• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK (Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK (Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK

(Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Cabang Panjang)

Oleh

MUHAMMAD ERI FATRIANSYAH

Diversi merupakan proses penyelesaian perkara pidana anak diluar proses peradilan dan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang bertujuan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Permasalahan didalam skripsi ini adalah (a). Bagaimanakah pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan dalam penyelesaian perkara tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak ? dan (b). Apakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan dalam penyelesaian perkara tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak ?

Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab pertanyaan di atas adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi lapangan. Pengolahan data yaitu melalui editing dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterpretasikan untuk dianalisis secara kualitatif, selanjutnya untuk ditarik sebuah kesimpulan.

(2)

Muhammad Eri Fatriansyah

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan terbagi atas beberapa faktor, antara lain adalah yang pertama faktor hukumnya itu sendiri yang dimana masih terdapat beberapa kelemahan didalam peraturannya. Kedua, faktor penegak hukumnya, masih banyak aparat penegak hukum yang masih belum memahami pelaksanaan proses diversi. Ketiga, Faktor sarana atau fasilitas yang masih kurang memadai. Keempat, Faktor masyarakat yang masih belum memahami hak-hak Anak. Kelima, Faktor kebudayaan yang memandang segala perbuatan yang melanggar moral harus dihukum tanpa mempertimbangkan dampak kepada Anak yang menanggung beban dari beratnya sanksi pidana. Saran penulis seharusnya dalam menjalankan proses peradilan secara terpadu khususnya proses diversi ini diperlukannya sarana, fasilitas, serta aparat-aparat penegak hukum yang lebih baik juga profesional, dan perlu ditingkatkannya sumber daya manusia yang ada, seperti halnya diberikan pelatihan-pelatihan yang sesuai guna menunjang kinerja aparat penegak hukum itu sendiri.

(3)

PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK

(Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Cabang Panjang)

Oleh

MUHAMMAD ERI FATRIANSYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Eri Fatriansyah dilahirkan di Bandar lampung pada tanggal 9 Januari 1994, yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Zainal Abidin S.H, MS.c dan Ibu Ir. Emilia Kusumawati M.M.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Pertiwi Bandar Lampung pada tahun 1998, kemudian melanjutkan di SDN 2 Rawa Laut Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikannya di SMP Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2008 dan menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2011.

(7)

PERSEMBAHAN

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan

karunia-Nya, sehingga terselesaikannya karya kecil ini kupersembahkan

untuk :

Papa dan Mama

Untuk Papa Almarhum Zainal Abidin dan Mama Emilia Kusumawati

Terima kasih untuk segalanya...

Telah membimbing, membesarkan, mendoakan serta mencurahkan

kasih dan sayang selama ini yang dimana semua hal itu ditujukan untuk

keberhasilan dan kesuksesanku

Kakak

Elza Puspita

Terima kasih untuk selama ini atas pandangan, masukan serta

motivasinya...

Adik

Edwin Syahputra

Terima kasih untuk selama ini selalu menemani dan selalu siap untuk

membantu

Dan Sahabat-sahabat seperjuangan yang sampai saat ini selalu ada

dalam suka maupun duka

(8)

MOTTO

“Di mana pun, ketidakadilan adalah ancaman bagi

keadilan di mana-

mana”.

-Martin Luther King Jr.

“Kebenaran bukan untuk setiap orang, tapi hanya

untuk mereka yang mencarinya”.

-Ayn Rand

“Keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan

runtuh”.

(9)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbilalamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul :

Pelaksanaan Diversi Pada Tahap Penuntutan Tindak Pidana Perjudian Oleh Pelaku Anak (Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Cabang Panjang).

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari adanya kendala, hambatan dan kesulitan-kesulitan. Namun dengan adanya keterlibatan berbagai pihak yang telah menyumbangkan bantuan, bimbingan, dan petunjuk serta saran maupun kritik bagi penulisan skripsi ini, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Allah SWT yang senantiasa memberikan pertolongan dan kemudahan disaat penulis mendapatkan kesulitan, terima kasih atas nikmat-Mu yang tak terhingga.

(10)

3. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Pembahas I yang memberikan banyak masukan dan motivasi serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Ibu Hj Firganefi, S.H., M.H selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Ibu Dona Raisa Monica S.H, M.H selaku Pembahas II yang banyak memberikan saran dan motivasi serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

7. Bapak Prof. Dr. Sunarto S.H, M.H , sebagai Pembimbing I atas segala kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini .

8. Tri Andrisman S.H, M.H sebagai Pembimbing II atas segala kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

9. Ibu Rehulina S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10.Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

11.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(11)

13.Kakak Elza Puspita terima kasih untuk selama ini yang telah memberikan pandangan, masukan serta motivasi.

14.Adik tersayang Edwin Syahputra yang bisa menjadi adik, sahabat dan teman terbaik, yang selalu ada untuk membantu dan menemani untuk selama ini. 15.Sahabat dan teman seperjuangan terima kasih atas segala kebersamaanya

selama di Fakultas Hukum Unila : Kresna, Oldy, Uwi, Patrisella, Mimi, Putra, Odi, Mamed, Tyo, Mufti, Ferdiyan, Fahmi, Hilman, Danan, Himawan, Gery, Dery, Darvi, Udin, Ahong, Okem, Zaky, Deswan, Nico, Riki dan teman-teman di Fakultas Hukum lainnya yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

16.Sahabat dan teman-teman yang telah memberikan pengalaman serta pembelajaran hidup yang tak akan terlupakan Embon, Trio, Agung, Algian, Kiki, Wawan, Sarwo, Billy, Bang Jim, Gusti, Deka, Coco, Memeng, Gunawan, Ajeng, Rika, Tika, Vaolina dan teman-teman lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

17.Almamater tercinta yang telah memberikan wawasan dan pengetahuan yang luas kepadaku.

18.Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

(12)

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, April 2015

(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E.Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Diversi dan Restorative Justice ... 15

1. Pengertian Diversi ... 15

2. Restorative Justivce ... 18

B.Tinjauan Umum Penuntutan ... 21

C.Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum ... 22

D.Tindak Pidana Perjudian ... 24

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 26

B.Sumber dan Jenis Data ... 27

C.Metode Penentuan Populasi dan Sampel ... 28

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 29

E.Analisis Data ... 30

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karateristik Responden ... 31

(14)

C.Faktor-Faktor Yang Menghambat Pelaksanaan Diversi Pada Tahap Penyidikan dan Penuntutan...63 V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 71

(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi dengan berbagai kepentingan dan kebutuhan,antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap serta perbuatanya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas bebas nya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. Fungsi yang demikian itu terdapat pada setiap jenis hukum, termasuk di dalamnya hukum pidana. Oleh karena itu, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana.1

Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan aturan untuk:

1

(16)

2

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksAnakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.2

Fungsi Hukum pidana yang demikian dalam teori seringkali pula disebut sebagai fungsi subsidiaritas. Artinya penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan secara komprehensif. Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersiat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan.3

Secara komperhensif Muladi dan Barda Nawawi mengurai makna penggunaan hukum pidana, yaitu sebagai berikut :

1. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata.

2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

3. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuj suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut.

4. Jangan mengunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan akan diskriminalisasi.

5. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirankan tidak akan efektif (unforceable).

6. Penggunaan hukum pidana hendaknya harus menjaga keserasian antara moralis komunal moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan.

2

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Renika Cipta, 2008, hlm. 1 3

(17)

3

7. Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.

8. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana refresif harus didayagunakan secara serentak dengan saran pencegahan yang bersifat non-penal (prevention without punishment).4

Dikatakan bahwa sasaran yang hendak dituju oleh hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan peseorangan dari tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat adanya suatu tindak pidana oleh seseorang. Hukum pidana tidak hanya menitikberatkan kepada perlindungan masyarakat, tetapi juga individu perseorangan, sehingga tercipta keseimbangan dan keserasian.

Definisi “Tindak Pidana” menurut R.Soesilo di dalam bukunya membedakan

pengertian tindak pidana menjadi dua sudut pandang, yakni sudut pandang secara yuridis dan sudut pandang sosiologis. Dilihat dari sudut pandang yuridis, pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang sedangkan apabila dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian tindak pidana adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.5

Tindak pidana merupakan perilaku yang menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Salah satu contoh tindak pidana yang mewabah dan sudah tergolong lama dikategorikan sebagai penyakit masyarakat ialah perjudian. Tindak pidana perjudian diatur dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis KUHP. Sesuai dengan perkembangannya perjudian tidak lagi hanya

4

Muladi dan Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1992,hlm.102 5

(18)

4

dilakukan oleh orang dewasa, namun kejahatan ini sudah mewabah dikalangan Anak-Anak. Bahkan dalam era sekarang perjudian sudah berbagai macam jenis dan banyak modus operandinya.

Berdasarkan instrument internasional yang mengatur masalah perilaku delinkuensi Anak, dilihat dari jenis-jenis perilaku delinkuensi Anak, dapat diklasifikasikan ke dalam criminal offence dan status offence.Namun, secara hakiki perilaku delinkuensi Anak, hendaknya dilihat bukan semata-mata sebagai perwujudan penyimpangan perilaku karena iseng atau mencari sensasi, melainkan harus dilihat sebagai perwujudan produk atau akibat ketidakseimbangan lingkungan sosial. Perlakuan terhadap Anak yang di duga melakukan tindak pidana seringkali bersifatsangat represif. Proses peradilan terhadap Anak seringkali kehilangan maknaessensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi Anak (the best interest of child). Proses peradilan pidana Anak seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yanghanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasipada kepentingan Anak.6

Diperlukannya pengaturan khusus berkaitan mengenai Anak mengingat sebagai subjek hukum, Anak belum terikat hak dan kewajiban yang sepenuhnya mengikat. Anak dianggap belum mampu menyadari akibat dan konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum dan memungkinkan terjadinya kerugian dalam kehidupan bermasyarakat dikarenakan mereka masih dalam tahap bermain,berkembang dan pencarian jati diri.

6

(19)

5

Ketentuan hukum khusus tentang Anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini bertujuan memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap Anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar setelah melakui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.7

Apabila dikaji dasar pertimbangan filosofis maupun sosiologis dibentuknya undang-undang tersebut antara lain karena disadari bahwa Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insanbagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap Anak diperlukan pembinaan yang terus menerus, baik fisik, mental maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Termasuk munculnya penyimpangan perilaku di kalangan Anak, bahkan tindakan melanggar hukum yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun bagi masyarkat.8

Penjelasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, perlindungan khusus juga didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga Negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak. Pengaturan secara tegas mengenai keadilan restorative dan diversi, untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga

7

Wagiati sutedjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 29 8

(20)

6

dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak, dan diharapkan Anak kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.9

Diversi adalah proses penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana yang diatur dalam BAB II Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keberadaan diversi di Indonesia telah diakui melalui UU SPPA yang disahkanpada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 (dua) Tahun kemudian. Pada Pasal 7 ayat (1), (2), huruf a dan b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang isi Pasal tersebut sebagai berikut:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksAnakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7(tujuh) Tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Selanjutnya pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa:

“ Kesepakatan Diversi untuk menyelesaian pidana yang berupa pelanggaran,

tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan

tokoh masyarakat. ”

Pada pembahasan skripsi ini terkait dengan kasus perjudian terhadap pelaku Anak`yang terjadi di wilayah kota Bandar Lampung, kampung teluk harapan kecamatan Panjang yang pada proses hukumnya diselesaikan diversi pada tahap penuntutan. Bilamana dilihat dari ketentuan Pasal 303 bis KUHP, pelaku diancam

9

(21)

7

dengan hukuman empat Tahun penjara, dan pelaku sebelumnya belum pernah melakukan tindak pidana, maka sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pelaku wajib diupayakan diversi. Lalu berdasarkan Pasal 7 angka 1, diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Jika dilihat dari surat ketetapan penghentian penuntutan Nomor: SKPP-01/N.8.10.7/ep.1/09/2014, dijelaskan bahwa proses diversi tidak diupayakan pada tingkat penyidikan dikarenakan penyidik belum mengerti dalam menjalani proses diversi, maka sesuai dengan Pasal 29 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: “Dalam hal Diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan

melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan”.

Dikarenakan proses diversi pada tahap penyidikan gagal dilaksanakan, maka proses diversi dilaksanakan pada tahap penuntutan. Setelah proses diversi dilaksanakan yang dihadiri dan difasilitasi oleh terdakwa dan orang tua terdakwa, jaksa penuntut umum, penyidik POLRI, Tokoh Masyarakat, Pembimbing kemasyarakatan serta pelapor, maka terjadilah kesepakatan diversi dengan surat ketetapan pengentian penuntutan Nomor: SKPP-01/N.8.10.7/Ep.1/09/2014.

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui pelaksanaan diversi Anak terhadap Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Untuk itu penulis tertarik menulis skripsi dengan judul : “ Pelaksanaan Diversi

(22)

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan dalam penyelesaian perkara tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak ? 2. Apakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan dalam penyelesaian perkara tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, maka yang menjadi ruang lingkup skripsi ini dibatasi pada kajian hukum acara pidana. dan penelitian ini juga mengkaji Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta teori-teori yang berhubungan dengan diversi, terutama pada pelaksanaan diversi dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi pada tahap Penuntutan dalam

(23)

9

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Diversi pada tahap Penuntutan dalam penyelesaian perkara Tindak Pidana Perjudian oleh pelaku Anak.

2. Kegunaan Penelitian 1) Secara Teoritis

a. Kegunaan dari penulisan ini adalah untuk pengembangan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki khususnya pengetahuan akan hukum acara pidana guna mendapatkan data secara objektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap masalah yang ada khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek hukum acara pidana tentang proses pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak (studi kejaksaan negeri Bandar lampung). b. Menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum acara pidana, khususnya

yang berkaitan dengan proses pelaksanaan diversi. 2) Secara Praktis

a. Dapat dijadikan sebuah pedoman dan bahan rujukan bagi Mahasiswa, Masyarakat, Praktisi Hukum, dan bagi Pemerintah dan khususnya bagi Penuntut Umum dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berwenang dan terkait dalam pelaksanaan diversi.

(24)

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti10. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri, yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Penuntutan dalam acara pidana Anak mengandung pengertian tindakan Penuntut Umum Anak untuk melimpahkan perkara Anak ke pengadilan Anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim Anak dalam persidangan Anak.

Pasal 41 menentukan bahwa Penuntut Umum ditetapkan berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud di atas meliputi:

1. Telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum

2. Mempunyai menit, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak

10

(25)

11

Apabila belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud, tugas penuntutan dilaksanakan oleh Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik dan diversi sebagaimana dimaksud, dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Apabila dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.11

Terdapat beberapa faktor menurut Soerjono Soekanto yang diperlukan agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, faktor-faktor tersebut adalah :

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada Undang-undang saja

2. Faktor penegak hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum,

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum,

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan,

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.12

2. Kerangka Konseptual

11

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta Timur: Sinar Grafika,2013 hlm 159-160 12

(26)

12

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti.13

Kerangka konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan menurut Pasal 1 ayat (7) KUHAP 3. Tindak Pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana

bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.14

4. Tindak Pidana Perjudian adalah setiap permainan yang kemungkinan mendapat untung pada umumnya digantungkan pada faktor kebetulan, demikian halnya jika kemungkinan tersebut dapat menjadi lebih besar dengan kebih terlatihnya atau lebih terampilnya pemain. Termasuk pula dalam pengertiannya yakni semua perikatan yang sifatnya untung-untungan tentang

13

Soerjono Soekanto.1986,Op.Cit.,hlm.126. 14

(27)

13

hasil pertandingan-pertandingan atau permainan-permainan lainnya, yang tidak diadakan di antara mereka yang turut serta di dalamnya.15

5. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah, Anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun, tetapi belum berumu 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-UndangNomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisikan mengenai pengertian diversi, penuntutan, tindak pidana, perjudian, Anak, serta hal–hal yang berkaitan dengan ruang lingkup diversi.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan ini yang terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

15

(28)

14

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu pelaksanaan diversi pada tahap penuntutan tindak pidana perjudian oleh pelaku Anak (studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung cabang Panjang).

V.PENUTUP

(29)

15

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diversi dan Restorative Justice

1. Pengertian Diversi

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan criminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri Anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap Anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang Anak yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana umum dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk Anak.

(30)

16

pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan pengadilan formal.

Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan Anak dalam suatu proses peradilan. Peradilan Anak merupakan sistem peradilan yang bersifat restorative justice dengan mengutamakan kebutuhan dan kepentingan dimasa yang akan datang. Stigmatisasi Anak nakal seperti yang terjadi selama ini tidak akan memberikan peluang kepada Anak untuk mendapatkan ruang tumbuh kembang yang lebih baik. Begitu juga penanganan Anak dipenjara, jangan sampai menimbulkan trauma dan tidak ditahan bersama orang dewasa. Resiko penanganan Anak di penjara menjadi tekanan yang sangat luar biasa bagi Anak setelah menjalani putusan hukum. Upaya mewujudkan

criminal restorative justice system bagi Anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan payung hukum antar pihak terkait agar penanganan komprehensif.

(31)

17

Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada Anak yang telah melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada Anak untuk memperbaiki dirinya. Menurut Peter C. Kratcoski terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu :

1. Pelaksanaan kontrol sosial (social control orientation), dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan Anak pelaku pada pertanggung jawaban dan pengawasan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat dengan melakukanfungsi pengawasan, mencampuri, dan menyediakan pelayanan bagi pelakuserta keluarganya.

3. Restorative Justice atau Perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelakubertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuatkesepakatan bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat. Semua pihakyang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatanterhadap pelaku.1

Pedoman yang dapat menjadi acuan bagi penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum adalah Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim Polri Nomor Pol.: TR/1124/XI/2006 yang member petunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum. Telegram (TR) Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk

1

(32)

18

mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi Anak dalam menangani Anak yang berhadapan dengan hukum.

Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat (1) huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan:

“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia”.

Berdasarkan TR Kabareskrim tersebut terdapat pengertian mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik menurut kepentingan Anak. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan Anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hanya Anak yang berkonflik dengan hukum atau Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur diversi.

2. Restorative Justice

(33)

19

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan :

Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in aparticular offence come together to resolve collectively how to deal with

theaftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran

tersebut demi kepentingan masa depan)”.2

Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh Anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Program ini dilaksanakan di negara Kanada pada Tahun 1970. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi Anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi Anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis dikalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.

Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and

Change” mengemukakan ada 5 ( lima) prinsip dalam restorative justice, yaitu :

1. Restorative Justice mangandung partisipasi penuh dan konsensus.

2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tidak kejahatan.

2

(34)

20

3. Restorative Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh.

4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal.

5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada warga masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.3

Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan bersumber pada diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat. Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistematik. Marlina mengungkapkan bahwa :

“dalam penanganan kasus Anak, bentuk restorative justice yang dikenal

adalah reparative board/youth panel yaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, aparat penegak hukum yang berwenang secara bersama merumuskan sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat”4

.

Pelaksananan diversi dan restorative justice memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini

3

Mahmul Siregar,Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Jakarta, 2007 hlm. 89.

4

(35)

21

dikarenakan prinsip utama dari diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari system peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.

B. Tinjauan Umum Penuntutan

Yang dimaksudkan dengan penuntutan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur didalam KUHAP dengan permintaan untuk diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.5

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikorno (1977:41), penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dan menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohanan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus perkara pidana itu kepada terdakwa. Singkatnya penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan berkas perkara terdakwa ke pengadilan negeri agar hakim memberikan putusan terhadap terdakwa yang bersangkutan.

Pelimpahan perkara ke pengadilan tersebut dengan sendirinya bila telah terdapat alasan yang cukup kuat bukti-buktinya, sehingga seseorang yang dianggap bersalah tersebut akan dapat dijatuhi pidana atas perbuatan yang ia lakukan sebagai tindak pidana. Didalam penuntutan dikenal 2 asas (beginsel) yaitu:

a. Asas Legalitas (legaliteitsbeginsel)

5

(36)

22

Asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the law.

b. Asas Oportunitas (opportuniteitsbeginsel)

Asas oportunitas ialah asas yang memberikan wewenang pada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan mengesampingkan perkara yang sudah terang pembuktiannya untuk kepentingan umum. Yang menjadi ukuran semata-mata adalah berdasarkan pada kepentingan umum (algemeenbelang).

Oleh karena yang diakui sebagai subjek hukum tidak saja orang tetapi juga badan hukum A.Z. Abidin Farid (Andi Hamzah, 1985:25) memberikan perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk

menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau

korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.6

C. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum

Dalam hukum pidana, pengertian Anak pada hakikat nya menunjuk kepada persoalan batas usia pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability/toerekeningvatsbaarheid). Dalam undang-undang pengadilan Anak, batas usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 8 sampai 18 Tahun. Adanya rentang batasan usia dalam undang-undang pengadilan Anak tersebut,

6

(37)

23

diakui sebagai suatu kemajuan bila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam KUHP yang sama sekali tidak mengatur batas usia minimum. Apabila ditelusuri ketentuan instrument internasional, ditentukannya batas usia antara 8 sampai 18 Tahun sudah sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam Standart Minimum RuleFor The Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)7

. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak:

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8

(delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) Tahun dan

belum pernah kawin”.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU – VIII/2010, Batasan Usia Anak diubah menjadi 12 Tahun. Berdasarkan hal tersebut maka putusan mengenai ketentuan batas minimal Anak yang melakukan tindak pidana diakomodir ke dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:

”Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah

Anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Berdasarkan hal tersebut seseorang yang dapat di pidana haruslah seseorang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan, serta tidak ada alasan pembenar dan pemaaf atas perbuatannya tersebut. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas 3 (tiga) syarat yaitu:

7

(38)

24

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.8

D. Tindak Pidana Perjudian

Yang dimaksud dengan permainan judi ialah setiap permainan yang kemungkinan mendapat untung pada umumnya digantungkan pada faktor kebetulan, demikian halnya jika kemungkinan tersebut dapat menjadi lebih besar dengan lebih terlatihnya atau lebih terampilnya pemain. Termasuk pula dalam pengertiannya yakni semua perikatan yang sifatnya untung-untungan tentang hasil pertandingan-pertandingan atau permainan-permainan lainnya, yang tidak diadakan di antara mereka yang turut serta didalamnya9. Didalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP dijelaskan bahwa, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah;

1. barangsiapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303.

2. barangsiapa ikut serta main judi dijalan umum atau dipinggir jalan umum atau ditempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah berwenang yang telah member izin untuk mengadakan perjudian itu.

8

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 153

9

(39)

25

Tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP terdiri atas unsur-unsur objektif:

Unsur objektif yang pertama barangsiapa, yaitu menunjukan orang yang apabila dia terbukti memenuhi unsur-unsur selebihnya dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 303 bis ayat (1) angka KUHP, maka ia dapat disebut pelaku dari tindak pidana tersebut.Unsur objektif kedua memakai kesempatan yang terbuka untuk terjadi, yaitu merupakan perbuatan yang dialarang di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP. Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP adalah unsur yang sifatnya bertentangan dengan salah satu dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP.10

10

(40)

69

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Beradasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dan penuntutan tindak pidana perjudian oleh pelaku anak

a. Diversi pada tahap penyidikan.

(41)

70

Apabila diversi mencapai kesepakatan, maka penyidik akan menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Namun apabila kesepakatan diversi tidak dilaksanakan atau proses diversi pada tahap penyidikan tidak menghasilkan kesepakatan seperti halnya kasus M. Deki Riyanto ini, maka penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut Umum dengan melampirkan berita acara diversi dengan laporan penelitian kemasyarakatan.

b. Diversi pada tahap penuntutan.

Diversi pada tahap penuntutan dapat dilanjutkan apabila diversi pada tahap penyidikan gagal dilaksanakan atau tidak mencapai kesepakatan. Apabila kesepakatan diversi pada tahap penuntutan tidak dilaksanakan atau proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka penuntut umum akan menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Namun apabila diversi mencapai kesepakatan, maka penuntut umum akan menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Pada kasus M. Deki Riyanto telah terjadi kesepakatan diversi pada tahap penuntutan dengan dikeluarkannya surat ketetapan penghentian penuntutan Nomor: SKPP-01/N.8.10.7/Ep.1/09/2014.

(42)

71

itu sendiri yang masih kurang mengakomodir hak-hak Anak, yang kedua faktor penegak hukumnya yang masih belum professional dalam menjalani maupun memahami tujuan serta proses diversi, ketiga faktor sarana dan fasilitasnya yang masih kurang memadai, keempat faktor masyarakat terutama dari pihak korban yang masih sulit untuk diajak berdamai pada proses diversi dikarenakan banyak masyarakat yang masih belum memahami hak-hak anak, dan yang terakhir ialah faktor kebudayaan di Indonesia yang masih memandang segala suatu perbuatan seseorang yang melanggar peraturan maka harus dihukum tanpa memandang pantas atau tidaknya hukuman yang akan diberikan tersebut meskipun hukuman tersebut ditujukan kepada Anak.

B. Saran

1. Untuk menciptakan suatu proses peradilan pidana yang baik perlu kiranya dilakukan oleh aparat-aparat penegak hukum yang profesional serta perlu ditingkatkan sumber daya manusia yang ada seperti halnya dengan cara diberikan pelatihan-pelatihan yang sesuai dan ditingkatkan sarana prasarana guna menunjang kinerja aparat penegak hukum itu sendiri. Serta dalam menjalankan proses diversi baik pada tingkat penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan haruslah dijalankan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, agar terciptanya suatu kepastian hukum dan masyarakat memiliki kepercayaan dan patuh terhadap hukum yang ada. 2. Dalam menjalankan proses peradilan secara terpadu khususnya proses diversi

(43)

lembaga-72

(44)

73

DAFTAR PUSTAKA

Buku/literatur :

Ali, Mahrus.2011.Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta Timur : Sinar Grafika. Andrisman,Tri.2011.Hukum Pidana Asas-asas dan Dasar aturan Umum Hukum

Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Apong, Herlina.2004.Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, BukuSaku untuk Polisi.Jakarta: Unicef.

Chazawi, Adami. 2011.Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Djamil,M. Nasir.2013.Anak Bukan Untuk Dihukum.Jakarta Timur:Sinar Grafika. Lamintang,Theo.2011.Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma

Kepatutan.Jakarta: Sinar Grafika.

Irianto, Tata. 2004.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Muladi dan Barda Nawawi.1992.Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni Bandung.

Prakoso,Abintoro.2013.Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak.Yogyakarta: Laskabang Grafika.

Nashriana.2012.Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafino Persada .

Harahap, M. Yahya.2006 Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyidikan Dan Penuntutan“Edisi Kedua”. Jakarta: Sinar Grafika. .

Sutedjo, Wagiati.2006. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama.

(45)

74

Soekanto,Soerjono.1986.Pegantar Penelitian Hukum,.Bandung: UI Press Alumni,

Perundang-undangan :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Hukum Peradilan Pidana Anak

Website :

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan saluran pemasaran juga akan berdampak pada perbedaan marjin pemasaran serta besarnya share yang diterima oleh petani yang kemudian dari hal tersebut dapat diketahui kinerja

Penelitian yang dilakukan di Tiga Nusa ini bertujuan mengetahui strategi pemasaran pariwisata Tiga Nusa (Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan di

Dari pemaparan yang telah dilakukan oleh peneliti di atas, peneliti menarik kesimpulan untuk saldo laporna posisi keuangan priode 31 Desember 2018 di pondok pesantren Tahfidzul

• Pemerataan pembangunan antar wilayah dan antar sektor untuk memperbaiki kondisi wilayah yang belum berkembang dengan tetap. mempertimbangkan pertumbuhan dan

Pemerian dari etanol yaitu merupakan cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, memiliki bau yang khas dan rasa yang panas.. Mudah terbakar

[r]

Pada kegiatan inti pengajar mengorientasikan siswa ke dalam masalah, yaitu dengan memberikan teks bacaan mengenai soal-soal bersangkutan dengan longsor. Dari teks bacaan

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK PADA MATA DIKLAT SISTEM KONTROL TERPROGRAM UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA..