• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq ) Terhadap Artropoda Dan Hama Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq ) Terhadap Artropoda Dan Hama Tikus"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONDISI HABITAT

KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensisJACQ.)

TERHADAP

ARTROPODA DAN HAMA TIKUS

RENO ARMANDO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Reno Armando

(4)
(5)

RINGKASAN

RENO ARMANDO. Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis guineensis

Jacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA dan SWASTIKO PRIYAMBODO.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan penting di Indonesia. Salah satu hambatan dalam pengembangan budidaya kelapa sawit adalah kehilangan hasil karena serangan hama. Salah satu kelompok hama yang sering dilaporkan menyerang kelapa sawit yaitu kelompok serangga hama. Pengendalian hayati untuk serangga hama yaitu pengendalian dengan melibatkan musuh alami untuk menekan jumlah populasinya di lapangan. Dengan demikian, perlu mengusahakan agar musuh alami serangga hama dapat bertahan hidup dan berkembang biak di habitat penanaman (konservasi). Kontroversi dari konservasi adalah terciptanya kondisi vegetasi yang beragam (rimbun) yang dapat menyebabkan masalah lain, yaitu meningkatnya populasi hama tikus.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan mengevaluasi pengaruh kondisi habitat pertanaman kelapa sawit yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi dan persentase serangan tikus. Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit (Cikasungka) dengan tiga kondisi habitat pertanaman yang berbeda, yaitu habitat yang relatif bersih, habitat dengan vegetasi alami, dan habitat dengan kacangan penutup tanah. Ketiga lokasi ini digunakan untuk mendapatkan sampel artropoda dan tikus, serta pengamatan buah terserang tikus. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel artropoda adalah pengamatan langsung pada tanaman, pemasangan lubang perangkap, dan penjaringan menggunakan jaring ayun. Pengambilan sampel tikus dilakukan dengan cara memasang perangkap massal menggunakan umpan. Tanaman sampel ditentukan untuk pengamatan buah terserang tikus, serta pengambilan sampel artropoda pada tajuk. Sampel artropoda dan tikus diidentifikasi di laboratorium, sehingga diketahui keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi tikus. Intensitas serangan tikus diketahui menggunakan kategori kerusakan, sedangkan luas serangan tikus diketahui dengan menghitung jumlah tanaman sampel terserang dibagi jumlah tanaman sampel seluruhnya.

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi habitat pertanaman kelapa sawit yang berbeda berpengaruh terhadap keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi dan persentase serangan tikus. Habitat pertanaman dengan kacangan penutup tanah merupakan habitat dengan kelimpahan artropoda predator dan parasitoid (musuh alami serangga hama) tertinggi sekaligus persentase serangan tikus (intensitas dan luas serangan) terendah. Sebaliknya, habitat pertanaman yang relatif bersih merupakan habitat dengan persentase serangan tikus tertinggi dibandingkan habitat yang lain. Disamping itu, pada habitat yang relatif bersih dari segi kelimpahan musuh alami serangga hama merupakan paling rendah dibandingkan habitat yang lain. Habitat pertanaman dengan vegetasi alami dari segi kelimpahan musuh alami serangga hama dan persentase serangan tikus berada pada posisi di antara habitat yang relatif bersih dan habitat dengan kacangan penutup tanah.

(6)

SUMMARY

RENO ARMANDO. The Impact of Habitat Condition of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) against Arthropods and Rodent. Supervised by DADAN HINDAYANA and SWASTIKO PRIYAMBODO.

Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) is an important crop plantation in Indonesia. One obstacle in developing oil palm cultivation is loss due to pests. One group of pest that frequently reported in attacking oil palm is an insect. Biological control involved natural enemies to suppress the number of insect pest population in the field. Thus, it is necessary to manage the natural enemies of insect pests in order to survive and breed in habitat planting (conservation). Conservation causes another problem, create diverse vegetation conditions (bush), which can increase rodent population.

This research was aimed to prove and evaluate the influence of different habitats in oil palm plantation on the diversity and abundance of arthropods, and to find out population and percentage of rodent attack. The research was conducted in Cikasungka oil palm plantation with three different habitat, in example clean habitat, natural vegetation habitat, and legume cover crop (LCC) habitat. These habitats have been used to obtain samples of arthropods and rodents, as well as the data of oil palm fruit attacked by rodents. The methods used in the arthropods sampling were observing plant, installing pitfalls, and using nets. Rodents sampling was determined by using mass trap with a bait. Plant sampling was determined in order to observe oil palm fruit attacked by rodents, and arthropods samples in the canopy. Samples obtained in this research were identified in the laboratory, in order to obtain diversity and abundance of arthropods as well as population of rodents. Intensity of rodent attack was obtained by using categories of damage, while coverage of rodent attacks by calculating the number of infected plant sample divided by the number of entire samples.

Based on this research, different oil palm habitats affect diversity and abundance of arthropods, as well as the population and the percentage of rodent attacks. LCC habitat has the highest abundance of natural enemies of insect pests (predators and parasitoids), as well as the lowest percentage of rodent attack (intensity and damage). In contrast, clean habitat has the highest percentage of rodent attack, as well as the lowest abundance of natural enemies of insect pests. Natural vegetation habitat was in between clean and LCC habitat, in terms of the abundance of natural enemies of insect pests and rodents attack.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

PENGARUH KONDISI HABITAT

KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensisJACQ.)

TERHADAP

ARTROPODA DAN HAMA TIKUS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Penelitian : Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus

Nama Mahasiswa : Reno Armando NRP : A351130101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Dadan Hindayana Ketua

Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dr Ir Pudjianto, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 sampai April 2015 ini ialah pengelolaan habitat, dengan judul Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dadan Hindayana dan Bapak Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku pembimbing. Kepada Bapak Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc, Dr Ir Pudjianto, MSi, dan Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi yang telah memberi saran penulis ucapkan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bak, Mak, adik-adik saya, serta seluruh keluarga, dan teman-teman, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.) 4 Artropoda Penghuni Tanah 7

Hama Tikus 8

3 METODE 10

Tempat dan Waktu 10

Bahan dan Alat 10

Penentuan Lokasi 10

Pelaksanaan Penelitian 11

Analisis dan Penyajian Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Keadaan Umum Lokasi 16

Artropoda yang Ditemukan pada Kebun Contoh 17 Tikus yang Ditemukan pada Kebun Contoh 27 Intensitas dan Luas Serangan Tikus 29

5 SIMPULAN 31

6 DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

(16)

DAFTAR TABEL

1. Kategori kerusakan berdasarkan jumlah buah terserang per tandan 15 2. Mikroklimat di pertanaman kelapa sawit PTPN VIII Cikasungka, Bogor

(Oktober 2014 - April 2015) 16 3. Jumlah artropoda pada kebun contoh 18 4. Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh I 20

5. Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh II 21

6. Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh III 22

7. Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh I 23

8. Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh II 23

9. Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun

Contoh III 24

10. Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh I 25

11. Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh II 25

12. Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh III 25

13. Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh I 26

14. Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh II 26

15. Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di

Kebun Contoh III 26

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Penentuan titik sampel dan tanaman contoh. 11 2. Metode pengambilan sampel artropoda dengan pengamatan langsung

pada tanaman contoh 12

3. Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan lubang perangkap 12 4. Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan jaring ayun 13 5. Metode pengambilan sampel tikus menggunakan perangkap massal 14 6. Gejala serangan tikus pada buah kelapa sawit 15 7. Lokasi I blok 39 Cikasungka (habitat relatif bersih) 16 8. Lokasi II blok 54 Cikasungka (habitat dengan vegetasi alami) 17 9. Lokasi III blok 67 Cipatat (habitat menggunakan kacangan penutup

tanah) 17

10. Proporsi peran artropoda pada kebun contoh 18 11. Semut (Formicidae: Odontoponera) 19 12. Jangkrik (Gryllidae: Gryllus) 19 13. Laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae) 20 14. Proporsi jumlah artropoda berdasarkan metode pengambilan sampel 27 15. Jenis tikus yang ditemukan pada kebun contoh 28

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jumlah Artropoda tertangkap pada Kebun Contoh I (habitat relatif

bersih) 36

2. Jumlah Artropoda tertangkap pada Kebun Contoh II (habitat dengan

vegetasi alami) 38

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) didatangkan ke Indonesia pada tahun 1848 oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelapa sawit awalnya dibudidayakan di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias (Lubis 1992). Kemudian sejak akhir 1970-an, kelapa sawit dibudidayakan secara komersial (Semangun 2000). Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan penting di Indonesia sebagai penghasil minyak nabati, komoditas ekspor non-migas, dan beberapa produk turunan. Dengan demikian, industri kelapa sawit menjadi salah satu agroindustri andalan yang menghasilkan devisa bagi negara. Industri kelapa sawit juga berperan dalam menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri dan mampu mengurangi pengangguran di negara ini.

Pengembangan industri kelapa sawit hingga saat ini terus dilakukan. Salah satu hambatan dalam pengembangan budidaya kelapa sawit yaitu kehilangan hasil karena serangan hama. Setiap tanaman budidaya mempunyai satu atau beberapa hama utama, demikian juga kelapa sawit (Wagiman 2008). Serangga hama yang dilaporkan sering menyerang kelapa sawit seperti ulat api (Setora nitens, Darna trima, dan Ploneta diducta), ulat kantong (Metisa plana,Mahasena corbetti, dan

Crematosphisa pendula), dan belalang (Valanga nigricornis dan Gastrimargus marmoratus) (Satriawan 2011; Cendramadi 2011; Brahmana 2015). Serangan serangga hama pada kelapa sawit dapat dikendalikan dengan pengendalian hayati, yaitu pemanfaatan musuh alami untuk menekan populasi hama (Buchori 2014). Musuh alami serangga hama dalam hal ini dibatasi pada artropoda terutama kelompok serangga itu sendiri yang berperan sebagai predator dan parasitoid.

Konservasi merupakan salah satu bidang pengendalian hayati yang dapat dilakukan, yaitu memanipulasi lingkungan untuk meningkatkan kerja musuh alami. Dengan pengelolaan habitat pertanaman yang baik peran musuh alami dapat dimaksimalkan untuk mencegah timbulnya eksplosi hama (Wagiman 2008; Buchori 2014). Pengelolaan habitat pertanaman yang sering dilakukan oleh pihak perkebunan kelapa sawit seperti praktek budidaya bersih dan/atau budidaya menggunakan kacangan penutup tanah (legume cover crop).

Praktek budidaya bersih ditinjau dari segi konservasi justru tidak dikehendaki, karena iklim mikro tidak sesuai untuk musuh alami (van den Bosch & Telford 1973; Shelton & Edwards 1983; Rauf 1994). Musuh alami lebih memilih pertanaman yang memiliki tumbuhan liar dibandingkan yang bebas tumbuhan liar karena tumbuhan liar menyediakan iklim mikro yang sesuai (Horn 1981; Rodenhouse et al. 1992). Habitat yang ideal bagi musuh alami adalah vegetasi liar di sekitar atau dekat pertanaman. Vegetasi alami mempengaruhi keefektifan musuh alami karena menyediakan reservoir berupa mangsa atau inang alternatif, tempat berlindung dan sumber makanan. Vegetasi alami memungkinkan musuh alami dapat dipertahankan di agroekosistem (van Emden 1991).

(20)

2

M. bracteata digunakan karena melindungi permukaan tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah, mengurangi pencucian unsur hara, menambah dan mempertahankan kesuburan tanah baik kimiawi, fisik maupun biologis, serta dapat menghambat pertumbuhan gulma (Maskuddin 1988; Niang et al. 2002). Selain itu,M. bracteata menyediakan relung yang cenderung dapat meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami karena tingginya keanekaragaman serangga penghuni tajuk dan tanah (Russel 1989; Ryszkowskiet al. 1993; Thomas & Marshall 1999). Dengan demikian, penggunaan kacangan penutup tanah juga bermanfaat untuk konservasi musuh alami.

Manipulasi habitat merupakan bagian dari proses usaha tani yang dapat mempengaruhi keanekaragaman musuh alami dan kelimpahan atau kerapatan populasi hama (Altieri 1999). Praktek budidaya menggunakan kacangan penutup tanah atau habitat dengan vegetasi alami jika ditinjau dari segi konservasi musuh alami bisa jadi berpengaruh baik, akan tetapi muncul masalah lain sebagai konsekuensi dari diversifikasi habitat. Habitat yang beragam dapat meningkatkan musuh alami sehingga populasi serangga hama dapat ditekan, sebaliknya populasi hama tikus diduga meningkat. Menurut Priyambodo (2003), kacangan penutup tanah juga harus diperhatikan karena juga dapat dijadikan sarang atau minimal tempat bersembunyi sementara oleh tikus.

Tikus merupakan salah satu hama penting tanaman kelapa sawit. Kehadiran tikus pada pertanaman dapat diketahui dari gejala serangan yang ditimbulkannya. Gejala serangan tikus pada kelapa sawit yaitu kerusakan pada buah, sehingga pengamatan terhadap buah terserang merupakan langkah awal untuk mengetahui persentase serangan tikus. Masalah penting di lokasi penelitian yaitu belum ada informasi tentang jenis dan persentase serangan hama tikus, serta keragaman maupun kelimpahan artropoda di berbagai kondisi habitat pertanaman kelapa sawit. Dengan demikian, penelitian mengenai berbagai kondisi habitat kelapa sawit diperlukan sebagai informasi yang dapat mendukung untuk menerapkan pengelolaan habitat dalam upaya meningkatkan produksi kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan membuktikan dan mengevaluasi pengaruh kondisi habitat pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi dan persentase serangan hama tikus.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

masing-3

masing 100 m, dimana antar lorong berjarak 9,4 m. Ketiga lokasi ini digunakan untuk mendapatkan sampel artropoda dan tikus, serta pengamatan serangan tikus.

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.) Biologi dan Ekologi Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) merupakan tumbuhan monokotiledon (kelas Angiospermae), ordo Monocotyledonae, famili Arecaceae, dan termasuk ke dalam genusElaeis(Pahan 2006). Kelapa sawit berbentuk pohon, tingginya dapat mencapai 24 meter. Kelapa sawit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, dan daun. Bagian generatif terdiri dari bunga dan buah (Risza 1994).

Akar kelapa sawit merupakan akar serabut yang tumbuh lurus ke bawah/vertikal mencapai kedalaman ±1 m dan sebagian lagi tumbuh menyebar ke arah samping/horizontal mencapai >6 m. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dan tidak bercabang dengan diameter mencapai 75-90 cm. Tinggi batang bertambah sekitar 45-100 cm per tahun (Setyamidjadja 2006). Pada kelapa sawit umur 5-10 tahun umumnya batang memiliki ketinggian kurang dari 12 m. Sampai umur 12 tahun, batang diselimuti bekas pelepah yang membentuk spiral. Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip pada setiap pelepah dengan jumlah berkisar antara 250-400 helai. Panjang pelepah daun mencapai sekitar 7,5-9 m. Jumlah pelepah daun yang terbentuk selama satu tahun dapat mencapai 20-30 pelepah (Sunarko 2009).

Kelapa sawit bersifatmonoeciousatau berumah satu, yaitu bunga jantan dan betina terpisah namun masih dalam satu pohon. Kelapa sawit biasanya melakukan penyerbukan silang karena waktu pematangan bunga jantan dan betina berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang, sedangkan bunga betina berukuran lebih besar dan mekar (Sastrosaryono 2003). Soehardiyono (1998) menyebutkan buah terdiri dari tiga lapisan yaitu bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin (eksokarp), serabut buah (mesokarp), dan cangkang pelindung inti (endoskarp). Ketebalan cangkang sedang yaitu berkisar 0,5-4 mm, dan terdapat lingkaran (cincin) serabut disekelilingnya. Perbandingan daging buah terhadap buahnya tinggi antara 60-90% dengan rendemen minyak 22-24% (Setyamidjadja 2006). Tandan buah yang dihasilkan banyak, namun ukuran tandannya relatif kecil.

Kelapa sawit tumbuh baik pada daerah iklim tropis (15° LU - 15° LS), suhu antara 24-32 °C, kelembaban udara yang tinggi berkisar 80-90%, dan curah hujan 200 mm per tahun (Lubis 1992). Sifat fisik yang baik untuk kelapa sawit adalah ketebalan tanah (solum) 80 cm, bertekstur lempung berpasir, struktur tanah kuat, drainase yang baik, dan memiliki kandungan unsur hara yang tinggi (Sunarko 2009).

Budidaya Kelapa Sawit

(23)

5

melebarnya tajuk. Jenis pupuk secara umum untuk tanaman menghasilkan seperti pupuk N (Urea, ZA), P (SP-36, TSP), K (KCL), dan Mg (Kieserit, Dolomite), atau pupuk majemuk (NPK-Mg), dengan dosis sesuai anjuran. Selain itu, dilakukan pemangkasan, yaitu membuang daun-daun tua tanaman. Pemangkasan tanaman kelapa sawit dilakukan antara lain untuk membantu penyerbukan, mengurangi penghalangan pembesaran buah dan kehilangan brondolan buah (buah yang terlalu matang dan lepas dari tangkai tandannya) yang terjepit pada pelepah daun, membantu pada waktu panen, mengurangi perkembangan epifit, serta untuk kebersihan kebun. Pemangkasan dilakukan dengan alat chisel (dodos), egrek (arit bergagang bambu panjang) atau kampak petik.

Pada tahap pemeliharaan ini, selain pemupukan dan pemangkasan juga dilakukan pengendalian hama dan penyakit yang dapat menurunkan hasil produksi tanaman. Serangan hama dapat terjadi pada semua fase pertumbuhan kelapa sawit, baik pada TBM maupun TM. Hama-hama penting yang menyerang kelapa sawit antara lain Ulat Api (Setora nitens, Darna trima, dan Ploneta diducta), Ulat Kantong (Metisa plana, Mahasena corbetti, dan Crematosphisa pendula), belalang (Valanga nigricornis dan Gastrimargus marmoratus), Tikus (Rattus tiomanicus, Rattus argentiventer, Rattus rattus diardii, Rattus exulans), bajing (Callosciurus notatus), dan babi hutan (Sus scrofa vittatus).

Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya menjadi masak 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak pada daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah akan lepas dari tangkai tandannya (membrodol). Ada tiga cara sistem panen yang ditentukan berdasarkan tinggi pohon, yaitu dengan cara jongkok menggunakandodosuntuk pohon dengan ketinggian 2-5 m, berdiri menggunakan kampak siam untuk pohon dengan ketinggian 5-10 m, dan menggunakanegrekuntuk pohon dengan ketinggian lebih dari 10 m.

(24)

6

Praktek budidaya bersih pada kelapa sawit dilakukan dengan pembersihan gulma (sanitasi) berkala pada dan di sekitar pertanaman. Umumnya, pembersihan dilakukan pada setiap tanaman sampai diameter ±2 m dari pangkal batang (piringan). Penyiangan gulma dilakukan bila gulma sudah setinggi 10 cm, sedangkan pada piringan tanaman diberikan herbisida yang biasanya berbahan aktif glifosat. Selain itu, penyiangan gulma kadangkala dilakukan pada setiap lorong (gawangan) pertanaman. Ada dua istilah yang sering digunakan oleh pihak perkebunan yaitu gawangan hidup untuk menyebutkan lorong pertanaman yang sengaja dibersihkan secara berkala sebagai akses jalan panen, dan gawangan mati untuk lorong pertanaman yang sengaja dijadikan tempat pembuangan pelepah hasil pemangkasan. Dalam hal ini, penyiangan tidak dilakukan pada semua vegetasi liar yang tumbuh di gawangan, akan tetapi ada beberapa kelompok tumbuhan yang tetap dipertahankan selama tidak mengganggu jalannya pemanenan. Kelompok paku-pakuan dan rumput lunak biasanya dipertahankan karena memang diharapkan sebagai suplai air pada saat musim kemarau, karena kelompok tumbuhan tersebut dapat menahan dan menyimpan air tanah.

Vegetasi liar di Lahan Pinggir.Lahan pinggir merupakan areal tanah yang berada di sekitar atau di luar pertanaman dan tidak digunakan untuk bercocok tanam (Fry 1994). Lahan pinggir di agroekosistem antara lain pematang sawah, tepian saluran irigasi, tanaman pinggir, dan tumbuhan pagar. Jika vegetasi liar terdapat di sekitar pertanaman, maka dapat memudahkan musuh alami merekolonisasi pertanaman pada musim tanam berikutnya (van Emden 1991). Menurut Rodenhouse et al. (1992), menyisakan lahan seluas 12,5% dari areal yang ada untuk ditumbuhi vegetasi liar bermanfaat untuk konservasi musuh alami. Selain itu, tumbuhan pagar dapat menjadi habitat musuh alami (van Emden 1991). Vegetasi liar pada dan di sekitar pertanaman kelapa sawit dapat dari golongan tumbuhan daun lebar, rumput, teki, dan paku-pakuan. Beberapa jenis tumbuhan yang sering ditemukan pada pertanaman kelapa sawit seperti Ageratum conyzoides, Asystasia intrusa, Axonopus compressus, Cyperus kyllingia, Eleusine indica, Dryopteris filixmas, Melastoma malabatrichum, Mikania micrhanta, Mimosa pudica, dan Paspalum conjugatum. Tumbuhan liar ini bermanfaat khususnya untuk musuh alami serangga hama sebagai tempat berlindung, sumber makanan (nektar), dan penyedia mangsa alternatif. Selanjutnya, konsekuensi dari perluasan areal perkebunan kelapa sawit (ekstensifikasi) yang sedang ramai dilakukan belakangan ini menyebabkan tidak tersedianya lahan pinggir (sempalan).

(25)

7

unsur nitrogen dari rhizobium (nodul) akar kacang yang dapat memperkaya unsur hara tanah. Praktek tanam campur antara tanaman utama dan kacangan penutup tanah sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu. Beberapa keuntungan penanaman kacangan penutup tanah seperti melindungi permukaan tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah, mengurangi pencucian unsur hara, menambah dan mempertahankan kesuburan tanah baik kimiawi, fisik maupun biologis, serta dapat menghambat pertumbuhan gulma (Maskuddin 1988; Nianget al. 2002).

Salah satu jenis kacangan penutup tanah yaitu M. bracteata. Karakteristik

M. bracteata sebagai berikut: pertumbuhan sangat cepat, mudah dipelihara, toleran terhadap kekeringan dan naungan, mengandung senyawa kimia allelo

sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma, toleran terhadap hama dan penyakit, mencegah erosi tanah, serta menghasilkan produksi biomassa dan hara nitrogen yang tinggi (Mathews 2007). M. bracteata belakangan ini banyak digunakan sebagai kacangan penutup tanah pada perkebunan kelapa sawit. Selain beberapa manfaat yang sudah disebutkan, M. bracteata dapat menjaga kelembaban tanah sehingga mampu meningkatkan kelimpahan artropoda permukaan tanah.

Artropoda Penghuni Tanah

Kelompok fungsional artropoda penghuni tanah antara lain predator, detritivor, dan omnivor. Predator biasanya mengonsumsi setiap mangsa yang dapat ditanganinya. Secara individu predator memilih jenis mangsa tertentu, sebagai kelompok dapat memangsa nematoda, cacing, serangga, kelabang, dan tungau. Predator biasanya menelan atau menyadap cairan tubuh mangsanya. Predator khusus arthropoda dikelompokan menjadi dua berdasarkan perilakunya dalam mendapatkan mangsa, yaitu predator pemburu yang aktif melakukan pengejaran terhadap mangsanya, dan predator penyergap yang diam dan menunggu, serta sering mengeluarkan racun atau menangkap mangsanya menggunakan perangkap dari sutera. Predator dapat menyerang mulai dari fase pra dewasa sampai dengan fase dewasa. Satu ekor predator dapat memakan mangsanya dalam jumlah banyak.

Laba-laba merupakan predator yang banyak ditemukan pada tanaman kelapa sawit. Semua jenis laba merupakan predator serangga, bahkan golongan laba-laba itu sendiri. Laba-laba-laba tidak mengalami metamorfosa, setelah telur menetas akan keluar laba-laba kecil, kemudian berganti kulit beberapa kali. Laba-laba kecil memiliki bentuk yang sama dengan laba-laba dewasa. Ukuran laba-laba betina biasanya jauh lebih besar daripada laba-laba jantan. Saat proses kawin laba-laba jantan harus mendekati betina dengan hati-hati, karena bisa saja betina menunggu jantan mendekat untuk menjadi mangsanya (Hartoyo 2011). Laba-laba pada perkebunan kelapa sawit yang umum ditemukan adalah laba-laba jaring (Araneae), laba-laba lompat (Salticidae), laba-laba mata tajam (Oxyopidae), dan laba-laba serigala (Lycosidae) (Satriawan 2011; Cendramadi 2011).

(26)

8

pengaman, agar terhindar jatuh sampai ke tanah. Laba-laba ini dapat menangkap mangsa yang jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya, bahkan dapat menangkap ngengat, ulat, dan serangga lain seperti Dasynus atau Diconocoris (Foelix 1982; (Satriawan 2011; Cendramadi 2011).

Detritivor memakan sisa bahan organik yang telah mati, biasanya setelah dikondisikan oleh mikrob. Penyebaran bahan organik, perangsangan pertumbuhan mikrob, dan perilaku struktur tanah akibat adanya feses merupakan hasil dari aktifitas makan kelompok detritivor. Beberapa contoh kelompok detritivor penting di dalam tanah adalah Diplopoda, Isopoda, dan tungau (Oribatida) (Wilson-Rummenieet al. 1999).

Di dalam dan permukaan tanah, beberapa jenis semut (Formicidae: Hymenoptera) menggunakan berbagai jenis tumbuhan/tanaman dan hewan sebagai makanannya. Umumnya, hewan merupakan komponen penting sebagai makanan utama kelompok omnivor seperti semut. Menurut Way dan Khoo (1992), semut memiliki perilaku makan yang beragam, yaitu sebagai karnivor, pemakan cendawan, pemakan nektar, embun madu, dan jenis makanan lainnya.

Hama Tikus

Tikus termasuk hewan menyusui (kelas Mamalia), tergolong ke dalam ordo Rodentia, subordo Myomorpha, famili Muridae, dan subfamili Murinae. Tikus merupakan hewan sosial yang hidup dalam satu kelompok. Kelompok tikus dipimpin oleh individu yang paling kuat dan akan menyerang kelompok lain yang masuk ke dalam teritorialnya. Seperti halnya serangga, tikus merupakan hewan liar yang sudah beradaptasi dengan kehidupan manusia. Di bidang pertanian, tikus sering menjadi ancaman bagi pengelola pertanian di dalam usaha budidayanya, baik itu pada komoditas pangan, perkebunan maupun hortikultura (Priyambodo 2003). Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tikus mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi dalam sistem pertanian (Priyambodo 2006).

Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting dalam bidang perkebunan. Lebih dari 150 jenis tikus terdapat di Indonesia. Setiap jenis tikus menghuni habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Jenis tikus yang berperan penting sebagai hama perkebunan antara lain tikus pohon (Rattus tiomanicus) dan tikus sawah (Rattus argentiventer) (Hone 1996; Priyambodo 2003). R. argentiventer juga dapat menyerang tanaman kelapa sawit, menurut Meehan (1984) habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, namun hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari jenis tikus tersebut. Tikus dapat menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang, dan menyelam (Priyambodo 2006). Oleh karena itu, satu spesies tikus dapat beradaptasi dengan baik pada banyak kondisi habitat, tikus dapat berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain atau dari satu tanaman ke tanaman lain.

(27)

9

yang masih muda maupun yang sudah tua. Pada buah yang masih muda, keseluruhan bagian (inti dan daging buah) dapat dimakan oleh tikus. Pada buah yang sudah tua, hanya daging buahnya saja yang dimakan dengan meninggalkan serat-seratnya (Priyambodo 2003).

Kerusakan oleh tikus pada buah kelapa sawit ini diperberat dengan dimasukannya serangga penyerbuk bunga kelapa sawit dari Afrika yaitu

(28)

3 METODE

Tempat dan Waktu

Pengamatan dan pengambilan sampel dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit Cikasungka PTPN VIII, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Identifikasi sampel dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Biosistematika Serangga, dan Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 sampai dengan April 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penanda tanaman sampel, kalium-sianida (KCN), alkohol 70%, formalin 2%, kloroform (CHCl3), umpan tikus, kantong plastik, jarum pentul, jarum koleksi, tali rafia, kapas, dan kertas label. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta perkebunan, penghitung tangan (hand counter), botol sampel, botol koleksi, kotak koleksi, kotak plastik, plastik busa (styrofoam), pinset, kuas, saringan, cawan petri, sekop, jaring ayun (sweep net), lubang perangkap (pitfall traps), perangkap massal (multiple live traps), tangga, separator, atap seng, gunting, stepler, mikroskop binokuler, oven, kamera digital, dan alat tulis.

Penentuan Lokasi

(29)

11

Gambar 1 Penentuan titik sampel dan tanaman contoh. Tanaman kelapa sawit (∆), jarak antar tanaman adalah 9.4 m (), lorong pertanaman sepanjang

100 m (│), titik sampel dimana lubang perangkap diletakkan (●), perangkap massal (■ ), tanaman contoh (▲ ).

Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Sampel Artropoda

(30)

12

Gambar 2 Metode pengambilan sampel artropoda dengan pengamatan langsung pada tanaman contoh

Lubang Perangkap. Pengambilan sampel artropoda dengan menggunakan lubang perangkap (Gambar 3) dilakukan pada tiap lorong di kebun contoh. Pada tiap lorong ditentukan dua titik dimana lubang perangkap diletakkan (dipasang), antar titik selang empat pohon (± 36 m). Pemasangan lubang perangkap yaitu membuat lubang pada permukaan tanah menggunakan sekop, kemudian meletakkan wadah plastik bervolume 240 ml dengan bagian mulut wadah disejajarkan pada permukaan tanah. Wadah plastik yang telah ditanam dimasukkan larutan formalin 2% sebanyak 1/3 volume wadah. Pada bagian atas perangkap ditutupi dengan seng berbentuk atap rumah (berukuran: panjang 30 cm dan lebar 15 cm). Penutupan perangkap dengan atap seng bertujuan untuk mencegah hewan memangsa hasil tangkapan, serta masuknya air hujan pada perangkap saat musim hujan. Artropoda yang masuk ke dalam lubang perangkap dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pemasangan lubang perangkap dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu. Perangkap pada tiap pemasangan diambil kembali setelah 24 jam.

(31)

13

Penjaringan. Pengambilan sampel artropoda dengan penjaringan menggunakan jaring ayun (Gambar 4). Penjaringan menggunakan jaring ayun dilakukan sebanyak lima kali ayunan tunggal pada tiap titik ayun yang telah ditentukan. Pada tiap lorong di kebun contoh ada dua titik ayun yang ditentukan sengaja berdekatan dengan titik peletakan lubang perangkap. Artropoda yang tertangkap jaring ayun dimasukkan ke dalam separator yang berisi alkohol. Selanjutnya, separator yang berisi spesimen dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel artropoda dengan menggunakan jaring ayun dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu.

Gambar 4 Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan jaring ayun

Identifikasi Sampel Artropoda

Spesimen artropoda diidentifikasi hingga tingkat famili dengan memperhatikan ciri-ciri morfologi spesimen dan dicocokkan dengan menggunakan buku acuan identifikasi yaitu Pengenalan Pelajaran Serangga oleh Borror et al. (1996). Spesimen yang sudah diidentifikasi diambil gambarnya dan dikelompokkan berdasarkan peran ekologinya. Spesimen kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% atau yang memungkinkan dibuat koleksi kering.

Pengambilan Sampel Tikus

(32)

14

Gambar 5 Metode pengambilan sampel tikus menggunakan perangkap massal

Identifikasi Sampel Tikus

Identifikasi untuk menentukan jenis tikus dilakukan dengan memperhatikan ciri morfologi tikus baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ciri kualitatif tikus seperti tekstur rambut, bentuk hidung, bentuk badan, dan warna. Ciri kuantitatif tikus seperti bobot tubuh, panjang kepala dan badan, panjang ekor, lebar daun telinga, panjang telapak kaki, lebar gigi pengerat, dan jumlah puting susu. Pengamatan ciri morfologi ini dicocokkan dengan menggunakan buku acuan identifikasi yaitu Pengendalian Hama Tikus Terpadu oleh Priyambodo (2003). Sampel yang sudah diidentifikasi, diambil gambarnya dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Sampel diawetkan untuk dikoleksi.

Pengamatan Serangan Hama Tikus

Pengamatan serangan hama tikus di kebun contoh dilakukan pada tanaman contoh yang ditentukan pada setiap pengamatan. Penentuan tanaman contoh yaitu dengan memilih tanaman kelapa sawit pada lorong pengamatan. Selanjutnya pada setiap pengamatan, tanaman contoh diganti dengan cara mengambil tanaman contoh selang dua tanaman dari sebelumnya. Tanaman contoh ini sejalan dengan pengambilan sampel artropoda secara langsung pada tajuk, yaitu empat tanaman contoh pada masing-masing lorong, sehingga ada 20 tanaman contoh pada masing-masing kebun contoh. Pengamatan serangan hama tikus dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu. Dengan demikian, metode pengamatan ini dapat memastikan bahwa semua tanaman di sepanjang lorong teramati selama pengamatan.

(33)

15

Gambar 6 Gejala serangan tikus pada buah kelapa sawit. Kerusakan berupa bekas sisa keratan.

Intensitas serangan tikus pada masing-masing kebun contoh ditentukan dengan menggunakan kategori kerusakan seperti pada Tabel 1. Data yang digunakan untuk mendukung (data pendukung) pengamatan serangan hama tikus di lapangan adalah data cuaca dan penggunaan rodentisida.

Tabel 1 Kategori kerusakan berdasarkan jumlah buah terserang per tandan Kategori Ʃ Buah terserang

0 0

1 1–10 2 11–20 3 21–30 4 31–40 5 41–50 6 > 50

Analisis dan Penyajian Data

(34)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Perkebunan kelapa sawit di PTPN VIII Cikasungka dan Cipatat termasuk ke dalam wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 384 m dpl, serta memiliki topografi yang berbukit-bukit dan berbatasan dengan pemukiman masyarakat. Suhu rata-rata wilayah ini dari bulan Oktober 2014 sampai April 2015 sebesar 25.85 °C dengan kelembaban udara rata-rata 83.71%. Curah hujan yang terjadi pada Oktober 2014 sampai April 2015 di wilayah ini termasuk dalam kategori menengah (Tabel 2).

Teknik budidaya kelapa sawit di lokasi dilakukan dengan pola tanam segitiga. Berdasarkan informasi dari pihak perkebunan, selama ini belum ada upaya pengendalian hama tikus dengan menggunakan rodentisida.

Tabel 2 Mikroklimat di pertanaman kelapa sawit PTPN VIII Cikasungka, Bogor (Oktober 2014 - April 2015) Temperatur (oC) 26.8 26.3 26.3 25.2 25 25.6 25.8 25.85 Kelembaban (%) 75 83 82 87 88 85 86 83.71 Curah hujan (mm) 170 398 217 179 198 219 266 235.28

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

Kebun kelapa sawit lokasi I, terdapat di blok 39 Cikasungka yang berbatasan langsung dengan jalan raya dan pemukiman warga. Tanaman kelapa sawit di lokasi I ditanam pada tahun 2004. Pada bulan Oktober 2014, tanaman di lokasi I berumur ±10 tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan (TM). Selain tanaman utama, pada lokasi I hanya terdapat sedikit jenis tumbuhan yang tersisa oleh karena sanitasi berkala yang dilakukan pihak perkebunan di blok 39 (Gambar 7). Sanitasi berkala ini menjadikan habitat pertanaman pada blok 39 relatif lebih bersih dibandingkan dengan blok yang tidak dilakukan sanitasi. Pada perkebunan kelapa sawit Cikasungka ini beberapa blok terlihat tidak dilakukan pembersihan gulma sama sekali.

(35)

17

Kebun kelapa sawit lokasi II, terdapat di blok 54 Cikasungka yang berbatasan langsung dengan jalan raya dan pemukiman warga. Tanaman kelapa sawit di lokasi II ditanam pada tahun 2004. Pada bulan Oktober 2014, tanaman di lokasi II berumur ±10 tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan (TM). Pada blok 54 tidak dilakukan sanitasi, sehingga lokasi ini memiliki beberapa jenis tumbuhan liar (vegetasi alami) yang diantaranya dikategorikan sebagai gulma (Gambar 8).

Gambar 8 Lokasi II blok 54 Cikasungka (habitat dengan vegetasi alami)

Kebun kelapa sawit lokasi III, terdapat di blok 67 Cipatat yang berbatasan langsung dengan sawah dan pemukiman warga. Tanaman kelapa sawit di lokasi III ditanam pada tahun 2009. Pada bulan Oktober 2014, umur tanaman lokasi III yaitu lima tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan (TM). Pada blok 67 dan beberapa blok lain di Cipatat, habitat pertanaman kelapa sawit juga didominasi kacangan penutup tanah jenis M. bracteata yang ditanam oleh pihak perkebunan (Gambar 9).

Gambar 9 Lokasi III blok 67 Cipatat (habitat menggunakan kacangan penutup tanah)

Artropoda yang Ditemukan pada Kebun Contoh

(36)

18

rantai makanan suatu ekosistem. Peran artropoda diantaranya adalah predator, herbivor, detritivor, dan parasitoid. Artropoda predator merupakan artropoda yang memangsa artropoda lain sebagai makanannya. Artropoda herbivor merupakan artropoda yang makanannya berupa tumbuhan, sehingga artropoda herbivor disebut sebagai hama bila aktivitas makannya dapat menurunkan nilai ekonomi tanaman. Artropoda detritivor merupakan artropoda pengurai bahan organik seperti bangkai hewan, tumbuhan mati, maupun sisa daun yang jatuh. Selain itu, terdapat artropoda parasitoid yang hidup di dalam tubuh inang untuk memperoleh makanan.

Tabel 3 Jumlah artropoda pada kebun contoh Filum

Artropoda

Kebun Contoh I Kebun Contoh II Kebun Contoh III Ordo Famili Individu Ordo Famili Individu Ordo Famili Individu Insecta 11 50 758 12 45 616 11 52 788 Collembola 2 3 161 2 3 40 3 4 50 Arachnida 1 5 31 1 5 47 1 5 40

Diplopoda 1 1 1 1 1 2 1 1 1

Jumlah artropoda yang ditemukan di kebun contoh I yaitu sebanyak 951 individu. Sebanyak 566 individu (59.51%) berperan sebagai predator, 182 individu (19.14%) sebagai herbivor, 196 individu (20.61%) sebagai detritivor, dan 7 individu (0.74%) sebagai parasitoid. Jumlah artropoda yang ditemukan di kebun contoh II yaitu sebanyak 705 individu. Sebanyak 548 individu (77.73%) berperan sebagai predator, 90 individu (12.77%) sebagai herbivor, 61 individu (8.65%) sebagai detritivor, dan 6 individu (0.85%) sebagai parasitoid. Jumlah artropoda yang ditemukan di kebun contoh III yaitu sebanyak 879 individu. Sebanyak 690 individu (78.50%) berperan sebagai predator, 116 individu (13.20%) sebagai herbivor, 60 individu (6.82%) sebagai detritivor, dan 13 individu (1.48%) sebagai parasitoid (Gambar 10).

Predator Herbivor Detritivor Parasitoid

Gambar 10 Proporsi peran artropoda pada kebun contoh I (A), kebun contoh II (B), dan kebun contoh III (C)

Artropoda Predator

Artropoda predator memiliki proporsi paling besar pada semua kebun contoh (Gambar 10). Keanekaragaman dan kelimpahan artropoda predator pada masing-masing kebun contoh dapat dilihat pada Tabel 4, 5, dan 6. Famili Formicidae (Hymenoptera) merupakan artropoda predator yang paling dominan pada semua kebun contoh (Gambar 11). Keberadaan semut (Hymenoptera:

(37)

19

Formicidae) kemungkinan ditentukan oleh keberadaan mangsa di lapang. Kelimpahan semut yang tinggi tidak terlepas dari kemampuan bertahan semut pada setiap kondisi lingkungan (Herlinda et al. 2004), semut mempunyai kisaran inang yang luas (bersifat generalis) sehingga mampu bertahan hidup dengan mengeksploitasi banyak sumber daya yang ada pada lingkungan tersebut. Beberapa sumber daya yang dapat dijadikan semut sebagai pakan alternatif seperti cendawan, nektar, dan embun madu (Way & Khoo 1992). Di samping itu, beberapa genus yang ditemukan seperti Odontoponera, Anoplolepis, dan Pheidole merupakan predator umum yaitu mengonsumsi setiap mangsa yang dapat ditanganinya. Oleh sebab itu, semut sebagai kelompok (koloni) dapat memangsa nematoda, cacing, serta telur dan larva serangga (Kalshoven 1981; Shepard et al. 1987). Hal ini menunjukkan bahwa semut merupakan predator paling berpengaruh dalam mengatur populasi serangga hama dibandingkan artropoda predator lainnya.

Gambar 11 Semut (Formicidae: Odontoponera)

Famili lain yang cukup dominan pada semua kebun contoh adalah Gryllidae (Orthoptera) (Gambar 12) dan Oxyopidae (Araneae) (Gambar 13). Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae) dan laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae) merupakan artropoda predator yang sering ditemukan selain semut. Dilihat dari segi kelimpahan, frekuensi kemunculan, serta kemampuan memangsa di lapang maka Formicidae, Gryllidae, dan Oxyopidae berpotensi dikembangkan dan dilindungi keberadaannya sebagai musuh alami untuk menekan populasi serangga hama di lapang.

(38)

20

Gambar 13 Laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae)

Beberapa famili predator yang hanya ada di kebun contoh I yaitu Dermestidae (Coleoptera), Asilidae (Diptera), dan Vespidae (Hymenoptera). Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh I selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh I

Kelas Ordo Famili Jumlah (individu) Insecta Coleoptera Cantharidae 2

Carabidae 4 Coccinellidae 14 Dermestidae 5 Staphylinidae 1 Dermaptera Forficulidae 2 Pygidicranidae 1 Diptera Asilidae 1 Cecidomyiidae 9 Chloropidae 2 Stratyomyidae 1 Tipulidae 4 Hemiptera Nabidae 1 Pentatomidae 1 Hymenoptera Vespidae 1 Formicidae 442 Mantodea Hymenopodidae 1

Mantidae 2

Orthoptera Gryllidae 39 Tettigonidae 2

Arachnida Araneae Araneidae 2 Lycosidae 2 Oxyopidae 23 Salticidae 3 Tetragnathidae 1

(39)

21

Beberapa famili predator yang hanya ada di kebun contoh II yaitu Dytiscidae (Coleoptera), Anisolabididae (Dermaptera), dan Gryllacrididae (Orthoptera). Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh II selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

(40)

22

Tabel 6 Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh III

Famili Acrididae (Orthoptera) lebih dominan pada semua kebun contoh dibandingkan serangga herbivor lain. Gejala kerusakan yang disebabkan belalang (Orthoptera: Acrididae) berupa gerigitan dan sobekan pada daun. Hama ini biasanya menyerang secara soliter atau dalam koloni kecil. Hama ulat api (Lepidoptera: Limacodidae) dan ulat kantong (Lepidoptera: Psychidae) yang merupakan hama utama pada kelapa sawit, tidak ditemukan di kebun contoh selama pengambilan sampel.

(41)

23

herbivor pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh I selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh I

Serangga herbivor yang hanya ditemukan pada kebun contoh II adalah Noctuidae (Lepidoptera). Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh II selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

(42)

24

Tabel 8 Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh II (lanjutan)

Serangga herbivor yang hanya ditemukan pada kebun contoh III adalah Cicadidae dan Phyrrhocoridae (Hemiptera), serta Arctiidae (Lepidoptera). Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh III selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh III

(43)

25

ini dikarenakan kondisi kebun yang relatif lembab sehingga menguntungkan para insecta ini. Borror et al. (1996) menyatakan bahwa isotomidae umumnya menyukai tempat yang lembab. Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh I dan II selengkapnya dapat dilihat masing-masing pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10 Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh I

Tabel 11 Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh II

Famili Blattelidae (Blattodea) dan Neanuridae (Collembola) merupakan artropoda detritivor yang hanya ditemukan pada Kebun Contoh III. Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh III dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 12.

(44)

26

Artropoda Parasitoid

Jumlah parasitoid yang ditemukan pada semua kebun contoh paling sedikit dibandingkan predator, herbivor, dan detritivor. Sementara menurut Farid (2013), sebanyak 25% famili dari Ordo Hymenoptera berperan sebagai parasitoid pada ekosistem pertanaman kelapa sawit. Sebagai evaluasi bahwa metode pengambilan sampel dengan jaring ayun perlu dipertahankan. Agar hasil tangkapan lebih maksimal terhadap serangga terbang (imago Hymenoptera parasitoid sebagian besar terbang), jumlah ayunan perlu diperbanyak. Untuk memprioritaskan serangga terbang tertentu (spesifik) digunakan perangkap nampan kuning (yellow pan trap). Serangga parasitoid yang ditemukan pada semua kebun contoh hampir seragam yaitu didominasi dari Famili Braconidae, Eulophidae, dan Ichneumonidae (Hymenoptera). Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di kebun contoh I, II, dan III masing-masing dapat dilihat pada Tabel 13, 14, dan 15.

Tabel 13 Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh I

Tabel 14 Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh II

Tabel 15 Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di Kebun Contoh III

Proporsi Artropoda Berdasarkan Metode Pengambilan Sampel

(45)

27

yang diperoleh pada semua kebun contoh adalah sebanyak 81 famili. Jumlah artropoda yang diperoleh berdasarkan metode pengamatan langsung adalah 30 famili (210 individu), berdasarkan lubang perangkap adalah 37 famili (2010 individu) dan berdasarkan jaring ayun adalah 57 famili (315 individu). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah individu artropoda yang paling banyak diperoleh adalah dengan metode lubang perangkap (Gambar 14).

Lubang perangkap Jaring ayun Pengamatan langsung

Gambar 14 Proporsi jumlah artropoda berdasarkan metode pengambilan sampel

Famili Acrididae merupakan artropoda paling dominan yang diperoleh dengan menggunakan jaring ayun, hal ini dibuktikan dengan jumlah tangkapan yang lebih banyak serta yang paling sering ditemukan sebagai serangga terbang yang ada di kebun contoh. Famili Formicidae merupakan artropoda paling dominan yang diperoleh dengan menggunakan lubang perangkap. Menurut Powel

et al. (1996), lubang perangkap termasuk salah satu perangkap yang digunakan untuk mengamati artropoda permukaan tanah, sehingga semut yang terdapat di permukaan tanah banyak ditemukan dengan lubang perangkap. Famili Formicidae juga paling dominan diperoleh dengan pengamatan langsung pada tajuk tanaman, hal ini menandakan bahwa Formicidae merupakan artropoda dengan daya jelajah yang tinggi yang aktif sampai ke tajuk tanaman. Selain itu, diketahui bahwa semut aktif setiap waktu.

Tikus yang Ditemukan pada Kebun Contoh

Hasil penangkapan tikus menggunakan perangkap massal dapat dilihat pada Tabel 16. Pada tiap kebun contoh ditemukan lebih dari satu jenis tikus, secara keseluruhan ada empat jenis yang ditemukan di kebun contoh. Hasil ini sejalan dengan yang dikemukakan Priyambodo (2003) bahwa jenis tikus yang ditemukan menyerang pada perkebunan kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus, Rattus argentiventer, Rattus rattus,danRattus exulans(Gambar 15).

Pemasangan perangkap massal selama pengambilan sampel pada semua kebun contoh berhasil menangkap 10 ekor tikus. Keberhasilan pemerangkapan tikus dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan tikus yang tertangkap dibagi jumlah keseluruhan perangkap yang dipasang (135 perangkap), sehingga didapat 7%. Keberhasilan pemerangkapan ini digunakan sebagai estimasi kepadatan relatif di suatu daerah atau kawasan perkebunan (Handayani & Ristiyanto 2008; Astuti 2013).

79,29% 12,43%

(46)

28

Tabel 16 Jenis dan jumlah tikus tertangkap perangkap massal

Jenis Tikus Pengamatan Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kebun Contoh I

R. tiomanicus 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

R. exulans 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Kebun Contoh II

R. argentiventer 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2

R. rattus 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

Kebun Contoh III

R. exulans 2 0 0 1 0 0 1 0 0 4

R. rattus 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

Total 2 0 2 1 1 1 1 2 0 10

Gambar 15 Jenis tikus yang ditemukan pada kebun contoh; R. exulans (A),

R. argentiventer(B),R. tiomanicus(C),R. rattus(D)

Keberhasilan pemerangkapan dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti pemilihan umpan, posisi peletakan perangkap massal, dan durasi pemasangan perangkap massal. Umpan yang digunakan adalah bakwan dan tahu goreng ( bala-bala), pemilihan bala-bala sebagai umpan karena mempertimbangkan bau dari

(47)

29

terlihatnya aktivitas tikus pada bagian atas tanaman. Perpindahan tikus ke tanaman lain juga dilakukan antar pelepah, tanpa turun ke habitat bawah. Hal ini karena pelepah tanaman kelapa sawit yang saling bersinggungan, selain juga kemampuan fisik beberapa jenis tikus. Faktor durasi pemasangan perangkap ikut memengaruhi hasil pemerangkapan, asumsinya semakin lama perangkap terpasang semakin besar kesempatan tikus masuk perangkap. Hal ini juga tergantung ketersediaan umpan di dalam perangkap.

R. exulans ditemukan sebanyak 4 ekor di kebun contoh III. Dominasi jenis ini didukung oleh faktor seperti lokasi kebun dan keberadaan kacangan penutup tanah. Lokasi kebun dekat dengan persawahan, kondisi ini dapat mengakibatkan perpindahan tikus dari sawah (habitat asli R. exulans) ke kebun. Kacangan penutup tanahM. bracteatadapat digunakanR. exulanssebagai tempat berlindung, serta menyediakan sumber pakan lain yaitu serangga. Menurut Priyambodo (2003), berdasarkan hasil analisis terhadap isi lambung tikus di perkebunan kelapa sawit diketahui bahwa 15% dari pakan yang dikonsumsi oleh tikus adalah serangga.

Intensitas dan Luas Serangan Tikus

Intensitas dan luas serangan tikus disajikan pada Tabel 17. Rata-rata intensitas dan luas serangan pada kebun contoh I (habitat relatif bersih) merupakan yang tertinggi dibandingkan kebun contoh lain, walaupun tidak berbeda nyata dengan kebun contoh II (habitat dengan vegetasi alami).

Tabel 17 Intensitas dan luas serangan tikus

Pengamatan

Intensitas Serangan (%) Luas Serangan (%) Kebun

Rata-rata 14.16 aA 12.22 aA 5.66 bB 71.66 aA 61.11 aA 34.44 bB Keterangan: Angka dalam baris rata-rata intensitas serangan dan luas serangan yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Selang Berganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

(48)

30

kehadiran kumbang moncong (Coleoptera: Curculionidae), karena kumbang moncong merupakan sumber pakan hewani yang juga dibutuhkan oleh tikus. Berdasarkan hasil artropoda yang ditemukan pada habitat ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh keberadaan dan kelimpahan Curculionidae pada tajuk tanaman terhadap intensitas serangan tikus pada buah.

(49)

5 SIMPULAN

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Altieri MA. 1999. The ecological role of biodiversity in agricultural landscapes: above-ground insects.Agric.Ecosys.Environ. 74: 99-32.

Astuti DR. 2013. Keefektifan rodentisida racun kronis generasi II terhadap keberhasilan penangkapan tikus.Jurnal Kesehatan Masyarakat. 8(2): 183-189. Batra SWT. 1982. Biological control in agroecosystems.Science.215: 134-139. Borror DJ, Johnson NF, Triplehorn CA. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.

Ed ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:An Introduction to the Study of Insects. Brahmana Y. 2015. Kelimpahan artropoda predator dan artropoda lainnya pada

pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Perkebunan PTPN VIII Cikasungka, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Buchori D. 2014. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB: Pengendalian Hayati dan Konservasi Serangga Untuk Pembangunan Indonesia Hijau. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press. 83 hlm.

Cendramadi AW. 2011. Pengamatan kelimpahan ulat api (Limacodidae) dan ulat kantung (Psychidae) serta predator pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) Cikidang Plantation Estate di bawah naungan karet [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Erniwati, Kahono S. 2012. Keanekaragaman dan potensi musuh alami dari kumbang Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.Jurnal Fauna Tropika. 21(02).

Farid MY. 2013. Pengaruh jarak dari hutan pada kondisi lanskap pertanian terhadap keanekaragaman Hymenoptera [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Foelix RF. 1982.Biology of Spider.Cambridge: Harvard University Press.

Fry GLA. 1994. The role of field margins in the landscape. BCPC Monograph. 58: 31-39.

Handayani FD, Ristiyanto. 2008. Rapid assessment inang reservoir leptospirosis di daerah pasca gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Bul. Penel. Kesehatan. 36(1): 1-9.

Hartoyo D. 2011. Predator Serangga Hama. http://www.htysite.co.tv/ [28 Juni 2011].

Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Siswadi, Hidayat P. 2004. Artropoda musuh alami penghuni ekosistem persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat.J. Entomol. Ind. 1: 9-15.

Hone J. 1996. Analysis Of Vertebrate Pest Control. Cambridge: Cambridge University Press.

Horn GJ. 1981. Effect of weedy backgrounds on colonization of collard by green peach aphid.Myzus persicae, and its major predator.Environ. Entomol. 10(3): 285-289.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA. revised. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. 701 h.

(51)

33

Maskuddin. 1988. Pengaruh inokulasi dan jenis leguminosa terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Buletin Perkebunan Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 11(1): 3-8.

Mathews C. 2007. The Introduction and Establishment of A New Leguminous Cover Plant, Mucuna bracteata Under Oil Palm in Malaysia. Golden Hope Plantation Berhad, Tangkak Estate (Malaysia): The Mucuna Network.

Meehan AP. 1984. Rat and Mice, Their Biologi and Control. East Griendstead: Rentokil Limited.

Niang AI, Amadalo BAA, de Wolf J, Gathumbi SM. 2002. Spesies screening for shortterm planted fallows in the higlands of western Kenya. Agroforest Syst. 56: 145-154.

Powel W, Walton MP, Jervis MA. 1996. Population and Communities. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor.Insect Natural Enemies:Practical Approach to Their Study and Evaluation. London (GB): Chapman & Hall.

Pahan I. 2006.Panduan Lengkap Kelapa Sawit.Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya. 135 hlm.

Priyambodo S. 2006. Tikus. Di dalam: Singgih HS dan Upik KH, editor. Hama Permukiman Indonesia. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP). hlm 195-212.

Rauf A. 1994. Pemanfaatan predator dan parasitoid dalam pengendalian hama terpadu.Pertemuan Pemanfaatan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati sebagai Sarana Pengendalian OPT. Pasuruan, 22-24 November 1994.13 hlm.

Risza S. 1994. Kelapa Sawit dan Upaya Peningkatan Produktifitas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Rodenhouse NL, Barrett GW, Zimmerman DM, Kemp JC. 1992. Effect of uncultivated corridors on arthropod abundances and crop yields in soybean agroecosystems.Agric. Ecosyst. Environ. 38: 179-191.

Ryszkowski L, Karg J, Margarit G, Paoletti MG, Zlotin R. 1993. Above ground insect biomass in agriculture landscape of Europe. Di dalam: Bunce RGE, Ryszkowski L, Paoletti MG, editor. Landscape Ecology and Agroecosystems. Boca Raton: Lewis Publishers. hlm 71-82.

Russell EP. 1989. Enemies hypothesis: A review of the effect of vegetational diversity on predatory insect and parasitoids.Environ. Entomol.18: 590-599. Sastrosayono S. 2003.Budidaya Kelapa Sawit.Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Satriawan R. 2011. Kelimpahan populasi Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae)

dan Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae) serta predator pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Cikidang Plantation Estate, Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Ed ke 4 (revisi). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit: Teknik Budidaya, Panen, dan Pengolahan.

Edisi revisi. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Shepard BM, Barrion AT, Litsinger JA. 1987. Friends of the Rice Farmer: Helpful Insect, Spiders, and Pathogens. Los Banos, Laguna (Philippines): International Rice Research Institute. 136 h.

(52)

34

Soehardiyono L. 1998.Tanaman Kelapa Sawit.Yogyakarta (ID): Kanisius.

Sunarko. 2009.Petunjuk Budidaya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit.Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Suryawan IBG. 1999. Kajian berbagai teknik pengendalian gulma pada sawah pola tanam benih langsung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Thomas CFG, Marshall EJP. 1999. Arthropod abundance and diversity in differently vegetated margins of arable fields.Agric. Ecosyst. Environ.72: 131-144.

van den Bosch R, Telford AD. 1973. Enviromental modification and biological control. Di dalam: DeBach P, Schlinger EI, editor.Biological Control of Insect Pests & Weeds. London (GB): Chapman & Hall Ltd. hlm 459-488.

van Emden HF. 1991. Plant diversity and natural enemy efficiency in agroecosystems. Di dalam: Mackkauer M, Ehler LE, Roland J, editor.Critical Issues in Biological Control. London (GB): Cambridge University Press. hlm 63-80.

Wagiman FX. 2008. Predator sebagai agens pengendalian hayati hama. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hama Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,16 April 2008. 22 hlm.

Way MJ, Khoo KC. 1992. Role of ants in pests managements. Annu. Rev. Entomol. 37: 479-503.

(53)
(54)

36

(55)
(56)

38

(57)

39

Lampiran 2 (lanjutan)

Ordo Famili Morfo spesies

Pengamatan

KM KR (%) FM

FR (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

41Gryllidae Gry.1 1 2 6 3 3 2 - - 1 18 2.55 7 4.24 Gry. 2 - - - 2 - 2 4 0.57 2 1.21 42Gryrllacrididae - - - 1 - - 1 0.14 1 0.61 43Tertrigidae - - - - 1 - - - - 1 0.14 1 0.61 44Tettigoniidae - - - - 3 - 1 4 4 12 1.70 4 2.42 XII. Phasmatodea 45Phasmatidae - - - 1 2 - 3 0.43 2 1.21

Entognatha (Sub:Collembola) XIII. Entomobryom

orpha 46Entomobryidae - - - 2 1 1 4 0.57 3 1.82 47Isotomidae 1 3 1 - 7 4 3 - 4 23 3.26 7 4.24 XIV. Symhypleona 48Sminthuridae - - - 1 3 3 1 2 3 13 1.84 6 3.64

Arachnida

XV. Araneae 49Araneidae - - - 2 - - - 2 0.28 1 0.61 50Lycosidae - - - 1 - - 1 2 0.28 2 1.21 51Oxyopidae Oxy. 1 0 1 0 7 1 5 1 0 2 17 2.41 6 3.64 Oxy. 2 2 0 0 1 3 0 1 1 2 10 1.42 6 3.64 52Salticidae - - - 2 - - - 8 - 10 1.42 2 1.21 53Tetragnathidae 1 - - - 2 2 1 - - 6 0.85 4 2.42

Diplopoda

XVI. Callipodida 54Abacionidae - - - - 1 - - 1 - 2 0.28 2 1.21

Total 115 53 70 73 61 78 66 100 89 705 100 165 100 Keterangan :

(58)

40

(59)
(60)

42

Lampiran 4 Organisme lain bukan sasaran tertangkap multiple live trap

Jenis Tikus Pengamatan Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kebun Contoh I

Cecurut 0 0 0 2 1 2 0 0 0 5 Kadal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kebun Contoh II

Cecurut 0 0 2 0 1 1 0 0 0 4 Kadal 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

Kebun Contoh III

Cecurut 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kadal 1 0 1 0 0 0 0 1 0 3

(61)

43

Lampiran 5 Analisis ragam untuk intensitas serangan hama tikus

Prosedur ANOVA

(62)

44

Lampiran 6 Analisis ragam untuk luas serangan hama tikus

Prosedur ANOVA

Sumber Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Nilai Tengah

Nilai F Pr > F

Perlakuan 2 6624.074 3312.037 15.40 < . 0001 Galat 24 5161.111 215.046

Total Terkoreksi 26 11785.185

R-Kuadrat Koefisien Varian Akar Kuadrat Nilai Tengah Galat

Nilai Tengah Hasil (Data) 0.562 26.308 14.664 55.740

Uji Selang Berganda Duncan

Alpha 5%

Jumlah Nilai Tengah 2 3 Selang Kritis 14.27 14.99

Pengelompokan Duncan Nilai Tengah

Ulangan Perlakuan

A 71.66 9 1 A 61.11 9 2 B 34.44 9 3

Alpha 1%

Jumlah Nilai Tengah 2 3 Selang Kritis 19.34 20.17

Pengelompokan Duncan Nilai Tengah

Ulangan Perlakuan

(63)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mersam (Jambi) pada tanggal 30 Juli 1988 sebagai anak pertama dari pasangan Mansyur dan Zuhriah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yaitu program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN).

Gambar

Gambar 1 Penentuan titik sampel dan tanaman contoh. Tanaman kelapa sawit (∆), jarak  antar  tanaman  adalah 9.4 m  (),  lorong  pertanaman  sepanjang 100 m (│),  titik  sampel  dimana lubang  perangkap diletakkan (●), perangkap massal (■ ), tanaman contoh
Gambar 2 Metode  pengambilan  sampel artropoda dengan  pengamatan  langsung pada tanaman contoh
Gambar 4 Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan jaring ayun
Gambar 5 Metode pengambilan sampel tikus menggunakan perangkap massal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Berita Acara Evaluasi Penawaran Nomor : 105/PANNllll2O12 tanggal 24 Agustus 241?-, Beritia Acara Hasil Evaluasi Pelelangan Nomor :122 /PANll)fJZAlz tanggal

- Pengadaan Peralatan Kantor PBJ 1 Paket Bandar Lampung 200.000.000 APBD-P Oktober 2012 Oktober - Desember 2012 Pengadaan Langsung - Pengadaan Perlengkapan Kantor PBJ 1 Paket

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepadatan kultur Daphnia carinata King dan fotoperiode yang berbeda terhadap produksi efipium.. Hasil

Penawaran publik sekuritas yang dibuat di Amerika Serikat akan dilakukan melalui prospektus yang diperoleh dari Perusahaan dan berisi keterangan rinci mengenai

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Terhadap Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Periode 2014-2016) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan

Antara yang jelas dapat diperhatikan adalah amalan-amalan berikut yang kini mula menjadi norma dalam kalangan masyarakat Islam di Malaysia iaitu, amalan menyalakan api

In the third step the predicted models from the Coarse Classification including the ratings and the new found edges from Image Based Verification are used together to do a

Keluaran Terpenuhinya Perbaikan Peralatan Kerja 1 Tahun Hasil Meningkatnya layanan Administrasi Perkantoran 0,77%. Kelompok Sasaran Kegiatan : Aparatur