Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Noerhayati Rofiah NIM G751090021
NOERHAYATI ROFIAH. The Model of Physical Exercise Effect on the Dynamics of Glucose and Insulin. Under direction of AGUS KARTONO and IRMANSYAH.
Regular physical activity is indicated either to prevent or delay the onset of non-insulin-dependent diabetes or to assure a good control of diabetes by increasing insulin sensitivity and ameliorating the metabolism of glucose disappearance. A minimal model developed previously was extended to include the major effects of exercise on plasma glucose and insulin levels. Minimal model of glucose and insulin dynamics created in this study is valid. Result of model simulation is good agreement with experimental data. On the normal subject, physical exercise can reduce blood glucose levels, the same thing happened in people with diabetes. In general, the model can be explained that physical exercise can lower glucose levels basal while after the exercise, but will eventually rise returned to initial basal glucose levels, so to keep the blood glucose remained normal should be done exercise regularly and with the assistance of insulin therapy appropriate to the needs of patients.
NOERHAYATI ROFIAH. Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin. Dibimbing oleh AGUS KARTONO dan IRMANSYAH.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta penderita pada tahun 2030. Penyakit ini disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1) atau muncul resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dL). Efek jangka panjang dari diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa plasma melebihi 120 mg/dL. Hiperglikemia berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70 mg/dL. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.
Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2 atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan secara berkesinambungan. Latihan fisik meningkatkan pemanfaatan insulin oleh sel tubuh. Pengaruh latihan fisik dalam model yang dibuat dibandingkan antara orang yang menderita diabetes dengan subyek normal.
Model minimal dinamika glukosa dan insulin yang dibuat dalam penelitian ini valid. Hasil simulasi model menunjukkan kesesuaian dengan data eksperimen. Pada subyek normal yang melakukan latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa darah, hal yang sama juga terjadi pada penderita diabetes. Penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan tanpa dibantu dengan suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan turun di bawah kadar glukosa orang normal yaitu 100 mg/dL, tetapi lama kelamaan kadar glukosa basal akan kembali pada kadar glukosa semula, sedangkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan dibantu dengan suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan turun sangat rendah, hingga mencapai 50 mg/dL dan kadar glukosa basal awal lebih rendah daripada kadar glukosa basal semula. Secara umum dari model ini dapat dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke tingkat glukosa basal awal, sehingga untuk menjaga agar glukosa darah tetap normal harus dilakukan olahraga yang teratur dan dengan dibantu terapi insulin yang sesuai dengan kebutuhan penderita.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Agus Kartono, M.Si Dr. Ir. Irmansyah, M.Si Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biofisika
Dr. Agus Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 9 Juni 2011 Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Model Efek Latihan Fisik terhadap Dinamika Glukosa dan Insulin
Nama : Noerhayati Rofiah
NRP : G751090021
!
"
#
$ #
%
&
'
(
%
) * +
+ ,
Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat, dan petunjuknya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011
di Laboratorium Fisika Teori IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah
kinetika glukosa dan insulin, dengan judul Model Efek Latihan Fisik terhadap
Dinamika Glukosa dan Insulin.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Agus Kartono, M.Si dan
Bapak Dr. Irmansyah, M.Si selaku pembimbing yang baik dan senantiasa
menyempatkan waktu untuk berkonsultasi, serta senantiasa memberi dorongan
semangat. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Kementerian Pendidikan
Nasional melalui Beasiswa Unggulan yang telah memberikan kesempatan belajar
dan membantu biaya penelitian. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga
disampaikan kepada kedua orang tua atas doa yang senantiasa dipanjatkan,
semangat, dan kasih sayang yang diberikan.
Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Pak Sem dan Pak Joko
atas diskusi-diskusi yang berharga berkaitan dengan penyusunan penelitian ini,
serta kebersamaan dan semangat yang diberikan. Akhirnya perkenankan saya
membagi kebahagiaan saya kepada suami tercinta, Haidir, atas doa yang
senantiasa dipanjatkan, atas materi, semangat, kesabaran, dan kasih sayang yang
diberikan.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Juni 2011
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 15 Januari 1985 dari ayah
Mochammad Rochim dan ibu Sukarni. Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Batu dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Penegetahuan Alam. Penulis
menyelesaikan studi strata satu (S1) pada tahun 2008 sebagai lulusan terbaik
Departemen Kimia.
Tahun 2009 penulis mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan
Nasional melalui Beasiswa Unggulan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Biofisika, lulus pada bulan
Juni 2011. Penulis merupakan Analis Kimia di Departemen Ilmu Nutrisi dan
Diabetes Mellitus (DM) ialah kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan meningkatnya kadar gula darah atau biasa dikenal dengan kondisi
hiperglikemia, karena kelainan sekresi insulin atau kerja insulin (Gustaviani,
2006). Penyakit ini merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di
dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan
penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta
penderita pada tahun 2030. Berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa negara
berkembang, data WHO menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi jumlah pasien
diabetes terjadi di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang menempati peringkat
ke-4 di dunia (Wild et al. 2004).
Penyakit DM disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1)
atau resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan
glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit
DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa
plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dl). Efek jangka panjang dari
diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa
plasma melebihi 120 mg/dl (Makroglou et al. 2006). Hiperglikemia
berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga
dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota
tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70
mg/dl. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.
Sejak tahun 1960, model matematika telah digunakan untuk
menggambarkan dinamika glukosa-insulin. Bergman et al. (1981) mengusulkan
model minimal tiga kompartemen untuk menganalisis hilangnya glukosa dan
sensitivitas insulin selama tes toleransi glukosa intravena. Beberapa modifikasi
telah dibuat pada model minimal asli untuk menggabungkan berbagai efek
fisiologis glukosa dan insulin. Cobelli et al. (1999) mengembangkan model
minimal yang direvisi untuk memisahkan efek produksi glukosa dari
pemanfaatannya. Model ini menyempurnakan penjelasan tentang dinamika
mengembangkan model minimal asli dengan menambahkan tiga subkompartemen
dari glukosa dan insulin yaitu, dinamika penyerapan absorbsi, distribusi, dan
mekanisme pembuangan, tetapi tak satu pun dari model ini menjelaskan
perubahan dalam dinamika glukosa dan insulin karena latihan fisik, padahal telah
sejak lama latihan fisik ini dianjurkan untuk pasien diabetes.
Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2
atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan
secara berkesinambungan. Sebagai catatan orang dengan risiko diabetes tinggi
(obesitas, tekanan darah tinggi, dan faktor keturunan), latihan fisik disarankan
disamping diet dan terapi tablet insulin (Sigal et al. 1996). Bagaimanapun juga
dapat dianjurkan dua saran, yaitu: pertama, untuk beberapa alasan seperti usia,
berat badan, dan tekanan darah yang menyebabkan pasien tidak dapat
menjalankan latihan fisik berat, maka solusinya adalah pasien dapat mejalankan
latihan fisik ringan secara berkesinambungan; kedua, sebagaimana dikenal secara
umum pasien diabetes tipe 2 biasanya berumur diatas 40 tahun, latihan fisik yang
keras tentu berbahaya bagi pasien dengan masalah ginjal, tekanan darah tinggi,
retinopati, dan neuropati, oleh karena itu disarankan pasien dapat mejalankan
latihan fisik ringan secara berkesinambungan.
Untuk penderita diebetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) kasusnya berbeda. Secara umum pasien diabetes tipe 1 ini biasanya
masih muda dan cenderung dapat melakukan latihan fisik dan olahraga berat,
tetapi bukan berarti tanpa risiko hipoglikemia atau hiperglikemia. Kombinasi dari
insulin, asupan karbohidrat, dan latihan fisik yang baik dapat menyebabkan
kondisi tubuh yang bugar dan kontrol yang baik terhadap kadar gula darah.
Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model efek dari latihan fisik
terhadap dinamika glukosa dan insulin, pada pasien diabetes dan
! " #$ % " && %'"
Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat
ketidakcukupan fungsi insulin. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan atau
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina Farmasi & Alkes,
2005).
Metabolisme tubuh bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
energi baik untuk membentuk sel yang baru maupun mengganti sel tubuh yang
rusak. Sumber energi diperoleh dari asupan makanan yang terdiri atas karbohidrat,
protein, dan lemak. Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut, kemudian di
lambung dan dilanjutkan di usus. Makanan dipecah menjadi bahan dasarnya di
dalam saluran pencernaan, karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh
usus, kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
digunakan sebagai energi. Agar dapat berfungsi sebagai energi, zat makanan harus
masuk dulu ke dalam sel untuk diolah.
Insulin memegang peranan penting dalam proses metabolisme, insulin
bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk diolah menjadi energi. Namun,
ketersediaan insulin saja tidak cukup menjamin proses metabolisme dapat
berlangsung normal. Hal ini juga bergantung pada kepekaan reseptor pada insulin
yang terletak pada dinding sel sasaran. Ketidakpekaan reseptor insulin
mengakibatkan insulin tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga kadar
glukosa dalam darah meningkat. Keadaan ini mengakibatkan seseorang menderita
penyakit diabetes.
Berbagai proses patologis berperan dalam terjadinya DM, mulai dari
kerusakan autoimun dari sel pankreas yang berakibat defisiensi insulin sampai
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada DM disebabkan kurangnya
kerja insulin pada jaringan target (Adnyana et al. 2006).
(#&# #$ % " && %'"
Gejala utama diabetes yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar), polidipsia
(meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil), serta
kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (DiPiro et al. 2005). Gejala
dan tanda-tanda penyakit DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronis. Gejala akut penyakit DM pada tiap penderita tidaklah sama, bahkan
hampir sama dengan gejala utama. Namun, bila keadaan tersebut tidak cepat
diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya
insulin, yaitu nafsu makan mulai berkurang bahkan kadang-kadang disusul
dengan mual, mudah lelah bahkan penderita akan jatuh koma.
Gejala kronis penyakit DM antara lain kesemutan, kulit terasa panas, terasa
tebal di kulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di sekitar
kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun
(Tjokroprawiro, 2006). Gejala-gejala ini harus mendapat perawatan yang
memadai.
Penderita DM tanpa perawatan memadai dalam jangka panjang dapat
memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
a. gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
b. gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal,
c. gangguan kardiovaskular,
d. gangguan pada sistem saraf sehingga terjadi disfungsi saraf autonom, kaki gangren, amputasi, dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria,
!))*&*!)#! #$ % " && %'"
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Diabetes Mellitus
(DM) menjadi tiga jenis:
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM) ialah diabetes yang terjadi karena
berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh
anak-anak maupun orang dewasa.
Pada saat ini, DM tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga saja tidak
bisa menyembuhkan ataupun mencegah DM tipe 1. Kebanyakan penderita DM
tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai
dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin
umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada DM tipe 1 ialah kesalahan
reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas
tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
DM tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan
terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Keadaan tersebut merupakan suatu
gangguan katabolisme yang disebabkan, karena hampir tidak terdapat insulin
dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel-sel beta pankreas gagal
merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan
menurunkan hiperglukagonemia, serta peningkatan kadar gukosa darah (Katzung,
2002)
Diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor
pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling
awal sekalipun, ialah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik
ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga).
Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian
jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan
pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM) merupakan tipe DM yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan
kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk
yang mengekspresikan disfungsi sel beta, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap
insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada
kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Patogenesis dari DM tipe 2 sangat kompleks termasuk interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan. Latar belakang etnis, jenis kelamin, dan usia merupakan faktor
penting dalam menentukan perkembangan risiko diabetes tipe ini (Buse et al. 2003).
Pada tahap awal kelainan yang muncul ialah berkurangnya sensitivitas
terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam
darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari
hati, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan
terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral
diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin.
Obesitas ditemukan pada 90% dari pasien dunia dengan diagnosis diabetes tipe 2.
Faktor lain meliputi faktor keturunan, walaupun pada beberapa dekade terakhir
terus meningkat pengaruhnya pada remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik
(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan
berat badan.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa
plasma puasa > 140 mg/dl) (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
3. Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)
Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Pada pasien ini toleransi
glukosa dapat kembali normal setelah persalinan.
!#+ ,# &',*"# -#! !"'& !
Himsworth dan Ker (1939) memperkenalkan pendekatan pengukuran
insulin secara in vivo untuk pertama kalinya. Model matematika telah digunakan
untuk memperkirakan sensitivitas insulin dan hilangnya glukosa. Perintis
penelitian di bidang ini ialah Bolie (1961) dalam model yang sangat sederhana.
Dengan G = G(t) menunjukkan konsentrasi glukosa, I = I (t) menunjukkan
insulin, dan k, a1, a2, a3, a4 ialah parameter konstan. Dalam model ini proses menghilangnya glukosa diasumsikan sebagai fungsi linier baik dari insulin
maupun glukosa. Sekresi insulin sebanding dengan konsentrasi glukosa dan
menghilangnya insulin sebanding dengan konsentrasi insulin plasma.
Publikasi mengenai sensitivitas insulin berkembang, salah satunya ialah
model minimal yang diperkenalkan oleh Bergman dan Cobelli pada awal tahun
delapan puluhan (Boutayeb & Chetouani, 2006). Meskipun model minimal
merupakan model sederhana, tetapi minimal ini terus berkembang dan digunakan
hingga saat ini, baik sebagai alat klinis dan pendekatan untuk memahami efek
gabungan sekresi insulin dan sensitivitas insulin pada toleransi glukosa dan risiko
pemahaman tentang kinetika insulin in vivo, seperti sifat yang relatif penting
akibat kegagalan sel beta dalam patogenesis diabetes.
Model minimal glukosa dan insulin biasanya digunakan untuk menganalisis
hasil tes toleransi glukosa intravena (FSIGT) pada manusia dan hewan di
laboratorium, sampel darah diambil dari orang yang berpuasa pada interval waktu
teratur, setelah injeksi intravena glukosa tunggal, diambil sampel darah untuk
dianalisa kadar glukosa dan insulin.
Gambar 1 Data uji FSIGT dari subjek normal (Pacini dan Bergman 1986 diacu dalam Riel N van 2004).
Secara kualitatif, kadar glukosa dalam plasma mulai dari puncak, karena
adanya injeksi glukosa, kemudian turun ke keadaan minimum sampai di bawah
kadar glukosa basal. Kadar glukosa secara bertahap kembali ke tingkat basal.
Kadar insulin dalam plasma cepat naik ke puncak segera setelah injeksi glukosa,
kemudian turun ke tingkat yang lebih rendah, tetapi masih di atas tingkat insulin
basal, naik lagi ke puncak yang lebih rendah, dan kemudian secara bertahap turun
ke tingkat basal (Riel N van, 2004).
Model minimal glukosa dan insulin memberikan gambaran kuantitatif
mengenai konsentrasi glukosa dan insulin dalam sampel darah setelah
penyuntikan glukosa. Model minimal glukosa memiliki dua kompartemen
fisiologi, yaitu kompartemen plasma dan kompartemen jaringan interestisial.
Model minimal insulin hanya mempunyai satu kompartemen, yaitu kompartemen
plasma. Model minimal glukosa dan insulin dapat menjelaskan tentang empat hal
yang berhubungan dengan metabolisme, terutama pada saat tes toleransi glukosa
intravena.
Metabolisme tersebut meliputi:
a. SI = Sensitivitas insulin, mengukur kemampuan insulin untuk meningkatkan proses penghilangan glukosa menjadi energi,
b. SG = Efektivitas glukosa, mengukur kemampuan glukosa untuk mengurangi sendiri konsentrasinya dalam plasma, tidak bergantung pada peningkatan
insulin,
c. φ1 = Responsivitas pankreas fase pertama, mengukur besarnya puncak pertama
pada insulin plasma karena injeksi glukosa,
d. φ2 = Responsivitas pankreas fase kedua, mengukur besarnya puncak kedua
setalah periode refraktori fase pertama.
*- & ! +#& '!%', !#+ ,# &',*"# -#! !"'& !
Dinamika glukosa dan insulin bergantung pada tiga kompartemen, yaitu
kompartemen plasma glukosa, plasma insulin, dan jaringan interestisial. Kelajuan
masuk dan keluarnya glukosa dari kompartemen plasma sebanding dengan
perbedaan antara kadar glukosa plasma, G(t), dan kadar glukosa basal, Gb. Jika
kadar glukosa plasma turun di bawah kadar glukosa basal, glukosa akan masuk ke
dalam kompartemen plasma, dan sebaliknya, jika kadar glukosa plasma naik maka
glukosa akan keluar dari kompartemen plasma. Glukosa plasma juga keluar dari
kompartemen plasma melalui jalur kedua yang sebanding dengan aktivitas insulin
pada jaringan interestisial X(t). Kelajuan keluar masuknya insulin dalam plasma
sebanding dengan perbedaan antara kadar insulin plasma I(t) dan kadar insulin
basal Ib. Jika kadar insulin plasma turun di bawah tingkat basal, insulin akan
keluar dari kompartemen jaringan interestisial, dan sebaliknya. Insulin juga
menghilang dari kompartemen jaringan interestisial melalui jalur kedua yang
setara dengan jumlah insulin dalam kompartemen jaringan interestisial. Hal ini
dengan t menunjukkan waktu dalam satuan menit, t0 ialah waktu saat injeksi glukosa, G(t) konsentrasi glukosa plasma (mg/dL), I(t) ialah kadar insulin plasma
(µU/dL), dan X(t) ialah aktivitas insulin interestisial. Jika faktor pengaruh umpan
balik dari insulin dalam kompartemen jaringan interestisial yang dalam rumus ini
diwakili oleh persamaan –X(t)G(t) diabaikan, maka kelajuan pemanfaatan glukosa
sebanding dengan konstanta k1. Penambahan sejumlah insulin plasma menyebabkan perubahan insulin interestisial, yang pada akhirnya menyebabkan
perubahan kelajuan pemanfaatan glukosa. Sensitivitas insulin didefinisikan
sebagai SI yang nilainya sebanding dengan k2/k3 dan efektivitas glukosa didefinisikan sebagai SGyang nilainya sebanding dengan k1. Persamaan (3) dapat ditulis kembali dalam bentuk sebagai berikut:
Insulin masuk ke dalam kompartemen insulin plasma dengan kecepatan
yang sebanding dengan waktu dan konsentrasi glukosa di atas glukosa basal. Jika
kadar glukosa di bawah glukosa basal, maka jumlah insulin yang masuk
kompartemen plasma ialah nol. Insulin dikeluarkan dari kompartemen plasma
sebanding dengan jumlah insulin dalam kompartemen plasma tersebut. Hal ini
dituliskan dalam persamaan:
! "# $ % &
dengan k ialah fraksi pengeluaran insulin, γ menunjukkan respon pankreas
sekunder terhadap glukosa. Responsivitas pankreas fase pertama didefinisikan
sebagai φ1 = (Imax−Ib)/[k(G0−Gb)], dengan Imax ialah respon insulin maksimum.
Responsivitas pankreas fase kedua didefinisikan sebagaiφ2 = γ×104.
+*- &#! -#. , #% /#! " ,
Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin
menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemi dapat dihindarkan. Namun,
peningkatan dalam pengambilan oksigen selama latihan fisik dapat menimbulkan
hipoglikemi. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik,
pasien dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa (Price dan Wilson, 2006).
Salah satu tujuan penelitian ini ialah ingin mensimulasikan efek latihan fisik
terhadap dinamika glukosa dan insulin. Pertama kali yang perlu digarisbawahi
ialah bahwa latihan fisik menyebabkan rendahnya konsentrasi glukosa selama dan
setelah latihan. Selain itu latihan fisik juga meningkatkan penggunaan insulin oleh
sel tubuh. Selanjutnya, berdasarkan model minimal Bergman et al. (1981) terdapat
persamaan sebagai berikut:
' ' (
' ) *
Dengan G(0) = g0 dan X(0) = X0 dan I(0) = I0
a. (I(t) - Ib(t)) menunjukkan perbedaan antara konsentrasi insulin plasma dengan
konsentrasi insulin basal,
b. X(t) ialah insulin interestisial,
c. (Gb- G(t)) menunjukkan perbedaan konsentrasi glukosa basal dan konsentrasi
glukosa plasma,
k1, k2 dan k3 ialah parameter berdasarkan pada Bergman et al. (1981).
Parameter yang berhubungan dengan aktivitas latihan fisik didefinisikan sebagai
berikut:
q1: efek latihan fisik dalam mempercepat pemanfaatan glukosa oleh otot dan hati, q2: efek latihan fisik dalam meningkatkan kepekaan otot dan hati karena insulin, q3: efek latihan fisik dalam meningkatkan pemanfaatan insulin.
#,%' -#! +0#% ! & % #!
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi,
Departemen Fisika, FMIPA, IPB dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011.
.#&#%#!
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebuah laptop dengan
processor Intel Core i7-740QM, 1,73 GHz, HDD 500GB, Memory 2GB,.
Software yang digunakan dalam penelitian ini ialah MS. Office 2007 dan
MATLAB R2009a. Pendukung penelitian ini berupa sumber pustaka, baik
jurnal-jurnal ilmiah maupun sumber lain yang relevan.
%*- ! & % #!
Metode penelitian ini adalah pembuatan sebuah program simulasi sederhana
dari Model Minimal untuk Dinamika Glukosa dan Insulin dengan menambahkan
faktor latihan fisik menggunakan software MATLAB R2009a. Selanjutnya
divalidasi dengan hasil eksperimen FSIGT.
%'- 0'"%#,#
Studi pustaka dilakukan untuk memahami proses kinetika glukosa dan
insulin sehingga memudahkan perancangan program simulasinya. Kemudian
melihat hubungan antara grafik yang akan dihasilkan dalam simulasi dengan sifat
fisiologis dari kinetika glukosa dan insulin. Studi pustaka akan membantu penulis
dalam menganalisis hasil yang didapat dari simulasi model minimal kinetika
glukosa dan insulin untuk mendeteksi diabetes.
!#& "# , "%#$ &#!
Tidak semua persamaan diferensial dapat dengan mudah diselesaikan secara
analitik. Untuk itu perlu mencari informasi secara kualitatif dari solusinya, tanpa
menyelesaikan persamaan terebut secara analitik. Solusi yang akan dianalisa
fase tersebut, perlu dikaji terlebih dahulu kestabilan dari solusinya. Misalkan
sistem persamaan diferensial dua variabel sebagai berikut:
(
x y)
disebut sebagai solusi kesetimbangan atau titik kritis. Untuk menganalisa
kestabilan solusi sistem ini perlu diperhatikan beberapa hal. Hal yang terpenting
ialah mencari nilai eigen sistem karena kestabilan solusi bergantung pada nilai
eigen.
!#& " " !'+ . ,
Analisis dilakukan karena model minimal Bergman sulit untuk diselesaikan
secara analitik. Jadi butuh suatu metode numerik untuk memecahkan sistem
persamaan tersebut. Dalam model ini merupakan persamaan diferensial biasa,
1#& -#" *- &
Model simulasi yang dibuat harus kredibel atau dapat dipercaya.
Representasi kredibilitas tersebut ditunjukkan oleh validasi model. Validasi
merupakan proses penentuan apakah model konseptual yang dibuat telah
merefleksikan sistem nyata dengan tepat (Harrell C, 2003). Validasi dilakukan
dengan membandingkan antara hasil simulasi model dan data eksperimen, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2 Hasil simulasi model minimal glukosa pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 279 [mg/dL], I0= 130[µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1], k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min]).
Model dinamika glukosa dan insulin dalam penelitian dibandingkan dengan
data eksperimen yang diperoleh Riel N van, 2004 (Lampiran 2). Gambar 2
menunjukkan dinamika glukosa pada subyek normal yang tidak melakukan
latihan fisik, dari gambar 2 tersebut terlihat bahwa grafik plot hasil simulasi model
berimpit dengan data eksperimen dan menunjukkan kesesuaian. Hal ini
mengindikasikan bahwa model simulasi yang telah dibuat sesuai dengan sistem
nyata, dengan kata lain model yang telah dibuat valid.
Kadar glukosa yang awalnya berada di tingkat basal, yaitu sebesar 92
mg/dL, naik karena adanya asupan glukosa dari makanan, setelah itu
perlahan-lahan turun ke tingkat basal karena adanya pemanfaatan glukosa oleh tubuh
menjadi energi. Proses ini dibantu oleh hormon insulin yang dikeluarkan oleh
persamaan yang digunakan oleh Riel N van, 2004. Modifikasi persamaan
dinamika insulin ditulis dalam persamaan berikut ini:
! "#"# +$ %
,
dengan k ialah fraksi pengeluaran insulin, γ menunjukkan respon pankreas
sekunder terhadap glukosa. Dinamika insulin ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Hasil simulasi model minimal insulin pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 279 [mg/dL], I0= 409,5[µU/mL], SG = 2,6.10-2 [min-1], k3 = 0,025 [min-1], SI = 5,0.10-4 [mL/µU.min]).
Kadar insulin basal sebesar 11 µU/mL. Kadar insulin yang meningkat dari
tingkat basal terjadi karena aksi insulin terhadap asupan glukosa oleh tubuh.
Glukosa diolah menjadi energi dengan bantuan insulin. Hasil simulasi model
dinamika insulin yang punya kesesuaian dengan data eksperimen semakin
menambah validitas pemodelan yang dibuat.
#"'" '$2 , *.+#&
Telah disebutkan sebelumnya dalam pendahuluan bahwa kontrol diabetes
terutama dilakukan oleh aksi insulin, asupan makanan, dan aktivitas fisik, tetapi
semua sistem kontrol yang pernah diusulkan hanya terfokus pada terapi insulin.
Ditekankan bahwa strategi kontrol diabetes yang baru membutuhkan waktu yang
lama sebelum dapat diterima masyarakat umum dalam jangkauan yang luas.
Selain itu, masyarakat dengan pendapatan yang rendah dan pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan suntikan insulin. Hal inilah yang menjadikan alasan penelitian
ini terfokus pada latihan fisik sebagai parameter kontrol diabetes yang murah dan
alami. Selanjutnya, berdasarkan model minimal Bergman et al. (1981) dan
persamaan dinamika insulin yang diusulkan dalam penelitian ini, maka persamaan
(2), (3) dan (5) dimodifikasi menjadi persamaan sebagai berikut:
' '
-' )
! ' ' ' "#"# +$ %
Model ini memberikan gambaran yang jelas mengenai dinamika glukosa dan
insulin. Model tersebut menjelaskan bahwa olahraga dapat menurunkan kadar
gula darah seseorang, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Hasil simulasi model minimal untuk dinamika glukosa dan insulin pada orang normal tanpa latihan fisik (G0= 360 [mg/dL], I0= 363,7[µU/mL],
melakukan olahraga, kadar glukosanya turun. Semakin berat olahraga yang
dilakukan maka akan semakin besar pula penurunan kadar glukosa. Dari Gambar
4 terlihat jelas bahwa dengan melakukan latihan kadar glukosa akan turun, dan
akhirnya kembali ke tingkat basalnya. Latihan fisik mempermudah transport
glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada
individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga
hipoglikemi dapat dihindarkan.
!- . %# #$ % " %#!0# #!%'#! !"'& !
Latihan fisik berperan utama dalam pengaturan glukosa darah. Pada
penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2, produksi insulin tidak terganggu tetapi
masih kurangnya respons reseptor pada sel terhadap insulin (resistensi insulin),
sehingga insulin tidak dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Pada saat
berolahraga, permeabilitas membran terhadap glukosa meningkat pada otot yang
berkontraksi sehingga resistensi insulin berkurang, dengan kata lain sensitivitas
insulin meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan insulin berkurang. Respons
ini bukan merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama. Respon ini hanya
terjadi setiap kali berolahraga. Oleh karena itulah kadar glukosa kembali ke
tingkat basalnya, sehingga latihan fisik ini harus dilakukan secara rutin untuk
menjaga agar kadar glukosa darah tidak meningkat. Hal ini diterangkan dengan
jelas pada Gambar 5 berikut ini.
Dari Gambar 5 terlihat jelas bahwa aktivitas fisik pada penderita diabetes
dapat menurunkan kadar glukosa basal sampai di bawah 100 mg/dL, padahal
tingkat glukosa awalnya ialah 140 mg/dL. Meskipun demikian kadar glukosa ini
akan naik kembali ke tingkat glukosa basal awal, sehingga untuk menjaga agar
kadar glukosa tetap normal diperlukan latihan fisik yang disiplin dan teratur.
!- . %# #$ % " - !)#! #!%'#! !"'& !
Penderita diabetes yang melakukan aktivitas olahraga dibantu dengan
injeksi insulin memiliki grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Dari
Gambar terlihat jelas bahwa dengan bantuan penambahan insulin dapat
menurunkan kadar glukosa darah hingga ke tingkat yang rendah, yaitu sampai
pada kadar 50 mg/dL. Ilustrasi ini menegaskan kembali bahwa setiap orang harus
menggabungkan beberapa aktivitas fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Rekomendasi ini lebih ditunjukkan untuk orang yang berisiko terkena
diabetes yang memiliki kelebihan berat badan, stres, factor keturunan. Model ini
memberikan pola umum, bahwa dengan latihan fisik dapat menurunkan kadar
glukosa seseorang karena meningkatnya kepekaan insulin.
Gambar 6 ini sekali lagi menunjukkan bahwa ketika seseorang yang
terkena diabetes mungkin beradaptasi dengan konsentrasi gula darah lebih dari
200 mg/dL pada istirahat, dan dapat mencapai kadar gula darah normal sekitar
100 mg/dl dengan melakukan aktivitas fisik. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya latihan fisik yang disiplin dan teratur pada penderita diabetes untuk
+0'&#!
Model minimal dinamika glukosa dan insulin yang dibuat dalam penelitian
ini valid. Hasil simulasi model menunjukkan kesesuaian dengan data eksperimen.
Pada subyek normal yang melakukan latihan fisik dapat menurunkan kadar
glukosa darah, sehingga diasumsikan hal ini juga terjadi pada penderita diabetes.
Penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan tanpa dibantu dengan
suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan
turun di bawah kadar glukosa orang normal yaitu 100 mg/dL, tetapi lama
kelamaan kadar glukosa basal akan kembali pada kadar glukosa semula,
sedangkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik dan dibantu dengan
suntikan insulin dengan kadar glukosa basal yang tinggi (di atas 140 mg/dL) akan
turun sangat rendah, hingga mencapai 50 mg/dL dan kadar glukosa basal awal
lebih rendah daripada kadar glukosa basal semula. Secara umum dari model dapat
dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara
setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke tingkat glukosa basal
awal, sehingga untuk menjaga agar glukosa darah tetap normal harus dilakukan
olahraga yang teratur dan dengan dibantu terapi insulin yang sesuai dengan
kebutuhan penderita.
#.#!
Latihan fisik sangat disarankan pada penderita diabetes agar dapat
menurunkan kadar glukosa darah, latihan fisik ini harus dijalankan dengan teratur
karena kadar glukosa akan naik lagi ke tingkat basalnya jika tidak melakukan
aktivitas fisik secara rutin. Selain itu tentu saja aktivitas fisik juga disarankan pada
Adnyana L, Hensen, Budhiarta AAG. 2006. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus di Poliklinik Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam 7: 1863.
Bergman RN, Phillips LS, Cobelli C. 1981. Physiologic evaluation of factors Controlling glucose tolerance in man. J Clinic Invest 68: 1456-1467.
Bergman RN. 2005. Minimal Model: Perspective from 2005. Hormone Research 64: 8-15.
Bolie VW. 1961. Coefficients of normal blood glucose regulation. J Appl Physiol 16: 783-8.
Boutayeb A, Chetouani A. 2006. A critical review of mathematics models and data used in diabetology. Bio Medic Engineer Online 5: 43.
Buse JB, Polonsky KS, Burant CF. 2003. Williams Text Book of Endocrinology. United States: Saunders.
Cobelli C, Caumo A, Omenetto M. 1999. Minimal model SG overestimation and SI underestimation: improved accuracy by a Bayesian two compartment model. Am J Physiol 277: 481-488.
DiPiro T, Tarbet L, Yee C, Matzke R, Wells G, Posey M. 2005. Pharmacotherapy a Pathopysiologic Approach. New York: Medical Publishing Division.
[Dirjen Bina Farmasi dan Alkes] Direktorat Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. types of diabetes Mellitus. Clinical Science 4: 119-225.
Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Andrianto, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Basic and Clinical Pharmacology.
Makroglou A, Li j, Kuang Y. 2006. Mathematical models and software tools for the glucose-insulin regulatory system and diabetes: J Appl Num Math. 56: 559-573.
Price AS, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed ke-6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Riel N van, 2004. Minimal Models for Glucose and Insulin Kinetics: a matlab implementation. Eindhoven University of Technology: Department of Biomedical Engineering.
Sigal RJ, Fisher S, Halter JB. 1996. The roles of catecholamines in glucoseregulation in intense exercise as defined by the islet cell clamp technique. Diabetes 45: 148-156.
Tjokroprawiro A. 2006. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Melitus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran 2 Data Prevalensi Diabetes
2000 2030
Peringkat Penderita diabetes Penderita diabetes Negara (juta) Negara (juta)
1India 31.7 India 79.4
2Cina 20.8 Cina 42.3
3U.S. 17.7 U.S. 30.3
4Indonesia 8.4 Indonesia 21.3
5Jepang 6.8 Pakistan 13.9
Lampiran 3 Data Kadar Glukosa dan Insulin (Riel N van, 2004)
Lampiran 4 Pemodelan Kasus Subyek Normal tanpa Olahraga
!"
#$ %! $ &"
'$ $ ( &"
!) "
! *+,! - . / "
0 ! "
- +,1 - ! 0 . / & (2 "
#
3 !
' 0
4
# 5 #$
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
0 2 #,#$ 2 , 2 ','$
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
Lampiran 5 Pemodelan Kasus Subyek Normal dengan Olahraga Ringan 6786
!"
#$ %! $ &"
'$ $ ( &"
!) "
! *+,! - . / "
0 ! "
- +,1 - ! 0 . / & (2 "
9
9! *
90 %
#
3 !
' 0
4
# 5 #$
:9 2 #$,# , :9! 232#
! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$
:9 2 #$,# , :9! 232#
! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
Lampiran 6 Pemodelan Kasus Subyek Normal dengan Olahraga Berat
; 6786$ ;
; ;
!"
#$ %! $ &"
'$ $ ( &"
!) "
! *+,! - . / "
0 ! "
- +,1 - ! 0 . / & (2 "
9 0
9! %
90
# ;
3 ; !
' ; 0
4
# 5 #$
; :9 2 #$,# , :9! 232#
; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
; 0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$
; :9 2 #$,# , :9! 232#
; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
Lampiran 7 Pemodelan Penderita Diabetes tanpa Olahraga
$
!"
#$ 1 $ &"
'$ $ ( &"
!) "
)+,! - . / "
0 "
- )+,1 / & (2 "
#
3 !
' 0
4
# 5 #$
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
0 2 #,#$ 2 , 2 ','$
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
Lampiran 8 Pemodelan Penderita Diabetes dengan Olahraga Ringan
$ 6786
!"
#$ 1 $ &"
'$ $ ( &"
!) "
)+,! - . / "
0 "
- )+,1 / & (2 "
9
9! *
90 %
#
3 !
' 0
4
# 5 #$
:9 2 #$,# , :9! 232#
! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$
:9 2 #$,# , :9! 232#
! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
Lampiran 9 Pemodelan Penderita Diabetes dengan Olahraga Berat
; $ 6786$ ;
; ;
!"
#$ 1 $ &"
'$ $ ( &"
!) "
)+,! - . / "
0 "
- )+,1 / & (2 "
9 0
9! %
90
# ;
3 ; !
' ; 0
4
# 5 #$
; :9 2 #$,# , :9! 232#
; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
; 0 2 #,#$ 2 , :90 2 ','$
; :9 2 #$,# , :9! 232#
; ! 02 - :90 0 2 ','$ ,3
Lampiran 10 Pemodelan Penderita Diabetes tanpa Olahraga dengan Bantuan Insulin
$ 6
!"
#$ 1 $ &"
'$ $ ( &"
!) "
)+,! - . / "
0 "
- )+,1 / & (2 "
#
3 !
' 0
4
50 < = !
( ( &"
( ( &"
# 5 #$
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
0 2 #,#$ 2 , 2 ','$ :(
2 #$,# ,32#
! 02 - 2 ','$ ,3
NOERHAYATI ROFIAH. The Model of Physical Exercise Effect on the Dynamics of Glucose and Insulin. Under direction of AGUS KARTONO and IRMANSYAH.
Regular physical activity is indicated either to prevent or delay the onset of non-insulin-dependent diabetes or to assure a good control of diabetes by increasing insulin sensitivity and ameliorating the metabolism of glucose disappearance. A minimal model developed previously was extended to include the major effects of exercise on plasma glucose and insulin levels. Minimal model of glucose and insulin dynamics created in this study is valid. Result of model simulation is good agreement with experimental data. On the normal subject, physical exercise can reduce blood glucose levels, the same thing happened in people with diabetes. In general, the model can be explained that physical exercise can lower glucose levels basal while after the exercise, but will eventually rise returned to initial basal glucose levels, so to keep the blood glucose remained normal should be done exercise regularly and with the assistance of insulin therapy appropriate to the needs of patients.
Diabetes Mellitus (DM) ialah kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan meningkatnya kadar gula darah atau biasa dikenal dengan kondisi
hiperglikemia, karena kelainan sekresi insulin atau kerja insulin (Gustaviani,
2006). Penyakit ini merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan manusia di
dunia pada abad 21. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan
penderita diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta
penderita pada tahun 2030. Berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa negara
berkembang, data WHO menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi jumlah pasien
diabetes terjadi di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang menempati peringkat
ke-4 di dunia (Wild et al. 2004).
Penyakit DM disebabkan oleh hilangnya sekresi insulin pankreas (tipe 1)
atau resistensi yang dikembangkan oleh tubuh terhadap tindakan pengaturan
glukosa dalam tubuh oleh insulin (tipe 2). Untuk mencegah komplikasi penyakit
DM dengan penyakit lain, penting untuk selalu menjaga konsentrasi glukosa
plasma dalam kisaran normal glikemia (70-120 mg/dl). Efek jangka panjang dari
diabetes yang disebabkan karena terjadi hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa
plasma melebihi 120 mg/dl (Makroglou et al. 2006). Hiperglikemia
berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi dengan penyakit lain, sehingga
dapat menyebabkan penyakit ginjal, kebutaan, dan bahkan kehilangan anggota
tubuh. Begitupun dengan hipoglikemia, yaitu kadar glukosa plasma di bawah 70
mg/dl. Hipoglikemia dapat menyebabkan pusing, koma, atau bahkan kematian.
Sejak tahun 1960, model matematika telah digunakan untuk
menggambarkan dinamika glukosa-insulin. Bergman et al. (1981) mengusulkan
model minimal tiga kompartemen untuk menganalisis hilangnya glukosa dan
sensitivitas insulin selama tes toleransi glukosa intravena. Beberapa modifikasi
telah dibuat pada model minimal asli untuk menggabungkan berbagai efek
fisiologis glukosa dan insulin. Cobelli et al. (1999) mengembangkan model
minimal yang direvisi untuk memisahkan efek produksi glukosa dari
pemanfaatannya. Model ini menyempurnakan penjelasan tentang dinamika
mengembangkan model minimal asli dengan menambahkan tiga subkompartemen
dari glukosa dan insulin yaitu, dinamika penyerapan absorbsi, distribusi, dan
mekanisme pembuangan, tetapi tak satu pun dari model ini menjelaskan
perubahan dalam dinamika glukosa dan insulin karena latihan fisik, padahal telah
sejak lama latihan fisik ini dianjurkan untuk pasien diabetes.
Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi risiko serangan diabetes tipe 2
atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Efek perlindungan ini berhubungan dengan tingkat latihan fisik yang dilakukan
secara berkesinambungan. Sebagai catatan orang dengan risiko diabetes tinggi
(obesitas, tekanan darah tinggi, dan faktor keturunan), latihan fisik disarankan
disamping diet dan terapi tablet insulin (Sigal et al. 1996). Bagaimanapun juga
dapat dianjurkan dua saran, yaitu: pertama, untuk beberapa alasan seperti usia,
berat badan, dan tekanan darah yang menyebabkan pasien tidak dapat
menjalankan latihan fisik berat, maka solusinya adalah pasien dapat mejalankan
latihan fisik ringan secara berkesinambungan; kedua, sebagaimana dikenal secara
umum pasien diabetes tipe 2 biasanya berumur diatas 40 tahun, latihan fisik yang
keras tentu berbahaya bagi pasien dengan masalah ginjal, tekanan darah tinggi,
retinopati, dan neuropati, oleh karena itu disarankan pasien dapat mejalankan
latihan fisik ringan secara berkesinambungan.
Untuk penderita diebetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) kasusnya berbeda. Secara umum pasien diabetes tipe 1 ini biasanya
masih muda dan cenderung dapat melakukan latihan fisik dan olahraga berat,
tetapi bukan berarti tanpa risiko hipoglikemia atau hiperglikemia. Kombinasi dari
insulin, asupan karbohidrat, dan latihan fisik yang baik dapat menyebabkan
kondisi tubuh yang bugar dan kontrol yang baik terhadap kadar gula darah.
Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model efek dari latihan fisik
terhadap dinamika glukosa dan insulin, pada pasien diabetes dan
! " #$ % " && %'"
Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat
ketidakcukupan fungsi insulin. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan atau
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina Farmasi & Alkes,
2005).
Metabolisme tubuh bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
energi baik untuk membentuk sel yang baru maupun mengganti sel tubuh yang
rusak. Sumber energi diperoleh dari asupan makanan yang terdiri atas karbohidrat,
protein, dan lemak. Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut, kemudian di
lambung dan dilanjutkan di usus. Makanan dipecah menjadi bahan dasarnya di
dalam saluran pencernaan, karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh
usus, kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
digunakan sebagai energi. Agar dapat berfungsi sebagai energi, zat makanan harus
masuk dulu ke dalam sel untuk diolah.
Insulin memegang peranan penting dalam proses metabolisme, insulin
bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk diolah menjadi energi. Namun,
ketersediaan insulin saja tidak cukup menjamin proses metabolisme dapat
berlangsung normal. Hal ini juga bergantung pada kepekaan reseptor pada insulin
yang terletak pada dinding sel sasaran. Ketidakpekaan reseptor insulin
mengakibatkan insulin tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga kadar
glukosa dalam darah meningkat. Keadaan ini mengakibatkan seseorang menderita
penyakit diabetes.
Berbagai proses patologis berperan dalam terjadinya DM, mulai dari
kerusakan autoimun dari sel pankreas yang berakibat defisiensi insulin sampai
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada DM disebabkan kurangnya
kerja insulin pada jaringan target (Adnyana et al. 2006).
(#&# #$ % " && %'"
Gejala utama diabetes yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar), polidipsia
(meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil), serta
kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (DiPiro et al. 2005). Gejala
dan tanda-tanda penyakit DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronis. Gejala akut penyakit DM pada tiap penderita tidaklah sama, bahkan
hampir sama dengan gejala utama. Namun, bila keadaan tersebut tidak cepat
diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya
insulin, yaitu nafsu makan mulai berkurang bahkan kadang-kadang disusul
dengan mual, mudah lelah bahkan penderita akan jatuh koma.
Gejala kronis penyakit DM antara lain kesemutan, kulit terasa panas, terasa
tebal di kulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di sekitar
kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun
(Tjokroprawiro, 2006). Gejala-gejala ini harus mendapat perawatan yang
memadai.
Penderita DM tanpa perawatan memadai dalam jangka panjang dapat
memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
a. gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
b. gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal,
c. gangguan kardiovaskular,
d. gangguan pada sistem saraf sehingga terjadi disfungsi saraf autonom, kaki gangren, amputasi, dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria,
!))*&*!)#! #$ % " && %'"
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Diabetes Mellitus
(DM) menjadi tiga jenis:
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM) ialah diabetes yang terjadi karena
berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh
anak-anak maupun orang dewasa.
Pada saat ini, DM tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga saja tidak
bisa menyembuhkan ataupun mencegah DM tipe 1. Kebanyakan penderita DM
tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai
dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin
umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada DM tipe 1 ialah kesalahan
reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas
tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
DM tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan
terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Keadaan tersebut merupakan suatu
gangguan katabolisme yang disebabkan, karena hampir tidak terdapat insulin
dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel-sel beta pankreas gagal
merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan
menurunkan hiperglukagonemia, serta peningkatan kadar gukosa darah (Katzung,
2002)
Diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor
pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling
awal sekalipun, ialah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik
ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga).
Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian
jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan
pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM) merupakan tipe DM yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan
kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk
yang mengekspresikan disfungsi sel beta, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap
insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada
kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Patogenesis dari DM tipe 2 sangat kompleks termasuk interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan. Latar belakang etnis, jenis kelamin, dan usia merupakan faktor
penting dalam menentukan perkembangan risiko diabetes tipe ini (Buse et al. 2003).
Pada tahap awal kelainan yang muncul ialah berkurangnya sensitivitas
terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam
darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari
hati, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan
terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral
diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin.
Obesitas ditemukan pada 90% dari pasien dunia dengan diagnosis diabetes tipe 2.
Faktor lain meliputi faktor keturunan, walaupun pada beberapa dekade terakhir
terus meningkat pengaruhnya pada remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik
(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan
berat badan.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa
plasma puasa > 140 mg/dl) (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
3. Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)
Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua (Dirjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Pada pasien ini toleransi
glukosa dapat kembali normal setelah persalinan.
!#+ ,# &',*"# -#! !"'& !
Himsworth dan Ker (1939) memperkenalkan pendekatan pengukuran
insulin secara in vivo untuk pertama kalinya. Model matematika telah digunakan
untuk memperkirakan sensitivitas insulin dan hilangnya glukosa. Perintis
penelitian di bidang ini ialah Bolie (1961) dalam model yang sangat sederhana.
Dengan G = G(t) menunjukkan konsentrasi glukosa, I = I (t) menunjukkan
insulin, dan k, a1, a2, a3, a4 ialah parameter konstan. Dalam model ini proses menghilangnya glukosa diasumsikan sebagai fungsi linier baik dari insulin
maupun glukosa. Sekresi insulin sebanding dengan konsentrasi glukosa dan
menghilangnya insulin sebanding dengan konsentrasi insulin plasma.
Publikasi mengenai sensitivitas insulin berkembang, salah satunya ialah
model minimal yang diperkenalkan oleh Bergman dan Cobelli pada awal tahun
delapan puluhan (Boutayeb & Chetouani, 2006). Meskipun model minimal
merupakan model sederhana, tetapi minimal ini terus berkembang dan digunakan
hingga saat ini, baik sebagai alat klinis dan pendekatan untuk memahami efek
gabungan sekresi insulin dan sensitivitas insulin pada toleransi glukosa dan risiko
pemahaman tentang kinetika insulin in vivo, seperti sifat yang relatif penting
akibat kegagalan sel beta dalam patogenesis diabetes.
Model minimal glukosa dan insulin biasanya digunakan untuk menganalisis
hasil tes toleransi glukosa intravena (FSIGT) pada manusia dan hewan di
laboratorium, sampel darah diambil dari orang yang berpuasa pada interval waktu
teratur, setelah injeksi intravena glukosa tunggal, diambil sampel darah untuk
dianalisa kadar glukosa dan insulin.
Gambar 1 Data uji FSIGT dari subjek normal (Pacini dan Bergman 1986 diacu dalam Riel N van 2004).
Secara kualitatif, kadar glukosa dalam plasma mulai dari puncak, karena
adanya injeksi glukosa, kemudian turun ke keadaan minimum sampai di bawah
kadar glukosa basal. Kadar glukosa secara bertahap kembali ke tingkat basal.
Kadar insulin dalam plasma cepat naik ke puncak segera setelah injeksi glukosa,
kemudian turun ke tingkat yang lebih rendah, tetapi masih di atas tingkat insulin
basal, naik lagi ke puncak yang lebih rendah, dan kemudian secara bertahap turun
ke tingkat basal (Riel N van, 2004).
Model minimal glukosa dan insulin memberikan gambaran kuantitatif
mengenai konsentrasi glukosa dan insulin dalam sampel darah setelah
penyuntikan glukosa. Model minimal glukosa memiliki dua kompartemen
fisiologi, yaitu kompartemen plasma dan kompartemen jaringan interestisial.
Model minimal insulin hanya mempunyai satu kompartemen, yaitu kompartemen
plasma. Model minimal glukosa dan insulin dapat menjelaskan tentang empat hal
yang berhubungan dengan metabolisme, terutama pada saat tes toleransi glukosa
intravena.
Metabolisme tersebut meliputi:
a. SI = Sensitivitas insulin, mengukur kemampuan insulin untuk meningkatkan proses penghilangan glukosa menjadi energi,
b. SG = Efektivitas glukosa, mengukur kemampuan glukosa untuk mengurangi sendiri konsentrasinya dalam plasma, tidak bergantung pada peningkatan
insulin,
c. φ1 = Responsivitas pankreas fase pertama, mengukur besarnya puncak pertama
pada insulin plasma karena injeksi glukosa,
d. φ2 = Responsivitas pankreas fase kedua, mengukur besarnya puncak kedua
setalah periode refraktori fase pertama.
*- & ! +#& '!%', !#+ ,# &',*"# -#! !"'& !
Dinamika glukosa dan insulin bergantung pada tiga kompartemen, yaitu
kompartemen plasma glukosa, plasma insulin, dan jaringan interestisial. Kelajuan
masuk dan keluarnya glukosa dari kompartemen plasma sebanding dengan
perbedaan antara kadar glukosa plasma, G(t), dan kadar glukosa basal, Gb. Jika
kadar glukosa plasma turun di bawah kadar glukosa basal, glukosa akan masuk ke
dalam kompartemen plasma, dan sebaliknya, jika kadar glukosa plasma naik maka
glukosa akan keluar dari kompartemen plasma. Glukosa plasma juga keluar dari
kompartemen plasma melalui jalur kedua yang sebanding dengan aktivitas insulin
pada jaringan interestisial X(t). Kelajuan keluar masuknya insulin dalam plasma
sebanding dengan perbedaan antara kadar insulin plasma I(t) dan kadar insulin
basal Ib. Jika kadar insulin plasma turun di bawah tingkat basal, insulin akan
keluar dari kompartemen jaringan interestisial, dan sebaliknya. Insulin juga
menghilang dari kompartemen jaringan interestisial melalui jalur kedua yang
setara dengan jumlah insulin dalam kompartemen jaringan interestisial. Hal ini