Lampiran 1. Hasil analisis bivariat beberapa variabel bebas terhadap kejadian
potensi interaksi obat dengan Mmenggunakan uji Chi square pada program SPSS Advanced 20.0
Crosstab
USIA * INTERKSIOBAT
usia * INTERKSIOBAT Crosstabulation
INTERKSIOBAT Total TIDAK YA
>65 tahun
Count 78 33 111
% within INTERKSIOBAT 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 79,8% 20,2% 100,0%
Case Processing Summary Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 12,769a 5 ,026
Likelihood Ratio 12,628 5 ,027
Linear-by-Linear
Association 11,551 1 ,001
N of Valid Cases 721
a. 1 cells (8,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,63.
JUMLAHOBAT * INTERKSIOBAT
Crosstab
INTERKSIOBAT Total
TIDAK YA
JUMLAHOBAT >5
Count 29 27 56
Expected Count 44,7 11,3 56,0
% within JUMLAHOBAT 51,8% 48,2% 100,0% % within INTERKSIOBAT 5,0% 18,5% 7,8%
% of Total 4,0% 3,7% 7,8%
<5
Count 546 119 665
Expected Count 530,3 134,7 665,0
% within JUMLAHOBAT 82,1% 17,9% 100,0% % within INTERKSIOBAT 95,0% 81,5% 92,2%
% of Total 75,7% 16,5% 92,2%
Total
Count 575 146 721
Expected Count 575,0 146,0 721,0
% within JUMLAHOBAT 79,8% 20,2% 100,0% % within INTERKSIOBAT 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 79,8% 20,2% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 29,402a 1 ,000
Continuity Correctionb 27,554 1 ,000
Likelihood Ratio 24,156 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 29,361 1 ,000
N of Valid Cases 721
Lampiran 2. Data potensi interaksi obat analgetika pada pasien rawat jalan poli
Farmakodinamik Minor 4 diklofenak mengurangi efek furosemida dengan
farmakodinamik antagonisme. interaksi Kecil atau tidak signifikan. NSAID menghambat prostaglandin.
Mungkin perlu dosis diuretik loop yang lebih tinggi. Pertimbangkan anti-inflamasi lain jika diuresis tidak memadai.
2 Natrium diklofenak-Cotrimoxaz ole
Farmakokinetik Minor 1 sulfametoksaoe akan
meningkatkan kadar diklofenak dengan
mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP2C9/10. interaksi Kecil atau tidak signifikan.
NA
3 Natrium diklofenak– telmisartan
Famakodinamik Moderate 28 diklofenak mengurangi efek telmisartan secara
Lampiran 2. (Lanjutan)
ginjal, sehingga mempengaruhi homeostasis cairan dan dapat
Farmakodinamik Moderate 1 diklofenak mengurangi efek terazosin secara farmakodinami k antagonisme. Signifikan interaksi mungkin terjadi, pantau secara ketat. NSAID
Lampiran 2. (Lanjutan)
Farmakodinamik Moderate 5 diklofenak mengurangi efek captopril secara farmakodinami k antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek
antihipertensi.
Pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi
Farmakodinamik Moderate 7 diklofenak, metil prednisolon. Mungkin meningkatkan toksisitas yang lain secara farmakodinami k sinergisme. Signifikan interaksi mungkin, pantau secara ketat. Peningkatan risiko ulserasi.
Perlu penyesuaian dosis jika mengkonsumsi kedua obat. Selama terapi bersamaan, pasien disarankan untuk
Lampiran 2. (Lanjutan)
8 Natrium diklofenak– Valsartan
Farmakodinamik Moderate 5 diklofenak mengurangi efek valsartan secara farmakodinami k antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati- hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek
antihipertensi.
Pasien yang mengkonsumsi Angiostensin II antagonis jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
9 Natrium diklofenak– Probenesid
Farmakokinetik Minor 1 Klirens Plasma NSAID berkurang melalui jalur ginjal dan empedu.
Tidak ada intervensi segera yang diperlukan. Penyesuaian dosis probenesid jika toksisitas terjadi.
10 Natrium diklofenak– Hidroklortiazid
Farmakokinetik Minor 2 hidroklortiazid akan
meningkatkan tingkat atau efek diklofenak dengan kompetisi obat untuk klirens tubular ginjal. Kecil atau tidak signifikan interaksi.
Lampiran 2. (Lanjutan)
11 Natrium diklofenak– Kandesartan
Farmakodinamik Moderate 2 diklofenak mengurangi efek kandesartan secara farmakodinami k antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek
antihipertensi.
Pasien yang mengkonsumsi Angiostensin II antagonis jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
12 Natrium diklofenak– Aspirin
Farmakodinamik Moderate 2 Penggunaan gabungan dosis rendah atau tinggi aspirin dengan diklofenak dapat meningkatkan potensi toksisitas, gastrointestinal yang serius (GI) termasuk peradangan, perdarahan dan ulserasi.
Diberi penjelasan Selama terapi bersamaan, pasien harus disarankan untuk
mengkonsumsi obat bersamaan dengan makanan dan segera melaporkan tanda dan gejala GI ulserasi dan perdarahan seperti sakit perut, kembung, pusing
mendadak atau ringan, mual, muntah, hematemesis, anoreksia, dan melena. 13 Natrium
diklofenak– Gliquidone
Unknown Moderate 2 gliquidone
dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Lampiran 2. (Lanjutan)
mungkin interaksi Signifikan, Pantau secara ketat. Risiko hipoglikemia.
14 Natrium diklofenak– Ramipril
Farmakodinamik Moderate 2 diklofenak mengurangi efek ramipril secara farmakodinamik antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi vasodilatasi ginjal, dan mempengaruhi homeostasis cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi.
Pasien yang mengkonsumsi ACE Inhibitor jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
15 Meloksikam– Valsartan
Farmakodinamik Moderate 6 meloksikam mengurangi efek valsartan secara farmakodinamik antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat.
Lampiran 2. (Lanjutan) cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi
Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik
16 Meloksikam– Irbesartan
Farmakodinamik Moderate 12 Meloksikam mengurangi pantau secara ketat. NSAID menghambat cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi
Pasien yang mengkonsumsi Angiostensin II antagonis jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
17 Meloksikam– Telmisartan
Farmakodinamik Moderate 7 meloksikam mengurangi interaksi
Lampiran 2. (Lanjutan)
berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi.
lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
18 Meloksikam– Terazosin
Farmakodinamik Moderate 1 meloksikam mengurangi efek terazosin dengan farmakodinami k antagonisme. Interaksi mungkin signifikan, pantau secara ketat. NSAID menghambat
Farmakodinamik Moderate 2 Penggunaan gabungan dosis rendah atau tinggi aspirin dengan meloksikam dapat meningkatkan potensi gastrointestinal yang serius (GI) toksisitas, termasuk peradangan, perdarahan dan ulserasi.
Diberi penjelasan Selama terapi bersamaan, pasien harus disarankan untuk
Lampiran 2. (Lanjutan)
20 Meloksikam– Glimepirid
Unknown Moderate 1 meloksikam
meningkatkn efek glimepirid dengan mekanisme yang tidak diketahui. Interaksi signifikan mungkin, pantau secara ketat. Risiko hipoglikemia.
perlu penyesuaian dosis atau lebih sering glimepirid dan meloxicam
21 Meloksikam-Probenesid
Farmakokinetik Minor 1 Klirens plasma dari NSAID berkurang melalui jalur ginjal dan empedu.
Tidak ada intervensi segera yang diperlukan. Penyesuaian dosis probenesid jika toksisitas terjadi. 22
Meloksikam-Furosemida
Farmakodinamik Minor 2 meloksikam mengurangi k antagonisme. Interaksi Kecil atau tidak signifikan. NSAID menghambat sintesa prostaglandin.
Mungkin perlu dosis diuretik loop yang lebih tinggi. Pertimbangkan anti-inflamasi lain jika diuresis tidak memadai.
23 Meloksikam– Metil prednisolon
Farmakodinamik Moderate 1 meloksikam, metil prednisolon, meningkatkan toksisitas yang lain dengan Farmakodinam ik sinergisme. mungkin Interaksi Signifikan, pantau secara ketat. Peningkatan risiko ulserasi GI.
Perlu penyesuaian dosis jika mengkonsumsi kedua obat. Selama terapi bersamaan, pasien disarankan untuk
Lampiran 2. (Lanjutan)
24 Meloksikam– Captopril
Farmakodinamik Moderate 3 meloksikam mengurangi efek captopril secara farmakodinami k antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi.
Pasien yang mengkonsumsi ACE Inhibitor jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
25 Meloksikam– Amidarone
Farmakokinetik Minor 1 Amiodaron akan
meningkatkan tingkat atau efek dari meloksikam dengan mempengaruhi enzim hati CYP2C9 / 10. Kecil atau tidak interaksi signifikan.
NA
26 Meloksikam– Gliquidone
Unknown Moderat 2 meloksikam
meningkatkan efek
gliquidone dengan mekanisme yang tidak diketahui. Interaksi Signifikan mungkin, pantau secara ketat. Risiko hipoglikemia.
Lampiran 2. (Lanjutan)
27 Meloksikam-Ramipril
Farmakodinamik Moderate 1 meloksikam mengurangi efek ramipril secara pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruh i vasodilatasi ginjal, sehingga mempengaruh i homeostasis cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi
Pasien yang mengkonsumsi ACE Inhibitor jangka panjang, dan diberi terapi bersamaan dengan NSAID, tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi
Frmakodinamik Moderate 2 Asam mefenamat, ik sinergisme. Mungkin Interaksi Signifikan, pantau secara ketat. Peningkatan risiko ulserasi GI.
Perlu penyesuaian dosis jika mengkonsumsi kedua obat. Selama terapi bersamaan, pasien disarankan untuk
mengkonsumsi obat bersama dengan makanan Interaksi terutama terjadi pada lansia atau orang-orang dengan kondisi fisik lemah.
29 Asam mefenamat-Telmisartan
Lampiran 2. (Lanjutan) pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruh i vasodilatasi ginjal, sehingga mempengaruh i homeostasis cairan dan dapat tekanan darah harus dipantau lebih sering setelah memulai, penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi yang tidak diketahui. mungkin Interaksi signifikan, pantau secara ketat. Risiko hipoglikemia.
NA
31 Asam mefenamat-Irbesartan
Farmakodinamik Moderate 4 Asam mefenamat pantau secara ketat. NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruh i vasodilatasi ginjal,
Lampiran 2. (Lanjutan)
sehingga mempengarui homeostasis cairan dan dapat
Farmakodinamik Moderate 1 Penggunaan gabungan dosis rendah atau tinggi aspirin dengan asam yang serius (GI), termasuk peradangan, perdarahan dan ulserasi.
Diberi penjelasan Selama terapi bersamaan, pasien harus disarankan makanan dan segera melaporkan tanda dan gejala GI ulserasi dan perdarahan seperti sakit perut, kembung, pusing mendadak atau ringan, mual, muntah, hematemesis, anoreksia, dan melena. 34 Asam
mefenamat– Probenesid
Farmakokinetik Minor 2 Klirens plasma dari NSAID berkurang melalui jalur ginjal dan empedu.
Tidak ada intervensi segera yang diperlukan. Penyesuaian dosis probenesid jika toksisitas terjadi. 33 Asam
mefenamat– Captopril
Farmakodinamik Moderate 1 Asam mefenamat mengurangi efek captopril secara farmakodinami k antagonisme. Potensi interaksi berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan pantau secara ketat.
Lampiran 2. (Lanjutan)
NSAID menghambat sintesa prostaglandin, mempengaruhi cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi.
penghentian, atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi secara periodik.
35 Ibuprofen-Aspirin
Farmakodinamik Major 3 ibuprofen mengurangi efek aspirin. Kemungkinan interaksi serius atau
mengancam jiwa. Pantau secara ketat. Gunakan alternatif jika tersedia. Ibuprofen mengurangi dari aspirin dengan analgesik yang tidak
mengganggu efek antiplatelet (misalnya, asetaminofen). Pada pasien yang menggunakan Ibuprofen dan Aspirin, konsumsi Ibuprofen minimal 8 jam sebelum atau 30 menit setelah penggunaan Aspirin. gunakan NSAID setidaknya 1 jam setelah mengkonsumsi salut enterik Aspirin untuk tindakan kardioprotektif. 36
Ibuprofen-Metronidazole
Farmakokinetik Minor 1 metronidazole meningkatkan tingkat atau efek dari ibuprofen dengan mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP2C9 / 10. Kecil atau tidak signifikan interaksi.
Lampiran 2. (Lanjutan)
37 Ibuprofen- Cefadroxil
Farmakokinetik Minor 1 cefadroxil akan
meningkatkan tingkat atau efek dari ibuprofen dengan asam (anionik) kompetisi obat untuk tubular klirens ginjal. Interaksi kecil atau tidak signifikan.
NA
38 Parasetamol-Metronidazole
Farmakokinetik Minor 4 metronidazole akan
meningkatkan tingkat atau efek dari acetaminophen dengan mempengaruhi enzim hati CYP2E1. interaksi kecil atau tidak signifikan.
NA
39 Parasetamol-Metoklopramid
Farmakokinetik Minor 2 metoclopramid meningkatkan berlaku untuk bentuk oral dari kedua obat. interaksi Kecil atau tidak
Farmakokinetik Minor 2 Propranolol Tampaknya Menghambat sistem enzim yang bertanggung jawab untuk glukoronidasi dan oksidasi asetaminofen.
Berdasarkan dokumentasi yang tersedia saat ini, tidak ada tindakan pencegahan khusus diperlukan
41 Parasetamol– Diazepam
Farmakokinetik Minor 2 diazepam menurunkan interaksi Kecil.
Lampiran 2. (Lanjutan)
42 Parasetamol-Penytoin
Farmakokinetik Moderate 3 Induksi metabolisme fungsi hati dianjurkan. Pasien harus. dianjurkan untuk menghindari dosis besar atau penggunaan jangka panjang acetaminophen. 43
Kodein-quetiapine
Farmakodinamik Moderate 1 Kodeindan quetiapine keduanya meningkatkan sedasi. Potensi berinteraksi, lakukan pemantauan.
Selama menggunakan obat ini, pasien harus dipantau karena Pasien rawat jalan harus dinasehati untuk menghindari kegiatan berbahaya yang memerlukan kewaspadaan mental dan koordinasi motorik.
44 Kodein– Diazepam
Farmakodinamik Moderate 2 diazepam dan kodein keduanya meningkatkan sedasi. Potensi berinteraksi, lakukan pemantauan.
Lampiran 2. (Lanjutan)
kewaspadaan mental dan koordinasi motorik. 45 Mst
continus-Amitriptilin
Farmakodinamik Moderate 20 Amitriptilin dan morfin meningkatkan serotonin, potensi interaksi berbahaya, gunakan dengan hati- hati dan pantau secara ketat.
Selama menggunakan obat ini, pasien harus dipantau karena berpotensi berlebihan pada SSP dan menyebabkan depresi pernafasan. Pasien rawat jalan harus dinasehati untuk menghindari kegiatan berbahaya yang memerlukan kewaspadaan mental dan koordinasi motorik.
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, S. (2012). “Jurnal Ilmiah Kefarmasian”. Identifikasi Potensi Interaksi Obat pada Pasien Rawat Inap Penyakit Dalam Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Dengan Metode Observasional Retrospektif Periode November 2009 - Januari 2010. 2. (2): 195-203.
Bakri, T. K. (2011). Profil Peresepan Obat Pada Pasien Rawat Jalan Jamkesmas Dari Poli Kardiovaskular Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode Januari–Maret 2011. Skripsi. Program studi Sarjana Farmasi: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Halaman 23-27. Bertoli, R., Bissigb, M., Caronzolac, D., Odoricod, M., Pons, M., Bernasconi, E.
(2010). Assessment Of Potential Drug-drug Interactions at Hospital Discharg. Swiss Medical Weekly. Early Online Publication Halaman 340-365.
Booting, R.M. (2006). “Journal of Physiology and Pharmacology”. Inhibitors of Cyclooxygenases: mechanisms, selectivity and use. 57. (5): 113-124.
Builders, M.I. (2011). “Journal of Pharmaceutical Sciences and Research”. Prescription Patterns of Analgesics in a Community Hospital in Nsukka. 3. (12): 1593-1598.
Churi, S., Nag, K., Arvind., Umes, M. (2011). “Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research”. Assessment of drug-drug interactions in hospitalised patients in india. 4. (1): 62-65.
DPR RI. (2009). Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Drugs.com. Diakses 5 Agustus – 21 Oktober 2014.
Dubova, S., Vlandislavovna, Morales, H., Reyes, Arreola, L., Del Pilar Torres, Ortega, M., Suarez. (2007). “ BMC Health Service Research”. Potential drug-drug and drug-disease interactions in prescriptions for ambulatory patients over 50 years of age in family medicine clinics in Mexico City. 7. (147): 1472-6963.
Eko, T. (2013). “Jurnal Ilmiah Kedokteran”. Terapi Farmakologi Nyeri Neuropatik Pada Lanjut Usia. 44. (4): 37-43.
Jas, A. (2008). Perihal Resep dan Dosis, Edisi kedua, Medan: Penerbit USU Press. Halaman 1-10.
Joenoes, N.Z. (2002). Ars Prescribending Resep Rasional. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 135-142.
Legese. C. (2013). “ Int J Basic Clin Pharmacol”. Assessment of potential drug-drug interactions among outpatients receiving cardiovascular medications at Jimma University specialized hospital, South West Ethiopia. 2. (2): 144-152.
Lin, P. (2011). Drug Interaction and Polypharmacy in the Elderly. Canada: The Canadian Alzheimer Disease Review. Halaman 10-14.
Maurer, P.M., dan Bartkwoski, R.R. (1993). “Drug safety”. Drug Interactions of Clinical Significance with Opioid Analgesics. 8. (1): 30-48.
Medscape.com. online 5 Agustus – 21 Oktober 2014. http://www.medscape.com/ druginfo/ druginterchecker
Menkes RI. (2014). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Halaman 12.
Mozayani, A., dan Raymond, L.P. (2012). Interaksi Obat Pedoman Klinis Forensik. Jakarta: EGC. Halaman 301-320.
Nikica, M. (2011). “Clinical Sciences”. Adverse drug reactions caused by drug-drug interactions reported to Croatian Agency for Medicinal Products and Medical Devices: a retrospective observational study. 10: 52-604.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman. 127.
Quinn D.I., dan Day R.O. (1997). Clinically Important Drug Interactions, in Avery’s Drug Treatment. Edisi ke-4. Adis International Limited. Aucland New Zealand. Halaman 301.
Setiawan, T. (2011). Studi Retrospektif Interaksi Obat Pada Pasien Jamkesmas Di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan. Program Studi Sarjana Farmasi: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pharmacology. Halaman 44-62.
Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain: Pharmaceutical Press. Halaman 1-9..
Tatro, D.S. (2009). Drug Interaction Facts, San Carlos, California: A Wolters Kluwer Health Inc.
Utami, M.G. (2013). Analisis Potensi Interaksi Obat Antidiabetik Oral Pada Pasien Di Instalasi Rawat Jalan Askes Rumah Sakit Dokter Soedarso Pontianak. Periode Januari- Maret 2013. Skripsi. Halaman 17-28.
Waning B., dan Montagne, M. (2007). Pharmacoepidemiology, Edisi Pertama, Boston: Department of Pharmacy Practice Massachusetts College of Pharmacy and Allied Health Sciences. Halaman 6-7.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif cross sectional, yaitu jenis survei yang menggambarkan situasi atau keadaan tertentu. Pengambilan data pasien secara retrospektif adalah penelitian yang berusaha melihat kebelakang, artinya pengambilan data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (Notoatmodjo, 2010).
Metode deskriptif cross sectional yang disebut metode ecological studies adalah suatu penelitian yang menggambarkan kondisi suatu populasi, mengambarkan suatu penyakit dan permasalahan penggunaan obat dan hal-hal yang mempengaruhinya (Waning dan Montagne, 2007).
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
3.2.1 Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 – Juli 2014
3.2.2 Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
3.3.2. Sampel
Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah:
a. Lembar resep pasien rawat jalan dari Poli Penyakit Dalam dan atau menggunakan analgetika dari poli lain di apotek RSUP H. Adam Malik Medan.
b. mendapat terapi ≥ 2 obat c. Kategori semua gender Kriteria eksklusi adalah:
a. Lembar resep yang tidak lengkap (tidak memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian).
3.4 Defenisi Operasional
a. Profil penggunaan adalah garis besar tentang penggunaan obat analgetika dilihat dari jenis obat, jenis kelamin dan usia pasien.
b. Potensi interaksi obat adalah potensi aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.
c. Persentase kejadian potensi interaksi analgetika adalah persentase kejadian potensi interaksi obat analgetika yang terjadi.
d. Usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir, kelompok usia ditentukan menjadi 18 – 25 tahun, 26 – 35 tahun, 36 – 45 tahun, 46 – 55 tahun, 56 – 65 tahun dan >65 tahun.
f. Jumlah obat berapa banyak obat yang diberikan dalam resep, jumlah obat ditentukan menjadi < 5 obat dan ≥ 5 obat.
g. Mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara farmakokinetik, farmakodinamik atau unknown.
h. Tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, dan major.
i. Interaksi farmakokinetik adalah salah satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain yang diberi secara bersamaan. j. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang satu obat menginduksi
perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik obat lain.
k. Unknown adalah kejadian interaksi obat yang telah tercatat dalam literatur tetapi mekanisme interaksinya belum diketahui secara jelas.
l. Tingkat keparahan minor efek biasanya ringan, kemungkinan dapat mengganggu tetapi seharusnya tidak secara signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan.
m. Tingkat keparahan moderate menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan.
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa lembar resep pasien rawat jalan Poli Penyakit Dalam dan data pendukung dari SIRS.
3.5.2 Teknik pengumpulan data
Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan lembar resep pasien rawat jalan Poli Penyakit Dalam di apotek, dan melengkapi data dengan menggunakan data pendukung dari SIRS. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a. mengelompokkan data lembar resep pasien dan data pendukung SIRS yang menggunakan obat analgetika berdasarkan kriteria inklusi.
b. mengelompokkan data penggunaan obat analgetika pasien meliputi nama obat, jumlah obat, jenis obat, diagnosa dan aturan pakai.
c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya potensi interaksi obat analgetika pada peresepan obat pasien rawat jalan dari Poli Penyakit Dalam berdasarkan studi literatur.
3.5.3 Seleksi data
Memilah data yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
3.6 Pengolahan Data
dan berurutan berdasarkan studi literatur Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, serta digunakan juga situs internet terpercaya (http://www.medscape
com/druginf
.php). Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Ditentukan
persentase potensi interaksi obat-obat secara keseluruhan, dihitung apakah ada pengaruh usia dan jumlah obat terhadap kejadian potensi interaksi obat analgetika menggunakan program SPSS versi 20.0. Selain itu, dihitung juga persentase mekanisme interaksi obat baik yang mengikuti mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown, ditentukan jenis-jenis obat yang sering berpotensi interaksi dan tingkat keparahannya serta dihitung rata- rata jumlah obat yang digunakan dilihat dari peningkatan usia. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.
3.7 Bagan Alur Penelitian
Selengkapannya mengenai gambaran pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Gambaran pelaksanaan penelitian
3.8 Langkah Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.
b. menghubungi Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan untuk mendapat izin penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.
Pasien Rawat Jalan Poli Penyakit Dalam
Pengambilan data :
- Lembar Resep
- Data dari SIRS Pasien yang mendapat obat analgetika
Potensi interaksi obat analgetika
Terjadi potensi interaksi
Persentase potensi interaksi
Obat yang sering berpotensi
interaksi
Penarikan Kesimpulan Tidak terjadi
potensi interaksi
Profil Penggunaan obat analgetika
Analisa Data
Tingkat Keparahan
Interaksi Mekanisme
Interaksi
c. mengumpulkan data berupa lembar resep dan data pendukung SIRS yang tersedia di RSUP H. Adam Malik Medan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan lembar resep, data pendukung dari SIRS pada pasien rawat jalan Poli Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan periode Mei – Juli 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi diperoleh sampel 721 lembar resep.
4.1.1 Profil penggunaan analgetika pasien rawat jalan poli penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan periode Mei 2014 – Juli 2014.
Berdasarkan hasil pengamatan pada 721 lembar resep pasien, obat analgetika yang paling banyak digunakan adalah natrium diklofenak 25 mg 36,33%, parasetamol tab 500 mg 25,84% dan meloksikam tab 15 mg 16,38% yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Profil penggunaan obat analgetika pasien rawat jalan poli penyakit
dalam RSUP H. Adam Malik Medan periode Mei 2014 – Juli 2014
No Nama Obat Tingkat penggunaan
obat %
Asam mefenamat Ibuprofen tab 200 mg Ibuprofen tab 400 mg Kaltrofen supp 15 mg Kodein tab 10 mg Kodein tab 20 mg Meloksikam 7,5 mg Meloksikam 15 mg Meloksikam supp 15 mg Mst continus tab 10 mg Natrium diklofenak 25 mg Parasetamol tab 500 mg Piroxicam tab 10 mg
30
4.1.2 Karakteristik umum subjek penelitian
Berdasarkan sampel yang diambil dari 721 lembar resep pasien yang menggunakan analgetika dalam lembar resepnya, diperoleh gambaran umum karakteristik subjek yang dominan antara lain 62% perempuan; 33,43% usia 46 – 55 tahun; 92,20% jumlah obat dalam resep <5 obat. Karakteristik umum subjek yang diteliti secara garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian
No Karakteristik subjek Jumlah resep (n=721)
% (Jumlah resep)
1
2
3
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Usia 18 – 25 tahun Jumlah Obat
< 5 obat
4.1.3 Gambaran potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
Tabel 4.3 Gambaran potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
No Kriteria Subjek
Total Pasien (n=721)
Berinteraksi % Tidak
Berinteraksi %
1
Kelompok Usia 18 – 25 tahun
Jumlah Obat
< 5 obat
Penelitian terhadap 721 lembar resep pasien mengenai kejadian potensi interaksi obat dan faktor yang mempengaruhinya menggambarkan bahwa:
a. Potensi interaksi obat terjadi pada pasien dengan kelompok umur 46 - 55 tahun tahun persentasenya paling tinggi yaitu 5,83%
Tabel 4.4 Diagnosa penyakit yang mengalami potensi interaksi obat analgetika
subjek penelitian
4.1.4 Gambaran kejadian potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
Berdasarkan analisis terhadap 721 resep pasien, diperoleh persentase potensi interaksi obat analgetika yaitu 20,25%, ditemukan 180 kasus potensi interaksi, terdiri dari 45 jenis kejadian potensi interaksi obat analgetika (Tabel 4.5). Obat yang paling sering mengalami potensi interaksi adalah natrium diklofenak dengan persentase 42,78%, meloksikam 22,22% dan asam mefenamat 12,22% (Tabel 4.6), dengan mekanisme interaksi farmakodinamik 83,89%, farmakokinetik 12,22%, dan unknown 3,89% (Tabel 4.7). Tingkat keparahan potensi interaksi obat antara lain minor 13,89%, moderate 84,44%, dan major 1,67% (Tabel 4.8). Kejadian potensi interaksi obat analgetika pada subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5.
No Diagnosa penyakit Jumlah resep
berinteraksi (n=146) % 1
Abscess of liver Arthrosis Ca cervix
Congestive heart failure Dyspepsia
End-stage renal disease Essential thrombocytosis Gastritis
Hypertension Idiopathic gout Low back pain
Mild depressive episode
Other specified disorders of bone density and structure
Other spondylosis
Personal history of diseases of the circulatory system
Tabel 4.5 Jenis kejadian potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
No Nama obat Pola mekanisme
interaksi obat
Tingkat keparahan interaksi obat
Jumlah
Natrium diklofenak– Furosemida
Natrium diklofenak– Cotrimoxazole Natrium diklofenak– Telmisartan
Natrium diklofenak– Terazosin
Natrium diklofenak– Irbesartan
Natrium diklofenak– Captopril
Natrium diklofenak– Metil prednisolon Natrium diklofenak– Valsartan
Natrium diklofenak– Probenesid
Natrium diklofenak– Hidroklortiazid Natrium diklofenak– Kandesartan
Natrium diklofenak– Aspirin
Natrium diklofenak– Gliquidone
Natrium diklofenak– Ramipril prednisolon
Tabel 4.5 (Lanjutan) Asam mefenamat–Metil prednisolon
Asam mefenamat– Telmisartan Asam mefenamat– Gliquidone Asam mefenamat– Irbesartan
Asam mefenamat– Aspirin
Asam mefenamat– Captopril
Asam mefenamat– Probenesid Parasetamol– Propranolol
Parasetamol–Diazepam Parasetamol–Penytoin Kodein–Quetiapine Kodein–Diazepam Mst continus– Amitriptylin
Tabel 4.6 Jumlah obat analgetika yang mengalami potensi interaksi pada subjek
penelitian
Asam mefenamat Kodein
Tabel 4.7 Mekanisme interaksi obat analgetika subjek penelitian
Tabel 4.8 Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Analgetika Pada Subjek
Penelitian
4.1.5 Analisis bivariat
4.1.5.1 Faktor usia
Subjek yang memiliki persentase tertinggi adalah pasien dengan usia 46 – 55 tahun yaitu 33,43%. Begitu pula kejadian potensi interaksi obat juga lebih banyak terjadi pada pasien berusia 46 – 55 tahun yaitu 28,77%. Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia dapat ditunjukkan pada Tabel 4.9.
No Mekanisme interaksi obat Jumlah kejadian %
1 Interaksi farmakokinetik 22 12,22
2 Interaksi farmakodinamik 151 83,89
3 Interaksi unknown 7 3,89
Total 180
No Tingkat keparahan potensi
interaksi
Jumlah kasus %
1 Minor 25 13,89
2 Moderate 152 84,44
3 Major 3 1,67
Tabel 4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek penelitian
Usia
Potensi Interaksi Obat
Total Terjadi potensi interaksi Tidak terjadi potensi
interaksi total usia
Jumlah
Hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel usia dengan kejadian potensi interaksi obat menunjukkan keduanya bermakna secara statistik (nilai p < 0,05 ), sehingga dalam penelitian ini faktor usia berhubungan dengan kejadian potensi interaksi obat.
4.1.5.2 Faktor jumlah obat
Tabel 4.10 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat subjek
penelitian
Hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat menunjukkan keduanya bermakna secara statistik (nilai p < 0,05), sehingga dalam penelitian ini jumlah obat berhubungan dengan kejadian potensi interaksi obat.
Dari data yang diperoleh diketahui terjadi peningkatan rata-rata jumlah obat seiring dengan peningkatan usia, lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Grafik peningkatan rata-rata jumlah obat berdasarkan peningkatan
0
rata-rata jumlah obat
Jumlah obat
Potensi interaksi Obat
Total terjadi potensi interaksi Tidak terjadi potensi interaksi
Hubungan antara beberapa variabel yaitu usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat analgetika ditunjukkan pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Hubungan antara beberapa variabel dengan kejadian potensi interaksi
obat subjek penelitian
No Kriteria subjek
Total pasien (n=721)
Nilai P Berpotensi
interaksi %
Tidak berpotensi
interaksi %
2
Kelompok usia
0,026
Jumlah Obat
0,000
4.2 Pembahasan
4.2.1 Profil penggunaan obat analgetika pada pasien rawat jalan poli penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan periode Mei – Juli 2014
a. Jenis obat
b. Usia dan jenis kelamin pasien
Berdasarkan usia, pasien dengan usia 46 – 55 tahun persentase penggunaan analgetika yang paling tinggi yaitu 33,43% (Tabel 4.2), hal ini sama dengan penelitian Eko (2013) yang menyatakan insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur. Nyeri yang yang biasa diderita pasien yang mengalami penuaan berkaitan dengan kelainan muskuloskeletal (osteoartritis, artritis inflamasi, stenosis spinal, degenerasi diskus), dan nyeri neuropatik. (Eko, 2013). Dan dlihat dari jenis kelamin, pasien berjenis kelamin perempuan lebih banyak menggunakan analgetika dengan persentase 62% (Tabel 4.2). Hal ini sama dengan penelitian Soeroso (2007) yang menyatakan penggunaan analgetika lebih banyak pada pasien berjenis kelamin perempuan, dilihat dari persentase insiden nyeri lebih sering dialami oleh perempuan, salah satunya yaitu osteoartritis meningkat lebih tajam pada perempuan dibandingkan laki-laki yaitu pada usia > 50 tahun (usia menopause) hal ini menandakan bahwa adanya peran hormon akibat pengurangan kadar estrogen pada pascamenopause yang menyebabkan
pengeluaran β-endorfin berkurang, sehingga ambang sakit juga berkurang
menimbulkan keluhan nyeri di daerah kemaluan, tulang, dan otot (Soeroseo, 2007).
4.2.2 Persentase potensi interaksi obat analgetika pada subjek penelitian
dapat berhubungan dengan penurunan dosis terapi atau bahkan semakin meningkatnya toksisitas oleh karena semakin meningkatnya efektifitas suatu obat (Drugs.com, 2014). Monitoring terkait efek yang mungkin ditimbulkan oleh interaksi obat ini sangat diperlukan.
4.2.3 Obat analgetika yang sering mengalami potensi interaksi pada subjek penelitian
4.2.4 Mekanisme potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh persentase mekanisme interaksi obat farmakodinamik 83,89%, farmakokinetik 12,22% dan unknown 3,89% (Tabel 4.7).
a. Mekanisme farmakodinamik
Pada interaksi farmakodinamik jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak adalah natrium diklofenak-telmisartan dan mst continus-amitriptylin. Kejadian potensi interaksi antara natrium diklofenak-telmisartan diketahui natrium diklofenak mengurangi efek telmisartan secara farmakodinamik antagonisme, natrium diklofenak menghambat sintesa prostaglandin untuk vasodilatasi ginjal, sehingga mempengaruhi homeostasis cairan dan mengurangi efek antihipertensi, potensi interaksi ini diketahui berbahaya maka penggunaan kombinasi ini harus hati-hati dan dipantau secara ketat (Drugs.com, 2014).
Untuk mekanisme mst continus-amitriptylin, diketahui amitriptilin dan mst continus dapat meningkatkan kadar serotonin. potensi interaksi ini diketahui berbahaya maka penggunaan kombinasi ini harus hati-hati dan dipantau secara ketat (Drugs.com, 2014)
b. Mekanisme farmakokinetik
4.2.5 Tingkat keparahan potensi interaksi obat analgetika subjek penelitian
Tingkat keparahan interaksi juga dapat memberikan pengetahuan tentang prioritas monitoring pasien. Sebuah interaksi termasuk kedalam tingkat keparahan minor efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu, tetapi seharusnya
gunakan ibuprofen setidaknya 1 jam setelah penggunaan aspirin untuk tindakan kardioaktif (Tatro, 2009).
4.2.6 Hubungan karakteristik subjek penelitian dengan kejadian potensi interaksi obat analgetika
Dari hasil analisis chi-square Test diperoleh hubungan antara karakteristik subjek penelitian yang terdiri dari faktor usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat analgetika.
4.2.6.1 Faktor usia
Hasil analisis Chi-Square Test dengan program SPSS versi 20.0 menunjukkan bahwa usia dengan potensi interaksi obat bermakna secara statistik yaitu nilai p 0,026 (Tabel 4.9). Hasil analisis juga menampilkan persentase tertinggi berdasarkan usia, diperoleh usia > 65 tahun berpotensi interaksi obat 29,73% (Tabel 4.9). dapat juga dilihat pengaruh usia terhadap prevalensi potensi interaksi obat meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan yang ditunjukkan pada gambar 4.1, dengan peningkatan usia, rata-rata jumlah obat dalam resep juga meningkat.
interaksi obat potensial per jiwa terkait dengan usia dan peningkatan jumlah obat yang diresepkan. Lebih jauh lagi, diamati hubungan yang signifikan antara kedua faktor ini, ternyata pengaruh usia terhadap prevalensi interaksi obat-obat potensial meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan. Interaksi obat-obat potensial dapat diturunkan dengan meminimalkan jumlah obat yang diresepkan dengan hati-hati mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko, khususnya pada pasien yang mengalami penuaan (Lin, 2011).
4.2.6.2 Faktor jumlah obat
Hasil analisis Chi-Square Test dengan program SPSS versi 20.0 menunjukkan antara kejadian potensi interaksi obat dengan jumlah obat menunjukkan keduanya bermakna secara statistik p 0,000 (Tabel 4.10). Hasil analisis juga menampilkan persentase berdasarkan jumlah obat, diperoleh jumlah obat ≥ 5 berpotensi interaksi obat dominan 48,21% (Tabel 4.10) sedangkan <5 obat memiliki persentase potensi interaksi obat 17,89% (Tabel 4.10).
Hasil yang diperoleh sama dengan penelitian Utami (2013), yang menunjukkan secara umum kejadian interaksi obat pada subjek penelitian lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima ≥ 5 macam obat dibandingkan dengan pasien yang menerima < 5 macam obat. Hasil analisis hubungan antara jumlah obat dalam satu resep dengan kejadian interaksi obat menggunakan Chi Square Test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah obat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain:
a. Profil penggunaan analgetika dilihat dari jenis obat yang paling banyak digunakan pada pasien rawat jalan poli penyakit dalam di RSUP H. Adam Malik Medan adalah natrium diklofenak 25 mg 36,33%, parasetamol tab 500 mg 25,84% dan meloksikam tab 15 mg 16,38%. Dilihat dari karakteristik subjek, pasien berusia 46 – 55 tahun yang paling banyak menggunakan analgetika dengan persentase 33,43% dan dilihat dari jenis kelamin, pasien berjenis kelamin perempuan yang lebih banyak menggunakan analgetika dengan persentase 62%.
b. terjadi potensi interaksi obat analgetika pada pasien rawat jalan poli penyakit dalam di RSUP H. Adam Malik Medan
c. Persentase potensi interaksi obat analgetika pada pasien rawat jalan Poli Penyakit Dalam di RSUP H. Adam Malik Medan adalah 20.25% (146 kejadian) dari total 721 lembar resep.
d. Obat analgetika yang sering mengalami potensi interaksi adalah natrium diklofenak 42,78% meloksikam 22,22% dan asam mefenamat 12,22%.
5.2 Saran
a. diharapkan kepada dokter dan farmasis untuk lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya interaksi yang berkaitan dengan penggunaan analgetika.
b. diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti kejadian interaksi obat Analgetika dari pasien rawat inap Poli penyakit dalam di RSUP H. Adam Malik Medan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Obat
Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).
Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal. Hasil klinis interaksi obat-obat dapat dikategorikan sebagai antagonisme (yaitu, 1 + 1 < 2), sinergis (yaitu, 1 + 1 > 2) (Tatro, 2009).
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari satu macam obat, menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu seperti alkohol dan kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Menurut Setiawati (2007), Interaksi obat dianggap berbahaya secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawan, 2011).
Kesadaran yang tinggi dari profesional kesehatan tentang obat-obat yang sering diberikan untuk terapi, serta pengetahuan dokter tentang mekanisme interaksi obat akan sangat membantu untuk mengurangi/menghindari kemungkinan terjadinya interaksi, ketika obat-obat tertentu diberikan secara bersamaan atau diminum oleh penderita pada waktu yang bersamaan, karena hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi penderita.
Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Interaksi Obat: 1. Umur Penderita
a. Bayi dan balita
Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat lain. b. Orang Lanjut usia
Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering tidak memadai.
2. Penyakit yang sedang diderita
3. Fungsi Hati Penderita
Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.
4. Fungsi ginjal penderita
Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh biologik (t½) obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu: a. Dosis obat dikurangi
b. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau c. Kombinasi dari kedua hal diatas.
5. Kadar protein dalam darah/serum penderita
Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.
6. pH urin penderita
pH urin dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh. 7. Diet penderita
Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat. (Joenoes, 2002).
2.1.1 Mekanisme interaksi obat
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat:
2.1.1.1 Interaksi farmakokinetik
konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : a. Interaksi pada absorbsi obat
i. Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dengan dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
iii.Perubahan motilitas gastrointestinal
sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).
iv.Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).
b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein
setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul -molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya -molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
c. Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
ii. Induksi Enzim
iii.Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).
iv.Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek parasetamol (Medscape, 2014).
d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
iii.Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).
2.1.1.2 Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang satu obat menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik objek obat. Artinya, orang dapat dilihat perubahan kerja obat tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi farmakodinamik. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut tidak interaksi obat, dan memang sebagian besar tidak kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan (Tatro, 2009)
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008). b. Interaksi antagonis atau berlawanan
antihipertensi dengan mekanisme farmakodinamik antagonisme. NSAID menghambat sintesa prostaglandin untuk vasodilatasi ginjal (Mozayani dan Raymond, 2012).
2.1.2 Tingkat keparahan interaksi obat
Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko vs manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009).
menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).
2.2 Analgetika
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tan dan Rahardja, 2008).
Ambang nyeri didefenisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain intensitas rangsangan yang terendah pada saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam 2 kelompok yaitu: a. Analgetika perifer (non-narkotik)
b. Analgetika narkotik (Tan dan Rahardja, 2008).
2.2.1 Analgetika perifer
Analgetika perifer yaitu analgetika yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer.
Penggolongan analgetika perifer dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni: a. Parasetamol
b. Salisilat: asetosal, salisilamida dan bernorilat
c. Penghambat prostaglandin (NSAID); Ibuprofen, dll. d. Derivat antranilat: mefenaminat, glafenin
e. Derivat pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon dan metamizol f. Lainnya benzidamin (Tantum)
Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi ssp atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau antiradang.
Interaksi kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulansia, kecuali parasetamol. Obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasikan dengan aman untuk waktu maksimal dua minggu (Tan dan Rahardja, 2008).
2.2.2 Analgetika narkotik
Analgetik narkotik disebut juga opioid adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru opiod endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tan dan Rahardja, 2008).
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni: a. Agonis Opiat yang dapat dibagi dalam:
i. Alkaloid candu: morfin kodein, heroin, nikomorfin.
ii. Zat-zat sintetis: metadon dan derivatnya, petidin, tramadol dan derivatnya. b. Antagonis Opiat: Nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenofrin.
c. Campuran: nalorfin, nalbufin (Tan dan Rahardja, 2008).
2.2.3 Interaksi obat analgetika
a. Interaksi obat analgetika non-narkotik
pemberian bersaamaan NSAID apa pun dengan probenesid menyebabkan peningkatan efek NSAID. Interaksi obat lain yang melibatkan NSAID adalah interaksi dengan diuretik loop dan antihipertensi. Pemberian bersamaan NSAID dan senyawa diuretik atau antihipertensi menyebabkan penurunan efikasi senyawa tersebut (Mozayani dan Raymond, 2012).
Interaksi yang melibatkan parasetamol yaitu interaksi dengan obat/kelas obat meliputi, kotrasepsi oral diketahui dapat menurunkan efikasi dari parasetamol, sedangkan untuk probenesid dan propanolol diketahui dapat meningkatkan keefektifan parasetamol (Mozayani dan Raymond, 2012).
b. Interkasi obat analgetika narkotik
2.3 Rumah sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit
d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan rumah sakit
Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (DPR RI, 2009).
2.4 Resep
2.4.1 Pengertian penulisan resep
Demi keamanan penggunaan, obat dibagi dalam beberapa golongan. Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas Over the counter (OTC) dan Ethical, harus dilayani dengan resep dokter. Jadi sebagian
obat tidak bisa diserahkan langsung pada pasien atau masyarakat tetapi harus melalui resep dokter. Dalam sistem distribusi obat nasional, peran dokter sebagai medical care dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh
masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan langsung dengan masyarakat atau pasien, dan apoteker berperan sebagai pharmaceutical care dan informan obat, serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek. Di
dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, kedua profesi ini harus berada dalam satu tim yang solid dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan menyembuhkan pasien (Jas, 2009).
2.4.2 Tujuan penulisan resep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sedangkan rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit (Menkes RI, 2010).
Rumah sakit sebagai institusi kesehatan menggunakan obat-obatan sesuai dengan daftar formularium rumah sakit, maka formularium rumah sakit harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan penyedia obat di rumah sakit. Evaluasi terhadap formularium rumah sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan rumah sakit (Menkes RI, 2014).
Pada penyelenggaraannya, penggunaan obat yang tidak rasional sering ditemukan dalam peresepan obat sehingga menimbulkan pemborosan dan mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit. Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan. Peran seorang apoteker sangat diperlukan dalam hal identifikasi untuk mencegah dan mengatasi kejadian tersebut (Christina, dkk., 2014).
suatu interaksi yang bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008). Pasien yang menerima obat berpotensi interaksi banyak juga tanpa bukti mengalami efek buruk. Hal ini tidak mungkin membedakan karakteristik yang jelas untuk menentukan siapa yang akan atau tidak akan mengalami interaksi obat yang merugikan (Tatro, 2009).
Laporan studi retrospektif dari Kroasia diperoleh 1.209 laporan yang melibatkan setidaknya kombinasi dua obat, terdapat 468 (38,7%) dilaporkan berpotensi interaksi obat, 94 diantaranya (7,8% dari total laporan) adalah interaksi obat sebenarnya (Nikica, 2011).\
Legese (2013), dalam penelitiannya yang dilakukan pada pasien rawat jalan poli kardiovaskular di Jimma University specialized hospital menunjukkan sebanyak 1.249 obat dengan rata-rata 3,76 obat per resep yang diresepkan untuk 332 pasien. Frekwensi potensi interaksi obat ditemukan 241 kejadian (72,6%) (Legese, 2013).
Hasil penelitian Andriana (2012) di RSUD Prof. Dr.Margono Soekarjo
Purwokerto periode November 2009-Januari 2010 menunjukkan terjadi potensi
interaksi obat pada pasien rawat inap penyakit dalam RSUD Prof. Dr.Margono
Soekarjo Purwokerto sebesar 56,76% (Andriana, 2012).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, secara umum frekwensi kejadian interaksi obat pada periode Oktober-Desember 2010 sebanyak 16 pasien (53,33%) (Hidayah, 2012) dan pada penelitian Bakri (2011) terhadap 1019 lembar resep pasien rawat jalan dari Poli Kardiovaskular Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai dengan Maret 2011, diperoleh gambaran umum bahwa terjadi interaksi obat sebesar 28,85% dan yang tidak berinteraksi sebesar 71,05% (Bakri, 2011).
Salah satu kelompok obat yang masuk dalam daftar formularium rumah sakit dan pemakaiannya harus diperhatikan karena tidak jarang menimbulkan interaksi adalah analgetika. Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran, (perbedaan dengan anestetika umum) (Tan dan Rahardja, 2008).
Obat analgetika obat yang paling banyak digunakan tidak hanya menghilangkan rasa sakit dan demam tetapi juga untuk efek anti-inflamasi. Selain penghalang rasa sakit ini banyak digunakan, obat ini juga sering disalahgunakan diseluruh dunia, mungkin karena penggunaan obat ini tidak selalu menunjukkan efek samping yang parah (Builders, 2011).
poli penyakit dalam di RSU Dr. Saiful Anwar Malang menggunakan golongan analgetika Non steroid antiiflamation drug (NSAID). yaitu natrium diklofenak, meloksikam dan Ibuprofen untuk terapi menangani penyakit Osteoarthritis (Waranugraha, 2010).
Pola resep yang salah pada analgetika sering mengakibatkan efek samping dan interaksi obat yang menyebabkan reaksi obat yang serius dan merugikan (Builders, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien rawat jalan medicine clinic di Mexico ditemukan potensi interaksi obat dalam resep
prevalensi yang sangat tinggi terjadi pada orang dewasa dan hampir 90,0% akibat penggunaan NSAID. Interaksi yang paling sering melibatkan NSAID diresepkan pada pasien dengan hipertensi dan atau gagal jantung kronis seperti NSAID dan ACE inhibitor, meskipun temuan ini dipengaruhi oleh kriteria inklusi pasien, hal
ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai interaksi ini (Dubova, dkk., 2007).
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penelitian ini difokuskan terhadap profil penggunaan beserta potensi interaksi obat analgetika. Penelitian
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang potensi interaksi obat analgetika, dengan variabel bebas (independent variable) usia dan jumlah obat dan sebagai variabel terikat (dependent variable) adalah potensi interaksi obat analgetika, untuk melihat persentase potensi interaksi obat analgetika pada pasien rawat jalan poli penyakit dalam di RSUP H. Adam Malik Medan. Selengkapannya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana profil penggunaan obat analgetika?
b. Apakah terjadi potensi interaksi obat pada pemberian obat analgetika?
c. Berapakah persentase potensi interaksi obat yang terjadi pada pemberian obat analgetika?
d. Apakah jenis obat analgetika yang sering berpotensi interaksi?
e. Apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat analgetika? Potensi interaksi obat analgetika:
Persentase potensi interaksi obat analgetika Usia
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Profil penggunaan obat analgetika dilihat dari jenis obat yang paling banyak digunakan adalah natrium diklofenak, parasetamol dan meloksikam.
b. Terjadi potensi interaksi obat analgetika pada peresepan.
c. Persentase potensi interaksi pada pemberian obat analgetika adalah 30%. d. Obat analgetika yang sering mengalami potensi interaksi adalah natrium
diklofenak, meloksikam dan ibuprofen.
e. Usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat analgetika.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. mengetahui profil penggunaan obat analgetika.
b. mengetahui apakah terjadi potensi interaksi pada obat analgetika.
c. mengetahui persentase potensi interaksi yang terjadi pada obat analgetika. d. mengidentifikasi obat analgetika yang sering berpotensi interaksi.
e. mengetahui apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat analgetika.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: