• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi formulasi mikroemulsi sediaan hormon testosteron undekanoat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi formulasi mikroemulsi sediaan hormon testosteron undekanoat"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI FORMULASI MIKROEMULSI SEDIAAN HORMON

TESTOSTERON UNDEKANOAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

Oleh:

RETNO KEMALA DEWI 105102003341

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR– BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN.

Jakarta, Januari 2010

Penulis

(4)

LEMBAR PERSEMBAHAN

“Saat satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka, tapi kadang kita memandang terlalu lama pada pintu yang tertutup itu,

sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka untuk kita”

(Alexander Graham Bell)

“Banyak orang yang tidak menyadari betapa dekatnya ia dengan keberhasilan ketika ia sudah menyerah”

(Unknown)

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah–Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Optimasi Formulasi Mikroemulsi Sediaan Hormon Testosteron Undekanoat”

Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi, pada program studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelasaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt dan Ibu Nurmeilis, M.Si, Apt selaku ketua dan sekretaris Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kesempatan dan fasilitas dalam melakukan penelitian ini.

3. Ibu Azrifitria, M.Si, Apt selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Farida Sulistiawati, M.Si, Apt selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

(7)

5. Bapak Zamzami, Kak Pia, seluruh dosen dan staf Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua, Ibu dan Ayah, Adik, serta seluruh anggota keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan baik moral maupun material. 7. Om Wateno yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama

ini.

8. Kakak Eris, Kakak Nurul, Kakak Prita dan Kakak Pipit yang telah membantu penulis selama penelitian.

9. Teman seperjuangan Dini Ika Prasetyaningsih yang telah berjuang bersama penulis selama penelitian.

10. Teman-teman Farmasi A dan Farmasi B Angkatan 2005 atas persahabatan dan persaudaraan yann terjalin selama ini.

11. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yan telah membrikan bantuan serta dukungan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu farmasi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta, Januari 2010 Penulis

(8)

ABSTRAK

JUDUL : Optimasi Formulasi Mikroemulsi Sediaan Hormon Testosteron Undekanoat.

Testosteron undekanoat (TU) adalah obat yang hidrofobik. Mikroemulsi adalah sebuah sistem dispersi yang dapat meningkatkan kelarutan obat hidrofobik. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi formulsi mikroemulsi dengan bermacam– macam komposisi dari surfaktan, minyak, kosurfaktan dan air. Kemudian diperoleh mikroemulsi dengan komposisi 30% tween 80 dan 10% tween 20 sebagai komponen surfaktan, 24% isopropil miristat (IPM) dan 24% castor oil (CO) sebagai fase minyak, 10% n–butanol sebagai kosurfaktan dan 2% air. Hasil evaluasi mikoemulsi TU menunjukan kondisi stabil selama 2 bulan penyimpanan pada suhu 4º C dan 27º C.

Kata kunci : testosteron undekanoat, mikroemulsi, stabilitas

(9)

ABSTRACT

TITLE : Optimization Formulation of Microemulsion of Hormone Dosage Testosterone Undecanoate.

Testosterone undecanoate (TU) is a hydrophobic drug. Microemulsion is a dispersion system which could help to increase the solubility of hydrophobic drug. In this research, where is subject was optimized microemulsion formulation by using various composition of surfactants, oils, cosurfactants and water. Then, obtained microemulsion which contain 30% tween 80 and 10% tween 20 as surfactant components, 24% isopropyl myristate (IPM) and 24% castor oil (CO) as oil phase, 10% n–butanol as a cosurfactant and 2% water. The result of evaluation shows that microemulsion which contain TU was stable during two months of storing at 27° C and 4° C.

Keyword : testosterone undecanoate, microemulsion, stability

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3.Hipotesa ... 3

1.4.Tujuan Penelitian ... 4

1.5.Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Testoteron Undekanoat ... 5

2.2.Mikroemulsi ... 7

2.3.Surfaktan ... 9

2.4.Kosurfaktan... 13

2.5.Isopropil Miristat... 14

2.6.Castor Oil ... 14

2.7.Tween 80 ... 15

2.8.Tween 20 ... 15

2.9.n-butanol ... 16

(11)

BAB III KERANGKA KONSEP ... 18

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

4.2.Bahan dan Alat ... 19

4.2.1.Alat ... 19

4.2.2.Bahan ... 19

4.3.Cara Kerja ... 19

4.3.1.Pembuatan Sediaan Mikroemulsi ... 19

4.3.2.Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ... 21

a. Pengukuran Bobot Jenis Mikroemulsi... 21

b.Uji pH ... 21

c. Uji Sentrifugasi ... 21

d. Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi ... 21

e. Cycling Test ... 22

f. Penentuan Ukuran Partikel Mikroemulsi ... 22

g. Uji Viskositas ... 23

h. Analisa Kualitatif Testosteron Undekanoat ... 23

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1.Hasil... ... 24

1. Pembuatan Sediaan Mikroemulsi ... 24

2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ... 26

5.2.Pembahasan.... ... 31

1. Pembuatan Sediaan Mikroemulsi ... 31

2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ... 34

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

A.Kesimpulan... ... 42

B.Saran... ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... ... 43

LAMPIRAN ... ... 46

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Komposisi Bahan Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi Fase Minyak,

Surfaktan dan Air ... 20

2. Hasil Percobaan Pembuatan Sediaan Mikoemulsi ... 25

3. pH ME 10 Pada Suhu 4º C, 27º C dan 40º C ... 26

4. Hasil Uji Stabilitas Suhu Rendah ... 27

5. Hasil Uji Stabilitas Suhu Ruang... 28

6. Hasil Uji Stabilitas Suhu Tinggi ... 29

7. Viskositas ME 10 Minggu Ke–0 ... 30

8. Viskositas ME 10 Minggu Ke–8 ... 30

9. Konversi Dosis ... ... 62

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Kimia Testosteron Undekanoat... 5

2. Mekanisme Aksi dari Testosteron Undekanoat ... 6

3. Diagram Fase Formula Mikroemulsi ME 10 ... 24

4. Hasil Optimasi Formula Mikroemulsi ... 46

5. Hasil Uji Sentrifugasi ME 10 ... 48

6. Hasil Uji Stabilitas ME 10 ... 49

7. Hasil Uji Cycling Test ME 10 ... 49

8. Kurva Hubungan Nilai pH ME 10 dengan Waktu Penyimpanan... 50

9. Kurva Nilai Viskositas ME 10 ... 50

10. Hasil KLT ME 10... ... 51

11. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel ME 10 suhu 4º C ... 53

12. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel ME 10 Suhu 27º C ... 54

13. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel ME 10 Suhu 40º C ... 55

14. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel ME 10 Cycling Test ... 56

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil Optimasi Formula Mikroemulsi... ... 46

2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ... 47

3. Uji Normalitas Nilai pH Terhadap Lama Penyimpanan ... 57

4. Uji Homogenitas Nilai pH Terhadap Lama Penyimpanan ... 58

5. Uji Analisa Varian (ANOVA) Satu Arah Nilai pH Terhadap Lama Penyimpanan... ... 59

6. Peralatan... ... 60

7. Penghitungan Dosis... ... 62

(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rancangan dari suatu bentuk sediaan yang tepat memerlukan pertimbangan karakteristik fisika, kimia dan biologis dari semua bahan– bahan obat dan bahan–bahan farmasetik yang akan digunakan dalam membuat produk tersebut. Obat dan bahan–bahan farmasetik yang akan digunakan harus tercampurkan satu dengan yang lain untuk menghasilkan suatu produk yang stabil, manjur, menarik, mudah dibuat dan aman (Ansel, 1989).

Kelarutan dari obat hidrofobik dengan kelarutan rendah terhadap air telah menjadi perhatian besar dalam beberapa tahun. Kegunaan secara klinik dari obat-obat hidrofobik menjadi tidak efisien dengan rendahnya

daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya penetrasi obat

tersebut di dalam tubuh (Lawrence, 2000). Kelarutan suatu zat berkhasiat

yang kurang dari 1 mg/ml mempunyai tingkat disolusi yang kecil karena

kelarutan suatu obat dengan tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan.

Variasi teknik kelarutan melibatkan penggunaan pelarut tambahan dan surfaktan yang berhubungan dengan penyesuaian pH. Tindakan konvensional seperti penggunaan pelarut tambahan pembawa minyak dan tindakan modern seperti pencampuran misel, liposome, kompleksasi dengan cyclodekstrins dan emulsi mempunyai beberapa keterbatasan (Date A.A, 2008).

(18)

Mikroemulsi telah berkembang menjadi pembawa baru untuk penghantaran dari obat hidrofobik. Mikroemulsi merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari sediaan emulsi. Bila dibandingkan

dengan emulsi, banyak karakteristik dari mikroemulsi yang membuat

sediaan ini menarik untuk digunakan sebagai salah satu sistem

penghantaran obat (drug delivery system). Mikroemulsi stabil secara termodinamik, transparan, isotropik, dispersi koloidal viskositas rendah yang terdiri dari mikrodomain dari minyak dan atau air yang distabilkan oleh lapisan antarmuka dari pertukaran molekul surfaktan dan kosurfaktan, dapat disterilkan secara filtrasi, mempunyai daya larut yang tinggi serta

mempunyai kemampuan berpenetrasi yang baik . Keistimewaan mereka yang menarik seperti pembentukan yang spontan, pembuatan yang mudah, kapasitas kelarutan yang tinggi dan sifat pertahanan diri mereka yang membuat mereka menjadi pembawa yang terpilih (Date A.A, 2008). Mikroemulsi dapat dibuat untuk sediaan topikal, intradermal, pulmonal,

okular, intramuskular dan sediaan oral.

Pada penelitian ini, akan dilakukan percobaan pembuatan sediaan

mikroemulsi dengan testosteron undekanoat (TU) sebagai model obat.

Testosteron undekanoat (17–hydroxyl–4 androsten–3–one 17–undekanoat)

adalah suatu hormon yang bersifat hidrofobik karena mempunyai nilai log

(P) sebesar 7,24. Testosteron undekanoat merupakan suatu alifatik, ester

asam lemak testosteron yang sebagian diabsorpsi lewat usus dan

mengandung sistem limfatikus setelah pemberian secara oral. Testosteron

(19)

dikombinasikan dengan misalnya siproten asetat (CPA) pada kontrol

fertilitas pria. Ada beberapa hal yang menyebabkan TU secara oral

diberikan sebagai kontrasepsi kurang baik diantaranya frekuensi

pemberian, ukuran testosteron serum, kurangnya penekanan gonadotropin

dan spermatogenesis (Ilyas S).

Ada pula penelitian yang berhasil ditemukan di Cina, yaitu testosteron undekanoat (TU) suntikan yang mempunyai efek jangka panjang. Penyuntikan TU 500mg dan TU 1000mg dilarutkan dalam minyak biji teh tiap 4 minggu, dengan hasil 11 dari 12 pria yang disuntik TU 500 mg mencapai azoospermia dan seorang lagi mencapai konsentrasi sperma 1 juta/ml. Sedangkan dengan penyuntikan TU 1000mg semua dari 12 pria menjadi azoospermia(Gu, et all, 2004)

Formulasi untuk tetosteron undekanoat saat ini berupa larutan dalam minyak castor (castor oil). Sediaan dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu mudah menjadi tengik, viskositas sediaannya menjadi tinggi. Untuk itu dibuat suatu inovasi sediaan yaitu mikroemulsi. Bentuk sediaan mikroemulsi ini mempuyai kelebihan yaitu stabil secara termodinamik, daya larut yang tinggi, kemampuan berpenetrasi yang baik serta pembuatannya yang mudah.

Pada penelitian ini akan dilakukan optimasi formulasi mikroemulsi sediaan dengan zat aktif hormon testosteron undekanoat menggunakan berbagai komposisi surfaktan dan minyak dan dievaluasi kestabilannya.

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Apakah hormon testosteron undekanoat dapat dibuat sediaan

mikroemulsi yang stabil secara fisika dan kimia?

1.3. Hipotesa

Hormon testosteron undekanoat dapat dibuat dalam bentuk sediaan

mikroemulsi yang stabil secara fisik dan kimia.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan formulasi mikroemulsi yang terbaik dari

sediaan mikroemulsi hormon testosteron undekanoat dengan menggunakan

surfaktan dan kosurfaktan.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi

tentang sediaan mikroemulsi hormon testosteron undekanoat serta untuk

(21)
(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

[image:22.595.248.482.193.333.2]

2.1. Testosteron Undekanoat

Gambar 1. Rumus bangun Testosteron Undekanoat

Rumus molekul : C30H48O3

Bobot molekul : 456,70

Testosteron undekanoat merupakan suatu alifatik, ester asam lemak

testosteron yang sebagian diabsorpsi lewat usus dan mengandung sistem

limfatikus setelah pemberian secara oral (Ilyas S).

Testosteron undekanoat merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis TU tersebut terjaadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang memebentuk kompleks homon-reseptor. Komplek hormone-reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA (Ilyas S, 2008).

(23)

pengaturan

hipofisis

spermatogenesis

testosteron diferensiasi

seksual

virilisasi

[image:23.595.95.502.82.316.2]

Gambar 2. Mekanisme aksi dari Testosteron Undekanoat

Testosteron undekanoat ini juga memiliki efek samping yaitu efek ringan pada penggunaan oral, seperti adakalanya mual, testosteron undekanoat dapat menimbulkan efek serius diantaranya (Tjay T.H, 2002): 1. Efek virilisasi pada wanita, dengan gejala seperti acne, tumbuhnya

rambut di muka, suara menjadi rendah dan gangguan haid.

2. Menekan spermatogenesis dan degenerasi tubuli mani. Bila digunakan dalam waktu lama akan menyebabkan azoospermia akibat hambatan sekresi FSH/LH serta perombakan testosteron menjadi estradiol. 3. Efek feminisasi, terutama gynecomastic, terutama pada anak-anak. 4. Udema dan naiknya berat badan akibat retensi garam dan air,

khususnya pada dosis tinggi.

5. Penyakit kuning (hepatitis cholestatic). 6. Tumor hati.

testis

Sel target reseptor

5α-reduktase dihidro- testosteron

(24)

7. Hiperplasia prostat. Pada laki-laki usia lanjut, testosteron dapat merangsang pembesaran prostat karena hiperplasia, hal ini menyebabkan obstruksi.

8. Gangguan pertumbuhan. Hati-hati memberikan testosteron pada anak prapubertas, sebab dapat terjadi pubertas prekoks. Testosteron mempercepat pernutupan epifisis sehingga mungkin anak tidak akan mencapai tinggi badan yang seharusnya.

9. Hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat muncul pada wanita penderita karsinoma payudara yang diobati dengan testosteron.

2.2. Mikroemulsi

Mikroemulsi merupakan sediaan yang stabil secara termodinamik, transparan, dispersi dari minyak dan air distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul surfaktan. Surfaktannya mungkin murni, campuran atau kombinasi dengan zat tambahan lain. Sistem homogen ini bisa disiapkan dengan bermacam-macam konsentrasi surfaktan dan rasio minyak dan air (20-80%) semuanya cairan dengan viskositas rendah (Swarbrick J, 1994).

Istilah mikroemulsi secara tidak langsung menyatakan hubungan yang dekat dengan emulsi biasa. Ini menyesatkan karena mikroemulsi mencakup sejumlah mikrostruktur yang berbeda, kebanyakan mempunyai sedikit kesamaan dengan emulsi dua fase klasik. Mikroemulsi mudah dibedakan dari emulsi normal dengan transparansi mereka, viskositas rendah, dan pada dasarnya lebih kepada kestabilan mereka secara termodinamik (Swarbrick J, 1994). Selain itu, mereka terbentuk secara spontan saat komponennya dicampur dalam perbandingan yang tepat.

(25)

Mereka bisa terdispersi secara M/A atau A/M, tapi ukuran tetesannya sangat kecil 5-140 nm dibanding emulsi.

Mereka pada dasarnya sistem misellar yang mengembang, tapi dengan jelas perbedaan antara misel yang berisi pelarut minyak dan sebuah tetesan minyak yang dikelilingi oleh lapisan antarmuka yang sebagian besar komposisinya berupa surfaktan. Syarat yang diperlakukan untuk formasi dan stabilitas mereka adalah pencapaian dari tegangan antarmuka yang sangat rendah. Ini umumnya tidak mungkin untuk mencapai tegangan antarmuka terendah yang dibutuhkan dengan surfaktan tunggal, dan ini penting untuk memasukkan amfifil kedua, biasanya alkohol rantai panjang menengah, dalam formulasi. Amfifil kedua menunjuk pada kosurfaktan (Lawrence, 2000).

Meskipun mikroemulsi mempunyai banyak keuntungan dari pada emulsi terutama transparasi dan stabilitas mereka, mereka membutuhkan surfaktan dalam jumlah besar pada formulasinya yang membatasi pemilihan komponen yang dapat diterima. Mikroemulsi terdiri dari misel mengembang (M/A), misel terbalik (A/M) dan struktur bicontinuous.

Mikroemulsi sekarang ini menarik perhatian para ilmuwan farmasetik karena potensi mereka untuk bertindak sebagai sarana penghantaran obat dengan menggabungkan bermacam-macam obat.

Pada umumnya fenomena mikroemulsifikasi utamanya diatur oleh beberapa faktor seperti (1) sifat dasar dan konsentrasi minyak, surfaktan, kosurfaktan dan fase air (2) perbandingan minyak/surfaktan dan surfaktan/kosurfaktan (3) temperatur dan pH lingkungan (4) sifat

(26)

fisikokimia dari obat seperti hidrofilisitas/lipofilisitas, pKa dan polaritas (Date A.A, 2008).

Segera setelah mikroemulsi dibuat, proses yang tergantung pada waktu dan temperatur terjadi untuk mempengaruhi pemisahannya. Ketidakstabilan yang terjadi pada emulsi juga terjadi pada mikroemulsi yaitu (Leon L, 1994):

1. Pembentukan krim. Pembentukan krim meliputi gerakan sejumlah tetesan heterodispers, dan gerakan tersebut saling mengganggu satu sama lain dan bisa menyebabkan rusaknya tetesan. Partikel yang lebih besar membentuk krim jauh lebih cepat dibandingkan partikel yang lebih kecil. Tampak juga bahwa pembentukan agregat yang lebih besar dengan penggumpalan dan/atau flokulasi akan mempercepat pembentukan krim. Jika pembentukan krim tanpa agregasi apapun , mikroemulsi dapat terbentuk kembali dengan pengocokan atau pengadukan.

2. Flokulasi. Flokulasi dari fase terdispersi bisa berlangsung sebelum, selama, dan setelah pembentukan krim.

3. Penggumpalan. Penggumpalan adalah proses pertumbuhan, dimana partikel–partikel teremulsi bergabung membentuk partikel yang lebih besar.

2.3. Surfaktan

Surfaktan adalah zat aktif permukaan yang digunakan untuk mendispersikan obat yang tidak larut air sebagai sebuah dispersi koloidal. Surfaktan digunakan sebagai pembasah dan mencegah pengkristalan

(27)

dalam suspensi. Surfaktan juga digunakan dalam emulsi dan untuk pelarut steroid dan lemak pelarut vitamin (Sinkon P.J, 2002).

Pemilihan dari surfaktan adalah titik kritis untuk formulasi mikroemulsi. Surfaktan harus menyokong mikroemulsifikasi dari fase minyak dan harus juga mempunyai potensi kelarutan yang baik untuk obat. Harus dicatat bahwa surfaktan tidak berbahaya atau merusak. Pemilihan surfaktan juga harus diatur oleh tipe mikroemulsi yang akan diformulasikan. Surfaktan dengan HLB rendah seperti sorbitan monostearat lebih disukai untuk mikroemulsi A/M sedangkan surfaktan dengan HLB tinggi seperti tween 80 lebih disukai untuk mikroemulsi M/A. Dalam beberapa kasus, pencampuran dari surfaktan lipofilik (HLB rendah) dan surfaktan hidrofilik (HLB tinggi) mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan suatu mikroemulsi (Date A.A, 2008).

Ada empat kategori dari surfaktan tergantung pada ionisasi mereka dalam larutan encer yaitu (Aulthon M.E, 2002):

1. Surfaktan anionik

Dalam larutan encer senyawa ini memisah untuk membentuk anion negatif yang bertanggung jawab terhadap kemampuan pengemulsi mereka. Mereka digunakan secara luas karena kemurahan mereka, tapi karena toksisitas mereka hanya digunakan untuk preparat yang digunakan secara eksternal.

a. Logam alkali dan sabun ammonium. Dalam grup ini terdiri dari sodium, potasium atau garam amonium dari asam lemak rantai

panjang seperti sodium stearat C17H35COO-Na+

(28)

Mereka menghasilkan emulsi stabil M/A tapi mungkin dalam beberapa hal membutuhkan kehadiran pengemulsi nonionik untuk membentuk lapisan monomolekuler komplek pada permukaan minyak/air. Karena dalam kondisi asam, material ini akan mengendap sebagai asam lemak bebas, mereka lebih efisien dalam medium alkali.

b. Sabun dari logam divalent dan trivalent. Meskipun banyak terdapat garam divalent dan trivalent yang berbeda-beda dari asam lemak, dan akan menghasilkan emulsi yang memuaskan, hanya garam kalsium yang digunakan secara umum. Mereka selalu terbentuk in situ selama preparasi produk dengan menginteraksikan asam lemak yang cocok dengan kalsium hidroksida. Pengemulsi ini hanya menghasikan emulsi A/M.

c. Sabun amina. Sejumlah amina membentuk garam dengan asam lemak satu yang terpenting dari itu digunakan adalah berdasarkan pada triethanolamine N(CH2CH2OH)3 dan digunakan secara luas dalam

produk farmasetik dan kosmetik. Contohnya triethanolamine stearate membentuk emulsi stabil M/A dan biasanya dibuat in situ dengan reaksi antara triethanolamine dengan asam lemak yang cocok.

d. Senyawa sulfat dan sulfonat. Alkil sulfat mempunyai formula umum

ROSO3-M+, dimana R mewakili rantai hidrokarbon dan M+ biasanya

sodium atau triethanolamine. Contohnya adalah sodium lauril sulfat yang digunakan secara luas untuk menghasilkan emulsi M/A. Senyawa sulfonat kurang digunakan secara luas sebagai pengemulsi. Material dari kelas ini terdiri dari sodium dioctylsulphosuccinate, dan

(29)

lebih sering digunakan sebagai pembasah atau untuk bahan pembersih.

2. Surfaktan kationik

Dalam larutan encer material ini memisah untuk membentuk kation positif yang menyediakan sifat pengemulsi. Kelompok paling penting dari pengemulsi kationik terdiri dari senyawa amonium quarter. Meskipun material ini digunakan secara luas untuk desinfektan dan pengawet, mereka juga berguna untuk pengemulsi M/A. yang paling berguna dari pengemulsi kationik ini adalah cetrimide (cetyl trimethylammonium

bromide) CH3(CH2)15N+(CH3)3Br-

3. Surfaktan non-ionik

Produk ini berjarak dari senyawa larut minyak penstabil A/M sampai material larut air yang menghasilkan emulsi M/A. Kebanyakan surfaktan non-ionik berdasar pada :

a. Asam lemak atau alkohol (biasanya dengan 12 – 18 atom karbon), rantai hidrokarbon yang memberikan molety hidrofobik.

b. Alkohol (-OH) dan / atau grup etilen oksida (-OCH2CH2-), yang

memberikan bagian hidrofilik dari molekul.

Tipe terbaik dari surfaktan non-ionik untuk digunakan adalah satu dengan keseimbangan yang sama dari grup hidrofobik dan hidrofilik. Alternatifnya dengan menggunakan dua emulgator, satu hidrofilik dan satu hidrofobik. Kohesi antara rantai hidrokarbon mereka kemudian akan menahan keduanya pada permukaan minyak / air.

(30)

a. Glikol dan ester gliserol. Gliseril monostearat adalah material hidrofobik kuat yang memproduksi emulsi A/M lemah.

b. Sorbitan ester. Jajaran dari surfaktan ini menunjukkan sifat lipofilik dan cenderung untuk membentuk emulsi A/M. Mereka, bagaimanapun juga, lebih digunakan secara luas dengan polisorbat untuk menghasilkan emulsi M/A atau A/M.

c. Polisorbat. Polisorbat umumnya digunakan bersama dengan sorbitan ester yang sesuai untuk membentuk lapisan kental kompleks pada permukaan minyak / air.

d. Eter alkohol lemak poliglikol. Ini adalah produk kondensasi dari polietilen glikol dan alkohol lemak, biasanya cetyl atau cetostearyl:

ROH+(CH2CH2O)n → RO(CH2CH2O)nH

Dimana R adalah rantai alkohol lemak.

Ini adalah emulgator M/A larut air yang sangat berguna, tapi karena kelarutannya yang tinggi dalam air ini perlu untuk memasukkan pengemulsi tambahan yang larut minyak saat memformulasikan emulsi.

Mereka juga bisa diproduksi dengan grup polioksietilen pendek sebagai pengemulsi A/M lipofilik. Kombinasi dari eter lipofilik dan hidrofilik bisa digunakan bersamaan untuk memproduksi emulsi

a. Ester asam lemak poliglika

b. Poloxalkols. Digunakan sebagai pengemulsi untuk emulsi lemak I.V c. Alkohol lemak tinggi

4. Surfaktan Amfoterik

(31)

Tipe ini memiliki muatan positif dan negatif, tergantung pada pH dari sistem. Mereka kationik pada pH rendah dan anionik pada pH tinggi. Meskipun mereka tidak digunakan secara luas sebagai pengemulsi, satu contoh, lecithin digunakan untuk penstabil emulsi lemak I.V.

2.4. Kosurfaktan

Kadang-kadang surfaktan saja tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka minyak-air untuk menghasilkan mikroemulsi yang mengharuskan penambahan molekul amfifilik rantai pendek atau kosurfaktan untuk membawa tekanan permukaan mendekati nol. Panjang rantai pendek berjarak dari C2 dan C10 dan amfifilik alami dari agen ini

memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan surfaktan lapis tunggal pada permukaan dengan demikian mempengaruhi pengepakan mereka (Lawrence M, 2000). Fase yang terdiri dari kristalin cair terbentuk saat lapisan surfaktan terlalu keras. Kosurfaktan berpenetrasi kedalam surfaktan lapis tunggal memberikan penambahan ketidakstabilan pada lapisan antarmuka dan itu mengacaukan fase yang terdiri dari kristal cair. Selanjutnya, kosurfaktan juga mendistribusikan mereka sendiri antara fase minyak dan air, dengan demikian mengubah komposisi kimia dan karena itu hidro/lipofilisitas dari sistem (Date A.A, 2008).

2.5. Isopropil Miristat

Isopropil miristat mempunyai fungsi sebagai emollient; oleaginous vehicle; penetrasi kulit; pelarut. Aplikasi dalam topikal farmasetik dan

formulasi kosmetik antara lain : minyak mandi; make up; produk perawatan rambut dan kuku; krim; lotions; produk bibir; produk cukur;

(32)

suntan preparations; lubrikan kulit; deodorant; otic suspensions; dan krim

vaginal. Isopropil miristat jernih, tak berwarna, praktis tidak berbau, cairan dengan rasa yang lemah. Isopropil miristat dapat tercampur dengan aseton, kloroform, etanol, etil asetat, lemak, alkohol lemak, minyak tertentu, hidrokarbon cair, toluene dan lilin. Praktis tidak larut dalam gliserin, propilen glikol dan air.

Isopropil miristat resisten terhadap oksidasi dan hidrolisis dan tidak menjadi tengik. Harus disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat sejuk, kering dan terlindung dari cahaya (Wade A, 1994).

2.6. Castor oil

Minyak kental yang berwarna kuning pucat dengan bau yang sedikit khas. Minyak mentah mempunyai rasa yang sedikit tajam. Castor oil sedikit larut dengan kloroform, etanol, eter, metanol, sangat larut dalam

etanol (95%) dan petroleum, eter; tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau dicampur dengan minyak nabati. Pada pemanasan di

300odalam waktu beberapa jam, castor oil akan terpolimenasi dan menjadi larut dalam minyak mineral. Castor oil stabil dan tak menjadi tengik kecuali jika dipanaskan secara berlebihan. Ini mungkin tersterilkan dengan panas kering. Castor oil harus disimpan pada wadah kedap udara pada suhu tidak lebih dari 15º C (Wade A, 1994).

2.7. Tween 80

Tween 80 adalah surfaktan hidrofilik nonionik yang mempunyai fungsi sebagai pengemulsi, pelarut; pembasah. Tween 80 digunakan secara luas sebagai pengemulsi dalam penyiapan emulsi farmasetik minyak dalam

(33)

air. Mereka juga digunakan sebagai pelarut untuk bermacam-macam zat termasuk minyak esensial dan minyak pelarut vitamin. Dan sebagai pembasah dalam formulasi suspensi oral dan parentral. Tween 80 mempunyai bau yang khas dan hangat, rasanya agak pahit, berwarna kuning. Tween 80 larut dalam etanol dan air, dan tidak larut dalam minyak mineral & minyak sayur. Tween 80 harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering (Wade A, 1994). 2.8. Tween 20

Tween 20 adalah surfaktan hidrofilik nonionik yang mempunyai fungsi sebagai pengemulsi, pelarut, pembasah. Tween 20 digunakan secara luas sebagai pengemulsi dalam penyiapan emulsi farmasetik minyak dalam air. Mereka juga digunakan sebagai pelarut untuk bermacam-macam zat termasuk minyak esensial dan minyak pelarut vitamin. Dan sebagai pembasah dalam formulasi suspensi oral dan parentral. Tween 20 mempunyai bau yang khas dan hangat, rasanya agak pahit, berwarna kuning. Tween 20 larut dalam etanol dan air, dan tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur. Tween 20 harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering (Wade A, 1994).

2.9. n–butanol

n–butanol mempunyai rumus kimia C4H9OH, merupakan produk hasil reaksi n–butiraldehid dengan hidrogen dan merupakan golongan alkohol primer. n–butanol merupakan cairan putih jernih dan berbau tajam. n–butanol biasa digunakan untuk pelarut atau solvent. n–butanol

(34)

merupakan senyawa organik yang punya ikatan hidrogen sehingga n– butanol mempunyai titik didih yang tinggi. n–butanol dapat bercampur dengan air dan mudah larut dalam glikol, keton, alkohol, alhedid, eter dan hidrokarbon alifatik dan aromatik.

(35)
(36)

BAB III

KERANGKA KONSEP

Testosteron Undekanoat

Hidrofobik

Mikroemulsi  Surfaktan

 Kosurfaktan

Dengan berbagai variasi konsentrasi

Evaluasi Sediaan

Uji pH Pengukuran Bobot Jenis

Mikroemulsi

Uji Sentrifugasi

Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi

Penentuan Ukuran Partikel Mikroemulsi Cycling Test

Uji Viskositas Analisa Kualitatif

Testosteron Undekanoat

Analisa Hasil Evaluasi Sediaan Mikroemulsi

(37)
(38)

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama ± 8 bulan.

4.2. Alat dan Bahan 4.2.1. Alat

Peralatan yang digunakan adalah becker glass, pipet gondok, magnetic stirrer, timbangan analitik, pipet mikrolit, piknometer, pH meter

(Delta 320), sentrifuge (Hettich Sentrifugen EBA 20), Delta™ Nano C Particle Analyzer, Visco Tester 6R HAAKE, oven, homogenizer.

4.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah hormon testosteron undekanoat (Xianju Pharma), tween 80 (Merck), tween 20 (Merck), tween 60 (Merck), span 80, isopropil miristat (Merck), castor oil (Sigma), n-butanol (Merck), PEG 400 (Merck), gliserin (Merck), aquades,.

4.3. Cara Kerja

4.3.1. Pembuatan Mikroemulsi

Sebelumnya dilakukan percobaan pendahuluan untuk mengetahui kondisi terbaik dan komposisi bahan yang terbaik dalam pembuatan sehingga didapatkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil. Kondisi yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan mikroemulsi adalah kecepatan pengadukan, waktu pengadukan dan suhu. Komposisi bahan

(39)

yang harus diperhatikan adalah konsentrasi fase minyak, surfaktan dan fase air. Komposisi bahan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1

Komposisi Bahan Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi Fase Minyak, Surfaktan dan Air (%)

Formula IPM CO Tween 80

Tween 20

Tween 60

Gliserin n - butanol PEG 400 Span 80 Air

ME 1 2 25 0,05 25 47,95

ME 2 2 40 10 20 28

ME 3 2 25 0,05 25 47,95

ME 4 40 15 30 5 10

ME 5 68 15 5 10 2

ME 6 68 15 10 5 2

ME 7 45 15 26 5 9

ME 8 34 34 15 5 10 2

ME 9 39 39 7,5 2,5 10 2

ME 10 24 24 30 10 10 2

Formula mikroemulsi dibuat dengan cara surfaktan dan fase minyak dimasukkan ke dalam becker glass lalu diaduk dengan magnetic stirrer hingga tercampur sempurna. Kemudian ditambahkan fase air ke

dalam campuran tadi, diaduk dengan kecepatan ± 300 rpm selama 3 menit hingga terbentuk mikroemulsi yang jernih. Setelah mikroemulsi terbentuk, zat aktif testosteron undekanoat dimasukkan sebanyak 308,6 mg. Dosis

(40)

yang dimasukkan ini adalah dosis yang telah dikonversi dari dosis tikus yaitu 15,43 mg/0,5 ml.

4.3.2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi a. Pengukuran bobot jenis mikroemulsi

Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu 25º C. Pada suhu ruangan, piknometer yang bersih dan kering ditimbang (A g). kemudian diisi dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 g). Air

dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dalam piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2

g). Bobot jenis sediaan diukur dengan perhitungan sebagai berikut: Bobot jenis = A2 - A

A1– A

b. Uji pH

pH diukur dengan menggunakan pH meter. Alat pH meter terlebih dahulu dikalibarsi dengan larutan dapar standar pH 4 dan pH 7. Pengukuran dilakukan pada suhu ruangan selama 8 minggu setiap 2 minggu sekali.

c. Uji sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian dilakukan pengocokan atau sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit.

d. Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi

Stabilitas mikroemusi dievaluasi secara fisik meliputi bau, warna, kejernihan dan pH selama 8 minggu dengan pengamatan setiap 1 minggu

(41)

sekali. Pengamatan makroskopik ini dilakukan pada mikroemulsi yang disimpan pada suhu kamar (± 27o C), rendah (± 4o C) dan tinggi (± 40o C). e. Uji cycling test

Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin 4o C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40o C selama 24 jam, proses ini dihitung 1 siklus. Percobaan ini diulang sampai 7 siklus. Kemudian hasil dari cycling test ini dibandingkan dengan sediaan sebelumnya.

f. Penentuan ukuran partikel mikroemulsi

Ukuran partikel diukur dengan alat Delta™ Nano C Particle Analyzer. Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi yang disimpan pada suhu 27º C, 40º C, 4º C dan sediaan yang telah dipapar dengan uji cycling test. Sejumlah 1 gram mikroemulsi dilarutkan dalam 100 gram aquadest di dalam becker glass atau labu ukur. Sejumlah 10 ml larutan tersebut diambil dan dimasukkan ke dalam kuvet. Kuvet yang digunakan harus bersih dari busa (foam) dan lemak. Jika terdapat lemak, kuvet dibersihkan dengan toluene atau pelarut lain yang dapat melarutkan lemak. Kuvet yang telah terisi sampel dimasukkan kedalam sampel holder. Alat dinyalakan dan dipilih menu particle size. Alat akan mengukur sampel selama 15 menit. Setelah 15 menit, alat akan menghasilkan ukuran partkel dan kurva distribusi. Kuvet harus dibersihkan kembali dan harus bebas lemak.

(42)

g. Uji viskositas

Mikroemulsi dimasukkan kedalam gelas piala sampai mencapai volume 100 ml lalu spindle 2 dimasukkan ke dalam mikroemulsi hingga batas yang telah ditentukan. Pengukuran dilakukan dengan Visco Tester 6R HAAKE dengan kecepatan 5, 10, 20, 30 rpm. Pengamatan viskositas mikroemulsi dilakukan pada minggu ke 0 dan 8.

h. Analisa kualitatif testosteron undekanoat

Analisa kualitatif ini menggunakan alat 25 TLC aluminium sheets 20x20 cm silica gel 60 GF254. Disiapkan lempeng TLC aluminium yang

berfungsi sebagai fase diam dengan ukuran 10x3 cm. Kemudian menyiapkan fase gerak yang berisi campuran ACN dan MeOH dengan perbandingan 69:31 lalu dijenuhkan. Menyiapkan sampel dan baku pembanding yang akan ditotolkan. Sampel diambil dari mikroemulsi yang telah berisi zat aktif testosteron undekanoat. Baku pembanding diambil dari sediaan yang telah beredar yaitu Nebido dan hormon testosteron undekanoat. Mengambil sebanyak 80µ l mikroemulsi yang berisi zat aktif testosteron undekanoat lalu ditambahkan dengan 500µ l ACN lalu disentrifuge. Menotolkan sampel dan baku pembanding dengan menggunakan pipa kapiler. Usahakan spot yang terbentuk sekecil mungkin. Jika diperlukan penotolan dapat dilakukan lebih dari 1 kali, tunggu sampai spot kering sebelum dilakukan penotolan berikutnya. Memasukkan lempeng ke dalam becker yang berisi fase gerak. Lalu becker ditutup dengan kaca arloji atau aluminium foil dan biarkan komponen memisah.

(43)
(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL

1. Pembuatan sediaan mikroemulsi

Setelah dilakukan percobaan pendahuluan ternyata didapatkan kondisi yang terbaik untuk membuat sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah pada kecepatan pengadukan ± 300 rpm dengan lama pengadukan 3 menit dan pada temperatur ruangan yaitu 27º C. Dari 10 formula yang dibuat dalam percobaan ini dengan variasi konsentrasi fase minyak, surfaktan, air dan juga variasi bahan yang digunakan diperoleh formula ME 10 yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan transparan.

100

60 70 80 90

100 0

AIR MINYAK

0 10 20 30 40 50

[image:44.595.148.470.471.721.2]

80 20 90 10 60 40 30 70 40 60 50 50 20 80 30 70 SURFAKTAN 0 100 10 90

(45)

Keterangan : surfaktan (tween 80, tween 20 dan n–butanol), minyak (IPM dan CO), air. Perbandingan konsentrasi tween 80 : tween 20 = 3 : 1 dan perbandingan IPM : CO = 1 : 1

mikroemulsi, emulsi

Komposisi bahan yang terbaik untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah 30% tween 80, 10% tween 20, 24% castor oil, 24% IPM, 10% n-butanol dan 2% air. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 dan lampiran 1, gambar 4.

Tabel 2

Hasil Percobaan Pembuatan Sediaan Mikroemulsi

Formula Komposisi bahan Hasil

ME 1 IPM, CO, Tween 60, Gliserin, Air Emulsi berwarna putih susu ME 2 IPM, CO, Tween 60, Gliserin, Air Emulsi berwarna

putih susu ME 3 IPM, CO, Tween 20, Gliserin, Air Emulsi berwarna

putih susu ME 4 IPM, Tween 80, PEG 400, Span 80, Air Bening, 2 fase ME 5 IPM, Tween 80, Tween 20, n–butanol, Air Bening, 2 fase ME 6 IPM, Tween 80, n–butanol, Span 80, Air Bening, 2 fase ME 7 IPM, Tween 80, PEG 400, Span 80, Air Bening, 2 fase ME 8 IPM, CO, Tween 80, Tween 20, n–butanol, Air Bening, ada

endapan ME 9 IPM, CO, Tween 80, Tween 20, n–butanol, Air Emulsi keruh ME 10 IPM, CO, Tween 80, Tween 20, n–butanol, Air Mikroemulsi yang berwarna kuning jernih dan

(46)

2. Evalusi sediaan mikroemulsi

a. Pengukuran bobot jenis mikroemulsi

Pengukuran bobot jenis mikroemulsi ini dilakukan terhadap mikroemulsi ME 10 yang disimpan dalam 3 suhu yang berbeda yaitu suhu 27º C, 40º C dan 4º C. Bobot jenis diukur menggunakan piknometer. Bobot piknometer (A) adalah 11,5484 gram. Bobot piknomter yang berisi air (A1) adalah 21,6922 gram. Bobot piknometer yang berisi sediaan

mikroemulsi suhu 4º C adalah 21,2060 gram. Bobot piknometer yang berisi mikroemulsi suhu 27º C adalah 20,2867 gram. Bobot piknometr yang berisi mikroemulsi suhu 40º C adalah 21,1791 gram. Dari hasil perhitungan maka didapatkan bobot jenis mikroemulsi yaitu suhu 4º C adalah 0,952 g/ml, suhu 27º C adalah 0,861 g/ml, suhu 40º C adalah 0,949 g/ml. Cara perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.

b. Uji pH

Uji pH dilakukan selama 8 minggu, dengan pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali. Uji pH dilakukan terhadap sediaan mikroemulsi ME 10 yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 8.

Tabel 3

pH Mikroemulsi ME 10 Pada Suhu 4º C, 27º C dan 40º C Selama 8 Minggu

Minggu pH pada suhu (º C)

4 27 40

(47)

c. Uji sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi yang diuji sentrifugasi adalah sediaan yang terdapat pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C. Sediaan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Setelah disentrifugasi mikroemulsi ME 10 tetap stabil, tidak terjadi pemisahan, tidak terjadi pengendapan dan tetap jernih. Gambar hasil uji sentrifugasi dapat dilihat pada gambar 5. d. Pengamatan makroskopik mikroemulsi

1) Suhu rendah (4º C)

[image:47.595.130.499.455.672.2]

Setelah 8 minggu pengamatan, mikroemulsi yang disimpan dalam suhu 4º C tetap jernih, warna serta baunya tidak berubah dan lebih kental jika dibandingkan dengan minggu ke–0. Hasil pengamatan makroskopik mikroemulsi pada suhu rendah dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar 6.

Tabel 4

Hasil Pengamatan Makroskopik Sediaan Mikroemulsi ME 10 Suhu Rendah Minggu Suhu

(ºC)

Organoleptik

Warna Bau Kejernihan Endapan

(48)

2) Suhu ruang (27º C)

[image:48.595.131.499.261.485.2]

Setelah 8 minggu pengamatan, mikroemulsi yang disimpan dalam suhu 27º C tetap jernih, warna serta baunya tidak berubah jika dibandingkan dengan minggu ke–0. Hasil pengamatan makroskopik mikroemulsi pada suhu ruang dapat dilihat pada tabel 5 dan gambar 6.

Tabel 5

Hasil Pengamatan Makroskopik Sediaan Mikroemulsi ME 10 Suhu Ruang

Minggu Suhu

(º C)

Organoleptik

Warna Bau Kejernihan Endapan

I II III IV V VI VII VIII 27 27 27 27 27 27 27 27 Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih - - - - - - - -

3) Suhu tinggi (40º C)

Setelah 8 minggu pengamatan, mikroemulsi yang disimpan dalam suhu tinggi tetap jernih, warna serta baunya tidak berubah tetapi timbul endapan. Hasil pengamatan makroskopik mikroemulsi pada suhu tinggi dapat dilihat pada tabel 6 dan gambar 6.

(49)
[image:49.595.119.505.140.354.2]

Tabel 6

Hasil Pengamatan Makroskopik Sediaan Mikroemulsi ME 10 Suhu Ruang

Minggu Suhu

(º C)

Organoleptik

Warna Bau Kejernihan Endapan

I II III IV V VI VII VIII 40 40 40 40 40 40 40 40 Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Kuning Jernih Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

e. Uji cycling test

Setelah melewati 7 siklus cycling test, mikroemulsi diamati secara fisik meliputi bau, warna dan kejernihan. Dan hasil yang didapat adalah mikroemulsi berwarna kuning, bau khas dan tetap jernih. Hasil uji cycling test dapat dilihat pada gambar 7.

f. Penentuan ukuran partikel mikroemulsi

Sediaan mikroemulsi yang diukur adalah sediaan pada minggu ke – 4 yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C, 40º C dan sediaan yang telah dipapar uji cycling test. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa ME 10 pada suhu 4º C berukuran 62,2 nm. ME 10 pada suhu 27º C berukuran 73,6 nm. ME 10 pada suhu 40º C berukuran 62,5 nm. ME 10 hasil uji cycling test berukuran 82 nm. Hasil pengukuran ukuran partikel dapat

dilihat pada lampiran 2 gambar 11, 12, 13 dan 14.

(50)

g. Uji viskositas

Hasil pengukuran viskositas sediaan mikroemulsi pada suhu ruang menunjukan terjadinya kenaikan viskositas dari minggu ke–0 hingga ke–8 yaitu dari 93,1675 cps menjadi 100,585 cps. Hasil pengukuran viskositas sediaan mikroemulsi pada minggu ke–0 dan minggu ke–8 dapat dilihat pada tabel 7 dan 8 dan gambar 9.

Tabel 7

Viskositas Mikroemulsi ME 10 Minggu ke–0

Rpm cp %

[image:50.595.228.420.496.644.2]

5 10 20 30 87,33 92,67 96,67 96 1,1 2,3 4,8 7,2 Tabel 8

Viskositas Mikroemulsi ME 10 Minggu ke–8

Rpm cp %

(51)

h. Analisa kualitatif testosteron undekanoat

Setelah dilakukan analisa kualitatif dengan metode KLT didapatkan hasil 3 bercak yaitu 1 bercak sampel yang diambil dari sediaan mikroemulsi yang telah dibuat dan 2 bercak zat pembanding yaitu Nebido dan Testosteron Undekanoat Xianju Pharma. Ketiga bercak tersebut masing – masing mempunyai nilai Rf yaitu Rf sampel 0,793, Rf baku pembanding Nebido 0,777, Rf baku pembanding hormon Testosteron Undekanoat 0,826. Cara penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2 dan hasil KLT dapat dilihat pada gambar 10.

5.2. PEMBAHASAN

1. Pembuatan mikroemulsi

Kondisi yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan mikroemulsi adalah kecepatan pengadukan, waktu pengadukan dan suhu. Komposisi bahan yang harus diperhatikan adalah konsentrasi fase minyak, surfaktan dan fase air.

Mikroemulsi dapat dibuat dengan pengadukan. Proses pengadukan dapat mendispersikan fase terdispersi. Hal ini disebabkan karena memberikan energi kinetika yang dapat menyebabkan fase terdispersi terpecah menjadi globul–globul kecil. Proses pengadukan ini tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika terlalu cepat akan terjadi turbulensi yang dapat menyebabkan ukuran globul yang terdispersi menjadi tidak rata dan juga mengakibatkan ukuran partikelnya menjadi lebih besar. Sedangkan pengadukan yang terlalu lambat akan menyebabkan bahan– bahan sulit untuk menjadi homogen (Maya L).

(52)

Sebelumnya pada awal percobaan, pengadukan dilakukan dengan alat homogenizer dengan kecepatan yang divariasikan antara 5000–17000 rpm dan diperoleh sediaan yang berwarna putih susu dengan globul dipermukaan. Kemudian pengadukan dilakukan dengan menggunakan magnetic stirrer kecepatan pengadukan divariasikan dari speed 1–5. Mikroemulsi terbentuk pada speed 5 (± 300 rpm).

Lamanya pengadukan juga mempengaruhi pembentukan mikroemulsi. Jika terlalu singkat mikroemulsi yang jernih akan berkabut karena penggumpalan partikel–partikel (Leon L, 1994). Jika pengadukan terlalu lama, kesempatan globul–globul bergabung akan semakin besar dan terjadi koalesensi karena perubahan diameter yang semakin kecil akan menghasilkan energi bebas permukaan yang tinggi sehingga sistem menjadi tidak stabil. Pada percobaan ini mikroemulsi diaduk selama 2–5 menit dengan kecepatan 300 rpm. Mikroemulsi terbentuk ketika diaduk selama 3 menit.

Pada pembuatan mikroemulsi ini digunakan surfakatan nonionik. Oleh karena itu harus memperhatikan suhu yang digunakan. Pada suhu rendah, surfaktan nonionik menjadi hidrofilik dan membentuk sistem M/A. Pada suhu tinggi, mereka lipofilik dan membentuk sistem A/M. Pada suhu menegah, yang disebut dengan suhu HLB, interaksi hidrofilik–lipofilik menjadi seimbang (Swarbrick J, 1994).

Pada percobaan ini mikroemulsi dibuat dalam suhu kamar 27º C. Sebelumnya mikroemulsi dibuat dengan cara pemanasan, sediaan yang

(53)

terbentuk cenderung memisah. Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu dapat menyebabkan masing–masing fase memisah (Leon L, 1994).

Selain kondisi pembuatan, perlu juga diperhatikan komposisi bahan yang dipakai untuk pembuatan mikroemulsi. Umumnya mikroemulsi terdiri dari fase minyak, surfaktan, kosurfaktan dan air. Fase minyak yang digunakan pada percobaan ini adalah IPM dan CO dengan variasi konsentrasi IPM dari 2–68% dan CO dari 24–40%. Surfaktan yang dipakai adalah tween 80, tween 20, tween 60 dan span 80 dengan variasi konsentrasi tween 80 dari 7,5–30%, tween 20 dari 0,05–10%, tween 60 0,05–10% dan span 80 5%. Kosurfaktan yang dipakai adalah PEG 400, n– butanol dan gliserin dengan variasi konsentrasi PEG 400 dari 24–30%, n– butanol 10% dan gliserin 20–25%.

Pada percobaan pendahuluan diketahui bahwa ME 1, 2 dan 3 menghasilkan sediaan yang berwarana putih susu. Sementara ME 4, 5, 6, 7 menghasilkan sediaan yang jernih dan terpisah menjadi 2 fase. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya konsentrasi surfaktan sehingga tidak cukup kuat untuk menghalangi penggabungan tetesan–tetesan fase dalam (Maya L). ME 8 membentuk sediaan yang jernih tapi terdapat endapan di bawah. Hal ini disebabkan karena lapisan pelindung tidak cukup kuat untuk menghalangi penggabungan tetesan–tetesan fase dalam (Leon L, 1994). ME 9 menghasilkan sedian emulsi yang keruh, tapi setelah 24 jam akan menjadi jernih dan terpisah menjadi 2 fase. ME 10 menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan trasparan.

(54)

Mikroemulsi ini terbentuk karena konsentrasi surfaktan telah mencapai atau melebihi konsentrasi misel kritis.

Dari hasil percobaan pendahuluan didapatkan konsentrasi dan komposisi bahan untuk ME 10 adalah 30% tween 80, 10% tween 20, 24% IPM, 24% castor oil, 10% n–butanol dan 2% air. Formula mikroemulsi ME 10 ini yang nantinya akan dievaluasi baik secara fisik atau kimia selama 2 bulan. Batas wilayah mikroemulsi dapat ditentukan dengan bantuan diagram fase (Moreno,2003). Dengan cara memplotkan data konsentrasi bahan–bahan sediaan yang telah dibuat, maka akan terlihat mana daerah mikroemulsi dan mana yang bukan. Diagram fase menggambarkan sifat dari banyak komponen yang telah digunakan dalam optimasi formulasi, walaupun jumlah yang besar dari data yang harus dihasilkan jika diagram yang memadai akan dibuat. Tanpa penggunaan diagram fase, karakterisasi dari sifat komponen emulsi dalam sistem multiphase tidak dapat diprediksi (Block, 1989).

2. Evaluasi sediaan mikroemulsi a. Pengukuran bobot jenis mikroemulsi

Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat diudara pada suhu yang telah ditetapkan terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama (Departemen Kesehatan, 1995). Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu kamar. Dari hasil perhitungan didapatkan bobot jenis mikroemulsi yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C secara berturut–turut adalah 0,952 g/ml, 0,861 g/ml dan 0,949 g/ml.

(55)

b. Uji pH

Uji pH dilakukan selama 8 minggu dengan pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali terhadap sediaan mikroemulsi yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C. Pengukuran pH ini bertujuan untuk mengamati perubahan pH yang mungkin terjadi pada mikroemulsi selama masa penyimpanan.

Selama masa penyimpanan ternyata mikroemulsi mengalami penurunan dan kenaikan pH. Pada suhu 4º C terjadi penurunan pH pada minggu ke–4, kemudian pHnya naik pada saat pengukuran pada minggu ke–6. Pada suhu 27º C dan 40º juga C terjadi penurunan pH pada minggu ke–6, kemudian pHnya naik pada minggu ke–8. Pada suhu 40º C penurun pH yang terjadi lebih besar jika dibandingkan dengan suhu 4º C dan 27º C. Castor oil merupakan asam lemak tak jenuh, jika terhidrolisis castor oil akan menghasilkan asam karboksilat (Sastrohamidjojo H, 2005). Asam karboksilat tersebut kemungkinan dapat menyebabkan sediaan menjadi asam.

Walaupun terjadi penurunan dan kenaikan pH, tapi penurunan dan kenaikannya tidak terlalu drastis. Bisa dikatakan bahwa sediaan mikroemulsi yang disimpan dalam ketiga suhu tersebut stabil secara kimia, tidak ada interaksi dengan wadah atau bahan–bahan yang lain serta tidak ada reaksi kimia yang berarti.

c. Uji sentrifugasi

Uji sentrifugasi ini dilakukan untuk mengevaluasi kestabilan mikroemulsi. Umumnya diterima bahwa umur mikroemulsi pada kondisi

(56)

penyimpanan normal dapat diramalkan dengan cepat dengan mengamati pemisahan dari fase terdispersi karena pembentukan krim atau penggumpalan bila mikroemulsi dipaparkan pada sentrifugasi(Leon L, 1994).

Sama halnya dengan emulsi, mikroemulsi dikatakan stabil jika tidak menunjukan suatu kerusakan yang serius pada saat disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit pada suhu ruang(Idson B, 1989).

Uji sentrifugasi ini dilakukan terhadap mikroemulsi yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C. Uji ini dilakukan pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Setelah dilakukan sentrifugasi, mikroemulsi tetap jernih, tidak terjadi pemisahan fase atau terbentuk endapan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan mikroemulsi tetap menunjukkan suatu larutan yang terdispersi sempurna dan tetap dapat mengalir dengan baik. d. Pengamatan makroskopik mikroemulsi

Stabilitas sediaan mikroemulsi diamati secara fisik yang meliputi bau, warna dan kejernihan. Kestabilan termodinamik dari tipe yang dipostulatkan secara umum untuk sistem terlarut atau mikroemulsi umumnya tergantung pada temperatur (Leon L, 1994). Mikroemulsi disimpan pada suhu 4º C, 27ºC dan 40º C selama 8 minggu.

1) Suhu rendah (4º C)

Saat disimpan pada suhu rendah mikroemulsi tidak mengalami perubahan secara fisik bila dibandingkan dengan sediaan sebelum disimpan pada suhu rendah. Tetapi mikroemulsi menjadi lebih kental dari

(57)

sediaan sebelum disimpan pada suhu rendah karena viskositas mikroemulsi pada suhu dingin meningkat. Hal ini disebabkan karena larutan cenderung menyusut pada suhu rendah dan fase minyak cenderung pula untuk membeku pada suhu rendah. Sehingga partikel akan cenderung bergabung membentuk ikatan antar partikel yang lebih rapat, akibatnya kekentalan meningkat dan laju alir menurun. Tetapi pada saat mikroemulsi dikembalikan kembali pada suhu kamar maka mikroemulsi akan kembali seperti semula, dimana mikroemulsi menjadi encer dan mudah dituang.

Pengentalan ini dapat berlebihan jika mikroemulsi tidak dikocok selama siklus pendinginan. Pembekuan dapat merusak suatu mikroemulsi lebih dari pemanasan, karena kelarutan pengemulsi, baik dalam fase minyak maupun dalam fase air, lebih sensitif terhadap pendinginan daripada terhadap pemanasan sedang. Disamping itu, pembentukan kristal es mengembangkan tekanan yang dapat merusak bentuk bulat dari tetesan mikroemulsi (Leon L. 1994).

2) Suhu kamar (27º C)

Pada saat mikroemulsi disimpan pada suhu kamar, mikroemulsi tidak menunjukan perubahan secara fisik selama 8 mingggu pengamatan. Mikroemulsi tetap jernih dan transparan, serta warna dan baunya tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa mikroemulsi stabil secara termodinamik.

(58)

3) Suhu tinggi (40º C)

Selama 8 minggu pengamatan mikroemulsi tidak mengalami perubahan secara fisik bila dibandingkan dengan sediaan sebelum disimpan dalam suhu tinggi. Tetapi muncul endapan didasar mikroemulsi. Endapan itu akan menjadi hilang jika mikroemulsi di tempatkan kembali pada suhu kamar. Hal ini karena kenaikan suhu akan meningkatkan energi kinetis dari tetesan–tetesan, sehingga memudahkan penggabungannya dan menyebabkan pecahnya mikroemulasi karena agregasi dan pengumpulan bola–bola.

e. Cycling test

Metode ini digunakan untuk melihat kestabilan sediaan emulsi, krim dan larutan, apakah akan terjadi kristalisasi dan pengendapan. Dimana perubahan yang terjadi bersifat reversibel atau sebaliknya (Rahmawati J, 2003).

Uji cycling test ini dilakukan sebanyak 7 siklus, kemudian sediaan mikroemulsi diamati secara fisik meliputi warna, bau dan kejernihan. Setelah melewati 7 siklus cycling test ternyata tidak terjadi perubahan pada sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi tetap jernih, bau khas dan warnanya tetap kuning jernih. Hal ini menunjukan bahwa sediaan mikroemulsi cukup stabil dan perubahan yang terjadi bersifat reversibel.

f. Penentuan ukuran partikel mikroemulsi

Ukuran partikel dari suatu mikroemulsi biasanya dinyatakan sebagai diameter dari globul–globul dalam fase internal. Ukuran parikel bergantung pada tipe dan jumlah emulgator dan adanya penambahan zat

(59)

tambahan. Jika ukuran partikel fase dalam lebih kecil, mikroemulsi menjadi lebih stabil (Idson B, 1989).

Mikroemulsi yang diukur ukuran partikelnya adalah mikroemulsi yang telah disimpan selama 4 minggu pada suhu 4º C, 27º C, 40º C serta yang telah diuji cycling test. Secara berurutan ukuran partikel mikroemulsi yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C, 40º C dan yang telah diuji cycling test adalah 62,2 nm, 73,6 nm, 62,5 nm dan 82 nm.

Ukuran partikel mikroemulsi yang telah diuji cycling test lebih besar jika dibandingkan dengan mikroemulsi yang disimpan pada suhu 4º C, 27º C dan 40º C. Hal ini disebabkan karena selama proses cycling test terjadi penggabungan droplet yang dapat menimbulkan coalescence.

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa selama penyimpanan mungkin terjadi penggabungan antar partikel yang akan membentuk partikel yang lebih besar. Namun secara keseluruhan formula ini bisa dikatakan sebagai mikroemulsi karena mempunyai ukuran partikel yang sesuai dengan ukuran partikel mikroemulsi yaitu antara 10–100 nm.

g. Uji viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas makin tinggi tahanannya (Martin A, 1993). Viskositas merupakan tolok ukur fisik yang biasanya diukur untuk menaksir pengaruh kondisi tekanan pada mikroemulsi (Leon L, 1994). Perubahan viskositas selama penyimpanan merupakan kriteria pokok kestabilan emulsi.

(60)

Hasil pengukuran mikroemulsi pada minggu ke–0 dan minggu ke– 8 menunjukan bahwa sediaan mikroemulsi mengalami peningkatan viskositas dari 93,1675 cps menjadi 100,585 cps. Sama halnya dengan emulsi hal ini disebabkan karena biasanya viskositas mikroemulsi meningkat dengan meningkatnya umur sediaan tersebut (Leon L, 1994).Secara umum viskositas mikroemulsi rendah hal ini disebabkan karena mikroemulsi mempunyai ukuran droplet yang sangat kecil seperti suatu larutan tunggal viskositas rendah umumnya mempunyai laju alir yang baik sehingga sediaan mudah untuk dituang (Jufri M, 2004).

h. Analisa kualitatif testosteron undekanoat

KLT merupakan metode pemisahan komponen–komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan campur (Mulja M; Suharman, 1995).

Pada awal percobaan digunakan campuran pelarut pengembang Acetonitril (ACN) dan air dengan bermacam–macam perbandingan. Campuran pelarut pengembang ini dibedakan menjadi dua, yaitu yang diberi asam fosfat dan tidak. Ternyata campuran pelarut pengembang tersebut tidak dapat mengelusi sampel. Hal ini disebabkan karena komponen sampel yang dipisahkan merupakan zat non polar atau hidrofobik yang tidak larut air (Mulja M; Suharman, 1995). Kemudian air diganti dengan methanol (MeOH), sehingga campurannya menjadi ACN dan MeOH. Campuran pelarut pengembang ini dibuat dengan perbandingan 69 : 31. Ternyata campuran pelarut pengembang ini dapat

(61)

mengelusi komponen sampel dan baku pembanding, sehingga didapatkan 3 bercak. Pemilihan pelarut pengembangan atau pelarut pengembangan campur sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat–zat kimia yang dipisahkan (Mulja M; Suharman, 1995).

Tujuan dari dilakukan analisa dengan menggunakan KLT ini adalah untuk mengetahui apakah zat aktif testosteron undekanoat yang ada di dalam mikroemulsi masih ada atau tidak selama 2 bulan masa penyimpanan. Dari hasil KLT diketahui bahwa ternyata zat aktif testosteron undekanoat masih terdapat di dalam sediaan mikroemulsi selama 2 bulan masa penyimpanan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa TU stabil dalam formula mikroemulsi ini.

(62)
(63)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Mikroemulsi dengan zat aktif testosteron undekanoat dapat dibuat pada suhu kamar yaitu 27º C dengan kecepatan pengadukan ± 300 rpm dan waktu pengadukan selama ± 3 menit. Komposisi bahan yang terbaik untuk pembuatan mikroemulsi dengan zat aktif testosteron undekanoat adalah 30% tween 80, 10% tween 20, 24% castor oil, 24% ipm, 10% n–bultanol dan 2% air, formula ini stabil selama 2 bulan masa pengamatan, tidak ada perubahan pH yang berarti dan tidak terjadi peningkatan viskositas yang berarti. Formula ini stabil jika disimpan pada suhu 27ºC dan 4º C.

B. SARAN

Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap sediaan mikroemulsi dengan zat aktif testosteron undekanoat agar didapatkan formula yang lebih baik sehingga dapat mengurangi konsentrasi pemakaian surfaktan yang tinggi.

(64)
(65)

DAFTAR PUSTAKA

Swarbrick, James dan James C. Boylan. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. New York: Marcel Dekker, Inc. 1994;375, 394.

Leon Lachman, Herbert A. Lieberman dan Joseph L. Kanig. Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Edisi III. Penerjemah Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press. 1994; 1076-1079.

Ansel, Howard C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: UI Press. 1989; 143.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. Obat-obatan Penting. Edisi kelima. Jakarta: PT. Gramedia. 2002; 641-642, 645-646.

Syarif, Amir dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. Jakarta: Gaya Baru. 2005; 464.

Wade, Ainley and Paul J. Wellen. Hand book of Pharmaceutical Excipients. Second edition. London: Pharma Ceutical Press. 1994; 83, 243, 375.

Aulthon, Michael E. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design. UK: Elsevier Limited. 2002.

Reynolds, James E.F. Matindale The Extra Pharmacopeia. 21th edition. London: Pharmaceutical Press. 1982.

Lawrence, M. Jayne and Gareth D. Ress. Microemulsi on-based Media as Novel Drug Delivery Systems. Advanced Drug Delivery Reviews 45 (2000).

Nandi I, Moh. Bari, Hemant Joshi. Study of Isopropyl Myristate Microemulsion System Containing Cyclodextrins to Improve the Solubility of 2 Model Hydrophobic Drugs. AAPS Pharm scitech 2003; 4(1) article 10.

Date, Abhijit A and M.S. Nagarsenker. Parenteral Microemulsion: An over view. International Journal of Pharmaceutics. 2008.

Ilyas, Syafruddin dan Nukman Moeloek. Kajian Tentang Testoteron Undekanoat (TU) Sebagai Salah Satu Sediaan Kontrasepsi Pada Pria.

(66)

Sinkon, P.J. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical sciences 5th edition. Elsevier limited. Uk: 2002.

Departemen Kesehatan. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995 : 1030

Martin, A., J. Swarbrick dan A. Cammarata. Farmasi Fisik 2. Edisi III. Jakarta : UI Press. 1993 : 940 – 1010.

Maya, L. Pembuatan Sediaan Mikroemulsi dari Minyak Buah Merah (Pandanus coroideus). Skripsi Program Sarjana Farmasi, FMIPA UI. Depok.

Moreno, M.A., M.P. Balesterros, P. Frutos. Lecithin – Based Oil – in – Water Microemulsions for Parenteral Use : Pseudoternary Phase Diagrams, Characterization and Toxicity Studies. International Journal of Pharmaceutics. Vol. 92. 2003. 1428 – 1437.

Rahmawati, J. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sediaan Mikroemulsi dengan Gameksan Sebagai Model Obat. Skripsi Program Sarjana Farmasi, FMIPA UI. Depok.

Sastrohamodjojo, Hardjono. Kimia Organik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005 : 104.

Mulja, M. dan Suharman. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University Press. 1995. 224, 227.

Block, L.H. Emulsions and Microemulsions. Dalam Lieberman, H.A., Rieger, M.M and Banker G.S, eds. Pharmaceutical Dosage Forms : Disperse Systems. Vol. 2. New York : Marcel Dekker. 1989 : 355.

Idson, B. Pharmaceutical Emulsions. Dalam : Lieberman, H.A., Rieger, M.M and Banker G.S, eds. Pharmaceutical Dosage Forms : Disperse System. Vol. 1. New York : Marcel Dekker. 1989 : 233, 240.

Jufri, M., Asnimar B, Julia R. Formulasi Gameksan Dalam Bentuk Mikroemulsi. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. I. 2004 : 160 – 174.

(67)

Ilyas, Syafruddin. Efektivitas Kontrasepsi Hormonal Pria Yang Menggunakan Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Noretisteron Enantat. Jurnal Biologi Sumatera. Vol. 3. No. 1. 2008. 23-28.

Gu, Y.Q., Jian-sun Tong, Ding-zhi Ma, Xing-hai Wang, Dong Yuang, Wen-hao Tang and William J. Bremner. Male Hormonal Contraception: Effect of Injection of Testosterone Undecanoate and Depot Medroxyprogesterone Acetat at Eight-Week Intervals in Chinese Men. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol. 89. No. 5. 2004. 2254-2262.

(68)
(69)

Lampiran 1. Hasil Optimasi Formulasi Mikroemulsi

ME 1, ME 2, ME 3 ME 4 ME 5

[image:69.595.109.485.98.612.2]

ME 9 ME 10

Gambar 4. Hasil Optimasi Formula Mikroemulsi

(70)

Lampiran 2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ME 10

Penghitungan Bobot Jenis Mikroemulsi

Bobot jenis mikroemulsi diukur dengan menggunakan persamaan:

Bobot jenis = A2– A A1– A

Keterangan:

A = bobot piknometer yang beersih dan kering (gram)

A1 = bobot piknometer yang berisi air (gram)

A2 = bobot piknometer yang berisi mikroemulsi (gram)

Data hasil pengukuran:

A = 11,5484 gram

A1 = 21,6922 gram

A2 = 21,2060 gram (4º C)

20,2867 gram (27º C)

21,1791 gram (40º C)

a. Bobot jenis mikroemulsi suhu 4º C = A2 – A A1– A

= 21,2060 – 11,5484 21,6922 – 11,5484

= 9,6576

10,1438

= 0,952 g/ml

b. Bobot jenis mikroemulsi suhu 27º C = A2– A A1– A

= 20,2867 – 11,5484

21,6922 – 11,5484

(71)

Lanjutan Lampiran 2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ME 10

= 8,7383

10,1438

= 0,861 g/ml

c. Bobot jenis mikroemulsi suhu 40º C = A2– A A1– A

= 21,1791 – 11,5484

21,6922 – 11,5484

= 9,6307

10,1438

= 0,949 g/ml

[image:71.595.117.478.71.539.2]

Gambar 5. Hasil Uji Sentrifugasi ME 10

(72)
[image:72.595.208.413.113.266.2]

Lanjutan Lampiran 2. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi ME 10

Gambar 6. Hasil Uji Stabilitas ME 10

Keterangan : A

Gambar

Gambar 1. Rumus bangun Testosteron Undekanoat
Gambar 2. Mekanisme aksi dari Testosteron Undekanoat
Gambar 3. Diagram Fase Formula Mikroemulsi ME 10
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak— “Hotel Resort di Pantai Teleng Ria Pacitan” merupakan Hotel bintang 4 yang mendukung kegiatan wisatawan local maupun mancanegara yang hendak bermalam di

Penambahan sukrosa dengan dua konsentrasi yang berbeda, yaitu 0,2% dan 0,4% w/v ke dalam bahan pengencer andromed, dilakukan dalam penelitian ini sebagai usaha memperta-

Sedangkan Aly et.al (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan laporan keuangan melalui internet dan menemukan hasil bahwa profitabilitas, coorporate

Mengacu pada pendapat-pendapat diatas yang dimaksud motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan atau kemauan anggota masyarakat Desa Gisting Kecamatan Gisting

Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan sudut pengambilan gambar yaitu high angle, eye level, low angle, bird view angle, dan crazy angle yang dikombinasikan

Bentuk sediaan mikroemulsi ekstrak beras hitam memiliki efektivitas anti kerut yang paling tinggi dibandingkan dengan basis mikroemulsi dan emulsi ekstrak

Pada penelitian ini dibuat sediaan transdermal ketoprofen 2,5% dalam bentuk mikroemulsi lalu diuji difusi perkutannya secara in vitro dan keamanannya melalui uji iritasi kulit

Membangun software yang dikembangkan untuk menentukan interval waktu optimum preventive maintenance jembatan berdasarkan rantai markov dengan mempertimbangkan biaya