• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman fenotipik dan genetik, profil reproduksi serta strategi pelestarian dan pengembangan sapi katingan di Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman fenotipik dan genetik, profil reproduksi serta strategi pelestarian dan pengembangan sapi katingan di Kalimantan Tengah"

Copied!
468
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK,

PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN

SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

BAMBANG NGAJI UTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah”, adalah karya saya sendiri di bawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(4)

KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK,

PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN

SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

BAMBANG NGAJI UTOMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.

2. Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA

(6)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Nama : Bambang Ngaji Utomo

NRP : D161070061

Program Studi / Mayor : Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Prof. Dr. drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc.

Ketua Anggota

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Anggota Anggota

.

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal ujian: 28 Juli 2011 Tanggal lulus:

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang

Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya

ilmiah dengan judul “Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta

Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah”

berhasil diselesaikan.

Penelitian yang dilaksanakan selama 15 bulan (November 2009 sampai

Januari 2011) mempunyai arti penting mengingat: (1) Sapi Katingan adalah

plasma nutfah yang tidak hanya sebagai aset daerah namun juga aset nasional

yang perlu dilestarikan, dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kesejahteraan

masyarakat khususnya Kalimantan Tengah, (2) Sapi Katingan unik karena hanya

dipelihara oleh masyarakat lokal (suku Dayak), mempunyai nilai kultural tinggi

dan nilai sejarah, sehingga dengan demikian ikut serta memberdayakan

masyarakat asli Kalimantan Tengah yang dewasa ini terkesan terpinggirkan

melalui kegiatan bidang peternakan, dan (3) keberadaan Sapi Katingan mulai

mengkhawatirkan sementara informasi dan data dasar ternak sangat minim karena

belum pernah dilakukan penelitian, padahal data tersebut penting sebagai pijakan

untuk pengembangan Sapi Katingan di masa mendatang.

Penelitian ini dapat terlaksana karena dukungan dari berbagai pihak, untuk

itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada:

1. Guru-guru yang berkomitmen dan berdedikasi tinggi, Prof. Dr. Ir. Ronny

Rachman Noor, M.Rur.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.

drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc., Prof. Dr. drh. Iman Supriatna dan Prof. Dr.

Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi

Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam

membimbing sejak memunculkan ide penelitian, pelaksanaan kegiatan

penelitian, penulisan proposal, artikel sampai selesainya penulisan disertasi

ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahala dan diampuni dosanya oleh

(8)

2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan

Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti Program S3.

3. Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

(BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Kalimantan Tengah, yang telah memberikan kepercayaan dan dorongan

kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan

dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB dan seluruh jajarannya, yang

telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.

5. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Ketua Departemen Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB yang

sekaligus sebagai anggota komisi pembimbing dan Dr. Ir. Rarah R.A.

Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi

Peternakan (ITP) atas dukungannya baik dari aspek akademis maupun non

akademis.

6. Prof. Dr. Ir. Harimurti Martojo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dewi Apriastuti, MS.

atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor.

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. dan Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA.

masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup. Dr. Ir. Bess

Tiesnamurti, M.Sc. dan Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. masing-masing

sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

7. Ford Foundation dan The Indonesian International Education Foundation

(IIEF) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menerima

beasiswa Indonesian Scholar Dissertation Award (ISDA), sehingga sangat

membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian lapang dan

laboratorium.

8. Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah,

(9)

bidang Peternakan, Dinas Pertanian Kabupaten Katingan beserta staf, yang

telah memberikan dukungan, informasi dan bantuan tenaga di lapang.

9. Kaspul dan Minarni, Ka UPTD dan penyuluh dari Kelurahan Pendahara,

Kristiance, Ida dan Izul, Ka UPTD dan penyuluh dari Buntut Bali, Sriyono

petugas teknis lapang Desa Tumbang Lahang yang telah membantu

kelancaran pelaksanaan kegiatan di lapang.

10. Teman-teman di laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Fapet IPB

yang telah membantu mengarahkan dari aspek teknis dan memberikan

wawasan sehingga penelitian laboratorium bisa berjalan lancar.

11. Teman-teman seangkatan tahun 2007, Ir. Aron Batubara, M.Sc., Ir. Eko

Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda Takaendengan, S.Pt., M.Si. dan Suryana,

S.Pt., MP. yang saling memberikan dukungan, semangat dan berbagi

wawasan.

12. Prof. Dr. Ir. Winugroho, M.Sc. yang selalu memberikan semangat, motivasi

dan arahan.

13. Akhirnya ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada orang tua dan

mertua, istri tercinta Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. serta ananda Yaumil Putri

Erlambang, Puspita Vania Prajnaparamitha Ramadhani dan Bunga Rajhana

Ragil Gayatri atas dukungan, pengertian dan do’anya.

Pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih

banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan

bahwa karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu

peternakan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah serta pembaca.

Bogor, Agustus 2011

(10)
(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Blora, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah

pada tanggal 3 Desember 1961. Penulis merupakan anak kedua dari enam

bersaudara dari pasangan ayah Karsan Hadiprajitno dan almarhum ibu Satipah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Jetis II

Blora pada tahun 1974, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri II Blora

pada tahun 1977, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri Blora pada tahun

1981. Pada tahun 1981 penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1999 penulis mengikuti

pendidikan pascasarjana di Wageningen University, Belanda dengan bantuan

beasiswa berbagi antara Pemerintah Indonesia (Badan Litbang Pertanian) dengan

Pemerintah Belanda (VNONCW). Program studi yang diambil adalah Tropical

Animal Production dan berhasil lulus pada tahun 2001 dengan menyandang gelar

Master of Science (MSc). Pada tahun 2007 penulis kembali melanjutkan studi S3

di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengambil program studi/mayor Ilmu

dan Teknologi Peternakan (ITP). Bantuan beasiswa berasal dari Badan Litbang

Pertanian.

Sejak tahun 1989 penulis bekerja di Balai Penelitian Veteriner Bogor,

kemudian pada tahun 1991 dipindah tugaskan di Sub Balai Penelitian Veteriner

Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1995 bekerja di Instalasi Penelitian

dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru selama 2 tahun, kemudian sejak

tahun 1997 bertugas di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah

sampai sekarang sebagai Peneliti Madya.

Penulis menikah dengan Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. pada tahun 1989 dan

dikaruniai tiga orang puteri, yaitu Yaumil Putri Erlambang, Puspita Vania

Prajnaparamitha Ramandhani dan Bunga Rajhana Ragil Gayatri.

Bogor, Agustus 2011

Penulis

(12)

DAFTAR PUBLIKASI

1. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, dan E.D. Gunardi. 2011. Keragaan Fenotipik Kualitatif Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Bulletin Plasma Nutfah (Terakreditasi)

2. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, E.D. Gunardi. 2010. Keragaan Morfometrik Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (Terakreditasi)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Dasar Pertimbangan ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ………... 6

TINJAUAN PUSTAKA Plasma Nutfah Ternak Sapi ... 7

Keragaman ... 9

Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity ... 13

Tingkah Laku Kelamin ……… 14

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ... 17

Bahan dan Alat ……….... 19

Metode Penelitian ……… 20

Analisis Data ……… 20

EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH Abstract ... 21

Abstrak ... 21

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 24

Hasil dan Pembahasan ... 26

Simpulan dan Saran ... 50

Daftar Pustaka ... 51

KERAGAMAN FENOTIPIK KUALITATIF SAPI KATINGAN Abstract ... 53

Abstrak ... 53

Pendahuluan ... 54

Bahan dan Metode ... 55

Hasil dan Pembahasan ... 57

Simpulan dan Saran ... 72

Daftar Pustaka ... 72

(14)

Abstrak ... 75

Pendahuluan ... 76

Bahan dan Metode ... 78

Hasil dan Pembahasan ... 83

Simpulan dan Saran ... 93

Daftar Pustaka ... 94

KERAGAMAN GENETIK SAPI KATINGAN DAN HUBUNGAN KEKERABATANNYA DENGAN BEBERAPA SAPI LOKAL LAIN BERDASARKAN PADA 15 LOKUS MIKROSATELIT Abstract ... 97

Abstrak ... 97

Pendahuluan ... 98

Bahan dan Metode ... 100

Hasil dan Pembahasan ... 106

Simpulan dan Saran ... 121

Daftar Pustaka ... 122

IDENTIFIKASI HORMON PROGESTERON PADA VARIASI UMUR UNTUK ESTIMASI PERMULAAN PUBERTAS SAPI KATINGAN BETINA Abstract ... 127

Abstrak ... 127

Pendahuluan ... 128

Bahan dan Metode ... 130

Hasil dan Pembahasan ... 132

Simpulan dan Saran ... 141

Daftar Pustaka ... 142

TINGKAH LAKU KELAMIN SAPI KATINGAN JANTAN PADA MANAJEMEN EKSTENSIF TRADISIONAL Abstract ... 147

Abstrak ... 147

Pendahuluan ... 148

Bahan dan Metode ... 150

Hasil dan Pembahasan ... 151

Simpulan dan Saran ... 157

Daftar Pustaka ... 157

PEMBAHASAN UMUM ……… 161

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 171

Saran ... 172

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi ternak di Kabupaten Katingan tahun 2003-2007 ... 26

2. Tataguna lahan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ... 27

3. Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang ... 30

4. Struktur penduduk berdasarkan usia produktif, pendidikan, dan pekerjaan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang... 31

5. Populasi ternak di Kelurahan Pendahara (2008), Desa Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada tahun 2010 ... 32

6. Responden dan keluarga berdasarkan struktur umur tahun 2009 ... 33

7. Tingkat pendidikan responden ……….. 33

8. Pekerjaan utama responden ... 34

9. Jenis tanaman yang diusahakan oleh responden ... 34

10. Pendapatan tahunan per KK (responden) pada kegiatan usahatani campuran (mix farming) di tiga lokasi penelitian ... 36

11. Hasil pemeriksaan kotoran sapi lokal di 11 titik ranch di Desa Buntut Bali dan Kelurahan Pendahara ... 39

12. Kinerja budidaya Sapi Katingan berdasarkan informasi responden di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ... 40

13. Rumusan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ……… 48

14. Distribusi contoh Sapi Katingan untuk karakterisasi kualitatif ... 56

15. Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ... 59

16. Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ... 62

(16)

18. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ... 69

19. Bentuk tonjolan di kepala pada sapi lokal Kalimantan Tengah ... 71

20. Distribusi contoh Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian yang

diambil secara acak ... 79

21. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) bobot hidup Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis

kelamin ... 84

22. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter tubuh Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan

jenis kelamin ... 86

23. Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter kepala Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan

jenis kelamin ……….. 88

24. Presentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara

kelompok Sapi Katingan ... 91

25. Matrik jarak genetik antar tiga lokasi (sub populasi) Sapi Katingan 91

26. Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh sapi Katingan di tiga

lokasi penelitian ... 93

27. Distribusi contoh darah sapi untuk pemeriksaan keragaman

genetik ... 101

28. Karakteristik 15 lokus mikrosatelit ……… 104

29. Sebaran genotipe untuk masing-masing lokus mikrosatelit pada

tiga subpopulasi Sapi Katingan ... 108

30. Jumlah alel yang dihasilkan setiap lokus DNA mikrosatelit pada

Sapi Katingan di tiga subpopulasi ... 109

31. Sebaran frekuensi alel tertinggi dan terendah pada tiga subpopulasi

Sapi Katingan yang diskrining dengan 15 lokus DNA mikrosatelit 114

32. Alel-alel pada 15 lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali, Pendahara, atau Tumbang

Lahang ... 115

33. Nilai heterozigositas dan rataan heterozigositas ke 15 lokus

(17)

34. Nilai rataan heterozigositas 15 lokus mikrosatelit pada populasi

Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian ………... 118

35. Perbandingan nilai rataan heterozigositas ( ) antara Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya yang diskrining dengan variasi lokus

mikrosatelit ………. 118

36. Matrik jarak genetik Nei (1978) antara tiga subpopulasi Sapi

Katingan dengan Sapi PO, Sapi Bali dan Sapi Bos Taurus ……... 119

37. Distribusi contoh darah Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon

progesteron ………. 131

38. Hasil pemeriksaan hormon progesteron pada variasi umur Sapi

Katingan ………. 134

39. Perbandingan umur pubertas sapi tropis dan subtropis ………….. 135

40. Konsentrasi Cu Sapi Katingan dari contoh darah sapi yang sama

untuk pemeriksaan hormon progesteron ……… 138

41. Hasil pengamatan yang memberikan gabaran umum tingkah laku

seksual pejantan Sapi Katingan ……….. 153

(18)
(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur kerangka pemikiran penelitian ... 5

2. Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan ………... 18

3. Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian di Kabupaten Katingan ... 29

4. Kontribusi variasi komoditas dalam % terhadap pendapatan

keluarga responden per tahun di lokasi penelitian sapi lokal …….. 37

5. Pemeliharaan sapi secara ekstensif di dalam ranch ... 38

6. Tali yang dibentangkan diantara pepohonan untuk menautkan tali

kekang sapi ... 39

7. Manajemen reproduksi 1 induk 1 anak dalam 1 tahun (20

responden) ... 41

8. Tanaman Karabayan penjinak sapi liar ……….. 42

9. Cara mengumpulkan sapi dengan memberi air garam ... 43

10. Kuadran analisa pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan … 49

11. Bentuk tanduk dan tonjolan di kepala pada Sapi Katingan dewasa

betina ... 57

12. Performan Sapi Katingan dewasa jantan dan betina ……… 58

13. Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ... 60

14. Keragaman warna Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian .. 61

15. Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ……… 63

16. Keragaman warna Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian .. 64

17. Sapi Katingan jantan umur 13 bulan dengan perubahan warna

hitam di punuk mulai nampak jelas ………... 67

18. Keragaman bentuk tanduk pada Sapi Katingan dewasa betina ….. 68

19. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina di tiga lokasi

(20)

20. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ……….. 70

21. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian ……… 70

22. Variasi tonjolan pada Sapi Katingan betina ………... 71

23. Perkiraan umur sapi berdasarkan pergantian gigi seri ……… 78

24. Bagian-bagian permukaan tubuh sapi yang diukur ……… 80

25. Perbandingan bobot badan Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Abdullah (2008), 2)Sarbaini (2004), 3)Suryoatmojo (1993), 4)Wijono dan Setiadi (2004) ……….. 85

26. Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Utomo et al. (2011), 2)Abdullah (2008), 3)Sarbaini (2004), 4,5,6)Surjoatmodjo (1993) ………... 87

27. Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Suryoatmojo (1993), 2)Sarbaini, 3)Abdullah (2008) ….. 87

28. Gambaran kanonikal Sapi Katingan di lokasi penelitian Buntut Bali (B), Pendahara (P) dan Tumbang Lahang (T) ... 89

29. Pohon fenogram dari ketiga lokasi (subpopulasi) Sapi Katingan .. 92

30. Pola pita 2 lokus mikrosatelit (ILSTS045 dan ILSTS052) hasil elektroforesis PAGE 6% pada genom Sapi Katingan. M: Marker DNA (20 bp), Lajur 1-12: produk PCR ………. 107

31. Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan ………. 111

32. Pohon filogenik pada tiga subpopulasi Sapi Katingan dan dengan beberapa sapi lokal lain ……….. 119

33. Pohon filogenik dan fenogram pada tiga subpopulasi Sapi Katingan ………. 120

34. Konsentrasi hormon progesteron pada individu-individu Sapi Katingan berbagai umur ………. 134

35. Konsentrasi Cu pada Sapi Katingan yang diperiksa hormon progesteronnya ………... 139

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuisener kegiatan penelitian eksploratif Sapi Katingan ... 181

2. Daftar sapi yang diambil contoh darahnya untuk pemeriksaan

DNA mikrosatelit ... 203

3. Macam, ukuran alel dan genotipe pada 15 lokus mikrosatelit Sapi

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi

kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai

negara tropis Indonesia memiliki plasma nutfah ternak cukup berlimpah, khusus

untuk ternak sapi, Indonesia memiliki banyak bibit-bibit ternak sapi unggulan.

Jenis-jenis ternak sapi asli dan sapi lokal Indonesia adalah Sapi Bali, Sapi PO,

Sapi Madura, Sapi Aceh, Sapi Grati, Sapi Jawa, Sapi Pesisir (Otsuka et al. 1980; Pane 1993; Soeroso 2004; Sarbaini 2004; Johari et al. 2007; Astuti et al. 2007; Abdullah 2008). Definisi ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau

introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi

kelima atau lebih yang telah teradaptasi pada lingkungan dan atau manajemen

setempat (Ditjennak 2009).

Plasma nutfah sapi tersebut merupakan modal dasar bagi pembangunan

subsektor peternakan karena dapat direkayasa untuk pembentukan bibit ternak

unggul yang sesuai dengan kondisi tropis dan secara sosial budaya dapat diterima

masyarakat.

bahkan dalam kondisi lingkungan yang minimal. Sapi mampu memanfaatkan

pakan berkualitas rendah dan mempunyai daya reproduksi yang baik, yaitu

mampu menghasilkan anak setiap tahun dan dapat beranak lebih dari 10 kali

sepanjang hidupnya. Selain itu sapi lokal juga lebih tahan terhadap penyakit

marginal serta tahan terhadap serangan caplak. Sapi PO yang termasuk Bos indicus potensial dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis. Sapi-sapi lokal tersebut sangat penting untuk

dilindungi, dimanfaatkan dan dikembangkan secara hati-hati dan bijaksana guna

menghindari kerusakan genotip yang telah mereka miliki sebagai bangsa sapi

tertentu. Sangat disayangkan sapi-sapi unggul tersebut banyak yang tidak

dikembangbiakkan sebagaimana mestinya, akibatnya ukuran tubuh ternak

semakin mengecil, sebagaimana dilaporkan oleh Abdullah (2008) pada sapi Aceh.

(23)

dilaksanakan secara seleksi pada komunitas in-situ yang telah cocok dengan lingkungannya. Program seleksi diterapkan untuk memelihara kemurniannya

dalam rumpun dan meningkatkan kompetisi ekonominya atau produksinya,

sementara dengan tetap memelihara sifat khas dari sapi tersebut.

Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin

meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya

beli masyarakat. Meningkatnya permintaan yang cenderung lebih besar daripada

produksi mengesankan seolah populasi sapi tidak meningkat padahal terkuras

untuk memenuhi permintaan yang selama 5 tahun terakhir (2006-2010) rata-rata

mencapai 446 042 ton/tahun dengan senjang produksi pada tahun 2010 sebesar

10.920 ton (Mayulu et al. 2010). Populasi sapi dari tahun 2005 sampai 2010 dilaporkan Mayulu et al. (2010) selalu meningkat setiap tahunnya dari 11 045 900 ekor pada tahun 2005 menjadi 14 763 000 ekor pada tahun 2010. Salah satu upaya

untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut adalah dengan meningkatkan

populasi dan produktivitas sapi potong. Bibit sapi potong lokal merupakan salah

satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya

mendukung terpenuhinya kebutuhan daging, sehingga diperlukan upaya

pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006).

Berbagai potensi sumberdaya genetik ternak yang ada, unggas, ruminanasia

besar, ruminansia kecil bahkan juga ternak-ternak yang berpotensi penghasil

daging (promising commodity) perlu dimanfaatkan secara maksimal agar

swasembada daging dapat segera tercapai.

Usaha peternakan di Indonesia membutuhkan sumberdaya genetik ternak

sebagai bahan untuk merakit bibit ternak unggul agar peternakan mampu

berkembang secara maksimal. Hal ini sesuai dengan yang diamanahkan pada UU

No. 18 tahun 2009, dimana upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan

dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu

upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan ke depan yaitu melestarikan potensi

genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Keanekaragaman sumberdaya genetik ternak perlu dipertahankan, untuk

(24)

rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan,

terciptanya lapangan kerja, dan peningkatan devisa negara.

Dasar Pertimbangan

Kalimantan Tengah yang sebagian wilayahnya dilalui oleh garis

khatulistiwa memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, diantaranya adalah

plasma nutfah sapi potong. Sapi tersebut terletak di Kabupaten Katingan dan

Gunung Mas. Keunikannya adalah sapi tersebut hanya dibudidayakan oleh

masyarakat Dayak yang merupakan masyarakat lokal Kalimantan Tengah, di

sepanjang daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Katingan di Kabupaten

Katingan dan DAS Kahayan di Kabupaten Gunung Mas, sedangkan sapi asli dan

sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO dipelihara oleh

masyarakat pendatang (transmigran). Sapi lokal yang ada di Kabupaten Gunung

Mas sudah sulit dijumpai dan kemungkinan hampir punah, sedangkan sapi yang

berada di Kabupaten Katingan relatif terjaga populasinya walaupun dalam jumlah

tidak besar. Manajemen pemeliharaannya yang menyebar di sepanjang daerah

aliran sungai Katingan, sehingga sapi tersebut dinamakan Sapi Katingan.

Masyarakat Dayak sendiri menyebutnya dengan panggilan sapi lokal atau

kadang-kadang sapi “Helu” (sapi jaman dahulu), tidak pernah mereka menamakannya sapi Katingan. Istilah sapi Katingan diproklamirkan untuk membedakan dengan

sapi lokal lainnya. Penamaan sapi diberikan sesuai lokasi habitatnya sebagaimana

umumnya pada sapi-sapi lokal lainnya (Abdullah 2008; Sarbaini 2004; Sun et al.

2008).

Sapi Katingan dipelihara oleh masyarakat Dayak sudah ratusan tahun

sebelum ada introduksi sapi lokal lainnya baik melalui program pemerintah

maupun swasta. Sapi Katingan adalah sapi lokal Kalimantan Tengah yang sangat

terkait dengan nilai kultural dan sejarah warisan masyarakat Dayak. Berbagai

acara ritual masyarakat Dayak selalu memanfaatkan sapi tersebut sebagai hewan

korbannya, tidak dengan sapi lokal lainnya. Dengan demikian keberadaan Sapi

Katingan mempunyai arti penting bagi masyarakat Dayak. Jumlah populasi sapi

secara pasti tidak diketahui apalagi data dinamika populasinya. Nampaknya

(25)

lainnya seperti sapi Bali dan PO. Padahal menurut Noor (2008), sapi lokal adalah

sapi yang terbaik untuk lokal setempat karena sapi-sapi tersebut mampu bertahan

hidup berdasarkan seleksi alam selama bertahun-tahun. Demikian halnya Sapi

Katingan yang mampu bertahan hidup dengan reproduksi yang baik walaupun

dengan manajemen ekstensif tradisional, di daerah yang kondisi cuacanya relatif

ekstrim, keterbatasan sumberdaya pakan terutama kualitasnya, lahan masam (pH

rendah) dan diduga defisiensi mineral tertentu (Darmono 2009).

Eksistensi Sapi Katingan ke depan mulai terancam. Populasi sapi

berkembang lambat dan cenderung stagnan. Pemasaran dan perkembangan sapi

yang hanya di seputaran wilayah tertentu dikhawatirkan memudahkan terjadinya

kasus inbreeding ditambah lagi dengan masuknya sapi lokal lainnya mengakibatkan sering terjadi crossbreeding. Hal-hal tersebut dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya erosi genetik. Mengingat belum pernah ada penelitian

tentang Sapi Katingan, informasi dasar tentang sapi tersebut sangat minim bahkan

tidak ada, seperti data produktivitas ternak, morfometrik, genetik, lingkungan

budidaya, ketrampilan peternak dan inovasi teknologi yang diterapkan. Astuti et al. (2007) juga melaporkan tidak ada data mengenai Sapi Katingan. Padahal informasi-informasi tersebut sangat penting terkait dengan keberhasilan program

pelestarian, pemanfaatan dan pengembangannya di masa yang akan datang.

Melihat sangat terbatasnya informasi-informasi penting terkait dengan

kesuksesan pengembangan sapi lokal Kalimantan Tengah, perlu dilakukan

penelitian yang sifatnya eksploratif sebagaimana dengan alur pemikiran yang

(26)

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian. Kabupaten Katingan

(Populasi)

Lapangan dan Laboratorium: - Eksistensi sapi Katingan

- Keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya

- Profil reproduksi: umur pubertas dan tingkah laku kelamin Kec. Tewah

Sanggalang Garing Pendahara (subpopulasi)

Kec. Pulau Malan

Buntut Bali (subpopulasi)

Kec. Katingan Tengah Tbg. Lahang (subpopulasi) Sapi Katingan:

sapi lokal Kalimantan Tengah

Profil dan

strategi konservasi Sapi Katingan Potensi:

-Sebagai sumber plasma nutfah daerah/nasional -Potensi ekonomi keluarga dan daerah

-Nilai kultural dan sejarah masyarakat Dayak

Permasalahan:

-Informasi potret budidaya sangat minim

-Populasi rendah dan berkembang hanya pada wilayah tertentu -Data dasar ternak tidak ada

-Ancaman erosi genetik (inbreeding dan crossbreeding)

(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan Jangka Pendek

Berdasarkan uraian di atas dilakukan rangkaian penelitian yang bertujuan:

1. Mengamati eksistensi sapi lokal Kalimantan Tengah yang dikenal dengan

nama Sapi Katingan di daerah aliran sungai Katingan yang meliputi kegiatan

budidaya, lingkungan, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan dan

prospek ke depan.

2. Merumuskan strategi pelestarian dan pengembangannya di Kalimantan

Tengah.

3. Mempelajari keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya dengan

beberapa sapi lokal lainnya.

4. Mempelajari profil reproduksi sapi betina dalam penentuan umur pubertas dan

reproduksi sapi jantan dari aspek tingkah laku kelamin.

Tujuan Jangka Panjang

1. Meningkatkan produksi dan reproduksi sapi serta strategi pemanfaatannya

secara lestari berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

2. Menempatkan Sapi Katingan sebagai salah satu plasma nutfah sapi lokal di

Indonesia.

3. Meningkatkan peran serta secara aktif Pemerintah Daerah dalam peningkatan

populasi Sapi Katingan.

4. Melestarikan nilai kultural masyarakat Dayak melalui pelestarian Sapi

Katingan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam

upaya: (1) optimalisasi reproduksi Sapi Katingan, (2) perbaikan mutu genetik sapi

melalui program seleksi, dan (3) penentuan kebijakan mengenai perlindungan,

pemanfaatan dan pengembangan Sapi Katingan secara berkelanjutan yang sudah

barang tentu secara simultan akan ikut meningkatkan peran sapi tersebut dalam

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Plasma Nutfah Ternak Sapi

Indonesia dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah

menciptakan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Di dalam

keanekaragaman hayati, terdapat keragaman di dalam jenis yang disebut plasma

nutfah. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis

(Sumarno 2002). Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang

besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal

(Kurniawan et al. 2004). Plasma nutfah yang ada harus dipertahankan eksistensinya atau keberadaannya, karena plasma nutfah merupakan aset negara

yang tak ternilai. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai

guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Upaya mengurangi

atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap

plasma nutfah, maka perlu perhatian dalam bentuk kegiatan inventarisasi

(koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi) (Azmi et al. 2006).

Keanekaragaman bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya

genetik ternak asli dan impor. Keanekaragaman ternak menurut Subandriyo dan

Setiadi (2003) penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan

akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Punahnya keanekaragaman

plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan

bioteknologi, paling tidak hingga saat ini. Proses perkembangan sapi di Indonesia

telah menghasilkan plasma nutfah ternak yang lebih beragam. Sarbaini (2004)

mengelompokkan ternak sapi Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak

asli, (2) ternak yang telah beradaptasi, dan (3) ternak impor. Beberapa diantara

sumberdaya ternak sapi tersebut menurut Utoyo (2002) dan Martojo (2003)

adalah Sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti

Sapi Pesisir, Sapi Aceh, Sapi Madura, Sapi Sumba Ongole (SO) dan Sapi

Peranakan Ongole (PO).

Diperlukan upaya untuk mempertahankan ternak-ternak lokal di suatu

(29)

keadaan lingkungan baik terhadap makanan yang bernilai gizi rendah maupun

penyakit terutama di daerah tropis. Dalam mempertahankan sumber daya genetik

atau plasma nutfah ternak diperlukan langkah-langkah yang sistematis. Tahapan

pengelolaan sumber daya genetik ternak menurut Turner (1981) adalah

melakukan dokumentasi, evaluasi, pengembangan rencana pemuliaan

(development of breedingplans) dan konservasi.

Mengacu kepada UU No. 18 tahun 2009, upaya pelestarian ternak asli

Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional

sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan kedepan yaitu

melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan

perekayasaan bibit unggul nasional. Hal ini masih mendapatkan hambatan karena

inventarisasi terhadap potensi berbagai sumberdaya genetik ternak, distribusi,

performans dan perkembangan masih belum lengkap sehingga sangat sulit

dilakukan kebijakan-kebijakan yang strategis khususnya arah dan program kerja

manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya genetik ternak baik secara

morfologis maupun genetik (Azmi et al. 2006).

Keberadaan plasma nutfah tidak mempunyai arti tanpa pemberdayaan

melalui karakterisasi dan evaluasi serta pemanfaatan untuk kesejahteraan.

Menurut KNPN (2002), pemanfaatan plasma nutfah ternak secara umum ada tiga

macam, yaitu :

1. Penggunaan rumpun ternak asli (lokal) sebagai rumpun murni secara terus

menerus. Hal ini diterapkan apabila rumpun ternak impor tidak akan lebih

baik hasilnya dibandingkan dengan ternak asli (lokal), bahkan ternak asli

(lokal) lebih baik mutunya dibandingkan dengan rumpun impor pada kondisi

lingkungan tertentu. Keadaan ini dapat terjadi apabila kondisi produksi dan

pasar statis.

2. Membentuk rumpun baru melalui persilangan. Apabila kondisi produksi atau

pasar berubah secara cepat, maka pembentukan rumpun yang sesuai dengan

persilangan dapat dicapai dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dengan

menggabungkan rumpun-rumpun yang tersedia. Rumpun baru ini dikenal

(30)

3. Penggantian rumpun. Perubahan pasar dan kondisi produksi dapat

mengakibatkan banyak rumpun yang tidak sesuai untuk digunakan lagi. Pada

masa lampau penggantian rumpun dilakukan secara bertahap melalui metode

silang balik berulang (repeated back cross atau grading up) terhadap suatu

rumpun.

Keragaman

Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar

dapat dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu

faktor lingkungan utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa

pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem

pencernaan dan metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak

memiliki sistem pencernaan dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis,

yang antara individu satu dengan individu lain dalam populasi terdapat variasi.

Variasi genetis inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pemuliaan (Sutarno

2009). Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang peranan penting

dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada variasi

genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi

genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan.

Populasi ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun

outcrossing akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya

peningkatan mutu genetik ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi

yang ketat sehingga kemajuan genetik yang diperoleh akan lebih besar (Soeroso

2004). Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan sapi-sapi yang

kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah dilakukan.

Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga dapat

memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Sutarno 2009).

Keragaman dalam populasi dibedakan keragaman fenotipik dan

keragaman genetik (Noor 2008). Keragaman fenotipik lebih banyak digunakan

(31)

molekuler telah berkembang dengan pesat sejak ditemukannya PCR, marker dan

teknologi sekuensing (Hanotte & Jianlin 2005).

Keragaman Fenotipik

Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi.

Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang

sama, antar populasi maupun di dalam populasi. Keragaman pada sapi dapat

dilihat dari ciri-ciri (karakteristik) yang dapat diamati atau terlihat secara

langsung. Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe (Martojo

1992; Hardjosubroto 1994; Noor 2008). Potensi biologik seekor ternak diukur

berdasar kemampuan produksi dan reproduksinya dalam lingkungan pemeliharaan

yang tersedia, karena data kuantitatif potensi biologik yang berupa fenotipe

produksi dan reproduksi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tempat ternak

dipelihara. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil

pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara

genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Populasi

Sapi Jawa yang menyebar pada lokasi-lokasi yang berbeda menunjukkan

keragaman performan yang tinggi pada beberapa sifat kuantitatif, hal ini

disebabkan karena kondisi pakan pada setiap lokasi tidak sama (Soeroso 2004),

kondisi yang relatif sama dilaporkan oleh Bugiwati (2007) pada Sapi Bali di

Sulawesi Selatan.

Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi

sifat-sifat penting yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas

yang bersangkutan. Karakterisasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif

(Sarbaini 2004; Noor 2008).

Ukuran-ukuran tubuh yang merupakan sifat kuantitatif mempunyai

peranan yang penting untuk melihat produktivitas ternak. Rekwot et al. 2000 dan Ho Son et al. 2001 melakukan penelitian dengan menghubungkan antara sifat kuantitatif (bobot badan) dengan umur pubertas sapi. Ukuran-ukuran tubuh

banyak dikaitkan dengan bobot badan. Pada sapi ukuran tubuh yang digunakan

untuk menentukan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan Abdullah

(32)

Warna bulu dan bentuk tanduk merupakan bentuk ekspresi gen lainnya

selain ukuran tubuh yang dikenal dengan sifat kualitatif (Noor 2008). Sifat

kualitatif menurut Soeroso (2004) dan Noor (2008) tidak banyak dipengaruhi oleh

lingkungan (lokasi penyebaran), oleh karena itu sifat kualitatif seperti warna bulu

kulit memiliki keragaman yang rendah. Warna bulu kulit pada sapi dan mamalia

disebabkan kehadiran melanin. Melanin ada 2 tipe yaitu eumelanin yang responsif terhadap warna hitam dan coklat dan phaeomelanin yang responsif terhadap warna merah dan kuning (Russo & Fontanesi 2004). Menurut Fries dan Ruvinsky

(1999), hewan-hewan dengan warna bulu terang yang menutupi kulit berpigmen

gelap akan beradaptasi dengan baik di daerah tropis dimana tingkat radiasi

mataharinya tinggi.

Keragaman Genetik

Studi genetik sangat diperlukan pada kegiatan konservasi. Riwantoro

(2005) menjelaskan bahwa konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang

melibatkan tatalaksana pemanfaatan sumberdaya genetik dengan baik untuk

memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang

dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya. Menurut

Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 konservasi adalah sebagai

pengawetan, yaitu suatu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar

habitatnya tidak punah. Pelestarian keragaman sumberdaya genetik penting dan

diperlukan untuk mengantisipasi perubahan. Keragaman genetik yang tinggi akan

sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang

terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap

penyakit-penyakit yang ada di alam. Berkembangnya teknologi molekuler maka keragaman

genetik, kesamaan genetik dan jarak genetik populasi sapi yang berasal dari

berbagai wilayah dapat dipelajari (Astuti 2004). Menurut Metta et al. (2004) karakterisasi molekuler rumpun sapi adalah penting untuk mencegah erosi genetik

karena adanya crossbreeding.

Polimorfisme protein adalah marker molekuler pertama yang digunakan

(33)

telah didokumentasikan terutama pada periode tahun 1970an (Hanotte & Jianlin

2005). Adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah yang merupakan

polimorfisme biokimia (misalnya albumin, alkaline phosphatase, transferrin dan lain-lain), sel darah merah (acid phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B dan

sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2,

Phosphoglucomutase dan sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa,

Lactoglobulin beta dan sebagainya) juga merupakan keragaman yang dapat dilihat pada sapi (Handiwirawan & Subandrio 2004). Lebih lanjut dikatakan

Handiwirawan dan Subandrio (2004) bahwa jenis-jenis protein di dalam darah

maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme (dengan menggunakan prosedur

elektroforesis), yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis.

Polimorfisme biokimia yang diatur secara genetis dijelaskan oleh Maeda et al.

(1980) sangat berguna untuk membantu penentuan asal usul dan menyusun

hubungan filogenetis antara spesies-spesies. Namun demikian menurut Hanotte

dan Jianlin (2005), level polimorfisme yang diamati pada protein sering rendah

sehingga akan mempengaruhi studi keragaman. Berkembangnaya teknologi

Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, polimorfisme berbasis DNA sekarang menjadi pilihan utama untuk studi keragaman genetik. Berthouly et al. (2008) melaporkan bahwa berbagai penelitian tentang keragaman genetik berbasis

DNA molekuler muncul sekitar tahun 1990an. Salah satu marker DNA molekuler

tertua yang digunakan untuk mengkaji keragaman adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLPs). Dewasa ini teknologi molekuler banyak

dikembangkan untuk mempelajari keragaman genetik pada berbagai variasi sapi

seperti RFLP, AFLP, SNP, mikrosatelit, dll. (Shashikanth & Yadav 2003). DNA

mikrosatelit nampaknya banyak digunakan dan menjadi pilihan terbaik sebagai

alat molekuler untuk karakterisasi rumpun sapi (Metta et al. 2004). Berbagai bangsa sapi di Indonesia dan di dunia telah diteliti keragaman genetiknya dengan

menggunakan mikrosatelit (Pereira et al. 2003; Kim et al. 2004; Ibeagha et al. 2004; Metta et al. 2004; Sarbaini 2004; Liron et al. 2006; Nguyen et al. 2007; Sun

et al. 2008; Abdullah 2008; Hartati 2010).

DNA mikrosatelit merupakan rangkaian molekul DNA pendek yang

(34)

panjangnya, yang mana diulang bisa sampai maksimum 60 kali. Mikrosatelit

mempunyai polimorfisme dan tingkat mutasi yang tinggi. Tingginya polimorfisme

mikrosatelit disebabkan oleh variasi dalam jumlah unit ulangan (Masle 2007).

Penyebab utama mutasi dikarenakan adanya mekanisme replikasi slippage

(Ellegren 2004). Laju mutasi yang cepat dari DNA mikrosatelit lebih disebabkan

oleh perubahan jumlah basa berulang yang mengalami penambahan atau

pengurangan dibandingkan dengan perubahan pada urutan basa (Jeffreys et al. 1991). Tingkat mutasi mikrosatelit dilaporkan kira-kira 10-3 – 10-6 (Zhang & Hewitt 2003; Masle 2007).

Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity

Dewasa kelamin atau pubertas adalah umur atau waktu dimana alat

kelamin mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat berlangsung (Helbig

2005). Partodihardjo (1982) mengemukakan bahwa pubertas adalah periode

dalam kehidupan makhluk jantan atau betina dimana proses reproduksi mulai

terjadi yang ditandai oleh kemampuan untuk pertamakalinya memproduksi benih

dan selain itu menurut Levaseur dan Thibault (1980) juga memperlihatkan

kelakuan kelamin yang kompleks. Pubertas merupakan manifestasi kerja

hormonal dan perubahan level hormon (Lunstra et al. 1978).

Pubertas pada sapi jantan didefinisikan sebagai fase perkembangan tubuh

yang kelenjar gonadnya mensekresikan sejumlah hormon dalam jumlah yang

cukup untuk mempercepat (merangsang) pertumbuhan organ kelamin dan

munculnya sifat-sifat kelamin sekunder (Toelihere 1985; Helbig 2005). Pubertas

dimulai dengan pembentukan sperma hidup di dalam ejakulatnya (Toelihere

1985). Sapi dikatakan telah mencapai pubertas apabila jumlah sperma paling tidak

mencapai 50 x 106

Pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur pada saat pertama

kali munculnya estrus dan terjadi ovulasi (Senseman 1989; Elmer 1981). Hormon

yang berperanan adalah estrogen dan progesteron (Hardjopranjoto 1983). /ml dan motilitas 10% (Lunstra et al. 1978; Brito et al. 2004; Casas et al. 2007; Devkota et al. 2008). Adapun hormon yang berperan dalam proses pubertas pada hewan jantan ialah androgen (Soeparna 1984), utamanya

(35)

Pubertas terjadi ketika hormon gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada

konsentrasi yang cukup tinggi untuk mengawali pertumbuhan folikel, pemasakan

oosit dan ovulasi. Pertumbuhan folikel dapat dideteksi beberapa bulan sebelum

pubertas (Elmer 1981). Umur permulaan pubertas pada sapi betina didefinisikan

sebagai umur ketika konsentrasi serum progesteron >1 ng/ml (Cooke &

Arthington 2009; Getzewick 2005; Sargentini et al. 2007).

Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Hewan

masih memerlukan waktu untuk mencapai level optimum atau dikenal mencapai

dewasa kelamin (sexual maturity). Contohnya pada kerbau jantan menurut Cool dan Entwisle (1989) saat pubertas produksi harian sperma > 0.5 x 106 per gram parenkim testis, sedangkan dewasa kelamin dicapai saat produksi harian sperma

mencapai 14 x 106 per gram parenkim testis.

Tingkah Laku Kelamin

Hafez (1969) membagi sembilan bentuk dasar tingkah laku hewan, salah

satunya adalah tingkah laku kelamin (sexual behavior). Tingkah laku kelamin betina tergantung pada keseimbangan sirkulasi endokrin, yang dikontrol oleh

sekresi ovarium, terutama estrogen. Betina ketika estrus menjadi receptive mereka menaiki atau dinaiki oleh sapi betina lainnya dan ini berlangsung sekitar 1 hari.

Tingkat tingkah laku kelamin ditentukan oleh genetik, faktor lingkungan, faktor

fisiologis, kesehatan dan pengalaman sebelumnya (Hafez & Hafez 2000).

Sapi betina akan menerima pejantan hanya selama benar-benar periode

estrus. Pejantan mendeteksi pro-estrus betina sekitar 2 hari sebelum estrus

(Albright et al. 1997). Ketika sapi betina mencapai estrus, pejantan menjadi

sangat bergairah dan mengikuti betina dari dekat, menjilati dan membaui organ

genital luar dan sering memperlihatkan flehmen (Jacobs et al. 1980). Sapi yang estrus akan menunjukkan tanda-tanda menaiki dan dinaiki oleh sapi lain baik yang

jantan maupun betina. Periode ini (mounting) berlangsung 1 – 18 jam dengan rata-rata sekitar 4.4 jam. Selama periode estrus betina meningkatkan frekuensinya

mengeluarkan urin sehingga pejantan mendapatkan contoh baik bau maupun rasa

urin betina (Phillips 1993). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pejantan

(36)

kemudian di transfer ke organ vomeronasal (Jacobs et al. 1980) yang dipertimbangkan menjadi tempat identifikasi feromon.

Libido dan kemampuan kopulasi (mengawini) adalah dua sifat penting

pada pejantan, tanpa kedua sifat tersebut menjadikannya sebagai pejantan afkir

(Chenoweth 1983). Libido menurut Tomaszewska (1991) adalah kesediaan dan

keinginan untuk menaiki, mengawini dan menginseminasi betina. Sedangkan

kemampuan kawin atau kopulasi adalah kemampuan untuk memberikan

pelayanan secara lengkap. Tingkah kawin menurut Chenoweth (1981) adalah

tingkah laku yang muncul/ditunjukkan sebelum, selama dan setelah pelayanan.

Ditambahkan oleh Chenoweth (1982) bahwa libido dan kemampuan untuk kawin

adalah sangat penting pada sapi jantan dan dua sifat tersebut sangat kuat

dipengaruhi oleh faktor genetik.

Interaksi kelakuan kelamin jantan yang menghasilkan kopulasi dibagi

menjadi 4 fase utama yaitu: pencarian pasangan seksual, penentuan keadaan

fisiologis pasangan seksual, rangkaian interaksi kelakuan kelamin yang

menghasilkan penyesuaian bentuk perkawinan oleh hewan betina, dan reaksi

menaiki betina kemudian kopulasi. Munculnya kelamin sebenarnya dimulai oleh

hewan betina. Peranan hewan betina saat estrus sangat penting terhadap hewan

jantan yang sedang mencari pasangan seksual. Pada saat estrus hewan betina

mengeluarkan tanda-tanda yang menarik perhatian pejantan (Alexander et al. 1980).

Kelakuan kelamin hewan jantan menunjukkan rangkaian pola tertentu.

Pola tersebut hampir sama pada semua spesies, hanya bentuknya berlainan.

Rangkaian pola tersebut mengarah ke satu sasaran ialah kopulasi (Bailey 2003).

Senger (1999) membagi rangkaian pola tingkah laku kelamin ke dalam beberapa

stadium, yaitu tingkah laku pre-kopulatori, kopulatori dan post-kopulatori. Pada

stadium pre-kopulatori, komponen-komponennya adalah mencari pasangan yang

dilanjutkan dengan rayuan (courtship), dorongan seksual (sexual arousal), ereksi dan penile protrusion. Selama stadium kopulatori terjadi menaiki (mounting) diikuti intromisi dan ejakulasi. Sedangkan pada stadium post-kopulatori, pejantan

(37)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penentuan tempat penelitian dilakukan secara stratified purposive sampling (Supranto 1998), yaitu berawal dari penentuan di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa yang dipilih berdasarkan lokasi yang padat

ternak dan masing-masing lokasi agak terisolir sebagai sub populasi.

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Katingan sebagai tempat

populasi sapi lokal Kalimantan Tengah dan di tiga kecamatan sebagai

subpopulasi, yaitu masing-masing di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing

dengan konsentrasi lokasi di Kelurahan Pendahara, Kecamatan Pulau Malan

dengan konsentrasi lokasi di Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah

dengan konsentrasi lokasi di Desa Tumbang Lahang. Kelurahan Pendahara, Desa

Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang secara geografis terletak pada daerah

aliran sungai (DAS) (Gambar 2) yaitu pada sabuk meander (meander belt) sungai Katingan dengan posisi ordinat berturut-turut: 113o17’35“ BT – 01o46’48” LS (Pendahara), 113o15’48“ BT – 01o41’13” LS (Buntut Bali) dan 113o08’00“ BT – 01o

Ke tiga lokasi penelitian dihubungkan oleh jalan darat yang berupa jalan

tanah dan transportasi sungai. Jarak tempuh dari Pendahara ke Buntut Bali sekitar

1.5 jam, sedangkan dari Buntut Bali ke Tumbang Lahang sekitar 2 jam. Sarana

transportasi darat untuk umum berupa kendaraan roda empat relatif jarang. Sarana

transportasi sungai masih dimanfaatkan terutama ketika terjadi banjir di musim

penghujan. Pada musim penghujan sering terjadi banjir yang mengakibatkan jalan

darat antar lokasi sulit dilalui. Banjir terjadi hampir setiap tahun dengan jangka

waktu lama, dengan demikian wilayah penelitian merupakan wilayah potensi

banjir. Mengingat kondisi wilayah yang seperti itu mobilitas ternak sapi di ketiga

lokasi relatif rendah, sehingga kontak ternak antar masing-masing lokasi juga

relatif jarang, oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini digunakan sebagai

peubah kelompok (subpopulasi).

31’15” LS (Tumbang Lahang) dengan ketinggian tempat berada pada kisaran

(38)

(Sumber: Bhermana 2010)

[image:38.595.97.472.68.739.2]

(Sumber

(39)

Banjir yang sering terjadi di lokasi kegiatan penelitian berdampak pada

sulitnya pelaksanaan kegiatan penelitian yang sifatnya monitoring rutin pada

interval hari atau minggu tertentu.

Penelitian dilaksanakan selama 15 bulan, terdiri dari kegiatan penelitian

lapang selama 6 bulan (November 2009 - April 2010) dan selama 9 bulan (Mei

2010 - Januari 2011) di laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas

Peternakan dan di laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Lapang

Bahan penelitian yang digunakan adalah peternak lokal, sebagai

pembanding ternak Sapi Katingan, Sapi Bali, PO dan Sapi Limousin, lingkungan

pemeliharaan dan lembaga pendukung. Peternak yang melakukan kegiatan

bidadaya Sapi Katingan adalah masyarakat lokal yang dikenal dengan nama suku

Dayak. Kata Dayak mempunyai arti sungai, suku Dayak artinya suku yang

bermukim di sepanjang tepi sungai oleh karena itu masyarakat Dayak tidak bisa

dipisahkan kehidupannya dari sungai dan hutan. Masyarakat Dayak yang

memelihara Sapi Katingan di lokasi penelitian adalah dari suku Ngaju, merupakan

suku Dayak terbesar di Kalimantan Tengah.

Peralatan yang digunakan meliputi peralatan lapang untuk pengukuran

parameter tubuh sapi (mistar dan pita ukur), untuk pengambilan contoh darah

(tabung vakuntainer tanpa antikoagulan dan venojek), peralatan dokumentasi

(kamera dan handycam), GPS dan alat untuk pengamatan sapi dari jarak agak jauh (binokuler).

Laboratorium

Bahan penelitian laboratorium meliputi darah Sapi Katingan dalam

alkohol absolut (96%) untuk pemeriksaan DNA mikrosatelit, serum Sapi Katingan

untuk pemeriksaan hormon progesteron, bahan ekstraksi DNA, PCR dan gel

(40)

Peralatan utama yang digunakan pada analisis DNA mikrosatelit adalah

mesin PCR, elektroforesis, sedangkan pada pemeriksaan hormon progestron

peralatan utama adalah gamma counter.

Metode Penelitian

Kegiatan yang dilakukan merupakan kombinasi antara penelitian lapang

dengan metode survei dan monitoring, serta pemeriksaan laboratorium, sehingga

didapatkan informasi: (1) gambaran umum kegiatan budidaya Sapi Katingan di

DAS Katingan, (2) keragaman fenotipik dan genetik, (3) umur pubertas sapi

betina dan (4) tingkah laku kelamin sapi jantan.

Kegiatan lapang meliputi wawancara dengan para peternak, petugas

lapang dan institusi terkait lainnya. Pengukuran parameter tubuh sapi,

inventarisasi bentuk tanduk dan warna sapi serta dokumentasi sapi Katingan.

Pengambilan contoh darah pada Sapi Katingan dan beberapa sapi lokal lainnya

untuk analisis keragaman genetik dan kekerabatannya dengan menggunakan DNA

mikrosatelit dan contoh darah dari individu-individu Sapi Katingan betina

berbagai variasi umur untuk melihat konsentrasi hormon progesteron dalam

rangka menentukan umur permulaan pubertas. Pengamatan tingkah laku

reproduksi Sapi Katingan di dilakukan pada sekelompok Sapi Katingan yang

dipelihara secara ekstensif tradisional. Estimasi fertilitas pejantan pada

manajemen pemeliharaan tersebut dilakukan melalui pengukuran lingkar

skrotumnya.

Kegiatan laboratorium dilakukan untuk melihat keragaman genetik dengan

analisis DNA mikrosatelit menggunakan metode modifikasi Sambrook et al., yaitu meliputi tahapan ekstraksi DNA, PCR dan elektroforesis dengan

menggunakan gel akrilamid 6% (Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Analisis hormon progesteron menggunakan KIT RIA untuk menentukan umur permulaan

pubertas Sapi Katingan betina.

Data dianalisis secara diskriptif untuk informasi yang bersifat kualitatif

dan secara statistik untuk yang bersifat kuantitatif. Untuk memudahkan analisis

(41)

EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN

PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

ABSTRACT

General information of activities related to raising of Katingan Cattle by Dayak people including farming, Katingan Cattle, environment and technology aspect were obtained from survey activity, interview (primer data) and secondary data. The information usefull to find out the existency of Katingan Cattle and it will be used also to arrange conservation strategy of Katingan Cattle using SWOT analysis. The Research was conducted in three subdistricts, those were Tewah Sanggalang Garing subdistrict with focus location in Pendahara, Pulau Malan subdistrict with focus location in Buntut Bali and Katingan Tengah subdistrict with focus location in Tumbang Lahang. Fifteen to twenty respondens from each of locations used in this research in order to collect primary information. The respondens were choose based on purposive sampling and the data was collected by Participatory Rural Appraisal (PRA) method. Quisionary also used in order to the information focused on the topic. The results gave information that Katingan Cattle is more valueable than other local cattle due to the value of cultural heritage. The cattle gave contribution toward household income about 18-28%, second greatest after rubber commodity (46-57%). Based on biophysic condition, human resources and their experience in raising of the cattle, the Katingan Cattle can be increased their productivity in the area. Improving their productivity should be done by various aspects including farmer, cattle, environment and technology aspect without forget about social cultural and religion of local people. Based on SWOT analysis, the strategy conservation of Katingan Cattle was aggressive strategy in term of short term programme should be arranged. The strategy was recommended also based on the strengths and the opportunity factors. Although the conservation of Katingan Cattle in term of population number in stable condition which was naturally maintenanced by custom of Dayak people, the role of local Government is needed for instance technology, institution and acces in capital aspect in order to increase population and household income of local farmer.

Key words: Katingan cattle, existency, conservation strategy

ABSTRAK

(42)

menyusun strategi konservasi Sapi Katingan melalui analisa SWOT. Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan yaitu di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Keluarahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai responden dalam penggalian informasi primer. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan secara purposive sampling dan pengumpulan data dilakukan dengan metode

Participatory Rural Appraisal (PRA). Agar informasi yang dikumpulkan lebih terarah dibekali dengan daftar isian pertanyaan. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa nilai lebih dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal lainnya adalah nilai kulturalnya yang tinggi. Kontribusinya bagi pendapatan keluarga adalah sebesar 18-28%, kedua terbesar setelah komoditas karet. Berdasarkan kondisi biofisik lingkungan, SDM dan pengalaman beternak yang ada sangat memungkinkan Sapi Katingan bisa dikembangkan lebih baik lagi di lokasi habitatnya sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi dan reproduksi Sapi Katingan dilakukan melalui perbaikan berbagai aspek budidaya meliputi aspek peternak, ternak sapi, lingkungan dan teknologi dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya dan agama masyarakat setempat. Berdasarkan analisis SWOT pelestarian Sapi Katingan dilakukan melalui strategi yang bersifat agresif jangka pendek berdasarkan pertimbangan faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki. Walaupun kelestarian Sapi Katingan secara alami terjaga oleh adat istiadat yang ada namun demikian diperlukan dukungan pemerintah (teknis, kelembagaan, akses permodalan) untuk meningkatkan populasi dan pendapatan peternak.

Kata-kata kunci: Sapi Katingan, eksistensi, strategi pelestarian

PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah memiliki beberapa plasma nutfah ternak yang telah

dibudidayakan sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat

setempat, diantaranya adalah kerbau rawa, babi lokal dan sapi potong lokal.

Sapi lokal Kalimantan Tengah khusus dipelihara oleh masyarakat Dayak

di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan, sehingga diberi nama sebagai

sapi Katingan, sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura

dan Sapi PO dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Keberadaan

sapi yang jauh di pedalaman Kalimantan Tengah, yaitu di Kabupaten Katingan

dengan infrastruktur yang minim membuat sapi-sapi ini kurang mendapatkan

perhatian pengembangannya. Kebijakan Pemerintah Daerah lebih banyak

(43)

meningkatkan populasi sapi. Populasi Sapi Katingan belum diketahui secara pasti,

demikian juga dengan berbagai aspek yang terlibat dalam kegiatan budidaya sapi

tersebut. Nilai kompetitif dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal

lainnya adalah nilai kulturalnya sehingga untuk sapi-sapi tertentu harga jualnya

lebih mahal dan dari segi rasa daging Sapi Katingan lebih disukai.

Manajemen pemeliharaan yang terbatas pada etnis tertentu dan pada

wilayah tertentu dikhawatirkan sapi tidak bisa berkembang secara maksimal

bahkan dimungkinkan akan terjadi erosi genetik seiring makin gencarnya

sapi-sapi lokal lainnya yang dikembangkan melalui berbagai aktivitas (penyebaran dan

introduksi inseminasi buatan).

Sapi Katingan merupakan plasma nutfah yang mempunyai potensi untuk

dirakit menjadi strain unggul hewan atau ternak, oleh karena itu menurut

Riwantoro (2005) keberadaan plasma nutfah ternak lokal di berbagai daerah perlu

diidentifikasi secara baik sehingga dapat dilakukan konservasi dengan tepat.

Konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana

sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan

pertanian saat ini dan masa yang akan datang, dengan mempertahankan

keragaman genetik yang dikandungnya (Riwantoro 2005). Secara singkat

konservasi meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan, pemeliharaan,

rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan (Komisi

Nasional Plasma Nutfah 2002).

Dalam kegiatan konservasi Sapi Katingan permasalahan yang dihadapi

adalah masih sedikitnya informasi dari semua aspek, yaitu produksi, reproduksi,

lingkungan, manajemen pemeliharaan, ketrampilan petani yang mengelola, aspek

genetik, dll. Oleh karena itu salah satu tahapan yang digali pada penelitian ini

adalah dalam rangka untuk mengetahui gambaran umum kegiatan budidaya Sapi

(44)

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian dilakukan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Katingan, yaitu

Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Kelurahan Pendahara), Kecamatan Pulau

Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang

Lahang). Kegiatan penelitian difokuskan pada identifikasi kegiatan budidaya Sapi

Katingan, lingkungan budidaya, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan

dan prospek pengembangan.

Berbagai informasi yang diperlukan sebagai bahan penelitian diperoleh dari

peternak sapi Katingan, petugas lapangan, petugas Dinas Pertanian Kabupaten

Katingan dan petugas dari institusi terkait (kecamatan, kelurahan dan UPTD).

Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai

responden dalam penggalian informasi primer.

Metode

Pembangunan peternakan yang tangguh menurut Darmawan (2003)

merupakan interaksi 4 variabel, yaitu (1) peternak, subyek yang harus dijamin

meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan, (2) ternak, obyek yang ditingkatkan

produksi dan produktivitasnya, (3) lahan, basis ekologi yang mendukung pakan dan

lingkungan budidaya, dan (4) teknologi, alat/rekayasa untuk mencapai tujuan. Oleh

karena itu penggalian informasi dan monitoring data difokuskan pada 4 variabel

tersebut. Selain itu juga terhadap ketersediaan subsistem pendukung dan kebijakan

pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah antara kebijakan dan aplikasi di

lapangan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah diskriptif, yaitu melalui kegiatan

survei, data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan sekunder. Data

primer berasal dari hasil wawancara dengan peternak, petugas dinas, petugas

lapangan dan informan kunci. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan

(45)

dikumpulkan lebih terarah digunakan daftar isian pertanyaan (Lampiran 1).

Selain wawancara dilakukan kunjungan dan pengamatan lapang.

Informasi (data primer) yang dikumpulkan diantaranya adalah sumber

daya lahan dan ternak yang dimiliki, produktivitas usahatani (ternak dan

tanaman), potensi sumberdaya pakan lokal dan pendapatan rumah tangga petani.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait meliputi

data: kependudukan, iklim, tataguna lahan, jenis tanah, struktur organisasi lokal,

data teknis peternakan, riwayat penyebaran ternak, dll.

Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan analisa deskriptif melalui tabulasi dan

dalam bentuk grafik. Tabulasi dimaksudkan untuk mempermudah proses analisis

serta untuk memberikan gambaran tentang distribusi data dari seluruh responden.

Terkait dengan strategi pelestarian dan pengembangan plasma nutfah Sapi

Katingan ke depan dilakukan analisis SWOT (Strengths, Opportunities, Weakness, Threats). Salah satu manfaat pendekatan analisis SWOT menurut Yusdja dan Ilham (2006) adalah kemampuannya mengarahkan kebijakan yang

diperlukan untuk mencapai tujuan. Sistem penilaian SWOT sering dianggap

mempunyai kadar subyektivitas, namun dengan menggunakan informasi di lapang

dan justifikasi para ahli menurut Yusdja dan Ilham (2006) sifat subyektivitas

dapat dikurangi atau dengan kata lain hasil analisis dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah. Analisis SWOT dilakukan adalah untuk identifikasi berbagai faktor

secara sistematis dalam merumuskan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi

Katingan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan

kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi,

tujuan, strategi, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian

Kabupaten Katingan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor lingkungan strategis lokasi keberadaan Sapi

Katingan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kabupaten Katingan

Kabupaten Katingan adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi

Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 17.500 Km2

Salah satu prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan adalah

pengembangan pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya adalah

pembangunan peternakan. Pengembangan peternakan di Kabupaten Katingan

masih berskala kecil ataupun usaha rumah tangga, sementara lahan yang tersedia

sangat cocok untuk usaha ini. Melihat potensi yang ada sangat berpeluang untuk

pengembangan peternakan terutama sapi potong. Perkembangan populasi ternak

Gambar

Gambar 2   Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan.
Gambar 3  Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian.
Tabel 3  Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian di Kelurahan Pendahara,
Tabel 4. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian relatif rendah,
+7

Referensi

Dokumen terkait

"Terutama untuk produk-produk unggulan di segmen herbal, seperti Tolak Angin, Tolak Linu, dan kapsul Kulit Manggis," lanjutnya Dalam laporan keuangan yang disampaikan di

Marjin bersih hingga Sept 2017 lalu mencapai 6,44% turun dari periode yang sama tahun sebelumnya 7,34%.. Marjin bersih ini juga di bawah rata-rata marjin bersih

2 Pemotongan bahan baku filter Potongan yang tidak sesuai Cacat segmen variasi dan black sport 6  Gangguan minor pada lini produksi  Cacat mempengaruhi 1 - 2 proses

Program peningkatan mutu guru dibutuhkan oleh para guru SMP se- Kabupaten Banyumas. Agar efektif, program peningkatan mutu guru hendaknya berbasis pada kebutuhan

Dari model, untuk parameter yang umum digunakan di lapangan dan konduktivitas listrik lapisan permukaan tanah yang biasa ditemukan, pengukuran atas suatu medium paruhruang homogen

•Di dalam Dhamma yang dinyatakan dengan sempurna olehKu demikian itu, wahai para bhikkhu, yang jelas, terbuka, telah diperlihatkan dan. seperti kain usang

Tahap ini auditor melakukan review dan pengujian terhadap pengendalian manajemen PT. Sindu Amritha Kota Pasuruan dengan tujuan untuk menilai efisiensi, efektivitas dan

Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.. Pokja 2 ULP Kabupaten Kendal