ANALISIS DAMPAK
PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT
PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN ANGGOTA
KELOMPOK MASYARAKAT PEMANFAAT (KMP)
DI KABUPATEN SUBANG DAN CIREBON
R. DRAJAT SUBAGIO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun, Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis.ini.
Bogor, September 2007 .
ABSTRAK
R. DRAJAT SUBAGIO, 2007. Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakar Pesisir (PEMP) Terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon dibimbing oleh
JOHN HALUAN dan VICTOR PH. NIKIJULUW.
Propinsi Jawa Barat dengan 10 kabupaten berpesisir merupakan lokasi sasaran program PEMP dan telah melaksanakan program tersebut selama tahun 2001-2003 yang dinilai berhasil. Namun demikian sampai saat ini belum ada penelitian mengenai dampak pelaksanaan program tersebut secara mendalam yang dikaitkan dengan aspek peningkatan taraf hidup sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak program PEMP terhadap pendapatan anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat atau peserta program. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Subang dan Cirebon dengan tujuan menganalisis dampak program ini terhadap kelompok sasaran dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Responden yang diambil adalah 60 untuk setiap kabupaten.
Hasil penelitian menunjukkan program PEMP memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pendapatan . Faktor-faktor yang mempengaruh peningkatan pendapatan adalah persepsi dan kecakapan berbisnis target /sasaran program. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan. Program PEMP dimasa yang akan datang tidak hanya fokus pada pemberian modal usaha.
ABSTRACT
R. DRAJAT SUBAGIO, 2007. Impact Analysis of Economic Empowerment Program for Coastal Community in Subang and Cirebon Regencies. Supervised
by JOHN HALUAN and VICTOR PH. NIKIJULUW
West Java Province consists of 10 coastal regencies that have been area for Economic Empowerment for coastal community during 2001-2003. Although the program was reported successfully implemented, scientific evaluation have been done so far to find on economic impact of the program
This study was conducted in Subang and Cirebon regencies to understand program impact on income of target beneficiearies and its determinan factor. Based on 60 samples in each regency it was found the program has given significant and positive impact on beneficiaries income. Factor that affect the income were bussines perseption and skill of the target beneficiaries
Based on the fundings it was recommended that future empowerment program should not only focus on providing capital and financial assistance to the beneficiaries, but also to other aspects
Keyword: PEMP program, coastal community, capital empowerment
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tijauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS DAMPAK
PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT
PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN ANGGOTA
KELOMPOK MASYARAKAT PEMANFAAT (KMP)
DI KABUPATEN SUBANG DAN CIREBON
R. DRAJAT SUBAGIO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan
Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di
Kabupaten Subang dan Cirebon
N a m a : R. Drajat Subagio NRP : C 551020064 Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof .Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw. M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui,
. Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof..Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi syarat dalam rangka
memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pasca sarjana Institut Pertanian
Bogor. Pada penelitian ini terdapat pemikiran-pemikiran dalam Analisis Dampak
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Terhadap
Pedapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten
Subang dan Cirebon.
Tulisan ini memang membatasi soal Pendapatan hanya pada peningkatan
pendapatan sebelum dan sesudah mengikuti program PEMP. Namun demikian,
hasil yang tersurat maupun yang tersirat justru mampu menghadirkan pandangan
kritis terhadap program PEMP. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
- Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr.Ir. Victor PH.Nikijuluw M.Sc.
selaku komisi pembimbing.
- Bapak Dr. Sudirman Saad SH.M.Hum selaku Direktur Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir Ditjen KP3K-DKP.
- Bapak Ir. Juhendi Tajudin MM.
- Drs. Riyanto Basuki. M.Si. selaku Kasubdit AKSES IPTEK
- Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon dan Subang
- Rekan-Rekan di PS. TKL/PPKP Rian, Taufan, Any, Daeng, Harinto, Syarif,
Uus, Badrudin. Azmar, Zulkifli, Krisna, Bambang Sutejo:
- Rekan-Rekan Subdit Akses IPTEK, Anton , Heri Daulay, Dewi, Dodik
- Istriku tercinta Eko Herowati, anak-anaku tersayang Annisa dan Fajar
- Seluruh staf pengajar di Departemen PSP, IPB
- Semua pihak yang telah membantu tetapi tidak tersebut namanya
Semoga tulisan ini, mampu memberikan manfaat, atau
sekurang-kurangnya menjadi ilham bagi kemunculan pikiran lain yang lebih sempurna.
Terimakasih.
September 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 9 September 1962,
merupakan anak ke tiga dari enam bersaudara dari pasangan R. Parnoto Subardjo
BA dengan Sri Kusmiyati, pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di
Jakarta dan Depok , yaitu pada SD Karet Dukuh II pagi (1968 - 1974), SMP
Negeri XL Jakarta (1975-1978), SMA DEPOK (1978 – 1981). Pada tahun, 1982
bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Melalui jalur
Pendidikan Crash Program di Akademi Usaha Perikanan Jurusan Teknologi Hasil
Perikanan, Pada tahun 1992-1995 mengikuti tugas belajar pada Akademi
Penyuluhan Pertanian Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor, Menyelesaikan
Sarjana Pertanian pada Universitas IBNU CHALDUN Jakarta tahun 1999, pada
tahun 2007, mengikuti Seminar and Visit on Coastal Community Empowerment
di ASIA INSTITUTE Of TECHNOLOGY Bangkok Thailand.
Riwayat pekerjaan, Penulis bekerja di Laboratorium Mikrobiologi
BBPMHP Jakarta, (1983-1988), bekerja pada Development Support Information
(UNDP-FAO/INS 021) (1989-1992), Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan
(1995-1999). Pada tahun 2000 hingga saat ini bekerja pada Direktorat
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta, Pada tahun 2005
hingga saat ini sebagai Dosen Luar Biasa di Sekolah Tinggi Perikanan
Pada tahun 2002 Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi
strata 2, Program Studi Teknologi Kelautan Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, atas biaya sendiri dinyatakan lulus dan memperoleh gelar
Magister Sains IPB, dalam ujian tesis yang dilaksanakan pada tanggal 1
September 2007, dengan judul “Analisis Dampak Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Terhadap Pedapatan Anggota Kelompok
Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon .
Pada tahun 1995 penulis menikah dengan Dra. Eko Herowati Martoharjo
dan saat ini telah dikaruniai 2 orang anak Annisa Devi Rakhmawati dan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. xi
DAFTAR GAMBAR………. xii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1
1.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir……….. 7
1.3 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir……….. 8
1.4 Organisasi dan Kelembagaan PEMP ………. 10
1.5 Perumusan Masalah……… 11
1.6 Tujuan Penelitian……… 12
1.7 Manfaat Penelitian……….. 12
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pemberdayaan………... 14
2.2 Masyarakat Pesisir……….. 18
2.3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir... 21
2.4 Pembangunan Wilayah………... 22
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran……….. 25
3.2 Hipotesis………... 25
3.3 Disain Penelitian…..………... 27
3.4 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data…………...……... 27
3.4.1 Jenis dan sumber data... 27
3.4.2 Pengumpulan dan pengolahan data... 27
3.4.3 Definisi dan pengukuran variabel... 28
3.5 Lokasi Penelitian………... 29
3.6 Waktu Penelitian……….... 30
3.7.2 Wilcoxon signed rank test 30 3.7.3 Analisis regresi berganda 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi
4.1.1. Kabupaten Subang
4.1.1.1 Pelaksanaan PEMP 2001………...
4.1.1.2 Pelaksanaan PEMP 2002 ...….…………...
4.1.1.3 Pelaksanaan PEMP 2003 ..………
35
36
37
37
4.1.2. Kabupaten Cirebon
4.1.2.1 Pelaksanaan PEMP 2001………...
4.1.2.2 Pelaksanaan PEMP 2002 ……...…………...
4.1.2.3 Pelaksanaan PEMP 2003 ………..
4.1.2.4 Pelaksanaan PEMP 2004 ………..
38
41
41
41
41
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Peningkatan pendapatan……….. 43
4.2.2 Kontribusi tambahan modal………... 45
4.2.3 Sebaran tingkat pendidikan……… 48
4.2.4 Persepsi pada prospek Usaha……….. 48
4.2.5 Persepsi pada kemampuan berbisnis………. 49
4.2.6 Umur Proyek……… 50
4.3 Dampak Program PEMP 4.3.1 Agregat Subang dan Cirebon………... 50
4.3.2 S u b a n g………. 51
4.3.3. Cirebon………. 52
4.4 Faktor Determinan Pendapatan 4.4.1 Model utuh……….. 53
4.4.2 Model hasil iterasi 1……… 55
4.4.3 Model hasil iterasi 2 ………... 55
4.5 Pembahasan 4.5.1 Kelompok sasaran 58 4.5.2 Persepsi kecakapan berbisnis……….. 60
4.5.3 Pedagang 61
4.6 Implikasi Pada Kebijakan
4.6.1 Kebijakan yang afirmatif……… 63
4.6.2 Bukan berpusat pada modal……….. 65
4.6.3 Revitalisasi program pendampingan………... 66
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 69
5.2 Saran – Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 71
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir Tahun Anggaran. 2000-2006... 4
2. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan... 16
3. Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang Tahun 2003……… 36
4. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) dan Rumah Tangga Budidaya Perikanan (RTBP) Kabupaten Subang, Tahun. 2003……… 36 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon Tahun 2003….. 39
6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon Tahun.2004... 39
7. Produktifitas Menurut Jenis Alat Tangkap Kabupaten Cirebon, Tahun2004... 40
8. Potensi dan Pemanfaatan Tambak Kabupaten Cirebon Tahun 2004... 40
9. Unit Pengolahan Ikan Tradisional Kabupaten Cirebon 2004 42 10. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang……….. 43
11. Kontribusi Tambahan Modal………. 47
12. Nisbah Pendapatan Terhadap Modal………. 47
13. Sebaran Tingkat Pendidikan……….. 48
14. Skor Persepsi Pada Prospek Usaha……… 49
15. Skor Persepsi Pada Kemampuan Berbisnis……… 49
16. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Partisipasi dalam PEMP………. 50
17. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Agregat Lokasi Proyek… 51 18. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Subang…….. 52
19. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Cirebon…….. 53
20. Hasil Analisis Regresi Seluruh Variabel……… 54
21. Hasil Analisis Regresi Iterasi 1……….. 56
22. Hasil Analisis Regresi Iterasi 2 ………. 57
23. Laju Inflasi Indonesia Tahun 2001 sampai 2006... 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran……… 26
2. Peta Kabupaten Subang... 35
3. Peta Kabupaten Cirebon... 38
4. Pendapatan Nominal Responden Cirebon Sebelum dan Sesudah Program PEMP... 44
5. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Cirebon... 44
6. Pendapatan Nominal Responden Subang Sebelum dan Sesudah Program PEMP... 45
7. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Subang ... 45
8. Presentase Tambahan Modal Cirebon…………...…………. 46
9. Presentase Tambahan Modal Subang………...…..
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kuisioner Peserta Program, Evaluasi Dampak Program
PEMP (Anggota KMP/ Pedagang Ikan (Bakul))... 74
2. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP (Anggota KMP /Budidaya Rumput Laut)………... 80
3. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP (Anggota KMP (Petambak))... 86
4. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP
(Anggota KMP (Nelayan))... 92
5. Kuisioner Peserta Program Evaluasi Dampak Program PEMP (Anggota KMP (Pengolah))... 98
6. Hasil Uji Wilcoxon... 104
7. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dengan Trammel Net di
Kabupaten Subang………..……… 121
8. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dengan Jaring Kejer /
Jaring Insang Hanyut di Kabupaten Cirebon………. 122
9 Petunjuk Teknis Identifikasi Sarana Perikanan Tangkap
Jaring Insang (Gill Net)... 123
10 Petunjuk Teknis Identifikasi Sarana Perikanan Tangkap
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perikanan di
laut sekitar 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1
juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta
km2. Panjang garis pantai 81.000 km dan memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan
kecil. Hampir 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan sebagian
besar bekerja pada sektor yang berbasiskan pendayagunaan sumberdaya pesisir dan
kelautan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat secara alami Indonesia merupakan
negara kelautan dengan potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang melimpah
ruah, baik kuantitas maupun keragamannya. Namun demikian, pengelolaan dan
pemanfaatannya saat ini belum dapat dilakukan secara optimal (produktifitas
rendah), cenderung mengancam kelestarian lingkungan, serta yang terpenting belum
dapat mengangkat kesejahteraan hidup sebagian besar masyarakat pesisir
(khususnya masyarakat nelayan).
Hasil penelitian dan evaluasi dari berbagai departemen yang terkait dengan
kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan, bahwa tingkat
taraf hidup sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil relatif lebih
rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan lainnya. Berbagai faktor ikut
berperan dalam mendukung ketidakmampuan masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya alam secara optimal. Secara umum faktor tersebut dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal yaitu minimnya
partisipasi masyarakat dalam manajemen program pemerintah, ketidakmampuan dan
kelemahan aparat birokrasi serta terjadinya moral hazard, aturan hukum yang tidak melindungi dan berpihak kepada masyarakat pesisir, kegagalan integrasi dalam
kenegaraan dan kemasyarakatan, adanya keterbatasan sumberdaya untuk
Faktor internal yang berpengaruh adalah keterbatasan modal dan akses
pembiayaan, keterbatasan organisasi dan manajemen yang profesional, keterbatasan
akses ke pasar input dan pasar output, keterbatasan teknologi dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, serta pola hidup konsumtif di kalangan
masyarakat pesisir.
Kedua faktor di atas secara bersama telah menimbulkan persoalan
ketidak-berdayaan masyarakat pesisir. Namun berdasarkan analisis, faktor internal lebih
mendominasi penyebab ketidak-berdayaan masyarakat pesisir, seperti rendahnya
kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam penguasaan teknologi. Secara nyata
hal itu menjadi penyebab ketidak-mampuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya secara maksimal. Selain itu rendahnya kualitas SDM dalam
penguasaan teknologi telah memicu pengembangan cara pemanfaatan dan ekploitasi
sumberdaya secara tidak bertanggung-jawab dan cenderung tidak ramah lingkungan
yang menyebabkan rusaknya sumberdaya. Sedangkan rendahnya akses masyarakat
pesisir terhadap pasar dan lembaga permodalan (keuangan) memaksa masyarakat
pesisir berhubungan dengan lembaga permodalan (keuangan) non formal yang justru
semakin memperburuk keadaan perekonomian masyarakat pesisir.
Kondisi masyarakat pesisir, sebagaimana telah disebutkan di atas,
membutuhkan intervensi pemerintah melalui program pembangunan sesuai dengan
kondisi yang ada. Namun demikian pada umumnya program pembangunan yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
Selain model program yang bersifat cuma-cuma (bantuan murni), pelaksanaannya
tidak dibarengi dengan pendampingan; sehingga menimbulkan persepsi yang
berbeda-beda di masyarakat. Hal ini sudah disadari pemerintah sehingga perlu
dirumuskan sebuah program yang bersifat pemberdayaan masyarakat (community development).
Masyarakat pesisir tidak dapat dilepaskan dari identitas utamanya sebagai
kelompok masyarakat nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang
kehidupannya bergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara penangkapan
ikan di laut dan perairan umum lainnya. Pada umumnya nelayan tinggal di pinggir
Selain usaha orang-orang yang melakukan pekerjaan membuat perahu, ada
pembudidaya ikan, mengangkut ikan, pedagang ikan, dan bahkan isteri nelayan dan
anak nelayan ─yang secara praktikal tidak termasuk dalam kategori nelayan. Karena
kedua kategori tersebut tinggal di pesisir, maka keduanya disebut dalam satu
komunitas, yaitu Masyarakat Pesisir. Jumlah masyarakat pesisir sangat besar,
karena terkait dengan garis pantai Indonesia yang tergolong nomor dua terpanjang di
dunia yaitu 82.000 km dan sekitar 9.261 desa masuk dalam kategori desa pantai.
Dalam sensus pekerjaan, nelayan dimasukkan dalam kategori petani,
sementara beberapa literatur menyebutkan bahwa nelayan merupakan suatu
kelompok masyarakat tergolong miskin, terutama buruh nelayan dan nelayan
tradisional jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian.
Dalam konteks tersebut buruh nelayan dan nelayan tradisional dapat digolongkan
sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Sebagaimana diketahui, bahwa nelayan bukanlah suatu entitas tunggal.
Mereka terdiri dari beberapa kelompok, terutama apabila dilihat dari segi
kepemilikan perahu (kapal) ikan, yaitu: nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan
perorangan. Pada umumnya nelayan juragan tidak miskin, sebaliknya kemiskinan
cenderung hanya dialami oleh nelayan buruh dan nelayan perorangan. Oleh karena
kedua kelompok tersebut memiliki jumlah yang paling besar, maka citra kemiskinan
melekat pada kehidupan nelayan dan juga masyarakat pesisir.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di wilayah pesisir dan dalam
rangka pengembangan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis pada
sumberdaya lokal tersebut, maka Departemen Kelautan dan Perikanan melalui
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah melaksanakan
Program Pemberdaya Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program PEMP, yang
telah dilaksanakan sejak tahun 2000 di 26 Kabupaten (Kota) yang menyebar di 7
Propinsi, merupakan bagian dari Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Daerah (PEMD) sektor Jaring Pengaman Sosial (JPS). Hasil kegiatan ini dinilai
cukup berhasil, sehingga pada tahun-tahun berikutnya dilanjutkan pelaksanaannya
Tabel 1. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun Anggaran. 2000-2006
Tahun Jumla.h Peserta (Kab/Kota)
Propinsi Pelaksana Program
Sumber Dana
2000 26 7 BAPPENAS JPS-PK
2001 125 30 DKP PPD-PSE
2002 90 30 DKP PKPS-BBM
2003 126 30 DKP PKPS-BBM
2004 160 30 DKP APBN
2005 206 33 DKP APBN
Sumber : Ditjen KP3K-DKP, 2006
Keterangan , JPS-PK : Jaring Pengaman Sosial Penanggulangan Kemiskinan. PPD-PSE : Program Penanggulangan Dampak-Pengurangan Subsidi Enerji. PKPS-BBM : Program Kompensasi Dampak-Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak. APBN : Anggaran Pendapatan & Belanja Negara
Program PEMP yang bersifat jangka panjang ini diarahkan pada peningkatan
kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan skala usaha dan diversifikasi
kegiatan ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya-upaya peningkatan kualitas SDM,
mendorong partisipasi masyarakat sejak identifikasi potensi dan masalah,
penyusunan rencana program dan proposal rencana pengembangan usaha sampai
dengan pelaksanaannya. Program PEMP memfasilitasi akses masyarakat terhadap
sumber permodalan, memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir,
meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir dalam rangka pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah
kelestarian lingkungan, serta pengembangan kemitraan masyarakat pesisir dengan
lembaga swasta dan pemerintah.
Secara spesifik, tujuan program PEMP adalah: (1) Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan
kegiatan ekonomi masyarakat; (2) Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi
masyarakat dan kemitraan dalam mendukung pembangunan daerah; (3) Memicu
usaha ekonomi produktif di desa pesisir; (4) Mendorong terlaksananya mekanisme
manajemen pembangunan masyarakat yang partisipatif dan transparan; (5)
pembangunan di wilayahnya; dan (6) Mereduksi pengaruh kenaikan harga bahan
bakar minyak melalui penciptaan dan peningkatan usaha ekonomi produktif secara
berkesinambungan.
Adapun sasaran program PEMP adalah: (1) Terbentuknya kegiatan ekonomi
produktif berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan di
kalangan masyarakat pesisir; (2) Terciptanya proses pembelajaran masyarakat serta
partisipasi sebagai wujud upaya pemberdayaan masyarakat setempat; (3) Terbentuk
lembaga keuangan mikro di daerah pesisir; (4) Berkurangnya dampak kenaikan
harga bahan bakar minyak karena adanya tambahan pendapatan melalui penciptaan
lapangan kerja dan perluasan usaha.
Sejalan dengan otonomi daerah yang diiringi dengan menguatnya tuntutan
demokratisasi, peningkatan partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
perhatian pada potensi dan keanekaragaman daerah; maka pembangunan kelautan
harus memperhtikan upaya pemberdayaan daerah, peningkatan kemampuan
pemerintah daerah, dan percepatan pembangunan ekonomi daerah yang ditopang
dengan upaya-upaya pengembangan masyarakat seperti yang telah diamanatkan oleh
GBHN 1999.
Proses pemberdayaan masyarakat hendaknya disusun dalam bingkai
pendekatan yang harmonis dengan memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat, sumber-sumber potensi
lokal seperti keterampilan, dan unit-unit usaha masyarakat. Pengembangan
kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumberdaya lokal akan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir. Dengan demikian, akan
lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian
sumberdaya kelautan dan pesisir.
Salah satu faktor strategis dari penyebab utama kemiskinan
(ketidak-berdayaan) masyarakat di kawasan pesisir adalah lemahnya kemampuan mereka
dalam manajemen usaha. Rendahnya kemampuan manajemen itu, selain disebabkan
aksesibilitas mereka untuk memperoleh kesempatan melihat, mencoba dan
mempraktekkan prinsip-prinsip manajemen yang lebih maju.
Mereka juga mengalami keterbelakangan pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan serta miskinnya informasi yang diperoleh masyarakat pesisir. Karena
itu perlu adanya sosialisasi yang intensif dari kebijakan pemerintah. Proses
sosialisasi hendaknya mengarah pada percepatan kemandirian masyarakat dalam
memperoleh informasi tentang kebijakan pemerintah dan kemudahan dalam
mengakses informasi tersebut.
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan
upaya untuk menjawab permasalahan di atas. Melalui PEMP masyarakat pesisir
(dengan wadah kelompok) mempunyai kebebasan untuk memilih, merencanakan,
dan menetapkan kegiatan ekonomi yang dibutuhkan berdasarkan musyawarah.
Dengan demikian masyarakat merasa memiliki dan bertanggung-jawab atas
pelaksanaan, pengawasan, dan keberlanjutannya.
Program PEMP dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: periode inisiasi
(2001-2003), periode institusionalisasi (2004-2006), dan periode diversifikasi
(2007-2009). Periode inisiasi merupakan periode membangun, memotivasi, dan
memfasilitasi masyarakat pesisir agar mampu memanfaatkan kelembagaan ekonomi
(LEPP-M3). Periode institusionalisasi merupakan periode yang ditandai dengan
upaya menjadikan LEPP-M3 menjadi lembaga yang berbadan hukum (koperasi),
sehingga dengan legalitas yang ada diharapkan dapat memperluas usaha
ekonominya. Periode diversifikasi merupakan periode perluasan unit usaha
Koperasi LEPP-M3, sehingga diharapkan dapat mengurangi beban sosial ekonomi
masyarakat pesisir.
Propinsi Jawa Barat dengan 10 kabupaten berpesisir merupakan lokasi
sasaran program PEMP dan telah melaksanakan program tersebut selama 3 tahun
berturut-turut yang dinilai berhasil secara kualitatif. Namun demikian sampai saat
ini belum ada penelitian mengenai dampak pelaksanaan program tersebut secara
mendalam yang dikaitkan dengan soal peningkatan taraf hidup sosial ekonomi
Selama ini Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
melaksanakan Analisis terhadap Program PEMP menggunakan indikator 3 T (tepat
waktu, tepat sasaran, tepat jumlah). Penelitian BPKP lebih menekankan pada
evaluasi pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana.
Sementara itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
dampak program PEMP terhadap pembangunan dan kesejahteraan anggota
Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) peserta program PEMP setelah menerima
Dana Ekonomi Produktif (DEP). Hal ini selanjutnya menjadi dasar pemikiran
untuk melaksanakan penelitian mendalam mengenai analisis dampak program
PEMP terhadap kesejahteraan anggota KMP terutama peningkatan pendapatan
anggota KMP program PEMP dengan mengambil kasus di Kabupaten Subang dan
Cirebon.
1.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat
menjadi berdaya. Hal ini diperlukan terutama didasari pada asumsi, bahwa
masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya. Secara sosiologis keadaan kurang
berdaya diidentikkan dengan keterbelakangan baik secara ekonomi, pendidikan,
kesehatan. Karena itu istilah pemberdayaan menjadi identik dengan community development atau empowerment.
Proses pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan jika ada sikap
proaktif dari masyarakat pesisir dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Sikap
proaktif ini meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan analisis,
serta berperan dalam pengambilan keputusan. Proses pemberdayaan itu bertujuan
untuk melakukan perubahan individu yang diikuti dengan perubahan kelembagaan
yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan Hikmat (2001)
dalam Satria, (2002) bahwa proses pemberdayaan bertujuan menolong klien supaya:
• Masyarakat mendapatkan kembali eksistensi dan jati-diri mereka dalam
mengatasi masalah yang mereka hadapi;
• Ilmu pengetahuan dan skill (keahlian dan keterampilan) pekerja sosial dapat
• Pekerja sosial dapat berperan sebagai mitra yang baik dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapi klien; dan
• Ototritas sesuai dapat diubah menjadi memberi pengaruh pada kehidupan
mereka.
Tingkatan upaya untuk melakukan perubahan individu dan lembaga sosial
yang berpengaruh berbeda-beda sesuai tingkat kerumitan masalah yang dihadapi
dalam komunitas tersebut. Perubahan dapat saja terjadi hanya dengan sebuah
insentif (rangsangan) yang menggugah kesadaran individu itu. Namun dalam
kondisi lain, perubahan baru dapat terwujud dengan melakukan rekayasa sosial yang
melibatkan pihak luar secara aktif. Oleh karena itu dalam melakukan proses
pemberdayaan dituntut kejelian melihat masalah dan menentukan sumber
permasalahannya. Seperti dinyatakan Hikmat 2001 (dalam Arif Satria, 2002), ada
tiga tingkatan pelaksanaan pemberdayaan yang harus dilakukan, yaitu;
• Pengalaman positif dalam keluarga untuk memberikan rasa percaya dan
persaingan dalam interaksi sosial;
• Memaksa kemampuan mereka untuk mengatur kehidupan sosial dan
menggunakan institusi sosial (sekolah) untuk memperoleh kompetensi; dan
• Mereka dapat menerima dan menampilkan nilai-nilai sosial .
1.3 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Salah satu model pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan pemerintah
adalah program PEMP dengan prinsip to help them to help themselves. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dengan mendaya-gunakan sumberdaya laut dan pesisir
secara berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan tujuan PEMP, dorongan
pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir diarahkan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian
pembangunan.
Kegiatan PEMP meliputi pengembangan partisipasi masyarakat, penguatan
ekonomi masyarakat, pengembangan sumberdaya laut dan pesisir yang berbasis
masyarakat sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan, pengembangan jaringan
dan kelembagaan sosial ekonomi, peningkatan fasilitas masyarakat dalam akses
permodalan, serta pengembangan kemampuan pemerintah lokal dan masyarakat.
Untuk mendukung program tersebut, dibangun kemitraan antara masyarakat, aparat,
dan pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisir.
Model pengembangan PEMP diawali dengan tahapan identifikasi potensi
dan permasalahan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar tentang
daerah. Informasi dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan program ini
adalah informasi tentang sumberdaya alam dan sumberdaya pesisir, sumberdaya
manusia, kegiatan usaha perikanan, sarana dan prasarana, kelembagaan sosial
ekonomi dan kebijakan pemerintah. Informasi (data) yang diperoleh akan melewati
proses analisa data hingga menghasilkan susunan program pengembangan PEMP.
Adapun Analisis data dilakukan untuk menghasilkan program pengembangan
PEMP. Program-program yang perlu dikembangkan mencakup program ekonomi,
program sosial, dan program lingkungan serta infrastruktur.
Program-program itu hendaknya berbasiskan kemampuan lokal, saling
mendukung dan tidak tumpang tindih. Program sosial, lingkungan, dan
infrastruktur dikembangkan untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat lokal.
Selain itu program sosial dilaksanakan untuk mengembangkan budaya lokal dalam
kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mengantisipasi penyelesaian konflik
yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Tahapan selanjutnya adalah sosialisasi program kepada seluruh stakeholder
untuk mendapatkan masukan guna penyempurnaan program yang telah disusun.
Implementasi program dilaksanakan dalam bentuk pemilihan calon peserta,
pelatihan, pelaksanaan kegiatan ekonomi, pelaksanaan kegiatan sosial, lingkungan
dan fasilitas, serta penguatan kelembagaan sosial ekonomi. Dalam implementasi
program masyarakat selalu mendapatkan pendampingan dari Tenaga Pendamping
Tahap terakhir adalah monitoring dan analisis untuk memantau implementasi
program serta mengkaji ulang kelemahan dan kelebihan dari program serta
kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi. Monitoring dan analisis harus selalu
dilakukan agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan dalam program kerja
berikutnya agar semakin mengarah pada program yang sempurna.
Keberhasilan program PEMP sangat dipengaruhi pendekatan yang
digunakan dalam implementasi, karena program PEMP melibatkan banyak unsur
dan memiliki sasaran masyarakat pesisir ditingkat ekonomi. Pendekatan yang
digunakan dalam program PEMP adalah pendekatan partisipatif serta kemandirian
dan kemitraan dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang bersifat: dapat diterima,
terbuka, dapat dipertanggungjawabkan, cepat menyebar, demokratis, keberlanjutan,
keadilan, dan kompetitif.
1.4 Organisasi dan Kelembagaan PEMP
Pelaksanaan PEMP didukung semua pihak, mulai tingkat pusat hingga lokal.
Program PEMP merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan
di bawah Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K).
Sebagai penanggung-jawab program di tingkat pusat adalah Direktur Jenderal KP3K
bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti Departemen
Keuangan dan BAPPEDA. Hirarki penanggung-jawab program di bawah Ditjen
KP3K adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi atas nama Gubernur
dan Bupati (Walikota) di tingkat Kabupaten (Kota) dengan tugas-tugas yang
berbeda. Kadis Propinsi bertugas melakukan sosialisasi program PEMP di tingkat
Propinsi dan melakukan sinkronisasi program PEMP dengan program lain di
bawahnya agar tidak terjadi overlaping. Selain itu Kadis Propinsi melakukan koordinasi lintas Kabupaten (Kota) dan pembinaan teknis pelaksanaan program
PEMP serta melakukan monitoring dan Analisis. Hasil kegiatan ini dilaporkan ke
Gubernur dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sementara itu Bupati (Walikota) sebagai penanggung-jawab program di
wilayah kerjanya bertugas melakukan pembinaan teknis implementasi serta
sektoral dan regional.
Selanjutnya pelaksanaan teknis Program PEMP di tingkat Kabupaten (Kota)
dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten (Kota) yang
mencakup sosialisasi, koordinasi dengan BAPPEDA, memberikan bimbingan,
memfasilitasi terbentuknya hubungan kemitraan antara KMP dan perorangan atau
lembaga yang perduli terhadap program pengembangan sosial ekonomi masyarakat
pesisir. Selanjutnya melakukan monitoring dan analisis hasil pelaksanaan kegiatan
PEMP.
Dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan, Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten (Kota) dibantu Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten
(Kota) dan Tenaga Pendamping Desa (TPD) yang telah dilatih TOT oleh Pusat.
TPD tersebut mempunyai kemampuan mengelola kegiatan PEMP dan mampu
berperan sebagai Fasilitator, Dinamisator dan Motivator dalam kegiatan PEMP.
Untuk mengkoordinasikan KMP, dibentuk Lembaga Ekonomi
Pengem-bangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). LEPP-M3 bertugas mengelola Dana
Ekonomi Produktif yang disalurkan ke KMP. Pengurus LEPP-M3 merupakan
perwakilan dari KMP dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan selaku penanggung jawab operasional program PEMP.
Dalam pelaksanaannya LEPP-M3 dibentuk di tingkat Kabupaten (Kota),
sehingga dalam implementasinya selalu berkoordinasi dengan Mitra Desa yang
merupakan Kepala Desa atau tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama), serta
Kantor Cabang Dinas (KCD) dan instansi terkait lainnya.
1.5 Perumusan Masalah
Dua masalah utama yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini,
adalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana dampak pelaksanaan program PEMP terhadap pendapatan
masyarakat pesisir? Permasalahan ini akan ditelaah dengan memperhatikan
perubahan tingkat pendapatan; kemudian akan dibandingkan signifikansi
perubahan itu antara sebelum dengan sesudah proyek PEMP. Oleh sebab itu
(2001-2003).
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan program PEMP? Secara kuantitatif hal ini akan
diukur dengan regresi berganda untuk melihat pengaruh-pengaruh modal
awal (sebelum program PEMP diintroduksikan), besarnya tambahan modal
ketika program PEMP diintroduksikan, tingkat pendidikan masyarakat
pesisir, persepsi responden tentang prospek ekonomi yang dijalankannya,
terhadap peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat pengguna (KMP)
1.6 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dampak pelaksanaan
program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Secara rinci, tujuan
penelitian ini adalah:
1.Menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan sasaran program (target beneficiaries); dan
2.Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sasaran program
dilokasi penelitian
1.7 Manfaat Penelitian
Bagi Pemerintah Pusat:
Manfaat penelitian bagi pemerintah pusat adalah memperoleh masukan bagi
perbaikan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, tidak terbatas pada
lingkup program PEMP dan cakupan lokasi penelitian.
Bagi Pemerintah Daerah:
Manfaat penelitian bagi pemerintah daerah adalah:
1) Memperoleh masukan bagi perbaikan program PEMP di lokasi penelitian;
dan
2) Memperoleh alternatif instrumen analisis program PEMP yang sederhana
tapi dapat dipercaya.
Manfaat penelitian bagi akademisi adalah memberikan gambaran salah satu
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pemberdayaan
Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidak-puasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat, dan diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah
(trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat
centralized, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin.
Sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan pertumbuhan tersebut, maka muncul tuntutan yang sangat keras agar pembangunan pada masa yang akan datang lebih bersifat bottom up, dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk menunjang pendekatan yang seperti itu maka pemberdayaan masyarakat harus dilakukan.
Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu; tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan.
tumbuh keinginan untuk meningkatkan kualitas, maka pemberdayaan pun terus dilakukan.
Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat adalah suatu proses untuk meraih atau mencapai tahapan dan kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Karena masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, maka ketidakpuasan itu membuat pemberdayaan perlu terus dilaksanakan.
Menurut Haque (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain, membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang −yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan.
Merevisi berbagai pendekatan pembangunan perikanan yang dianggap belum memuaskan, Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri, 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang.
Secara holistik Departemen Kelautan dan Perikanan berusaha menyempur-nakan pendekatan agribisnis yang berorientasi bisnis semata. Karena itu dilakukan pencermatan terhadap empat dimensi, yaitu: (1) dimensi ekologis, (2) dimensi sosial-ekonomi, (3) dimensi sosial politik, dan (4) dimensi hukum dan kelembagaan. Keempat dimensi itu di dalam implementasinya dilakukan dengan berbasis pada masyarakat, atau yang disebut sebagai inklusi sosial, yang merupakan perubahan paradigma pembangunan (Tabel 2).
keadaan keterbelakangan. Dalam hal ini keterbelakangan itu bisa bermakna ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek yang lain. Karena itu, istilah pemberdayaan menjadi identik dengan community development; sehingga berbicara tentang pemberdayaan tidak dapat dipisahkan dari diskusi tentang pembangunan itu sendiri.
Tabel 2. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan
PARADIGMA LAMA BARU
Pendekatan Ekslusi Sosial Inklusi Sosial
Orientasi
Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi
Pemertaan Dan Kesejahteraan
Fungsi Pemerintah Provider Enabler/Facilitator
Tata Pemerintahan Sentralisasi/Dekonsentrasi Desentralisasi
Pelayanan Birokrasi Normatif Responsif Fleksibel
Pengambilan
Keputusan Top Down Bottom Up & Top Down
Sumber: Dahuri (2002)
Secara umum pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengarah pada suatu keadaan yang diharapkan dapat mempunyai nilai lebih, dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, nilai lebih itu memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga penafsirannya cenderung bersifat cultural specific, yaitu dipengaruhi oleh suatu kondisi lingkungan kebudayaan tertentu.
“The central problem in the theory of economic growth is to understand the process by which a community is converted from being a five percent saver to a 12 percent saver with all the changes in attitudes and institutions and in techniques which accompany this conversion”.
Berbeda dengan Bauer, Brandt (1980) memberi pengertian nilai lebih dalam pemberdayaan bukan semata-mata dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial; walaupun diakui bahwa nilai lebih dalam aspek ekonomi merupakan yang utama. Todaro (1983) bahkan memberi pengertian pemberdayaan secara lebih luas, yaitu sebagai suatu proses multi dimensional, yang melibatkan reorganisasi dan reorientasi semua sistem ekonomi dan sosial. Termasuk dalam hal ini adalah perombakan dalam kelembagaan, struktur sosial, administrasi, sikap mental serta mengubah adat istiadat dan kepercayaan. Hal ini dipertegas lagi oleh Katz, yang menekankan bahwa pembangunan adalah suatu usaha dari suatu kondisi kemasyarakatan tertentu ke dalam suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih bernilai
(more valued) (Katz, 1970):
“Development as major societal change from one state of national being to another, more valued state. It involves a complex of mutually related economic, social, and political changes”.
Sasaran akhir dari sebuah pemberdayaan adalah terciptanya suatu kesejahteraan yang dialami secara bersama oleh masyarakat. Dalam hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Isbandi (2003), kesejahteraan itu dapat didefinisikan sebagai:
“...suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir
dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat
Pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk meningkat kemampuan dan potensi masyarakat miskin agar dapat memecahkan masalahnya secara mandiri dan berkelanjutan. Upaya pencapaian tujuan pemberdayaan ini dapat terjadi apabila kesadaran masyarakat tentang implementasi nilai moral dan keswadayaan masyarakat pesisir, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pemberdayaan adalah pembebasan diri dari ketergantungan materi
Lebih jauh, Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasi dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri. Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan suatu sistem yang berinterasi dengan lingkungan sosial dan fisik.
2.2 Masyarakat Pesisir
Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.
Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan yang rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah
Dalam konteks tersebut Kusnadi (2006) menyatakan bahwa, masyarakat nelayan merupakan pelaku utama yang menentukan dinamika ekonomi lokal dan kondisi ini merupakan merupakan hasil kebijakan pembangunan sektor perikanan sejak awal tahun 1970-an yang bertumpu pada orientasi produktivitas yang melahirkan berbagai perubahan penting dibidang sosial, ekonomi dan ekologi di masyarakat pesisir.
Sementara itu Dahuri (2002) menyatakan bahwa kebudayaan pesisir yang
outward looking , kosmopolit, egaliter dan demokratis, sebagaimana ciri masyarakat pesisir menjadi resesif dalam kebudayaan nasional. Nilai-nilai tersebut dimasa kini menjadi penting untuk digali kembali, ketika bangsa Indonesia mulai membangun demokrasi dan tatanan masyarakat madani (civil society). Sedangkan dari perspektif mata pencahariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik toko, pengolah hasil tangkapan serta pelaku industri kecil dan menengah. Keberagaman jenis pekerjaan penduduk diwilayah pesisir ditentukan oleh sumberdaya ekonomi lokal (Kusnadi, 2006).
Lebih jauh Kusnadi (2006) mengemukakan sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan salah satunya adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan sehingga berdampak terhadap peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas kehidupan mereka. Untuk mengatasi diperlukan upaya sebagai berikut ;
1) Meningkatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar nelayan dapat menangkap ikan sepanjang waktu
2) Mengembangkan diversifikasi usaha berbasis sumberdaya lokal
3) Memperluas kesempatan kerja off fishing sehingga pendapatan rumah tangga nelayan tidak sepenuhnya bergantung pada pendapatan melaut.
sektor pertanian dan faktor jenis mata pencaharian utama. Sedangkan faktor yang mengurangi peluang kemiskinan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, luas sawah garapan setahun, luas sawah milik, total pendapatan dari kegiatan pertanian, total pendapatan dari kegiatan non pertanian dan curahan kerja rumah tangga pada sektor non pertanian.
2.3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Program PEMP adalah salah satu program pemerintah yang dirancang untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di wilayah pesisir. Pelaksana program ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan. Pelaksanaan program ini diawali dengan Pilot Project yang dilaksanakan oleh BAPPENAS pada tahun 2000 di 26 Kabupaten (Kota), selanjutnya pada tahun 2001 hingga saat ini kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan dan agama), lingkungan sumberdaya perikanan dan laut serta pemukiman dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan pendapatan, adapun aspek sosial penting untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan taqwa (IMTAQ) serta sikap dan perilaku kualitas sumberdaya manusia (SDM). Aspek lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, serta perbaikan pemukiman. Aspek infrastruktur ini dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan sosial. Keempat aspek tersebut (sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal.
yang tersedia serta kualitas SDM yang akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, IMTAQ serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Peran perbankan sangat diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama membantu mereka terhadap akses permodalan (Ismawan, 2005).
Dalam pelaksanaannya, program PEMP telah mengalami berbagai pengembangan model, namun demikian evaluasi dan analisis dampaknya hingga saat ini belum pernah dilaksanakan, sehingga eksistensinya sebagai sebuah program unggulan Departemen Kelautan dan Perikanan belum teruji secara utuh.
2.4 Pembangunan Wilayah
Kebijakan atau model pembangunan yang bersifat terpadu merupakan pilihan ideal untuk membangun wilayah atau kawasan masyarakat pesisir yang sekaligus diharapkan berimplikasi pada keefektifan mengatasi kemiskinan masyarakat nelayan. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil dari pembangunan tercermin dari pendapatan kesejahteraan penduduknya. Agar dicapai pembangunan daerah yang optimal maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang ada di daerah (Kusnadi,2006).
Kebijakan pembangunan perikanan harus dijalankan secara integral dengan memadukan konsep kebijakan, manajemen, operasional, konservasi dan isu ekologi (Cowx and Schramm, 2006).
berkembangnya kegiatan ekonomi pendukung seperti perdagangan saprodi, jasa kelautan dan lain-lain.
Ada dua pendekatan dalam mengidentifikasi kemiskinan yaitu, pertama menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence poverty) dan kedua memahami kemiskinan dalam pengertian relatif (relative deprivation). Pengertian subsistensi adalah menganggap bahwa kemiskinan merupakan persoalan ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang dan beberapa kebutuhan pokok lainnya (Ismawan, 2003).
Kemiskinan relatif dapat ditunjukkan melalui indikator: (1) Deprivasi materiil (kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar); (2) Isolasi dicerminkan oleh lokasi geografis maupun marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial politik; (3) alineasi, perasaan tidak punya identitas sehingga tidak ikut memanfaatkan program;, (4) Ketergantungan, yaitu kemerosotan kemampuan bargaining terhadap majikan; (5) Ketidak-mampuan karena tiadanya kebebasan memilih dalam produksi; (6) Kelangkaan aset; (7) Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan internal; dan (8) Tidak adanya jaminan keamanan. Kemiskinan dapat menimbulkan masalah negatif yang dapat menimbulkan kerusakan peradapan seperti rasis, goncangan sistem kelas,
sexism dan kriminalitas (Hall, 2006).
Menurut Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan masih jauh dari tingkat optimal dan berkelanjutan. Terlebih lagi menurt Olsen (1993) sumberdaya pesisir yang bersifat open-access resurces
mendorong setiap orang mengeksploitasi tanpa batas. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya di wilayah pesisir mudah mengalami degradasi atau kerusakan. Fenomena kerusakan alam ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya di wilayah pesisir.
sampai sekarang. Sasaran utama program ini adalah masyarakat pesisir yang miskin akibat dampak krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Program PEMP di Propinsi Jawa Barat telah diimplementasikan sejak tahun 2001 hingga saat ini. Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat; meski program tersebut sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas seperti sosial, lingkungan, dan infrastruktur (Gambar 1).
Analisis ini hanya menitik-beratkan pada aspek ekonomi saja; sedangkan aspek lainnya hanya digunakan untuk memperkaya analisis ekonomi. Evaluasi ekonomi itu pada prinsipnya menelaah apakah peningkatan pendapatan nelayan akibat introduksi program PEMP itu cukup nyata atau tidak, serta menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan tersebut.
3.2 Hipotesis
1) Program PEMP di lokasi penelitian menghasilkan peningkatan pendapatan secara nyata dibanding dengan sebelum adanya program.
2) Peningkatan pendapatan di Kabupaten Cirebon tidak berbeda nyata dibanding dengan Kabupaten Subang.
3) Variabel modal awal berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total.
4) Variabel penambahan modal berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total.
5) Variabel tingkat pendidikan masyarakat pesisir berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total masyarakat pesisir.
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran
Keterangan Gambar bagan.
= Implimentasi program PEMP yg dilaksanakan oleh DKP
Melalui Dinas Kelautan & Perikanan Kab./ Kota, selanjutnya dampak program dianalisis sesuai dgn tujuan yg akan dicapai
= Hasil Penelitian merupakan rekomendasi untuk penyempurnaan program PEMP oleh Departemen kelautan dan Perikanan
Dampak
Tingkat Pendapatan Peserta Program
Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan
Wicocson sign rank test
Regresi berganda ANALISIS DAMPAK
Rekomendasi untuk penyempurnaan progmam
KEBIJAKAN DKP
PROGRAM PEMP
MASYARAKAT PESISIR
KMP-II KMP..n
KMP-I
LEPP-M3
3.3 DisainPenelitian
Pengaruh program PEMP terhadap peningkatan pendapatan peserta program dikaji dengan menggunakan hubungan antara variabel peningkatan pendapatan dengan modal awal, tambahan modal selama program PEMP, tingkat pendidikan, persepsi responden terhadap prospek usaha, lokasi, umur tahun pelaksanaan (dihitung dari tahun penelitian), persepsi responden terhadap kecakapan dirinya, dan jenis mata pencaharian. Mengingat variabel-variabel itu tidak di bawah kendali peneliti, pengumpulan dan pengukurannya dilakukan dengan disain ex post facto. Disain ini pada dasarnya merupakan pengukuran suatu peristiwa yang telah terjadi. (Umar, 2004).
Pengumpulan data tersebut mencakup kegiatan studi kasus, survai, dan riset korelasi.
3.4 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data
3.4.1 Jenis dan sumber data
Data primer adalah data nominal maupun ordinal hasil pengukuran langsung melalui kuesioner yang telah disediakan, data sekunder menyangkut informasi tematik tentang masyarakat dan tatalaksana program PEMP di lokasi penelitian.
Data bersumber dari hasil survai kepada para nelayan dan informan lainnya, yaitu:
KMP nelayan;
KMP budidaya;
KMP pengolahan;
KMP pedagang ikan;
Pengurus LEPP-M3, Pengurus Mitra Desa, dan Pengurus KMP; dan
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten.
3.4.2 Pengumpulan dan pengolahan data
dan perdagangan hasil laut. Penghitungan tingkat kesalahan dari pengambilan contoh, digunakan rumus Slovin yang dikutip dari Umar (2003: 120), yaitu: n = N/(1+Ne2) dengan keterangan bahwa n adalah ukuran contoh, N adalah ukuran populasi, dan e adalah kesalahan yang ditoleransi. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Metoda pengumpulan datanya adalah sebagai berikut:
• Desk study, yang digunakan untuk mempelajari konsep-konsep dan hasil penelitian terkait.
• Pengamatan, yang dilakukan untuk mempelajari situasi infrastruktur
di lingkungan responden.
• Wawancara, yang dilakukan kepada responden maupun informan.
Penentuan pengambilan contohnya dilakukan dengan cara acak berstrata
(stratified random sampling). Tahun pelaksanaan PEMP dijadikan sebagai strata yang dalam hal ini dibagi tiga strata, yaitu pelaksanaan tahun 2001, 2002, dan 2003.
Jumlah contoh masing-masing Kabupaten adalah 50 contoh. Dengan ukuran contoh sebesar itu, nilai kesalahan sampling menurut rumus Slovin akan berkisar 10-15%.
2) Data yang terkumpul ditabulasi dengan menggunakann Microsoft Excell. Pengolahan data dan pengujuan statistik menggunakan paket program SPSS-14
(Statistical Package for Social Sciences).
3.4.3 Definisi dan pengukuran variabel
Untuk menegaskan batas-batas penelitian secara jelas, maka variabel-variabel penelitian didefinisikan secara khusus sebagai berikut:
1) Peningkatan pendapatan total nelayan adalah selisih antara pendapatan total masyarakat pesisir setelah program dikurangi pendapatan total sebelum program PEMP.
3) Pendapatan sebelum program adalah pendapatan masyarakat pesisir sebelum program PEMP diintroduksikan.
4) Pendapatan setelah program adalah tingkat pendapatan masyarakat pesisir setelah menjadi peserta program PEMP selama 3 tahun.
5) Modal awal adalah modal yang dilibatkan dalam kegiatan matapencaharian masyarakat pesisir sebelum adanya program PEMP.
6) Tambahan modal adalah jumlah modal yang diperoleh masyarakat pesisir selama mengikuti program PEMP.
7) Persepsi tentang prospek ekonomi kegiatan yang dilaksanakan oleh responden adalah ekspektasi responden terhadap peluang kemajuan usaha yang dijalankannya.
8) Lokasi adalah Kabupaten Cirebon dan Subang.
9) Tahun pelaksanaan adalah umur program dihitung dari tahun pelaksanaan penelitian (2006).
10) Persepsi tentang kecakapan sendiri adalah penilaian responden terhadap kecakapan dirinya.
11) Jenis mata pencaharian adalah jenis mata pencaharian kepala keluarga yang menjadi responden penelitian.
Variabel-variabel penelitian di atas (yang semuanya merupakan variabel ekonomi) diukur dengan angka nominal, kecuali tingkat pendidikan dan persepsi tentang prospek usaha yang merupakan data ordinal.
3.5 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Subang. karena keduanya merupakan dua kabupaten yang memperoleh perlakuan program PEMP relatif sama. Selanjutnya penentuan kecamatan dalam setiap kabupaten didasarkan pada strata tahun pelaksanaan program PEMP. Artinya sama-sama melaksanakan dalan tahun 2001 dan 2002 (tahap inisiasi) Adapun kecamatan terpiliha adalah sebagai berikut:
Mundu.
Kabupaten Subang: Kecamatan Blanakan, Legok Kulon, dan Pusaka Nagara.
3.6 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan (Pebruari – April) 2006
3.7 Metoda Analisis
3.7.1 Analisis deskriptif univariat
Analisis deskriptif univariat menyajikan distribusi frekuensi. Dengan deskripsi ini, akan diketahui kecenderungan responden berkenaan dengan variabel penelitian yang digunakan.
3.7.2 Wilcoxon signed rank test
Analisis ini digunakan dalam rangka menguji apakah pendapatan masyarakat pesisir itu meningkat secara nyata setelah mengikuti program PEMP. Peluang kejadian pendapatan masyarakat antara sebelum dengan sesuadah mengikuti program PEMP adalah sebagai berikut:
Ya > Yb
Ya = Yb
Ya < Yb
dengan keterangan Ya = pendapatan sebelum program, dan Yb = pendapatan sesudah program.
Dalam formula Wilcoxon, untuk menguji apakah ada perbedaan pendapatan sebelum dengan sesudah mengikuti program PEMP dilakukan rangkaian uji sebagai berikut:
1) Hipotesis
Jika d adalah selisih pendapatan antara sebelum dengan sesudah program PEMP, maka disusun hipotesis berikut:
H1: d ≠ 0 (pendapatan sebelum berbeda dengan sesudah program)
2) Dasar Pengambilan Keputusan
• Dengan membandingkan nilai z hitung dengan z tabel:
Jika z hitung < z tabel, maka H0 diterima; dan
Jika z hitung > z tabel, maka H0 diterima.
Adapun untuk memperoleh z hitung itu digunakan rumus sebagai berikut:
z = [T -{1/4(N)(N+1)}]/√ [1/24(N)(n+1)(2N+1)]
dengan keterangan T adalah selisih pendapatan terkecil (tanda tidak diperhatikan) dan N adalah jumlah contoh (setelah mengeluarkan contoh yang memiliki nilai yang benar-benar sama).
• Dengan melihat angka probabilitas:
Probabilitas > α maka H0 diterima
Probabilitas < α maka H0 ditolak
dengan keterangan α adalah nilai kesalahan (yang dalam penelitian ini digunakan 5%, karena penelitian ingin memperoleh informasi pada selang kepercayaan 95%).
Karena pada penelitian ini proses penghitungan menggunakan SPSS 14, maka digunakan pendekatan probabilitas. Jadi tidak dilakukan proses penghitungan manual seperti yang ditunjukkan pada rumus di atas.
3.7.3 Analisis regresi berganda
Analisis regresi berganda yang dilakukan ditunjukkan dengan rumus umum sebagai berikut:
Y = ƒ (X1, X2, X3i, X4, X5, X6, X7, X8i)
dengan keterangan bahwa:
Y adalah peningkatan pendapatan sesudah mengikuti program PEMP.
merupakan nilai nominal pendapatan pada tahun berjalan (current income). Pendekatan ini digunakan, karena dalam persepsi sederhana (mindset)
nelayan maupun pengelola program, yang dimaksud dengan pendapatan itu senantiasa merujuk pada nilai nominal pendapatan; dan tidak dikaitkan dengan pengertian ‘daya beli’ (purchasing power) pendapatan.
X1 adalah modal awal. Nilai ini diukur dengan angka interval sesuai dengan
nilai modal awal yang dimiliki oleh responden.
X2 adalah tambahan modal selama program. Tambahan ini tidak dibedakan
apakah tambahan itu bersumber pada modal sendiri, kredit bank, maupun kredit dari PEMP.
X3i adalah tingkat pendidikan. Ini merupakan dummy variable (X31...X33).
Nilai variabel adalah sebagai berikut:
X31 X32 X33
SD 1 0 0
SMP 0 1 0
SMA 0 0 1
Lebih dari SMA 0 0 0
X4 adalah persepsi responden tentang prospek usaha ekonomi yang
dijalankannya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang dihasilkan dari rata-rata angka Skala Lickert (Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1). Semua pertanyaan (ada 5 pertanyaan) merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai “persepsi responden terhadap prospek usaha itu semakin baik”.
X5 adalah dummy variable untuk lokasi (Kabupaten Cirebon dan Kabupaten
Subang). Ini merupkan variabel biner, X5 bernilai 1 untuk Cirebon dan 0 untuk Subang.
X6 adalah tahun pelaksanaan PEMP. Nilai diukur dengan nilai interval umur
X7 adalah variabel persepsi responden tentang kecakapan dirinya dalam
menjalankan usahanya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang dihasilkan dari rata-rata angka Skala Lickert (Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1). Semua pertanyaan (ada 5 pertanyaan) merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai “persepsi responden menilai dirinya lebih cakap”.
X8i adalah jenis mata pencaharian responden. Ini merupakan dummy variable
(X81...X83). Nilai variabel adalah sebagai berikut:
X81 X82 X83
Nelayan 1 0 0
Pedagang 0 1 0
Pengolah 0 0 1
Petambak 0 0 0
Untuk melihat pengaruh variabel bebas (Xi) terhadap variabel terikat (Y), dilakukan tiga tahap komputasi, yaitu:
Tahap 1: Seluruh variabel bebas dimasukkan dan dilakukan komputasi
dengan menggunakan SPSS-14. Kemudian dianalisis hasilnya.
Tahap 2 (Iterasi I): Setelah mengoperasikan model yang utuh, dilakukan
iterasi dengan metoda “entered/removed”, yang dalam hal ini digunakan metoda “entered”. Komputer secara iteratif memilih variabel yang memiliki korelasi yang relatif tinggi, baik berkorelasi positif maupun negatif. Kemudian dianalisis hasilnya.
Tahap 3 (Iterasi II): Iterasi kedua adalah menganalisis regresi berganda,
hanya dengan memasukkan variabel bebas yang pada Iterasi I menunjukkan pengaruh nyata pada taraf <5%.