PSYCHIDAE) SERTA PREDATOR PADA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) CIKIDANG
PLANTATION ESTATE, SUKABUMI
REDI SATRIAWAN
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
REDI SATRIAWAN. Kelimpahan Populasi Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae) dan Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae) serta Predator pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate,
Sukabumi. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan di Indonesia. Salah satu permasalahan penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit adalah serangan hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman hingga berdampak pada penurunan tingkat produksi kelapa sawit. Ulat api dan ulat kantung merupakan jenis ulat pemakan daun yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit.
Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation Estate yang terletak di kecamatan Cikidang, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Maret 2011 dengan tujuan untuk mengetahui kelimpahan populasi ulat api dan ulat kantung serta predator yang terdapat di lahan. Pengamatan ulat api dan ulat kantung serta predator dilakukan secara langsung setiap minggu dari minggu ke-1 hingga ke-10. Pengambilan sampel tanaman dilakukan pada dua blok di Perkebunan Cikidang, yaitu pada blok B dan blok D. Tiap blok diambil dua tempat dan dari tiap tempat diambil 25 tanaman. Tanaman sampel berjarak tiga pohon dalam satu baris dan antar baris.
Rataan kelimpahan populasi ulat api yang ditemukan di lahan pada pelepah nomor 9 dan 17 berturut-turut adalah (ekor/pelepah): 0,05 dan 0,12 pada blok B1; 0,04 dan 0,07 pada blok B2; 0,06 dan 0,08 pada blok D1; 0,02 dan 0,04 pada blok D2. Rataan kelimpahan populasi ulat kantung yang ditemukan di lahan pada pelepah nomor 9 dan 17 berturut-turut adalah (ekor/pelepah): 0,45 dan 0,37 pada blok B1; 0,42 dan 0,33 pada blok B2; 0,52 dan 0,45 pada blok D1; 0,34 dan 0,29 pada blok D2. Berdasarkan tabel klasifikasi kepadatan ulat pada pelepah daun kelapa sawit, maka rataan kelimpahan populasi ulat api dan ulat kantung yang terdapat di lahan masih tergolong ringan.
Predator yang paling banyak ditemukan di lahan adalah dari golongan Arachnida (laba-laba) dengan persentase kelimpahan populasi laba-laba jaring sebanyak 91% pada blok B1, 84% pada blok B2, 90% pada blok D1, dan 80% pada blok D2. Laba-laba lompat sebanyak 3% pada blok B1, 12% pada blok B2, 5% pada blok D1, dan 18% pada blok D2. Laba-laba bermata tajam sebanyak 4% pada blok B1, 4% pada blok B2, 3% pada blok D1, dan 2% pada blok D2. Laba-laba serigala sebanyak 2% pada blok B1, dan 2% pada blok D1. Keberadaan komunitas laba-laba di suatu lahan pada umumnya berhubungan erat dengan karakteristik komunitas tumbuhan yang terdapat di lahan tersebut.
PSYCHIDAE) SERTA PREDATOR PADA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) CIKIDANG
PLANTATION ESTATE, SUKABUMI
REDI SATRIAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
iv
Judul Skripsi : Kelimpahan Populasi Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae) dan Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae) serta Predator pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate, Sukabumi.
Nama : Redi Satriawan
NIM : A34060130
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Dadan Hindayana NIP. 19670710 199203 1 002
Diketahui
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tembilahan, Riau pada tanggal 16 Juli 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Hamdan dan Murhaini. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri Plus Provinsi Riau dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB). Penulis mengambil mayor Proteksi Tanaman pada Fakultas Pertanian.
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir dengan judul “Kelimpahan Populasi Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae)
dan Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae) serta Predator pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate, Sukabumi”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tulisan ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Dr. Dadan Hindayana selaku dosen pembimbing atas pengarahan yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada pihak PT. Kidang Gesit Perkasa, pak Hendarto, pak Adi, dan pak Asep atas fasilitas dan informasi yang diberikan selama di lapang. Terima kasih kepada Anang W Cendramadi selaku teman satu bimbingan dan satu penelitian atas bantuan dan kerjasamanya baik selama di lapang maupun dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka: Arief Nur Rakhman, Tisondo Karel, Ahmad Syarifuddin Hasibuan, seluruh anggota Komunitas Ladang Seni dan Semeru Camp.
Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada ayahanda Hamdan dan ibunda Murhaini serta adik saya Delfia Herlin, yang selalu
memberikan dukungan dan do’anya.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan informasi yang terdapat di dalamnya.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
Syarat Tumbuh Kelapa Sawit... 6
Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae) ... 7
Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae) ... 11
Predator ... 13
Pengambilan Sampel Tanaman ... 15
Pengamatan Ulat Api dan Ulat Kantung ... 15
Pengamatan Predator ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18
Keadaan Umum Lokasi ... 19
Hasil Pengamatan ... 21
Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae) ... 21
Ulat Kantung(Lepidoptera: Psychidae) ... 23
Laba-laba (Araneae: Arachnida) ... 26
Hama dan Predator Lain yang Ditemukan di Lahan .... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 31
Kesimpulan ... 31
Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi lahan untuk kelapa sawit ... 7
2 Klasifikasi kepadatan ulat pada pelepah daun kelapa sawit... 16
3 Rataan kelimpahan populasi ulat api... 22
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta perkebunan Cikidang Plantation Estate ... 14
2 Lokasi pengambilan sampel tanaman ... 15
3 Pola pengambilan sampel (a) dan susunan pelepah kelapa sawit (b).... 16
4 Site plan Cikidang Plantation Estate ... 18
5 S. nitens (a), dan gejala serangan ulat api (b) ... 22
6 Gejala serangan ulat kantung (a), M. plana (b), dan M. corbetti (c) ... 24
7 Persentase kelimpahan populasi laba-laba tiap blok ... 26
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lokasi pengambilan sampel tanaman ... 35
2 Lokasi pembibitan ... 35
3 Penggalian lubang tanam ... 36
4 Laba-laba yang ditemukan di lahan ... 36
5 Dinamika populasi ulat api perminggu ... 37
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai
peran penting bagi subsektor perkebunan di Indonesia. Ekspor minyak sawit
Indonesia dan produk turunannya terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2005
jumlah ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya mencapai 10,5 juta
ton. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 12,1 juta ton dengan nilai
sekitar USD 5,4 miliar (IOPRI 2007). Kelapa sawit juga menjadi sumber
penerimaan pajak yang besar bagi negara. Pajak bumi dan bangunan yang dapat
diperoleh adalah sekitar Rp 26,263 miliar dengan asumsi luas areal perkebunan
kelapa sawit sekitar 5.247.171 hektar dan dengan tarif pajak Rp 5.000 perhektar
pertahun (Darmosarkoro 2006).
Peran penting sebagaimana yang disebutkan diatas dapat dicapai karena
kelapa sawit dapat menghasilkan berbagai macam produk, baik produk pangan,
non pangan, serta produk samping/limbah yang masih dapat dimanfaatkan.
Produk yang dapat dihasilkan tersebut antara lain (Deptan 2007):
a. Produk pangan yang berasal dari minyak sawit/CPO (crude palm oil) dan minyak inti sawit antara lain emulsifier, margarin, minyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis, vanaspati, confectioneries, es krim, yoghurt, dan lain-lain.
b. Produk non pangan yang berasal dari minyak sawit/CPO dan minyak inti
sawit antara lain senyawa ester, win, kosmetik, farmasi, biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alcohol, fatty amine, senyawa epoksi, senyawa hidroksi.
c. Produk samping/limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan antara lain
tandan kosong sawit untuk pulp dan kertas, kompos, karbon, rayon; cangkang untuk bahan bakar dan karbon; serat untuk medium density atau
fibre board dan bahan bakar; pelepah dan batang sawit untuk furniture, pulp dan kertas, pakan ternak; bungkil inti sawit untuk pakan ternak;
2
Sejak bulan Oktober 2007, Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO
terbesar di dunia, bahkan pada bulan Mei 2009, Indonesia telah mampu
memproduksi 19 juta ton CPO dari luasan areal 7,52 juta ha. Pada tahun 2007,
ekspor CPO dan berbagai produk turunannya mencapai 11,9 juta ton, setara
dengan penerimaan USD 7,9 milyar, dan memberikan pekerjaan kepada lebih dari
3,3 juta pekerja, baik di lahan maupun di pabrik dan berbagai sektor jasa yang
terkait. Bahkan Menteri Perindustrian Republik Indonesia mengharapkan bahwa
Indonesia akan mampu menghasilkan 50 juta ton CPO pada tahun 2020
(Gumbira-Sa’id 2009).
Perkebunan kelapa sawit merupakan jenis usaha jangka panjang. Kelapa
sawit yang ditanam baru akan dipanen hasilnya setelah berumur 30-36 bulan.
Berdasarkan tahap perkembangan kelapa sawit dikenal periode Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM). TBM adalah tanaman
yang dipelihara sejak bulan penanaman pertama sampai dipanen pada umur 30-36
bulan. TM adalah tanaman yang dipelihara sejak lebih dari 36 bulan yang telah
berbunga dan berbuah (Deptan 2007).
Untuk mendapatkan produksi yang optimal, karakteristik dan faktor-faktor
yang dapat menghambat produktifitas harus dipahami dan diupayakan solusinya.
Salah satu permasalahan penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit adalah
serangan hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman
hingga berdampak pada penurunan tingkat produksi kelapa sawit. Untuk
menjamin kepastian hasil usaha perkebunan kelapa sawit, maka kegiatan
pengendalian hama dan penyakit merupakan salah satu usaha yang harus
dilakukan dalam pemeliharaan. Hama dan penyakit dapat menyerang kelapa sawit
sejak tahap pra-pembibitan hingga tahap menghasilkan.
Ulat api dan ulat kantung merupakan jenis ulat pemakan daun yang paling
sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Semua stadia tanaman
rentan terhadap serangan ulat api dan ulat kantung. Jenis ulat api yang paling
merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah Setothosea asigna, Setora nitens, dan Darna trima. Sedangkan ulat kantung adalah dari jenis Metisa plana dan
Ulat api memakan daun hingga berlubang atau habis sama sekali
menyisakan tulang daun. Dalam kondisi yang parah tanaman akan kehilangan
daun sekitar 90%. Pada tanaman menghasilkan, tahun pertama setelah serangan
dapat menurunkan produksi sekitar 69% dan pada tahun kedua sekitar 27%.
Selanjutnya masih diperlukan waktu 1-2 tahun lagi untuk mencapai tingkat
produksi semula. Serangan ulat kantung ditandai dengan daun berlubang, rusak,
dan tidak utuh lagi. Selanjutnya daun menjadi kering seperti terbakar. Kehilangan
daun oleh ulat kantung dapat mencapai 46,6% (Basri 1993).
Pengendalian terhadap hama tersebut harus dilakukan apabila populasinya
telah mencapai ambang ekonomi. Untuk mengetahui status populasi hama, perlu
dilakukan monitoring serangan hama secara berkala pada titik-titik yang telah
ditentukan. Kesalahan dalam monitoring dapat berdampak pada terlambatnya
tindakan pengendalian dan terjadinya ledakan hama di lapangan. Hal itu dapat
berujung pada kehilangan hasil yang sangat merugikan. Dengan demikian
monitoring merupakan hal yang sangat mendasar yang harus dilakukan. Hasil
monitoring menjadi landasan dasar suatu kebun untuk menerapkan strategi
pengendalian. Mengingat tanaman kelapa sawit di Cikidang Plantation Estate baru
dikembangkan tahun 2008 dan informasi tersebut belum tersedia, maka atas dasar
itu penelitian ini dilakukan, guna menggali informasi mengenai kelimpahan
populasi hama utama pada kelapa sawit khususnya hama ulat api dan ulat kantung
serta predator dominan yang terdapat di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan populasi ulat api
dan ulat kantung serta predator pada perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti fosil, sejarah dan linguistik, tanaman kelapa
sawit dipercaya berasal dari pesisir tropis Afrika Barat. Tanaman kelapa sawit liar
telah dimanfaatkan oleh penduduk Afrika Barat sebagai minyak makan. Temuan
arkeologi di Mesir menunjukkan penggunaannya sudah terjadi pada tahun 3000
SM. Namun adapula yang menyatakan bahwa tanaman tersebut berasal dari
Amerika, yakni Brazilia. Zeven menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit berasal
dari daratan tersier, yang merupakan daratan penghubung yang terletak diantara
Afrika dan Amerika. Kedua daratan ini kemudian terpisah oleh lautan menjadi
benua Afrika dan Amerika sehingga tempat asal komoditas kelapa sawit ini tidak
lagi dipermasalahkan orang. Tanaman kelapa sawit dikenali bangsa Eropa saat
ekspedisi Portugis ke Afrika Barat pada abad ke-15 (Agustira et al. 2008).
Kelapa sawit pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1848. Saat itu hanya ada empat batang bibit kelapa sawit yang
ditanam di Kebun Raya Bogor, dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua
lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda). Hingga saat ini dua dari
empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa
sawit yang ada di Asia Tenggara. Pada awalnya kelapa sawit dibudidayakan
sebagai tanaman hias, sedangkan pembudidayaan tanaman untuk tujuan komersial
baru dimulai pada tahun 1911 oleh seorang Belgia bernama Adrien Hallet, yang
kemudian diikuti oleh K. Schadt. Hal tersebut menandai kelahiran industri
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama di
Indonesia berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal
perkebunan mencapai 5.123 Ha (Hadi 2004).
Pada beberapa tahun terakhir ini industri kelapa sawit Indonesia
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak bulan Oktober 2007,
Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia, bahkan pada
bulan Mei 2009, Indonesia telah mampu memproduksi 19 juta ton CPO dari
turunannya mencapai 11,9 juta ton, setara dengan penerimaan USD 7,9 milyar,
dan memberikan pekerjaan kepada lebih dari 3,3 juta pekerja, baik di lahan
maupun di pabrik dan berbagai sektor jasa yang terkait (Gumbira-Sa’id 2009).
Botani Kelapa Sawit
Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2003), taksonomi kelapa sawit
yang umum diterima saat ini adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Palmales
Famili : Palmaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena
membentuk akar primer, sekunder, tersier dan kuartener. Akar primer tumbuh ke
bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Sedangkan akar
sekunder, tersier dan kuartener tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah. Akar
tersier dan kuartener juga tumbuh ke lapisan atas yang banyak mengandung unsur
hara. Disamping itu terdapat pula akar nafas yang tumbuh di atas permukaan air
tanah untuk mendapatkan tambahan aerasi. Penyebaran akar terkonsentrasi pada
tanah lapisan atas (Fauzi et al. 2003).
Batang kelapa sawit di perkebunan umumnya berdiameter 45-60 cm
dengan tinggi 15-18 m, bahkan pangkal batang bisa lebih besar lagi pada tanaman
tua. Batang diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah itu pelepah
akan mengering dan terlepas sehingga menjadi mirip dengan batang tanaman
kelapa (Sianturi 1991).
Daun kelapa sawit bersirip genap dan bertulang sejajar, dengan panjang
3-5 m. Pada pangkal pelepah daun terdapat duri-duri kasar dan bulu-bulu halus
6
daun yang terletak di tengah pelepah daun adalah yang paling panjang,
panjangnya dapat melebihi 1,2 m (Setyamidjaja 1991).
Pada kelapa sawit bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada
satu pohon. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga
betina terlihat lebih besar dan mekar. Bunga jantan selalu masak terlebih dahulu
daripada bunga betina, karena itu penyerbukan sendiri antara bunga jantan dan
bunga betina dalam satu tandan sangat jarang terjadi. Masa reseptif (masa putik
dapat menerima tepung sari) adalah 3 x 24 jam. Setelah itu, putik akan berwarna
hitam dan mengering (Sastrosayono 2008).
Biji kelapa sawit mempunyai tiga bagian: a). Endokarpium (kulit biji),
tempurung berwarna hitam dan keras; b). Endosperm (kernel/daging biji),
berwarna putih dan mengandung minyak inti berkualitas tinggi; c). Lembaga atau
embrio (Tim Penulis PS 1997).
Syarat Tumbuh Kelapa Sawit
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di
sekitar 12° Lintang Utara - Lintang Selatan pada ketinggian 0 - 600 meter di atas
permukaan laut. Daerah penanaman yang ideal adalah dataran rendah dengan
ketinggian 200 meter di atas permukaan laut, tetapi masih cukup baik hingga
ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian 600 meter di atas
permukaan laut kelapa sawit masih dapat tumbuh, namun dengan laju
pertumbuhan yang lambat. Tidak dianjurkan penanaman pada daerah dengan
ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut (Sianturi 1991).
Curah hujan optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit rata-rata
2.000-2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan
kering yang berkepanjangan. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa
sawit antara 80-90%. Kecepatan angin 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu
proses penyerbukan. Angin yang terlalu kencang akan menyebabkan tanaman
baru goyang atau miring (Lubis 1992). Lama penyinaran rata-rata 5 jam dan naik
menjadi 7 jam per hari untuk beberapa bulan tertentu akan berpengaruh baik
pertumbuhan dan tingkat asimilasi, pembentukan bunga (sex-ratio) dan produksi buah (Setyamidjaja 1991).
Tabel 1 Klasifikasi lahan untuk kelapa sawit
Keterangan Baik
Curah hujan (mm) 2000-2500 1800-2000 1500-1800 <1500
Defisit air (mm/thn) 0-150 150-200 250-400 >400
Temperatur (oC) 22-33 22-33 22-33 22-33
Klasifikasi memunculkan empat tingkat lahan yang disusun menurut sifat
fisik tanah dan iklimnya. Dalam kenyataannya lahan yang digunakan hanya tiga
kelas utama saja karena lahan kelas empat biasanya tidak akan digunakan.
Adapun potensi produksi dari masing-masing kelas lahan tersebut masih
ditentukan oleh keunggulan dari bahan tanaman yang digunakan dan tindakan
kultur teknis yang diterapkan di lapangan.
Ulat Api (Lepidoptera:Limacodidae)
Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling
sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Eksplosi hama ulat api
telah dilaporkan pertama pada tahun 1976. Di Malaysia, antara tahun 1981 dan
1990, terdapat 49 kali eksplosi hama ulat api, sehingga rata-rata 5 kali setahun
(Norman dan Basri 1992). Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat
8
Birthamula chara (Norman dan Basri 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima.
Siklus Hidup
Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna
mempunyai siklus hidup 106-138 hari (Hartley 1979). Telur berwarna kuning
kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet
3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah
daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat
betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah
diletakkan. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di
bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang
kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5
mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong pada
berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan
sayap belakang berwarna coklat muda.
Setora nitens memiliki siklus hidup yang lebih pendek dari S. asigna yaitu 42 hari (Hartley 1979). Telur hampir sama dengan telur S. asigna hanya saja peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4-7
hari. Ulat mula-mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya
berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong. Ulat ini dicirikan
dengan adanya satu garis membujur di tengah punggung yang berwarna biru
keunguan. Stadia ulat dan kepompong masing-masing berlangsung sekitar 50 hari
dan 17-27 hari. Ngengat mempunyai lebar rentangan sayap sekitar 35 mm. Sayap
depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih gelap.
dan diletakkan secara individual di permukaan bawah helaian daun kelapa sawit.
Seekor ngengat dapat meletakkan telur sebanyak 90-300 butir. Telur menetas
dalam waktu 3-4 hari. Ulat yang baru menetas berwarna putih kekuningan
kemudian menjadi coklat muda dengan bercak-bercak jingga, dan pada akhir
perkembangannya bagian punggung ulat berwarna coklat tua. Stadia ulat
berlangsung selama 26-33 hari. Menjelang berkepompong ulat membentuk kokon
dari air liurnya dan berkepompong di dalam kokon tersebut. Kokon berwarna
coklat tua, berbentuk oval, berukuran sekitar panjang 5 mm dan lebar 3 mm.
Lama stadia kepompong sekitar 10-14 hari. Ngengat berwarna coklat gelap
dengan lebar rentangan sayap sekitar 18 mm. Sayap depan berwarna coklat gelap,
dengan sebuah bintik kuning dan empat garis hitam. Sayap belakang berwarna
abu-abu tua.
Biologi dan Ekologi
Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari
permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun.
Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun.
Untuk S. asigna, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². Perilaku S. nitens sama dengan S. asigna. Untuk D. trima, ulat mengikis daging daun dari permukaan bawah dan menyisakan epidermis daun bagian atas, sehingga akhirnya daun yang
terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar. Ulat menyukai daun
kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan
daun-daun muda. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang
hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik (kepala di
bawah). Pada D. trima, di waktu siang hari, ngengat suka hinggap di daun-daun yang sudah kering dengan posisi kepala di bawah dan sepintas seperti ulat
kantong.
Perbedaan perilaku yang tampak antara ketiga jenis ulat api yang paling
merugikan tersebut juga berbeda. S. nitens dan S. asigna berpupa pada permukaan tanah tetapi D. trima hanya di ketiak daun atau pelepah daun. Pengetahuan mengenai biologi dan perilaku sangat penting ketika akan menerapkan tindakan
10
helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di permukaan tanah sekitar pangkal
batang dan piringan.
Pengendalian Hayati
Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan
ulat api. Agens antagonis tersebut adalah Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood et al. (1977) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S. nitens, D. trima dan S. asigna dengan tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps militaris telah ditemukan efektif memarasit pupa ulat api jenis S. asigna dan S. nitens. Virus MNPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api. Pengunaan agens
antagonis dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis
golongan piretroid, seperti Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC dalam pengendalian
ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian juga lebih murah, yaitu
hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi.
Selain mikrobia antagonis tersebut di atas, populasi ulat api dapat stabil
secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami predator dan parasitoid.
Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan
Sycanus leucomesus. Sedangkan parasitoid ulat api adalah Trichogrammatoidea thoseae, Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, dan
Chaetexorista javana. Parasitoid dapat diperbanyak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid
tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus. Oleh karena itu, tanaman-tanaman tersebut hendaknya tetap ditanam dan jangan dimusnahkan.
Tiong (1977) juga melaporkan bahwa adanya penutup tanah dapat mengurangi
populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.
Pengendalian Kimiawi
Dahulu, ulat api dapat dikendalikan menggunakan berbagai macam
insekisida dengan efektif. Insektisida tersebut adalah monocrotophos, dicrotophos,
phosmamidon, leptophos, quinalphos, endosulphan, aminocarb dan achepate
batang, dan yang lain dapat disemprotkan. Namun sekarang, insektisida ini jarang
digunakan karena keefektifannya diragukan. Kemungkinan, hal ini disebabkan
bahwa populasi yang berkembang telah toleran terhadap bahan kimia tersebut atau
bahan kimia telah tidak mampu menyebar di dalam jaringan daun. Insektisida
yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit untuk ulat api saat
ini adalah deltametrin, profenofos dan lamda sihalothrin.
Ulat Kantung (Lepidoptera:Psychidae)
Serangan ulat kantung ditandai dengan kenampakan tajuk tanaman yang
kering seperti terbakar. Basri (1993) menunjukkan bahwa kehilangan daun dapat
mencapai 46,6%. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat
kantung, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur
lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran
ulat kantung pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling
bersinggungan. Tujuh spesies ulat kantung yang pernah ditemukan pada tanaman
kelapa sawit adalah Metisa plana, Mahasena corbetti, Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus griseus, Manatha albipes, Amatissa sp. dan Cryptothelea cardiophaga (Norman et al. 1995). Jenis ulat kantung yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit adalah Metisa plana dan Mahasena corbetti.
Siklus Hidup
Ciri khas ulat kantung adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip
kantung yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang,
di sekitar daerah serangan (Norman et al. 1995). Ciri khas yang lain yakni pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantung mereduksi dan tidak
mampu untuk terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina karena bau
feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan.
Stadia ulat M. plana terdiri atas 4-5 instar dan berlangsung sekitar 50 hari. Pada waktu berkepompong, kantung kelihatan halus permukaan luarnya,
berukuran panjang sekitar 15 mm dan menggantung seperti kait di permukaan
bawah daun. Stadia kepompong berlangsung selama 25 hari.
12
dibandingkan dengan M. corbetti yakni pada akhir perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 12 mm, dengan panjang kantong 15-17 mm.
Biologi dan Ekologi
Ngengat M. corbetti jantan bersayap normal dengan rentangan sayap sekitar 30 mm dan berwarna coklat tua. Seekor ngengat M. corbetti betina mampu menghasilkan telur antara 2.000-3.000 butir (Syed 1978). Telur menetas dalam
waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif dan bergantungan
dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar dengan bantuan angin,
terbawa manusia atau binantang. Ulat sangat aktif makan sambil membuat
kantung dari potongan daun yang agak kasar atau kasar. Selanjutnya ulat
bergerak dan makan dengan hanya mengeluarkan kepala dan kaki depannya dari
dalam kantung. Ulat mula-mula berada pada permukaan atas daun, tetapi setelah
kantung semakin besar berpindah menggantung di bagian permukaan bawah daun
kelapa sawit. Pada akhir perkembangannya, ulat dapat mencapai panjang 35 mm
dengan panjang kantung sekitar 30-50 mm. Stadia ulat berlangsung sekitar 80
hari. Ulat berkepompong di dalam kantung selama sekitar 30 hari, sehingga total
siklus hidupnya adalah sekitar 126 hari.
Pengendalian Hayati
Parasitoid primer dan sekunder, serta predator dapat mempengaruhi
populasi M. plana. Diantara parasitoid primer, Goryhus bunoh, hidup paling lama (47 hari) sedangkan hiperparasitoid yang hidup paling lama adalah P. imbreus. Dolichogenidea metesae merupakan parasitoid paling penting (Basri et al. 1995) yang berkembang baik pada tanaman Cassia cobanensis, termasuk Asystasia intrusa, Crotalaria usaramoensis, dan Euphorbia heterophylla. Kecuali A. intrusa, keberadaan tanaman ini akan bermanfaat karena memberikan nektar untuk parasitoid. Selain itu bisa juga menggunakan Bacillus thuringiensis (Bt) sebagai insektisida biologi. Toksisitasnya hanya pada serangga target, dan
umumnya tidak membahayakan musuh alami, manusia, ikan dan kehidupan lain.
Pengendalian Kimiawi
Ulat kantung dapat dikendalikan dengan penyemprotan atau dengan
2 tahun), knapsack sprayer dapat digunakan untuk penyemprotan. Untuk tanaman lebih dari 3 tahun, aplikasi insektisida dapat menggunakan fogging atau injeksi batang. Monocrotophos dan methamidophos merupakan dua insektisida sistemik
yang direkomendasikan untuk injeksi batang (Hutauruk dan Sipayung 1978).
Karena bahan bakunya adalah bahan kimia yang sangat berbahaya, ijin harus
diperlukan dari Komisi Pestisida untuk tujuan dan cara aplikasi dan saat ini sudah
tidak dikeluarkan lagi.
Predator
Predator merupakan pemangsa organisme lain yang hidup bebas di alam
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Predator dapat menyerang mulai dari fase
pra dewasa sampai dengan fase dewasa. Satu ekor predator dapat memakan
mangsanya dalam jumlah banyak (Hartoyo 2011). Laba-laba merupakan predator
yang banyak ditemukan pada tanaman kelapa sawit, dikenal secara umum berasal
dari famili Araneae dan bukan termasuk dalam golongan serangga (insect). Semua jenis laba-laba merupakan predator serangga, bahkan golongan laba-laba itu
sendiri. Laba-laba tidak mengalami metamorfosa, setelah telur menetas akan
keluar laba-laba kecil dan berganti kulit beberapa kali. Laba-laba kecil memiliki
bentuk yang sama dengan laba-laba dewasa. Ukuran laba-laba betina biasanya
jauh lebih besar daripada laba-laba jantan. Saat proses kawin laba-laba jantan
harus mendekati betina dengan hati-hati, karena bisa saja betina menunggu jantan
mendekat untuk menjadi mangsanya. Laba-laba pada perkebunan kelapa sawit
yang umum dijumpai adalah laba-laba jaring, laba-laba lompat, laba-laba mata
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation
Estate yang terletak di kecamatan Cikidang, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Perkebunan berdiri di atas lahan seluas ± 900 Ha dengan ketinggian 500-800
meter di atas permukaan laut. Tanaman kelapa sawit di Cikidang Plantation Estate
baru dikembangkan pada tahun 2008, dan merupakan konversi dari tanaman karet
dan teh. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Januari 2011
dan selesai pada bulan Maret 2011.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta
perkebunan (Gambar 1), penanda tanaman sampel, penghitung tangan ( hand-counter), buku identifikasi laba-laba yang telah dikembangkan oleh Barrion (Barrion & Litsinger), dan buku identifikasi Borror (Borror et. al 1992).
Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan
dengan melakukan pengambilan tanaman sampel di titik-titik yang sudah
ditentukan (Lampiran 1). Pengamatan yang dilakukan meliputi kelimpahan
populasi ulat api dan ulat kantung, serta musuh alami yang terdapat di lahan.
Pengamatan dilakukan setiap minggu dari minggu ke-1 hingga minggu ke-10.
Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan pihak pengelola perkebunan.
Wawancara meliputi kondisi umum perkebunan, cara budidaya, keberadaan hama
dan penyakit tanaman di lahan, serta pengelolaan hama dan penyakit tanaman
yang dilakukan.
Pengambilan Sampel Tanaman
Tanaman yang diamati adalah tanaman belum menghasilkan (TBM) yang
berumur dua tahun. Tanaman berada pada lahan tanpa naungan. Pengambilan
sampel tanaman dilakukan pada dua blok di Perkebunan Cikidang, yaitu pada
blok B dan blok D (Gambar 2). Di setiap blok diambil dua tempat yang berbeda,
kemudian dari setiap tempat diambil 25 tanaman. Tanaman sampel berjarak tiga
pohon dalam satu baris tanaman dan tiga pohon antar baris (Gambar 3a).
Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel tanaman
Pengamatan Ulat Api dan Ulat kantung
Karena tanaman masih tergolong TBM, maka pelepah yang diamati adalah
16
dilakukan dengan menghitung jumlah ulat api dan ulat kantung yang terdapat pada
tiap pelepah tanaman (Gambar 3b). Penghitungan dilakukan dengan menggunakan
hand-counter. Pengamatan dapat dilakukan dengan kasat mata karena morfologi tanaman yang masih rendah.
(a) (b)
Gambar 3 Pola pengambilan sampel (a) dan susunan pelepah kelapa sawit (b)
Tingkat kepadatan ulat api dan ulat kantung dinyatakan dengan jumlah
rata-rata ulat yang ditemukan perpelepah. Tingkat kepadatan dibagi menjadi tiga
kelas yaitu ringan, sedang, dan berat. Kelas kepadatan ulat api dan ulat kantung
pada tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 2 Klasifikasi kepadatan ulat pada pelepah daun kelapa sawit
Jenis Ulat TBM
R S T
Ulat Api
Setora nitens < 3 3-4 ≥ 5
Setotosea asigna < 3 3-4 ≥ 5
Thosea bisura < 7 7-9 ≥ 10
Ploneta diducta < 7 7-9 ≥ 10
Darna trima < 15 15-24 ≥ 25
Ulat Kantung
Mahasena corbetti < 3 3-4 ≥ 5
Metisa plana < 25 25-34 ≥ 35
Crematopsyche pendula < 30 30-44 ≥ 45
Keterangan: R = rendah, S = sedang, T = tinggi, dimana angkanya merupakan ambang batas/kritik level (LPP 2000)
Pengamatan Predator
Pengamatan dilakukan secara kasat mata pada tiap pelepah, dan untuk
predator jenis laba-laba jaring, laba-laba lompat, laba-laba bermata tajam, dan
laba-laba serigala dilakukan penghitungan dengan menggunakan hand-counter.
Selain itu dilakukan juga pengamatan untuk predator lain (tanpa melakukan
penghitungan) baik yang terdapat pada tiap pelepah maupun pada tanaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation Estate milik PT. Kidang
Gesit Perkasa berdiri di atas lahan seluas ± 900 Ha, terletak di kecamatan
Cikidang, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Berada pada ketinggian 500-800
meter diatas permukaan laut. Kawasan ini memiliki keunggulan dimana kegiatan
usaha perkebunan kelapa sawit dipadukan dengan wisata dan property development (Gambar 4). Pada tiap kapling didirikan satu bangunan rumah kebun dengan fasilitas layaknya perumahan elit, meliputi lapangan golf dan club house, kolam renang, penginapan, rumah sakit, dan sebuah sekolah Indonesia Shaolin International School (ISIS).
Gambar 4 Site plan Cikidang Plantation Estate
PT. Kidang Gesit Perkasa memiliki total luas lahan 15 000 Ha yang
terbagi di 8 wilayah kecamatan di kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Integrasi
skala usaha perkebunan kelapa sawit dengan fasilitas produksi industri
diharapkan akan menjamin pengembalian investasi yang sangat baik serta
memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan investasi lainnya. Kegiatan
budidaya kelapa sawit yang dilakukan di Cikidang Plantation Estate antara lain:
Pembibitan
Pembibitan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan sistem
pembibitan dua tahap (double stage). Terlebih dahulu dilakukan pembibitan awal (pre nursery) dengan menggunakan polibag berukuran kecil selama ± 3 bulan, kemudian tanaman dipindahkan ke pembibitan utama (main nursery) dengan menggunakan polibag yang berukuran lebih besar (Lampiran 2). Selanjutnya
tanaman dipelihara selama 9-12 bulan hingga siap untuk ditanam. Sistem
pembibitan dua tahap dilaksanakan oleh pihak perkebunan karena memiliki
beberapa keuntungan, antara lain: (a). Memudahkan pemeliharaan dan
pengawasan, serta tersedianya waktu untuk mempersiapkan pembibitan utama
pada tiga bulan pertama; (b). Lebih terjaminnya mutu bibit yang akan ditanam di
lahan karena telah melalui beberapa tahapan seleksi, baik di pembibitan awal
maupun di pembibitan utama; (c). Seleksi yang ketat (5-10%) pada pembibitan
awal dapat mengurangi keperluan tanah dan polibag di pembibitan utama.
Penanaman
Pola penanaman yang digunakan adalah segitiga sama sisi dengan jarak
8m x 8m x 8m. Setiap tempat yang akan ditanami ditandai dengan penancapan
ajir/tiang pancang. Petak tanam berukuran 2m x 3m dengan kedalaman lubang
tanam 1 m³ (Lampiran 3). Setelah dilakukan penggalian, lubang tanam didiamkan
terlebih dahulu selama satu minggu. Setelah itu lubang tanam diberi pupuk
kandang dan kompos dengan dosis 40 kg/lubang tanam, kemudian ditutup dengan
tanah secukupnya. Proses ini dilakukan dua kali. Selang antara pemberian pupuk
yang pertama dengan kedua sekitar satu minggu. Pada pemberian pupuk yang
kedua, tanah penutup diberi campuran kapur, furadan, atau baliurang. Hal ini
bertujuan untuk mengantisipasi keberadaan serangga-serangga tanah seperti
semut. Total waktu yang dibutuhkan dari proses penggalian lubang hingga lubang
tanam siap digunakan sekitar 2-3 minggu. Bibit kelapa sawit yang akan ditanam
terlebih dahulu polibagnya dibuang, kemudian akar yang keluar dipotong guna
20
(sebatas bongkol). Hal ini bertujuan agar pertumbuhan kelapa sawit dapat optimal.
Kemudian tanah penutup lubang dipadatkan.
Pemeliharaan TBM
Konsolidasi tanaman, adalah tindakan rehabilitasi terhadap tanaman yang baru ditanam. Kesalahan cara penanaman yang disebabkan oleh pengerjaan yang
terburu-buru dan kurangnya pengawasan dapat mengakibatkan kerusakan
tanaman, kelainan pertumbuhan, atau bahkan kematian. Kegiatan konsolidasi
meliputi : (a) Menginventarisasi tanaman yang mati, abnormal, tumbang, dan
terserang hama dan penyakit; (b) Menegakkan kembali tanaman yang tumbang
dengan melakukan penimbunan dan memberikan penyokong apabila sulit untuk
ditegakkan.
Penyulaman, dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati, rusak, atau tumbuh kurang baik dengan tanaman baru. Hasil sensus tanaman setiap bulan
pada areal TBM akan menunjukkan jumlah tanaman yang harus disulam. Cara
penyulaman sama dengan cara menanam bibit. Agar pertumbuhan tanaman
seragam, pada penyulaman digunakan tanaman baru (bibit) yang memiliki jenis
dan umur yang sama. Pada setiap kali penanaman disediakan minimal 5% bibit
untuk penyulaman.
Pemupukan, bertujuan untuk menyediakan kebutuhan hara bagi tanaman sehingga tanaman akan tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi secara
maksimal. Dosis pupuk pada TBM belum menggunakan hasil analisis daun, tetapi
berdasarkan standar pemupukan yang telah dikeluarkan Pusat Penelitan Kelapa
Sawit (PPKS).
Pengendalian gulma, bertujuan untuk menghindari terjadinya persaingan antara tanaman kelapa sawit dengan gulma dalam pemanfaatan unsur hara, air dan
cahaya. Selain itu pengendalian gulma juga bertujuan untuk mempermudah
kegiatan panen. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan di
piringan tanaman (circle weeding), membabat atau membongkar gulma berkayu, serta melakukan penyemprotan.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman, dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Serangan hama tikus, babi hutan, dan kera merupakan salah satu
yang baru ditanam. Secara mekanis dilakukan pengendalian dengan memberikan
penutup seng melingkar pada bagian bawah tanaman yang baru ditanam. Penutup
seng baru dibuka setelah tanaman dianggap aman dari resiko serangan. Secara
kimiawi dilakukan penyemprotan untuk mengendalikan hama ulat pemakan daun
kelapa sawit (UPDKS).
Penunasan, yaitu memotong daun-daun tua tanaman kelapa sawit yang tidak bermanfaat lagi bagi tanaman dan buah-buah pertama yang busuk. Tujuan
penunasan pada TBM kelapa sawit terutama untuk sanitasi pohon. Alat yang
digunakan adalah sejenis linggis bermata lebar dan tajam yang disebut dodos.
Penunasan dilakukan dengan rotasi setiap 6 bulan sekali.
Kastrasi, ialah pembuangan bunga, baik bunga jantan ataupun bunga betina pada tanaman kelapa sawit. Kastrasi dilaksanakan sejak bunga mulai keluar
dengan tujuan: (a). Merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman; (b). Memperoleh
kondisi tanaman yang bersih, sehingga mengurangi kemungkinan serangan hama
dan penyakit; (c). Menghemat penggunaan unsur hara dan air.
Hasil Pengamatan Ulat Api (Lepidoptera:Limacodidae)
Berdasarkan penghitungan kelimpahan populasi ulat api dari minggu ke-1
hingga ke-10 di lahan, diperoleh rataan kelimpahan populasi ulat api yang
terdapat di lahan. Rataan kelimpahan populasi ulat api yang ditemukan di lahan
pada pelepah nomor 9 dan 17 berturut-turut adalah (ekor/pelepah): 0,05 dan 0,12
pada blok B1; 0,04 dan 0,07 pada blok B2; 0,06 dan 0,08 pada blok D1; 0,02 dan
0,04 pada blok D2 (Tabel 3). Berdasarkan klasifikasi kepadatan ulat pada pelepah
daun kelapa sawit (Tabel 2), maka rataan kelimpahan populasi ulat api yang
terdapat di lahan masih tergolong ringan.
Rataan kelimpahan populasi ulat api di semua blok lebih tinggi pada
pelepah nomor 17 dibandingkan dengan pelepah nomor 9, yaitu 0,12 pada blok
B1, 0,07 pada blok B2, 0,08 pada blok D1, dan 0,04 pada blok D2 (Tabel 1). Hal
tersebut disebabkan karena ulat api lebih menyenangi pelepah tua. Ulat api
membutuhkan naungan dari pelepah muda agar terlindung dari sinar matahari.
22
(Gambar 5a). Imago S. nitens selalu meletakkan telurnya pada pelepah daun yang dekat dengan permukaan tanah (pelepah daun tua), untuk mempermudah proses
pembentukan pupa. S. nitens berkepompong pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit.
Tabel 3 Rataan kelimpahan populasi ulat api
Minggu ke-
Rataan Kelimpahan Populasi Ulat Api (Ekor/Pelepah)
Blok B1 Blok B2 Blok D1 Blok D2
Berdasarkan hasil pengamatan di lahan ditemukan gejala serangan pada
daun tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh ulat api (Gambar 5b). Ulat yang
baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah
dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat
memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Serangan ulat api
dalam jumlah tinggi akan mengakibatkan helaian daun tersisa hanya lidinya, bahkan
dapat memakan epidermis pelepah daun. Ulat menyukai daun kelapa sawit tua,
tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan daun-daun muda.
(a) (b)
Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun yang paling sering
menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Eksplosi hama ulat api
dilaporkan pertama kali pada tahun 1976. Di Malaysia, antara tahun 1981 dan
1990 terdapat 49 kali eksplosi hama ulat api, sehingga rata-rata eksplosi terjadi 5
kali dalam setahun (Norman dan Basri 1992). Semua stadia tanaman rentan
terhadap serangan ulat api. Jenis ulat api yang paling banyak ditemukan di
lapangan adalah Setothosea asigna, S. nitens, Darna trima, Darna diducta dan
Darna bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallida dan Birthamula chara (Norman dan Basri 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens
dan D. trima.
Ulat Kantung (Lepidoptera:Psychidae)
Berdasarkan penghitungan kelimpahan populasi ulat kantung dari minggu
ke-1 hingga ke-10, diperoleh rataan kelimpahan populasi ulat kantung yang
terdapat di lahan. Rataan kelimpahan populasi ulat kantung yang ditemukan di
lahan pada pelepah nomor 9 dan 17 berturut-turut adalah (ekor/pelepah): 0,45 dan
0,37 pada blok B1; 0,42 dan 0,33 pada blok B2; 0,52 dan 0,45 pada blok D1; 0,34
dan 0,29 pada blok D2 (Tabel 4). Berdasarkan klasifikasi kepadatan ulat pada
pelepah daun kelapa sawit (Tabel 2), maka rataan kelimpahan populasi ulat
kantung yang terdapat di lahan masih tergolong ringan.
Tabel 4 Rataan kelimpahan populasi ulat kantung
Minggu ke-
Rataan Kelimpahan Populasi Ulat Kantung (Ekor/Pelepah)
24
Di semua blok diperoleh rataan kelimpahan populasi ulat kantung yang
lebih tinggi pada pelepah nomor 9 dibandingkan dengan pelepah nomor 17, yaitu
0,45 pada blok B1, 0,42 pada blok B2, 0,52 pada blok D1, dan 0,34 pada blok D2
(Tabel 4). Hal tersebut disebabkan karena ulat kantung menyukai daun yang lebih
lunak. Jaringan daun pada pelepah muda (pelepah nomor 9) lebih lunak dari pada
pelepah tua (pelepah nomor 17).
Dibandingkan dengan blok lain, blok D1 memiliki rataan populasi ulat
kantung yang paling tinggi, yaitu 0,52 pada pelepah nomor 9 dan 0,45 pada
pelepah nomor 17 (Tabel 4). Diduga hal ini karena sedikitnya gulma yang terdapat
di lahan sehingga kemungkinan kondisi lahan Wo (Weeding nol). Wo adalah lahan
yang tidak ditumbuhi oleh tanaman gulma penghasilkan madu dari kelenjar
ekstrafloralnya yang merupakan sumber pakan utama bagi imago berbagai jenis
serangga predator dan parasitoid UPDKS (LPP 2000).
(a)
(b) (c)
Gambar 6 Gejala serangan ulat kantung (a), M. plana (b), dan M. corbetti (c)
Berdasarkan hasil pengamatan di lahan ditemukan gejala serangan pada
daun tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh ulat kantung (Gambar 6a).
berlubang. Pada awalnya bekas gerigitan ini berwarna hijau, kemudian mengering
berwarna kecoklatan. Serangan ulat kantung dengan populasi tinggi menyebabkan
daun mengering dan seperti terbakar. Ulat kantung yang ditemukan di lahan
adalah jenis Metisa plana dan Mahasena corbetti (Gambar 6b dan 6c).
Ciri khas ulat kantung adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip
kantung yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang,
di sekitar daerah serangan. Ciri khas yang lain adalah pada bagian tubuh imago
betina kebanyakan spesies ulat kantung mereduksi dan tidak mampu untuk
terbang. Imago jantan memiliki sayap dan akan mencari betina karena bau
feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan. Ulat yang baru
menetas bergantungan pada daun dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah
menyebar terbawa angin, bisa juga terbawa manusia atau binantang. Ulat sangat
aktif makan sambil membuat kantung dari potongan daun yang agak kasar.
Selanjutnya ulat bergerak dan makan dengan hanya mengeluarkan kepala dan kaki
depannya dari dalam kantung. Ulat mula-mula berada pada permukaan atas daun,
tetapi setelah kantung semakin besar berpindah menggantung di bagian
permukaan bawah daun kelapa sawit.
Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat kantung. Tetapi
cenderung akan lebih berbahaya jika tanaman yang diserang berumur lebih dari 8
tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran ulat
kantung pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling
bersinggungan. Tujuh spesies ulat kantung yang pernah ditemukan pada tanaman
kelapa sawit adalah M. plana, M. corbetti, Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus griseus, Manatha albipes, Amatissa sp. dan Cryptothelea cardiophaga (Norman et al. 1995). Jenis ulat kantung yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit adalah M. plana dan M. corbetti.
Kelimpahan populasi ulat api dan ulat kantung yang ditemukan di lahan dari
minggu ke-1 hingga ke-10 mengalami perubahan (Lampiran 5 dan 6). Hal tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a). Perpindahan ulat api dan ulat kantung
pada tanaman; (b) Intensitas hujan yang berbeda pada tiap minggu pengamatan; (c).
26
Keberadaan komunitas laba-laba di suatu lahan pada umumnya
berhubungan erat dengan karakteristik komunitas tumbuhan yang terdapat di
lahan tersebut (Lampiran 4). Laba-laba pembuat jaring membutuhkan arsitektur
vegetasi yang sesuai untuk menempatkan jaringnya. Bagi laba-laba yang hidup di
serasah, daun-daun yang gugur di tanah merupakan habitat yang sesuai baginya.
Dari hasil penghitungan di lahan diperoleh hasil: pada blok B1 terdapat sekitar
91% laba-laba jaring, 3% laba-laba lompat, 4% laba-laba bermata tajam, dan 2%
laba serigala; pada blok B2 terdapat sekitar 84% laba jaring, 12%
laba-laba lompat, 4% laba-laba-laba-laba bermata tajam, dan tidak ditemukan laba-laba-laba-laba serigala;
pada blok D1 terdapat sekitar 90% laba-laba jaring, 5% laba-laba lompat, 3%
laba-laba bermata tajam, dan 2% laba-laba serigala; pada blok D2 terdapat sekitar
80% laba-laba jaring, 18% laba-laba lompat, 2% laba-laba bermata tajam, dan
tidak ditemukan laba-laba serigala (Gambar 7).
Gambar 7 Persentase kelimpahan populasi laba-laba tiap blok
Laba-laba Pembuat Jaring (Araneidae, Tetragnathidae)
Laba-laba ini merupakan laba-laba yang paling banyak ditemukan di
lahan, yaitu 91% pada blok B1, 84% pada blok B2, 90% pada blok D1, dan 80%
pada blok D2 (Gambar 7). Ada banyak jenis laba-laba yang membuat jaring. Pada
mangsa tanpa bantuan jaringnya. Laba-laba menunggu dengan sabar pada jaring,
bila ada serangga yang tertangkap ia akan langsung menggigit dan
melumpuhkannya. Biasanya ia akan langsung mengisap cairan tubuh mangsa, atau
bisa juga membungkus mangsa dengan sutera untuk dimakan kemudian. Ada juga
laba-laba jaring yang bersembunyi dalam daun terlipat, keluar hanya bila ada
getaran serangga yang terperangkap. Jaringnya ada yang kuat hingga mampu
menangkap burung kecil dan ada juga yang mudah rusak. Beberapa jenis
laba-laba menggunakan jaring yang sama selama beberapa minggu, menunggu di
tengah-tengah jaringnya sepanjang hari. Namun ada juga yang membuat jaring
baru setiap malam, pagi hari jaring dimakan dan laba-laba bersembunyi sepanjang
hari di bawah daun atau kulit pohon.
Laba-laba jantan pada umumnya lebih kecil dari betina, dan bentuknya
berbeda. Beberapa jantan menunggu di sudut jaring, mendekati betina dengan
hati-hati agar tidak dimakan. Setelah kawin, betina membuat sarung berisi ratusan
telur. Betina mati sebelum anaknya lahir. Anak-anak menenun payung sutera dan
dibawa angin ke tempat baru.
Laba-laba Lompat (Salticidae)
Laba-laba ini ditemukan 3% pada blok B1, 12% pada blok B2, 5% pada
blok D1, dan 18% pada blok D2 (Gambar 7). Laba-laba lompat tergolong
laba-laba pemburu, ia tidak membuat jaring tapi langsung menerkam mangsanya. Aktif
sepanjang hari berpatroli di tanaman-tanaman untuk mencari mangsa. Kaki
depannya kuat dan panjang. Laba-laba Laba-laba lompat bermata delapan, dua
mata besar menghadap ke depan, dan mata lainnya kecil. Kaki depan yang kuat
dan panjang membuat laba-laba ini dapat bergerak sangat cepat, ia bahkan dapat
menangkap lalat yang sedang terbang. Ia sering melompat jauh, dan
meninggalkan benang sarang supaya tidak jatuh ke tanah. Laba-laba dapat
menangkap mangsa yang lebih besar darinya, seperti ngengat. Laba-laba kecil
merupakan pemangsa penting kepik dan hama lain. Laba-laba menusukkan racun
yang dapat melumpuhkan mangsa, kemudian mengisap cairannya.
Laba-laba jantan menggoyangkan kaki depan untuk menarik betina.
28
dalamnya. Ia menjaga kantong itu sampai anak laba-laba keluar dan dapat pergi
sendiri.
Laba-laba Bermata Tajam (Oxyopidae)
Laba-laba ini ditemukan 4% pada blok B1 dan B2, 3% pada blok D1, dan
2% pada blok D2 (Gambar 7). Laba-laba bermata tajam tergolong laba-laba
pemburu, tidak membuat jaring tapi langsung menerkam mangsanya. Aktif
sepanjang hari menunggu mangsanya lewat, atau berpatroli di tanaman-tanaman
untuk mencari mangsa. Laba-laba ini bermata enam, terletak pada segi enam yang
menonjol di atas kepalanya, dua menatap ke depan, dua ke samping, dan dua ke
atas. Kaki-kakinya berduri panjang. Sutera digunakan untuk menenun tali
pengaman, sehingga bila jatuh dari daun, tali itu mencegahnya jatuh ke tanah.
Laba-laba ini dapat menangkap mangsa yang jauh lebih besar daripada dirinya
sendiri. Bahkan dapat menangkap ngengat dan ulat dan memegangnya sambil
mengisap cairannya.
Laba-laba betina menjaga kantung telurnya setelah kawin. Tetapi karena
umur laba-laba ini pendek, maka induk akan mati sebelum telurnya menetas.
Setelah menetas, anak laba-laba harus dapat berburu sendiri tanpa bantuan
induknya.
Laba-laba Serigala (Lycosidae)
Laba-laba ini merupakan laba-laba yang paling sedikit ditemukan di lahan,
yaitu hanya 2% pada blok B1 dan D1, sedangkan pada blok B2 dan D2 tidak
ditemukan sama sekali (Gambar 7). Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh
kebiasaan laba-laba serigala yang umumnya aktif pada malam hari, sehingga
ketika dilakukan pengamatan laba-laba sedang tidak berpatroli di pertanaman.
Laba-laba ini tidak membuat jaring untuk menangkap mangsanya, tetapi
berburu dengan berjalan di atas tanah atau di batang dan daun tanaman. Laba-laba
serigala memakan ngengat, kepik, ulat dan serangga lain termasuk nimfa Dasynus
dan Diconocoris. Mangsa yang dilihatnya dikejar, ditangkap kemudian dilumpuhkan dengan cara menyuntikkan racun, lalu menghisap cairan tubuh
korban. Laba-laba serigala memiliki delapan mata yang tajam, dengan dua mata
Laba-laba jantan menggoyangkan bagian mulutnya (yang tampaknya
seperti kaki) untuk merayu betina. Setelah perkawinan, laba-laba betina menenun
kantong telur yang disambungkan ke bagian belakang tubuhnya. Kantong ini
dibawa ke mana-mana, juga saat berburu. Setelah menetas anak laba-laba naik ke
punggung induknya. Laba-laba betina mampu membawa hingga 100 anak di
punggungnya. Sesudah cukup besar, mereka turun dari induknya pada saat angin
berhembus, mengangkat bagian belakang badannya, menenun sutera, dan ditiup
angin ke tempat lain.
Hama dan Predator Lain yang Ditemukan di Lahan
Beberapa hama serta gejala serangan yang ditemukan saat pengamatan
langsung di lahan diklarifikasi melalui wawancara kepada karyawan perkebunan.
Selain hama ulat api dan ulat kantung juga terdapat hama lain di lahan seperti
kumbang lege (Exopolis hypoleuca), belalang (Valanga nigricornis), tikus pohon (Rattus tiomanicus), monyet, dan babi hutan.
Pada blok B serangan hama tikus merupakan kendala serius yang dihadapi
di lahan, terutama pada tanaman yang baru ditanam. Tikus mengerat serta
memakan bagian pangkal pelapah daun dan bagian atas perakaran yang masih
lunak, sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan kematian
tanaman yang diserang (Gambar 8a). Berbagai upaya pengendalian telah
dilakukan oleh pihak perkebunan untuk menanggulangi serangan hama ini, salah
satunya adalah dengan memberikan penutup seng melingkar pada bagian bawah
tanaman yang baru ditanam (Gambar 8b). Selain itu juga dilakukan upaya
pengendalian secara kimia dengan menggunakan racun tikus yang dicampurkan
pada makanan, namun hingga saat ini kedua usaha tersebut masih belum berhasil.
(a) (b)
30
Predator selain laba-laba yang ditemukan selama pengamatan di lahan
antara lain: belalang sembah (Mantodea: Mantidae), capung (Odonata:
Libellulidae), cocopet (Dermaptera: Formiculidae), tawon kertas (Hymenoptera:
Vespidae), jangkrik (Orthoptera: Gryllidae), dan semut hitam (Formicidae:
Hymenoptera).
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dari minggu ke-1 hingga minggu ke-10,
kelimpahan populasi hama ulat api dan ulat kantung yang terdapat di lahan masih
tergolong ringan. Ulat api yang ditemukan di lahan adalah dari jenis Setora nitens, dan ulat kantung dari jenis Metisa plana dan Mahasena corbetti. Ketiga jenis hama tersebut merupakan ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS) yang paling
merugikan di perkebunan. Sedangkan musuh alami yang paling banyak terdapat di
lahan adalah predator dari golongan Arachnida (laba-laba). Berdasarkan hasil
pengamatan di lahan ditemukan jenis laba-laba pembuat jaring, laba-laba lompat,
laba-laba bermata tajam, dan laba-laba serigala. Laba-laba yang paling banyak
terdapat di lahan adalah jenis laba-laba pembuat jaring yaitu sebesar 91% pada
blok B1, 84% pada blok B2, 90% pada blok D1, dan 80% pada blok D2.
Saran
Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut terhadap kelimpahan populasi ulat
api dan ulat kantung, serta musuh alaminya di lokasi yang berbeda. Pengendalian
hama terpadu (PHT) atau dengan menggunakan agens hayati sangat penting
dilakukan selain mengandalkan pengendalian alami yang dilakukan musuh alami
32
DAFTAR PUSTAKA
Agustira MA, A Kurniawan, Dja’far, D Siahaan, L Buana, dan T Wahyono, 2008. Tinjauan Ekonomi Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit: Medan.
Barrion AT, Litsinger A. 1995. Riceland Spiders of South and Southeast Asia. CAB International, Wallingford, UK, 700 pp.
Basri MW, Norman K, Hamdan AB. 1995. Natural enemies of the bagworm, Metisa plana (Lepidoptera: Psychidae) and their impact on host population regulation. Crop Prot. 14(8): 637–645.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Darmosarkoro W. 2006. Dukungan Teknologi Mutakhir Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Bagi Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Makalah pada Seminar Inovasi Teknologi Perkebunan 2006 untuk Menunjang Revitalisasi Perkebunan. Legian, Bali 22-23 November 2006.
Fauzi Y, YE Widyastuti, I Satyawibawa dan R Hartono. 2003. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya: Jakarta.
Gumbira-Sa’id E. 2009. Network development of research, development and application of national innovation system of science and technology, with a special case on the utilization of oil palm biomass for food, feed, fuel and furniture production. Paper Presented at The International Seminar On Sustainable Biomass Production and Utilization: Challenges and Opportunities, The University of Lampung, Sheraton Lampung Hotel, Bandar Lampung, August 3, 2009.
Hadi MM. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karya Nusa: Yogyakarta.
Hartley CWS. 1979. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Second edition. Tropical Agriculture Series. Longman Group Limited: London. 355 pp.
Hartoyo D. 2011. Pengertian Musuh Alami Serangga Hama.
http://www.htysite.co.tv/ [28 Juni 2011].
IOPRI. 2007. Introducing Paper of International Oil Palm Conference and Exhibition: May 2007. Jakarta.
Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat Bandar Kuala: Pematang Siantar.
Mangoensoekarjo S dan H. Semangun. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. UGM Press: Yogyakarta.
Norman K, Robinson GS, Basri MW. 1995. Common Bagworm Pests
(Lepidoptera: Psychidae) Of Oil Palm in Malaysia with notes on related South-east asian species. Malayan nature journal (49): 93-123.
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sastrosayono S. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka: Jakarta.
Setyamidjaja D. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius: Yogyakarta.
Sianturi HSD. 1991. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. USU Press: Medan.
Tim Penulis PS, 1997. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya: Jakarta.
Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel tanaman
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: Blok B1 (a), blok B2 (b), blok D1 (c), dan blok D2 (d).
Lampiran 2 Lokasi pembibitan
(a) (b)
36
Lampiran 3 Penggalian lubang tanam
(a) (b)
Keterangan: Lubang tanam yang baru digali (a) dan yang telah diberi pupuk (b).
Lampiran 4 Laba-laba yang ditemukan di lahan
(a) (b)
(a) (b)
Lampiran 5 Dinamika populasi ulat api perminggu
Lampiran 6 Dinamika populasi ulat kantung perminggu