• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBANDINGAN CAMPURAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN ASAM SULFAT SERTA LAMA INKUBASI DALAM PROSES ASIDULASI BATUAN FOSFAT TERHADAP FOSFAT LARUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PERBANDINGAN CAMPURAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN ASAM SULFAT SERTA LAMA INKUBASI DALAM PROSES ASIDULASI BATUAN FOSFAT TERHADAP FOSFAT LARUT"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

FOSFAT LARUT

Oleh

SEPTI NURUL AINI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PERBANDINGAN CAMPURAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN ASAM SULFAT SERTA LAMA INKUBASI DALAM

PROSES ASIDULASI BATUAN FOSFAT TERHADAP FOSFAT LARUT

Oleh

SEPTI NURUL AINI

Bahan baku utama dalam pembuatan pupuk P industri (pupuk superfosfat) yaitu

batuan fosfat. Prinsip dari proses pembuatan pupuk superfosfat yaitu dengan

merubah trikalsium fosfat menjadi monokalsium fosfat dengan cara pengasaman

menggunakan asam sulfat. Proses ini membutuhkan biaya tinggi, menyebabkan

harga pupuk di pasaran menjadi mahal. Oleh karena itu, diperlukan suatu

alternatif untuk menghasilkan pupuk P dengan biaya murah dengan

memanfaatkan limbah cair tahu yang memiliki pH rendah sebagai pelarut batuan

fosfat. Untuk itu limbah cair tahu perlu dikombinasikan dengan pelarut asam

sulfat dan diharapkan pelarutan P dari batuan fosfat menggunakan kombinasi

pelarut tersebut mendekati pelarut asam sulfat. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari kombinasi pelarut limbah cair tahu dan asam sulfat serta lama inkubasi

yang memiliki kelarutan P terbaik dari batuan fosfat.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Laboratorium Limbah

(3)

dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah perbandingan campuran limbah cair

tahu dan asam sulfat (100%:0%; 95%:5%; 85%:15%; 75%:25%; 0%:100%) dan

faktor kedua adalah waktu inkubasi batuan fosfat (1,3,7, dan 14 hari). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa P-larut tertinggi terjadi pada kombinasi pelarut

(0%:100%) dengan 7 hari inkubasi yaitu 10,80% P2O5 . Perbandingan pelarut

terbaik terjadi pada kombinasi pelarut (85% :15%) dengan 7 hari inkubasi yaitu

10,48% P2O5, karena pada kombinasi pelarut (85%:15%) menghasilkan P-larut

mendekati pelarut asam sulfat (0%:100%). Pelarutan P menggunakan kombinasi

pelarut (0%:100) dan (85%:15%) dengan semua waktu inkubasi memenuhi syarat

mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005) pada kategori kualitas

A.

Kata kunci : asidulasi, batuan fosfat, pelarut asam sulfat, pelarut limbah cair tahu,

(4)
(5)

Tabel Halaman

1 Syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian. ... 13

2 Analisis awal limbah cair tahu. ... 18

3 Analisis pH asam sulfat. ... 18

4 Analisis awal batuan fosfat. ... 19

5 Pengaruh interaksi perbandingan campuran limbah cair industri tahu dan asam sulfat dengan lama inkubasi batuan fosfat terhadap fosfat larut. ... 27

6 Pengaruh interaksi perbandingan campuran limbah cair industri tahu dan asam sulfat dengan lama inkubasi batuan fosfat terhadap P-total. ... 29

7 Hasil korelasi antara P-larut dengan P-total dan pH. ... 31

8 Data P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 45

9 Uji homogenitas P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 46

10 Analisis ragam P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 46

11 Data P-total batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 47

12 Uji homogenitas P-total batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 48

13 Analisis ragam P-total batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 48

14 Data pH batuan fosfat yang telah diasidulasi. ... 49

15 Hasil uji korelasi antara P-larut dengan P-total. ... 50

(6)
(7)

Halaman

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 3

1.3 Kerangka Pemikiran... 3

1.4 Hipotesis... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan P dalam Tanah... 7

2.2 Sumber Pupuk Fosfat... 8

2.2.1 Pupuk Fosfat Alam.... 8

2.2.2 Bentuk Pupuk P Industri... 10

2.3 Pembuatan Pupuk P Industri... 12

2.4 Potensi Limbah Cair dalam Pembuatan Pupuk P Industri... 14

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 16

3.2 Bahan dan Alat... 16

3.3 Metode Penelitian... 16

3.4 Pelaksanaan Penelitian... 17

3.4.1Pengambilan Limbah Cair Tahu... 17

3.4.2 Persiapan Pelarut Asam Sulfat... 18

3.4.3 Persiapan Awal Batuan Fosfat... 19

3.4.4 Perendaman Batuan Fosfat... 19

3.4.5 Pengambilan Sampel dan Analisis... 20

3.5 Prosedur Analisis... 20

3.5.1 Analisis pH... 20

3.5.2 Analisis P-total... 20

3.5.3 Analisis P-larut... 21

3.5.4 Analisis COD... 22

(8)

3.6.1 Peubah Utama... 25

3.6.2 Peubah Pendukung... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 26

4.1.1 P-larut... 26

4.1.2 P-total... 29

4.1.3 pH... 30

4.1.4 Korelasi antara P-larut dengan P-total dan pH... 31

4.2 Pembahasan... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 40

5.2 Saran... 40

PUSTAKA ACUAN... 42

(9)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris dengan mayoritas mata pencarian

penduduknya di bidang pertanian. Berdasarkan hasil sensus pertanian 2013,

jumlah penduduk di Indonesia yang bekerja di bidang pertanian yaitu sebesar

35,05% (Badan Pusat Statistik, 2013). Hal ini menyebabkan kebutuhan akan

pupuk terus meningkat baik untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas hasil

pertanian. Pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang harus

terpenuhi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian sekaligus

menjaga ketahanan pangan. Di antara unsur hara yang terpenting bagi tanaman

adalah fosfor.

Fosfor adalah salah satu nutrisi paling utama untuk pertumbuhan dan produksi

tanaman (Bartow, 2010). Fosfor (P) merupakan salah satu nutrisi esensial bagi

tanaman selain unsur nitrogen dan kalium. Peranan P yang terpenting bagi

tanaman adalah memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran

serta memacu pertumbuhan generatif tanaman. Fosfor di alam berada sebagai

batuan fosfat dengan komposisi trikalsium fosfat yang sedikit larut dalam air.

Agar dapat dimanfaatkan tanaman, batuan fosfat alam harus diubah menjadi

(10)

Sebagian besar pupuk P di dunia diproduksi dari sumber batuan fosfat. Dahulu

batuan fosfat telah digunakan sebagai sumber P untuk tanah masam. Namun

rendahnya ketersediaan P dalam bahan asli dan tanggapan tanaman kecil,

sehingga saat ini sangat sedikit fosfat alam yang digunakan di bidang pertanian

(Nurjaya, Kasno, dan Rachman, 2009). Pupuk fosfat alam mempunyai kelarutan

yang rendah sehingga pupuk P dalam tanah lambat tersedia. Oleh karena itu,

dalam pembuatan pupuk fosfat industri menjadi pupuk yang mudah larut

dilakukan dengan cara pengasaman (asidulasi) menggunakan asam fosfat, sulfat,

atau asam nitrat sehingga terbentuk super fosfat (Soelaeman, 2008). Namun

dalam pembuatan pupuk P-industri ini membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk itu

perlu dilakukan suatu usaha agar batuan fosfat tersebut dapat dijadikan sumber P

yang tersedia bagi tanaman dengan kandungan P yang tinggi. Salah satu usaha

untuk melarutkan batuan fosfat yaitu dengan pemanfaatan limbah cair tahu yang

dikombinasikan dengan pelarut asam sulfat sehingga diperoleh P menjadi bentuk

P yang tersedia bagi tanaman.

Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari

oleh orang Indonesia. Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah,

limbah padat dan limbah cair. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan

sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan.

Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi.

Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif

seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan

nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar. Dari pada limbah cair tahu

(11)

mengingat limbah tahu memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi.

Limbah tahu cair yang dibuang ke lingkungan merupakan limbah organik yang

mudah diuraikan oleh mikroorganisme secara alamiah. Jika limbah tidak diolah

dengan baik, maka akan menimbulkan bau akibat proses pembusukan bahan

organik oleh bakteri (Sadzali, 2010).

Potensi keasaman limbah cair tahu dapat dimanfaatkan untuk asidulasi batuan

fosfat. Diharapkan kombinasi antara asam sulfat dan limbah cair tahu dengan

perbandingan tertentu dapat mempercepat kelarutan batuan fosfat. Dengan

demikian limbah cair tahu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk P dengan

biaya murah dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan. Oleh

karena itu, ditemukan suatu alternatif untuk mempercepat kelarutan fosfat dari

batuan fosfat dengan memanfaatkan limbah cair tahu yang dikombinasikan

dengan asam sulfat.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mencari kombinasi pelarut limbah cair tahu

dengan asam sulfat serta lama inkubasi yang memiliki kelarutan P terbaik dari

batuan fosfat.

1.3 Kerangka Pemikiran

Fosfat (P) merupakan salah satu nutrisi esensial bagi tanaman di samping unsur

nitrogen dan kalium. Untuk memenuhi kebutuhan fosfat bagi tanaman biasanya

dilakukan pemupukan fosfat. Pupuk fosfat yang sering digunakan oleh petani

(12)

pupuk. Pupuk-pupuk tersebut dibuat dari batuan fosfat dengan menggunakan

asam-asam konvensional. Asam konvensional yang sering digunakan yaitu asam

sulfat (H2SO4) (Subiksa dan Setyorini, 2009). Berdasarkan penelitian Ridwan

(2011), menunjukkan bahwa pada konsentrasi asam sulfat (H2SO4) 70% dalam

pembuatan pupuk super fosfat memiliki kandungan P2O5 sebesar 27,75%. Hal ini

jelas bahwa asam sulfat dapat melarutkan fosfat yang terikat kuat pada batuan

fosfat dengan kelarutan yang cukup tinggi.

Dalam pembuatan pupuk P dari batuan fosfat dengan menggunakan pelarut asam

sulfat cukup mahal, sehingga diperlukan alternatif pupuk P yang murah yaitu

dengan memanfaatkan limbah cair tahu. Limbah cair tahu merupakan limbah

berupa cairan yang dihasilkan dari proses pengolahan kedelai menjadi tahu. Jika

dilihat dari karakteristiknya, limbah cair tahu mengandung BOD 6.586 mg l-1; COD 8.640 mg l-1; ammonium 11,2 mg l-1; dan nitrat 25,355 mg l-1. Sedangkan berdasarkan Baku Mutu PP No. 82 Tahun 2001 golongan IV limbah cair tahu

mengandung BOD 500 mg l-1, COD terlarut 100 mg l-1, nitrat 20 mg l-1

(Myrasandri dan Syafila, 2012). Berdasarkan penelitian Fithriyah (2011), limbah

cair tahu juga mengandung unsur hara makro seperti N-total 69,28 mg l-1; P-total 39,83 mg l-1; dan K sebesar 616 mg l-1. Untuk itu limbah cair tahu harus dikelola dengan baik agar tidak menyebabkan pencemaran lingkungan.

Diketahui bahwa limbah cair tahu dapat melarutkan fosfat dari batuan fosfat

sebesar 11,75% (%P2O5) pada 30 hari inkubasi. Walaupun limbah cair tahu dapat

melarutkan batuan fosfat, namun tetap saja kelarutannya masih lebih tinggi

(13)

sebesar 14,70% pada 30 hari inkubasi (Woro, 2012). Berdasarkan penelitian

Fithriyah (2011), limbah cair tahu memiliki pH berkisar 3–5. Hal ini juga

didukung oleh penelitian Woro (2012), pH limbah cair tahu yaitu sebesar 4,36

sedangkan asam sulfat memiliki pH sebesar -0,30. Oleh karena itu, kelarutan

fosfat dari batuan fosfat lebih tinggi dengan menggunakan pelarut asam sulfat

dibandingkan dengan limbah cair tahu, sehingga dalam melarutkan batuan fosfat

dengan menggunakan pelarut limbah cair tahu perlu ditambah asam sulfat dengan

persentase tertentu agar diperoleh pH pelarut mendekati asam sulfat sehingga

pelarut tersebut dapat melarutkan batuan fosfat dengan cepat.

Pupuk fosfat alam mempunyai kelarutan yang rendah sehingga pupuk P dalam

tanah lambat tersedia. Oleh karena itu, dalam pembuatan pupuk fosfat industri

menjadi pupuk yang mudah larut dilakukan dengan cara pengasaman (asidulasi)

menggunakan asam fosfat, sulfat atau asam nitrat sehingga terbentuk super fosfat

(Soelaeman, 2008). Namun dalam pembuatan pupuk P-industri tersebut

membutuhkan biaya yang tinggi, menyebabkan harga pupuk di pasaran menjadi

mahal. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif untuk menghasilkan pupuk P

dengan biaya yang murah yaitu dengan memanfaatkan limbah cair tahu sebagai

pelarut batuan fosfat.

Potensi keasaman limbah cair tahu dapat dimanfaatkan untuk asidulasi batuan

fosfat, namun tetap saja kelarutannya masih tinggi dengan menggunakan asam

sulfat yang harganya cukup mahal. Untuk itu limbah cair tahu perlu

dikombinasikan dengan pelarut asam sulfat dan diharapkan pelarutan P dari

(14)

dengan asam sulfat tersebut mendekati pelarut asam sulfat. Dengan demikian

limbah cair tahu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk P dengan biaya

murah dan mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

Reaksi kelarutan fosfat dari batuan fosfat dengan menggunakan pelarut limbah

cair tahu yang dikombinasikan dengan pelarut asam sulfat diduga:

Ca3(PO4)2 + H2SO4 + H+ 3Ca2+ + H2PO4- + SO4

HPO4-2

batuan fosfat pelarut hasil dekom- P-larut asam kuat posisi LCT

1.4 Hipotesis

1. Kelarutan P dari batuan fosfat tertinggi terjadi pada pelarut asam sulfat.

2. Terdapat kombinasi pelarut asam sulfat dengan limbah cair tahu yang

menghasilkan P-larut terbaik dari batuan fosfat mendekati pelarut asam

sulfat.

3. Terdapat lama inkubasi terbaik terhadap P-larut dari batuan fosfat.

4. Terdapat interaksi antara perbandingan campuran (limbah cair tahu dan

asam sulfat) dengan lama inkubasi perendaman batuan fosfat terhadap fosfat

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketersediaan P dalam Tanah

Fosfor yang ada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk

organik P ditemukan dalam bahan organik dan humus. Fosfor dalam bahan

organik dilepaskan melalui proses mineralisasi melibatkan organisme tanah.

Aktivitas mikroba ini sangat dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan suhu. Fosfor

anorganik bermuatan negatif di sebagian besar tanah. Fosfor bereaksi dengan besi

(Fe) bermuatan positif, aluminium (Al), dan kalsium (Ca) untuk membentuk zat

relatif tidak larut.

Kelarutan senyawa fosfor anorganik secara langsung mempengaruhi ketersediaan

P untuk pertumbuhan tanaman. Kelarutan P dipengaruhi oleh pH tanah.

Kelarutan fosfor tanah untuk tanaman yaitu pada pH 6–7. Apabila pH dibawah 6,

maka fosfor akan terikat oleh Fe dan Al. Ketersediaan fosfor umumnya rendah

pada tanah asam dan basa. Pada tanah dengan pH diatas 7, maka fosfor akan

diikat oleh Mg dan Ca (Mallarino, 2000).

Kelarutan fosfat alam dalam tanah dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia fosfat

alam itu sendiri, tanah, dan tanaman (Balai Penelitian Tanah, 2012; Rajandkk.,

1996 dalam Hartatik dan Idris, 2008). Tingkat kelarutan akan menentukan

(16)

Demikian pula kehalusan atau ukuran butir pupuk, makin halus ukuran butir maka

kelarutannya makin tinggi. Namun, beberapa pupuk fosfat alam kelarutannya

ditentukan oleh sifat reaktivitas kimianya. Sifat tanah yang menentukan kelarutan

fosfat alam yaitu keasaman atau pH. Fosfat alam lebih mudah larut pada tanah

yang memiliki pH rendah (masam), sebaliknya pada tanah dengan pH tinggi,

kelarutannya menurun. Oleh karena itu, fosfat alam tidak sesuai diaplikasikan

pada tanah yang bereaksi netral hingga alkalis.

Kadar kalsium (Ca) yang tinggi dalam tanah akan menghambat kelarutan fosfat

alam, sedangkan tanah yang mempunyai kadar Ca rendah akan mendorong

pelarutan fosfat alam secara terus menerus. Tanah Ultisol umumnya mempunyai

kadar Ca rendah sehingga aplikasi fosfat alam efektif meningkatkan ketersediaan

P tanah bagi tanaman. Jenis tanaman juga mempengaruhi serapan hara P dari

tanah. Proses metabolisme perakaran yang mengeluarkan eksudat berupa

asam-asam organik menyebabkan daerah sekitar perakaran menjadi masam-asam sehingga

akan menstimulasi kelarutan pupuk fosfat alam dalam tanah (Balai Penelitian

Tanah, 2012).

2.2 Sumber Pupuk Fosfat

2.2.1 Pupuk Fosfat Alam

Penggunaan pupuk fosfat alam untuk pertanian sampai saat ini masih sangat

diperlukan oleh petani. Pupuk fosfat alam mengandung P yang merupakan salah

satu dari tiga unsur makro atau esensial selain N dan K yang dibutuhkan untuk

(17)

biasanya digunakan dalam pertanian sebagai pupuk buatan (Suciati, 2004 dalam

Hartanto, 2012). Unsur P diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Kekurangan

unsur hara makro ini menyebabkan menurunnya produksi buah dan biji. Gejala

yang ditimbulkan akibat kekurangan unsur hara ini yaitu daun muda berwarna

merah keunguan, ujung daun nampak seperti terbakar dan daun tua berwarna

hitam serta pembentukan buah dan biji berkurang (Rioardi, 2009).

Fosfat alam berasal dari proses geokimia yang terjadi secara alami, yang biasa

disebut deposit batuan fosfat. Batuan fosfat dapat ditemukan di alam sebagai

batuan endapan atau sedimen, batuan beku, batuan metamorfik, dan guano.

Fosfat alam yang berasal dari batuan beku umumnya digunakan sebagai bahan

baku industri pupuk P. Fosfat alam yang berasal dari batuan endapan atau

sedimen yang mempunyai reaktivitas tinggi dapat digunakan secara langsung

sebagai pupuk. Sifat fosfat alam yaitu tidak larut dalam air, tetapi larut dalam

kondisi asam. Kadar P2O5 dan kelarutannya bervariasi, ukuran butiran halus

sampai kasar, hara P tersedia lambat (slow release), dan mengandung hara Ca

cukup tinggi (Balai Penelitian Tanah, 2012). Berdasarkan proses-proses

pembentukannya fosfat alam dapat dibedakan menjadi tiga (Kasno, dkk., 2012)

yaitu:

1. Fosfat primer terbentuk dari pembekuan magma alkali yang mengandung

mineral fosfat apatit, terutama fluorapatite. Apatit dapat dibedakan atas

chlorapatite {3Ca3(PO4)2CaCl2} dan fluorapatite {3Ca3(PO4)2CaF2}.

2. Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang

terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan lingkungan yang

(18)

disebut phosphorite. Bahan endapan ini dapat ditemukan dalam endapan

yang berlapis-lapis hingga ribuan mil persegi. Elemen P berasal dari

pelarutan batuan, sebagian P diserap oleh tanaman dan sebagian lagi terbawa

oleh aliran ke laut dalam.

3. Fosfat guano, merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan

kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh

air hujan dan air tanah.

Fosfat alam mengandung P larut air sangat kecil, sehingga bila digunakan dalam

tanah sejumlah pelarutan hanya terjadi oleh reaksi antara fosfat alam dengan ion

hidrogen yang ada. Agar fosfat alam menjadi pupuk yang efektif, fosfat alam

harus reaktif sehingga mudah larut dalam tanah.

2.2.2 Bentuk Pupuk P Industri

Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) bentuk-bentuk pupuk P Industri antara

lain yaitu :

1. Enkel Super Phosphate {ES = Ca(H2PO4)2 + CaSO4}

Sejak zaman Belanda ES sudah populer digunakan sebagai pupuk P dan sering

disebut Single Super Phosphate. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan bahan

baku batuan fosfat (apatit) dan diasamkan dengan asam sulfat untuk mengubah P

yang tidak tersedia menjadi tersedia untuk tanaman. Reaksi singkat pembuatan

ES yaitu:

(19)

Kandungan fosfat terdiri dari dihidro fosfat dan gipsum. Kadar P2O5 sebesar

18–24% dan kapur (CaO) sebesar 24–28%. Bentuk pupuk ini berupa tepung

berwarna putih kelabu dan sedikit larut dalam air. Syarat yang harus dipenuhi

kadar (F2O3 + Al2O3) kurang dari 3%. Apabila terlalu banyak mengandung kedua

oksida tersebut yang bersifat racun bagi tanaman, kedua oksida tersebut dapat

bereaksi dengan fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman (terjadi fiksasi P oleh

Fe dan Al). Dalam penyimpanan sering mengalami kerusakan fisik tetapi tidak

mengalami perubahan kimianya. Dalam pemakaiannya dianjurkan sebagai pupuk

dasar yaitu pemupukan sebelum ada tanaman agar pada saat tanaman mulai

tumbuh P sudah dapat diserap oleh akar tanaman. Pupuk ES masih mengandung

gipsum (CaSO4) cukup tinggi dan untuk beberbagai jenis tanah sering

menyebabkan struktur tanah menjadi menggumpal seperti padas dan kedap

terhadap air. Hal ini yang sering dianggap sifat merugikan dari pupuk ES.

2. Double Super Phosphate (DS)

Berbeda dengan ES, pupuk ini dianggap tidak mengandung gipsum, dalam

pembuatannya digunakan asam fosfat yang berfungsi sebagai pengasam dan untuk

meningkatkan kadar P. Reaksi pembuatannya yaitu:

(Ca3PO4)2CaF + 4H3PO4+ 3H2O 3Ca(H2PO4)2 + HF

Pupuk DS memiliki kadar P2O5 sebesar 38%. Pupuk DS telah lama digunakan di

Indonesia baik oleh petani maupun di perkebunan besar. Pupuk tersebut berwarna

abu-abu coklat muda dan sebagian P larut dalam air, serta kemungkinan pelindian

(20)

maka akan terjadi sematan P oleh kedua unsur tersebut. Asam H3PO4 diperoleh

dari:

Ca3 (PO4)3CaF + 3H2SO4 2H3PO4 + CaSO4 + HF

3. Triple Super Phosphate (TSP)

Rumus kimia TSP yaitu Ca(H2PO4). Sifat umum pupuk Triple Super Phosphate

(TSP) sama dengan dengan pupuk DS. Kadar P2O5 pupuk ini sekitar 44–46%,

walaupun secara teoritis dapat mencapai 56%. Pembuatan pupuk TSP dengan

menggunakan sistem wet process. Dalam proses ini batuan fosfat alam (rock

phosphate) diasamkam dengan asam fosfat hasil proses sebelumnya (seperti

pembuatan pupuk DS). Reaksi dasarnya yaitu:

Ca3(PO4)2CaF + H3PO4 Ca(H2PO4)2 + Ca(OH)2 + HF

2.3 Pembuatan Pupuk P Industri

Prinsip dari proses pembuatan pupuk super fosfat yaitu dengan merubah

trikalsium fosfat dalam batuan fosfat menjadi monokalsium fosfat dengan cara

pengasaman oleh asam sulfat dan asam fosfat (Husein dkk., 1998). Proses

tersebut dapat terbagi dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap pertama yaitu difusi asam sulfat ke dalam partikel batuan fosfat

disertai oleh reaksi kimia yang cepat pada permukaan partikel, yang berlanjut

sampai asam tersebut terpakai seluruhnya dan terjadi kristalisasi kalsium

sulfat. Reaksi tahap pertama yaitu:

(21)

2. Tahap kedua adalah difusi dari asam fosfat yang terbentuk ke dalam pori-pori

partikel batuan fosfat yang tak terdekomposisi. Hal ini disertai oleh reaksi

tahap kedua yaitu:

Ca3(PO4)2 + 4H3PO4 + 3H2O 3Ca(H2PO4)2H2O

Tahap selanjutnya dari proses ini yaitu ageing (penyimpanan). Pada proses

ageing ini terjadi pembentukan dan kristalisasi monokalsium fosfat yang

merupakan proses yang lambat selama 21 hari. Lambatnya kecepatan pada tahap

ini merupakan akibat dari lambatnya difusi asam fosfat melalui lapisan

monokalsium fosfat yang terbentuk pada permukaan butiran batuan fosfat

(Ridwan, 2011). Berikut ini merupakan kriteria pupuk fosfat yang digunakan

dalam persyaratan kualitas pupuk fosfat di Indonesia.

Tabel 1. Syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005 dalam Hartanto, 2009).

No Uraian Persyaratan

Kualitas A Kualitas B Kualitas C Kualitas D

1 Kadar fosfor sebagai P2O5 -Total

- Larut asam sitrat 2%

min 28% min 7%

min 24% min 6% min 14% min 3,5% min 10% min 2,5%

2 Kadar air maks 5% maks 5% maks 5% maks 5%

3 Kehalusan - Kehalusan lolos 80 mesh Tyler - Kehalusan lolos 25 mesh Tyler

min 50% min 80% min 50% min 80% min 50% min 80% min 50% min 80%

4 Cemaran logam: - Cadmium (Cd)

- Timbal (Pb)

- Raksa (Hg)

maks 100 ppm maks 500 ppm maks10 ppm maks 100 ppm maks 500 ppm maks10 ppm maks 100 ppm maks 500 ppm maks10 ppm maks 100 ppm maks 500 ppm maks10 ppm 5 Cemaran arsen (As) Maks

(22)

2.4 Potensi Limbah Cair Tahu dalam Pembuatan Pupuk P Industri

Fosfat alam merupakan batuan apatit yang mengandung fosfat cukup tinggi

sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pupuk. Pupuk

alam mempunyai kelarutan yang rendah pada tanah bereaksi agak netral sampai

netral, sehingga P di dalam tanah lambat tersedia. Oleh karena itu, dalam

pembuatan pupuk fosfat di pabrik menjadi pupuk yang mudah larut dilakukan

dengan cara pengasaman menggunakan asam fosfat, sulfat atau asam nitrat

sehingga terbentuk super fosfat, triple super phosphate, SP-36 , dan

nitrophosphate (Soelaiman, 2008). Namun, proses pengasaman dengan

menggunakan asam-asam konvensional tersebut membutuhkan biaya yang besar.

Untuk itu diperlukan suatu alternatif untuk mengurangi penggunaan asam-asam

konvensional tersebut dengan cara penggunaannya dikombinasikan dengan

pelarut yang memiliki potensi dapat melarutkan batuan fosfat seperti limbah cair

tahu.

Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian

kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan

pengepresan/pencetakan tahu (Kaswinarni, 2007). Menurut Eckenfelder (1989)

dalam Husin (2008), parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air

buangan industri ada 2 yaitu parameter fisika dan parameter kimia. Parameter

fisika seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan parameter kimia seperti

kandungan organik (BOD dan COD), pH, N-total, dan lain-lain.

Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan dari pembuatan tahu adalah cairan

(23)

mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah cair ini

sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga

menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya

berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, dan pemasakan serta

larutan bekas rendaman kedelai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan dari

pembuat tahu kira-kira 15–20 l kg-1 bahan baku kedelai, BOD sebesar 65 g kg -1 bahan baku kedelai dan COD sebesar 130 g kg -1 bahan baku kedelai (EMDI dan BAPEDAL, 1994 dalam Adidaya, 2010). Gas-gas yang biasa ditemukan dalam

limbah tahu adalah gas nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S),

amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal

dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan

(Herlambang, 2002 dalam Kaswinarni, 2007).

Sedangkan karakteristik dari limbah cair tahu yaitu memiliki temperatur melebihi

temperatur normal badan air penerima (60–80 °C), warna limbah putih

kekuningan dan keruh, pH<7, COD (Chemical Oxygen Demand) 1534 mg l-1, BOD (Biological Oxygen Demand) 950 mg l-1, TSS (Total Suspended Solid) 309 mg l-1. Padatan tersebut sebagian berupa kulit kedelai, selaput lendir, protein, lemak, dan karbohidrat. Limbah cair ini di perairan selain berpotensi

menimbulkan bau busuk karena proses anaerob pada perombakan protein, lemak,

dan karbohidrat oleh mikroorganisme, juga menambah beban pencemaran air

(24)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah

Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dari bulan

Agustus 2013 sampai dengan September 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batuan fosfat, limbah cair

industri tahu, larutan asam sulfat (H2SO4 1 N), dan bahan-bahan kimia untuk

analisis P-total (HCl 25%), P-larut (asam sitrat 2%), N-total (metode kjeldahl),

dan pH (metode elektrometrik). Batuan fosfat yang digunakan berasal dari PTPN

Bergen. Limbah cair industri tahu diambil dari industri tahu milik Bapak Dadi di

Kelurahan Gunung Sulah Bandarlampung.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain toples, mixer, alat tulis, pipa,

timbangan, dan alat-alat laboratorium lainnya yang digunakan dalam analisis di

laboratorium.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlakuan faktorial 5x4 yang

(25)

Faktor pertama adalah perbandingan campuran limbah cair tahu dengan asam

sulfat (P), yaitu:

P1 = 100% limbah cair tahu (500 ml) : 0% asam sulfat (0 ml H2SO4 1 N)

P2 = 95% limbah cair tahu (475 ml) : 5% asam sulfat (25 ml H2SO4 1 N)

P3 = 85% limbah cair tahu(425 ml) : 15% asam sulfat (75 ml H2SO4 1 N)

P4 = 75% limbah cair tahu (375 ml) : 25% asam sulfat (125 ml H2SO4 1 N)

P5 = 0% limbah cair tahu (0 ml) : 100% asam sulfat (500 ml H2SO4 1 N)

Faktor kedua adalah lama inkubasi perendaman batuan fosfat (T), yaitu:

T1 = 1 hari setelah perendaman

T2 = 3 hari setelah perendaman

T3 = 7 hari setelah perendaman

T4 = 14 hari setelah perendaman

Data dikelompokkan berdasarkan keserentakan dalam analisis batuan fosfat di

laboratorium. Kemudian data yang diperoleh diuji homogenitasnya dengan Uji

Bartlett dan aditivitasnya dengan Uji Tukey. Apabila asumsi terpenuhi, data

kemudian dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%.

Selanjutnya dibuat korelasi antara peubah utama (P-larut) dengan peubah

(26)

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pengambilan Limbah Cair Tahu

Limbah cair industri tahu diambil dari industri tahu milik Bapak Dadi di

Kelurahan Gunung Sulah Bandarlampung. Limbah cair tahu yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu limbah cair dalam keadaan segar hasil dari proses

pemasakan bubur kedelai yang telah disaring karena memiliki pH yang cukup

rendah mendekati pH pelarut asam sulfat. Limbah cair industri tahu tersebut

dianalisis awal untuk mengetahui kadar COD, BOD, fosfor, N-total, dan pH.

Analisis awal dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium

Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung.

Hasil analisis awal limbah cair tahu tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis awal limbah cair tahu.

No Parameter Satuan Sampel Segar Metode

1 pH - 3,76 Elektrometrik

2 COD mg l-1 9900 Spektrophotometri

3 BOD mg l-1 924,97 DO Metri

4 Fosfor (P) mg l-1 5,37 Spektrophotometri

5 N-total mg l-1 673,01 Kjeldahl

3.4.2 Persiapan Pelarut AsamSulfat

Normalitas pelarut asam sulfat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1 N.

Kemudian pelarut asam sulfat dianalisis pH-nya. Analisis awal dilakukan di

Laboratorium Ilmu Tanah Unila. Hasil analisis pH pelarut asam sulfat tertera

(27)

Tabel 3. Analisis pH asam sulfat.

No Parameter Satuan Asam Sulfat Metode

1 pH - 1 Elektrometrik

3.4.3 Persiapan Awal Batuan Fosfat

Batuan fosfat diambil dari PTPN Bergen dalam keadaan tepung batuan fosfat

yang sudah lolos ayakan 1 mm. Kemudian tepung batuan fosfat ditimbang

sebanyak 0,5 kg toples-1. Batuan fosfat dianalisis awal untuk mengetahui kadar P-total, P-larut, dan pH. Analisis awal dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah

Unila. Hasil analisis awal batuan fosfat tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis awal batuan fosfat.

No Parameter Satuan Sampel Segar Metode

1 pH - 7,72 Elektrometrik

2 P-total %P2O5 25,09 HCl 25% (SNI)

3 P-larut %P2O5 6,08 Asam sitrat 2% (SNI)

3.4.4 Perendaman Batuan Fosfat

Limbah cair industri tahu disiapkan dalam keadaan segar dan pelarut asam

(H2SO4 1 N). Tepung batuan fosfat (lolos saringan 1 mm) ditimbang sebanyak 0,5

kg toples-1. Kemudian tepung batuan fosfat sebanyak 0,5 kg toples-1, limbah cair industri tahu, dan pelarut asam sulfat (kombinasi pelarut 500 ml toples-1) secara bersamaan dan perlahan-lahan dimasukkan ke dalam mixer selama 5 menit.

Setelah itu campuran tersebut dituang ke dalam toples dan toples ditutup rapat.

Kemudian seluruh toples perendaman ditempatkan di lokasi pada suhu normal

(28)

3.4.5 Pengambilan Sampel dan Analisis

Pada waktu awal inkubasi 1 hari setelah pencampuran (perendaman), dari setiap

toples diambil sampelnya menggunakan pipa sebanyak 5 titik kemudian

dicampurkan. Masing-masing sampel ditimbang sesuai kebutuhan untuk analisis

P-larut, P-total, dan pH. Analisis sampel dilakukan serentak untuk setiap ulangan

(kelompok). Pengambilan sampel dan analisis berikutnya dilakukan pada

inkubasi 3 hari, 7 hari, dan 14 hari.

3.5 Prosedur Analisis

3.5.1 Analisis pH

Metode yang digunakan dalam analisis pH yaitu metode elektrometrik. Analisis

pH dilakukan dengan cara 8 g batuan fosfat ditimbang dan dimasukkan ke dalam

botol film. Kemudian 25 ml aquades ditambahkan dan dikocok dengan

menggunakan shaker selama 30 menit. Selanjutnya sampel diukur dengan

menggunakan pH-meter (Tipe Horiba F-51) yang sudah dikalibrasi dengan larutan

buffer pH 4 dan pH 7.

3.5.2 Analisis P- total

Metode yang digunakan dalam analisis P-total yaitu metode HCl 25%. Analisis

(29)

dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 20 ml HCl 25% ke dalam

erlenmeyer tersebut. Kemudian dikocok dengan menggunakan shaker selama 5

jam. Setelah dikocok selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring dan

terdapat filtrat berwarna kuning (sampel). Setelah itu dengan menggunakan

bubble bulb diambil 1 ml sampel (filtrat berwarna kuning) dan dimasukkan ke

dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan aquades 99 ml (pengenceran 100×).

Selanjutnya diambil 1 ml dari pengenceran tersebut dan dimasukkan ke botol film

kemudian ditambahkan 24 ml aquades (pengenceran menjadi 2500×). Dari

pengenceran diatas diambil 1 ml sampel dengan menggunakan bubble bulb dan

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 ml aquades

(sehingga total pengenceran yang digunakan menjadi 12.500×). Selanjutnya

ditambahkan 10 ml pereaksi P (pereaksi 1 terdiri dari amonium molibdat,

antimonil kalium tartad, asam sulfat pekat, aquades, dan pereaksi 2 yaitu asam

askorbat). Kemudian dibiarkan selama 10 menit, lalu diukur dengan

menggunakan spektrophotometer (Tipe Spectronic 20) pada panjang gelombang

693 nm. Adanya senyawa kompleks berwarna biru menunjukkan P-total.

3.5.3 Analisis P- larut

Metode yang digunakan dalam analisis P-larut yaitu metode asam sitrat 2% yang

mengacu pada prosedur kerja SNI (Sulaeman, Suparto, dan Eviati, 2005).

Analisis P-larut dilakukan dengan cara 0,25 g batuan fosfat ditimbang dan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 50 ml asam

sitrat 2% ke dalam erlenmeyer tersebut. Kemudian dikocok dengan menggunakan

(30)

kertas saring dan terdapat filtrat berwarna kuning kecoklatan (sampel). Setelah itu

dengan menggunakan bubble bulb diambil 1 ml sampel (filtrat berwarna kuning

kecoklatan) dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 9 ml pereaksi

campuran (pereaksi 1 dan pereaksi 2 dengan perbandingan 1 : 1). Pereaksi 1

terbuat dari 10 g amonium molibdat (NH4.Mo7O24.4H2O) dalam 1.000 ml

aquades. Pereaksi 2 terbuat dari 0,5 g amonium vanadat (NH4 VO3) + 70 ml

HNO3 dalam 1.000 ml aquades. Pereaksi campuran digunakan dalam keadaan

segar, tidak dapat digunakan lebih dari 1 malam. Kemudian diukur dengan

menggunakan spektrophotometer (Tipe Spectronic 20) pada panjang gelombang

466 nm. Adanya senyawa kompleks berwarna kuning menunjukkan P-larut.

3.5.4 Analisis COD

Metode yang digunakan dalam analisis COD yaitu metode spektrophotometri.

Analisis COD limbah cair tahu dilakukan dengan cara 0,2 ml atau 200 μL larutan

sampel (standar tanpa pengenceran) diambil kemudian ditambahkan 5 ml larutan

regen COD (larutan pencerna 1,5 ml + larutan pereaksi asam sulfat 3,5 ml).

Selanjutnya dipanaskan pada DRB 200 dengan suhu 150 oC selama 2 jam kemudian didinginkan selama 30 menit. Diukur kadar COD dengan alat

spektrophotometer (Tipe Hach DR/ 4000U) pada panjang gelombang 620 nm.

3.5.5 Analisis BOD

Metode yang digunakan dalam analisis BOD yaitu metode DO Metri. Analisis

BOD limbah cair tahu dilakukan dengan cara aquades dimasukkan ke dalam gelas

(31)

dimasukkan ke dalam botol BOD sampai penuh sambil terus diaduk dengan

stirrer. Selanjutnya angka pada DO meter dibaca, pada saat stabil ditekan tombol

cal pada DO meter. Setelah itu disiapkan buffer (magnesium sulfat, ferri klorida,

kalsium klorida, fosfat) dan seed bakteri. Selanjutnya dimasukkan masing-masing

buffer sebayak 1 ml ke dalam erlenmeyer ukuran 1.000 ml (sampel dan blanko)

kecuali seed. Kemudian ditambahkan larutan sampel sebanyak 20 ml ke dalam

masing-masing erlenmeyer dan ditambahkan aquades sebanyak 800 ml ke dalam

masing-masing erlenmeyer. Setelah itu ditambahkan seed bakteri 10 tetes ke

dalam erlenmeyer kemudian diaduk dengan stirrer selama 5–10 menit dan blanko

yang telah disiapkan diaduk dengan stirrer selama 3 menit. Setelah itu

dimasukkan blanko ke dalam botol BOD (sebelumnya dicatat volume botol) dan

diukur dengan DO meter (Tipe DO 24-P), dan terus diulang untuk sampel

berikutnya (dibilas bila sampel yang digunakan berbeda). Kemudian botol BOD

yang telah diukur dipenuhi dan disimpan dalam inkubator dengan suhu 20 oC. Setelah 5 hari, diulangi lagi pengukuran dengan poses yang sama dengan sampel

yang telah disimpan di inkubator.

3.5.6 Analisis N-total

Metode yang digunakan dalam analisis total yaitu metode kjeldahl. Analisis

N-total limbah cair tahu dilakukan dengan cara 10 ml sampel ditambah katalis 1 g,

dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 g

campuran selenium dan 3 ml asam sulfat pekat. Selanjutnya dipanaskan dengan

alat destruksi, mula-mula dengan nyala kecil selama 15 menit kemudian dengan

(32)

menit. Selanjutnya labu kejhdahl didinginkan, setelah dingin ditambahkan air

suling sampai volume sampel 250 ml dan seluruh ekstrak contoh dipindahkan ke

dalam labu didih (gunakan aquades dan botol semprot), kemudian disiapkan

penampung untuk NH3 yang dibebaskan, yaitu erlenmeyer yang berisi 25 ml asam

borat 1% yang ditambahkan 2 tetes indikator conway (berwarna merah). Dengan

gelas ukur ditambahkan NaOH 40% sebanyak 20 ml, kemudian labu didih yang

berisi contoh cepat ditutup. Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50–

75 ml (berwarna hijau). Kemudian dititrasi destilat dengan HCl 0,1 N (berubah

warna menjadi merah muda). Dicatat volume titrasi contoh kemudian dihitung

kadar N-totalnya.

3.5.7 Analisis Fosfor (P) Limbah Cair Tahu

Metode yang digunakan dalam analisis P-total limbah cair tahu yaitu metode

spektrophotometri. Analisis P-total limbah cair tahu dilakukan dengan cara 5 ml

limbah cair tahu yang telah disaring sebelumnya diambil dengan menggunakan

bubble bulb dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 10 ml

pereaksi P (pereaksi 1 terdiri dari amonium molibdat, antimonil kalium tartad,

asam sulfat pekat, aquades, dan pereaksi 2 yaitu asam askorbat). Kemudian

dibiarkan selama 10 menit, lalu diukur dengan menggunakan spektrophotometer

(Tipe Spectronic 20) pada panjang gelombang 693 nm. Adanya senyawa

(33)

3.6 Peubah Pengamatan

3.6.1 Peubah Utama

Peubah utama yang diamati adalah analisis P-larut dalam asam sitrat 2% (SNI).

3.6.2 Peubah Pendukung

Peubah pendukung yang diamati adalah:

a. pH (Metode elektrometrik), meliputi pH batuan fosfat, pH limbah cair tahu

dan pH pelarut asam.

(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 P-larut

Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

9 (Lampiran), dan berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 10 (Lampiran)

menunjukkan bahwa asidulasi batuan fosfat dengan menggunakan kombinasi

pelarut limbah cair industri tahu dan asam sulfat serta lama inkubasi berpengaruh

sangat nyata terhadap kelarutan P-larut dari batuan fosfat. Demikian juga waktu

inkubasi terdapat interaksi yang nyata dengan kombinasi pelarut limbah cair

industri tahu dan asam sulfat terhadap P-larut.

Hasil uji lanjut BNT pada taraf uji 5% (Tabel 5) menunjukkan bahwa kombinasi

pelarut limbah cair tahu dan asam sulfat dengan waktu inkubasi T1 memiliki

P-larut tertinggi pada kombinasi peP-larut P5 dan berbeda nyata dengan P1, P2, P3,

P4, sedangkan P-larut terendah pada kombinasi pelarut P4. Pada kombinasi

pelarut limbah cair tahu dan asam sulfat dengan waktu inkubasi T2 memiliki

P-larut tertinggi pada kombinasi peP-larut P5 dan tidak berbeda nyata dengan P2, P3,

P4, tetapi berbeda nyata dengan P1 dan P-larut terendah pada kombinasi pelarut

(35)

inkubasi T3 memiliki P-larut tertinggi pada kombinasi pelarut P5 dan tidak

berbeda nyata dengan P1, P2, P3,P4. Pada kombinasi pelarut limbah cair tahu

dan asam sulfat dengan waktu inkubasi T4 memiliki P-larut tertinggi pada

kombinasi pelarut P5 dan berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4, sedangkan P-larut

terendah pada kombinasi pelarut P4 dan tidak berbeda nyata dengan P1.

Waktu inkubasi yang menghasilkan P-larut tertinggi terjadi pada waktu inkubasi

T3 (7 hari setelah perendaman) dan berbeda nyata dengan T1, T2, T4. Sedangkan

waktu inkubasi yang menghasilkan P-larut terendah terjadi pada waktu inkubasi

T1 (3 hari setelah perendaman) dan berbeda nyata dengan T2,T3,T4. Sehingga

P-larut tertinggi terjadi pada perlakuan P5T3 dan P-P-larut terendah terjadi pada

perlakuan P4T1. Namun perlakuan terbaik yang menghasilkan P-larut mendekati

[image:35.595.107.500.482.697.2]

perlakuan P5T3 yaitu pada perlakuan P3T3.

Tabel 5. Pengaruh interaksi perbandingan campuran limbah cair industri tahu dan asam sulfat dengan lama inkubasi batuan fosfat terhadap fosfat larut.

Kombinasi Pelarut

Waktu Inkubasi

T1 T2 T3 T4

P-larut (%P2O5)

P1 6,93bc 8,92d 9,82cd 8,23d

(D) (B) (A) (C)

P2 6,77bc 9,47bc 10,42ab 8,91c

(D) (B) (A) (C)

P3 7,26b 9,63ab 10,48ab 9,10bc

(D) (B) (A) (C)

P4 6,68c 9,72ab 10,06bc 8,05d

(E) (BC) (AB) (D)

P5 7,79a 9,91ab 10,80a 9,72a

(D) (B) (A) (C)

BNT 0,05 = 0,508

(36)

Berdasarkan Gambar 1 pengaruh perbandingan campuran limbah cair industri

tahu dengan asam sulfat serta lama inkubasi batuan fosfat terhadap fosfat larut

menunjukkan bahwa kelarutan P tertinggi terjadi pada perlakuan P5T3 (0%

limbah cair tahu : 100% asam sulfat) dengan 7 hari inkubasi yaitu rata-rata

sebesar 10,80% P2O5. Pelarutan P terendah terjadi pada perlakuan P4T1 (75%

limbah cair tahu : 25% asam sulfat) dengan 1 hari inkubasi yaitu rata-rata sebesar

6,68% P2O5. Perbandingan pelarut terbaik yang menghasilkan P-larut mendekati

pelarut asam sulfat (P5) yaitu pada kombinasi pelarut P3 dengan perbandingan

pelarut yaitu 85% limbah cair tahu : 15% asam sulfat dengan waktu inkubasi T3

[image:36.595.116.515.373.624.2]

(7 hari setelah perendaman) yaitu menghasilkan P-larut sebesar 10,48% P2O5.

Gambar 1. Pengaruh perbandingan campuran limbah cair industri tahu dengan asam sulfat serta lama inkubasi batuan fosfat terhadap P-larut.

(37)

4.1.2 P-total

Hasil analisis P-total batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

11 (Lampiran) dan berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 13 (Lampiran)

menunjukkan bahwa asidulasi batuan fosfat dengan menggunakan kombinasi

pelarut limbah cair industri tahu dan asam sulfat serta lama inkubasi berpengaruh

sangat nyata terhadap P-total dari batuan fosfat. Demikian juga waktu inkubasi

terdapat interaksi yang sangat nyata dengan kombinasi pelarut limbah cair industri

tahu dan asam sulfat terhadap P-total.

Berdasarkan Tabel 6 hasil uji BNT 5% terlihat bahwa P-total tertinggi terjadi pada

kombinasi pelarut limbah cair tahu dan asam sulfat P1 dengan waktu inkubasi T1

(1 hari setelah perendaman), dan berbeda nyata dengan P2, P3, P4, P5. P-total

terendah terjadi pada kombinasi pelarut P5 dengan waktu inkubasi T3 (7 hari

[image:37.595.109.490.524.718.2]

setelah perendaman), dan berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4.

Tabel 6. Pengaruh interaksi perbandingan campuran limbah cair industri tahu dan asam sulfat dengan lama inkubasi batuan fosfat terhadap P-total.

Kombinasi Pelarut

Waktu Inkubasi

T1 T2 T3 T4

P-total (%P2O5)

P1 28,50a 26,22f 25,10d 25,32d

(A) (B) (D) (C)

P2 28,32bc 26,42de 25,42c 25,87c

(A) (B) (D) (C)

P3 27,67ef 26,42cd 27,65a 26,99a

(A) (D) (B) (C)

P4 28,29cd 27,11a 25,65b 24,78e

(A) (B) (C) (D)

P5 25,54gh 26,82b 24,58e 26,76b

(C) (A) (D) (B)

BNT 0,05 = 0,162

(38)

Berdasarkan Gambar 2 pengaruh perbandingan campuran limbah cair industri

tahu dengan asam sulfat serta lama inkubasi batuan fosfat terhadap P-total

menunjukkan bahwa P-total tertinggi terjadi pada perlakuan P1T1 (100% limbah

cair tahu : 0% asam sulfat) dengan 1 hari inkubasi yaitu rata-rata sebesar 28,50%

P2O5. P-total terendah terjadi pada perlakuan P5T3 (0% limbah cair tahu : 100%

[image:38.595.113.503.264.447.2]

asam sulfat) dengan 7 hari inkubasi yaitu rata-rata sebesar 24,58% P2O5.

Gambar 2. Pengaruh perbandingan campuran limbah cair industri tahu dengan asam sulfat serta lama inkubasi batuan fosfat terhadap P-total.

Keterangan: P1= 100% limbah cair tahu : 0% asam sulfat(H2SO4 1 N), P2= 95% limbah cair tahu : 5% asam sulfat (H2SO4 1 N), P3= 85% limbah cair tahu : 15% asam sulfat (H2SO4 1 N), P4= 75% limbah cair tahu : 25% asam sulfat (H2SO4 1 N), P5= 0 % limbah cair tahu : 100% asam sulfat (H2SO4 1 N), T1= 1 hari setelah perendaman, T2= 3 hari setelah perendaman, T3= 7 hari setelah perendaman, T4= 14 hari setelah perendaman.

4.1.3 pH

Hasil analisis pH batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 14

(Lampiran) menunjukkan bahwa dari setiap pemberian perbandingan kombinasi

(39)

terjadi peristiwa perubahan pH yang signifikan pada kombinasi pelarut P1, P2, P3,

dan P4 (Gambar 3).

Gambar 3. Grafik perubahan pH batuan fosfat dengan menggunakan kombinasi pelarut limbah cair industri tahu dengan asam sulfat serta lama inkubasi terhadap P-larut.

Keterangan: P1= 100% limbah cair tahu : 0% asam sulfat(H2SO4 1 N), P2= 95% limbah cair tahu : 5% asam sulfat (H2SO4 1 N), P3= 85% limbah cair tahu : 15% asam sulfat (H2SO4 1 N), P4= 75% limbah cair tahu : 25% asam sulfat (H2SO4 1 N), P5= 0 % limbah cair tahu : 100% asam sulfat (H2SO4 1 N), T1= 1 hari setelah perendaman, T2= 3 hari setelah perendaman, T3= 7 hari setelah perendaman, T4= 14 hari setelah perendaman.

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa pada kombinasi pelarut P5 (0%

limbah cair tahu : 100% asam sulfat) memiliki pH yang lebih rendah

dibandingkan pada kombinasi pelarut P1, P2, P3, dan P4. Namun waktu inkubasi

tidak berpengaruh terhadap penurunan pH.

4.1.4 Korelasi antara P-larut dengan P-total dan pH

Berdasarkan hasil korelasi (Tabel 7) terjadi korelasi negatif yang sangat nyata

antara P-larut dengan P-total. Artinya semakin tinggi P-total maka P-larut

semakin rendah. Sedangkan korelasi antara P-larut dengan pH tidak nyata.

[image:39.595.113.486.150.314.2]
(40)

Korelasi Koefisien Nilai r

P-larut P-total pH

-0,457** -0206tn

Keterangan: *= berbeda nyata pada taraf 5% tn =tidak berbeda nyata pada taraf 5%

4.2Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis awal batuan fosfat (Tabel 3) terlihat bahwa kelarutan

batuan fosfat masih rendah yaitu sebesar 6,08% P2O5. Untuk melarutkan P dari

batuan fosfat dilakukan dengan cara asidulasi menggunakan senyawa asam seperti

asam sulfat 1 N yang memiliki pH 1 (Tabel 4). Akan tetapi dalam pembuatan

pupuk P dengan menggunakan asam sulfat membutuhkan biaya tinggi. Oleh

karena itu diperlukan alternatif pupuk P yang murah yaitu dengan memanfaatkan

limbah cair tahu sebagai pelarut batuan fosfat. Berdasarkan hasil analisis awal

limbah cair tahu (Tabel 2) terlihat bahwa limbah cair tahu memiliki pH yang

rendah yaitu 3,76 sehingga limbah cair tahu tersebut dapat dimanfaatkan untuk

melarutkan fosfat dari batuan fosfat. Namun kelarutan batuan fosfat ternyata

masih lebih tinggi dengan menggunakan pelarut asam sulfat. Sehingga limbah

cair tahu perlu dikombinasikan dengan pelarut asam sulfat untuk memperoleh

P-larut terbaik.

Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa P-larut terus mengalami peningkatan

sampai pada 7 hari setelah perendaman, setelah itu menurun pada 14 hari setelah

perendaman dan didukung oleh kenaikan pH pada 14 hari setelah perendaman

(41)

dilihat dari perbandingan pelarut, maka perbandingan pelarut yang terbaik yang

menghasilkan P-larut mendekati pelarut asam sulfat (P5) yaitu pada kombinasi

pelarut P3 dengan perbandingan pelarut yaitu 85% limbah cair tahu : 15% asam

sulfat. Namun pada perlakuan P4 (75% limbah cair tahu : 25% asam sulfat)

mengalami penurunan P-larut. Hal ini disebabkan kesetimbangan reaksi

kombinasi pelarut dalam pelarutan batuan fosfat telah dicapai atau telah jenuh

sehingga konsentrasi produk berupa H2PO4- dan HPO42- telah mencapai

maksimum, seperti diduga dengan reaksi:

Ca3(PO4)2 + H2SO4 + H+ 3Ca2+ + H2PO4- +

SO42-

Keq HPO4-2

batuan fosfat asam sulfat dekomposisi LCT

Dengan Ksp = (3Ca2+) H2PO4- telah sama dengan Keq dari Ca3(PO4)2

HPO4-2

Reaksi di atas menggambarkan suatu keadaan dimana kecepatan reaksi pada

kedua arah sama dan tidak menghasilkan perubahan sistem lebih lanjut (telah

terjadi kesetimbangan). Pada keadaan kesetimbangan yang terjadi di dalam suatu

wadah tertutup (sistem) dengan suhu dan tekanan yang sama maka reaksi akan

terjerap dan bergerak kembali kekiri sehingga produk akan

berikatan kembali dengan Ca2+ membentuk trikalsium fosfat [Ca3(PO4)2]

menyebabkan konsentrasi produk menurun. Sehingga pada 14 hari inkubasi

mengalami penurunan P-larut karena kesetimbangan telah dicapai pada 7 hari

inkubasi.

Pada kondisi di atas merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi larutan dalam

keadaan jenuh yaitu larutan yang mengandung zat terlarut dengan jumlah H2PO4-

(42)

maksimum, dalam artian tidak dapat meningkat kembali. Pada larutan jenuh

terdapat kesetimbangan antara partikel yang melarut dan partikel yang tidak

melarut (Sumardjo, 2009).

Pengaruh interaksi antarperlakuan tertinggi terjadi pada 7 hari setelah

perendaman. Kombinasi pelarut P5 yaitu dengan menggunakan 100% asam

sulfat dengan waktu inkubasi T3 (7 hari setelah perendaman) menghasilkan

P-larut tertinggi dengan nilai 10,80% P2O5. Kombinasi pelarut P5 dengan waktu

inkubasi T1 (1 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 7,79%

P2O5. Kombinasi pelarut P5 dengan waktu inkubasi T2 (3 hari setelah

perendaman) yang menghasilkan P-larut sebesar 9,91% P2O5. Kombinasi pelarut

P5 dengan waktu inkubasi T4 (14 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut

sebesar 9,72% P2O5. Kombinasi pelarut P5 dengan waktu inkubasi (T1, T2, T3,

T4) menghasilkan P-larut diatas 7% P2O5. Sehingga kombinasi pelarut P5 dengan

waktu inkubasi tersebut memenuhi syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian

(SNI 02-3776-2005) pada kategori kualitas A, dimana nilai P-larut minimal 7%

P2O5 (Tabel 1).

Kombinasi pelarut P1 (100% limbah cair tahu : 0% asam sulfat) dengan waktu

inkubasi T1 (1 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut dengan nilai 6,93%

P2O5. Kombinasi pelarut P1 dengan waktu inkubasi T2 (3 hari setelah

perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 8,92% P2O5. Kombinasi pelarut P1

dengan waktu inkubasi T3 (7 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut

sebesar 9,82% P2O5. Kombinasi pelarut P1 dengan waktu inkubasi T4 (14 hari

(43)

pelarut P1 dengan waktu inkubasi (T2, T3, T4) menghasilkan P-larut diatas 7%,

sehingga kombinasi pelarut P1 dengan waktu inkubasi tersebut memenuhi syarat

mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005) pada kategori kualitas

A, dimana nilai P-larut minimal 7% P2O5. Namun pada kombinasi pelarut P1

dengan waktu inkubasi T1 menghasilkan P-larut kurang dari 7% P2O5 dan lebih

dari 6% P2O5 sehingga masuk dalam kategori kualitas B.

Kombinasi pelarut P2 (95% limbah cair tahu : 5% asam sulfat) dengan waktu

inkubasi T1 (1 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut dengan nilai 6,77%

P2O5. Kombinasi pelarut P2 dengan waktu inkubasi T2 (3 hari setelah

perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 9,47% P2O5. Kombinasi pelarut P2

dengan waktu inkubasi T3 (7 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut

sebesar 10,42% P2O5. Kombinasi pelarut P2 dengan waktu inkubasi T4 (14 hari

setelah perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 8,91% P2O5. Kombinasi

pelarut P2 dengan waktu inkubasi (T2, T3, T4) menghasilkan P-larut diatas 7%

P2O5, sehingga kombinasi pelarut P2 dengan waktu inkubasi tersebut memenuhi

syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005) pada kategori

kualitas A, dimana nilai P-larut minimal 7% P2O5. Namun pada kombinasi

pelarut P2 dengan waktu inkubasi T1 menghasilkan P-larut kurang dari 7% P2O5

dan lebih dari 6% P2O5 sehingga masuk dalam kategori kualitas B.

Kombinasi pelarut P3 (85% limbah cair tahu :15% asam sulfat H2SO4 ) dengan

waktu inkubasi T1 (1 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut tertinggi

dengan nilai 7,26% P2O5. Kombinasi pelarut P3 dengan waktu inkubasi T2 (3

(44)

pelarut P3 dengan waktu inkubasi T3 (7 hari setelah perendaman) yang

menghasilkan P-larut sebesar 10,48% P2O5. Kombinasi pelarut P3 dengan waktu

inkubasi T4 (14 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 9,10%

P2O5. Kombinasi pelarut P3 dengan waktu inkubasi (T1, T2, T3, T4)

menghasilkan P-larut diatas 7% P2O5. Sehingga kombinasi pelarut P3 dengan

waktu inkubasi tersebut memenuhi syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian

(SNI 02-3776-2005) pada kategori kualitas A, dimana nilai P-larut minimal 7%

P2O5.

Kombinasi pelarut P4 (75% limbah cair tahu : 25% asam sulfat) dengan waktu

inkubasi T1 (1 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut dengan nilai 6,68%

P2O5. Kombinasi pelarut P4 dengan waktu inkubasi T2 (3 hari setelah

perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 9,72% P2O5. Kombinasi pelarut P4

dengan waktu inkubasi T3 (7 hari setelah perendaman) menghasilkan P-larut

sebesar 10,06% P2O5. Kombinasi pelarut P4 dengan waktu inkubasi T4 (14 hari

setelah perendaman) menghasilkan P-larut sebesar 8,05% P2O5. Kombinasi

pelarut P4 dengan waktu inkubasi (T2, T3, T4) menghasilkan P-larut diatas 7%

P2O5, sehingga kombinasi pelarut P4 dengan waktu inkubasi tersebut memenuhi

syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005) pada kategori

kualitas A, dimana nilai P-larut minimal 7% P2O5. Namun pada kombinasi

pelarut P4 dengan waktu inkubasi T1 menghasilkan P-larut kurang dari 7% P2O5

dan lebih dari 6% P2O5 sehingga masuk dalam kategori kualitas B.

Namun apabila kita mencari kombinasi pelarut terbaik yang digunakan untuk

(45)

:15% asam sulfat H2SO4 ) karena tidak berbeda nyata dengan kombinasi pelarut

P5 (0% limbah cair tahu :100% asam sulfat H2SO4 ) atau menghasilkan P-larut

mendekati P5. Dari hasil penelitian terlihat bahwa kombinasi pelarut P3 dengan

waktu inkubasi T1,T2,T3, dan T4 menurut SNI 02-3776-2005 masuk dalam

kategori kualitas A. Hal ini sama seperti kombinasi pelarut P5 yaitu dengan

waktu inkubasi T1,T2,T3, dan T4 masuk kedalam kualitas A .

Pada Gambar 3 terlihat bahwa asidulasi batuan fosfat dengan menggunakan 100%

asam sulfat memiliki pH yang rendah, namun pada kombinasi pelarut limbah cair

tahu dan asam sulfat tidak mengalami perubahan pH yang signifikan, akan tetapi

tetap mengalami peningkatan P-larut. Hal ini disebabkan limbah cair tahu

merupakan limbah organik. Limbah organik termasuk kedalam golongan asam

lemah yaitu asam yang hanya sebagian terurai menjadi ion (terionisasi sebagian).

Reaksi ionisasi asam lemah merupakan reaksi kesetimbangan, dimana laju reaksi

maju dan reaksi balik sama besar dan konsentrasi reaktan dan produk tidak lagi

berubah seiring berjalannya waktu (Chang, 2004). Selain itu, reaksi asam dan

basa yang sama kekuatannya (limbah cair tahu termasuk kedalam golongan asam

lemah dan batuan termasuk dalam golongan basa lemah) akan menghasilkan

larutan netral atau pH netral (Keenan, Kleinfelter, dan Wood, 1984) dan reaksi

antara asam lemah atau basa lemah dengan garamnya juga berfungsi sebagai

larutan penyangga yang dapat mengikat baik ion H+ maupun ion OH-. Sehingga penambahan sedikit asam kuat atau basa kuat tidak mengubah pH-nya secara

signifikan (Hidayatullah, 2013). Oleh karena itu pada kombinasi pelarut tidak

mengalami perubahan pH yang signifikan.

(46)

Asidulasi batuan fosfat dengan menggunakan 100% asam sulfat memiliki pH

yang rendah (nilai pH ± 5) karena asam yang dihasilkan lebih kuat daripada basa

yang dihasilkan sehingga diperoleh larutan asam lemah dengan nilai pH berkisar 5

(Keenan, Kleinfelter, dan Wood, 1984). Akan tetapi pada kombinasi pelarut terus

mengalami peningkatan P-larut, disebabkan pada kombinasi pelarut masih

menggunakan tambahan pelarut asam sulfat sesuai dengan perbandingan. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Subiksa dan Setyorini (2009) bahwa penambahan asam

dimaksudkan untuk menghancurkan mineral apatit sehingga fosfat membentuk

ikatan yang lebih lemah sehingga mudah larut dan pada akhirnya lebih tersedia

bagi tanaman. Namun jika dilihat dari waktu inkubasi pada T4 (14 hari setelah

perendaman) mengalami kenaikan pH karena adanya Ca2+ dari batuan fosfat yang bereaksi dengan air pada kondisi asam (pelarut asam), maka akan terbentuk OH -yang menjadikan pH meningkat seperti pada reaksi di bawah ini (Salam, 2012):

Ca3(PO4)2 + 2H2O + 2H+ 3Ca2+ + 2H2PO4 + 2OH-

Dalam penelitian ini limbah cair tahu mengandung BOD dan COD yang cukup

tinggi (Tabel 2) sehingga suplai karbon melimpah menyebabkan kecepatan

pertumbuhan mikroorganisme akan berlipat ganda. Artinya semakin tinggi BOD

dan COD maka jumlah mikroorganisme juga akan semakin banyak sehingga

dapat dimanfaatkan untuk melarutkan fosfat karena mikroorganisme pelarut fosfat

yang ada di dalam limbah cair tahu dapat mengeluarkan enzim fosfatase yang

dapat melarutkan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi

bentuk yang tersedia. Dengan kata lain, semakin tinggi BOD dan COD maka

(47)

Hasil uji korelasi (Tabel 7) menunjukkan korelasi negatif yang sangat nyata antara

P-larut dengan P-total. Artinya semakin tinggi P-total maka P-larut semakin

rendah. Hal ini disebabkan karena batuan fosfat yang berasal dari PTPN Bergen

memiliki kandungan P-total yang tinggi yaitu sebesar 25,09% P2O5 dan P-larut

sebesar 6,08% P2O5. Namun setelah diberi perlakuan batuan fosfat mengalami

peningkatan P-larut dengan kandungan P-total tetap stabil. Hal tersebut yang

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan

yaitu pelarutan P dari batuan fosfat tertinggi terjadi pada kombinasi pelarut (0%

limbah cair tahu : 100% asam sulfat) dengan 7 hari inkubasi yaitu sebesar 10,80%

P2O5. Perbandingan pelarut terbaik yang menghasilkan P-larut mendekati pelarut

asam sulfat yaitu pada kombinasi pelarut (85% limbah cair tahu : 15% asam

sulfat). Pelarutan P menggunakan kombinasi pelarut (0% limbah cair tahu : 100%

asam sulfat) dan (85% limbah cair tahu : 15% asam sulfat) dengan semua waktu

inkubasi memenuhi syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI

02-3776-2005) pada kategori kualitas A.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka disarankan untuk memaksimalkan

peningkatan P-larut dengan melakukan penelitian dengan memperpanjang waktu

me-mixer campuran batuan fosfat dengan pelarut agar diperoleh waktu yang tepat

sehingga dapat menghasilkan nilai P-larut terbaik, misalnya 10 menit, 15 menit,

20 menit, 25 menit, atau 30 menit. Kemudian setelah dilakukan pencampuran di

(49)

selama 1 jam agar terjadi reaksi pembentukan superfosfat. Selain dengan

menggunakan mixer bisa juga dengan alat penyemprot yang memiliki tekanan

tinggi kemudian pelarut asam sulfat dan limbah cair tahu langsung disemprotkan

(50)

PUSTAKA ACUAN

Adidaya. 2010. Limbah Cair Tahu menjadi Biogas. http://waystoperfect. blogspot.com/2010/05/limbah-cair-tahu-menjadi-biogas.html. Diakses pada tanggal 05 Mei 2012.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Data Pekerjaan BPS. http://sucira.wordpress. com/2013/06/13/hasil-ngulik-data-bps/. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2013.

Balai Penelitian Tanah. 2012. Fosfat Alam Sumber Pupuk P yang Murah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 3 hlm.

Bartow, 2010. Phosphate Primer. http://www1.fipr.state.fl.us/PhosphatePrimer. Diunduh pada tanggal 05 Mei 2012.

Budi, F.S. dan A. Purbasari. 2009. Pembuatan pupuk fosfat dari batuan fosfat alam secara acidulasi. J.Teknik 30 (2): 93–97.

Chang, R. 2004. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 1 Edisi 3. Erlangga. Jakarta. 440 hlm.

Fithriyah, N. R. 2011. Studi Pemanfaatan Limbah Cair Tahu untuk Pupuk Cair Tanaman (Studi Kasus Pabrik Tahu Kenjeran). Institut Sepuluh November. Surabaya. 49 hlm.

Hartanto, E. S. 2009. Penerapan SNI produk pupuk fosfat alam untuk pertanian oleh industri. Peneliti pada Bidang Sarana Riset dan Standardisasi, Balai Besar Industri Agro. Bogor. 7 hlm.

Hartatik, W. dan Idris, K. 2008. Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral. J. Tanah dan Iklim 27(1): 45– 46.

(51)

Husein, M., Y. Kodradi dan A. Kohlik. 1998. Super Phosphate Fertilizer Plant Optimalization. www.petrokimia gresik.com/main-product.htm. PT Petrokimia Gresik (Persero), Indonesia. Diakses pada tangggal 13 November 2012.

Husin. 2008. Pengolahan limbah cair industri tahu dengan biofiltrasi anaerob dalam reaktor fixed-bed. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan. 30 hlm.

Kasno, A., S. Rochayati, dan Bambang, H. P. 2007. Deposit, Penyebaran dan Karakteristik Fosfat Alam. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 150 hlm.

Kaswinarni, F. 2007. Kajian teknis pengolahan limbah padat dan cair industri tahu. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 9 hlm.

Keenan, C.W., D.C. Kleinfelter, dan J.H. Wood. 1984. Ilmu Kimia untuk Universitas. Erlangga. Jakarta. 542 hlm.

Mallarino, A. 2000. Soil Testing and Available Phosphorus. Integrade Crop Management News. Iowa State University.

Myrasandri, P., dan Syafila, M. 2012. Degradasi senyawa organik limbah cair tahu dalam Anaerobic Baffled Reactor. Jurnal Teknik Sipil. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut

Teknologi Bandung. 2 hlm.

Nurjaya, A. Kasno, dan A. Rachman.2009. Penggunaan Fosfat Alam untuk Tanaman Perkebunan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 150 hlm.

Ridwan, I. 2011. Pembuatan pupuk super fosfat dengan variasi diameter partikel batuan fosfat dan variasi konsentrasi asam sulfat. J. Fliuda 7 (1): 36–40.

Rioardi. 2009. Unsur Hara dalam Tanah (Makro dan Mikro). http://rioardi. wordpress.com/2009/03/03/unsur-hara-dalam-tanah-makro-dan-mikro/. Diakses pada tanggal 05 Mei 2012.

Rosmarkam, A., dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Jakarta. 255 hlm.

Sadzali, I. 2010. Potensi limbah tahu sebagai biogas. J. Universitas Indonesia untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi 1(1): 64–65.

Salam, A. K. 2012. Ilmu Tanah Fundamental. Global Madani Press. Bandar Lampung. 362 hlm.

(52)

Subiksa dan Setyorini. 2009. Pemanfaatan Fosfat Alam untuk Lahan Sulfat Masam. Balai Penelitian tanah. Bogor. 150 hlm.

Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Petunjuk teknik analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 143 hlm.

Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia (Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran). Kedokteran EGC. Jakarta. 650 hlm.

(53)
[image:53.595.108.506.112.483.2]

Tabel 8. Data P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi.

Perlakuan

Ulangan

Jumlah Rata-rata

Standar Deviasi

I II III

...%P2O5...

P1T1 6,80 7,19 6,80 20,79 6,93 ±0,23

P2T1 6,80 6,61 6,89 20,3 6,77 ±0,14

P3T1 7,19 7,19 7,39 21,77 7,26 ±0,12

P4T1 6,80 6,80 6,43 20,03 6,68 ±0,21

P5T1 7,29 7,81 8,26 23,36 7,79 ±0,49

P1T2 8,50 9,26 9,00 26,76 8,92 ±0,39

P2T2 9,47 9,42 9,53 28,42 9,47 ±0,06

P3T2 10,11 9,53 9,26 28,9 9,63 ±0,43

P4T2 9,81 9,81 9,53 29,15 9,72 ±0,16

P5T2 9,81 9,81 10,11 29,73 9,91 ±0,17

P1T3 10,11 9,53 9,81 29,45 9,82 ±0,29

P2T3 10,42 10,74 10,11 31,27 10,42 ±0,48

P3T3 10,57 10,90 9,96 31,43 10,48 ±0,32

P4T3 9,81 10,11 10,26 30,18 10,06 ±0,23

P5T3 11,07 10,90 10,42 32,39 10,80 ±0,34

P1T4 8,5 8,26 7,92 24,68 8,23 ±0,29

P2T4 9,00 8,87 8,87 26,74 8,91 ±0,08

P3T4 9,26 9,53 8,50 27,29 9,10 ±0,53

P4T4 7,60 8,50 8,04 24,14 8,05 ±0,45

P5T4 9,81 9,53 9,81 29,15 9,72 ±0,16

Keterangan : P1= 100% limbah cair tahu : 0% asam sulfat (H2SO4 1 N), P2= 95%

limbah cair tahu : 5% asam sulfat (H2SO4 1 N), P3= 85% limbah

cair tahu : 15% asam sulfat (H2SO4 1 N), P4= 75% limbah cair tahu :

25% asam sulfat (H2SO4 1 N), P5= 0 % limbah cair tahu : 100%

asam sulfat (H2SO4 1 N), T1= 1 hari setelah perendaman, T2= 3

(54)
[image:54.595.108.513.111.492.2]

Tabel 9. Uji homogenitas P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi.

Perlakuan n-1 1/(n-1) JK S2 Log S2 (n-1)*log S2

P1T1 2 0,5 0,10 0,05 -1,29 -2,59

P2T1 2 0,5 0,04 0,02 -1,69 -3,38

P3T1 2 0,5 0,03 0,01 -1,88 -3,75

P4T1 2 0,5 0,09 0,05 -1,34 -2,68

P5T1 2 0,5 0,47 0,24 -0,63 -1,26

P1T2 2 0,5 0,30 0,15 -0,83 -1,65

P2T2 2 0,5 0,01 0,00 -2,52 -5,04

P3T2 2 0,5 0,38 0,19 -0,72 -1,45

P4T2 2 0,5 0,05 0,03 -1,58 -3,17

P5T2 2 0,5 0,06 0,03 -1,52 -3,05

P1T3 2 0,5 0,17 0,08 -1,08 -2,15

P2T3 2 0,5 0,45 0,23 -0,64 -1,29

P3T3 2 0,5 0,20 0,10 -1,00 -2,01

P4T3 2 0,5 0,11 0,05 -1,28 -2,56

P5T3 2 0,5 0,23 0,11 -0,94 -1,89

P1T4 2 0,5 0,17 0,08 -1,07 -2,14

P2T4 2 0,5 0,01 0,01 -2,25 -4,50

P3T4 2 0,5 0,57 0,29 -0,54 -1,09

P4T4 2 0,5 0,41 0,20 -0,69 -1,39

P5T4 2 0,5 0,05 0,03 -1,58 -3,17

X2 = 22,31 X2 terkoreksi = 18,98

FK = 1,18 X2 tabel = 30,14 Homogen

Tabel 10. Analisis ragam P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi.

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat

Tengah F hitung

F-tabel 0,05 0,01

Kelompok 2 0,29 0,14 1,53tn 3,24 5,21

Perlakuan 19 96,98 5,10 53,90** 1,87 2,42

P 4 8,63 2,16 22,79** 2,62 3,86

T 3 85,58 2

Gambar

Tabel                                                                                                         Halaman
Tabel 1. Syarat mutu pupuk P-alam untuk pertanian (SNI 02-3776-2005 dalam Hartanto, 2009)
Tabel 2. Analisis awal limbah cair tahu.
Tabel 4. Analisis awal batuan fosfat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh penulis berfokus pada determinan risiko sistematis berupa rasio-rasio keuangan dan melihat pengaruhnya terhadap risiko sistematis yang

 Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar waktu manajer tersita untuk kegiatan operasi perusahaan dari hari ke hari, yang kurang lebih dapat diartikan sebagai manajemen

Rangkaian sensor cahaya BST, sensor suhu BST, driver relay , motor servo , LCD, switch, mikrokontroler ATMega8535 digabungkan menjadi satu dalam suatu prototipe

Secara absolut dapat dilihat bahwa investasi pada industri kimia bergerak sangat pesat dimana pengeluaran investasi tersebut sejak tahun 2001 selalu tertanam sekitar diatas 30

Sedangkan dalam penelitian ini, masalah yang diteliti adalah faktor-faktor penyebab konflik kebijakan dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2013 dimana

Komputer tidak dapat lepas dari setiap kegiatan manusia, apabila komputer atau laptop mengalami masalah atau trouble, maka kegiatan kita akan tertunda, untuk membantu dalam

Pdn adalah sebuah fenonena di atmosfer yang berbahala dan neruek Arus yang besd disnai peluahd fruaran tidak hanya.. nengatiba&amp;an korusakan berat di objck

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebelumnya, total nilai yang dibobot pada matriks IFE adalah 2,528 yang artinya AAPS memiliki faktor internal yang berada di