• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

BUDI SUGIYARSO

117011149/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUDI SUGIYARSO

117011149/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

Nim : 117011149

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM DARI PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH DI KOTA PEKANBARU

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

yang letaknya cukup strategis secara geografis, karena berada dalam jalur lintas Sumatera dan terhubung dengan beberapa kota seperti Medan, Padang dan Jambi. Dengan wilayah admistratif yang diapit oleh Kabupaten Siak pada bagian utara dan timur serta dibagian barat dan selatan diapit oleh Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru juga dibelah oleh sungai Siak yang mengalir dari barat ke timur dan berada pada ketinggian antara 5-50 meter di atas permukaan laut. Laju pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan pertumbuhan penduduknya yang begitu padat hingga saat ini membuat kota Pekanbaru dipandang perlu diperluas wilayahnya sebagai ibu kota Provinsi Riau. Perluasan tersebut didasarkan kepada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah juga Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan pada teori hukum bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Teori yang digunakan adalah teori penyerahan kewenangan dimana sebagian wilayah Kabupaten Kampar termasuk dalam wilayah kota Pekanbaru sekaligus juga kewenangan di wilayah yang dimasukan dalam kota Pekanbaru beralih dari pemerintah Kabupaten Kampar kepada Pemerintah Kota Pekanbaru. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalahan tersebut. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Perluasan wilayah kota Pekanbaru harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan juga Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dalam hal pemberian dan pelaksanaan kewenangan pada masing-masing pemerintahan pasca dilaksanakan perluasan wilayah tersebut. Dengan dilaksanakan perluasan wilayah kota Pekanbaru yang diambil dari sebagian wilayah Kabupaten Kampar yakni Kecamatan Siaulu PW dan Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar maka akibat hukumnya adalah terjadinya perubahan terhadap komposisi kewenangan wilayah yang terdapat dikedua daerah tingkat II tersebut. Di samping itu di bidang pendaftaran tanah wilayah kerja kantor pertanahan dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) juga terjadi perubahan kewenangan dan wilayah kerjanya.

(7)

urbanization. Geographically, it is located strategically because it is in the Sumatera Traffic Lane which is connected with some big towns such as Medan, Padang, and Jambi. It is administratively enclosed by Kampar District in the North and in the East and divided by the Siak River which flows from west to east with the altitude of 5 to 50 meters above the sea level. Its rapid economic and population growth has made Pekanbaru a town which needs to be expanded in Riau Province. The expansion is based on Law No. 32/2004 on Regional Autonomy and on the Government Regulation No. 19/1987 on the Revision of the Territorial Borders between Pekanbaru and Kampar District.

The type of the research was judicial normative and descriptive analytic in which data analysis was based on general legal theory which was applied to explain a set of other data. The theory used in the research was the theory of delegation of authority, where some parts of Kampar District is included in Pekanbaru area, along with its authority which is shifted from Kampar District Administration to Pekanbaru Administration. The research also used explanatory method which analyzed the problems and drew a conclusion which became the core of the solution. The data were analyzed qualitatively by using legal interpretation and reason in order to obtain new description or to strengthen the existing description in solving the problems, drawing a conclusion, and giving some useful suggestions.

The area expansion of Pekanbaru has to be in line with the regulation stipulated in Law No. 32/2004 on Regional Autonomy and with the Government Regulation No. 19/1987 on Revision of Territorial Borders between Pekanbaru and Kampar District. This is aimed to obtain legal certainty in giving and implementing the authority in each Administration after the area expansion is implemented. The implementation of the area expansion in Pekanbaru is substracted from a part of Siaulu PW Subdistrict and Kampar Subdistrict in Kampar District. The legal consequence is that there is the alteration of the composition of regional authority in both of these Dati II areas. Besides that, there is also the change in land registration in the Land Office and in the Office of PPAT (Official Empowered to Draw up Land Deeds) in these areas.

(8)

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “AKIBAT HUKUM DARI PEMEKARAN WILAYAH

TERHADAP PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH DI KOTA

PEKANBARU”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS.CN, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

dan Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum.,selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

(9)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sekaligus sebagai dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku penguji dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Slamet Sastro Karyono dan Ibunda Alm

Sarikem atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Kepada Istriku tercintaku Emi Putri Nasution dan Anak-anakku Bagus Priyo Widakdo, Wiwin Pudji Wiyatmi, Dimas Aditya Kurniawan dan Dicki Prasetyo yang selalu memberikan dukungan dan kesabaran tanpa batas serta menjadi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin. Terima kasih atas doa dan pengorbanannya.

8. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

(11)

Khusdjono, Posan, Kimun Kuara, Meyaty, Andina Tampubolon, Herianto Sinaga, Rizaldi, Anisa, dan Juli Astuti serta teman-teman sejawat Ibu Notaris Yarlinda Saleh,SH., Budi Lestarianto, Mustari, Saipul, Haji Rahman dan lain-lain yang tidak bisa disebut namanya satu persatu.

11. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

12. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan yang tidak dapat disebut satu persatu.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jaug dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Juli 2014 Penulis

(12)

Nama : Budi Sugiyarso

Tempat / Tgl. Lahir : Sidoharjo / 24 April 1966

Alamat : Jl. Arifin Achmad Melati III Riau

Status : Menikah

Agama : Islam

No. Telp : 082283738999

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri Tremes 1974-1980

2. SMP Negeri Sidoharjo 1980-1983

(13)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR SINGKATAN / ISTILAH ASING ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 32

G. Metode Penelitian ... 34

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 34

2. Sumber Data... 35

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 36

4. Analisis Data ... 36

BAB II PROSEDUR HUKUM PELAKSANAAN PEMEKARAN WILAYAH KOTA PEKANBARU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ... 38

(14)

KOTA PEKANBARU BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH NO. 19 TAHUN 1987 ... 72

A. Kewenangan Pemerintah Kota Pekanbaru ... 72

B. Penetapan Batas-batas Wilayah Kota Pekanbaru Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 ... 76

BAB IV AKIBAT HUKUM PEMEKARAN WILAYAH KOTA PEKANBARU TERHADAP KEGIATAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH ... 87

A. Sistem dan Prosedur Hukum Kegiatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ... 87

B. Akibat Hukum Pemekaran Wilayah Kota Pekanbaru terhadap Wilayah Kerja PPAT ... 107

C. Akibat Hukum Pemekaran Wilayah Kota Pekanbaru terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah... 113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 130

(15)
(16)

BPN : Badan Pertanahan Nasional

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DOB : Daerah Otonom Baru

PP : Peraturan Pemerintah

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PRDB : Produk Domestik Regional Bruto

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

UUD : Undang-Undang Dasar

Simtanas : Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional

Acquisitieve verjaring : Lampau waktu yang menimbulkan hak baru atas tanah

adat rechtsgemenschap : Masyarakat hukum adat administratief regelen en bestuur : Bidang administrasi negara

Adverse possession. : Lampau waktu yang menimbulkan hak baru atas tanah

Certificate of title : Tanda bukti kepemilikan hak atas tanah

(17)

Dubius : Penafsiran mendua

Macht : Kekuasaan

Medebewind : Tugas pembantuan

Nemo plus yuridis : Penggunaan hak melampaui kewenangan dan hak-hak hukum yang dimiliki

Operasional definition : Defenisi operasional

Ratio legis : Peraturan hukum

Rechten en plichten : Perbandingan yang logis

Register : Pendaftaran

Registration of deeds : Sistem pendaftaran akta

Registration of title : Sistem pendaftaran hak

Supervise : Pembinaan

Titlesearch : Pencarian nama hak atas tanah

Rechtsverwerking : Penglepasan hak

(18)

yang letaknya cukup strategis secara geografis, karena berada dalam jalur lintas Sumatera dan terhubung dengan beberapa kota seperti Medan, Padang dan Jambi. Dengan wilayah admistratif yang diapit oleh Kabupaten Siak pada bagian utara dan timur serta dibagian barat dan selatan diapit oleh Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru juga dibelah oleh sungai Siak yang mengalir dari barat ke timur dan berada pada ketinggian antara 5-50 meter di atas permukaan laut. Laju pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan pertumbuhan penduduknya yang begitu padat hingga saat ini membuat kota Pekanbaru dipandang perlu diperluas wilayahnya sebagai ibu kota Provinsi Riau. Perluasan tersebut didasarkan kepada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah juga Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan pada teori hukum bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Teori yang digunakan adalah teori penyerahan kewenangan dimana sebagian wilayah Kabupaten Kampar termasuk dalam wilayah kota Pekanbaru sekaligus juga kewenangan di wilayah yang dimasukan dalam kota Pekanbaru beralih dari pemerintah Kabupaten Kampar kepada Pemerintah Kota Pekanbaru. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalahan tersebut. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Perluasan wilayah kota Pekanbaru harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan juga Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dalam hal pemberian dan pelaksanaan kewenangan pada masing-masing pemerintahan pasca dilaksanakan perluasan wilayah tersebut. Dengan dilaksanakan perluasan wilayah kota Pekanbaru yang diambil dari sebagian wilayah Kabupaten Kampar yakni Kecamatan Siaulu PW dan Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar maka akibat hukumnya adalah terjadinya perubahan terhadap komposisi kewenangan wilayah yang terdapat dikedua daerah tingkat II tersebut. Di samping itu di bidang pendaftaran tanah wilayah kerja kantor pertanahan dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) juga terjadi perubahan kewenangan dan wilayah kerjanya.

(19)

urbanization. Geographically, it is located strategically because it is in the Sumatera Traffic Lane which is connected with some big towns such as Medan, Padang, and Jambi. It is administratively enclosed by Kampar District in the North and in the East and divided by the Siak River which flows from west to east with the altitude of 5 to 50 meters above the sea level. Its rapid economic and population growth has made Pekanbaru a town which needs to be expanded in Riau Province. The expansion is based on Law No. 32/2004 on Regional Autonomy and on the Government Regulation No. 19/1987 on the Revision of the Territorial Borders between Pekanbaru and Kampar District.

The type of the research was judicial normative and descriptive analytic in which data analysis was based on general legal theory which was applied to explain a set of other data. The theory used in the research was the theory of delegation of authority, where some parts of Kampar District is included in Pekanbaru area, along with its authority which is shifted from Kampar District Administration to Pekanbaru Administration. The research also used explanatory method which analyzed the problems and drew a conclusion which became the core of the solution. The data were analyzed qualitatively by using legal interpretation and reason in order to obtain new description or to strengthen the existing description in solving the problems, drawing a conclusion, and giving some useful suggestions.

The area expansion of Pekanbaru has to be in line with the regulation stipulated in Law No. 32/2004 on Regional Autonomy and with the Government Regulation No. 19/1987 on Revision of Territorial Borders between Pekanbaru and Kampar District. This is aimed to obtain legal certainty in giving and implementing the authority in each Administration after the area expansion is implemented. The implementation of the area expansion in Pekanbaru is substracted from a part of Siaulu PW Subdistrict and Kampar Subdistrict in Kampar District. The legal consequence is that there is the alteration of the composition of regional authority in both of these Dati II areas. Besides that, there is also the change in land registration in the Land Office and in the Office of PPAT (Official Empowered to Draw up Land Deeds) in these areas.

(20)

A. Latar Belakang

Kota Pekanbaru adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Riau, Indonesia. Kota ini merupakan kota perdagangan dan jasa, termasuk sebagai kota dengan tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi. Secara geografis kota Pekanbaru memiliki posisi yang strategis berada pada jalur lintas Sumatera, terhubung dengan beberapa kota seperti Medan, Padang, dan Jambi dengan wilayah administratif diapit oleh Kabupaten Siak pada bagian utara dan timur sementara bagian barat dan selatan diapit oleh Kabupaten Kampar. Kota Pekanbaru dibelah oleh sungai Siak yang mengalir dari Barat ke Timur dan berada pada ketinggian berkisar antara 5-50 meter di atas permukaan laut. Kota ini termasuk beriklim tropis dengan suhu udara maksimum antara 34-360C dan suhu minimum antara 20-230C.

Sebelum tahun 1960, Pekanbaru hanyalah kota dengan luas 16 km2 yang kemudian bertambah menjadi 62,96 km2 dengan dua Kecamatan yaitu Kecamatan Senapelan dan Kecamatan Limapuluh. Selanjutnya pada tahun 1965 kota Pekanbaru menjadi enam kecamatan, dan tahun 1987 menjadi delapan kecamatan dengan wilayah wilayah 446,50 km2, setelah pemerintah daerah Kampar menyetujui untuk menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota Pekanbaru, yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 1987, dan kemudian pada tahun 2003 jumlah kecamatan

(21)

pada kota ini dimekarkan menjadi dua belas kecamatan. Sejak Tahun 2010 Pekanbaru telah menjadi kota ketiga berpenduduk terbanyak di Pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang. Pekanbaru ditetapkan menjadi Ibu kota Propinsi Riau melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959.1

Laju pertumbuhan ekonomi Kota Pekanbaru cukup pesat dan menjadi pendorong bagi laju pertumbuhan penduduknya. Etnis Minangkabau merupakan masyarakat terbesar yang tinggal di Kota Pekanbaru dengan jumlah sekitar 37,96% dari total penduduk kota. Etnis Minangkabau pada umumnya bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Jumlah mereka yang cukup besar telah mengantarkan bahasa Minang sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk Kota Pekanbaru, selain bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Selain itu etnis yang memiliki proporsi yang cukup besar di Kota Pekanbaru adalah Melayu, Jawa, Batak dan Tionghoa. Perpindahan ibu Kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru pada tahun 1959, memiliki andil besar menempatkan suhu Melayu mendominasi struktur birokrasi pemerintahan kota, namun sejak tahun 2002 hegemoni mereka berkurang seiring dengan berdirinya Provinsi Kepulauan Riau dari pemekaran Provinsi Riau.2

Menurut Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi

1Marwan Ali,Sejarah dan Perkembangan Kota Pekanbaru, World Press, Jakarta, 2012, hal.

7

(22)

dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah”.3

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pada dasarnya menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain prinsip otonomi saat ini berdasarkan asas-asas desentralisasi berkesinambungan.4

Prinsip ekonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

3

Dewi B. Andayani, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Disertasi, Pascasarjana Fakutlas Hukum UI, 2004, hal. 15

4 Sadu Wasisitiono, Esensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

(23)

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.5

Selain itu, penyelenggaraan pemerintah daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa pemerintah daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Berdasarkan pengertian pemerintah daerah dan wewenang yang telah diuraikan, pemerintah daerah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah otonom yang diberikan oleh pemerintah pusat (melalui desentralisasi) untuk menjalankan hak, kewajiban dan wewenang yang dimilikinya untuk mengatur rumah tangganya sendiri sehingga dapat meningkatkan daya dan hasil guna untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya dan melakukan pembangunan di daerahnya.6

5

H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hal.21

6Akmal Boedianto, Hukum Pemerintahan Daerah, Pembentukan Perda APBD Partisipasif,

(24)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain adalah pelayanan pertanahan.

Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam pemerintah daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugasmedebewind(tugas pembantuan).

Kewenangan yang pelaksanaanya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

(25)

proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif.7

Demikian pula halnya dengan kewenangan pemerintah (kabupaten/kota) dalam melaksanakan kewenangan di bidang pelaksanaan pendaftaran tanah yang dalam hal ini kewenangannya dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Apabila terjadi pemekaran wilayah berupa perubahan batas wilayah kota kota Pekanbaru, dimana sebagian kecil wilayah Kabupaten Kampar masuk ke dalam wilayah kota Pekanbaru. Dengan demikian sebagian wilayah yang tadinya masuk ke wilayah Kabupaten Kampar dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perluasan wilayah kota Pekanbaru, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari Kota Pekanbaru. Diantaranya wilayah Kabupaten Kampar yang masuk ke Kota Pekanbaru

(26)

adalah, sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar. 8

Berkaitan dengan pendaftaran tanah yang terjadi di wilayah Kota Pekanbaru yang selama ini telah berlangsung dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tersebut maka terjadi perluasan wilayah kerja dari kantor pertanahan Kota Pekanbaru termasuk didalamnya adalah wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Pekanbaru. Di sisi lain keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tersebut memperkecil wilayah yang dimiliki oleh Kabupaten Kampar termasuk didalamnya wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dan wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) daerah kerja Kabupaten Kampar. Hal ini menimbulkan permasalahan dari segi pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh kedua Kantor Pertanahan yaitu Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru dan juga Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Disamping itu juga menimbulkan permasalahan di bidang wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya telah ditetapkan di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.9

Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas masalah pemekaran kota Pekanbaru dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan kota Pekanbaru dalam hal kepastian hukum pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah tersebut dan dampak hukum lainnya yang menyangkut

8 Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah

Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara,

Disertasi Program Pascasarjana, 1993, hal.57

9Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah,Alumni, Bandung,

(27)

masalah pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh masyarakat di kedua wilayah yaitu Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana ketentuan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 dalam praktek pelaksanannya? 3. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota Pekanbaru

terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(28)

3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota Pekanbaru terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu :

1. Secara teoritis penelitian dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum otonomi daerah dalam hal pemekaran / perluasan wilayah dalam kaitannya dengan masalah pelaksanaan pendaftaran tanah di Kabupaten/Kota.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan prosedur hukum pemekaran wilayah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

E. Keaslian Penelitian

(29)

Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah di Kota Pekanbaru” belum ada yang meneliti dan membahasnya, sehingga secara akademis keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis,11 terhadap prosedur hukum pemekaran / perluasan wilayah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas oleh hukum. Maksudnya penelitian berusaha untuk memahami masalah pemekaran wilayah Kota Pekanbaru dimana perluasan wilayah tersebut merupakan hasil dari pengambilan beberapa wilayah dari Kabupaten Kampar yaitu dengan memasukkan sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan

10 JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I),

Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203

(30)

Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah dari Kabupaten Kampar, dimana perluasan wilayah Kota Pekanbaru tersebut didasarkan kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, dalam pelaksanaanya akan mengakibatkan timbulnya masalah hukum khususnya dibidang hukum pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen III) menyebutkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-darah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen III) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam otonomi daerah di Indonesia terdapat bebrapa prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya yaitu:

(31)

2. Keharusan membentuk daerah, yang terdiri dari daerah besar dan kecil dengan mengisyaratkan adanya suatu desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dengan otonomi yang luas

3. Bentuk pemerintahan daerah itu disusun dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara

4. Negara menjamin hak-hak asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa yang ada dalam negara

Dari prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) dan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tersebut di atas ada beberapa pendapat para ilmuwan hukum tata negara berkaitan dengan asas-asas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Bagir Manan mengemukakan bahwa Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang disertai asas desentralisasi. Dengan demikian secara teoritik persoalan-persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan desentralistik akan terdapat pula di negara Republik Indonesia.12Kemudian Bagir Manan berpendapat ada beberapa paradigma baru yang ditegaskan dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan di masa lalu. Paradigma-paradigma baru tersebut meliputi antara lain:

1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Di masa depan tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah.

(32)

2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara

(administratief regelen en bestuur) dijalankan pemerintah daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.

3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan rumah tangga daerah tidak perlu seragam. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemenschap) dan berbagai hak tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air, dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.

5. Pemerintah daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti ibu kota negara), kesejahteraan (DI Yogyakarta) atau karena keadaan sosio kultural (seperti DI Aceh).

(33)

7. Hubungan pusat dan daerah diselenggarakan secara selaras dan adil.13

Berdasarkan pemikiran tersebut, terlihat prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:

1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarki 2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan

3. Prinsip demokrasi

4. Prinsip otonomi seluas-luasnya

Didalam pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 (amandemen III) terkandung prinsip keterkaitan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah antara lain yaitu: 1. Hubungan wewenang yang diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan

dan keragaman daerah (dimuat dalam ayat 1)

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU (dimuat dalam ayat 2)

3. Prinsip pengakuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa (dimuat dalam ayat 1)

4. Prinsip pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisi masyarakat adat (dimuat dalam ayat (2)

Berdasarkan uraian mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

13 Jenning, Sistem Pemerintahan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan

(34)

tidak bersifat sentralistik. Kekuasaan negara dibagi kepada daerah melalui desentralisasi dan kekuasaan.

Dari uraian di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pelimpahan kewenangan yang menjadi landasan atau dasar dalam rangka mengkaji penerapan asas desentralisasi dalam perkembangan pengaturan pemerintahan daerah, khususnya yang dijadikan sebagai teori dalam penelitian ini adalah teori pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ada suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk menghindari kekuasaan yang disentralkan pada satu tangan. Berkaitan dengan prinsip pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan kesatuan pemerintah yang lebih rendah, maka lahirlah desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah.14

Dalam sistem pemerintahan daerah ada beberapa teori yang mendasari tentang pembagian kekuasaan diantaranya teori pembagian kekuasaan secara horisontal dan teori pembagian kekuasaan secara vertikal. Menurut pendapat Jimly Asshidiqie pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara verikal ke bawah. Pembagian kekuasaan secara vertikal berarti adanya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan.15

14

Sadu Wasistiono, Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus media Bandung, 2003, hal.7

15Juanda,Hukum pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD

(35)

Dalam sebuah negara kesatuan dimana suatu negara kesatuan ialah suatu bentuk negara yang pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pemerintah pusat, memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintah. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Penerapan dari asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam negara kesatuan merupakan suatu penerapan dari prinsip distribution of powers dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan adanya pembagian kekuasaan dari pusat ke daerah, maka pemerintah pusat menyerahkan beberapa urusan pemerintah kepada pemerintah daerah.16

Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintah, desentralisasi menunjukkan:17

1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat

2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien

3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif

16

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007, hlm.13.

17Noer Fauzi dan RY Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, PSH FH-UII Yogyakarta,

(36)

4. Satuan-satuan desentralisasi menolong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuan daerahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat di bawahnya, sehingga yang diserahi atau dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya dalam urusan tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah erat kaitannya dengan pengadaan tanah. Hal tersebut diwujudkan antara lain melalui dua hal yaitu :

(37)

2. Menghasilkan dokumenberupa data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah sekaligus pula inventarisasi data oleh kantor pertanahan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan suatu tahapan yang berfungsi sebagai pengadministrasian bidang-bidang tanah di Indonesia, sekaligus untuk memberikan suatu keabsahan dan tanda bukti bagi para pihak sebagai pemilik sah dari tanah tersebut.

Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftarant anah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain.

(38)

tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah menyebutkan bahwa :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

2. PPAT sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT

3. PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun.

(39)

6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dijadikan dasar pembuatan akta PPAT

7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT.

8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya

9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang agrarian / pertanahan.

PPAT memiliki tugas pokok sebagaimana tertuang di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yaitu :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakuannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. Jual beli b. Tukar menukar c. Hibah

(40)

e. Pembagian hak bersama

f. Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik g. Pemberian Hak Tanggungan

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

Daerah kerja PPAT berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 bahwa :

1. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

2. Daerah kerja PPAT sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjuknya.

Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang berbunyi

(41)

2. Pemilih daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota yang baru.

Dari uraian mengenai masalah pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan masalah tugas kewenangan PPAT sebagaimana yang termuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dapat dikatakan bahwa pemekaran/perluasan wilayah yang terjadi di Kota Pekanbaru yang terjadi dari hasil pengambilan sebagian kecil wilayah dari Kabupaten Kampar, dari segi pendaftaran tanah akan menimbulkan perubahan kewenangan dari aparatur pemerintahan (dibidang pertanahan) dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Untuk wilayah yang diambil oleh Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siak Hulu PW dan Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah dari Kabupaten Kampar, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 maka kewenangan di bidang pendaftaran tanah yang sebelumnya berada di bawah kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Kampar dan PPAT yang kedudukan dan wilayah kerjanya berada di Kabupaten Kampar beralih menjadi kewenangan dari pemerintah Kota Pekanbaru dan juga PPAT yang kedudukan dan wilayah kerjanya berada di Kota Pekanbaru.

(42)

dibidang administrasi pendaftaran tanah antara Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dengan Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru khususnya di dua kecamatan yang masuk dalam wilayah Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siahulu PW dan Kecamatan Kampar, sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam hal pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan terhadap masyarakat di wilayah kewenangan masing-masing.18

Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka pemekaran / perluasan wilayahnya masing-msaing untuk kemajuan daerahnya, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan bersama di semua sektor pembangunan. Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup kewenangan mengatur masalah pertanahan di wilayahnya demi mengembangkan otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahtearan rakyat, atau minimal daerah tidak kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.19 Keadaan ini dapat dipahami, karean daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan

18 Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004

19

Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah,

(43)

tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengambaikan peranan perusahaan-perusahaan besar. Pengolahan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan penggunaanya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.20

Teori yang dipakai adalah teori penyerahan kewenangan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dan Daerah Kabupaten Kampar, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertananahan di Kota Pekanbaru yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.21 Keseimbangan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dan Pemerintah Kabupaten Kampar akibat terjadinya perluasan wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 yang mengacu kepada batas-batas kewenangan

20Herman Hermit, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal.

17

(44)

yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah melalui pelaksanaan pendaftaran tanah di kedua pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Riau tersebut.22

Teori penyerahan kewenangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana ia menyatakan bahwa kewenangan/kekuasaan harus dibagi secara seimbang dan adil berdasarkan UU diantara institusi negara berdasarkan bidang kewenangannya agar kewenangan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan benar terhadap seluruh masyarakat. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.23

Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.24Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi subtantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.

Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada

22

Musran Rahmadi, Keseimbangan Pembagian Kewenangan Daerah Otonomi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Rafika Aditama, Bandung, 2009, hal. 13

23Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87

(45)

hukum agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”25

AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kedua hukum adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih berhasil jika kita mampu memahami jika hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asas-asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum yang adat yang sebenarnya. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional.26

Sehingga dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :

a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambatan pembangunan. b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya

sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghambat pembangunan Negara.

25Alvi Syahrin,Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, hal. 39

26 AP Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,

(46)

Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II, VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak diberlakukan lagi (tidak diadatkan).27

“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan nonna-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan-peraturan pemndang-undangan lainnya”.28

Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang

27

Man Soetikjno,Politik Agraria Nasional,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 48-49.

28Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentitkan Undang-Undang Pokok

(47)

telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia.29

Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsiderans UUPA yang menyebutkan “...perlu adanya hukum agraria nasional yang tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”...”harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 5 UUPA yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpan dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.30

29Supriadi, Hukum Agraria,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 6

30Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal.

(48)

Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht)

menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih tanjut Nicolai menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.31

Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Beberapa undang-undang yang mendahului Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini aniara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Namun, konsep otonomi daerah yang diperkenalkan dalam undang-undang tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

31Nicolai, P & Oliver, B.K.,Bestuursrecht,Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin,

(49)

Sebagai contoh, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah dilaksanakan secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab ini dalam tahap implementasinya lebih berkonotasi hak daripada kewajiban, dimana banyak memerlukan koordinasi dengan pemerintah pusat sehingga muncul kesan sentralistik. Berbeda dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan atas asas desentralisasi dalam upaya mewujudkan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konsep otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 akhiraya justru memunculkan “raja-raja kecil” di daerah sehingga dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.

Saat ini, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.32

Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan. yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

32Sadu Wasistiono, Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah

(50)

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran sena, prakarsa. dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.33

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.34

Selain itu; penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya hams mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

33

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 43

34Sutedi Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

(51)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.35 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Pemekaran wilayah adalah perluasan batas wilayah Kota Pekanbaru yang diperoleh dari pengambilan sebagian kecil wilayah daerah Kabupaten Kampar yaitu Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar, yang didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, yang mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kewenangan pemerintahan di bidang administrasi pertanahan antara Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar kepada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, termasuk perubahan komposisi wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dari wilayah kerja Kabupaten Kampar kepada wilayah kerja Kota Pekanbaru.

35Sutan Reny Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para

(52)

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

4. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut praksarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/ perbuatan hukum di bidang pertanahan dalam hal pemberian hak-hak atas tanah kepada masyarakat di Kota Pekanbaru.

(53)

7. Batas wilayah adalah batas wilayah kerja Pemerintah dalam hal pelaksanaan kewenangan melaksanakan pendaftaran tanah di daerahnya, yang pelimpahan kewenangannya diberikan kepada kantor pertanahan pemerintah kabupaten/kota 8. Pelimpahan kewenangan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah daerah

kabupaten / kota kepada instansi berwenang dalam hal ini adalah kantor pertanahan di daerah kabupaten kota tersebut untuk melaksanakan pendaftaran tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Untuk membahas dan menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk menguraikan, memaparkan sekaligus menganalisa permasalahan yang timbul akibat terjadinya pemekaran / perluasan batas wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar dalam bidang pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru.

(54)

Pekanbaru yang diperoleh dengan mengambil sebagian kecil wilayah Kabupaten Kampar yaitu wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar dan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Sumber Data

(55)

penjelasan terhadap bahan hukum primer bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus umum, Ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen untuk memperolah data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.36Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.37 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan untuk mengetahui validasinya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

36Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal

106.

(56)

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.

(57)

BAB II

PROSEDUR HUKUM PELAKSANAAN PEMEKARAN WILAYAH KOTA PEKANBARU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 32

TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

A. Prinsip Otonomi Daerah

Secara etimologis pengertian otonomi daerah berasal dari bahasa latin yaitu

autosyang berarti sendiri dan nomosyang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa inggris otonomi berasal dari kataautonomy, dimana auto berarti sendiri dan

nomy sama artinya dengan nomos yang berarti aturan atau Undang-Undang. Jadi

autonomy adalah mengatur/mengurus diri sendiri. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang otonomi daerah mendefenisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Juncto Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, otonomi daerah adalah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.38

Dari berbagai rumusan otonomi daerah tersebut di atas maka dapat dikatakan otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur

38Akmal Boedianto,Hukum Pemerintahan Daerah, Pembentukan Perda, APBD, Partisipatif,

(58)

dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Berdasarkan pengertian otonomi daerah sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga) aspek yaitu :

1. Aspek hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.

(59)

Dengan demikian, bila dikaji lebih lanjut isi dan jiwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.

2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaanya. 3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri

4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya. Asas desentralisas pada prinsipnya adalah melakukan penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, disertai personil, peralatan dan pendanaan contoh proyek-proyek APBD yang dilaksanakan oleh dinas. Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan desentralisasi antara lain adalah

a. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

b. Sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah.

c. Dalam rangka memelihara keuntungan negara kesatuan atau integrasi nasional.

d. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah

Gambar

Gambar 1. Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Tingkat Daerah
Gambar 2. Prosedur Pengesahan Pemekaran Wilayah di Tingkat Pemerintah Pusat

Referensi

Dokumen terkait

Umpan balik dalam komunikasi antarpribadi di Pondokan X RT1/RW3 Kelurahan Simpang Baru Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru adalah hubungan reaksi yang terjadi ketika

Penelitian permeabilitas tanah di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru khususnya di Kelurahan Simpang Baru, Tuah Karya, Delima dan Sidomulyo Barat untuk

Penelitian ini dilakukan Kabupaten Kampar, Propinsi Riau tepat nya di Kecamatan Siak Hulu dan Kecamatan Tambang, Juga pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar, dimana penelitian ini

10 Tahun 2012 tentang pelayanan retribusi persampahan / kebersihan di kelurahan Simpang Baru kecamatan tampan kota pekanbaru menurut perspektif keseluruhan

Maka dapat disimpulkan bahwa garis antara Budaya Organisasi dengan Kinerja Guru di TK Kelurahan Simpang Baru Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru mempunyai

Populasi dalam penelitian ini adalah petani jamur tiram putih di Kelurahan Simpang Baru Kecamatan tampan Kota Pekanbaru hanya ada 1 orang pengusaha sehingga metode yang

160574201056 Abstrak Kelurahan Tanjung Unggat merupakan salah satu wilayah di Kota Tanjungpinang, dimana wilayah ini terdiri dari wilayah darat dan pesisir namun banyak masyarakat

5 Tahun 1960 Pasal 19 untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah di dalam pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia membuat ketentuan-ketentuan yang diatur dengan