• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG

MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN

KARENA KREDIT MACET

(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 060200104

SITI MAIMANA SARI KETAREN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG

MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN

KARENA KREDIT MACET

(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH:

NIM: 060200104

SITI MAIMANA SARI KETAREN

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 196107021989031001 Abul Khair, SH, M. Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum

NIP: 195102061980021001 NIP: 194808011980031003 Muhammad Nuh, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan

kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah

memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,

yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis

panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan

dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang

disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa

Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn).

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak

mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan,

serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis

mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di

(4)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan

dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum sebagai Dosen

Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama

ini kepada penulis.

9. Bapak M. Nuh, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih

atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan

(5)

10. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

11. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

12. Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,

perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut

ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

13. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian

yang sangat besar yang selalu mendukungku. Terima kasih kepada seluruh

keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis

selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

14. Kepada teman-temanku, khusunya stambuk 2006 Fakultas Hukum USU

yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

15. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi

ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 01 Maret 2010

(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI ... 23

A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia ... 23

B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya ... 24

C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli ... 34

D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli... 35

E. Resiko dalam Sewa Beli ... 37

F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli ... 37

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ... 39

A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ... 39

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan ... 46

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR

(7)

ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA

PENYITAAN ... 55

A. Kasus ... 55

B. Aspek Pidana Penggelapan dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli dalam Hal Terjadinya Penyitaan Benda Sewa Beli oleh Kreditur... 61

C. Analisa Kasus ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran ... 69

(8)

ABSTRAKSI

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(9)

ABSTRAKSI

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada

masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial budaya,

teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesehatan seluruh masyarakat,

maka dilakuan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan

kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja

tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah

satu pilar kekuatan.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di

semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam

pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak

langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak

swasta yang mengalami perkembangan adalah di bidang perdagangan otomotif

(sepeda motor).

Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatan perdagangan sepeda motor,

yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang

yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan

perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen

melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk

memasarkan sepeda motor, sementara konsumen membutuhkan sepeda motor

(11)

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor

adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau

sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya

tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai

akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang

pembelian sepeda motor yang dibeli sewa.

Sewa beli merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa

menyewa yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul

dari praktek karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan memiliki

barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu Subekti1 dan Sri Gambir

Hatta2

1

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 51.

2

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.

mengatakan bahwa niat utama dalam sewa beli adalah untuk memperoleh

hak milik barang dan bukan sekedar memberikan hak memanfaatkan barang.

Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya sudah

diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru berpindah setelah

seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam masa angsuran, hak kepemilikan

atas benda tersebut masih tetap pada penjual, sedangkan pembayarannya selama

masa angsuran dianggap sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah

dilunasinya seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, dimana

dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angusran belum dilunasi, akan

(12)

Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang tidak

diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan debitur

(pembeli). Sri Gambir3

1. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannya dianggap batal

serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.

dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika

pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:

2. Penjuaal berhak mengenakan denda;

3. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa

angsuran dan denda;

4. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas

barang;

5. Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya pasal

1266 dan 1267);

6. Perjanjian bernilai eksekutorial.

Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya

larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas

memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang

lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan

lain-lain.4

Sering terjadi dalam kenyataan, bahwa debitur yang tidak mampu untuk

memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli yang telah dibuat dengan

pihak kreditur, salah satunya adalah tidak mampunya debitur untuk melakukan

3

Ibid, hal. 170-189.

4

(13)

pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana

ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama,

sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah

diletakkan perjanjian sewa beli tersebut.

Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi

dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi

atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati

bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda

tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah

melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang

diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang

melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi

objek sewa beli?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli

secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal

terjadinya penyitaan oleh kreditur?

(14)

a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang

menjadi objek sewa beli

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam

perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda

motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum

pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban

pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang

menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya

penyitaan karena kredit macet.

2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga

kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi

Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor

secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal

terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam

berbagai Undang-undang.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan

(15)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara

kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya

penyitaan karena kredit macet.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor

Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya

Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor

2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh

penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini

merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga

penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila

ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet

a. Pengertian Kredit

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

(16)

kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.5

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan

perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan

nasabah sebagai debitur/penerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi

kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya

akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan

penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut

undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit

disebut sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang

nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992

tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang

mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

5

(17)

hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan

penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat

pula berjalan beberapa tahun.6

b. Pengertian Kredit Macet

Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup

membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah

diperjanjikan.

2. Pengertian Sewa Beli

Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di

Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli,

setidak-tidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun

ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa.7

Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25

memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut :

“Hire Puchase (Huur Koop): ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah dibayar lunas”.

Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 / KP/ II /

1980 adalah sebagai berikut:

6

Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal.10.

7

(18)

oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.8

3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-“.9

Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan

tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat

apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu

peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan

memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau

tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat

yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji

dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan

kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan:

8

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

9

(19)

maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat.10

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 372

KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda

seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan

demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu

benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan

sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum,

hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda

miliknya.11

Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu

hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya

ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat

melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih

dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak

mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.12

Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi

sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur

kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal

372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan

10

R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal. 241.

11

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal. 72.

12

(20)

seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:

a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,

b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian,

c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan

dengan jalan suatu kejahatan,

d. memiliki benda itu harus tanpa hak.

4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara,

mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang

yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena

pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum

merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik

dalam konsep maupun implementasinya.

Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya

pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam

hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang

justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru

merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak

dipertanggungjawabkan.13

13

(21)

Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat

menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk

sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan

di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan

(general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general

excusing of liability)

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan

penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan

sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.

Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang

bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat

membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak

pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa

dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan

dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang

karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban

membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang

termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan

pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari

dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya

mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.14

14

(22)

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari

ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal

yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian

pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya

pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya

kesalahan.

Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama

berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,

dipertanggung-jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian,

konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan

untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara

itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht),

proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya

dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga

kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat

dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga

sah jika dijatuhi pidana.15

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya

berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat

diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas

tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti

rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana

15

(23)

pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan

tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti

menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi

yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.

Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai

syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek

preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal

consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan

konsekuensi hukum atas adanya hal itu.16

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang

mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama

berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek

tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus

mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.

Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan

yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki

masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih

jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus

dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus

kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan

pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan

16

(24)

adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan

tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri

terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar

hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam

proses pemeriksaan perkara di pengadilan.17

Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai

perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus

mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat

dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan

pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan

mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam

hukum formalnya (KUHAP).

Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan

terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal

tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang

dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat

dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru

bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang

lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur

tindak pidana.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.

(25)

logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat

dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti

Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak

baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya

pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak

dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan

tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.19

19

Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.

Sebaliknya, sekali

perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang

perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral

dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan

tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya

lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat

sebagai celaan dari segi moral.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap

(26)

Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam

bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa

masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau

setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat

karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang

terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan

celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya.

Mempertanggungjawab-kan seseorang dalam hukum pidana adalah menerusMempertanggungjawab-kan celaan secara objektif ada

pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.20

Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang

perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen

sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang

ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa

pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya.

Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.21

Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan

ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan

sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan

timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi

berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan

tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan

20

Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.

21

(27)

(kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi

juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya

menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.

F. Metode Penelitian

Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini

penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung

penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi

kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan

metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga

sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif ini

sepenuhnya menggunakan data sekunder.22

22

(28)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.23

a. Bahan Hukum Primer

Data sekunder diperoleh dari :

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Keputusan

Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan

Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, dan peraturan

perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang

berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda

motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal

terjadinya penyitaan karena kredit macet, hasil penelitian, pendapat pakar hukum

serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

23

(29)

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dll.

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik

koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan

objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

berikut:

a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya

yang relevan dengan objek penelitian.

b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media

cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

(30)

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif

dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan

topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum perjanjian sewa

beli, yang isinya antara lain memuat pengaturan sewa beli di

Indonesia, perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian

lainnya, para pihak dalam perjanjian sewa beli, bentuk dan isi

perjanjian sewa beli, resiko dalam sewa beli, dan berakhirnya

perjanjian sewa beli.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap tindak

pidana penggelapan, yang memuat tentang jenis-jenis tindak pidana

penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan.

BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana debitur

(31)

motor dalam hal terjadinya penyitaan, yang isinya memuat antara

lain tentang deskripsi kasus, aspek pidana penggelapan dalam

pelaksanaan perjanjian sewa beli dalam hal terjadinya penyitaan

benda sewa beli oleh kreditur, dan analisa kasus.

BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang

berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang

(32)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI

A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia

Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul

dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis baru, sewa beli di Indonesia

belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

hukum diatas dan juga surat keputusan Menteri Perdagangan dan Kopersi tidak

ada keseragaman. Namun kalau diperhatikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perjanjian sewa beli lebih cenderung mengarah atau menjurus pada bentuk

perjanjian jual beli, dari pada sewa menyewa. Karena dalam perjanjian sewa beli,

peralihan hak milik adalah yang menjadi pokok utamanya. Jadi tujuan sewa beli

adalah untuk menjual barang, bukan untuk menyewakan atau menjadi penyewa

barang.

Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual

beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli

barang sekaligus atau lunas, maka diadakn suatu perjanjan dimana pembeli

diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik

baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran

dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih

menjadi penyewa.

Sebagai penyewa, maka ia hanya berhak atas pemakaian atau mengambil

manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk

(33)

hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana

karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain.

Sewa beli tidak ada diatur di dalam undang-undang tersendiri, akan tetapi

baru diatur dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi no. 34 / KP / II / 1980.

Namun dalam SK Menteri tersebut belum dijelaskan mengenai hak-hak dan

kewajiban para pihak dalam sewa beli. Disitu hanya dijelaskan tentang perjanjian

kegiatan usaha sewa beli, jual beli dengan angsuran, dan sewa.

Mengenai objek perjanjian sewa beli telah ditentukan secara jelas dalam

pasal 2 ayat (1) SK Menteri tersebut, yaitu semua barang niaga tahan lama yang

baru dan tidak mengalami perubahan tekhnis, baik berasal dari produksi sendiri

ataupun hasil perakitan (assembling) atau hasil produksi lainnya didalam negeri.

Namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai wujudnya apakah

barang bergerak atau tetap. Dalam perjanjian sewa beli yang bertindak sebagai

subyek adalah penjual sewa. Mengenai pihak yang dapat menjadi pembeli sewa,

ini bisa perseorangan atau badan hukum. Penjual sewa ataupun pembeli sewa ini

umumnya sering dengan istilah “para pihak”.

B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya

Untuk melihat perbedaan yang nyata antara sewa beli dengan perjanjian

lainnya, maka berikut akan dideskripsikan beberapa bentuk perjanjian yang ada,

yakni:

1. Sewa Beli

Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil,

(34)

Meskipun barang telah diserahkan kepada pembeli, tetapi hak

kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama

masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi.

Kepemilikan atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat

angsuran terakhir telah dibayar.

Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka ia

tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang

dipersyaratkaan menjadi pemilik barang, seperti menggandaikan,

menghipotikkan dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan, maka pembeli telah

melakukan tidak pidana penggelapan.

Sri Gambir Melati Hatta24

Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual

beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat menyebut sewa beli dengan “beli sewa” dengan

alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan sekedar

penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri

Gambir lebih menekankan kepada pembeliannya bukan kepada sewanya

meskipun pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh

Sri Gambir di atas, namun perlu diberikan perbandingan dengan jenis

perjanjian yang disebut “koop en verkoop op afbetaling” atau yang lebih

populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam

perjanjian jual beli angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah

berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil.

24

(35)

hukumnya sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian

sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya

belum berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi

seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah

berpindah sejak penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya,

penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum

membayar seluruh harga barang karena pembayarannya dilakukan secara

angsuran.

Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat

hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik

barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual,

menggadaikan, menyewakan dan lain-lain, sedangkan dalam sewa beli

karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh

bertindak hukum atas barang tersebut.

2. Jual beli

Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam

KUHPerdata di atur dalam pasal 1457– 1546, yaitu suatu perjanjian di

mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas

sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan

membayar sejumlah uang sebagai harganya.25

25

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa. 1979, hal.135.

Perjanjian jual beli telah

dianggap ada apabila kedua belah pihak telah sepakat tentang barang dan

(36)

Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin

bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan

bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban

pembeli adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati.

Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada waktu

ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat

itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam

praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas

negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut.

Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat

memperjanjikan sendiri tentang cara-cara melakukan pembayaran maupun

cara penyerahannya. Mereka bebas menentukan sendiri sesuai yang

diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya

berlaku apabila para pihak tidak menentukan lain.

Yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang.

Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual

tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan

(pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata).

Khusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh atas

dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo.

pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak

milik pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka

(37)

3. Pinjam Meminjam

Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam

meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis

pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam

dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis

pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Subekti26

Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran

bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada yang

dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan digunakan sebutan

pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai.

Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan

pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang

yang tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi

milik pemberi pinjaman (1741 BW) dan setelah habis masa pinjaman si

peminjam harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh

karena itu selama masa peminjaman, penerima pinjaman harus

memelihara barang sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang

dikenal dengan sebutan “seorang bapak rumah yang baik”.

Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis

pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman,

sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan

jumlah dan kualitas yang sama.

26

(38)

KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya

haram.

4. Sewa Menyewa

Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu

tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga

yang ditetapkan untuk pemakaian pada waktu yang ditentukan.27

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah meyerahkan barang,

memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan

dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari barang yang disewakan

selama berlangsungnya persewaan. Adapun kewajiban penyewa adalah

memakai barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa,

menanggung resiko karena kesalahan atau kelalaiannya dan

mengembalikan barang sewaan.

Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan,

melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi barang itu

tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini

disebut pinjam pakai.

28

Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan

hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh menjual, atau

menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain

pun tidak dibolehkan.

27

Subekti, Pokok-pokok………., Op cit, hal. 137.

28

(39)

5. Leasing

Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan

dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh

lessee (penyewa) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa.

Subekti29

Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan

antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang diserahkan

lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease

barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu

dalam operating lease pemeliharaannya menjadi tanggung jawab lessor

sedangkan dalam financial lease pemeliharaan dan asuransinya pada

umumnya menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan

financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk menyatakan bahwa leasing pada dasarnya merupakan perjanjian

sewa menyewa di mana lessor (pemberi sewa) menyerahkan barang untuk

dimafaatkan oleh lessee, sehingga karenanya leasing disebut juga

perjanjian sewa guna usaha atau sewa pakai.

Sobjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan

perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau

mesin-mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain

seperti rumah, mobil dan lain-lain.

29

(40)

membeli setelah berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau

dengan kondisi yang ringan.30

Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka

selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor. Lessse

semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut

istilah Subekti31

Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak

milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di

tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah

berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir.

Namun dalam dunia bisnis saat sekarang telah terjadi pergeseran

pengertian leasing dimana perolehan barang seperti mobil atau motor yang

didasarkan atas perjanjian sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing

seperti ini oleh Kurnia

sebagai “pemilik ekonomis” karena mendapatkan manfaat

dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor.

32

Lebih lanjut Kurnia

dimasukkan dalam financial lease.

33

Kurnia, Hukum Seputar Leasing (http://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukum-leasing/). Diakses pada tanggal 25 Februari 2009.

33

Ibid

mengemukakan bahwa financial lease dalam praktik

saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang

berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa

akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut

(41)

sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa

dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa.

Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas alasan

hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan

alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua

proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya

leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli.

Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor

pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun

perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai

berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang

tidak diinginkan.

Sri Gambir34

a. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap

batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.

dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika

pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:

b. Penjual berhak menarik gaji/upah pembeli.

c. Penjual berhak mengenakan denda.

d. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa

angsuran dan denda.

Selain klausul-klausul di atas Sri Gambir juga menemukan klausul-klausul

yang sangat merugikan pembeli, misalnya:

34

(42)

a. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas

barang.

b. Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim.

c. Perjanjian bernilai eksekutorial.

Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya

larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas

memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita

barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat

ditemukan, dan lain-lain.

Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti

ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk sewa

beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan

barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi

kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk

jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul

seperti itu.

Mahkamah Agung35

35

Ibid, hal. 207.

dalam beberapa putusannya antara lain: putusan

Nomor 1243K/Pdt/1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor

935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh

karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan

(43)

bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli

agsuran.

Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka

dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang

diperoleh berdasarkan leasing ataupun sewa beli, sedangkan STNK dan

BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta

bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah

uang angsuran yang telah dibayarkan.

C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli

Pihak-pihak dalam perjanjian sewa beli adalah pihak penjual dan pihak

penyewa. Masing-masing penjual dan penyewa memiliki hak dan kewajiban satu

sama lain. Hak dan kewajiban sewa beli hampir sama dengan hak dan kewajiban

dalam jual beli, yaitu mempunyai tujuan mengalihkan hak milik atas suatu barang.

Hanya saja ada perbedaan mengenai cara pembayaran serta perolehan miliknya.

Jika dilihat dari perjanjiannya maka kewajiban penjual sewa adalah sebagai

berikut:

1. Menyerahkan barang atau benda (tanpa hak milik) kepada pembeli sewa.

2. Menyerahkan hak milik secara penuh kepada pembeli sewa, setelah obyek

tersebut dilunasi

Kewajiban yang pertama tersebut dilakukan oleh penjual sewa pada saat

ditutupnya perjanjian sewa beli antara penjual sewa dan pembeli sewa. Yang

(44)

atas barang. Penyerahan ini dimaksudkan agar barang yang menjadi obyek sewa

beli tersebut dapat digunakan atau diambil manfaatnya oleh pembeli sewa.

Kewajiban yang kedua untuk menyerahkan hak milik dari suatu barang itu

kepada pembeli sewa secara sepenuhnya yang dimaksud adalah bahwa penjual

sewa setelah menyerahkan hak tersebut, bebas berbuat apa saja atas barang

miliknya. Penyerahan ini dilakukan setelah pembeli sewa melunasi

angsuran-angsuran yang menjadi harga barang tersebut.

Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual

beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli

barang sekaligus atau lunas, maka diadakan suatu perjanjan dimana pembeli

diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik

baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran

dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih

menjadi penyewa.

Sebagai penyewa, hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat

atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau

memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika hal tersebut

dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena

dianggap menggelapkan barang milik orang lain.

D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli 1. Bentuk perjanjian sewa beli

Bentuk perjanjian sewa beli Sesuai dengan sistem terbuka yang dianut

(45)

(pasal 1338 ayat 1) maka pihak dalam membuat perjanjian sewa beli, para

pihak diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi

perjanjiannya. Hukum perjanjian memberikan kebebasan sepenuhnya pada

masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan

tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum, dan Kesusilaan.

Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, maka perjanjian sewa beli dapat

dibuat secara lisan maupun tulisan. Namun agar para pihak yang terlibat

dalam perjanjian sewa beli itu merasa aman dari penyelewengan atau

penipuan, maka perjanjian sewa beli harus dituangkan dalam bentuk

tertulis, baik itu dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan.

2. Isi perjanjian sewa beli

Isi perjanjian sewa beli sepeda motor yang dituangkan dalam bentuk

tulisan baik dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan pada

umumnya berisi tentang:

a. Tanggal mulai berlakunya perjanjian sewa beli.

b. Jumlah angsuran dan berapa kali angsuran tersebut harus dibayaroleh

pembeli sewa.

c. Jangka waktu untuk tiap-tiap angsuran.

d. Penjelasan mengenai ciri dan jenis barang serta keadaan barang.

e. Harga barang apabila dibeli secara tunai.

f. Cara pembayaran angsuran tidak dengan tunai.

(46)

h. Hal-hal yang dianggap perlu seperti : angsuran, bunga, pajak, asuransi,

dan lain sebaginya.36

E. Resiko dalam Sewa Beli

Pada perjanjian-perjanjian tertentu, mengenai resiko telah ada

pengaturannya, seperti yag telah dijelaskan dalam uraian diatas misalnya: pada

perjanjian resiko ada pada pihak pembeli (pasal 1460 KUHPerdata), sedangkan

pada perjanjian sewa menyewa resiko ditentukan pada pihak penjual (pasal 1553

KUHPerdata).

Kedua perjanjian resiko tersebut sebenarnya adalah merupakan unsur dari

perjanjian sewa beli. Tetapi perjanjian sewa beli bukanlah perjanjian jual beli atau

penjanjian sewa menyewa, tetapi merupakan perjanjian jenis baru. Oleh karena itu

mengenai siapa yang menjadi penanggung resiko apabila terjadi suatu overmacht

tidak ada ketentuan yang mengaturnya.

F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian sewa beli sampai saat

sekarang belum ada Undang-Undang khusus yang mengaturnya. Sewa beli hanya

didasari oleh SK Menteri No. 34 / KP / II / 1980. Dimana dalam SK Menteri ini,

sewa beli belum diuraikan secra lengkap dan rinci, Termasuk di dalam isinya

belum memuat tentang kapan berakhirnya suatu perjanjian sewa beli. Berakhirnya

perjanjian sewa beli ini, para pihak boleh sesuai dengan kesepakatan para pihak

36

(47)

sehingga sudah barang tentu disini terdapat kemungkinan cara untuk

mengakhirinya. Adapun kemungkinankemungkinan yang dapat dijadikan cara

untuk mengakhiri suatu perjanjian tersebut:

1. apabila angsuran sudah dibayar lunas oleh pihak penyewa

2. apabila salah satu pihak meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya yang

meneruskan, atau mungkin ada ahli warisnya yang namun tidak mau

meneruskan

3. apabila terjadi perampasan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa

beli oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lawannya

4. apabila setelah adanya putusan dari pengadilan yang bersifat tetap37

Dari uraian di atas yang paling umum terjadi dalam hal peralihan hak

secara penuh dalam sewa beli sepeda motor terjadi jika si pembeli sewa telah

membayar angsuran sepeda motor guna melunasi harga barang yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak.

37

(48)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan

Dengan melihat cara perbuatan dilakukan, maka dapat dibagi kejahatan

penggelapan dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Penggelapan dalam bentuk pokok

Kejahatan penggelapan ini diatur dalam pasal 372 KUHP sebagaimana

telah diterangkan sebelumnya. Benda yang menjadi objek kejahatan ini tidak

ditentukan jumlah atau harganya.

2. Penggelapan ringan (lichte verduistering)

Dikatakan penggelapan ringan, bila objek dari kejahatan bukan dari hewan

ternak atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp. 250, tentunya harga ini tidak

sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian, dalam praktek

disesuaikan dengan kondisi sekarang dan tergantung dari pertimbangan hakim.

Kejahatan ini diatur dalam pasal 373 KUHP dengan ancaman hukuman

selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.

Pasal 373 KUHP menentukan bahwa:

Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, jika yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari Rp. 250,-, dihukum, karena penggelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-.

Rumusan penggelapan ringan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai

(49)

a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP),

b. Unsur-unsur khusus, yakni:

5. Objeknya; benda bukan ternak

6. Nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,-

Penggelapan ini menjadi ringan, terletak dari objeknya bukan ternak dan

nilainya tidak lebih dari Rp. 250,-. Dengan demikian, maka terhadap ternak tidak

mungkin terjadi penggelapan ringan.

3. Penggelapan dengan pemberatan (gequalificeerde verduistering) Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat, yaitu

selama-lamanya 5 tahun. Unsur pokok yang berakibat adanya pemberatan adalah karena

hubungan pekerjaan, jabatan atau menerima upah.

Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya, atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai

berikut:38

a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP)

b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam

kekuasaan pelaku disebabkan oleh:

1. Karena adanya hubungan kerja

38

(50)

Hubungan kerja pribadi adalah hubungan kerja yang bukan

hubungan kepegawaian negeri (ambt), akan tetapi hubungan

pekerjaan antara seorang buruh dengan majikannya, atau seorang

karyawan/ pelayan dengan majikannya.39

2. Karena mata pencaharian

Hoge Raad dalam Arrestnya (16-2-1941) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang terjadi

karena suatu perjanjian kerja, misalnya pengurus dari suatu

Perseroan Terbatas.

Adalah suatu mata pencaharian atau jabatan tertentu, dimana

seseorang itu melakukan pekerjaan secara terbatas dan tertentu.

Pelaksanaan pekerjaan atau tugas yang terbatas dan tertentu ini

adalah merupakan ciri dari suatu mata pencaharian. Seorang kasir

atau bendahawaran adalah merupakan pekerjaan yang tertentu dan

terbatas, ialah sebagai pemegang dan pengurus keuangan dari suatu

perusahaan atau jawatan. Ia tidak berfungsi dan bertugas lain di luar

tugas atau pekerjaan yang tidak menyangkut keuangan. Hubungan

antara dia dengan uang yang diurus dan menjadi tangung jawabnya

adalah berupa hubungan menguasai/ kekuasaan, yang timbul dari

adanya jabatannya sebagai kasir atau bendaharawan. Apabila

menyalahgunakan uang yang menjadi tanggung jawab dan berada

dalam pengurusan itu, misalnya dibelikan sepeda untuk

39

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses pelelangan di TPI Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan pihak antara penjual (nelayan) dan pembeli (bakul) sama-sama hadir dalam satu majelis/tempat

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

09.00 Richard datang ke ruang resital FSP UKSW untuk briefing dengan. seksi acara dan kedua pembawa acara, juga sambil

Puff Bedak X-pert,Cat Rambut Top Lady,Bulu Mata,Lem Bulu Mata Eye Putty,Foundation Wardah, Face Powder Wardah,Scot X-pert,Bedak Inez,Pensil Alis Viva, Foundation Latulipe 391

Dalam hal tersebut, Kelompok Usaha mempertimbangkan, berdasarkan fakta dan situasi yang tersedia, termasuk namun tidak terbatas pada, jangka waktu hubungan dengan

Guided by problems that made this study to search for solutions VRP with 3 variations of genetic algorithms, namely standard genetic algorithm, modified genetic

Penelitian ini dilatarbelakangi minimnya kemampuan siswa dalam menginterpretasi teks ulasan film. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:1)Bagaimanakah

Suatu simbol yang digunakan dalam terminasi yang mewakili simbol-simbol tertentu untuk digunakan pada aliran lain pada halaman yang lain.. 2.2.5 Kamus Data