• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Noerhayati Rofiah NIM G751090021

(3)

NOERHAYATI ROFIAH. The Model of Physical Exercise Effect on the Dynamics of Glucose and Insulin. Under direction of AGUS KARTONO and IRMANSYAH.

Regular physical activity is indicated either to prevent or delay the onset of non-insulin-dependent diabetes or to assure a good control of diabetes by increasing insulin sensitivity and ameliorating the metabolism of glucose disappearance. A minimal model developed previously was extended to include the major effects of exercise on plasma glucose and insulin levels. Minimal model of glucose and insulin dynamics created in this study is valid. Result of model simulation is good agreement with experimental data. On the normal subject, physical exercise can reduce blood glucose levels, the same thing happened in people with diabetes. In general, the model can be explained that physical exercise can lower glucose levels basal while after the exercise, but will eventually rise returned to initial basal glucose levels, so to keep the blood glucose remained normal should be done exercise regularly and with the assistance of insulin therapy appropriate to the needs of patients.

(4)

NOERHAYATI ROFIAH. Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin. Dibimbing oleh AGUS KARTONO dan IRMANSYAH.

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta penderita pada tahun 2030. Penyakit ini disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1) atau muncul resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dL). Efek jangka panjang dari diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa plasma melebihi 120 mg/dL. Hiperglikemia berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70 mg/dL. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.

Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2 atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan secara berkesinambungan. Latihan fisik meningkatkan pemanfaatan insulin oleh sel tubuh. Pengaruh latihan fisik dalam model yang dibuat dibandingkan antara orang yang menderita diabetes dengan subyek normal.

Model minimal dinamika glukosa dan insulin yang dibuat dalam penelitian ini valid. Hasil simulasi model menunjukkan kesesuaian dengan data eksperimen. Pada subyek normal yang melakukan latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa darah, hal yang sama juga terjadi pada penderita diabetes. Penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan tanpa dibantu dengan suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan turun di bawah kadar glukosa orang normal yaitu 100 mg/dL, tetapi lama kelamaan kadar glukosa basal akan kembali pada kadar glukosa semula, sedangkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan dibantu dengan suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan turun sangat rendah, hingga mencapai 50 mg/dL dan kadar glukosa basal awal lebih rendah daripada kadar glukosa basal semula. Secara umum dari model ini dapat dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke tingkat glukosa basal awal, sehingga untuk menjaga agar glukosa darah tetap normal harus dilakukan olahraga yang teratur dan dengan dibantu terapi insulin yang sesuai dengan kebutuhan penderita.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

(7)
(8)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Kartono, M.Si Dr. Ir. Irmansyah, M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biofisika

Dr. Agus Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 9 Juni 2011 Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin

Nama : Noerhayati Rofiah

NRP : G751090021

(9)

!

"

#

$ #

%

&

'

(

%

) * +

+ ,

(10)

Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah

melimpahkan nikmat, rahmat, dan petunjuknya sehingga karya ilmiah ini dapat

diselesaikan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011

di Laboratorium Fisika Teori IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah

kinetika glukosa dan insulin, dengan judul Model Efek Latihan Fisik terhadap

Dinamika Glukosa dan Insulin.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Agus Kartono, M.Si dan

Bapak Dr. Irmansyah, M.Si selaku pembimbing yang baik dan senantiasa

menyempatkan waktu untuk berkonsultasi, serta senantiasa memberi dorongan

semangat. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Kementerian Pendidikan

Nasional melalui Beasiswa Unggulan yang telah memberikan kesempatan belajar

dan membantu biaya penelitian. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga

disampaikan kepada kedua orang tua atas doa yang senantiasa dipanjatkan,

semangat, dan kasih sayang yang diberikan.

Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Pak Sem dan Pak Joko

atas diskusi-diskusi yang berharga berkaitan dengan penyusunan penelitian ini,

serta kebersamaan dan semangat yang diberikan. Akhirnya perkenankan saya

membagi kebahagiaan saya kepada suami tercinta, Haidir, atas doa yang

senantiasa dipanjatkan, atas materi, semangat, kesabaran, dan kasih sayang yang

diberikan.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan.

Bogor, Juni 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 15 Januari 1985 dari ayah

Mochammad Rochim dan ibu Sukarni. Penulis merupakan putri pertama dari tiga

bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Batu dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di

Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Penegetahuan Alam. Penulis

menyelesaikan studi strata satu (S1) pada tahun 2008 sebagai lulusan terbaik

Departemen Kimia.

Tahun 2009 penulis mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan

Nasional melalui Beasiswa Unggulan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Biofisika, lulus pada bulan

Juni 2011. Penulis merupakan Analis Kimia di Departemen Ilmu Nutrisi dan

(12)

Diabetes Mellitus (DM) ialah kelompok penyakit metabolik yang ditandai

dengan meningkatnya kadar gula darah atau biasa dikenal dengan kondisi

hiperglikemia, karena kelainan sekresi insulin atau kerja insulin (Gustaviani,

2006). Penyakit ini merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di

dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan

penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta

penderita pada tahun 2030. Berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa negara

berkembang, data WHO menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi jumlah pasien

diabetes terjadi di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang menempati peringkat

ke-4 di dunia (Wild et al. 2004).

Penyakit DM disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1)

atau resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan

glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit

DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa

plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dl). Efek jangka panjang dari

diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa

plasma melebihi 120 mg/dl (Makroglou et al. 2006). Hiperglikemia

berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga

dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota

tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70

mg/dl. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.

Sejak tahun 1960, model matematika telah digunakan untuk

menggambarkan dinamika glukosa-insulin. Bergman et al. (1981) mengusulkan

model minimal tiga kompartemen untuk menganalisis hilangnya glukosa dan

sensitivitas insulin selama tes toleransi glukosa intravena. Beberapa modifikasi

telah dibuat pada model minimal asli untuk menggabungkan berbagai efek

fisiologis glukosa dan insulin. Cobelli et al. (1999) mengembangkan model

minimal yang direvisi untuk memisahkan efek produksi glukosa dari

pemanfaatannya. Model ini menyempurnakan penjelasan tentang dinamika

(13)

mengembangkan model minimal asli dengan menambahkan tiga subkompartemen

dari glukosa dan insulin yaitu, dinamika penyerapan absorbsi, distribusi, dan

mekanisme pembuangan, tetapi tak satu pun dari model ini menjelaskan

perubahan dalam dinamika glukosa dan insulin karena latihan fisik, padahal telah

sejak lama latihan fisik ini dianjurkan untuk pasien diabetes.

Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2

atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).

Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan

secara berkesinambungan. Sebagai catatan orang dengan risiko diabetes tinggi

(obesitas, tekanan darah tinggi, dan faktor keturunan), latihan fisik disarankan

disamping diet dan terapi tablet insulin (Sigal et al. 1996). Bagaimanapun juga

dapat dianjurkan dua saran, yaitu: pertama, untuk beberapa alasan seperti usia,

berat badan, dan tekanan darah yang menyebabkan pasien tidak dapat

menjalankan latihan fisik berat, maka solusinya adalah pasien dapat mejalankan

latihan fisik ringan secara berkesinambungan; kedua, sebagaimana dikenal secara

umum pasien diabetes tipe 2 biasanya berumur diatas 40 tahun, latihan fisik yang

keras tentu berbahaya bagi pasien dengan masalah ginjal, tekanan darah tinggi,

retinopati, dan neuropati, oleh karena itu disarankan pasien dapat mejalankan

latihan fisik ringan secara berkesinambungan.

Untuk penderita diebetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM) kasusnya berbeda. Secara umum pasien diabetes tipe 1 ini biasanya

masih muda dan cenderung dapat melakukan latihan fisik dan olahraga berat,

tetapi bukan berarti tanpa risiko hipoglikemia atau hiperglikemia. Kombinasi dari

insulin, asupan karbohidrat, dan latihan fisik yang baik dapat menyebabkan

kondisi tubuh yang bugar dan kontrol yang baik terhadap kadar gula darah.

Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model efek dari latihan fisik

terhadap dinamika glukosa dan insulin, pada pasien diabetes dan

(14)

! " #$ % " && %'"

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat

ketidakcukupan fungsi insulin. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan atau

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan

kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina Farmasi & Alkes,

2005).

Metabolisme tubuh bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan

energi baik untuk membentuk sel yang baru maupun mengganti sel tubuh yang

rusak. Sumber energi diperoleh dari asupan makanan yang terdiri atas karbohidrat,

protein, dan lemak. Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut, kemudian di

lambung dan dilanjutkan di usus. Makanan dipecah menjadi bahan dasarnya di

dalam saluran pencernaan, karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam

amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh

usus, kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk

digunakan sebagai energi. Agar dapat berfungsi sebagai energi, zat makanan harus

masuk dulu ke dalam sel untuk diolah.

Insulin memegang peranan penting dalam proses metabolisme, insulin

bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk diolah menjadi energi. Namun,

ketersediaan insulin saja tidak cukup menjamin proses metabolisme dapat

berlangsung normal. Hal ini juga bergantung pada kepekaan reseptor pada insulin

yang terletak pada dinding sel sasaran. Ketidakpekaan reseptor insulin

mengakibatkan insulin tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga kadar

glukosa dalam darah meningkat. Keadaan ini mengakibatkan seseorang menderita

penyakit diabetes.

Berbagai proses patologis berperan dalam terjadinya DM, mulai dari

kerusakan autoimun dari sel pankreas yang berakibat defisiensi insulin sampai

(15)

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada DM disebabkan kurangnya

kerja insulin pada jaringan target (Adnyana et al. 2006).

(#&# #$ % " && %'"

Gejala utama diabetes yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar), polidipsia

(meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil), serta

kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (DiPiro et al. 2005). Gejala

dan tanda-tanda penyakit DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala

kronis. Gejala akut penyakit DM pada tiap penderita tidaklah sama, bahkan

hampir sama dengan gejala utama. Namun, bila keadaan tersebut tidak cepat

diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya

insulin, yaitu nafsu makan mulai berkurang bahkan kadang-kadang disusul

dengan mual, mudah lelah bahkan penderita akan jatuh koma.

Gejala kronis penyakit DM antara lain kesemutan, kulit terasa panas, terasa

tebal di kulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di sekitar

kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun

(Tjokroprawiro, 2006). Gejala-gejala ini harus mendapat perawatan yang

memadai.

Penderita DM tanpa perawatan memadai dalam jangka panjang dapat

memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:

a. gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,

b. gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal,

c. gangguan kardiovaskular,

d. gangguan pada sistem saraf sehingga terjadi disfungsi saraf autonom, kaki gangren, amputasi, dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria,

(16)

!))*&*!)#! #$ % " && %'"

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Diabetes Mellitus

(DM) menjadi tiga jenis:

1. Diabetes Mellitus tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM) ialah diabetes yang terjadi karena

berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta

penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh

anak-anak maupun orang dewasa.

Pada saat ini, DM tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga saja tidak

bisa menyembuhkan ataupun mencegah DM tipe 1. Kebanyakan penderita DM

tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai

dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin

umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada DM tipe 1 ialah kesalahan

reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas

tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.

DM tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan

terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Keadaan tersebut merupakan suatu

gangguan katabolisme yang disebabkan, karena hampir tidak terdapat insulin

dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel-sel beta pankreas gagal

merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian

insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan

menurunkan hiperglukagonemia, serta peningkatan kadar gukosa darah (Katzung,

2002)

Diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan

pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor

pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling

awal sekalipun, ialah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik

ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga).

Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian

(17)

jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan

pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan.

2. Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM) merupakan tipe DM yang terjadi bukan

disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan

kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk

yang mengekspresikan disfungsi sel beta, gangguan sekresi hormon insulin,

resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap

insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun

meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada

kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.

Patogenesis dari DM tipe 2 sangat kompleks termasuk interaksi dari faktor genetik

dan lingkungan. Latar belakang etnis, jenis kelamin, dan usia merupakan faktor

penting dalam menentukan perkembangan risiko diabetes tipe ini (Buse et al. 2003).

Pada tahap awal kelainan yang muncul ialah berkurangnya sensitivitas

terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam

darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat

meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari

hati, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan

terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan

penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral

diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin.

Obesitas ditemukan pada 90% dari pasien dunia dengan diagnosis diabetes tipe 2.

Faktor lain meliputi faktor keturunan, walaupun pada beberapa dekade terakhir

terus meningkat pengaruhnya pada remaja dan anak-anak.

Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.

Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik

(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan

berat badan.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi

menjadi 4 kelompok:

(18)

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes

Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa

plasma puasa > 140 mg/dl) (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

3. Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)

Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat

sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2. Sekitar 4-5% wanita

hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah

trimester kedua (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Pada pasien ini toleransi

glukosa dapat kembali normal setelah persalinan.

!#+ ,# &',*"# -#! !"'& !

Himsworth dan Ker (1939) memperkenalkan pendekatan pengukuran

insulin secara in vivo untuk pertama kalinya. Model matematika telah digunakan

untuk memperkirakan sensitivitas insulin dan hilangnya glukosa. Perintis

penelitian di bidang ini ialah Bolie (1961) dalam model yang sangat sederhana.

Dengan G = G(t) menunjukkan konsentrasi glukosa, I = I (t) menunjukkan

insulin, dan k, a1, a2, a3, a4 ialah parameter konstan. Dalam model ini proses menghilangnya glukosa diasumsikan sebagai fungsi linier baik dari insulin

maupun glukosa. Sekresi insulin sebanding dengan konsentrasi glukosa dan

menghilangnya insulin sebanding dengan konsentrasi insulin plasma.

Publikasi mengenai sensitivitas insulin berkembang, salah satunya ialah

model minimal yang diperkenalkan oleh Bergman dan Cobelli pada awal tahun

delapan puluhan (Boutayeb & Chetouani, 2006). Meskipun model minimal

merupakan model sederhana, tetapi minimal ini terus berkembang dan digunakan

hingga saat ini, baik sebagai alat klinis dan pendekatan untuk memahami efek

gabungan sekresi insulin dan sensitivitas insulin pada toleransi glukosa dan risiko

(19)

pemahaman tentang kinetika insulin in vivo, seperti sifat yang relatif penting

akibat kegagalan sel beta dalam patogenesis diabetes.

Model minimal glukosa dan insulin biasanya digunakan untuk menganalisis

hasil tes toleransi glukosa intravena (FSIGT) pada manusia dan hewan di

laboratorium, sampel darah diambil dari orang yang berpuasa pada interval waktu

teratur, setelah injeksi intravena glukosa tunggal, diambil sampel darah untuk

dianalisa kadar glukosa dan insulin.

Gambar 1 Data uji FSIGT dari subjek normal (Pacini dan Bergman 1986 diacu dalam Riel N van 2004).

Secara kualitatif, kadar glukosa dalam plasma mulai dari puncak, karena

adanya injeksi glukosa, kemudian turun ke keadaan minimum sampai di bawah

kadar glukosa basal. Kadar glukosa secara bertahap kembali ke tingkat basal.

Kadar insulin dalam plasma cepat naik ke puncak segera setelah injeksi glukosa,

kemudian turun ke tingkat yang lebih rendah, tetapi masih di atas tingkat insulin

basal, naik lagi ke puncak yang lebih rendah, dan kemudian secara bertahap turun

ke tingkat basal (Riel N van, 2004).

Model minimal glukosa dan insulin memberikan gambaran kuantitatif

mengenai konsentrasi glukosa dan insulin dalam sampel darah setelah

penyuntikan glukosa. Model minimal glukosa memiliki dua kompartemen

fisiologi, yaitu kompartemen plasma dan kompartemen jaringan interestisial.

(20)

Model minimal insulin hanya mempunyai satu kompartemen, yaitu kompartemen

plasma. Model minimal glukosa dan insulin dapat menjelaskan tentang empat hal

yang berhubungan dengan metabolisme, terutama pada saat tes toleransi glukosa

intravena.

Metabolisme tersebut meliputi:

a. SI = Sensitivitas insulin, mengukur kemampuan insulin untuk meningkatkan proses penghilangan glukosa menjadi energi,

b. SG = Efektivitas glukosa, mengukur kemampuan glukosa untuk mengurangi sendiri konsentrasinya dalam plasma, tidak bergantung pada peningkatan

insulin,

c. φ1 = Responsivitas pankreas fase pertama, mengukur besarnya puncak pertama

pada insulin plasma karena injeksi glukosa,

d. φ2 = Responsivitas pankreas fase kedua, mengukur besarnya puncak kedua

setalah periode refraktori fase pertama.

*- & ! +#& '!%', !#+ ,# &',*"# -#! !"'& !

Dinamika glukosa dan insulin bergantung pada tiga kompartemen, yaitu

kompartemen plasma glukosa, plasma insulin, dan jaringan interestisial. Kelajuan

masuk dan keluarnya glukosa dari kompartemen plasma sebanding dengan

perbedaan antara kadar glukosa plasma, G(t), dan kadar glukosa basal, Gb. Jika

kadar glukosa plasma turun di bawah kadar glukosa basal, glukosa akan masuk ke

dalam kompartemen plasma, dan sebaliknya, jika kadar glukosa plasma naik maka

glukosa akan keluar dari kompartemen plasma. Glukosa plasma juga keluar dari

kompartemen plasma melalui jalur kedua yang sebanding dengan aktivitas insulin

pada jaringan interestisial X(t). Kelajuan keluar masuknya insulin dalam plasma

sebanding dengan perbedaan antara kadar insulin plasma I(t) dan kadar insulin

basal Ib. Jika kadar insulin plasma turun di bawah tingkat basal, insulin akan

keluar dari kompartemen jaringan interestisial, dan sebaliknya. Insulin juga

menghilang dari kompartemen jaringan interestisial melalui jalur kedua yang

setara dengan jumlah insulin dalam kompartemen jaringan interestisial. Hal ini

(21)

dengan t menunjukkan waktu dalam satuan menit, t0 ialah waktu saat injeksi glukosa, G(t) konsentrasi glukosa plasma (mg/dL), I(t) ialah kadar insulin plasma

(µU/dL), dan X(t) ialah aktivitas insulin interestisial. Jika faktor pengaruh umpan

balik dari insulin dalam kompartemen jaringan interestisial yang dalam rumus ini

diwakili oleh persamaan –X(t)G(t) diabaikan, maka kelajuan pemanfaatan glukosa

sebanding dengan konstanta k1. Penambahan sejumlah insulin plasma menyebabkan perubahan insulin interestisial, yang pada akhirnya menyebabkan

perubahan kelajuan pemanfaatan glukosa. Sensitivitas insulin didefinisikan

sebagai SI yang nilainya sebanding dengan k2/k3 dan efektivitas glukosa didefinisikan sebagai SGyang nilainya sebanding dengan k1. Persamaan (3) dapat ditulis kembali dalam bentuk sebagai berikut:

Insulin masuk ke dalam kompartemen insulin plasma dengan kecepatan

yang sebanding dengan waktu dan konsentrasi glukosa di atas glukosa basal. Jika

kadar glukosa di bawah glukosa basal, maka jumlah insulin yang masuk

kompartemen plasma ialah nol. Insulin dikeluarkan dari kompartemen plasma

sebanding dengan jumlah insulin dalam kompartemen plasma tersebut. Hal ini

dituliskan dalam persamaan:

! "# $ % &

dengan k ialah fraksi pengeluaran insulin, γ menunjukkan respon pankreas

sekunder terhadap glukosa. Responsivitas pankreas fase pertama didefinisikan

sebagai φ1 = (Imax−Ib)/[k(G0−Gb)], dengan Imax ialah respon insulin maksimum.

Responsivitas pankreas fase kedua didefinisikan sebagaiφ2 = γ×104.

+*- &#! -#. , #% /#! " ,

Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan

meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin

menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemi dapat dihindarkan. Namun,

(22)

peningkatan dalam pengambilan oksigen selama latihan fisik dapat menimbulkan

hipoglikemi. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik,

pasien dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa (Price dan Wilson, 2006).

Salah satu tujuan penelitian ini ialah ingin mensimulasikan efek latihan fisik

terhadap dinamika glukosa dan insulin. Pertama kali yang perlu digarisbawahi

ialah bahwa latihan fisik menyebabkan rendahnya konsentrasi glukosa selama dan

setelah latihan. Selain itu latihan fisik juga meningkatkan penggunaan insulin oleh

sel tubuh. Selanjutnya, berdasarkan model minimal Bergman et al. (1981) terdapat

persamaan sebagai berikut:

' ' (

' ) *

Dengan G(0) = g0 dan X(0) = X0 dan I(0) = I0

a. (I(t) - Ib(t)) menunjukkan perbedaan antara konsentrasi insulin plasma dengan

konsentrasi insulin basal,

b. X(t) ialah insulin interestisial,

c. (Gb- G(t)) menunjukkan perbedaan konsentrasi glukosa basal dan konsentrasi

glukosa plasma,

k1, k2 dan k3 ialah parameter berdasarkan pada Bergman et al. (1981).

Parameter yang berhubungan dengan aktivitas latihan fisik didefinisikan sebagai

berikut:

q1: efek latihan fisik dalam mempercepat pemanfaatan glukosa oleh otot dan hati, q2: efek latihan fisik dalam meningkatkan kepekaan otot dan hati karena insulin, q3: efek latihan fisik dalam meningkatkan pemanfaatan insulin.

(23)

#,%' -#! +0#% ! & % #!

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi,

Departemen Fisika, FMIPA, IPB dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011.

.#&#%#!

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebuah laptop dengan

processor Intel Core i7-740QM, 1,73 GHz, HDD 500GB, Memory 2GB,.

Software yang digunakan dalam penelitian ini ialah MS. Office 2007 dan

MATLAB R2009a. Pendukung penelitian ini berupa sumber pustaka, baik

jurnal-jurnal ilmiah maupun sumber lain yang relevan.

%*- ! & % #!

Metode penelitian ini adalah pembuatan sebuah program simulasi sederhana

dari Model Minimal untuk Dinamika Glukosa dan Insulin dengan menambahkan

faktor latihan fisik menggunakan software MATLAB R2009a. Selanjutnya

divalidasi dengan hasil eksperimen FSIGT.

%'- 0'"%#,#

Studi pustaka dilakukan untuk memahami proses kinetika glukosa dan

insulin sehingga memudahkan perancangan program simulasinya. Kemudian

melihat hubungan antara grafik yang akan dihasilkan dalam simulasi dengan sifat

fisiologis dari kinetika glukosa dan insulin. Studi pustaka akan membantu penulis

dalam menganalisis hasil yang didapat dari simulasi model minimal kinetika

glukosa dan insulin untuk mendeteksi diabetes.

!#& "# , "%#$ &#!

Tidak semua persamaan diferensial dapat dengan mudah diselesaikan secara

analitik. Untuk itu perlu mencari informasi secara kualitatif dari solusinya, tanpa

menyelesaikan persamaan terebut secara analitik. Solusi yang akan dianalisa

(24)

fase tersebut, perlu dikaji terlebih dahulu kestabilan dari solusinya. Misalkan

sistem persamaan diferensial dua variabel sebagai berikut:

(

x y

)

disebut sebagai solusi kesetimbangan atau titik kritis. Untuk menganalisa

kestabilan solusi sistem ini perlu diperhatikan beberapa hal. Hal yang terpenting

ialah mencari nilai eigen sistem karena kestabilan solusi bergantung pada nilai

eigen.

!#& " " !'+ . ,

Analisis dilakukan karena model minimal Bergman sulit untuk diselesaikan

secara analitik. Jadi butuh suatu metode numerik untuk memecahkan sistem

persamaan tersebut. Dalam model ini merupakan persamaan diferensial biasa,

(25)

1#& -#" *- &

Model simulasi yang dibuat harus kredibel atau dapat dipercaya.

Representasi kredibilitas tersebut ditunjukkan oleh validasi model. Validasi

merupakan proses penentuan apakah model konseptual yang dibuat telah

merefleksikan sistem nyata dengan tepat (Harrell C, 2003). Validasi dilakukan

dengan membandingkan antara hasil simulasi model dan data eksperimen, seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2 Hasil simulasi model minimal glukosa pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 279 [mg/dL], I0= 130[µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1], k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min]).

Model dinamika glukosa dan insulin dalam penelitian dibandingkan dengan

data eksperimen yang diperoleh Riel N van, 2004 (Lampiran 2). Gambar 2

menunjukkan dinamika glukosa pada subyek normal yang tidak melakukan

latihan fisik, dari gambar 2 tersebut terlihat bahwa grafik plot hasil simulasi model

berimpit dengan data eksperimen dan menunjukkan kesesuaian. Hal ini

mengindikasikan bahwa model simulasi yang telah dibuat sesuai dengan sistem

nyata, dengan kata lain model yang telah dibuat valid.

Kadar glukosa yang awalnya berada di tingkat basal, yaitu sebesar 92

mg/dL, naik karena adanya asupan glukosa dari makanan, setelah itu

perlahan-lahan turun ke tingkat basal karena adanya pemanfaatan glukosa oleh tubuh

menjadi energi. Proses ini dibantu oleh hormon insulin yang dikeluarkan oleh

(26)

persamaan yang digunakan oleh Riel N van, 2004. Modifikasi persamaan

dinamika insulin ditulis dalam persamaan berikut ini:

! "#"# +$ %

,

dengan k ialah fraksi pengeluaran insulin, γ menunjukkan respon pankreas

sekunder terhadap glukosa. Dinamika insulin ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil simulasi model minimal insulin pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 279 [mg/dL], I0= 409,5[µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1], k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min]).

Kadar insulin basal sebesar 11 µU/mL. Kadar insulin yang meningkat dari

tingkat basal terjadi karena aksi insulin terhadap asupan glukosa oleh tubuh.

Glukosa diolah menjadi energi dengan bantuan insulin. Hasil simulasi model

dinamika insulin yang punya kesesuaian dengan data eksperimen semakin

menambah validitas pemodelan yang dibuat.

#"'" '$2 , *.+#&

Telah disebutkan sebelumnya dalam pendahuluan bahwa kontrol diabetes

terutama dilakukan oleh aksi insulin, asupan makanan, dan aktivitas fisik, tetapi

semua sistem kontrol yang pernah diusulkan hanya terfokus pada terapi insulin.

Ditekankan bahwa strategi kontrol diabetes yang baru membutuhkan waktu yang

lama sebelum dapat diterima masyarakat umum dalam jangkauan yang luas.

Selain itu, masyarakat dengan pendapatan yang rendah dan pelayanan kesehatan

(27)

untuk mendapatkan suntikan insulin. Hal inilah yang menjadikan alasan penelitian

ini terfokus pada latihan fisik sebagai parameter kontrol diabetes yang murah dan

alami. Selanjutnya, berdasarkan model minimal Bergman et al. (1981) dan

persamaan dinamika insulin yang diusulkan dalam penelitian ini, maka persamaan

(2), (3) dan (5) dimodifikasi menjadi persamaan sebagai berikut:

' '

-' )

! ' ' ' "#"# +$ %

Model ini memberikan gambaran yang jelas mengenai dinamika glukosa dan

insulin. Model tersebut menjelaskan bahwa olahraga dapat menurunkan kadar

gula darah seseorang, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil simulasi model minimal untuk dinamika glukosa dan insulin pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 360 [mg/dL], I0= 363,7[µU/mL],

melakukan olahraga, kadar glukosanya turun. Semakin berat olahraga yang

dilakukan maka akan semakin besar pula penurunan kadar glukosa. Dari Gambar

(28)

4 terlihat jelas bahwa dengan melakukan latihan kadar glukosa akan turun, dan

akhirnya kembali ke tingkat basalnya. Latihan fisik mempermudah transport

glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada

individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga

hipoglikemi dapat dihindarkan.

!- . %# #$ % " %#!0# #!%'#! !"'& !

Latihan fisik berperan utama dalam pengaturan glukosa darah. Pada

penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2, produksi insulin tidak terganggu tetapi

masih kurangnya respons reseptor pada sel terhadap insulin (resistensi insulin),

sehingga insulin tidak dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Pada saat

berolahraga, permeabilitas membran terhadap glukosa meningkat pada otot yang

berkontraksi sehingga resistensi insulin berkurang, dengan kata lain sensitivitas

insulin meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan insulin berkurang. Respons

ini bukan merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama. Respon ini hanya

terjadi setiap kali berolahraga. Oleh karena itulah kadar glukosa kembali ke

tingkat basalnya, sehingga latihan fisik ini harus dilakukan secara rutin untuk

menjaga agar kadar glukosa darah tidak meningkat. Hal ini diterangkan dengan

jelas pada Gambar 5 berikut ini.

(29)

Dari Gambar 5 terlihat jelas bahwa aktivitas fisik pada penderita diabetes

dapat menurunkan kadar glukosa basal sampai di bawah 100 mg/dL, padahal

tingkat glukosa awalnya ialah 140 mg/dL. Meskipun demikian kadar glukosa ini

akan naik kembali ke tingkat glukosa basal awal, sehingga untuk menjaga agar

kadar glukosa tetap normal diperlukan latihan fisik yang disiplin dan teratur.

!- . %# #$ % " - !)#! #!%'#! !"'& !

Penderita diabetes yang melakukan aktivitas olahraga dibantu dengan

injeksi insulin memiliki grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Dari

Gambar terlihat jelas bahwa dengan bantuan penambahan insulin dapat

menurunkan kadar glukosa darah hingga ke tingkat yang rendah, yaitu sampai

pada kadar 50 mg/dL. Ilustrasi ini menegaskan kembali bahwa setiap orang harus

menggabungkan beberapa aktivitas fisik dalam kehidupan

sehari-hari. Rekomendasi ini lebih ditunjukkan untuk orang yang berisiko terkena

diabetes yang memiliki kelebihan berat badan, stres, factor keturunan. Model ini

memberikan pola umum, bahwa dengan latihan fisik dapat menurunkan kadar

glukosa seseorang karena meningkatnya kepekaan insulin.

(30)

Gambar 6 ini sekali lagi menunjukkan bahwa ketika seseorang yang

terkena diabetes mungkin beradaptasi dengan konsentrasi gula darah lebih dari

200 mg/dL pada istirahat, dan dapat mencapai kadar gula darah normal sekitar

100 mg/dl dengan melakukan aktivitas fisik. Hal ini menunjukkan betapa

pentingnya latihan fisik yang disiplin dan teratur pada penderita diabetes untuk

(31)

+0'&#!

Model minimal dinamika glukosa dan insulin yang dibuat dalam penelitian

ini valid. Hasil simulasi model menunjukkan kesesuaian dengan data eksperimen.

Pada subyek normal yang melakukan latihan fisik dapat menurunkan kadar

glukosa darah, sehingga diasumsikan hal ini juga terjadi pada penderita diabetes.

Penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan tanpa dibantu dengan

suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan

turun di bawah kadar glukosa orang normal yaitu 100 mg/dL, tetapi lama

kelamaan kadar glukosa basal akan kembali pada kadar glukosa semula,

sedangkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan dibantu dengan

suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan

turun sangat rendah, hingga mencapai 50 mg/dL dan kadar glukosa basal awal

lebih rendah daripada kadar glukosa basal semula. Secara umum dari model dapat

dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara

setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke tingkat glukosa basal

awal, sehingga untuk menjaga agar glukosa darah tetap normal harus dilakukan

olahraga yang teratur dan dengan dibantu terapi insulin yang sesuai dengan

kebutuhan penderita.

#.#!

Latihan fisik sangat disarankan pada penderita diabetes agar dapat

menurunkan kadar glukosa darah, latihan fisik ini harus dijalankan dengan teratur

karena kadar glukosa akan naik lagi ke tingkat basalnya jika tidak melakukan

aktivitas fisik secara rutin. Selain itu tentu saja aktivitas fisik juga disarankan pada

(32)

Adnyana L, Hensen, Budhiarta AAG. 2006. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus di Poliklinik Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam 7: 1863.

Bergman RN, Phillips LS, Cobelli C. 1981. Physiologic evaluation of factors Controlling glucose tolerance in man. J Clinic Invest 68: 1456-1467.

Bergman RN. 2005. Minimal Model: Perspective from 2005. Hormone Research 64: 8-15.

Bolie VW. 1961. Coefficients of normal blood glucose regulation. J Appl Physiol 16: 783-8.

Boutayeb A, Chetouani A. 2006. A critical review of mathematics models and data used in diabetology. Bio Medic Engineer Online 5: 43.

Buse JB, Polonsky KS, Burant CF. 2003. Williams Text Book of Endocrinology. United States: Saunders.

Cobelli C, Caumo A, Omenetto M. 1999. Minimal model SG overestimation and SI underestimation: improved accuracy by a Bayesian two compartment model. Am J Physiol 277: 481-488.

DiPiro T, Tarbet L, Yee C, Matzke R, Wells G, Posey M. 2005. Pharmacotherapy a Pathopysiologic Approach. New York: Medical Publishing Division.

[Dirjen Bina Farmasi dan Alkes] Direktorat Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. types of diabetes Mellitus. Clinical Science 4: 119-225.

(33)

Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Andrianto, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Basic and Clinical Pharmacology.

Makroglou A, Li j, Kuang Y. 2006. Mathematical models and software tools for the glucose-insulin regulatory system and diabetes: J Appl Num Math. 56: 559-573.

Price AS, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed ke-6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Riel N van, 2004. Minimal Models for Glucose and Insulin Kinetics: a matlab implementation. Eindhoven University of Technology: Department of Biomedical Engineering.

Sigal RJ, Fisher S, Halter JB. 1996. The roles of catecholamines in glucoseregulation in intense exercise as defined by the islet cell clamp technique. Diabetes 45: 148-156.

Tjokroprawiro A. 2006. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Melitus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(34)
(35)
(36)

Lampiran 2 Data Prevalensi Diabetes

2000 2030

Peringkat Penderita diabetes Penderita diabetes Negara (juta) Negara (juta)

1India 31.7 India 79.4

2Cina 20.8 Cina 42.3

3U.S. 17.7 U.S. 30.3

4Indonesia 8.4 Indonesia 21.3

5Jepang 6.8 Pakistan 13.9

Lampiran 3 Data Kadar Glukosa dan Insulin (Riel N van, 2004)

(37)

Lampiran 4 Pemodelan Kasus Subyek Normal tanpa Olahraga

!"

#$ %! $ &"

'$ $ ( &"

!) "

! *+,! - . / "

0 ! "

- +,1 - ! 0 . / & (2 "

#

3 !

' 0

4

# 5 #$

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

0 2 #,#$ 2 , 2 ','$

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

(38)

Lampiran 5 Pemodelan Kasus Subyek Normal dengan Olahraga Ringan 6786

!"

#$ %! $ &"

'$ $ ( &"

!) "

! *+,! - . / "

0 ! "

- +,1 - ! 0 . / & (2 "

9

9! *

90 %

#

3 !

' 0

4

# 5 #$

:9 2 #$,# , :9! 232#

! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$

:9 2 #$,# , :9! 232#

! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

(39)

Lampiran 6 Pemodelan Kasus Subyek Normal dengan Olahraga Berat

; 6786$ ;

; ;

!"

#$ %! $ &"

'$ $ ( &"

!) "

! *+,! - . / "

0 ! "

- +,1 - ! 0 . / & (2 "

9 0

9! %

90

# ;

3 ; !

' ; 0

4

# 5 #$

; :9 2 #$,# , :9! 232#

; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

; 0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$

; :9 2 #$,# , :9! 232#

; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

(40)

Lampiran 7 Pemodelan Penderita Diabetes tanpa Olahraga

$

!"

#$ 1 $ &"

'$ $ ( &"

!) "

)+,! - . / "

0 "

- )+,1 / & (2 "

#

3 !

' 0

4

# 5 #$

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

0 2 #,#$ 2 , 2 ','$

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

(41)

Lampiran 8 Pemodelan Penderita Diabetes dengan Olahraga Ringan

$ 6786

!"

#$ 1 $ &"

'$ $ ( &"

!) "

)+,! - . / "

0 "

- )+,1 / & (2 "

9

9! *

90 %

#

3 !

' 0

4

# 5 #$

:9 2 #$,# , :9! 232#

! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$

:9 2 #$,# , :9! 232#

! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

(42)

Lampiran 9 Pemodelan Penderita Diabetes dengan Olahraga Berat

; $ 6786$ ;

; ;

!"

#$ 1 $ &"

'$ $ ( &"

!) "

)+,! - . / "

0 "

- )+,1 / & (2 "

9 0

9! %

90

# ;

3 ; !

' ; 0

4

# 5 #$

; :9 2 #$,# , :9! 232#

; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

; 0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$

; :9 2 #$,# , :9! 232#

; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3

(43)

Lampiran 10 Pemodelan Penderita Diabetes tanpa Olahraga dengan Bantuan Insulin

$ 6

!"

#$ 1 $ &"

'$ $ ( &"

!) "

)+,! - . / "

0 "

- )+,1 / & (2 "

#

3 !

' 0

4

50 < = !

( ( &"

( ( &"

# 5 #$

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

0 2 #,#$ 2 , 2 ','$ :(

2 #$,# ,32#

! 02 - 2 ','$ ,3

(44)
(45)
(46)

NOERHAYATI ROFIAH. The Model of Physical Exercise Effect on the Dynamics of Glucose and Insulin. Under direction of AGUS KARTONO and IRMANSYAH.

Regular physical activity is indicated either to prevent or delay the onset of non-insulin-dependent diabetes or to assure a good control of diabetes by increasing insulin sensitivity and ameliorating the metabolism of glucose disappearance. A minimal model developed previously was extended to include the major effects of exercise on plasma glucose and insulin levels. Minimal model of glucose and insulin dynamics created in this study is valid. Result of model simulation is good agreement with experimental data. On the normal subject, physical exercise can reduce blood glucose levels, the same thing happened in people with diabetes. In general, the model can be explained that physical exercise can lower glucose levels basal while after the exercise, but will eventually rise returned to initial basal glucose levels, so to keep the blood glucose remained normal should be done exercise regularly and with the assistance of insulin therapy appropriate to the needs of patients.

(47)

Diabetes Mellitus (DM) ialah kelompok penyakit metabolik yang ditandai

dengan meningkatnya kadar gula darah atau biasa dikenal dengan kondisi

hiperglikemia, karena kelainan sekresi insulin atau kerja insulin (Gustaviani,

2006). Penyakit ini merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di

dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan

penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta

penderita pada tahun 2030. Berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa negara

berkembang, data WHO menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi jumlah pasien

diabetes terjadi di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang menempati peringkat

ke-4 di dunia (Wild et al. 2004).

Penyakit DM disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1)

atau resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan

glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit

DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa

plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dl). Efek jangka panjang dari

diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa

plasma melebihi 120 mg/dl (Makroglou et al. 2006). Hiperglikemia

berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga

dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota

tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70

mg/dl. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.

Sejak tahun 1960, model matematika telah digunakan untuk

menggambarkan dinamika glukosa-insulin. Bergman et al. (1981) mengusulkan

model minimal tiga kompartemen untuk menganalisis hilangnya glukosa dan

sensitivitas insulin selama tes toleransi glukosa intravena. Beberapa modifikasi

telah dibuat pada model minimal asli untuk menggabungkan berbagai efek

fisiologis glukosa dan insulin. Cobelli et al. (1999) mengembangkan model

minimal yang direvisi untuk memisahkan efek produksi glukosa dari

pemanfaatannya. Model ini menyempurnakan penjelasan tentang dinamika

(48)

mengembangkan model minimal asli dengan menambahkan tiga subkompartemen

dari glukosa dan insulin yaitu, dinamika penyerapan absorbsi, distribusi, dan

mekanisme pembuangan, tetapi tak satu pun dari model ini menjelaskan

perubahan dalam dinamika glukosa dan insulin karena latihan fisik, padahal telah

sejak lama latihan fisik ini dianjurkan untuk pasien diabetes.

Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2

atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).

Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan

secara berkesinambungan. Sebagai catatan orang dengan risiko diabetes tinggi

(obesitas, tekanan darah tinggi, dan faktor keturunan), latihan fisik disarankan

disamping diet dan terapi tablet insulin (Sigal et al. 1996). Bagaimanapun juga

dapat dianjurkan dua saran, yaitu: pertama, untuk beberapa alasan seperti usia,

berat badan, dan tekanan darah yang menyebabkan pasien tidak dapat

menjalankan latihan fisik berat, maka solusinya adalah pasien dapat mejalankan

latihan fisik ringan secara berkesinambungan; kedua, sebagaimana dikenal secara

umum pasien diabetes tipe 2 biasanya berumur diatas 40 tahun, latihan fisik yang

keras tentu berbahaya bagi pasien dengan masalah ginjal, tekanan darah tinggi,

retinopati, dan neuropati, oleh karena itu disarankan pasien dapat mejalankan

latihan fisik ringan secara berkesinambungan.

Untuk penderita diebetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM) kasusnya berbeda. Secara umum pasien diabetes tipe 1 ini biasanya

masih muda dan cenderung dapat melakukan latihan fisik dan olahraga berat,

tetapi bukan berarti tanpa risiko hipoglikemia atau hiperglikemia. Kombinasi dari

insulin, asupan karbohidrat, dan latihan fisik yang baik dapat menyebabkan

kondisi tubuh yang bugar dan kontrol yang baik terhadap kadar gula darah.

Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model efek dari latihan fisik

terhadap dinamika glukosa dan insulin, pada pasien diabetes dan

(49)

! " #$ % " && %'"

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat

ketidakcukupan fungsi insulin. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan atau

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan

kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina Farmasi & Alkes,

2005).

Metabolisme tubuh bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan

energi baik untuk membentuk sel yang baru maupun mengganti sel tubuh yang

rusak. Sumber energi diperoleh dari asupan makanan yang terdiri atas karbohidrat,

protein, dan lemak. Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut, kemudian di

lambung dan dilanjutkan di usus. Makanan dipecah menjadi bahan dasarnya di

dalam saluran pencernaan, karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam

amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh

usus, kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk

digunakan sebagai energi. Agar dapat berfungsi sebagai energi, zat makanan harus

masuk dulu ke dalam sel untuk diolah.

Insulin memegang peranan penting dalam proses metabolisme, insulin

bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk diolah menjadi energi. Namun,

ketersediaan insulin saja tidak cukup menjamin proses metabolisme dapat

berlangsung normal. Hal ini juga bergantung pada kepekaan reseptor pada insulin

yang terletak pada dinding sel sasaran. Ketidakpekaan reseptor insulin

mengakibatkan insulin tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga kadar

glukosa dalam darah meningkat. Keadaan ini mengakibatkan seseorang menderita

penyakit diabetes.

Berbagai proses patologis berperan dalam terjadinya DM, mulai dari

kerusakan autoimun dari sel pankreas yang berakibat defisiensi insulin sampai

(50)

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada DM disebabkan kurangnya

kerja insulin pada jaringan target (Adnyana et al. 2006).

(#&# #$ % " && %'"

Gejala utama diabetes yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar), polidipsia

(meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil), serta

kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (DiPiro et al. 2005). Gejala

dan tanda-tanda penyakit DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala

kronis. Gejala akut penyakit DM pada tiap penderita tidaklah sama, bahkan

hampir sama dengan gejala utama. Namun, bila keadaan tersebut tidak cepat

diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya

insulin, yaitu nafsu makan mulai berkurang bahkan kadang-kadang disusul

dengan mual, mudah lelah bahkan penderita akan jatuh koma.

Gejala kronis penyakit DM antara lain kesemutan, kulit terasa panas, terasa

tebal di kulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di sekitar

kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun

(Tjokroprawiro, 2006). Gejala-gejala ini harus mendapat perawatan yang

memadai.

Penderita DM tanpa perawatan memadai dalam jangka panjang dapat

memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:

a. gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,

b. gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal,

c. gangguan kardiovaskular,

d. gangguan pada sistem saraf sehingga terjadi disfungsi saraf autonom, kaki gangren, amputasi, dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria,

(51)

!))*&*!)#! #$ % " && %'"

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Diabetes Mellitus

(DM) menjadi tiga jenis:

1. Diabetes Mellitus tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM) ialah diabetes yang terjadi karena

berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta

penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh

anak-anak maupun orang dewasa.

Pada saat ini, DM tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga saja tidak

bisa menyembuhkan ataupun mencegah DM tipe 1. Kebanyakan penderita DM

tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai

dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin

umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada DM tipe 1 ialah kesalahan

reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas

tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.

DM tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan

terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Keadaan tersebut merupakan suatu

gangguan katabolisme yang disebabkan, karena hampir tidak terdapat insulin

dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel-sel beta pankreas gagal

merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian

insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan

menurunkan hiperglukagonemia, serta peningkatan kadar gukosa darah (Katzung,

2002)

Diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan

pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor

pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling

awal sekalipun, ialah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik

ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga).

Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian

(52)

jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan

pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan.

2. Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM) merupakan tipe DM yang terjadi bukan

disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan

kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk

yang mengekspresikan disfungsi sel beta, gangguan sekresi hormon insulin,

resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap

insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun

meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada

kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.

Patogenesis dari DM tipe 2 sangat kompleks termasuk interaksi dari faktor genetik

dan lingkungan. Latar belakang etnis, jenis kelamin, dan usia merupakan faktor

penting dalam menentukan perkembangan risiko diabetes tipe ini (Buse et al. 2003).

Pada tahap awal kelainan yang muncul ialah berkurangnya sensitivitas

terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam

darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat

meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari

hati, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan

terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan

penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral

diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin.

Obesitas ditemukan pada 90% dari pasien dunia dengan diagnosis diabetes tipe 2.

Faktor lain meliputi faktor keturunan, walaupun pada beberapa dekade terakhir

terus meningkat pengaruhnya pada remaja dan anak-anak.

Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.

Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik

(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan

berat badan.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi

menjadi 4 kelompok:

(53)

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes

Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa

plasma puasa > 140 mg/dl) (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

3. Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)

Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat

sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2. Sekitar 4-5% wanita

hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah

trimester kedua (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Pada pasien ini toleransi

glukosa dapat kembali normal setelah persalinan.

!#+ ,# &',*"# -#! !"'& !

Himsworth dan Ker (1939) memperkenalkan pendekatan pengukuran

insulin secara in vivo untuk pertama kalinya. Model matematika telah digunakan

untuk memperkirakan sensitivitas insulin dan hilangnya glukosa. Perintis

penelitian di bidang ini ialah Bolie (1961) dalam model yang sangat sederhana.

Dengan G = G(t) menunjukkan konsentrasi glukosa, I = I (t) menunjukkan

insulin, dan k, a1, a2, a3, a4 ialah parameter konstan. Dalam model ini proses menghilangnya glukosa diasumsikan sebagai fungsi linier baik dari insulin

maupun glukosa. Sekresi insulin sebanding dengan konsentrasi glukosa dan

menghilangnya insulin sebanding dengan konsentrasi insulin plasma.

Publikasi mengenai sensitivitas insulin berkembang, salah satunya ialah

model minimal yang diperkenalkan oleh Bergman dan Cobelli pada awal tahun

delapan puluhan (Boutayeb & Chetouani, 2006). Meskipun model minimal

merupakan model sederhana, tetapi minimal ini terus berkembang dan digunakan

hingga saat ini, baik sebagai alat klinis dan pendekatan untuk memahami efek

gabungan sekresi insulin dan sensitivitas insulin pada toleransi glukosa dan risiko

(54)

pemahaman tentang kinetika insulin in vivo, seperti sifat yang relatif penting

akibat kegagalan sel beta dalam patogenesis diabetes.

Model minimal glukosa dan insulin biasanya digunakan untuk menganalisis

hasil tes toleransi glukosa intravena (FSIGT) pada manusia dan hewan di

laboratorium, sampel darah diambil dari orang yang berpuasa pada interval waktu

teratur, setelah injeksi intravena glukosa tunggal, diambil sampel darah untuk

dianalisa kadar glukosa dan insulin.

Gambar 1 Data uji FSIGT dari subjek normal (Pacini dan Bergman 1986 diacu dalam Riel N van 2004).

Secara kualitatif, kadar glukosa dalam plasma mulai dari puncak, karena

adanya injeksi glukosa, kemudian turun ke keadaan minimum sampai di bawah

kadar glukosa basal. Kadar glukosa secara bertahap kembali ke tingkat basal.

Kadar insulin dalam plasma cepat naik ke puncak segera setelah injeksi glukosa,

kemudian turun ke tingkat yang lebih rendah, tetapi masih di atas tingkat insulin

basal, naik lagi ke puncak yang lebih rendah, dan kemudian secara bertahap turun

ke tingkat basal (Riel N van, 2004).

Model minimal glukosa dan insulin memberikan gambaran kuantitatif

mengenai konsentrasi glukosa dan insulin dalam sampel darah setelah

penyuntikan glukosa. Model minimal glukosa memiliki dua kompartemen

fisiologi, yaitu kompartemen plasma dan kompartemen jaringan interestisial.

(55)

Model minimal insulin hanya mempunyai satu kompartemen, yaitu kompartemen

plasma. Model minimal glukosa dan insulin dapat menjelaskan tentang empat hal

yang berhubungan dengan metabolisme, terutama pada saat tes toleransi glukosa

intravena.

Metabolisme tersebut meliputi:

a. SI = Sensitivitas insulin, mengukur kemampuan insulin untuk meningkatkan proses penghilangan glukosa menjadi energi,

b. SG = Efektivitas glukosa, mengukur kemampuan glukosa untuk mengurangi sendiri konsentrasinya dalam plasma, tidak bergantung pada peningkatan

insulin,

c. φ1 = Responsivitas pankreas fase pertama, mengukur besarnya puncak pertama

pada insulin plasma karena injeksi glukosa,

d. φ2 = Responsivitas pankreas fase kedua, mengukur besarnya puncak kedua

setalah periode refraktori fase pertama.

*- & ! +#& '!%', !#+ ,# &',*"# -#! !"'& !

Dinamika glukosa dan insulin bergantung pada tiga kompartemen, yaitu

kompartemen plasma glukosa, plasma insulin, dan jaringan interestisial. Kelajuan

masuk dan keluarnya glukosa dari kompartemen plasma sebanding dengan

perbedaan antara kadar glukosa plasma, G(t), dan kadar glukosa basal, Gb. Jika

kadar glukosa plasma turun di bawah kadar glukosa basal, glukosa akan masuk ke

dalam kompartemen plasma, dan sebaliknya, jika kadar glukosa plasma naik maka

glukosa akan keluar dari kompartemen plasma. Glukosa plasma juga keluar dari

kompartemen plasma melalui jalur kedua yang sebanding dengan aktivitas insulin

pada jaringan interestisial X(t). Kelajuan keluar masuknya insulin dalam plasma

sebanding dengan perbedaan antara kadar insulin plasma I(t) dan kadar insulin

basal Ib. Jika kadar insulin plasma turun di bawah tingkat basal, insulin akan

keluar dari kompartemen jaringan interestisial, dan sebaliknya. Insulin juga

menghilang dari kompartemen jaringan interestisial melalui jalur kedua yang

setara dengan jumlah insulin dalam kompartemen jaringan interestisial. Hal ini

Gambar

Gambar 1 Data uji FSIGT dari subjek normal (Pacini dan Bergman 1986 diacu dalam Riel N van 2004)
Gambar 2 Hasil simulasi model minimal glukosa pada orang normal tanpa  latihan                  fisik (G0 = 279 [mg/dL], I0 = 130 [µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1],                 k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min])
Gambar 3 Hasil simulasi model minimal insulin pada orang normal tanpa latihan                  fisik (G0 = 279 [mg/dL], I0 = 409,5 [µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1],                 k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min])
Gambar 4 Hasil simulasi model minimal untuk dinamika glukosa dan insulin pada                 orang normal tanpa latihan fisik (G0 = 360 [mg/dL], I0 = 363,7 [µU/mL],                 SG = 2,6.10-2 [min-1], k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min]),
+7

Referensi

Dokumen terkait

EKO ROMADONA, 172008017, Evaluasi Kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota

Neither is PT NH Korindo Sekuritas Indonesia, its affiliated companies, employees, nor agents liable for errors, omissions, misstatements, negligence,

Kesalahan yang paling sedikit adalah kesalahan penggunaan tanda hubung yaitu mencapai 3 kesalahan penggunaan tanda baca yang ditemukan dalam karangan siswa kelas V SD tidak

Pemberian berbagai takaran serasah tanaman ubi kayu berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter batang umur 30 HST dan tidak berpengaruh nyata terhadap

Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena pemecahan yang berlebihan dari sel eritrosit (hemolisis) tanpa diikuti oleh kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk

Menurut pandangan tokoh masyarakat bahwa mekanisme transaksi jual beli tebu yang tergambar di atas merupakan transaksi yang tidak adil sebenamya karena lebih

Barda Nawawi Arief menyimpulkan 11 a: Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam. undang- undang khusus;

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha kuasa atas berkatnya yang berlimpah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah