PROVINSI MALUKU UTARA
M. SAID AL HADAD
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
M. SAID AL HADAD, 2012. Economic Valuation of Seagrass Ecosystem in Waidoba Island, South Halmahera Regency Province of North Moluccas. Under direction of AHYAR ISMAIL and ACHMAD FAHRUDIN.
Seagrass is high level vegetation (Angiosperm), which has adapted to survive under sea water. Seagrass ecosystem gives benefit to product goods and service which can be consumed directly or indirectly. The research was done in Waidoba Island, South Halmahera, Province of North Moluccas. which purposed to see types of seagrass ecosystem, estimation of economic value of function and benefit of seagress ecosystem, and alternative management of seagress ecosystem in Waidoba Island. The method of research of economic values of seagress ecosystem used transect method and transect plot, effect on production (EoP) and CVM. Based on research, economic value of seagress ecosystem in Waidoba Island showed total economic value 255.324.598.410 per year. The economic value included direct use value (fisheries) and indirect use value (nursery ground, blue carbon), option value, existence value, and bequest value.
M. SAID AL HADAD. Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh AHYAR ISMAIL dan ACHMAD FAHRUDIN.
Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Ekosistem lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang penting adalah sotong (Sepia, Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita (Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara) dan lain-lain.
Pulau Waidoba merupakan kepulauan yang saat ini menjadi isu pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku Utara. Pulau ini memiliki karakteristik geografis dan karakteristik masyarakat yang khas, karena terletak pada garis khatulistiwa dan didominasi oleh suku Bajo sebagai salah satu suku yang hidup dan berinteraksi secara langsung dengan laut.
Tujuan penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. 2. Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. 3. Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan di Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.
Pemanfaatan ekosistem padang lamun di Pulau Waidoba dilakukan oleh masyarakat maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan biota non ikan dan sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan). Beberapa aktivitas yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada degradasi habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (dinamit botol) dan bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh swasta.
Berdasarkan hasil penelitian rekapitulasi nilai ekonomi ekosistem lamun di Pulau Waidoba menunjukkan total nilai ekonomi (total economic value) mencapai Rp 255.324.598.410 per tahun. Nilai ekonomi ini terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung (use value) sebesar Rp 241.054.041.785. per tahun, nilai ekonomi manfaat tak langsung (direct use value) sebesar Rp.4.694.820.081 per tahun, nilai keberadaan (existensi value) sebesar Rp. 9.448.756.247 per tahun,nilai pilihan (option value) sebesar Rp 33.766.994 per tahun dan nilai warisan (bequest value) adalah sebesar Rp 93.213.303 per tahun.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
PROVINSI MALUKU UTARA
M. SAID AL HADAD
Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : M. Said Al Hadad NRP : H351090021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 1 Juni 2012 Tanggal Lulus:
Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS
Anggota Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “ Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
1.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari arahan dosen pembimbing. Untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan bagi perbaikan penulisan penelitian ini. Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:
2.
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan – IPB atas ilmu dan bimbingannya yang sangat luar biasa selama penulis kuliah di ESL.
3.
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT. Selaku Ketua Departemen Fakultas Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Pascasarjana IPB atas ilmu dan kesediaanya menjadi dosen penguji luar komisi pada tesis ini.
4.
Seluruh jajaran dosen dan staf Departemen ESL atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana.
5.
Orang tua tercinta Mohdar Al Haddad dan Hj. Raguan Nabung sekeluarga di Bajo Kayoa atas doa dan dukungannya selama saya menempuh studi dan lainnya.
6.
Istri dan anak tercinta Iyad Mahmud Al Haddad, yang memberikan waktu dan memahami selama studi
8.
Mahasiswa MSP yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan.
9.
Irwan Mulyadi S.Pi, M.Si yang telah memberikan semangat, mendampingi dan membantu penulis selama ini
Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate atas izin sehingga penulis diberi kesempatan menempuh pendidikan pascasarjana-IPB
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat Pulau Waidoba dan instansi terkait yang berada pada jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara serta bagi mereka yang menggunakannya.
Bogor, Juni 2012
Penulis dilahirkan di Bajo pada tanggal 26 April 1977 sebagai anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Mohdar Al Haddad dan Hj. Raguan Nabung. gelar Sarjana Pertanian, penulis peroleh pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Khairun pada tahun 2001
DAFTAR ISI 1.1Latar Belakang ... 1.2Permusan Masalah ... 1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 1.4Kerangka Pemikiran ………...
II TINJAUAN PUSTAKA... 2.1 Ekosistem Lamun... 2.2 Fungsi dan Manfaat Lamun ... 2.3 Penilaian Ekonomi Lamun ... 2.4 Konsep Valuasi Lamun ... 2.5 Fungsi Ekonomi ...
III METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1 Lokasi dan Rencana Waktu Penelitian ... 3.2 Jenis dan Sumber Data ... 3.3 Metode Pengambilan Data ... 3.4 Metode Analisis Data ... 3.4.1 Analisis Ekologis ... 3.4.2 Analisis Deskriptif ... 3.4.3 Analisis DPSIR ... 3.4.4 Analsis Valuasi Ekonomi ...
IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 1.1Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 4.2 Letak Geografis dan Kondisi Habitat Penelitian ... 4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi ...
4.3.1 Kependudukan ... 4.3.2 Karakteristik Responden ... 4.4 Karakteristik Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Lamun ... 4.4.1 Perikanan Tangkap ... 4.4.2 Penangkap Biota Non Ikan ... 4.4.3 Kondisi Ekonomi ...
V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN ... 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan ... 5.2 Persentase Tutupan Lamun ... 5.3 Jenis dan Penyebaran Ekosistem Lamun ...
VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI... 6.1 Analisis DPSIR ... 6.2 Keterkaitan Antara DPSIR Dengan Persepsi NilaiE konomi ...
VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN ... 7.1 Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) ... 7.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) ... 7.3 Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) ... 7.4 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) ... 7.5 Implementasi Nilai Ekonomi ...
VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN ...
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Variasi Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun ... 2 Matriks Jenis dan Sumber Data ... 3 Luas Area Penutupan Jenis Lamun ... 4
5 Letak Geografis dan luas Wilayah lamun ... Hubungan Nilai dengan Teknik Valuasi yang akan Digunakan ...
6 Jumlah Penduduk Kec. Kayoa Selatan Menurut Kategori Jenis ... 7 Tingkat Kerusakan Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 8 Nilai Manfaat Langsung Perikanan Tangkap Ekosistem Lamun ... 9 Nilai Asuhan Ikan Ekosistem Lamun ... 10 Nilai Karbon Ekosistem Lamun ...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 2 Bentuk Interaksi Antara Tiga Ekosistem Bahari ... 3 Manfaat Ekonomi Ekosistem Lamun ... 4 Consumers Surplus dan Producer Surplus ... 5 Peta Lokasi Penelitian ...
7 Kerangka DPSIR ... 6 Petak Contoh Untuk Persen Tutupan Lamun ...
8 Sebaran Usia Responden Nilai Manfaat Langsung ... 9 Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan ... 10 Distribusi Responden menurut Kelompok Pendapatan ... 11 Distribusi Responden menurut Umur Responden ... 12 Distribusi Responden Menurut Pendidikan ... 13 Rata-Rata Persentase Tutupan Lamun ... 14 Diagram Analisis DPSIR Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 15 Pentingnya Keberadaan Ekosistem Lamun ... 16 Hasil Produksi Masyarakat ... 17 Kondisi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 18 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ...
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Analisis Regresi Nilai Penangkap Ikan... 2 Analisis Regresi Nilai Penangkap Biota Non Ikan... 3 Nilai Konsumen Surplus Untuk Ikan... 4
5 Data Responden Nelayan Penangkap Ikan... NilaiKonsumen Surplus Untuk Biota Non Ikan...
6 Data Responden Nelayan Penangkap biota non Ikan... 7 Analisis Regresi Nilai WTP Warisan... 8 Analisis Regresi Nilai WTP Keberadaan... 9 Analisis Regresi Nilai Pilihan... 10 Data Analisis Persentase Lamun... 11 Hasil Presentase Tutupan Lamun... 12 Kuisioner Persepsi Masyarakat Mengenai Ekosistem Lamun... 13 Kuisioner Untuk Nilai Manfaat Langsung ... 14 Kuisioner Untuk CVM...
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh
karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya
akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman
jasad-jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di
laut yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988).
Dewasa ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan
munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya
lautan. Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang
produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media
komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir
dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di
masa datang.
Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan
adalah lamun. Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga
(Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan
dikenal juga sebagai alga laut. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor
utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup
terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang
lamun (seagrass bed). Pada ekosistem padang lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi.
Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di dalam wilayah pesisir
seperti mangrove, terumbu karang, estauria dan ekosistem lainya dalam
menunjang keberadaan biota terutama pada perikanan serta beberapa aspek lain
seperti fungsi fisik dan sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan keberadaan
ekosistem lamun adalah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ekosistem
kondisi padang lamun semakin menyusut oleh adanya kerusakan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia.
Pulau Waidoba merupakan kepulauan yang saat ini menjadi isu pengelolaan
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku Utara. Pulau ini
memiliki karakteristik geografis dan karakteristik masyarakat yang khas, karena
terletak pada garis khatulistiwa dan didominasi oleh suku Bajo sebagai salah satu
suku yang hidup dan berinteraksi secara langsung dengan laut. Dengan distribusi
padang lamun cukup luas dan keragaman sumberdaya hayati yang cukup tinggi,
menyebabkan berbagai aktivitas pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun
diarahkan di pulau ini dan sekitarnya.
Aktivitas pemanfaatan tersebut berpotensi untuk mengancam kelestarian
ekosistem dan sumberdaya lamun, sehingga di khawatirkan selain dapat
menimbulkan berbagai ancaman langsung terhadap degradasi habitat dan
keanekaragaman hayati ekosistem lamun juga menimbulkan permasalahan sosial
ekonomi, seperti konflik kepentingan baik antar masyarakat, maupun antar
masyarakat dengan pengusaha perikanan yang memanfaatkan ekosistem dan
sumberdaya di Pulau Waidoba. Olehnya itu tanpa adanya intervensi yang efektif
dan terintegrasi, kecenderungan degradasi pada ekosistem lamun dan biota yang
berasosiasi dengannya akan terus merosot.
Pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun di Pulau Waidoba dilakukan
oleh masyarakat maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan
biota non ikan dan sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan).
Beberapa aktivitas yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pada degradasi habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (dinamit botol) dan
bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik yang dilakukan oleh masyarakat
maupun oleh swasta.
Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam
berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk
memahami seluruh dampak dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan
menetapkan kebijakan pemanfaatan suatu sumberdaya alam yang efisien,
berkelanjutan dan tidak saling berkontradiksi terhadap pemanfaatan sumberdaya
alam yang lain. Sehingga
1.2 Perumusan Masalah
untuk mengetahui nilai manfaat dari ekosistem lamun,
maka perlu dilaksanakan analisis melalui metodologi valuasi ekonomi. Valuasi
ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir laut karena mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi
secara integrative.
Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, bukan saja membawa
deplesi terhadap sumberdaya ikan, namun juga menimbulkan konsekuensi sosial
dan ekonomi yang cukup tinggi. Tiga penyebab utama yang ditimbulkan oleh
paradigma pertumbuhan terhadap sumberdaya ikan adalah overfishing,
penangkapan ikan yang merusak (desktruktif) dan pencemaran. Ketiga penyebab
utama ini kebanyakan di picu oleh keputusan myopic untuk memburu rente
sumberdaya ikan dengan cara cepat dan mudah. Akibatnya adalah terjadinya
penurunan stock yang berakibat pada kehilangan pekerjaan, pendapatan dan
kerusakan lingkungan ( Fauzi, 2006).
Anna (2007) mengemukakan sumber daya alam dan lingkungan ( SDAL)
patut mendapatkan perhatian dan pemberian label value yang tepat dan dengan
dua alasan: pertama adalah SDAL menyediakan manfaat tidak langsung dalam
batasan yang luas, kedua aktivitas manusia telah menyumbangkan laju hilangnya
keanekaragaman hayati yang akan mengancam stabilitas dan keberlanjutan dari
ekosistim sebagaimana juga penyediaan barang dan jasa yang di hasilkan bagi
kesejahteraan manusia itu sendiri (Pimm et al 1995; Simon dan Wildavsky 1995). Hal ini yang menyebabkan semakin banyaknya studi mengenai rusak, hilang atau
berkurangnya baik kualitas maupun kuantitas SDAL dan kaitannya dengan
besaran kerugian secara moneter. Values/nilai sumber daya alam pada setiap
pemanfaatan akan sangat tergantung pada kondisi dan distribusi dari property right dan tingkat kesejahteraan/ income masyarakatnya.
Manusia selalu bergantung pada sumberdaya alam. Lebih khusus pada
masyarakat pesisir dimana mereka sangatlah bergantung pada SDA yang
mempertahankan kelangsungan hidup. Ekosistem lamun yang merupakan salah
satu penyusun daripada SDA, dimana masyarakat pesisir mendapatkan
keuntungan daripadanya. Dengan kata lain, pentingnya keterkaitan ekosistem
pesisir/ekosistem lamun yang sehat terhadap mata rantai ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan dan kelangsungan hidup masyarakat
sangat terkait dengan keberlanjutan ekosistem yang ada di sekitarnya.
Mengingat masih rendahnya penghargaan terhadap potensi ekosistem lamun
maka perlu usaha untuk meningkatkan nilai ekonomi lamun. Hal ini bisa diawali
dengan mengetahui nilai ekonomi ekosistem lamun baik melalui nilai-nilai
pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dan presepsi masyarakat terhadap
padang lamun itu sendiri. Pada titik inilah kebutuhan akan penilaian ekosistem
lamun dengan menggunakan metode valuasi ekonomi menjadi penting dimana
dinamika ekosistim yang ada harus di masukkan kedalam pertimbangan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
Untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan
dengan menghindari penyia-nyian (abusement) sumbedaya alam, perlu di lakukan penilaian (valuasi) ekonomi yang menyeluruh terhadap seluruh manfaat dan fungsi ekosistem lamun, baik manfaat langsung (perikanan tangkap, marikultur,
pengambilan kerang, wisata pantai, dan penelitian), maupun manfaat tidak
langsung (fungsi pendukung biologi ekosistem sebagai tempat spawning ground, nursery ground dan feeding ground), manfaat pilihan, manfaat eksistensi dan manfaat keberadaan, disamping itu juga di lakukan analisis melalui pendekatan
DPSIR. Dengan demikian akan di ketahui alternative solusi paling tepat bagi
pengelolaan ekosistem lamun di Pulau Waidoba
Berdasarkan pemaparan permasalahan-permasalahan yang ada di kawasan
ekosistem lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmehera Selatan, maka dapat
dirumuskan:
1. Bagaimana pola pemanfaatan ekosistem lamun dan permasalahan yang ada di
kawasan Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera
2. Bagaimana nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistem lamun di perairan
Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan
Provinsi Maluku Utara
3. Bagaimana alternative pengelolaan ekosistem lamun Pulau Waidoba
Kabupaten Halmahera Helatan Provinsi Maluku Utara
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun Pulau
Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi
Maluku Utara.
Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam
berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk
memahami pola pemanfaatan dan dampak dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan, sehingga langkah pengelolaan dan penilaian secara ekonomi
dapat diusulkan. Oleh karena itu, untuk menjawab hal tersebut maka penelitian ini
bertujuan untuk :
2. Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun Pulau
Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi
Maluku Utara.
3. Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan di
Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan
Provinsi Maluku Utara.
Kegunaan dari penelitian ini :
1. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk menerapkan teknik penilaian ekonomi
(economic valuation) terhadap pemanfaatan ekosisitem lamun.
2. Bagi para pengambil keputusan, baik pemerintah maupun kalangan swasta,
hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai refrensi untuk pengambilan
keputusan mengenai pemanfaat pada ekosistem lamun
1.4 Kerangka Pemikiran
Menurut sejarah, telah teridentifikasi dua kesalahan mendasar dalam
bahwa manusia dan alam merupakan system yang terpisah. Odum (1983) In
Torre-Castro (2006) menekankan bahwa sangatlah penting untuk melibatkan
manusia sebagai bagian dari ekosistem dan mempertimbangkan komunitas
manusia melekat/tertanam didalam alam. Pandangan ini telah dikembangkan
dalam konsep “Social Ecological Systems”.
Ekosisitem lamun merupakan salah satu ekosistem yang penting bagi
perairan. Khususnya bagi masyarakat nelayan yang ada di Pulau Waidoba
Ekosistem lamun memberikan manfaat baik ekonomi maupun non ekonomi bagi
masyarakat. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun intangible
(tidak terukur). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat
kegunaan (use value) baik yang dapat dikomsumsi maupun tidak dikomsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible di golongkan kedalam manfaat non kegunaan (non use value). Manfaat ini lebih kearah pemeliharaaan ekosistem lamun dalam jangka panjang.
Informasi mengenai nilai ekonomi dari fungsi ekologis lamun mutlak di
perlukan, khususnya nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem lamun. Nilai
fungsi ekologis lamun dinyatakan dalam moneter melalui teknik valuasi. Fauzi
(2000) menyebutkan bahwa konsep valuasi ekonomi dapat digunakan untuk
menstransformasi nilai ekologis menjadi nilai ekonomi dengan mengukur nilai
moneter dari seluruh barang dan jasa yang di hasilkan. Nantinya nilai ekonomi
yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan alternative pemanfaatan dan
pengelolaan ekosistem lamun secara berkelanjutan
Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa ”nilai” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian yaitu nilai intrinsik dan nilai
instrumen. Nilai intrinsik jika suatu komoditas bernilai di dalam dan untuk
komoditas itu sendiri, atau nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari
komoditas tersebut namun bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin
terkait dengan komoditas lain. Nilai instrumen adalah nilai yang muncul akibat
pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Lebih lanjut
disebutkan bahwa konsep nilai instrumen lebih mampu menjawab persoalan
instrumental dari sumberdaya alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus
disusun. Gambar 1 kerangka pemikiran penelitian.
Analisis DPSIR Potensi Sumberdaya Ekosistem Lamun
Aspek Ekologis Lamun
Valuasi Ekonomi
Total Nilai Ekosistem Lamun Direct Use Value Indirect Use Value
Benefit Transfer - Nursery ground - Blue carbon
- Nilai Pilihan
- Nilai Keberadaan
- Nilai Warisan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Alternatif Pengelolaan Ekosistem Lamun Effect on Production
(EoP)
Contingent Valuation Method (CVM)
- Tangkapan ikan
- Tangkapan biota non ikan
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistim Lamun
Indonesia memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang
lamun yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang
terdapat di perairan Indonesia mencapai sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan
Winardi, 1994).
Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horisontal, maka dapat dikatakan
ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem
mangrove dan ekosistem terumbu karang (pada gambar dibawah). Dengan letak
yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun
tidak terisolasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem
tersebut.
Adanya interaksi timbal balik dan saling mendukung, maka secara ekologis lamun
mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya
cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan
lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, EKOSISTEM
TERUMBU KARANG
EKOSISTEM MANGROVE EKOSISTEM
PADANG LAMUN
Interaksi fisik
Nutrient dan bahan organik terlarut Bahan organik melayang
Ruaya hewan Dampak manusia
berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.
Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah
padang lamun (seagrass bed
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan
terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri
dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (s
) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu
area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan
padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar
laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi
per-tumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi
air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara
dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang
lamun.
eagrass ecosystem
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri
atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia
ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan
berkembang baik pada lingkungan pada perairan laut dangkal, muara sungai,
daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air
surut. Tempat tumbuhnya adalah dasar pasir, pasir berlmpur, lumpur dan kerikil
karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup pada dasar batu karang.
Mereka dijumpai pada daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m. ).
Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga
dijumpai di terumbu karang.
Jenis-jenis lamun dapat berkembang baik di perairan dangkal karena
mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya untuk hidup, yaitu 1). Mampu
tumbuh dan berkembang dalm lingkungan air asin, 2). Mampu berfungsi normal
dalam keadaan terbenam, 3). Mempunyai system perakaran jangkar yang
berkembang baik, 4). Mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan
terbenam air, 5). Mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut (Arber
Lamun atau secara internasional dikenal sebagai seagrass merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Keberadaan bunga dan buah ini
adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya
yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut
sebagai padang lamun (seagrass bed
2.2 Fungsi dan Manfaat Lamun
). Pada ekosistem padang lamun berasosiasi
berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang
sangat tinggi.
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya,
dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini
Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem
di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun
mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan
jasad hidup di laut dangkal, sebagai berikut :
hidup
beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp, Lambis sp,
dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Acancasther sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
a. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer
tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal
seperti ekosistem terumbu karang
b. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu,
padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan
karang (coral fishes)
c. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi
tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat
Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga
dapat mencegah erosi.
d. Sebagai pendaur zat hara: Lamun memegang peranan penting dalam pendauran
berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut.
Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun
merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada
perairan dangkal berfungsi sebagai :
a. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui
tekanan-tekanan dari arus dan gelombang.
b. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta
mengembangkan sedimentasi.
c. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang
berkunjung ke padang lamun
d. Daun-daun sangat membantu organisme-organisme epifit
e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
f. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai
makanan.
Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting bagi wilayah pesisir, yaitu :
a. Produsen detritus dan zat hara.
b. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem
c. perakaran yang padat dan saling menyilang.
d. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di
lingkungan ini.
e. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari
sengatan matahari
Selanjutnya dikatakan Philips dan Menez (1988), lamun juga sebagai
komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan
1. Digunakan untuk kompos dan pupuk
2. Cerutu dan mainan anak-anak
3. Dianyam menjadi keranjang
4. Tumpukan untuk pematang
5. Mengisi kasur
6. Ada yang dimakan
7. Dibuat jaring ikan
Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1. Penyaring limbah
2. Stabilizator pantai
3. Bahan untuk pabrik kertas
4. Makanan
5. Obat-obatan dan sumber bahan kimia
Ekosistem padang lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan
barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae,
Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang
penting adalah sotong (Sepia, Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita (Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara) dan lain-lain.
2.3 Penilaian Ekonomi Lamun
Nilai ekonomi tidak langsung pada ekosistem padang lamun yang perlu
dihitung adalah produktivitas ekosistem, perlindungan terhadap pantai,
perlindungan terhadap terumbu karang, kontribusi terhadap ekosistem terumbu
karang, monitor lingkungan, pendidikan dan penelitian.
Penilaian ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung
dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Pengertian nilai atau value
khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya
dan lingkungan jika di pahami lebih lanjut bisa saja berbeda jika di pandang dari
berbagai disiplin ilmu (Anna 2007). Konsep nilai akan berhubungan dengan
ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah jasa dan fungsi
sumberdaya alam dan lingkungan yang memberikan kotribusi terhadap
kesejahteraan manusia, di mana kesejahteraan ini di ukur berdasarkan setiap
individual assessment terhadap dirinya sendiri.
Suatu ekosistim memiliki fungsi dan manfaat yang beraneka yang satu
sama lain saling mempengaruhi. Ketika suatu ekosistim dieksploitasi secara
parsial (tidak mempertimbangkan seluruh fungsi dan manfaat ekosistim), maka
akan muncul eksternalitas. Biaya eksploitasi tidak memperhitungkan seluruh
dampak dari kegiatan eksploitasi, sehingga fungsi-fungsi lain tidak diberi harga.
Akibatnya terjadilah pemberian nilai yang terlalu rendah (undervalue) terhadap sumberdaya alam, yang mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya itu secara
berlebihan. Misalnya ekosistim padang lamun, di satu sisi berfungsi sebagai
penyedia makanan dan tempat memijah dan berkembangbiak bagi sejumlah jenis
ikan serta sebagai pelindung pantai dengan cara meredam arus, di sisi lain padang
lamun juga bermanfaat untuk kawasan penangkapan ikan (fishing ground) dan sarana wisata pantai. Ketika penangkapan ikan lakukan dengan menggunakan
bahan peledak dan racun, maka ikan-ikan dapat ditangkap dengan mudah, namun
padang lamun menjadi rusak. Biaya penangkapan ikan menjadi lebih rendah
dengan hasil tangkapan lebih besar, tetapi fungsi padang lamun sebagai pelindung
pantai, objek wisata, dan tempat bertelur dan memijah berbagai jenis ikan, yang
nilai moneternya sangat besar, menjadi hilang.
Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan
dalam memahami pentingnya suatu ekosistim. Oleh karena itu, diperlukan suatu
presepsi yang sama untuk penilaian ekosistim tersebut. Salah satu tolok ukur yang
relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu
tersebut adalah memberikan “price tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang di hasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. (Fauzi 2004).
Menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya di lakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan (non use value). Dengan mengetahui nilai sumberdaya tersebut, seharusnya kita dapat
total atau total economic value (TEV) dari sumberdaya tersebut. Gambar 3 memberikan gambaran manfaat ekonomi ekosistem padang lamun
Gambar 3 Manfaat Ekonomi Ekosistem Padang Lamun
Nilai ekonomi total (total economic value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang
tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen
tersebut mudah diidentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak
diketahui atau tidak bisa diraba. lebih jauh lagi, Barton (1994) berpendapat bahwa
nilai ekonomi total (total economic value) dari lingkungan sebagai asset merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non manfaat (non use value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu
fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai mafaat terdiri
dari nilai manfaat secara langsung (direct use), nilai manfaat secara tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan option value. Nilai non manfaat
Total Economic Value
Use Value Non - Use Value
Direct Use Value Indirect Use Value Option Value Existence Value Bequest Value
biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nilai masa depan (bequest value) (Dixon 1998).
A. Nilai Manfaat (Use Value)
Uses value merupakan suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa sumberdaya alam dan lingkungan ke nilai uang, terlepas ada tidaknya
nilai pasar terhadap barang dan jasa tersebut. Dalam konteks penelitian ini use value diestimasikan dari seberapa besar manfaat sumberdaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai manfaat ini didapat dari menjumlahkan nilai
manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
Nilai Manfaat Langsung
Nilai manfaat langsung di estimasi dengan menghitung jumlah ekstraksi
langsung dari sumberdaya alam dan nilai yang terkait dengan menggunakan harga
pasar (NRMP-USAIDa, 1996 dalam Kusuma, 2005). Menurut McCracken dan
Abaza (2000) dalam Kusuma (2005), harga pasar yang umum digunakan adalah harga pasar lokal (local market prices).
Nilai Manfaat Tidak Langsung
Nilai manfaat tidak langsung didefinisikan oleh Grigalunas and Congar
(1995) dalam Kay dan Alder (1999) sebagai nilai yang secara tidak langsung dari barang, dimana ketika menggunakan barang lain tergantung dari barang tersebut.
Untuk menghitung nilai ini perlu dibatasi pada fungsi yang terkandung dalam
suatu sumberdaya.
Nilai manfaat tidak langsung dihitung dengan menggunakan metode ini
dinilai tepat untuk penelitian dimana ketersediaan data dan dana yang terbatas
untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Metode ini menilai perkiraan
benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut
di transfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari
lingkungan (Fauzi, 2003). Dosi (2000) menyebutkan bahwa metode ini didasari
dari kajian yang telah dilakukan sebelumnya untuk melakukan evaluasi terhadap
suatu proyek baru, pengaturan masalah lingkungan, atau kebijakan lainnya yang
diposisikan dalam pengambilan keputusan dan analisis biaya manfaat. Dalam
melakukan pendekatan ini harus dilakukan dengan penilaian yang baik dan
menampilkannya kepada para pengambil keputusan. Pendekatan ini secara formal
telah direkomendasikan dan di adaptasi oleh berbagai lembaga untuk tujuan
valuasi ekonomi dampak lingkungan.
B. Nilai Manfaat Pilihan (Option Value)
Option value lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat
atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam di
masa mendatang (Fauzi, 2003). Nilai manfaat pilihan (option value) dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengukuran secara langsung, Nilai ekonomi
sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan
kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan membayar mereka
(willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Teknik yang paling umum digunakan dalam pendekatan langsung ini adalah
melalui contingent valuation method atau CVM. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar
(willingness to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat, misalnya saja terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara dsb) dan yang kedua adalah
keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari kerusakan suatu lingkungan perairan. CVM yang pertama kali diajukan oleh Davis (1963) dalam
Dosi (2000), telah digunakan secara luas dalam pengambilan keputusan terhadap
evaluasi program terkait dengan perubahan lingkungan.
C. Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value)
Nilai bukan manfaat merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan
pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya (Fauzi,
2003). Nilai bukan manfaat dibagi menjadi dua yaitu existence value dan bequest value.
Existence Value
Existence value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan
meskipun masyarakat misalnya tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya.
Bequest Value
Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan
untuk generasi mendatang (mereka yang belum lahir). Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang.
Dalam paradigm neoklasik, nilai ekonomi (economic value) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang di peroleh dari penjumlahan surplus konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk
mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut di sebut consumers surplus
(CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan.
Sementara itu, producers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produser lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi
sebuah barang atau jasa. (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003 dalam
Adrianto 2004). Green (1992) diacu dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam
merupakan pengukuran yang tepat karena sumberdaya dinilai berdasarkan
alternative penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rent sumberdaya).
Gambar 4 Consumer Surplus dan Producer Surplus Qe
Supply Curve
Demand Curve
P
P
Q Consumers
Surplus
2.4 Konsep Valuasi Ekonomi
Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analisys/CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan yang terjadi pada sumberdaya dan lngkungan, sebab konsep ini sering tidak
memasukan manfaat ekologis didalam analisisnya. Begitu juga ketika kita
mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas ekonomi, misalnya
pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut
dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahan-permasalahan ini
kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan
Anna 2005).
(Fauzi 2004) mengatakan bahwa pemikiran mengenai valuasi ekonomi
sudah dimulai sejak 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and
Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh
manfaat dan biaya yang ditimbulkan oeh proyek-proyek yang dilakukan di sungai
dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana
konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak
langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada tahun 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumberdaya
dan lingkungan kemudian menjadi lebih luas dan mampu menjembatani
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode Benefit Cost Analisis yang konvensional karena sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam
analisisnya.
Lebih jauh lagi Fauzi (2005) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat
di defenisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang
dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai
pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengistimasi nilai uang dari barang
dan jasa yang di berikan oleh suatu sumberdaya alam.
Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi
neo-klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen
individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar
(willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier et al. 1997 di acu dalam Fauzi 1999)
1.
Menurut Suparmoko (2000) ada beberapa alasan mengapa satuan moneter
diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, tiga alasan
utamanya adalah :
2.
Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang
terhadap lingkungan.
3.
Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan lingkngan dapat
menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan.
Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif
terhadap beberapa alternative suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan.
Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu
sumberdaya alam, baik nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam
menyusun kebijakan pengelolaannya. Sehingga alokasi dan alternatif
penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran valuasi
ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat public good, terbuka dan
tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar di mana
harga dapat berperan sebagai instrument penyeimbang antara permintaan dan
penawaran. Selain itu manusia di pandang sebagai homoeconomicus yang
cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000).
Valuasi ekonomi merupakan analisiys non-market karena didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa yang tidak
dipasarkan. Jika produk terpasarkan dapat digambarkan dalam kurva permintaan
dengan kemiringan negative (downward slopping) maka kurva permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan gambaran keinginan
membayar (willingenes to pay = WTP) seseorang untuk memperoleh barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti keaneka
ragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih
Fauzi (2006) menyebutkan bahwa secara umum, teknik valuasi ekonomi
sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat di golongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok petama adalah teknik valuasi yang
mengandalkan harga implicit dimana willingness to pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok yang
pertama ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing dan Random Utility Model. Kelompok yang kedua adalah teknik valuasi yang di dasarkan pada survey dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang
langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik valuasi yang termasuk
dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation method dan Discrete Choice Method.
Nilai ekonomi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota
yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325
per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990).
Terdapat hingga 360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga,
24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang)
yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping
itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan dll. 2.5 Fungsi Ekonomi
Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu
karang, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal
ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya
sumberdaya lamun ini. Beberapa tentang perhitungan nilai ekonomi ekosistem
lamun dapat dilihat pada Tabel 1.
Informasi nilai ekonomis kerang hias (Pyrene versicolor) dari teluk Banten dilaporkan Kiswara (2009) adalah Rp. 33.000.000.- kerang hias menempel pada
daun Enhalus. Kerang hias setelah dibersihkan dibuat berbagai kerajinan seperti figure foto, gantungan lampu dan tirai. Kerajinan umumnya dimanfaatkan secara
langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk
Tabel 1 Variasi Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun (Fauzi 2009)
Referensi Lokasi Metode Nilai Ekonomi
Isdianto (2008) Kab. Pesisir Market value Rp. 3.414.000.000.000 Selatan Dan Non
Sumbar market value
PKSPL (1998) Kep. Riau Market value Rp. 34.730.214,90/ha/th Nugroho (2008) Kep. Riau CVM & Rp. 66.229.789,0/ha/th
Market value
Juwana et al. (2007) Bintan Market value, US $ 3,634,796/ha/th Timur cost benefit &
travel cost Mc Arthur Lynne C;
Boland, John W (2006)
Australia Selatan
Market & non market
$ 114 Million/year
UNEP (2004) Hepu
Guangxi China
Market & non market
$ 14,839/ha
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan,
Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara dan untuk keperluan
pengambilan data persentase tutupan lamun dilakukan pada 15 site yang
diplotkan kedalam 5 stasiun penelitian (Gambar 5), untuk data DPSIR dan data
CVM sebagian besar diperoleh melalui hasil wawancara dengan nelayan setempat
yang memanfaatkan ekosistem lamun sebagai daerah penangkapan ikan dan
pengambilan biota non ikan yang meliputi Desa Posi-Posi, Desa Laluin, Desa
Pasir Putih, Desa Sagaole, Desa Ngute-Ngute dan Desa Orimakurunga.
Selanjutnya jadwal kegiatan penelitian terdiri dari kegiatan pengambilan data
primer dan data sekunder yang dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan
Desember 2011.
3.2 Jenis dan Sumber Data
-Berdasarkan sumber data, data yang di kumpulkan dalam penelitian ini
berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer di peroleh
melalui pengamatan lapangan atau observasi dan wawancara dengan responden
dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Secara khusus data primer
yang diperoleh meliputi :
-Data aspek biofisik-kimia perairan terdiri dari :
-Kondisi perairan : diperoleh melalui hasil pengukuran parameter
fisika-kimia perairan yang meliputi suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen,
dan pH air
-Kondisi ekosistem lamun: meliputi persentase tutupan lamun,
identifikasi lamun, dan luasan lamun
Data DPSIR (
- Aktivitas pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha
perikanan pada ekosistem lamun
Driving force-Pressure-State-Impact-Response).
- Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem lamun
-Estimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun di Pulau Waidoba
-Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Data Non Use Value (nilai bukan Manfaat)
Kesediaan masyarakat dalam berpartisipasi untuk menjaga keberadaan dan
kelestarian/keberlangsungan dari suatu sumber daya melalui kesediaan
membayar (willingness to pay/WTP)
Adapun data sekunder diperoleh dari studi literatur dan berbagai instansi
terkait. Studi literatur dibutuhkan untuk membandingkan nilai ekonomi yang
didapatkan dari kawasan Pulau Waidoba dengan nilai ekonomi yang didapatkan
pada kawasan ekosistem lamun yang lain. Jenis dan sumber data lebih jelas dapat
Tabel 2 Matriks Jenis dan Sumber Data
No Tujuan Metode Analisis Jenis
Data
Sumber Data
1 Mengidentifikasi aspek ekologi perairan ekosistem
Mengidentifikasi aspek sosial ekonomi, DPSIR.
2
- Sosial ekonomi :
Jumlah penduduk dan mata pencarian dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa
3.3 Metode Pengambilan Data a. Data Ekologis
Penelitian mengenai valuasi ekonomi ekosistem lamun melalui
pendekatan ekologis di Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan, Provinsi
Maluku Utara membutuhkan informasi data yang lengkap dan “up to date” yang
meliputi data primer dan sekunder, serta analisis yang tepat dan akurat.
Pengumpulan data ekologis dilakukan secara langsung melalui
pengukuran dan pengamatan terhadap kondisi perairan dan kondisi ekosistem
a.
b.
Pengukuran kualitas perairan (suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut,
dan pH air)
1 Menentukan lokasi transek yang dipilih untuk pengamatan. Setiap stasiun
terdiri dari 3 transek (sub stasiun) yang ditempatkan secara vertikal atau
tegak lurus ke laut, dengan panjang 50 meter.
Pengukuran kondisi padang lamun merupakan gabungan metode Transek dan
Petak Contoh (Transect Plot) dengan penentuan secara cepat persen
penutupan lamun di lapangan (sumber: Marine Plant Ecology Group,
northerm Fisheries Centre CAIRNS, Australia). Metode Transek dan Petak
Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu
komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang
ditarik melewati wilayah ekosistem lamun tersebut. Adapun langkah-langkah
pengambilan data dilapangan sebagai berikut;
2 Pada setiap garis transek ditempatkan kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 5 kali
mengikuti garis transek.
3
c.
Menentukan persen penutupan lamun di lapangan.
b.
Luasan lamun dilakukan melalui bantuan GPS.
Data DPSIR (
Pengumpulan data ini dilakukan melalui identifikasi secara langsung
berdasarkan karakteristik dampak dan melalui hasil wawancara secara interview
dari 60 responden. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun.
Driving force-Pressure-State-Impact-Response)
c. Data Efect on Production (EoP)
Pengumpulan data effect on production (EoP) melalui hasil wawancara secara interview dari 50 responden. Penentuan responden dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan
sumberdaya lamun. Responden diwancarai untuk mengetahui berapa besar
d. Data Nilai Bukan Manfaat ( Non Use Value)
Pengumpulan data nilai bukan manfaat (non use value) menggunakan metode contingent valuation method (CVM). Responden untuk data non use value terdiri dari nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan. Untuk nilai pilihan (option value) responden yang berhasil diwawancarai berjumlah 75 orang, sedangkan untuk nilai warisan (bequest value) dan nilai keberdaan (existensi value) masing-masing responden berjumlah 45 orang. Penentuan responden dilakukan secara sengaja. Responden yang didapat diwancarai untuk mengetahui
kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat terhadap ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan di Pulau Waidoba.
3.4 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan dalam melakukan valuasi ekonomi
sumber daya alam dan lingkungan adalah sebagai berikut :
3.4.1 Analisis Ekologis
1.
Untuk mengetahui luas area penutupan lamun, digunakan Metode Saito dan
Adobe (1970). Adapun metode perhitungannya adalah sebagai berikut :
2.
Petak contoh yang digunakan pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm
yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm,
petak contoh yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 6.
Menentukkan persentase tutupan lamun pada tiap sub petak dan dimasukkan
kedalam kelas kehadiran berdasarkan Tabel 3.
Tabel 3 Luas Area Penutupan Jenis Lamun
Kelas % Selang Kelas
penutupan Area
% NilaiTengah Kelas (M)
5 50 – 100 75
4 25 – 50 37,5
3 12,5 – 25 18,75
2 6,25 – 12,5 9,38
1 < 6,25 3,13
0 0 0
3.
...(1) Adapun perhitungan persen penutupan lamun pada masing-masing petak
dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
C = Persentase tutupan lamun ke-i (%)
Mi = Nilai tengah kelas persen penutupan lamun pada tiap sub petak/plot
f = Banyaknya sub petak pada persentase selang kelas penutupan jenis lamun
ke-i
3.4.2 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah suatu analisis yang digunakan untuk
menggambarkan perkembangan karakteristik kondisi ekonomi dan sosial tertentu
dari suatu daerah. Beberapa kondisi ekonomi dan sosial yang perlu dideskripsikan
misalnya, laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gambaran sektor
pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Analisis deskriptif bertujuan untuk
memberikan gambaran atau deskripsi suatu populasi.
Data yang dianalisis dapat berupa data kualitatif dan data kuantitatif.
Deskripsi dari lokasi sosial dan ekonomi suatu daerah bisa beragam bentuknya,
bisa berupa tabulasi silang, grafik histogram dan sebagainya. Bentuk deskripsi ini
3.4.3 Analisis DPSIR
Untuk mendapatkan
Analisis mengenai pola pemanfaatan dan permasalahan yang berkaitan
dengan sumberdaya padang lamun yang ada di kawasan pulau Waidoba di
gambarkan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan Driving Force,
Pressure, State, Impact and Response (DPSIR) yang merupakan pengembangan
dari model analisis PSR (Pressure-State-Response) (OECD 1993 dalam Zacharias
et al. 2008). Pendekatan ini didasarkan pada deskripsi tipologi usaha, jenis sumberdaya, pola pemanfaatan dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Studi ini mengandalkan pendekatan ex-ante dimana gambaran kerangka analisis DPSIR sebelum dan setelah terjadi kerusakan pada ekosistim lamun akan
digambarkan secara kualitatif melalui bantuan kuisioner yang terstruktur.
informasi mengenai keadaan lingkungan dan hubungan
antara aktivitas manusia dan kemungkinan adanya perubahan lingkungan
khususnya ekosistem lamun di Pulau Waidoba dilakukan analisis DPSIR (Driving force-Pressure-State-Impact-Response). Pendekatan ini didasarkan pada konsep rantai hubungan sebab akibat
Driving Force merupakan aktivitas manusia yang mengarah pada berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan tekanan terhadap lingkungan. Faktor
pemicu utama bagi seorang individu adalah kebutuhan, seperti kebutuhan akan
tempat tinggal dan makanan.
yang dimulai dengan aktivitas manusia (faktor
pemicu) yang menyebabkan adanya tekanan terhadap lingkungan dan kemudian
mengubah kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hingga akhirnya
mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat.
Pressure adalah akibat dari proses produksi atau konsumsi yang disebabkan oleh adanya faktor pemicu yakni aktivitas manusia untuk memenuhi
kebutuhannya. Tingkat tekanan terhadap lingkungan bergantung pada faktor
pemicu dan faktor faktor lain yang berkaitan dengan interaksi manusia dan
lingkungannya. Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pressure
yaitu pemanfaatan
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk,
kebutuhan akan tempat tinggal menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap
sumber daya alam. Faktor pemicu sekunder adalah kebutuhan untuk mobilitas,
hiburan, budaya dan lain-lain.
dalam penggunaan sumberdaya dan emisi (bahan kimia, limbah, radiasi,
kebisingan) ke udara, air dan tanah.
State adalah hasil dari pressure terhadap lingkungan di suatu kawasan. State merupakan kondisi fisik, kimia dan biologis suatu kawasan misalnya tingkat pencemaran, degradasi sumberdaya dan lain-lain. Perubahan secara fisik, kimia
atau biologis yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu
kawasan mempengaruhi kualitas ekosistem dan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan kata lain perubahan state berdampak (impact) pada lingkungan dalam fungsinya sebagai ekosistem, kemampuan pendukung hidup ekosistem dan
akhirnya berdampak pada tingkat kesehatan dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
Response (tanggapan) masyarakat atau para pembuat kebijakan merupakan hasil dari dampak yang tidak diinginkan dan dapat mempengaruhi
setiap bagian dari mata rantai hubungan sebab akibat dari faktor pemicu sampai
dampak-dampak yang terjadi pada lingkungan.
Seiring dengan pandangan sistem analisis DPSIR, pengembangan sosial
dan ekonomi menyebabkan mendorong terjadinya tekanan pada lingkungan,
secara konsekuen terjadi perubahan pada keberadaan/kondisi lingkungan. Hal
tersebut berdampak pada fungsi ekosistem. Akhirnya masyarakat memberikan
responnya baik secara langsung maupun tidak lansung terhadap adanya
perubahan dalam sistemnya (Gambar 7).
Response meliputi penetapan peraturan, perubahan strategi manajemen dan lain-lain. Contoh response yang dilakukan oleh nelayan dalam mengantisipasi dampak perubahan hasil tangkapan
Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk
menghitung nilai total ekonomi (total economic value) dari ekosistem lamun. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu
sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus
diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan
alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran
(Nilwan et al, 2003).
3.4.4 Analisis Valuasi Ekonomi
Total economic value dapat ditulis secara matematis (CSERGE,1994
dalam Nilwan et al, 2003):
TEV = UV + NUV = (DUV+IUV+OV)+(XV+BV) ... (2)
dimana :
TEV = Total Economic Value IUV = Indirect Use Value
UV = Use Values OV = Option Value
NUV = Non Use Values XV = Existence Value
DUV = Direct Use Value BV = Bequest Value
Gambar 7 Kerangka DPSIR (Stanners et al 2007)
Aktivitas Responses
Driving force
Pressure Impact
Polutan Kesehatan ekosistem
Kualitas
State
Dalam penelitian ini, nilai-nilai yang ada di sumberdaya (use value, dan non-use value), berikut teknik valuasi yang digunakan, secara ringkas tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan
Nilai (Value) Teknik Valuasi
A. Use Value
A1. Direct Use Value - Tangkapan ikan
- Tangkapan biota non ikan
Effect on Production (EoP)
Effect on Production (EoP) A2. Indirect Use Value
- Fungsi pendukung biologi ekosistem lamun
sebagai tempat nursery ground
- Fungsi jasa lingkungan sebagai blue carbon
Benefit Tranfer
Benefit Tranfer B. Non Use Value
Option Value Contingent Valuation Method Existence Value Contingent Valuation Method Bequest Value Contingent Valuation Method
Sementara itu, teknik valuasi yang akan digunakan terhadap masing-masing
nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu effect on production (EoP) dan
contingent valuation method (CVM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Effect on Production (EoP)
Pendekatan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya
terhadap produktivitas perikanan dikenal sebagai pendekatan effect on production
(EoP). Metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi (Effect on Production Approach, EoP) yaitu dengan mengalikan hasil produksi dan harga maka nilai manfaat langsung (benefit) dari ekosistem lamun dapat diestimasi. Berikut adalah langkah-langkah pendugaan nilai ekonomi sumberdaya
berdasarkan konsumen surplus:
... 3 Dimana;
Q = Jumlah sumberdaya yang diminta selama setahun
X1 = Harga sumberdaya yang diminta
X2 = Umur responden
X3 = Tingkat pendidikan responden
X4 = Tingkat pendapatan per tahun responden
X5 = Jumlah keluarga responden
2. Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga linear
………. 4
……… 5
………. 6
3. Mentransformasi kembali fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan asal
(Langkah 1)
……… 7
4. Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga
non-linear
... 8
5. Mengestimasi Total Kesediaan Membayar
……….……… 9
6. Mengestimasi Surplus Konsumen