengadilan memutuskan untuk
mengadakan pemberian PKPU tetap, baik debitor maupun kreditor dapat
mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara.Dalam hal permohonan
diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak
tanggal didaftarkannya permohonan harus mengabulkan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari
hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama
dengan debitor mengurus harta debitor. Tugas hakim pengawas dalam penundaan
kewajiban pembayaran utang mirip dengan tugas hakim pengawas dalam
kepailitan.
Pengurus yang diangkat harus independen dan tidak memiliki benturan
kepentingan dengan debitor atau kreditor. Sejak diangkatnya seorang atau lebih
pengurus, maka serta-merta kekayaan debitor berada di bawah pengawasan
pengurus. Jangka waktu PKPU tetap yang diputuskan oleh pengadilan niaga
berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari
terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Pihak yang berhak untuk
menentukan apakah kepada debitor akan diberikan PKPU tetap adalah kreditor
konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan
persetujuan kreditor konkuren. Pada umumnya permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang yang diajukan oleh debitor selalu diikuti dengan rencana
perdamaian yang diajukan oleh debitor sendiri. Rencana perdamaian tersebut
adalah suatu tahap final dan sangat penting dalam proses penundaan kewajiban
pembayaran utang, sebab apabila rencana perdamaian tersebut tidak selesai dan
41
19
dapat diterima oleh para kreditor, maka perusahaan debitor yang mengajukan
rencana perdamaian tersebut menjadi pailit.42
D.Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi (Insentive v. Sanksi)
Permasalahan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah
ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya
ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga
non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para
pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut
tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut:
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila
upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut
harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak
gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang- undangan
yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen
perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan
dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh)
42
20
tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan
jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk
memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen
dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan
dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses
pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan
pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja,
sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang
juga dimungkinkan berda-sarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan
akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.43
E.Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan
Sebagai salah satu unsur dalam sistem peradilan hakim memiliki posisi
dan peran penting, apalagi dengan segala kewenangan yang dimiliki. sebagaimana
dinyatakan oleh Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman: “Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.” Melalui
putusannya seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang,
mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan
sewenangwenang pemerintah terhadap masyarakat, hingga memerintahkan
penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu tugas dan
wewenang yang dimiliki hakim harus dilaksanakan dalam kerangka penegakan
hukum, kebenaran dan keadilan sesuai peraturan perundang-undangan maupun
kode etik dengan memperhatikan prinsip equality before the law. Kewenangan
hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga
putusan pengadilan yang dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bermakna bahwa kewajiban menegakkan kebenaran
dan keadilan harus dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua
43
21
manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.44
Penguatan sistem hukum tidak saja soal prinsip formil hukum (rules)
tetapi juga peran kinerja penegak hukum. Beberapa waktu terakhir, hukum
Indonesia bergejolak, pasalnya salah satu hakim agung, yakni Yamani diduga
memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba45. Selain itu,
tantangan untuk memberikan putusan yang “adil” terutama menghadirkan
efisiensi mendapat tantangan di dalam draft RUU MA Pasal 97. Pasal 97
menyatakan bahwa: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dilarang (a) membuat
putusan yang melanggar UU. Pasal ini menunjukkan sangat kuat dipengaruhi oleh
pemikiran legal positive. Untuk mencapai efisiensi, hakim agung harus bisa
berpikir lebih jauh dari UU sebab produk UU adalah produk baku yang terjadi
berdasarkan situasi tertentu dengan analisis kemungkinan tertentu pada masa yang
akan datang. Karena itu, jika hal ini tidak dipangkas, efisiensi yang diutamakan
untuk mencapai keadilan sosial akan sulit dicapai.46
Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan
Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie.47 Hillary adalah warga
negara Nigeria yang bekerja sebagai pebisnis sepatu. Hillary didakwa sebagai
salah satu pengedar narkoba dengan jenis heroin dan termasuk dalam jenis
44
Chatamarrasjid Ais, Pola Rekrutmen dan Pembinaan Karier Aparat Penegak Hukum yang Mendukung Penegakan Hukum, makalah disampaikan dalam seminar tentang Reformasi Sistem Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Kantor Wilayah Dephukham Provinsi Sumatra Selatan, di Palembang 3 – 4 April 2007, h. 1-2. Dalam laporan penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI
45
Dalam penjelasan kutipan Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia : Juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan hakim agung Ahmad Yamani sempat memalsukan putusan Peninjauan Kembali atas terpidana narkoba, Hengky Gunawan. Menurut Djoko, dalam putusan PK bernomor 39 PK/Pid.Sus/2011 ini, Yamani membuat tulisan dengan tangan yang menyatakan vonis bos pabrik narkoba itu 12 tahun penjara. Padahal, kata dia, majelis hakim dalam persidangan PK kasus Hengky ini memutuskan hukuman 15 tahun penjara, lihat “Hakim
Yamani Palsukan Vonis PK Bos Narkoba Hengky”,
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/17/063442373/Hakim- Yamani-Palsukan-Vonis-PK-Bos-Narkoba-Hengky, tanggal akses 14 Desember 2012.
46
Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2
47
22
narkotika golongan I. Oleh karena itu, terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal
6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang produksi dan
pengedaran Narkotika dan obat-obtan terlarang. Dengan demikian, berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.1083/Pid .B/2002 /PN.Tng.
dan No.1084/p id .B/ 2002 /PN.Tng tanggal 4 Februari 2002, terdakwa kemudian
dijatuhi hukuman mati.
Melihat desakan tersebut, terdakwa pernah melakukan banding pada
tingkat kasasi pada tahun 2004, namun Mahkamah Agung RI melalui putusan
bernomor 643/K/Pid /2004 tanggal 19 Juli 2004 menolak kasasi terdakwa.
Terdakwa kemudian mengajukan peninjauan kembali dalam masa-masa menanti
pelaksanaan eksekusi mati, pihak pemohon pun mengajukan novum baru untuk
meyakinkan hakim agung. Akhirnya, MA RI melalui putusan No. 45
PK/Pid.Sus/2009 mengurangi hukuman terdakwa menjadi 12 tahun.
Adapun alasan yang diajukan para pemohon terhadap PK tersebut antara lain:
1. Ditemukannya novum baru yang meringankan keterkaitan Hilary dengan
gembong narkoba lain, yakni Marlena, Izuchukwu Okoloaja dan Kholisan
Nkomo. Pada saat kasasi, Marlena dan Okoloaja telah meninggal dalam
masa penjara. Bahkan pemohon PK menuduh bahwa kematian kedua
terpidana itu karena pihak penyidik melakukan intimidasi agar memberikan
keterangan palsu terhadap pemohon PK. Lagi pula, oknum Okoloaja yang
dianggap pihak kepolisian sebagai nama lain (alias) dari Kholisan Nkomo
ternyata tidak benar. Kepolisian Nigeria menyebutkan bahwa Nkomo yang
adalah pengedar narkoba masih hidup di Nigeria dan tercatat sedang
mengalami masalah kriminal dengan kepolisian RI. Dengan demikian, BAP
yang dibuat Okoloaja alias Nkomo (dalam pikiran Penyidik) tidak dapat
dibenarkan karena subjek hukum ternyata bukan satu orang melainkan dua
orang, sehingga kemungkinan akan adanya rekayasa BAP akan semakin
besar.
2. Mengingat banyak negara Eropa yang memikirkan ulang tentang hukuman
mati, pihak pemohon pun mengajukan hal tersebut sebagai salah satu
23
kalau hukuman mati melanggar hakikat HAM yang sangat menjunjung
tinggi kemanusiaan.
3. Bahwa mengenai pemidanaan Pemohon penin jauan Kembali/Terpidana
oleh Majelis Hakim dijatuhi pidana mati adalah dalam lingkup kebebasan Hakim untuk menjatuhkan pidana (“Judicial discreation in sentencing”) adalah berdasarkan pemikiran modern dalam ilmu kriminology yang
dipengaruhi oleh ilmu Psikology dan ilmu sosial lainnya, yang menekankan
bahwa dalam menjatuhkan pidana, Hakim haruslah mempergunakan asas “individualis” sesuai dengan tindak pidana pelakunya dan ini berarti bahwa Hakim harus membedakan Terdakwa yang satu dengan Terdakwa lainnya,
kemudian menentukan pidana yang paling tepat sesuai dengan data-data
tentang fakta untuk persidangan tersebut
Selanjutkan putusan hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan
Kepolisian RI c.q Kepolisian Daerah Banjarmasin Putusan No. 417
K/Pid.Sus/2011. Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-Liong adalah seorang
wiraswasta yang bertempat tinggal di Banjarmasin. Terdakwa ditahan oleh
kepolisian Banjarmasi sejak tanggal 29 Desember 2009 saat ia tertangkap tangan
memperoleh kiriman yang berisi lebih dari 5 kilogram jenis shabu-shabu dan
heroin di tempatnya, di alamat Putra Jaya Motor kabupaten Banjar. Ia dituntut
telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 114 Ayat (2) Undang- Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga pada tanggal 24 September 2010,
jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim mengganjar hukuman penjara
20 tahun. Padu 29 September 2010, tuntutan ini dikabulkan majelis hakim
Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan hukuman 17 tahun penjara. Putusan ini
lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin pada 13 Desember 2010.
Namun, ketika ia melakukan banding pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI
mengabulkan seluruh permohonan terdakwa bahkan langsung memberikan
24
Adapun alasan terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim agung
adalah:
1. Kiriman yang diperoleh oleh Liong-Liong diperoleh dari Jakarta tanpa nama
pengirim dan ditujukan kepada A Liong dengan alamatnya. Bahkan daftar
alamat penerima juga tidak tepat.
2. Mencurigai adanya kiriman yang aneh, pihak bea cukai yang juga termasuk
staf BNN Banjarmasin langsung menghubungi sesama tim penyidik untuk
melakukan penggeledahan, termasuk pembongkaran terhadap kiriman
terdakwa. Pihak penyidik kemudian menyamar sebagai petugas pengirim
barang, sampai kemudian mereka menangkap Liong-Liong. Polisi diduga
telah melakukan rekayasa. Pembukaan barang kiriman adalah kecerobohan
pihak penyidik.
3. Di tempat Liong-Liong maupun rumahnya, tidak ditemukan barang bukti
sejenis narkotika dan psikotropika. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan,
Liong tidak teridentifikasi sebagai pengguna narkoba.
4. Aadanya surat perintah penyelidikan yang dilakukan beberapa hari sebelum
kasus itu terjadi. Padahal, penyelidikan dibuat jika sudah ada kasus yang
terkuak.
5. Liong merasa dirinya menjadi korban rekayasa pihak kepolisian yang
berusaha mengalihkan kasus karena sudah terlanjur salah. Selain itu, ada
iming-iming kenaikan pangkat, membuat polisi dan penyidik berusaha
25
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan penulisan makalah ini
adalah sebagaimana berikut :
1. Sengketa bisnis ekonomu syariah dapat berupa sengketa sebagai berikut:
Sengketa perniagaan Sengketa perbankan syariah, Sengketa Keuangan,
Sengketa Penanaman Modal, Sengketa Perindustrian, Sengketa HKI,
Sengketa Konsumen, Sengketa Kontrak, Sengketa pekerjaan, Sengketa perburuhan, Sengketa perusahaan, Sengketa hak, Sengketa property. Kemudian untuk menelesaikan sengketa bisnis ekonomi syariah melalui
jalur pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi).
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Badan Syariah Nasional
Nasional (BASYARNAS). Economic Analysis of Law Dalam
Penyelesaian Sengketa Bisnis dibutuhkan dalam rangka mencapai
efisiensi, baik melalui prosedur litigasi maupun non litigasi. Salah satu
contoh penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan Niaga (litigasi)
dan/atau melalui arbitrase apabila terdapat klausul arbitrase jika terjadi
sengketa bisnis dari kesepakatan/perjanjian sebelumnya.
2. Kaitannya dengan Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU
Tetap Dalam Perkara Kepailitan, Ada dua cara yang disediakan oleh
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, agar debitor terhindar dari ancaman harta
kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam
keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi utangutangnya sehingga
debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta dapat memberi
suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh kreditor,
Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban
pembayaran utang disingkat PKPU. Dasar pemikiran PKPU adalah
pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi
utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian
26
baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan
meneruskan usahanya.
3. Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi
khususnya pada beberapa undang-undang yaitu: Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan
Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Permasalahan yang terjadi yaitu ketidakharmonisan antara satu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini
menyebabkan inefisiensi, oleh karena itu dalam konteks
perundang-undangan harus memenuhi efisiensi untuk memenuhi kepastian hukum
yang efektif dan efisien.
4. Kewenangan Hakim diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim memiliki peran penting
dalam penyelesaian sengketa maupun kasus baik pidana maupun perdata.
Kaitannya dengan putusan hakim yang kontroversial terjadi dikarenakan
beberapa sebab, baik motivasi untuk melakukan KKN maupun faktor
laiinya. Contohnya adalah terjadi pada hakim agung, yakni Yamani diduga
memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba.
Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan
Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie. Selanjutkan putusan
hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan Kepolisian RI c.q
27
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Cetakan I, Penerbit Unsri, Palembang, 2007.
Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007
Chatamarrasjid, Ais. “Penyelesaian Konflik: Arbitrase dan Pengadilan”.Jakarta: t.pn. 1999.
Faoutoucos, A.C. Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988.
Goodpaster, Garr. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995
Hartini,Rahayu.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press, 2012.
Hartono, Darminto. Economic Analysis of Law Atas Putusan PKPU Tetap, Ctk. Pertama, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
Lontoh, Rudy A. Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.
Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013.
Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013
Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A.,
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.
Sutantio, Retno Wulan. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996.
Suyatno,R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012.
28 B.Laporan Penelitian, Artikel, dan Jurnal
Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, H.16
Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI Rahmani Timorita Yulianti, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007
Qohar, Adnan. Artikel, Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia
Sumanto, S.H. Analisis Pengembangan Ekonomi atas Hukum di Indonesia Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 2, Agustus 2008
Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang. Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997
Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan
Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011, h. 20.
Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), h. 20 – 35.
C.Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan Pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Acara Pengucapan Putusan (Jakarta: Kamis 29 Agustus 2013) Pengujian UU NO. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah [Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3)] Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
29 D.Internet
https://yanthojehadu.wordpress.com/2013/01/06/tiga-putusan-mahkamah-agung-yang-kontroversial-dalam-kacamata-filsafat-hukum/ diakses pada tanggal 13 November 2015
Fitri, Ali. Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Eksistensinya.
http://www.badilag.net/datadiakses pada tanggal 13 November 2015
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015 Iqbal, Muhammad. Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi