• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Macet Yang Objek Jaminannya Hak Atas Tanah Berstatus Hak Guna Usaha (Studi Pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Medan Putri Hijau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Kredit Macet Yang Objek Jaminannya Hak Atas Tanah Berstatus Hak Guna Usaha (Studi Pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Medan Putri Hijau)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Persada, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1991. Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1996. Benda-benda yang dapat Dilekatkan sebagai Obyek Hak Tanggungan dalam persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Citra Aditya Bakti, Bandung. Dalimunthe, Chadidjah, 2008. Politik Hukum Agraria Nasional terhadap

Hak-Hak atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan.

Djumhana, Muhammad, 2003. Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti, 2004. Manajemen Perkreditan Bank Umum : Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap dengan Analisis Kredit, Alfabeta, Bandung.

Hasibuan, Melayu SP, 2007. Dasar-dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta. Handoko, Bondan Boedi Setia, 2006. Pelaksanaan Perjanjian Leasing Kendaraan

Bermotor Pada PT. Mitra Dana Putra Utama Finance Cabang Semarang, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang.

Harun, Badriyah, 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Hasan, Djuhaendah, 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bhakti: Bandung.

Hermansyah, 2006. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan 2. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Kasmir, 2005. Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. ______, 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ; edisi revisi. Raja Grafindo

(2)

Kansil, CST, 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta.

Latumerissa, Julius R, 1999. Mengenal Aspek-Aspek Bank Umum, Bumi Aksara, Jakarta.

Muchsin, 2005. Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta.

Parlindungan, AP, 1998. Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Jakarta.

Salim HS, 2008. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Subagyo, P. Joko, 2006. Metode penelitian Dalam Teori dan Praktek ̧ Cetakan Kelima, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2010. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sutarno, 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung. Sumardjono, Maria SW, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya,Buku Kompas, Jakarta.

Tjitrosudibio, Subekti, 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Staatsblad), Pradnya Paramita, Jakarta.

Usman, Rachmadi, 2009. Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).

Pemerintah Republik Indonesia,Undang-Undang 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

(3)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

C. Wawancara

(4)

32 A. Tinjauan Umum tentang Jaminan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi utangnya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.

Perspektif hukum perbankan istilah jaminan ini dibedakan dengan istilah agunan dibawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal istilah agunan yang ada istilah jaminan. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah jaminan, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

(5)

Sehubung dengan itu penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 menyatakan sebagai berikut untuk mengurangi risiko tersebut jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur.

Adapun istilah agunan ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, diartikan sebagai berikut agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Istilah agunan sebagai terjemahan dari istilah collateral merupakan bagian dari istilah jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah artinya pengertian jaminan lebih luas dari pada agunan, di mana agunan berkaitan dengan barang sementara jaminan tidak hanya berkaitan dengan barang tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital dan condition of economy dari nasabah debitur yang bersangkutan.41

41

(6)

Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.42

Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.43

2. Asas-asas hukum jaminan

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hukum Jaminan maupun kajian terhadap berbagai literatur tentang jaminan, maka ditemukan tiga asas dalam Hukum Jaminan sebagai berikut : 44

a. Asas Publicitet

Asas publicitet yaitu asas bahwa semua hak, baik Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan jaminan.

b. Asas Specialitet

Asas specialitet yaitu bahwa Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.

c. Asas tidak dapat dibagi-bagi

Asas tidak dapat dibagi-bagi yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek dan Hak Gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

42

M. Bahsan, Op.Cit. hal 3. 43

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 6.

(7)

d. Asas inbezitstelling

Asas inbezitstelling yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.

e. Asas horizontal

Asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan Hak Pakai, baik Tanah Negara atau Hak Milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan Hak Pakai. Selain itu, asas-asas Hukum Jaminan juga meliputi asas filosofis, asas konstitusional, asas politis dan asas operasional yang bersifat umum. Asas operasional dibagi menjadi asas sistem tertutup, asas absolut, asas mengikuti benda, asas publikasi, asas specialitet, asas totalitas, asas asesi pelekatan, asas konsistensi, asas pemisahan horizontal dan asas perlindungan hukum.45

3. Sumber Hukum dan Jenis Jaminan

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materill, ialah tempat materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber hukum formil merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formil itu berlaku. Sebagaimana yang diakui umum sebagai hukum formil, ialah undang-undang, perjanjian antar-negara, yurispudensi, dan kebiasaan.

Sumber hukum formil ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil tertulis dan tidak tertulis. Analog dengan hal itu, maka sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum

45

(8)

jaminan tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum jaminan tertulis, adalah tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya sumber hukum jaminan tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum jaminan tidak tertulis, adalah tempat ditemukannya kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis sebagai berikut:46

a. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan pada tanggal 01 Mei 1848. Diberlakukan di Indonesia atas dasar asas konkordansi. KUH Perdata terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Hukum Benda, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku dalam Buku II KUH Perdata hanyalah

gadai (pand) dan hipotek sedangkan atas tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai diatur di dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata. Di dalam ketentuan ini diatur tentang pengertian gadai (Pasal 1150 KUH Perdata), bentuk perjanjian gadai (Pasal 1151 KUH Perdata), hak-hak para pihak (Pasal 1152 sampai dengan 1153 KUH Perdata), kewajiban para pihak (Pasal 1154 sampai dengan Pasal 1155 KUH Perdata), wanprestasi (Pasal 1156 KUH Perdata), tanggung jawab para pihak (Pasal 1157 KUH

46

(9)

Perdata), bunga (Pasal 1158 KUH Perdata). Debitur tidak berhak untuk menuntut kembali barang gadai sebelum dilunasi seluruhnya (Pasal 1159 KUH Perdata), dan tidak dapat dibagi-baginya barang gadai (Pasal 1160 KUH Perdata). Sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Didalam berbagai ketentuan itu diatur tentang:

1) Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178 KUH Perdata);

2) Pendaftaran hipotek dan bentuk pendaftaran (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194 KUH Perdata);

3) Pencoretan pendaftaran (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197 KUH Perdata);

4) Akibat hipotek terhadap pihak ketiga yang menguasai barang yang dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208 KUH Perdata);

5) Hapusnya hipotek (Pasal 1209 sampai dengan Pasal 1220 KUH Perdata); 6) Pegawai-pegawai yang ditugaskan menyimpan hipotek, tanggung jawab

mereka dan hal diketahuinya daftar-daftar oleh masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata).

(10)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

KUH Dagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada Umumnya dan Buku II tentang Hak-hak dan Kewajiban yang Timbul dalam Pelayaran. Sedangkan jumlah Pasalnya sebanyak 754 Pasal. Pasal yang erat kaitan dengan jaminan adalah Pasal-Pasal yang berkaitan dengan hipotek kapal laut. Pasal-Pasal-Pasal-Pasal yang mengatur hipotek kapal laut adalah Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 KUH Dagang.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25,33, dan 39 diatur dengan undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 57 UUPA berbunyi “ Selama undang-undang mengenai Hak Tangungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan megenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190.

d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

(11)

1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia.

e. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Ada tiga pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, yaitu: (1) kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan, (2) jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif, (3) untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap memngenai jaminan Fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Undang-Undang ini terdiri atas 7 bab dan 41 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusia hak mendahulu, dan eksekusi jaminan fidusia.

f. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Pasal 49 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran berbunyi:

(12)

2) Ketentuan yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah tentang penjabaran Pasal ini sampai saat ini belum ada, namun di dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ditentukan substansi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang meliputi syarat dan tata cara pembebanan hipotek. Sedangkan pelaksanaan pembebanan hipotek atas kapal dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jaminan dapat digolongkan menurut yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri. Dalam Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”.

Berdasarkan kebendaannya, maka jaminan dikelompokkan menjadi:47 a. Jaminan perorangan

Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUHPerdata disebut sebagai penanggungan utang. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur. Dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin, apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pihak ketiga inilah yang akan melaksanakan kewajibannya. Perlindungan hak terhadap pihak ketiga dalam menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1831 yang berbunyi : “Si penanggung (pihak ketiga) tidaklah wajib membayar kepada si berpiutang selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.” Dalam praktiknya, bank tetap meminta pihak ketiga untuk melepas hak tersebut. Sehingga apabila debitur wanprestasi, bank dapat segera

47

(13)

melakukan penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan hak tersebut agar pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran kreditnya. Bank juga mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang bisa jadi karena harta benda yang dimiliki debitur tidak marketable seperti yang diharapkan.

b. Jaminan kebendaan

Mengingat Pasal 8 UU Perbankan, yang berbunyi :

1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

2) Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

Keyakinan menurut pasal tersebut sudah merupakan jaminan bagi bank untuk memberikan kredit kepada nasabah debiturnya. Namun, pada peraturan kredit perbankan, jaminan kebendaan merupakan berupa jaminan tambahan yang disebut sebagai agunan. Jadi sebenarnya menurut UU Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu agunan. Mengenai agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diungkapkan dalam Pasal 1 angka 23, yang berbunyi : “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.”

(14)

sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan barang yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Guna Usaha

1. Pengertian hak guna usaha

Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Selain UUPA, peraturan lain yang mengatur mengenai HGU adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 . Pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tersebut diatur lebih jauh mengenai Hak Guna Usaha.

Hak Guna Usaha merupakan hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan tidak terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang lain.48

2. Subjek dan objek hak guna usaha

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti

48

(15)

sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas. Subjek Hak Guna Usaha sesuai Pasal 30 ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria juncto Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah :49

a. Warga negara Indonesia .

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.50 Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum, yaitu:51

1) Orang yang masih dibawah umur (belum mencapai usia 21 tahun = belum dewasa)

49

Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional terhadap Hak-Hak atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, hal. 137.

50

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24. 51

(16)

2) Orang yang tidak sehat pikiranya (gila), pemabuk dan pemboros, yakni mereka yang ditaruh bawah curatele (pengampuan).

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum sebagai pembawa tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, misalnya : dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Bedanya dengan manusia, bahwa badan hukum itu tak dapat melakukan perkawinan, tak dapat dihukum penjara (kecuali hukuman denda).52

1) Didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia

Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

2) Berkedudukan di Indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di

52Ibid

(17)

atas tanah tersebut. Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

(18)

mempengaruhi harga tanah.53

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

54

1) Ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),

2) Suasana yang kondusif 3) Keterwakilan para pihak

4) Kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

5) Jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.

53

Maria SW Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal. 251.

54Ibid.

(19)

3. Berakhirnya Hak Guna Usaha

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa HGU dapat hapus atau dihapuskan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yaitu bahwa HGU dapat hapus karena :

a. Jangka waktunya berakhir

Jangka waktunya berakhir, dapat diartikan bahwa hak ini diberikan untuk waktu yang tertentu, yaitu 25 – 35 tahun dan apabila tidak diperpanjang lagi maka tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.

b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14;

2) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Dilepaskan oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya berakhir; Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, maka ini merupakan kebebasan dari pemegang hak bahwa dia ingin menghentikan usahanya sehingga tentunya haknya tersebut dibatalkan dengan pernyataan dari yang bersangkutan tentang pengembalian hak tersebut kepada negara sebelum jangka waktunya berakhir.

(20)

e. Diterlantarkan; Diterlantarkan oleh pemegangnya, artinya tidak diusahakan sebagaimana mestinya sesuai atau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.

f. Tanahnya musnah;

Musnah yang dimaksud di sini adalah disebabkan oleh bencana alam seperti tanahnya longsor, terkikis oleh aliran sungai atau abrasi pantai. Dengan musnahnya tanah tersebut berarti pemiliknya tidak dapat lagi memanfaatkan tanah itu meskipun hak tersebut jangka waktunya belum berakhir.

g. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2);

(21)

49

A. Pelaksanaan Pemberian Kredit yang Objek Jaminannya Hak Guna

Usaha pada Bank Rakyat Indonesia

Setiap tahapan proses pemberian kredit, harus senantiasa dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian tersebut tercermin dalam kebijakan pokok perkreditan, tata cara penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan. Adapun proses pemberian kredit yang diajukan oleh debitur kepada bank antara lain:55

1. Permohonan Kredit dan Prakarsa kredit

Permohonan kredit diajukan debitur secara tertulis baik untuk kredit baru, perpanjangan jangka waktu kredit, tambahan kredit, permohonan perubahan syarat kredit, restrukturisasi dan penyelesaian kredit. Permohonan kredit secara tertulis dapat diajukan dengan menggunakan surat permohonan kepada kreditur. Yang melayani pendaftaran permohonan kredit adalah Bagian Administrasi Kredit (ADK). Urutan kegiatan yang harus dilakukan ADK pada saat pendaftaran adalah

a. Memeriksa kelengkapan berkas calon debitur antara lain :

1) Copy tanda bukti diri (KTP, SIM atau surat keterangan identitas lainnya yang masih berlaku) atau akta pendirian badan usaha dan perubahannya.

2) Surat izin usaha atau keterangan usaha dari kepala desa atau lurah.

55

(22)

3) Tanda bukti kepemilikan agunan

b. Melayani pendaftaran kredit dan menjelaskan segala hal menyangkut ketentuan kredit kepada calon debitur sehingga dikemudian hari tidak menimbulkan masalah yang disebabkan oleh ketidaktahuan debitur perihal kredit yang dinikmati. Penjelasan-penjelasan kepada calon debitur tersebut meliputi hal-hal antara lain sebagai berikut :

1) Keperluan atau penggunaan kredit 2) Besarnya kredit dan jangka waktunya 3) Besarnya suku bunga kredit

4) Cara pembayaran kembali 5) Ketentuan asuransi jiwa kredit 6) Dan hal-hal yang dianggap perlu

c. Meminta calon debitur untuk mengajukan perkiraan besarnya permohonan kredit beserta jangka waktu yang dikehendaki.

d. Meminta calon debitur untuk mengisi dan membubuhkan tanda tangan pada formulir pendaftaran.

e. Mengisi formulir tanda terima bukti pemilikan agunan.

f. Menyiapkan berkas kredit dalam satu map (selanjutnya berkas ini disebut surat keterangan permohonan pinjaman/SKPP).

(23)

Dalam melakukan prakarsa kredit, account officer melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Melakukan kunjungan ke domisili dan lokasi usaha debitur untuk mencari data dan informasi yang relevan dengan pengajuan kredit debitur serta memastikan usaha debitur layak untuk dibiayai. Pencarian data dan informasi debitur dapat dilakukan dengan wawancara baik dengan debitur/calon debitur maupun dengan pihak-pihak yang terkait dengan debitur (keluarga, tetangga, rekanan, karyawan) sehingga Pejabat Pemrakarsa mendapatkan gambaran tentang karakter, kondisi usaha, kemampuan debitur/calon debitur dalam mengelola usahanya dan tujuan penggunaan kredit. Seluruh hasil kunjungan tersebut harus dituangkan secara tertulis dalam Laporan Kunjungan Nasabah (LKN). b. Melakukan kunjungan ke lokasi agunan yang akan diserahkan oleh

debitur/calon debitur untuk mengetahui kebenarannya dan melakukan penilaian agunan. Hasil penilaian agunan harus dituangkan dalam form Hasil Penilaian Agunan.

(24)

2. Analisis dan evaluasi kredit

Semua permohonan kredit yang akan diproses harus dilakukan analisis dan evaluasi secara tertulis oleh Account Officer. Kedalaman suatu analisis disesuaikan dengan tingkat dan kompleksitas risiko kredit yang akan diberikan. Analisis kredit yang dilakukan oleh Account Officer meliputi analisis 5 C’s meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Charater

Charater adalah keadaan watak dan sifat dari calon debitur, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usahanya. Penilaian character merupakan penilaian terhadap kejujuran, ketulusan, kepatuhan akan janji, kesungguhan dalam melakukan usaha, serta kemauan untuk membayar kembali utang-utangnya.

b. Capacity

Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon debitur untuk membuat rencana dan mewujudkan rencana tersebut menjadi kenyataan, khususnya terkait dengan kemampuan pengelolaan usaha diantaranya kemampuan dalam memproduksi dan memasarkan barang yang dihasilkan, mencari pelanggan, mengelola keuangan secara efektif dan efesien dan kemampuan lainnya terkait dengan pengelolaan usaha guna memperoleh laba yang diharapkan.

c. Capital

(25)

adalah untuk mengetahui keadaan permodalan, sumber-sumber dana dan penggunaannya.

d. Condition

Condition adalah keadaan sosial ekonomi suatu saat yang mungkin dapat mempengaruhi maju mundurnya usaha calon debitur. Penilaian terhadap kondisi dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana kondisi ekonomi itu berpengaruh terhadap keadaan kegiatan usaha calon debitur dan bagaimana calon debitur tersebut mengatasi dan mengantispasinya, sehingga usahanya tetap hidup dan berkembang.

e. Collateral / agunan

Collateral adalah barang-barang yang diserahkan calon debitur sebagai agunan kredit. Tujuan penilaian agunan adalah untuk mengetahui seberapa besar nilai agunan dapat menutup risiko tidak dipenuhinya kewajiban finansial kepada BRI. Penilaian barang agunan meliputi antara lain jenis, nilai, lokasi, bukti kepemilikan dan status hukum.

Proses analisis dan evaluasi kredit oleh account officer dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam pemberian kredit dan bertujuan untuk menetapkan besar plafond yang dapat diberikan dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik bisnis debitur.

Selanjutnya hasil analisis dan evaluasi kredit dituangkan dalam Memorandum Analisis Kredit (MAK) :56

(26)

a. Dalam MAK yang dibuat oleh account officer minimal harus memuat antara lain :

1. Identitas

2. Identitas pemohon antara lain : a) Nama pemohon

b) Alamat (rumah, kantor, pabrik & toko) c) Bentuk usaha

d) Bidang/jenis usaha

e) Susunan pengurus dan pemegang saham

f) Legalitas usaha / pemohon (misalnya : NPWP, akte pendirian badan usaha dan perubahannya, TDP, SIUP, SITU, TDR, Surat Keterangan Usaha ).

b. Tujuan Permohonan Kredit, antara lain : 1) Jumlah kredit

2) Jenis kredit

3) Obyek yang dibiayai

Obyek yang dibiayai dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Untuk modal kerja harus secara tegas menguraikan komponen modal kerja yang diusulkan, misalnya piutang usaha, persediaan, pelunasan, hutang dagang, uang muka, cadangan kas.

(27)

tersebut termasuk autentifikasi dokumen piutang dan dokumen terkait lainnya.

c) Untuk investasi, harus disebutkan secara tegas jenis proyek yang akan dibiayai, misalnya pembangunan hotel, membangun pabrik, beli mesin, beli kendaraan.

d) Untuk konsumtif, harus dengan tegas disebutkan tujuan penggunaan kredit, misalnya pembangunan rumah, biaya pendidikan dan pembelian barang.

4) Jangka Waktu

Menentukan jangka waktu kredit Account Officer dan Pemutus harus benar-benar mempertimbangkan kemampuan debitur yang didukung dan tercermin dalam proyeksi cash flow serta dengan mempertimbangkan siklus bisnisnya.

c. Riwayat Hubungan Bisnis dengan Bank

Analisis riwayat hubungan bisnis calon debitur dengan BRI. d. Analisis 5’ C Kredit

1) Analisis Watak 2) Analisis Kemampuan

Analisis ini bertujuan mengukur tingkat kemampuan membayar dari pemohon yang antara lain dipengaruhi oleh faktor :

a) Aspek Manajemen

(28)

b) Aspek Produksi

Bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemohon, antara lain : kemampuan daya saing produk yang dihasilkan/diperdagangkan, kemampuan pemohon untuk berproduksi/berdagang secara berkesinambungan.

c) Aspek Pemasaran

Bertujuan untuk menilai kemampuan pemohon dalam memasarkan produknya.

d) Aspek Personalia

Bertujuan untuk menilai kemampuan perusahaan dari sisi kuantitas maupun kualitas tenaga kerja yang mendukung aktivitas perusahaan dan kemampuan perusahaan memelihara hubungan baik antara tenaga kerja dengan perusahaan/pemilik perusahaan.

e) Aspek Finansial

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis aspek finansial antara lain adalah sebagai berikut :

(1) Laporan keuangan yang diberikan oleh nasabah secara berkala. (2) Laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar analisis pemberian

kredit dapat berupa laporan keuangan yang telah diaudit atau belum diaudit.

(29)

Laporan keuangan periode terakhir adalah maksimum tiga bulan sebelum bulan pengajuan.

(4) Memperhatikan secara cermat seluruh rasio keuangan usaha pemohon selama minimal 3 (tiga) periode terakhir, proyeksinya, kaitannya dengan kapasitas produksi yang tersisa dan kondisi pasar. (5) Bagi calon debitur yang merupakan pengusaha baru, laporan

keuangan yang dapat digunakan adalah laporan keuangan minimal 2 (dua) periode berturut-turut dengan laporan terakhir adalah maksimum tiga bulan sebelum pengajuan.

(6) Memperhatikan GOFG (Gross Operating Fund Generation) yang mencerminkan kemampuan membayar pokok pinjamannya.

(7) Memperhatikan kebijaksanaan pembiayaan perusahaan melalui laporan sumber dan penggunaan dana.

(8) Analisis finansial yang lengkap meliputi :

(a) Hasil pengkajian ulang (recasting) terhadap Komponen Neraca / Laba Rugi,

(b) Analisis Aliran Kas (Cash flow),

(c) Analisis Kebutuhan Modal Kerja/Investasi,Analisis Konsolidasi (untuk Kelompok),

(d) Analisis Ratio-Ratio Perusahaan. 3) Analisis Modal

(30)

Semakin besar kemampuan modal berarti semakin besar porsi pembiayaan yang didukung oleh modal sendiri atau sebaliknya.

4) Analisis Kondisi/Prospek Usaha

Untuk mengetahui prospektif atau tidaknya suatu usaha yang hendak dibiayai, Account Officer harus melakukan analisis terhadap kondisi makro usaha/industri sejenis.

5) Analisis Agunan Kredit

Pada prinsipnya dalam pemberian kredit bank harus meminta agunan untuk kredit tersebut. Agunan tersebut dapat berupa proyek yang dibiayai dan/atau agunan tambahan, oleh karena itu penilaian terhadap agunan wajib dilakukan sesuai prinsip kehati-hatian dan menggambarkan obyektivitas penilaian yang wajar atas agunan kredit dimaksud.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis agunan kredit adalah:57

Sesuai dengan penjelasan Pasal 8 UU RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang dirubah dengan UU RI No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perbankan, tersirat bahwa agunan pokok, adalah agunan yang pengadaannya bersumber dari dana kredit bank. Agunan dapat hanya berupa agunan pokok apabila berdasarkan aspek-aspek lain dari 5’C kredit telah diperoleh keyakinan atas kemampuan pemohon untuk mengembalikan hutangnya.

a) Agunan Pokok

57

(31)

b) Agunan Tambahan

Agunan tambahan dapat dikatakan sebagai unsur pengaman lapis kedua (the second way out) dan berfungsi sebagai salah satu alat mitigasi risiko kredit . Agunan tambahan merupakan sumber pelunasan terakhir apabila kredit menjadi bermasalah.

4. Negosiasi Kredit

Setelah melakukan analisis dan evaluasi maka bagian ADK perlu melakukan negosiasi dengan pemohon dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Negosiasi yang dilakukan dalam rangka mencapai kesepakatan mengenai jumlah kredit, struktur dan tipe kredit, kelengkapan dokumen serta syarat dan ketentuan kredit yang harus dipenuhi pemohon.

b. Negosiasi dapat dilakukan dengan berbagai sarana antara lain : telepon, faksimili, e-mail dan dapat dituangkan dalam bentuk notulen, dituangkan langsung dalam MAK atau catatan lainnya.

c. Negosiasi dapat dilakukan pada setiap tahapan proses kredit sesuai dengan keperluan analisis.

5. Penetapan Struktur dan Tipe Kredit

a. Ketentuan

Berdasarkan hasil analisis, evaluasi serta negosiasi maka dalam menetapkan struktur dan tipe kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Struktur dan tipe kredit disusun berdasarkan kesimpulan hasil analisis yang

(32)

proyeksi arus kas (cash flow), siklus usaha debitur, perhitungan kebutuhan kredit (KMK atau Investasi), kemampuan nasabah dalam membayar kembali kreditnya serta potensi risiko yang mungkin akan terjadi bagi BRI.

2) Struktur, tipe, syarat dan ketentuan kredit antara lain sebagai berikut: a) Identitas pemohon,

b) Jumlah pinjaman, c) Keperluan, d) Jenis pinjaman, e) Jangka waktu, f) Suku bunga, g) Provisi, h) Denda, i) Agunan, j) Asuransi,

k) Klausula positip / affirmative covenant (syarat yang harus dilakukan), l) Klausula negatif / negative covenant (syarat yang tidak boleh dilakukan

tanpa persetujuan BRI terlebih dahulu) m) Dan syarat-syarat kredit lainnya.

(33)

b. Pengelompokan Kredit Berdasarkan Jangka Waktu

Pengelompokan kredit berdasarkan jangka waktu dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:

1) Kredit Jangka Pendek

Kredit jangka pendek ialah fasilitas kredit yang mempunyai jangka waktu setahun atau kurang.

2) Kredit Jangka Menengah

Kredit jangka menengah adalah fasilitas kredit yang mempunyai jangka waktu lebih dari satu tahun, namun kurang atau sama dengan 3 tahun. 3) Kredit Jangka Panjang

Kredit jangka panjang adalah kredit yang jangka waktunya lebih dari 3 (tiga) tahun.

c. Pengelompokan Kredit Berdasarkan Ciri dan Tujuan Penggunaan

Berdasarkan ciri dan tujuan penggunaan, kredit dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

1) Kredit Modal Kerja (KMK)

KMK adalah fasilitas kredit yang dipergunakan untuk membiayai aktiva lancar dan atau menggantikan hutang dagang, serta membiayai sementara kegiatan operasional rutin (sehari-hari) perusahaan, uang muka, cadangan kas, atau komponen modal kerja lainnya sesuai dengan karakter bisnisnya.

2) Kredit Investasi

(34)

mengganti biaya perolehan barang modal (refinancing). Dalam perhitungan Total Project Cost, nilai tanah dimasukkan dalam komponen Total Project Cost dan merupakan salah satu komponen Sharing Dana Sendiri.

3) Kredit Konsumtif

Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada debitur untuk membiayai kebutuhan konsumtif dan sumber pembayaran kembali kreditnya berasal dari penghasilan/gaji/pensiun pemohon.

6. Rekomendasi dan Pemberian Putusan Kredit

Rekomendasi pemberian putusan kredit merupakan suatu kesimpulan dari hasil analisis dan evaluasi kredit. Rekomendasi pemberian putusan kredit harus dibuat secara tertulis oleh Account Officer dalam MAK dan disampaikan kepada Pejabat Pemutus kredit yang berwenang. Dalam rekomendasi kredit harus secara jelas menguraikan kelemahan dan kekuatan yang akan mempengaruhi kemampuan pemohon dalam membayar kembali kreditnya baik dengan dana yang berasal dari hasil usaha yang dibiayai (first way out) maupun dari sisi agunan kreditnya (second way out).

(35)

Dalam memberikan putusan kredit Pejabat Pemutus harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Analisis dan evaluasi kredit yang dibuat oleh Account Officer. b. Rekomendasi kredit yang dibuat oleh Account Officer.

Putusan kredit secara otomatis batal jika 90 hari setelah tanggal putusan tidak diikuti dengan akad kredit.

7. Perjanjian dan pencairan kredit

Dalam pencairan kredit langkah-langkah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

a. Persiapan pencairan

Setelah SKPP diputus, bagian ADK melakukan verifikasi putusan untuk memastikan seluruh persyaratan dan catatan pemutus yang perlu ditindak lanjuti telah dipenuhi sebelum realisasi kredit. Selanjutnya bagian ADK melakukan pencatatan dan segera melaksanakan persiapan pencairan sebagai berikut :

1) Memberitahukan kepada calon debitur bahwa permohonan kreditnya telah mendapat persetujuan atau putusan dan kepastian tanggal pencairan.

2) Menyiapkan surat pengakuan hutang (SPH)

3) Mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pengikatan agunan antara lain :

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

(36)

a) Nama identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

b) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;

c) Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;

d) Nilai Tanggungan;

e) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.

2) Mempersiapkan dan menyelesaikan surat-surat pengikatan agunan sesuai putusan kredit, antara lain :

a) PPAT melakukan persiapan pembuatan akta terlebih dahulu.

(37)

c) Setelah disepakati semua hal yang terkait dengan pembebanan Hak Tanggungan ini maka akta akan dibacakan oleh PPAT dan dijelaskan isinya.

d) Apabila seluruh isi akta sudah dipahami oleh para pihak baru dilanjutkan dengan penandatanganan oleh pemberi Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan, dua orang saksi, dan Notaris-PPAT itu sendiri.

e) Ketentuan dalam hukum pertanahan kita menyebutkan bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) setelah ditandatangani maka dalam waktu tujuh hari kerja setelah itu sudah harus dilakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan. PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan dan berkas-berkas lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk didalamnya sertifikat hak atas tanah.

f) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatkannya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

(38)

pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.

h) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan kemudian diserahkan kepada kreditur (bank) selaku pemegang Hak Tanggungan untuk disimpan.

3) Mempersiapkan surat permintaan penutupan asuransi (SPPA) untuk asuransi kerugian atas barang jaminan/agunan.

4) Mengisi kwitansi pencairan kredit yang dibuat rangkap 3 (tiga), dimana : a) Lembar pertama bermaterai untuk bukti kas.

b) Lembar kedua untuk debitur c) Lembar ketiga untuk berkas kredit b. Penandatangan perjanjian pencairan

Berkas atau kelengkapan pencairan terdiri dari surat pengakuan hutang (SPH), surat pengikatan agunan dan kwitansi pembayaran. Sebelum penandatangan berkas pencairan kredit, bagian ADK harus memastikan bahwa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pencairan kredit telah ditanda tangani oleh debitur sebagai bukti persetujuan debitur, khususnya dokumen yang menyangkut agunan.

c. Pembayaran pencairan kredit

(39)

B. Faktor-faktor yang Menjadi Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah

dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Guna Usaha

Kredit bermasalah merupakan kredit yang telah disalurkan oleh bank dan nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atau melakukan angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditanda tangani oleh bank dan nasabah. Kredit bermasalah akan berakibat pada kerugian bank, yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah disalurkan, maupun pendapatan bunga yang tidak diterima. Artinya bank kehilangan kesempatan mendapat bunga, yang berakibat pada penurunan pendapatan secara total.58

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kredit macet dari pihak kreditur, adapun faktor intern bank penyebab kredit bermasalah, yaitu :59

a. Taksasi nilai jaminan yang lebih tinggi dari nilai sebenarnya

b. Penarikan dana kredit oleh debitur sebelum dokumentasi kredit diselesaikan c. Kredit diberikan tanpa pendapat dan saran dari komite kredit atau diusulkan

oleh petugas bank yang mempunyai hubungan persahabatan dengan debitur d. Kredit diberikan kepada perusahaan baru yang dikelola pengusaha yang belum

berpengalaman

e. Penambahan kredit tanpa jaminan yang cukup

f. Berulangkali bank mengirimkan surat teguran tentang penunggakan pembayaran bunga, tanpa tindakan lanjutan yang berarti

g. Bank jarang mengadakan analisis cash flows dan daya cicil debitur h. Account officer tidak sering meneliti status kredit

i. Tidak ada usaha bank untuk mengawasi penggunaan kredit, sehingga timbul kemungkinan debitur menggunakannya secara tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit.

j. Komunikasi antara bank dengan debitur tidak berjalan lancar

k. Tidak ada rencana dan jadwal pembayaran kembali kredit yang tegas, atau tidak dilampirkan pada perjanjian kredit

l. Bank tidak dapat menerima neraca dan daftar laba/rugi debitur secara teratur m. Tidak dapat merealisir jaminan kredit karena debitur mengajukan berbagai

macam argumen yurudis

58

Ismail, Manajemen Perbankan dari Teori Menuju Aplikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 123.

59

(40)

n. Bank gagal menerapkan sistem dan prosedur tertulis mereka

o. Pimpinan puncak bank terlalu dominan dalam proses pengambilan keputusan pemberian kredit

p. Bank mengabaikan terjadinya cerukan, walaupun sadar bahwa cerukan adalah salah satu tanda terganggunya kondisi keuangan debitur

q. Bank tidak berhasil meninjau kondisi fasilitas produksi milik debitur

r. Daftar keuangan dan dokumen pendukung yang diserahkan kepada bank, telah direkayasa sebelumnya, tidak diaudit atau diverifikasi

s. Bank tidak memperhatikan laporan dari pihak ketiga yang bernada kurang menguntungkan debitur

t. Bank tidak berhasil menguasai jaminan secepatnya, ketika mereka mencium tanda-tanda bahwa kredit yang diberikan berkembang ke arah kredit bermasalah.

Sementara itu faktor penyebab terjadinya kredit macet dari debitur antara lain:60

1. Kurangnya kemampuan debitur dalam mengelola usahanya.

Kredit juga bisa menjadi macet karena kesalahan debitur di dalam mengelola usahanya seperti terlalu banyak berinvestasi, terlalu terburu-buru dalam melakukan ekspansi usaha, atau dalam usaha perdagangan terlalu banyak menimbun stok barang tanpa memperhitungkan kelancaran perputaran barang dagangannya. Hal ini bisa menyebabkan modal yang diberikan bank mengendap pada pembelian barang tersebut, sementara pendistribusian atau permintaan pasar berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Tentu saja dengan kondisi seperti ini tidak akan menguntungkan pengusaha dan akhirnya menyebabkan ketidakmampuan mengembalikan pinjaman pada bank beserta bunganya.

2. Pemutusan hubungan kerja

Demikian juga kredit macet pada jenis kredit konsumsi atau consumer loan bisa terjadi karena adanya pemutusan hubungan kerja kepada karyawan,

60

(41)

sehingga gaji ataupun sumber pembayaran pinjaman kepada bank sudah tidak ada lagi.

Sementara itu berdasarkan faktor ekstern penyebab terjadinya kredit macet antara lain :61

1. Pengaruh kondisi ekonomi/bidang usaha

Salah satu yang mempengaruhi kondisi usaha debitur adalah pengaruh kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan kegiatan bisnis perusahaan. Bagi banyak perusahaan dampak perkembangan ekonomi atau bidang usaha yang tidak menguntungkan adalah penurunan jumlah hasil penjualan barang yang mereka usahakan.

Dalam banyak kejadian, penurunan hasil penjualan produk bahkan dapat mengakibatkan debitur menderita kerugian. Oleh karena sumber dana intern perusahaan untuk membayar kembali kredit adalah laba sesudah pajak dan dana penyusutan, maka menurunnya keuntungan akan menurunkan kemampuan debitur melunasi kredit.

2. Bencana alam

Musibah yang menimpa perusahaan debitur yang mengakibatkan kemampuan debitur mengembalikan pinjaman adalah bencana alam seperti gempa bumi, banjir, badai, musim kemarau yang berkepanjangan, kebakaran dan sebagainya. Bencana alam seperti itu sering kali merusak atau menurunkan kapasitas produksi peralatan produksi yang dioperasikan oleh debitur. Akibatnya

61

(42)

jumlah produksi, hasil penjualan produk dan keuntungan menurun. Akibat selanjutnya adalah mengakibatkan likuiditas keuangan debitur memburuk.62

C. Tindakan yang Dilakukan Bank Rakyat Indonesia dalam Penyelesaian

Kredit Macet Jaminan Hak Guna Usaha

Kegiatan perbankan, jarang sekali suatu kredit macet disebabkan oleh karena faktor dari pihak kreditur. Namun jika hal ini terjadi, sebenarnya debitur dapat menuntut pihak bank yang melakukan wanprestasi. Yang lebih banyak terjadi adalah kredit menjadi macet disebabkan oleh faktor yang datangnya dari diri debitur. Selain itu bisa juga terjadi karena faktor diluar para pihak. Namun dalam praktik jika hal ini terjadi, pihak bank tetap menuntut agar debitur memenuhi kewajibannya, apakah itu dengan cara pelunasan melalui pembayaran atau pelunasan dengan cara menjual agunan kredit.

Kredit bermasalah adalah semua kredit yang memiliki risiko tinggi, karena debitur telah gagal atau menghadapi masalah dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan.

Kredit bermasalah dapat diartikan suatu keadaan kredit dimana debitur sudah tidak sanggup membayar sebagian atau keseluruhan kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan, atau telah ada suatu indikasi potensial bahwa sebagian maupun keseluruhan kewajibannya tidak akan mampu dilunasi debitur.

62

(43)

Kredit yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Performing Loan yang mempunyai kelemahan yang apabila tidak diperbaiki dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya. Kredit-kredit jenis ini harus dimasukkan dalam kualitas Dalam Perhatian Khusus sesuai ketentuan yang berlaku. Kredit ini memerlukan perhatian khusus pihak manajemen untuk segera menetapkan tindakan perbaikan agar tidak menjadi Non Performing.

Untuk mengurangi resiko yang timbul dari pemberian kredit atau pembiayaan, maka diperlukan penanganan secara maksimal terhadap kredit bermasalah (non performing loan).

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP, terdapat beberapa kebijakan dalam rangka penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah antara lain :

(44)

b. Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, dan atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan. Bantuan yang dapat diberikan adalah berupa keringanan atau perubahan persyaratan kredit antara lain : (a) kapiltalisasi bunga yaitu bunga dijadikan utang pokok sehingga nasabah untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapi nanti utang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui. (b) Penundaan pembayaran bunga yaitu bunga tetap dihitung, tetapi penagihan atau pembebanannya kepada nasabah tidak dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan, dan atas bunga yang terutang kredit tersebut tidak dikenakan bunga dan tidak menambah plafon kredit. (c) Penurunan suku bunga, yaitu dalam hal debitur dinilai masih mampu membayar bunga pada waktunya, tetapi suku bunga yang dikenakan terlalu tinggi untuk tingkat aktivitas dan hasil usaha pada waktu itu. (d) Pembebasan bunga yaitu dalam hal nasabah memang dinilai tidak sanggup membayar bunga karena usaha nasabah hanya mencapai tingkat kembali pokok. Pembebasan bunga ini dapat untuk sementara, selamanya ataupun seluruh utang bunga. (e) Pengkonversian kredit jangka perndek menjadi kredit jangka panjang dengan syarat yang lebih ringan.

(45)

atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan atau reconditioning.

Berkaitan dengan upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit macet tersebut maka dalam ketentuan Pasal 7 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikemukakan sebagai berikut :

“ Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Selanjutnya dalam bagian penjelasannya dikatakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain :

1) Penyertaan modal sementara oleh Bank yang berasal dari konversi kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada perusahaan yang bersangkutan,

2) Persyaratan kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dapat dikonversi menjadi penyertaan modal,

3) Penyertaan modal tersebut wajib ditarik kembali apabila telah melebihi jangka waktu paling lama 5 tahun atau perusahaan telah memperoleh laba, 4) Penyertaan sementara tersebut wajib dihapusbukukan dari bank, apabila

(46)

5) Pelaporan kepada Bank Indonesia mengenai penyertaan modal sementara oleh bank.

Ketentuan Pasal 7 huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 beserta penjelasannya, menunjukkan bahwa apabila terjadi kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh debitur, maka kegagalan kredit atau pembiayaan itu oleh bank dapat dikonversi menjadi penyertaan modal sementara oleh bank yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun atau perusahaan / debitur tersebut telah memperoleh laba. Adapun langkah-langkah yang diambil oleh BRI Cabang Medan Putri Hijau dalam menyelesaikan kredit macet, sebagai berikut :

a. Restrukturisasi

Merupakan upaya penyelamatan kredit yang dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) terhadap debitur yang menunjukkan itikad baik untuk bekerjasama (kooperatif) dan usahanya masih berjalan serta mempunyai prospek yang baik sehingga debitur dapat memenuhi kewajibannya kembali.

1) Penurunan suku bunga kredit.

Tindakan ini merupakan salah satu bentuk restrukturisasi yang bertujuan memberikan keringanan kepada debitur, sehingga dengan penurunan bunga kredit maka besarnya bunga yang harus dibayar menjadi lebih kecil dibanding suku bunga yang ditetapkan dalam perjanjian kredit sebelumnya.63

63

Wawancara dengan Nirwan Fahmi selaku Account Officer, Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Putri Hijau Medan, 27 Juli 2015.

(47)

sebagian lainnya dapat digunakan untuk melanjutkan dan mengembangkan usahanya. Dengan demikian dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perhitungan cash flow atas usahanya dapat diprediksikan debitur mampu menyelesaikan seluruh hutangnya.

Tindakan penurunan suku bunga kredit ini sangat membantu nasabah / debitur dalam melunasi hutangnya, kebijakan penurunan suku bunga kredit ini sangat membantu usahanya karena memang untuk beban suku bunga kredit yang semula dirasakan berat. Tetapi dengan adanya penurunan suku bunga kredit masih ada sisa bunga yang tidak perlu disetorkan dan dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya.

Adapun teknis daripada tindakan ini adalah memperbaharui akta-akta yang telah dibuat sebelumnya dengan melakukan amandemen atau addendum terhadap Pasal-Pasal yang yang mengatur tentang besarnya suku bunga kredit. Amandemen atau addendum ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian kredit terdahulu. Sehingga semua ketentuan dan syarat dalam perjanjian kredit yang tidak diubah tetap berlaku misalnya perjanjian pengikatan jaminan dan addendum ini dapat dibuat dibawah tangan (dibuat oleh para pihak) Ada kemungkinan dengan addendum penurunan suku bunga tersebut maka pihak kreditur (Bank ) memberikan syarat tambahan atau merubah syarat yang ada. 2) Pengurangan atau penghapusan tunggakan bunga kredit

(48)

menyelamatkan kredit bermasalah ini maka Bank BRI Cabang Medan Putri Hijau mengambil langkah dengan pengurangan atau penghapusan seluru atau sebagian tunggakan bunga kredit. Tindakan ini dilakukan untuk memperingan beban debitur sehingga diharapkan dapat kembali melanjutkan usahanya dan membayar hutang pokoknya. Secara teknis kebijakan ini diberikan kepada debitur / nasabah yang dinilai secara cermat hanya melakukan kesalahan manajemen dan tidak ada unsur kesengajaan, sehingga dapat diprediksikan debitur akan mampu mengembangkan usahanya kembali. Misalnya tunggakan bunga selama 3 bulan sebesar 400 juta rupiah, maka kepada debitur dilakukan pengurangan atau penghapusan seluruh hutang bunganya tersebut.

Meskipun demikian tindakan pengurangan dan atau penghapusan tunggakan bunga kredit ini dilakukan secara selektif dan melalui analisis yang cukup ketat. Pengurangan dan atau penghapusan seluruh atau sebagian tunggakan bunga tersebut tidak mengakibatkan perubahan akta perjanjian karena yang dikurangi adalah besarnya tunggakan bunga yang seharusnya dibayar oleh debitur. 3) Perpanjangan jangka waktu kredit.

(49)

mampu melunasi seluruh hutangnya. Kebijakan atau langkah yang diambil ini, selama ini lebih efektif dalam pemecahan masalah kredit macet, karena biasanya dengan adanya perpanjangan waktu pembayaran kredit di debitur merasa tertolong dengan pembayaran yang sudah jatuh tempo harus dibayar dapat dipergunakan untuk memperkuat usahanya, misalnya pembayaran hutang seluruhnya jatuh tempo pada bulan Januari tahun 2003 diperpanjang menjadi Januari 2004.

4) Pengambil alihan agunan / asset debitur

Kebijakan lain yang diterapkan oleh BRI Cabang Medan Putri Hijau adalah dengan cara mengambil alih agunan kredit yang nilai jaminan dikompensasikan dengan jumlah kredit yang diambil. Hal ini terpaksa dilakukan karena menurut evaluasi yang dilakukan oleh Bank, debitur melakukan wanprestasi yang tidak mungkin dapat melunasi hutangnya sesuai dengan jatuh tempo perjanjian kredit meskipun telah dilakukan berbagai cara restrukturisasi hutangnya. Dengan kata lain cara ini dilakukan sebagai upaya damai terakhir dalam penyelamatan kredit setelah upaya-upaya lain tidak dapat dipenuhi oleh debitur. 64

64

Wawancara dengan Nirwan Fahmi selaku Account Officer, Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Medan Putri Hijau, 27 Juli 2015.

b. Penyelesaian kredit bermasalah secara damai

(50)

1) Penjualan sebagian atau seluruh agunan / jaminan di bawah tangan oleh debitur.

Kebijakan ini sering dilakukan oleh BRI Cabang Medan Putri Hijau karena hal ini memudahkan untuk pengembalian hutang-hutang debitur. Disamping itu cara ini dapat lebih menghemat waktu, biaya dan hasilnya akan lebih baik daripada penjualan lelang. Cara demikian ini sangat efektif dan efisien karena tidak lagi memerlukan prosedur yang panjang dan hasilnya dapat lebih tinggi daripada harga pasaran yang ada pada saat itu. Bank lebih dominan untuk mengatur hasil penjualan jaminan ini, sehingga hasil penjualan tersebut langsung disetor ke Bank untuk pembayaran hutang debitur. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, karena menurut Pasal 20 UUHT maka penjualan diluar lelang / dibawah tangan dapat dilakukan.

Pelaksanaan kebijakan ini bagi debitur sangat lemah karena penjualan tersebut secara langsung dikontrol dan diawasi oleh bank / kreditur, tetapi disisi yang lain sisa hasil penjualan dibawah tangan ini lebih banyak diperoleh oleh debitur setelah dipotong tunggakan kredit, tidak adanya biaya administrasi dan dapat dimanfaatkan langsung oleh debitur untuk membuka usaha yang lain.

(51)

bawah tangan dengan surat kuasa dan tanpa dihadiri oleh debitur .Kekhawatiran ini dapat dipahami karena dalam penjualan tersebut dikhawatirkan harga yang ditawarkan oleh pihak kuasa lebih kecil daripada yang dikehendaki oleh debitur, yang dapat mengakibatkan kerugian pada debitur dalam pelunasan hutang-hutangnya. Memang cara ini lebih praktis karena debitur tidak lagi dibebani kewajiban yang tidak mudah itu, tetapi disisi lain nasabah / debitur merasa tidak puas apabila hasil penjualan itu terlalu kecil dan tidak dapat digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya sehingga masih adanya kewajiban lagi yang dibebankan kepada debitur. Hal yang demikian ini bukan tidak mungkin terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pihak kuasa dengan berkolusi dengan pihak lain, atau bahkan membeli sendiri jaminan /anggunan tersebut dengan harga yang murah.

c. Penyelamatan kredit melalui lembaga-lembaga hukum

Upaya terakhir dari BRI Cabang Medan Putri Hijau untuk menyelesaikan kredit bermasalah (non performing loan) adalah dengan cara melalui lembaga hukum sebagai berikut :65

1) Melalui Pengadilan Negeri

Penyelesaian kredit macet melalui gugatan ke Pengadilan Negeri ditempuh dengan cara :

a) Somasi / Peringatan, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera Pengadilan Negeri

65

(52)

b) Mengajukan pelaksanaan fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri terutama untuk jaminan kredit yang telah dibebani dengan hak tanggungan ( HT ).

2) Penyelesaian dengan bantuan Pihak Ketiga (Kejaksaan Negeri dan Pengajuan Klaim Asuransi).

a) Penyelesaian Kredit Macet dengan Bantuan Kejaksaan, penyelesaian kredit macet dengan bantuan Kejaksaan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk memonitor debitur yang penagihannya dimintakan bantuan Kejaksaan agar Kanca membuat Register Penyelesaian Piutang Macet ke Kejaksaan.

b) Penyelesaian Kredit dengan Pengajuan Klaim Asuransi

(53)

81 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas maka faktor-faktor penyebab kredit macet dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh Bank BRI Medan Cabang Putri Hijau dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pemberian kredit yang objek jaminannya hak guna usaha pada Bank Rakyat Indonesia, mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian kredit antara lain permohonan kredit, prakarsa kredit, analisis dan evaluasi kredit, negosiasi kredit, penetapan struktur dan tipe kredit, rekomendasi dan pemberian putusan kredit, perjanjian dan pencairan kredit serta mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pengikatan agunan. 2. Faktor-faktor penyebab timbulnya kredit bermasalah (non performing

loan/kredit macet) antara lain Kurangnya kemampuan debitur dalam mengelola usahanya, Pemutusan Hubungan Kerja, Pengaruh kondisi ekonomi/bidang usaha dan Bencana alam.

3. Tindakan penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah / kredit macet (non performing loan) oleh BRI Cabang Medan Putri Hijau, Restrukturisasi, Penyelesaian kredit bermasalah secara damai dan Penyelamatan kredit melalui lembaga-lembaga hukum.

(54)

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas maka penulis memberikan saran-saran berupa rekomendasi guna mengatasi permasalahan yang dikaji, antara lain :

1. Diperlukannya ketelitian, sikap kehati-hatian dan penerapan prinsip-prinsip kesehatan Bank dalam penyaluran kredit oleh petugas Bank Rakyat Indonesia Cabang Medan Putri Hijau di waktu mendatang.

2. Melakukan analisis dan evaluasi yang mendalam mengenai kelayakan suatu permohonan kredit yang diajukan, baik dalam menganalisis prospek hasil produksi, dan kemampuan debitur dalam mengelola manajemen perusahaannya.

(55)

14 A. Pengertian dan Unsur-Unsur Kredit

1. Pengertian Kredit

Menurut HMA Savelbergdalam Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan bahwa kredit mempunyai arti : 7

a. Sebagai dasar dari setiap perikatan dan seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain ;

b. Sebagai jaminan dan seseorang menyerahkan sesuatu pada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan.

Kata kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang artinya “percaya”.Dalam bahasa Belanda istilahnya “vertrouwen”, dalam bahasa Inggris “believe”atau “trust” atau “confidence”, yang kesemuanya berarti percaya,8

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11 menyebutkan pengertian kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam jika dihubungkan maka terkandung pengertian bahwa bank selaku pemberi kredit percaya untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu tertentu.

7

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 21.

8Ibid.

(56)

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil tertentu.9

Hasibuan, mengemukakan pengertian kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

10

Selanjutnya Latumerissa, menyatakan kredit adalah Penyerahan sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis pada saat sekarang ini atas dasar kepercayaan, sebagai pengganti sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis yang sepadan dihari kemudian.11

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

Pengertian yang serupa diatur pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna'; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas

9

Undang-Undang tentang Perbankan Pasal 1 angka (11) Nomor 10 Tahun 1998 10

Melayu SP. Hasibuan. Dasar-dasar Perbankan. Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal 87 11

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia Tbk Cabang Medan Putri Hijau .... Bank Rakyat Indonesia Tbk Cabang Medan Putri Hijau merupakan bank usaha milik negara yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tingkat kesehatan dan menganalisis tingkat kesehatan pada PT BRI Cabang Putri Hijau Medan, telah memenuhi kriteria bank sehat

Bank Negara Indonesia Cabang Kabanjahe adalah menerapkan prosedur pemberian kredit yang ketat dan berhati-hati dalam penilaian (analisis) terhadap prospek usaha calon debitur,

Setelah melakokan pmgaoalisaao, dapat disimpuIkao bahwa PT Bank Rakyat Indonesia (persero), Tbk Cabang Medan Putri Hijao telab melaksanakan prosedur pemberian kredit modal kerja

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT PADA BANK (STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN) A. Gambaran Umum Mengenai Bank Tabungan Negara

Hambatan yang dihadapi dalam proses restrukturisasi kredit di Bank Rakyat Indonesia Cabang Binjai diantaranya debitur sulit untuk diajak bekerjasama, tidak adanya keterbukaan

Rakyat Indonesia Cabang Putri Hijau Medan tidak luput dari ketidakpastian dalam. menangani pelayanan terhadap konsumennya

Cabang Semarang Pattimura mempergunakan model penyelesaiannya dengan penyelamatan kredit melalui restrukturisasi dan penyelesaian kredit melalui penyelesaian secara damai