PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG
MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN
KARENA KREDIT MACET
(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200104
SITI MAIMANA SARI KETAREN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG
MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN
KARENA KREDIT MACET
(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn) SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum OLEH:
NIM: 060200104
SITI MAIMANA SARI KETAREN
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
NIP: 196107021989031001 Abul Khair, SH, M. Hum
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum
NIP: 195102061980021001 NIP: 194808011980031003 Muhammad Nuh, SH. M. Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan
kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,
yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis
panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan
dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang
disinari oleh nur iman dan Islam.
Skripsi ini berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa
Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn).
Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak
mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan,
serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan
dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum USU.
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum USU.
5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum USU.
6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum sebagai Dosen
Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama
ini kepada penulis.
9. Bapak M. Nuh, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih
atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan
10. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
11. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.
12. Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,
perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut
ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.
13. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian
yang sangat besar yang selalu mendukungku. Terima kasih kepada seluruh
keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.
14. Kepada teman-temanku, khusunya stambuk 2006 Fakultas Hukum USU
yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.
15. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi
ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan 01 Maret 2010
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI ... 23
A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia ... 23
B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya ... 24
C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli ... 34
D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli... 35
E. Resiko dalam Sewa Beli ... 37
F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli ... 37
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ... 39
A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ... 39
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan ... 46
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR
ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA
PENYITAAN ... 55
A. Kasus ... 55
B. Aspek Pidana Penggelapan dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli dalam Hal Terjadinya Penyitaan Benda Sewa Beli oleh Kreditur... 61
C. Analisa Kasus ... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
A. Kesimpulan... 68
B. Saran ... 69
ABSTRAKSI
Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
ABSTRAKSI
Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada
masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial budaya,
teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesehatan seluruh masyarakat,
maka dilakuan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan
kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja
tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah
satu pilar kekuatan.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di
semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam
pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak
swasta yang mengalami perkembangan adalah di bidang perdagangan otomotif
(sepeda motor).
Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatan perdagangan sepeda motor,
yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang
yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan
perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen
melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk
memasarkan sepeda motor, sementara konsumen membutuhkan sepeda motor
Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor
adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau
sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya
tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai
akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang
pembelian sepeda motor yang dibeli sewa.
Sewa beli merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa
menyewa yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul
dari praktek karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan memiliki
barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu Subekti1 dan Sri Gambir
Hatta2
1
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 51.
2
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.
mengatakan bahwa niat utama dalam sewa beli adalah untuk memperoleh
hak milik barang dan bukan sekedar memberikan hak memanfaatkan barang.
Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya sudah
diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru berpindah setelah
seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam masa angsuran, hak kepemilikan
atas benda tersebut masih tetap pada penjual, sedangkan pembayarannya selama
masa angsuran dianggap sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah
dilunasinya seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, dimana
dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angusran belum dilunasi, akan
Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang tidak
diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan debitur
(pembeli). Sri Gambir3
1. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannya dianggap batal
serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.
dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika
pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:
2. Penjuaal berhak mengenakan denda;
3. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa
angsuran dan denda;
4. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas
barang;
5. Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya pasal
1266 dan 1267);
6. Perjanjian bernilai eksekutorial.
Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya
larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas
memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang
lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan
lain-lain.4
Sering terjadi dalam kenyataan, bahwa debitur yang tidak mampu untuk
memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli yang telah dibuat dengan
pihak kreditur, salah satunya adalah tidak mampunya debitur untuk melakukan
3
Ibid, hal. 170-189.
4
pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana
ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama,
sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah
diletakkan perjanjian sewa beli tersebut.
Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi
dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi
atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati
bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda
tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah
melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.
Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang
diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang
melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor.
B. Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi
objek sewa beli?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli
secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal
terjadinya penyitaan oleh kreditur?
a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang
menjadi objek sewa beli
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam
perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda
motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur
2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang
menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya
penyitaan karena kredit macet.
2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga
kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi
Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor
secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal
terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam
berbagai Undang-undang.
b. Secara Praktis
Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan
pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara
kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya
penyitaan karena kredit macet.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor
Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya
Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor
2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh
penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini
merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila
ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet
a. Pengertian Kredit
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.5
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan
perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan
nasabah sebagai debitur/penerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi
kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya
akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan
penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut
undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit
disebut sebagai berikut:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang
nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang
mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
5
hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan
penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat
pula berjalan beberapa tahun.6
b. Pengertian Kredit Macet
Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup
membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah
diperjanjikan.
2. Pengertian Sewa Beli
Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di
Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli,
setidak-tidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun
ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa.7
Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25
memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut :
“Hire Puchase (Huur Koop): ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah dibayar lunas”.
Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 / KP/ II /
1980 adalah sebagai berikut:
6
Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal.10.
7
oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.8
3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-“.9
Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat
apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu
peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan
memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat
yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji
dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan
kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan:
8
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.
9
maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat.10
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 372
KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda
seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan
demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu
benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan
sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum,
hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda
miliknya.11
Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu
hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya
ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat
melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih
dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak
mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.12
Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi
sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur
kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal
372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan
10
R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal. 241.
11
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal. 72.
12
seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,
b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian,
c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan
dengan jalan suatu kejahatan,
d. memiliki benda itu harus tanpa hak.
4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana
Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara,
mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang
yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena
pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum
merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik
dalam konsep maupun implementasinya.
Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya
pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang
justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru
merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak
dipertanggungjawabkan.13
13
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk
sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan
di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan
(general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general
excusing of liability)
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan
penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan
sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.
Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang
bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat
membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak
pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa
dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan
dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang
karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban
membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang
termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan
pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari
dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya
mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.14
14
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari
ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal
yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian
pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya
kesalahan.
Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama
berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggung-jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian,
konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan
untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara
itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht),
proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya
dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga
kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat
dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga
sah jika dijatuhi pidana.15
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya
berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti
rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana
15
pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan
tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi
yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.
Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai
syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek
preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal
consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan
konsekuensi hukum atas adanya hal itu.16
Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang
mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama
berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek
tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus
mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.
Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan
yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki
masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih
jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus
dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus
kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan
pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan
16
adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan
tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri
terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar
hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam
proses pemeriksaan perkara di pengadilan.17
Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai
perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus
mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat
dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan
pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan
mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam
hukum formalnya (KUHAP).
Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal
tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang
dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat
dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru
bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang
lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur
tindak pidana.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat
dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti
Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak
baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya
pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak
dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan
tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.19
19
Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.
Sebaliknya, sekali
perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang
perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral
dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan
tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya
lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat
sebagai celaan dari segi moral.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam
bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa
masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau
setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat
karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang
terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan
celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya.
Mempertanggungjawab-kan seseorang dalam hukum pidana adalah menerusMempertanggungjawab-kan celaan secara objektif ada
pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.20
Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang
perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen
sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang
ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa
pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya.
Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.21
Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan
ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan
sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan
timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi
berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan
tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan
20
Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.
21
(kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi
juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya
menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
F. Metode Penelitian
Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini
penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung
penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan
metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga
sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law
in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif ini
sepenuhnya menggunakan data sekunder.22
22
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.23
a. Bahan Hukum Primer
Data sekunder diperoleh dari :
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Keputusan
Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan
Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda
motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal
terjadinya penyitaan karena kredit macet, hasil penelitian, pendapat pakar hukum
serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan Hukum Tersier
23
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dll.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan
objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan
perundang-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut:
a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan dengan objek penelitian.
b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media
cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan
masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisa data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan
topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum perjanjian sewa
beli, yang isinya antara lain memuat pengaturan sewa beli di
Indonesia, perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian
lainnya, para pihak dalam perjanjian sewa beli, bentuk dan isi
perjanjian sewa beli, resiko dalam sewa beli, dan berakhirnya
perjanjian sewa beli.
BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap tindak
pidana penggelapan, yang memuat tentang jenis-jenis tindak pidana
penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan.
BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana debitur
motor dalam hal terjadinya penyitaan, yang isinya memuat antara
lain tentang deskripsi kasus, aspek pidana penggelapan dalam
pelaksanaan perjanjian sewa beli dalam hal terjadinya penyitaan
benda sewa beli oleh kreditur, dan analisa kasus.
BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI
A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia
Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul
dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis baru, sewa beli di Indonesia
belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar
hukum diatas dan juga surat keputusan Menteri Perdagangan dan Kopersi tidak
ada keseragaman. Namun kalau diperhatikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perjanjian sewa beli lebih cenderung mengarah atau menjurus pada bentuk
perjanjian jual beli, dari pada sewa menyewa. Karena dalam perjanjian sewa beli,
peralihan hak milik adalah yang menjadi pokok utamanya. Jadi tujuan sewa beli
adalah untuk menjual barang, bukan untuk menyewakan atau menjadi penyewa
barang.
Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual
beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli
barang sekaligus atau lunas, maka diadakn suatu perjanjan dimana pembeli
diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik
baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran
dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih
menjadi penyewa.
Sebagai penyewa, maka ia hanya berhak atas pemakaian atau mengambil
manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk
hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana
karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain.
Sewa beli tidak ada diatur di dalam undang-undang tersendiri, akan tetapi
baru diatur dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi no. 34 / KP / II / 1980.
Namun dalam SK Menteri tersebut belum dijelaskan mengenai hak-hak dan
kewajiban para pihak dalam sewa beli. Disitu hanya dijelaskan tentang perjanjian
kegiatan usaha sewa beli, jual beli dengan angsuran, dan sewa.
Mengenai objek perjanjian sewa beli telah ditentukan secara jelas dalam
pasal 2 ayat (1) SK Menteri tersebut, yaitu semua barang niaga tahan lama yang
baru dan tidak mengalami perubahan tekhnis, baik berasal dari produksi sendiri
ataupun hasil perakitan (assembling) atau hasil produksi lainnya didalam negeri.
Namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai wujudnya apakah
barang bergerak atau tetap. Dalam perjanjian sewa beli yang bertindak sebagai
subyek adalah penjual sewa. Mengenai pihak yang dapat menjadi pembeli sewa,
ini bisa perseorangan atau badan hukum. Penjual sewa ataupun pembeli sewa ini
umumnya sering dengan istilah “para pihak”.
B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya
Untuk melihat perbedaan yang nyata antara sewa beli dengan perjanjian
lainnya, maka berikut akan dideskripsikan beberapa bentuk perjanjian yang ada,
yakni:
1. Sewa Beli
Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil,
Meskipun barang telah diserahkan kepada pembeli, tetapi hak
kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama
masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi.
Kepemilikan atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat
angsuran terakhir telah dibayar.
Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka ia
tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang
dipersyaratkaan menjadi pemilik barang, seperti menggandaikan,
menghipotikkan dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan, maka pembeli telah
melakukan tidak pidana penggelapan.
Sri Gambir Melati Hatta24
Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual
beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat menyebut sewa beli dengan “beli sewa” dengan
alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan sekedar
penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri
Gambir lebih menekankan kepada pembeliannya bukan kepada sewanya
meskipun pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh
Sri Gambir di atas, namun perlu diberikan perbandingan dengan jenis
perjanjian yang disebut “koop en verkoop op afbetaling” atau yang lebih
populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam
perjanjian jual beli angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah
berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil.
24
hukumnya sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian
sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya
belum berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi
seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah
berpindah sejak penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya,
penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum
membayar seluruh harga barang karena pembayarannya dilakukan secara
angsuran.
Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat
hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik
barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual,
menggadaikan, menyewakan dan lain-lain, sedangkan dalam sewa beli
karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh
bertindak hukum atas barang tersebut.
2. Jual beli
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam
KUHPerdata di atur dalam pasal 1457– 1546, yaitu suatu perjanjian di
mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas
sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan
membayar sejumlah uang sebagai harganya.25
25
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa. 1979, hal.135.
Perjanjian jual beli telah
dianggap ada apabila kedua belah pihak telah sepakat tentang barang dan
Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin
bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan
bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban
pembeli adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati.
Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada waktu
ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat
itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam
praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas
negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut.
Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat
memperjanjikan sendiri tentang cara-cara melakukan pembayaran maupun
cara penyerahannya. Mereka bebas menentukan sendiri sesuai yang
diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya
berlaku apabila para pihak tidak menentukan lain.
Yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang.
Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual
tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan
(pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata).
Khusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh atas
dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo.
pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak
milik pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka
3. Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam
meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis
pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam
dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis
pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Subekti26
Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran
bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada yang
dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan digunakan sebutan
pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai.
Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan
pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang
yang tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi
milik pemberi pinjaman (1741 BW) dan setelah habis masa pinjaman si
peminjam harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh
karena itu selama masa peminjaman, penerima pinjaman harus
memelihara barang sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang
dikenal dengan sebutan “seorang bapak rumah yang baik”.
Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis
pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman,
sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan
jumlah dan kualitas yang sama.
26
KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya
haram.
4. Sewa Menyewa
Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu
tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga
yang ditetapkan untuk pemakaian pada waktu yang ditentukan.27
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah meyerahkan barang,
memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan
dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari barang yang disewakan
selama berlangsungnya persewaan. Adapun kewajiban penyewa adalah
memakai barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa,
menanggung resiko karena kesalahan atau kelalaiannya dan
mengembalikan barang sewaan.
Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan,
melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi barang itu
tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini
disebut pinjam pakai.
28
Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan
hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh menjual, atau
menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain
pun tidak dibolehkan.
27
Subekti, Pokok-pokok………., Op cit, hal. 137.
28
5. Leasing
Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh
lessee (penyewa) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa.
Subekti29
Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan
antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang diserahkan
lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease
barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu
dalam operating lease pemeliharaannya menjadi tanggung jawab lessor
sedangkan dalam financial lease pemeliharaan dan asuransinya pada
umumnya menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan
financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk menyatakan bahwa leasing pada dasarnya merupakan perjanjian
sewa menyewa di mana lessor (pemberi sewa) menyerahkan barang untuk
dimafaatkan oleh lessee, sehingga karenanya leasing disebut juga
perjanjian sewa guna usaha atau sewa pakai.
Sobjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan
perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau
mesin-mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain
seperti rumah, mobil dan lain-lain.
29
membeli setelah berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau
dengan kondisi yang ringan.30
Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka
selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor. Lessse
semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut
istilah Subekti31
Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak
milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di
tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah
berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir.
Namun dalam dunia bisnis saat sekarang telah terjadi pergeseran
pengertian leasing dimana perolehan barang seperti mobil atau motor yang
didasarkan atas perjanjian sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing
seperti ini oleh Kurnia
sebagai “pemilik ekonomis” karena mendapatkan manfaat
dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor.
32
Lebih lanjut Kurnia
dimasukkan dalam financial lease.
33
Kurnia, Hukum Seputar Leasing (http://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukum-leasing/). Diakses pada tanggal 25 Februari 2009.
33
Ibid
mengemukakan bahwa financial lease dalam praktik
saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang
berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa
akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut
sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa
dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa.
Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas alasan
hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan
alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua
proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya
leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli.
Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor
pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun
perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai
berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang
tidak diinginkan.
Sri Gambir34
a. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap
batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.
dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika
pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:
b. Penjual berhak menarik gaji/upah pembeli.
c. Penjual berhak mengenakan denda.
d. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa
angsuran dan denda.
Selain klausul-klausul di atas Sri Gambir juga menemukan klausul-klausul
yang sangat merugikan pembeli, misalnya:
34
a. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas
barang.
b. Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim.
c. Perjanjian bernilai eksekutorial.
Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya
larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas
memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita
barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat
ditemukan, dan lain-lain.
Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti
ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk sewa
beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan
barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi
kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk
jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul
seperti itu.
Mahkamah Agung35
35
Ibid, hal. 207.
dalam beberapa putusannya antara lain: putusan
Nomor 1243K/Pdt/1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor
935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh
karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan
bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli
agsuran.
Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka
dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang
diperoleh berdasarkan leasing ataupun sewa beli, sedangkan STNK dan
BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta
bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah
uang angsuran yang telah dibayarkan.
C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli
Pihak-pihak dalam perjanjian sewa beli adalah pihak penjual dan pihak
penyewa. Masing-masing penjual dan penyewa memiliki hak dan kewajiban satu
sama lain. Hak dan kewajiban sewa beli hampir sama dengan hak dan kewajiban
dalam jual beli, yaitu mempunyai tujuan mengalihkan hak milik atas suatu barang.
Hanya saja ada perbedaan mengenai cara pembayaran serta perolehan miliknya.
Jika dilihat dari perjanjiannya maka kewajiban penjual sewa adalah sebagai
berikut:
1. Menyerahkan barang atau benda (tanpa hak milik) kepada pembeli sewa.
2. Menyerahkan hak milik secara penuh kepada pembeli sewa, setelah obyek
tersebut dilunasi
Kewajiban yang pertama tersebut dilakukan oleh penjual sewa pada saat
ditutupnya perjanjian sewa beli antara penjual sewa dan pembeli sewa. Yang
atas barang. Penyerahan ini dimaksudkan agar barang yang menjadi obyek sewa
beli tersebut dapat digunakan atau diambil manfaatnya oleh pembeli sewa.
Kewajiban yang kedua untuk menyerahkan hak milik dari suatu barang itu
kepada pembeli sewa secara sepenuhnya yang dimaksud adalah bahwa penjual
sewa setelah menyerahkan hak tersebut, bebas berbuat apa saja atas barang
miliknya. Penyerahan ini dilakukan setelah pembeli sewa melunasi
angsuran-angsuran yang menjadi harga barang tersebut.
Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual
beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli
barang sekaligus atau lunas, maka diadakan suatu perjanjan dimana pembeli
diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik
baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran
dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih
menjadi penyewa.
Sebagai penyewa, hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat
atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau
memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika hal tersebut
dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena
dianggap menggelapkan barang milik orang lain.
D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli 1. Bentuk perjanjian sewa beli
Bentuk perjanjian sewa beli Sesuai dengan sistem terbuka yang dianut
(pasal 1338 ayat 1) maka pihak dalam membuat perjanjian sewa beli, para
pihak diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi
perjanjiannya. Hukum perjanjian memberikan kebebasan sepenuhnya pada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan
tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum, dan Kesusilaan.
Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, maka perjanjian sewa beli dapat
dibuat secara lisan maupun tulisan. Namun agar para pihak yang terlibat
dalam perjanjian sewa beli itu merasa aman dari penyelewengan atau
penipuan, maka perjanjian sewa beli harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, baik itu dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan.
2. Isi perjanjian sewa beli
Isi perjanjian sewa beli sepeda motor yang dituangkan dalam bentuk
tulisan baik dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan pada
umumnya berisi tentang:
a. Tanggal mulai berlakunya perjanjian sewa beli.
b. Jumlah angsuran dan berapa kali angsuran tersebut harus dibayaroleh
pembeli sewa.
c. Jangka waktu untuk tiap-tiap angsuran.
d. Penjelasan mengenai ciri dan jenis barang serta keadaan barang.
e. Harga barang apabila dibeli secara tunai.
f. Cara pembayaran angsuran tidak dengan tunai.
h. Hal-hal yang dianggap perlu seperti : angsuran, bunga, pajak, asuransi,
dan lain sebaginya.36
E. Resiko dalam Sewa Beli
Pada perjanjian-perjanjian tertentu, mengenai resiko telah ada
pengaturannya, seperti yag telah dijelaskan dalam uraian diatas misalnya: pada
perjanjian resiko ada pada pihak pembeli (pasal 1460 KUHPerdata), sedangkan
pada perjanjian sewa menyewa resiko ditentukan pada pihak penjual (pasal 1553
KUHPerdata).
Kedua perjanjian resiko tersebut sebenarnya adalah merupakan unsur dari
perjanjian sewa beli. Tetapi perjanjian sewa beli bukanlah perjanjian jual beli atau
penjanjian sewa menyewa, tetapi merupakan perjanjian jenis baru. Oleh karena itu
mengenai siapa yang menjadi penanggung resiko apabila terjadi suatu overmacht
tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian sewa beli sampai saat
sekarang belum ada Undang-Undang khusus yang mengaturnya. Sewa beli hanya
didasari oleh SK Menteri No. 34 / KP / II / 1980. Dimana dalam SK Menteri ini,
sewa beli belum diuraikan secra lengkap dan rinci, Termasuk di dalam isinya
belum memuat tentang kapan berakhirnya suatu perjanjian sewa beli. Berakhirnya
perjanjian sewa beli ini, para pihak boleh sesuai dengan kesepakatan para pihak
36
sehingga sudah barang tentu disini terdapat kemungkinan cara untuk
mengakhirinya. Adapun kemungkinankemungkinan yang dapat dijadikan cara
untuk mengakhiri suatu perjanjian tersebut:
1. apabila angsuran sudah dibayar lunas oleh pihak penyewa
2. apabila salah satu pihak meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya yang
meneruskan, atau mungkin ada ahli warisnya yang namun tidak mau
meneruskan
3. apabila terjadi perampasan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa
beli oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lawannya
4. apabila setelah adanya putusan dari pengadilan yang bersifat tetap37
Dari uraian di atas yang paling umum terjadi dalam hal peralihan hak
secara penuh dalam sewa beli sepeda motor terjadi jika si pembeli sewa telah
membayar angsuran sepeda motor guna melunasi harga barang yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
37
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan
Dengan melihat cara perbuatan dilakukan, maka dapat dibagi kejahatan
penggelapan dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Penggelapan dalam bentuk pokok
Kejahatan penggelapan ini diatur dalam pasal 372 KUHP sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya. Benda yang menjadi objek kejahatan ini tidak
ditentukan jumlah atau harganya.
2. Penggelapan ringan (lichte verduistering)
Dikatakan penggelapan ringan, bila objek dari kejahatan bukan dari hewan
ternak atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp. 250, tentunya harga ini tidak
sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian, dalam praktek
disesuaikan dengan kondisi sekarang dan tergantung dari pertimbangan hakim.
Kejahatan ini diatur dalam pasal 373 KUHP dengan ancaman hukuman
selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.
Pasal 373 KUHP menentukan bahwa:
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, jika yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari Rp. 250,-, dihukum, karena penggelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-.
Rumusan penggelapan ringan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai
a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP),
b. Unsur-unsur khusus, yakni:
5. Objeknya; benda bukan ternak
6. Nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,-
Penggelapan ini menjadi ringan, terletak dari objeknya bukan ternak dan
nilainya tidak lebih dari Rp. 250,-. Dengan demikian, maka terhadap ternak tidak
mungkin terjadi penggelapan ringan.
3. Penggelapan dengan pemberatan (gequalificeerde verduistering) Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat, yaitu
selama-lamanya 5 tahun. Unsur pokok yang berakibat adanya pemberatan adalah karena
hubungan pekerjaan, jabatan atau menerima upah.
Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa:
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya, atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:38
a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP)
b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam
kekuasaan pelaku disebabkan oleh:
1. Karena adanya hubungan kerja
38
Hubungan kerja pribadi adalah hubungan kerja yang bukan
hubungan kepegawaian negeri (ambt), akan tetapi hubungan
pekerjaan antara seorang buruh dengan majikannya, atau seorang
karyawan/ pelayan dengan majikannya.39
2. Karena mata pencaharian
Hoge Raad dalam Arrestnya (16-2-1941) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang terjadi
karena suatu perjanjian kerja, misalnya pengurus dari suatu
Perseroan Terbatas.
Adalah suatu mata pencaharian atau jabatan tertentu, dimana
seseorang itu melakukan pekerjaan secara terbatas dan tertentu.
Pelaksanaan pekerjaan atau tugas yang terbatas dan tertentu ini
adalah merupakan ciri dari suatu mata pencaharian. Seorang kasir
atau bendahawaran adalah merupakan pekerjaan yang tertentu dan
terbatas, ialah sebagai pemegang dan pengurus keuangan dari suatu
perusahaan atau jawatan. Ia tidak berfungsi dan bertugas lain di luar
tugas atau pekerjaan yang tidak menyangkut keuangan. Hubungan
antara dia dengan uang yang diurus dan menjadi tangung jawabnya
adalah berupa hubungan menguasai/ kekuasaan, yang timbul dari
adanya jabatannya sebagai kasir atau bendaharawan. Apabila
menyalahgunakan uang yang menjadi tanggung jawab dan berada
dalam pengurusan itu, misalnya dibelikan sepeda untuk
39