Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Mei 2011
SURYANA. The Phenotypic and Genetic Characterization of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan for it’s Conservation and Sustainable Use. Supervisors of RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO and L. HARDI PRASETYO.
Alabio ducks is one of the local duck in South Kalimantan as egg producers which characterized by high productivity of eggs. The study was carried out in order to describe the phenotypic and genetic characterization of Alabio duck being kept by smallholder farmers. The study was conducted in Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST) and Hulu Sungai Utara (HSU), South Kalimantan, animal breeding and genetic laboratory and feed technology and nutrition laboratory, Faculty of Animal Science IPB Bogor. Six hundreds (75 males and 525 females) of Alabio ducks were used in this study with ages ranged from 5.5 to 5 months old, 144 of whole blood samples (71 blood plasma and 72 red blood cells) were collected from HSS, HST and HSU. The observed parameters were quantitative and qualitative traits of Alabio duck, genetic variability and nutrition composition. The quantitative traits (body measurement) and genetic polymorphisms of blood protein were analyzed using principal component analysis (PCA) and descriptive analyses. The results showed that for body size measurement of Alabio ducks from HSS, HST and HSU such as length of back, neck, head and depth head as well as body length could be used as variables discriminantor factor. The blood protein polymorphisms of Alabio duck from HSS, HST and HSU displayed six of genotypes i.e. AA, AB, AC, BB, BC and CC with genes frequencies ranged from 0.2917 to 0.7667, heterozigosity value ranged from 0.407±0.120 to 0.661±0.135 and average heterozigocity value of HSS was 0.643±0.232, HST was 0.638±0.219 and HSU was 0.660±0.209. The genetic distances analysis demonstrated that of Alabio duck from HST had relatively closer distance with HSU (0.0148) when compared to HSS (0.2193). The Alabio duck from three locations (HSS, HST and HSU) have different plumage color. The dominant colors of male and famale duck were grayish brown, grayish black, grayish white, blue-green and black. The features of plumage male and female duck were brown spotted, black, blue green and plain. Male and female Alabio duck plumages have the glint of silver and shiny blue-green. The color of bill, feet and shank of male and female duck were lite yellow, bright orange, pale yellow and black. The average five months eggs production was 67.11%±2.75 (HSS), 75.55%±3.87 (HST) and 76.48%±3.13 (HSU). The feeding duration was 14.99±0.24 minute/hour, feeding frequencies was 2.88±036 time/our and duration of drinking was 2.77±0.50 minutes/hour and moving from feeder to drinker places was 5.99 ±0.23 time/hour. The capability of male duck to mate female were 8.14±0.11bird/male (morning), 6.28±0.18 bird/male (afternoon) and 7.13 ±0.24 bird/male (evening).
SURYANA. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan dan Pelestarian Secara Berkelanjutan. Dibawah bimbingan RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO dan L. HARDI PRASETYO.
Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik Alabio mempunyai ciri fenotipik berbeda dan performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik yang unggul dapat hidup dan berkembang biak dengan baik, karena secara genetik memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik sifat kuantitatif maupun kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, tingkah laku menetas, kawin dan memilih pakan, produksi telur, kandungan nutrisi pakan di tingkat lapang /peternak, serta profil peternak itik Alabio.
Sebelum penelitian dimulai, diawali dengan survey pendahuluan untuk penentuan lokasi penelitian dan pengambilan sampel selanjutnya. Penelitian dirancang dengan metode survey secara purposive random sampling, yaitu memilih dua kecamatan dari masing-masing kabupaten.Tiap-tiap kecamatan dipilih dua desa yang memiliki populasi itik Alabio terpadat untuk mewakili lokasi lainnya. Adapun desa yang dipilh yaitu Desa Taniran dan Taniran Kubah Kecamatan Angkinang, Desa Daha dan Paharangan Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Desa Sei Jaranih dan Murung Taal, Kecamatan Labuan Amas Selatan, Desa Tabat dan Mantaas, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Desa Teluk Baru dan Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Desa Cangkering dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
satu ekor sebanyak enam kandang dan diulang tiga kali. Bahan pakan yang digunakan sebanyak enam macam (dedak halus, keong rawa, sagu parut, gabah, pakan komersial dan ikan kering). Pengamatan tingkah laku menetas terlebih dahulu melakukan penetasan telur di laboratorium dengan alat penetas berkapasitas 200 butir. Sebagai pembanding untuk mengetahui keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga buah alat penetasan milik peternak penetas di Desa Mamar, HSU dengan sumber panas kombinasi antara gabah dan listrik, kapasitas masing-masing 1000, 1500 dan 2500 butir. Peubah lainnya yang diamati selama proses penetasan adalah warna dan bentuk telur, bobot telur (g), indeks telur (%), fertilitas (%), perkembangan kantong udara (mm), daya tetas (%), mortalitas DOD (%), bobot tetas (g) dan sex ratio. Pengamatan tingkah laku kawin diawali dengan menempatkan itik Alabio jantan dan betina pada petak kandang kelompok dengan perbandingan jantan:betina (1:10). Waktu pengamatan dilakukan pagi (pukul 07.00), siang (pukul 13.00) dan sore (pukul 17.00), dengan ulangan tiga kali. Kegiatan penelitian profil peternak itik Alabio bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keragaan peternak itik Alabio di HSS, HST dan HSU serta mengetahui kandungan nutrisi pakan. Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dengan peternak responden, menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner sebanyak 60 responden. Masing-masing desa diwakili lima orang responden, sedangkan pakan masing diambil sebanyak tiga sampel/desa, selanjutnya dilakukan analisis proksimat di laboratorium.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor peubah pembeda ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS (panjang leher dan panjang tubuh), HST (panjang paruh atas, inggi kepala, panjang kepala, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh), dan HSU (panjang paruh bawah, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh). Berdasarkan hasil analisis protein darah itik Alabio pada lokus albumin, post albumin, transferin, post transferin-1 dan post transferin-2, ditemukan enam macam genotipe adalah AA, AB, AC, BB, BC dan CC, sementara pada lokus haemoglobin ditemukan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BC, sedangkan genotipe BB, CC dan AC tidak ditemukan pada darah itik Alabio baik dari HSS, HST maupun HSU, dengan frekuensi gen berkisar antara 0.292 - 0.767. Nilai heterosigositas diperoleh berkisar antara 0.407±0.120 - 0.661±0.135 dan heterosigositas rataan (0.638±0.219 - 0.660±0.209). Analisis jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen dari enam lokus protein darah menunjukkan bahwa, itik Alabio dari Kabupaten HST mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan HSU (0.0184), sementara dengan HSS jaraknya relatif jauh (0.2193). Rataan produksi telur tertinggi yang diperoleh selama lima bulan pengamatan adalah HSU (76.48%±3.13) dan terendah HSS (67.11%±2.75).
menit/jam, frekuensi makan 6.04±0.50kali/jam, frekuensi minum 2.33±0.25 kali/jam, dan frekuensi pergerakan dari tempat pakan ke tempat air minum 5.99±0.23 kali/jam. Kandungan protein kasar pakan yang berasal dari HST (17.55%) lebih tinggi dibanding HSU (16.16%) dan HSS (11.77%).
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menyusun atau membuat standarisasi itik Alabio bibit/induk di tingkat lapang. Informasi yang tersedia merupakan acuan bagi pemangku kepentingan (stake holder) dalam rangka pengembangan dan pelestarian itik Alabio secara berkelanjutan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr. (Peneliti Utama pada Balai Penelitian Ternak Ciawi - Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
Dr.Ir. Sumiati, M.Sc.
(Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M. (Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI)
Judul Disertasi : Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan
Nama : Suryana
NRP : D161070071
Program Studi/Mayor : Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Ketua
Prof. (em) Dr.Peni S. Hardjosworo, M,Sc. Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi /Mayor Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Teknologi Peternakan
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, karunia dan inayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi dengan judul “Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan”. Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa, itik Alabio merupakan salah satu ternak unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur dan sumber plasma nutfah di Kalimantan Selatan. Keberadaan itik Alabio perlu dilestarikan dan dikembangkan, sehingga populasinya meningkat. Perkembangan usaha ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan sampai saat ini menunjukkan kemajuan yang pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya proteih hewani, yang berasal dari telur dan daging itik. Fenomena tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan yang baik dalam rangka pengembangan itik Alabio yang berorientasi agribisnis, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Informasi tentang keragaaan atau spesifikasi itik Alabio, baik sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif maupun keragaman genetik dalam dan antar populasi, tingkah laku makan, menetas dan kawin di tingkat lapang belum tersedia secara memadai. Oleh sebab itu, untuk menjawab permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio di Kalimantan Selatan. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi itik Alabio bibit di tingkat lapang.
Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr., masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah menyediakan waktu mendampingi penulis dengan penuh kesabaran, memberikan saran, koreksi, arahan, bimbingan dan semangat selama penelitian hingga selesai penulisan disertasi ini.
2. Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3.
3. Bapak Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, yang telah memberikan dorongan dan restu kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4. Ibu Dr.Ir.Rarah Ratih Ajie Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Bapak Prof.Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang sekaligus sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor dan Bapak Prof.Dr.Ir.Nahrowi Ramli, M.Sc, sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor, Bapak Dr.Ir.Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr, dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc, masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M., dan Bapak Prof. (R) Dr.Ir.Kusumo Diwyanto, M.S masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor dan seluruh jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.
7. Dr.Jakaria, S.Pt.,M.Si., Erick Andreas, S.Pt., M.Si, Sutikno, S.Pt.,M.Si., yang telah membantu menganalisis sampel darah di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak, Fakultas Peternakan IPB Bogor.
8. Sdr M. Faridi, Aidi Murahman S.Pt., Mas Suradi, Purwanto, A.Md. yang telah membantu penelitian di lapang.
9. Rekan-rekan Ir. Aron Batubara, M.Sc., drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc., Ir. Eko Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda. S.Pt.,M.Si dan Procula R. Matitaputti, S.Pt., M.Si, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Kepada para peternak itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang telah bersedia meminjamkan ternaknya selama penelitian berlangsung.
Kepada istri saya tercinta Rofiqah Wahdah dan kedua putri tersayang Rynda Aulia Surya Utami dan Syafira Rossa Meiliyansari, terima kasih atas perhatian, pengertian, dorongan, pengorbanan dan doa yang diberikan selama ini kepada Penulis, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.
Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Mei 2011
Penulis di lahirkan di Garut - Jawa Barat pada tanggal 01 Juli 1967 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Djadja (alm) dan Yayah (alm). Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin, lulus tahun 1996. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Magister Studi Ilmu Peternakan pada Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan menamatkannya pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Doktor pada Program Studi/ Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Penulis bekerja dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak tahun 1990. Tahun 2000 diangkat sebagai staf Peneliti bidang budidaya ternak di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Selama mengikuti program S3 Penulis menjadi Anggota Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Kalimantan Selatan. Karya Ilmiah yang telah dan sedang diterbitkan dengan judul :
1. The Color Pattern of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture Volume 35 Nomor 2 Juni 2010.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Ruang Lingkup Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Kerangka Pemikiran ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
Itik Alabio (Anas platyrhynchosBorneo) ... 9
Sistem Pemeliharaan ... 12
Produksi Telur Itik Alabio ... 14
Karakteristik Penetasan ... 15
Sifat Kualitatif dan Kuantitatif ... 16
Sifat Kualitatif ... 16
Sifat Kuantitatif ... 22
Morfometrik ... 23
Tingkah Laku ... 27
Protein Darah ... 30
Elektroforesis ... 32
Keragaman Genetik Ternak ... 33
Plasma Nutfah ... 35
BAHAN DAN METODE ... 39
Telur Tetas dan Alat Penetasan ... 39
Bahan Kimia ... 40
Peralatan ... 40
Kandang dan Perlengkapannya ... 41
Metode Penelitian ... 42
Perancangan Percobaan dan Penelitian ... 42
Prosedur Penelitian dan Pengamatan Peubah ... 42
Orientasi Lapangan (Survey Awal) ... 42
Penentuan Lokasi ... 42
Penelitian Sifat Kuantitatif dan Kualitatif ... 43
Penelitian Keragaman Genetik (Protein Darah) ... 44
Pengambilan Darah dan Persiapan Contoh ... 44
Pembuatan Campuran Bahan Kimia ... 45
Pembuatan Gel Elektroforesis ... 46
Penetesan Contoh dan Proses Pemisahan Protein ... 47
Pewarnaan dan Pencucian ... 47
Penelitian Tingkah Laku Menetas, Memilih Pakan dan Kawin ... 47
Penelitian Profil Peternak Itik Alabio ... 49
Analisis Data... 50
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 55
Manajemen Pemeliharaan Itik Alabio ... 57
Karakteristik Fenotipik ... 58
Sifat Kuantitatif ... 58
Analisis Komponen Utama (AKU)
...
61
Produksi Telur ... 65
Kandungan Nutrisi Pakan ...
67
Sifat Kualitatif... 68
Warna Bulu Dominan... 68
Corak Bulu Itik Alabio ... 70
Warna Fluoresens Bulu Itik Alabio ... 71
Karakteristik Protein Darah ... 74
Jarak Genetik Itik Alabio ... 79
Keragaman Genetik Itik Alabio ... 80
Tingkah Laku ... 83
Tingkah Laku Menetas ... 83
Tingkah Laku Memilih Pakan ... 86
Tingkah Laku Kawin ... 89
Keragaan Penetasan ... 90
Profil Peternak Itik Alabio ... 95
PEMBAHASAN UMUM ... 99
SIMPULAN DAN SARAN ... 105
Simpulan ... 105
Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 107
Halaman
1 Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan ... 11
2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas ... 19
3 Penampakan warna paruh dan shank ... 22
4 Ukuran bagian-bagian tubuh itik lokal dewasa di Indonesia ... 26
5 Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas ... 29
6 Protein darah yang ditemukan pada itik dan ayam kampung ... 31
7 Gambaran umum manajemen pemeliharaan itik Alabio ... 57
8 Rataan (±sd) bobot badan dan ukuran bagian tubuh itik Alabio ... 58
9 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS ... 59
10 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HST ... 60
11 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSU ... 60
12 Persamaan ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio ... 61
13 Nilai hubungan antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS HST dan HSU ... 63
14 Hasil analisis nutrisi pakan itik Alabio ... 67
15 Persentase warna bulu dominan itik Alabio ... 69
16 Persentase corak bulu itik Alabio ... 70
17 Persentase fluoresens bulu itik Alabio ... 72
18 Persentase paruh, kaki dan shank itik Alabio ... 73
19 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ... 75
20 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio antar populasi (kabupaten) ... 76
21 Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ... 78
22 Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio antar populasi (kabupaten) ... 78
26 Kandungan zat gizi bahan pakan itik Alabio ... 87
27 Rataan lama makan, minum, frekuensi makan, minum dan pergerakan dari tempat makan ke tempat air minum ... 87
28 Rataan kemampuan itik pejantan mengawini betina ... 89
29 Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio ... 91
Halaman
1 Diagram alir kerangka pemikiran ... 7
2 Kerangka tubuh itik (Koch 1973)
...
253 Alat elektroforesis apparatus merk Protean II vertical ... 41
4 Peta lokasi penelitian ... 56
5 Grafik ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS, HST dan HSU ... 64
6 Grafik produksi telur itik Alabio ... 65
7 Pola penyebaran genotipe protein darah pada itik Alabio ... 77
8 Pohon filogenik itik Alabio ... 80
9 Proses penetasan telur itik Alabio ... 85
a Telur di dalam mesin tetas mulai kerabangnya retak ... 85
b Paruh itik mulai keluar pada kerabang telur ... 85
c Anak itik mulai keluar dari kerabang telur ... 85
d Anak itik berhasil keluar dari kerabang telur ... 85
e Anak itik mulai keluar dari kerabang telur dan mengeringkan bulunya ... 85
Halaman
1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio ... 124
1.31 Gambar warna bulu leher samping itik Alabio betina ... 133 1.32 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio jantan ... 134 1.33 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio jantan ...
134
1.34 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio betina ... 134 1.35 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio betina ... 134
2 Gambar berbagai sistem pemeliharaan itik Alabio ... 135 2.1 Pemeliharaan itik Alabio sistem kandang panggung ... 135 2.2 Pemeliharaan itik Alabio sistem semi intensif ... 135
2
.
3 Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif ... 1362.4 Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif dengan umbaran ... 136
3 Lembar pertanyaan (kuisioner) ... 137 4 Profil peternak itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU
Latar Belakang
Itik lokal Indonesia dikenal sebagai itik Indian Runner yang produktif
sebagai itik petelur. Meskipun satu rumpun, beberapa itik lokal yang tersebar di
seluruh wilayah nusantara mempunyai berbagai nama menurut daerah atau
lokasinya masing-masing. Bangsa itik lokal yang cukup dikenal antara lain itik
Tegal, itik Bali, itik Mojosari, itik Magelang dan itik Alabio. Itik Alabio (Anas
platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di
Kalimantan Selatan, dan mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur.
Populasi itik Alabio di Kalimantan Selatan tahun 2010 sebanyak 4.354.121 ekor
dengan tingkat pertumbuhan 4,17%, produksi telur dan daging masing-masing
sebesar 27.733.704 kg dan 1.525.615 kg (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan
Selatan 2011). Populasi itik Alabio terbesar terdapat di Kabupaten Hulu Sungai
Utara 1.280.591 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Utara 2010), Kabupaten
Hulu Sungai Selatan 935.927 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Selatan 2010),
dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebesar 947.115 ekor (BPS Kabupaten
Hulu Sungai Tengah 2010) dan sisanya tersebar di beberapa kabupaten dan
kota di Kalimantan Selatan.
Selain sebagai sumber plasma nutfah, itik Alabio mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Hal tersebut ditunjukkan sekitar 46.81% merupakan mata
pencaharian utama peternak itik Alabio di Kalimantan Selatan (Biyatmoko
2005). Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga peternak itik, khususnya di
Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar 42.09% (Rohaeni & Tarmudji 1994) dan
52.80% masing-masing di Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan
(Zuraida 2004). Itik Alabio berkontribusi terhadap produksi telur sebesar 47.73%
dari total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Dinas Peternakan
Propinsi Kalimantan Selatan 2008).
Itik Alabio memiliki ciri fenotipik berbeda serta performa beragam dibanding
itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik
yang lebih baik dan unggul serta dapat hidup dan berkembang biak, karena
secara genetik memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.
Kemampuan itik lokal dalam berproduksi telur selama periode tertentu sangat
meningkatkan keseragaman itik yang ada. Keragaman genetik pada ternak
penting artinya dalam rangka pembentukan rumpun ternak baru dan akan terus
berlanjut sampai masa mendatang.
Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa itik Alabio di beberapa daerah
di Kalimantan Selatan memiliki keragaman tinggi, baik sifat-sifat kualitatif (warna
bulu, paruh, kaki dan shank serta bentuk tubuh), maupun kuantitatif seperti:
bobot badan dewasa, lama produksi telur, umur pertama bertelur, puncak
produksi, daya tunas, daya tetas, bobot tetas. Perbedaan-perbedaan keragaman
di atas, salah satunya diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan,
pemberian pakan yang berbeda dan sistem perbibitan tanpa memperhatikan
program pemuliaan yang rerarah dan terstruktur.
Permintaan pasar akan produk itik (telur dan daging) akhir - akhir ini terus
meningkat,seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi
produk tersebut. Permintaan produk yang meningkat, perlu diimbangi dengan
penyediaan bibit itik yang berkualitas dalam jumlah besar dan berkelanjutan,
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Kebutuhan produksi
bibit dalam jumlah besar, tidak dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik secara
tradisional, melainkan harus dilakukan intensif. Perubahan sistem budidaya dari
tradisional kepada intensif, perlu didukung ketersediaan teknologi yang
memperhatikan prinsip manajemen usaha peternakan modern, berorientasi
ekonomis, berwawasan lingkungan untuk mencapai keuntungan optimal. Salah
satu upaya untuk menyediakan bibit itik yang baik, dapat dilakukan dengan
pemeliharaan itik Alabio secara intensif, yang sebelumnya telah diketahui
keragaan atau spesifikasinya di tingkat lapang. Informasi tentang keragaan atau
spesifikasi itik Alabio dapat diperoleh dengan melakukan penelitian karakterisasi
fenotipik dan genetik, antara lain untuk mengetahui sifat-sifat kuantitatif dan
kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi itik Alabio
yang berbeda berdasarkan protein darah, mengamati tingkah laku menetas,
memilih pakan dan kawin, melakukan pengamatan produksi telur di tingkat
peternak, serta menghimpun informasi pendukung lainnya, yaitu tentang profil
peternak itik Alabio. Informasi yang diperoleh tentang keragaan atau spesifikasi
karakteristik itik Alabio, diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan
ternak unggas lokal di Kalimantan Selatan.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan informasi keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik berupa
karakteristik kualitatif dan kuantitatif, maupun keragaman fenotipik dan
genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, sebagai bahan yang dapat
digunakan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio
di tingkat lapang.
2. Memperoleh informasi tentang aktivitas memilih pakan, kemampuan itik
Alabio jantan mengawini betina.
3. Mengetahui keragaan penetasan dan komposisi nutrisi pakan di tingkat
lapang, serta informasi tentang profil peternak itik Alabio.
Ruang Lingkup Penelitian
1. Melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif itik
Alabio.
2. Melakukan analisis keragaman genetik dalam dan antar populasi yang
berbeda.
3. Melakukan pengamatan aktivitas menetas, memilih pakan, kawin dan
mengetahui informasi tentang profil peternak itik Alabio.
4. Melakukan analisis kandungan nutrisi pakan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat untuk:
1. Pengembangan itik Alabio dengan memperhatikan keragaman populasi yang
ada.
2. Menyediakan informasi yang dapat digunakan Pemerintah Daerah,
khususnya Dinas Peternakan sebagai pedoman dalam menyusun
plasma nutfah di Kalimantan Selatan.
3. Menyediakan informasi tentang pemanfaatkan ciri-ciri fisik itik Alabio yang
dapat digunakan Komisi Bibit, khususnya Komisi Bibit Unggas Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai salah satu bahan
pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik
Alabio di tingkat lapang.
4. Menyiapkan bahan untuk digunakan sebagai sumber pembentukan galur
bibit itik unggul.
Kerangka Pemikiran
Ternak itik merupakan salah satu komponen penting dalam sistem usaha
tani di beberapa daerah di Indonesia, termasuk itik Alabio di Kalimantan Selatan.
Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu unggas lokal
yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Pengembangan usaha
ternak itik Alabio saat, tidak hanya dituntut dari aspek kuantitas produksi saja,
melainkan peningkatan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan produk itik
lainnya.
Itik Alabio memiliki ciri-ciri fenotipik berbeda serta performa beragam
dibanding itik lokal lain di Indonesia. Itik Alabio memiliki keunggulan dalam
produksi telur, walaupun keragamannya masih tinggi. Keragaan itik Alabio antara
lain meliputi: produksi telur 220-250 butir/ekor/tahun, puncak produksi 92.70%,
berat telur 59-65 g/butir, konsumsi pakan 155-190 g/ekor/hari, dewasa kelamin
179 hari, daya tunas 84.80-90.83%, daya tetas 79.48%, mortalitas day old duck
(DOD) 0.75-1.0%, bobot badan betina umur 6 bulan 1600 g dan jantan 1750 g.
Selain sebagai penghasil telur dan daging, itik Alabio penting dilihat juga dari
fungsi non pangan, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan
pendapatan peternak. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa itik Alabio mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal ini dibuktikan berkisar
antara 46.81-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio,
khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah dan Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sebagai komoditas unggulan daerah, itik
Alabio saat ini dipelihara secara semi intensif dan intensif. Pergeseran sistem
terutama bibit dan pakan untuk mencapai kelayakan ekonomi. Pergeseran ini
menunjukkan bahwa usaha ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar
usaha sambilan, melainkan telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan
orientasi komersial. Khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, usaha beternak
itik Alabio sudah menjurus kepada spesialisasi usaha, yaitu sebagai penghasil
telur konsumsi, itik dara, telur tetas dan bibit/DOD. Bibit itik Alabio dihasilkan
dengan menetaskan telur, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Saat ini, pembibitan itik lokal telah dilakukan peternak tradisional di
masing-masing wilayah pengembangan, namun kualitas dan produktivitasnya masih
rendah dan sangat bervariasi. Hal ini tentunya diperlukan pendampingan dan
pembinaan intensif dalam pengelolaannya untuk keperluan jangka panjang.
Keberadaan itik murni di habitatnya dapat merupakan reservoir bagi kekayaan
plasma nutfah, baik sebagai koleksi dan konservasi keanekaragaman hayati,
maupun untuk materi pemuliaan di masa mendatang. Sumber daya genetik
mempunyai peran penting sebagai material genetik yang dapat dimanfaatkan
untuk pembentukan galur unggul. Pemanfaatan sumber daya genetik ternak
untuk pengembangan bibit komersial, perlu dijaga eksistensi dan keragamannya,
sehingga upaya pelestarian secara berkelanjutan dapat berjalan dengan baik.
Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk itik (telur
dan daging), mempunyai konsekuensi terhadap penyediaan bibit yang
berkualitas dan berkesinambungan. Bibit itik yang dihasilkan peternak penetas
tradisional diduga kualitasnya masih beragam. Pemenuhan kebutuhan bibit
berkualitas dalam jumlah besar, salah satunya dapat dipenuhi dengan
pemeliharaan itik Alabio secara intensif, sementara informasi tentang keragaan
atau spesifikasi itik Alabio sebagai penghasil bibit berorientasi agribisnis, belum
tersedia secara memadai di tingkat lapang, sehingga diperlukan penelitian untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi tersebut, yaitu dengan melakukan
karakterisasi sifat-sifat kualitatif (warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu,
warna paruh kaki dan shank), maupun sifat kuantitatif (bobot badan, bobot telur,
bobot tetas, ukuran-ukuran tubuh dan produksi telur), keragaman fenotipik dan
genetik dalam dan antar populasi berbeda, dengan menganalisis protein darah
menggunakan teknik elektroforesis. Analisis polimorfisme protein darah dilakukan
menggunakan matrik jarak genetik dan pohon filogenetik.
Tahap selanjutnya mempelajari tingkah laku memilih makan dan kawin,
keragaaan aktivitas menetas dan melakukan analisis kandungan nutrisi pakan itik
Alabio yang digunakan di lapang/peternak, serta profil peternak itik Alabio.
Informasi tentang profil peternak , diperoleh melalui wawancara langsung dengan
peternak responden, menggunakan lembar pertanyaan dalam bentuk kuisioner.
Tahapan-tahapan kegiatannya meliputi antara lain: identitas peternak responden,
tingkat kepemilikan ternak, sistem pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, tingkat
produksi telur, aspek penyakit dan upaya penanggulangannya.
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapakan menjadi
salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi
bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang/peternak. Standarisasi mutu bibit itik Alabio
sampai saat ini belum ditetapkan, maka perlu disusun atau dibuat standarnya,
sebagai acuan bagi seluruh pengguna (user). Standarisasi itik Alabio dibuat
dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya genetik ternak asli indonesia,
perlindungan terhadap konsumen, peningkatan kualitas itik lokal, peningkatan
kinerja agribisnis dan agroindustri. Informasi yang tersedia juga diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh Komisi Bibit Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementerian Pertanian, khsususnya Komisi Bibit Unggas, Pemerintah
Daerah (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan), dalam rangka upaya
pengembangan, pelestarian dan konservasi plasma nutfah itik Alabio secara
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.
ITIK ALABIO
POTENSI
Sebagai sumber plasma nutfah
daerah/nasional
Itik penghasil telur produktifBerkontribusi signifikan terhadap pendapatan peternak itik Alabio
PERMASALAHAN
Permintaan produk itik (daging dan telur) meningkat Kualitas bibit masih beragam
Peyediaan bibit yang berkualitas masih terbatas
ANALISIS TINGKAH LAKU: 1. Tingkah laku
memilih pakan 2. Tingkah laku
menetas 3. Tingkah laku
kawin
ANALISIS MORFOMETRIK:
Sifat kualitatif (warna bulu, paruh, kaki dan
shank) dan kuantitatif
(ukuran tubuh)
ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DARAH
(albumin, post albumin, transferin, post transferin 1 & 2
dan hemoglobin)
Dimanfaatkan dalam rangka
pengembangan itik Alabio sebagai aset nasional secara lestari dan berkelanjutan
TINJAUAN PUSTAKA
Itik Alabio (
Anas platyrhynchos
Borneo)
Itik lokal di Indonesia sekurang-kurangnya dibedakan atas tiga kelompok utama, yaitu itik Tegal, itik Bali dan itik Alabio yang semuanya dipelihara untuk
tujuan produksi telur (Srigandono & Sarengat 1990; Suwindra 1998; Solihat et al. 2003). Itik Alabio (Anas platyrhynchosBorneo) merupakan salah satu itik petelur lokal produktif yang berasal dari Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Nawhan 1991; Wasito & Rohaeni 1994; Suparyanto 2005;
Suryana 2007), termasuk ke dalam ordo anseriformes, famili anatidae, genus dan spesies Anas platyrhynchos Borneo (Hetzel 1985; Suwindra 1998; Biyatmoko 2005a).
Itik Alabio memiliki beberapa sifat karakteristik antara lain: bentuk tubuh
membuat garis segitiga dengan kepala kecil dan membesar ke bawah, berdiri tidak terlalu tegak membuat sudut 45o dengan dasar tanah (Nawhan 1991),
postur tubuh condong membentuk sudut 60o (Alfiyati 2008). Warna bulu pada kepala betina coklat kelam, tidak ada kalung putih di leher, dada kecoklatan, bulu badan berwarna coklat agak biru kehijauan, kaki berwarna jingga, serta bagian
atas mata terdapat garis kelam menyerupai alis mata (Setioko & Istiana 1999; Susanti & Prasetyo 2007). Paruh jantan maupun betina berwarna jingga kusam
dengan bintik hitam pada ujungnya, ujung sayap, ekor, dada, leher dan kepala sedikit kehitam-hitaman (Wasito & Rohaeni 1994; Biyatmoko 2005). Itik jantan
memiliki warna bulu pada kepala bagian atas berwarna coklat kelam mengkilap (Alfiyati 2008), itik jantan dewasa terdapat kalung putih di leher (Wasito &
Rohaeni 1994), dada keunguan, bulu badan berwarna coklat muda dan pada ujung ekor terdapat bulu yang melengkung ke atas (Setioko & Istiana 1999;
Biyatmoko 2005a; Suparyanto 2005).
Fenotipe itik Alabio berbeda dengan galur itik lokal lainnya, karena tingkat
keragaman pada pola warna bulunya (Suparyanto 2005), memiliki warna bulu yang khas (Sopiyana & Prasetyo 2008). Hasil identifikasi terhadap fenotipe itik
Berdasarkan frekuensi gen pada lokus polimorf ke delapan dan lokus monomorf kedua belas, yang terdapat pada sepuluh jenis itik lokal di Indonesia
termasuk Itik Alabio, dapat disimpulkan bahwa itik Alabio berkerabat dekat dengan itik Lombok, itik Bali, itik Mojosari, itik-itik Jawa Tengah, itik-itik Jawa
Barat dan itik Khaki Campbell dari Inggris (Hetzel 1985). Hal ini sesuai hasil penelitian Brahmantiyo et al. (2003), berdasarkan analisis morfometrik itik Alabio dekat kekerabatannya dengan itik Mojosari.
Itik Alabio dipelihara masyarakat khususnya di Kalimantan Selatan,
dilakukan secara turun temurun, serta mempunyai peranan penting dalam menopang pendapatan peternak dan keluarganya (Zuraida 2004; Biyatmoko
2005). Unggas ini mampu memberikan kontribusi produksi telur sebesar 53.73% terhadap total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Rohaeni & Rina 2006), kontribusi terhadap pendapatan total keluarga peternak itik sebesar 58%
(Zuraida 2004), 42.09-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah
(HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS) (Ma’amun & Rina 1995; Zuraida 2004; Biyatmoko 2005a), dan 47.50% di Kabupaten Tanah Laut (Rohaeni & Tarmudji
1994), serta 20.65% di Kecamatan Hamayung Kabupaten HSS (Rohaeni & Rina 2006).
Peranan itik lokal, termasuk itik Alabio tidak saja sebagai sumber pangan yang cepat menghasilkan (quick yielding) (Solihat et al. 2003), tetapi lebih penting lagi merupakan sumber pendapatan peternak itik Alabio (Hamdan & Zuraida 2007; Hamdan et al. 2010), menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah konsumsi protein hewani bagi peternak dan masyarakat (Jarmani &
Sinurat 2004). Mengingat peranan itik Alabio yang signifikan terhadap
peningkatan pendapatan peternak di pedesaan, unggas ini oleh Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, terus dikembangkan dan diupayakan untuk dijaga kelestariannya (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2006),
bahkan telah dijadikan sebagai salah satu sumber plasma nutfah (genetic
resources) daerah dan nasional (Departemen Pertanian 2006), selain kerbau
rawa/kalang (Bubalus carabanensis) yang ada di Kalimantan Selatan (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2006; Suryana 2007). Keragaan
pemuliaan yang terarah dan terstruktur. Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan, disarikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan
Paramater
Asal itik
Itik seleksi Itik kontrol BPTU Pelaihari
SPAKU HSU Induk Keturunan I I II
Rataan
produksi telur (%)
58.16 (2) 59.94 (2) 52.80 (1) 53.11(1) 33.20 (3) 61.80 (4)
Rataan
produksi telur dari itik terseleksi (%)
60.65 (2) 65.50 (2) - - - -
Puncak produksi (%)
80.69 (bulan ke
8) (2)
93.55 (bulan ke 3)
(2)
71.62 (buan ke
4) (1)
68.23 (bulan ke
2) (1)
- 72.16% (bulan ke 5) (4) Umur pertama
kali bertelur (hari) 145-165 (2) 147-163 (2) 142-165 (1) 156 (1) - - Rataan
produksi telur terendah (%)
28.49 (2) 31.06 (2) - 18.76 (1) - -
Rataan produksi tertinggi (%)
72.89 (2) 72.25 (2) - - - -
Daya tunas (%)
- - - - 84.8 (3) -
Daya tetas (% telur fertil)
- - - - 30.2 (3) -
Bobot telur tetas
- - - - 64.5 (3)
59.83-64.94 (4)
Bobot tetas (g) - - - - 35.7 (3) -
Bobot badan betina umur 14 minggu (g)
- - - - 1448.6 (3) 1600 (4)
Sumber : (1) Purba & Manurung (1999); (2) Setioko et al. (2000); (3) Setioko et al. (2004) (4) Rohaeni & Setioko (2001).
Keterangan: BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul), SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), HSU (Hulu Sungai Utara)
Dalam rentang waktu yang cukup lama, itik Alabio telah beradaptasi baik
dengan lingkungan, pakan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di setiap daerah di Kalimantan Selatan. Terjadi keragaman yang bervariasi diduga
disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Keragaman yang tinggi merupakan tantangan besar yang harus diatasi dalam upaya meningkatkan
mendapatkan keseragaman yang optimal, baik dalam hal pertumbuhan, waktu mulai bertelur, produksi dan puncak produksi telur, daya tunas dan lain-lain,
khususnya untuk pengembangannya secara komersial.
Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan itik di Indonesia umumnya dibedakan menjadi tiga pola, yaitu sistem ekstensif/tradisional, semi intensif dan intensif (Nawhan 1991;
Wasito & Rohaeni 1994; Purba & Manurung 1999; Pingel 2005; Suryana 2007; Hamdan et al. 2010). Sistem pemeliharaan tradisional dengan cara menggembalakan itik di rawa atau sungai (Nawhan 1991), mencari makan sendiri di sekitar rumah, sawah, selokan dan kolam (Solihat et al. 2003), serta diberi pakan tambahan seadanya (Alfiyati 2008). Pemeliharaan sistem semi
intensif dan intensif, pakan diberikan secara teratur dalam kandang tanpa atau
dengan disediakan kolam (Suwindra 1998; Pingel 2005).
Perkembangan pemeliharaan itik Alabio yang cepat saat ini, mengarah pada pergeseran dari sistem pemeliharaan lanting/tradisional kepada sistem
intensif yang sepenuhnya terkurung. Pergeseran ini menunjukkan bahwa, usaha ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar usaha sambilan, melainkan
telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan orientasi komersial (Biyatmoko 2005; Prasetyo 2006; Suryana 2007), dengan skala usaha
pemeliharaan disesuaikan dengan kemampuan modal yang dimiliki peternak (Hamdan et al. 2010). Menurut Edianingsih (1991) sistem pemeliharaan intensif dapat meningkatkan keuntungan sebesar 50% lebih tinggi daripada pemeliharaan ekstensif-tradisional.
Usaha pemeliharaan itik Alabio, menurut Setioko (2001) dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a) skala kecil, itik yang dipelihara kurang dari
500 ekor dengan sistem pemeliharaan tradisional dilepas di rawa, sawah atau sungai (Alfiyati 2008); b) skala sedang jumlah pemeliharaan antara 500-5000 ekor/peternak, dan c) skala besar jumlah itik yang dipelihara lebih dari 5000
ekor/peternak dan dipelihara secara intensif. Khususnya di Kabupaten HSU, pemeliharaan itik Alabio sudah mengarah kepada spesialisasi usaha, yaitu
penetasan (hatchery), penghasil telur tetas (breeding), telur konsumsi (laying)
menghasilkan telur konsumsi (Setioko & Istiana 1999) dan sebagian kecil peternak mengusahakan telur tetas sebagai sumber bibit (Suryana 2007).
Menurut Nawhan (1991) itik Alabio dahulu dipelihara dengan cara digembalakan di rawa-rawa dan sungai-sungai atau dikenal dengan “sistem
lanting”. Pemeliharaan sistemlanting khususnya terdapat di Kabupaten HST dan
HSU, namun sekarang sudah mulai ditinggalkan dan peternak sudah beralih ke
sistem pemeliharaan intensif (Biyatmoko 2005; Suryana 2007; Alfiyati 2008), walaupun ada beberapa peternak di Kabupaten HSU yang masih melakukan
pemeliharaan sistem lanting (Rohaeni 2005; Hamdan & Zuraida 2007). Pemeliharaan sistem lanting dilakukan pada rumah terapung di atas rawa dengan balok-balok sebagai alat pengapung dan di bagian bawah lantai dibuatkan kandang itik yang hanya dikelilingi pagar bambu dengan kapasitas 150-200 ekor (Setioko 1990), atau 700 ekor/lanting (Rohaeni 2005). Berdasarkan analisis ekonomi, usaha beternak itik Alabio sistem lanting dengan digembalakan di Kabupaten HST, skala pemeliharaan 700 ekor selama 5 bulan
dilaporkan Rohaeni (2005) lebih menguntungkan, karena biaya pakan dapat dikurangi seoptimal mungkin. Itik yang digembalakan mendapatkan variasi pakan
lebih banyak jumlah dan ragamnya, sehingga dapat mengurangi biaya (Hardjosworo et al. 2001), walaupun produksi telurnya relatif sedikit tetapi masih menguntungkan (Edianingsih 1991; Purba & Manurung 1999).
Itik Alabio sekarang sudah menjadi salah satu komoditas utama (Hamdan
& Zuraida 2007; Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2008), pemeliharaannyapun telah beralih dari cara lanting ke sistem semi intensif dan intensif (Setioko 2001; Ketaren 1998; Dinas Peternakan Kabupaten HSU 2000;
Biyatmoko 2005a; Suryana 2007). Rohaeni (2005) menyatakan bahwa
pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan saat ini beragam, bergantung kepada kebiasaan peternak dan kondisi alam. Sebelum terjadi krisis moneter tahun 1997, di daerah sentra produksi seperti Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan itik
dilakukan secara semi intensif dan intensif dengan skala pemeliharaan berkisar antara 500-15000 ekor/peternak (Setioko & Istiana 1999; Biyatmoko 2005a).
Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang memelihara itik Alabio secara semi intensif dengan skala usaha antara
25-200 ekor/kepala keluarga, pakan diberikan berupa campuran cangkang udang, ikan rucah, rajungan untuk menambah kualitas warna kuning telur (Setioko &
dilakukan dengan skala kepemilikan berkisar antara 200-7000 ekor/kepala keluarga, pemberian pakan 2-3 kali sehari (Alfiati 2008), bahan penyusun pakan
terdiri atas pakan komersial, dedak, gabah, sagu, ikan rucah, siput dan hijauan rawa atau ganggang (Setioko & Rohaeni 2001; Biyatmoko 2005a), serta
serangga kecil lainnya (Suwindra 1998).
Sistem pemeliharaan itik Alabio yang berbeda-beda di setiap daerah,
diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya keragaman yang bervariasi. Keragaman yang tinggi, baik secara fenotipe maupun genotipe disebabkan
belum dilakukan peningkatan kualitas genetik. Peningkatan kualitas genetik pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua cara yaitu seleksi dan persilangan yang
terstruktur baik digunakan secara terpisah maupun kombinasi.
Produksi Telur Itik Alabio
Itik Alabio mempunyai kemampuan berproduksi telur tinggi, walaupun
tingkatannya bervariasi (Hardjosworo et al. 2001). Sifat-sifat yang mempengaruhi produksi telur yaitu faktor genetis dan lingkungan (Harahap 2005). Faktor-faktor
genetis antara lain umur pertama bertelur, intensitas bertelur dan persistensi bertelur (Solihat et al. 2003), sedangkan lingkungan antara lain manajemen pemeliharaan (pakan, perkandangan, iklim dan kesehatan) (Noor 2008).
Produksi telur itik Alabio yang digembalakan umumnya masih rendah
hanya 130 butir/ekor/tahun (Rohaeni & Tarmudji 1994), atau 26.9-41.3% (Setioko 1990). Rendahnya produksi telur, menurut Setioko et al. (1992;1994) salah satunya disebabkan oleh pakan yang kurang memadai. Sebaliknya jika pakan
tambahan diberikan secara teratur, akan meningkatkan produksi telur itik
gembala dari 38.3% meningkat menjadi 48.9% (Setioko el al. 2004). Hardjosworo
et al. (2001) dan Ketaren (2002), menyatakan bahwa produksi telur itik yang
dipelihara secara tradisional lebih rendah dibanding pemeliharaan semi intensif
maupun intensif. Produksi telur itik Alabio yang dipelihara secara intensif, dilaporkan beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi dibanding yang
digembalakan (Edianingsih 1991; Prasetyo & Susanti 1999/2000; Rohaeni 2005; Hamdan & Zuraida 2007; Suryana 2007; Hamdan et al. 2010). Ketaren et al.
(1999) melaporkan bahwa produksi telur itik Alabio selama setahun sebesar 69.4%, lebih rendah dibanding yang dilaporkan Setioko & Rohaeni (2001), yakni
Alabio selama lima bulan pengamatan sebesar 75.19%, lebih tinggi dari yang dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000), bahwa produksi telur itik Alabio
dengan kandang lantai sebesar 28.75% dan 59.20% untuk kandang individu. Itik Alabio yang dipelihara intensif sampai umur 72 minggu mampu bertelur
sebanyak 220 butir (Purba et al. 2005), lebih banyak dari yang dilaporkan Gunawan et al. (1994) sebanyak 214.7±43.31 butir, tetapi relatif sama dengan yang dilaporkan Setioko (1997) yakni 214.75 butir/ekor/tahun. Berbeda dengan pernyataan Purba & Manurung (1999), bahwa produksi telur itik Alabio yang
dipelihara intensif selama duabelas bulan (8 bulan produksi) sebanyak 120.81 butir.
Kemampuan itik Alabio dalam memproduksi telur sangat beragam, hal ini diduga karena perbedaan manajemen pemeliharaan, baik pemberian pakan serta manajemen lainnya pada masing-masing lokasi. Perbedaan produksi telur
tersebut, salah satunya disebabkan umur pertama bertelur dan perlakuan peternak mengangkat itik Alabio ke dalam kandang menjelang bertelur tiap-tiap
daerah pengembangan bervariasi.
Karakteristik Penetasan
Penetasan telur adalah usaha untuk menghasilkan anak dari jenis unggas
dengan berbagai cara pengeraman (Tanari 2007). Pengeraman telur yang biasa dilakukan secara alamiah dan buatan (Setioko 1998). Penetasan telur itik secara alamiah umumnya menggunakan induk unggas lain yang memiliki sifat
mengeram seperti entog dan ayam kampung, sedangkan penetasan buatan dilakukan dengan mesin penetasan dengan sumber panas listrik (Wasito &
Rohaeni 1994; Baruah et al. 2001), gabah/sekam (Setioko 1998), lampu minyak atau kombinasi keduanya (Suryana & Tiro 2007). Prinsip penetasan telur
dengan mesin tetas sama halnya dengan menggunakan induk yang sesungguhnya (Wibowo et al. 2005). Lama penetasan telur itik memerlukan waktu selama 28-30 hari (Kortlang 1985; Setioko 1998). sementara ayam sekitar 21 hari (Wibowo et al. 2005).
Keberhasilan penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana 1994;
sering dihadapi dalam penetasan telur itik, antara lain kematian embrio telur selama proses penetasan umumnya tinggi (Baruah et al. 2001; Setioko 2005). Tanari (2007) menyatakan ada dua faktor yang berpengaruh terhadap proses embriogenesis selama penetasan, yaitu faktor biologis dan lingkungan. Menurut
Kortlang (1985) faktor biologis dapat mengakibatkan kematian embrio atau embrio cacat, disebabkan oleh spermatozoa tertinggal dalam oviduct dalam
waktu lama dan kapasitas sperma yang rendah fertilitasnya. Lebih lanjut dikemukakan faktor lingkungan antara lain temperatur, kelembaban dan
konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur. Kelembaban berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama proses inkubasi (Setioko 1998).
Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur busuk (Baruah et al. 2001).
Penetasan telur itik Alabio yang sekarang banyak dilakukan peternak di Kabupaten HSU, HSS dan HST, sebagian besar masih tradisional dengan
menggunakan sekam/gabah sebagai sumber panasnya (Nawhan 1991; Setioko 1998; Suryana & Tiro 2007), sumber pemanas listrik (Wasito & Rohaeni 1994),
atau kombinasi di antara keduanya (Suryana & Tiro 2007). Kapasitas alat penetasan telur bervariasi antara 1000-2500 butir/periode penetasan. Menurut
Wasito & Rohaeni (1994) cara penetasan sistem sekam/gabah pertama kali di Kalimantan Selatan terdapat di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang
dipelopori oleh Abdurrahman Alwi, dengan mengadopsi cara penetasan telur itik sistem gabah dari Bali (Kecamatan Kediri, Mengwi dan Giayar) pada tahun 1975. Mendatangkan tenaga ahlinya langsung dari Bali, kemudian disebar luaskan
kepada masyarakat di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, HSU.
Cara penetasan menggunakan sistem sekam/gabah diakui peternak/penetas memiliki keunggulan dibanding dengan alat penetas boks, di samping daya tetas yang dihasilkan lebih tinggi juga kapasitas alat penetas lebih
besar, sehingga dalam periode penetasan tertentu dapat menghasilkan DOD dalam jumlah banyak.
Sifat Kualitatif dan Kuantitatif
Sifat Kualitatif
Sifat-sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur, tetapi dapat dibedakan dengan jelas seperti warna bulu, ada tidaknya tanduk, cacat/kelainan, atau
adanya protein-protein tertentu dalam darah (Martojo 1992), fluoresens bulu, warna paruh dan shank (Sarengat 1990; Suparyanto 2003; 2005). Sifat kualitatif ekspresinya dikontrol sepenuhnya oleh sepasang gen atau lebih (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Noor 2008), sedikit dipengaruhi lingkungan (Hardjosubroto 2001).
Sifat kualitatif pada pola warna bulu memiliki pengaruh terhadap
performans ternak unggas termasuk itik (Suparyanto 2003). Bulu merupakan ciri khusus yang dimiliki bangsa unggas dan berguna menjaga suhu tubuh atau
sebagai insulator (Nasroedin 1995), sehingga dapat terlindung dari cuaca lingkungan yang buruk. Bulu unggas dikategorikan menjadi bulu kontur, plumulae
dan filoplumulae. Bulu kontur adalah bulu penutup tubuh keseluruhan, plumulae
bulu di bawah bulu kontur yang memiliki tangkai (rachis) dan bendera lunak. Hardjosubroto (2001) mengemukakan pada ternak dikenal beranekaragam corak
dan warna bulu. Pola dan warna bulu sangat berperan dalam penentuan kemurnian suatu bangsa atau breed. Adanya berbagai variasi warna dan corak bulu disebabkan oleh peran aktif berbagai gen. Gen-gen yang mempengaruhi pewarnaan bulu dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu gen penentu warna
belang, kombinasi warna, intensitas warna dan pemudaran warna (Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Warna bulu pada unggas sebenarnya bukanlah sifat produksi
yang memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi dapat menjadi sangat penting dalam pemuliaan (breeding) untuk tujuan tertentu (Lancester 1990; Appleby 2004; Hoffmann 2005). Perbedaan sifat kualitatif hampir seluruhnya ditentukan oleh
perbedaan genetik (Hardjosubroto 2001), sedangkan perbedaan lingkungan
pengaruhnya relatif kecil bahkan tidak ada, sehingga variasi sifat kualitatif juga merupakan variasi genetik (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Newman 1999). Menurut Lancester (1990) variasi warna bulu itik dikontrol oleh gen putih resesif
(c) yaitu bentuk resesif dari gen warna. Variasi warna bulu pada unggas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu warna yang dihasilkan oleh adanya pigmen dengan
ukuran granul dan warna struktural menunjukkan bulu mematah, menyerap, membelok atau memantulkan cahaya optimal. Pewarisan warna bulu merupakan
multigenik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan, epistasis dan interaksi gen (Smyth 1993).
Warna dasar yang penting dari itik liar (mallard) hanya dua, yaitu warna abu-abu atau grey (G) umumnya merupakan varitas dari warna buff (kekuning-kuningan) dan carrier normal (D) hasil dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait kelamin (sex linkage) (Lancester 1990), yang akan menghasilkan warna coklat lurik-lurik lebih terang sebagaimana dilihat pada pola warna bulu itik Khaki Campbell (Suparyanto 2005). Lancester (1990) mengemukakan bahwa pola
mallard pada itik jantan dicirikan dengan kepala dan leher berwarna belang hitam
kehijau-hijauan, yang dipisahkan warna merah sampai pada leher dan dibatasi
dengan cincin putih. Punggung dan pinggang berwarna hitam kehijau-hijauan, kaki atas bagian sisi dan perut berwarna abu-abu kebiru-biruan.
Satu gen pada lokus D sebagai pengontrol pelunturan pigmen yang
menyebabkan menurunnya penyerapan cahaya dan pelunturan warna (Noor 2008). Fungsi gen putih (c) untuk meniadakan produksi pigmen (Suparyanto 2003), kecuali pigmen untuk mata, warna hitam (E) dengan pemunculan warna hitam pada bulu penutup tubuh, dilusi khaki (d) yang bertindak merubah warna hitam menjadi coklat, pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan pigmen pada leher, sayap dan perut, biru keabuan (Bl) mengurangi produksi pigmen hitam, warna terang (Li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala (Smyth 1993). Pola retriksi (MR) akan mengurangi pigmen spot pada sayap
dorsal, sedangkan dusky (md) berperan untuk meniadakan pigmen hitam dan
membuat gelang putih pada leher (Campo 1997), seperti pada itik Alabio jantan dewasa yang memiliki kalung putih pada bagian lehernya, disebabkan adanya
peran gen dusky (md). Pola bulu sayap terdapat warna hitam dan putih yang memantulkan cahaya hijau kebiru-biruan mengkilap. Permukaan sayap ventral
berwarna putih, sedangkan permukaan dorsal berwarna abu kecoklat-coklatan. Warna bagian kepala pada itik betina coklat kekuning-kuningan, kadang-kadang
ditemukan warna gelap pada beberapa daerah tertentu. Warna gelap terdapat pada bagian belakang paruh sampai mata, belakang leher, punggung, bagian
sayap ventral berwarna putih, sedangkan bulu primer kebanyakan coklat dengan totot-totol hitam atau coklat belang. Secara teori dapat dijelaskan bahwa gen
putih resesif (c/c) sangat efektif dalam menutup atau menghalangi hadirnya
pheomelanin (Campo 1997). Pheomelanin adalah pigmen dasar suatu mahluk
dan aktivitas pheomelanin akan muncul bila unggas telah mengalami pergantian bulu menjelang dewasa. Daftar gen yang mempunyai pengaruh terhadap warna
[image:42.595.102.516.180.450.2]kulit dan bulu unggas, ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas
Warna Dominan Resesif Keterangan
Bulu lurik (barred) B*) - Terpaut kelamin Bulu perak (silver) S*) - Terpaut kelamin
Bulu hitam C -
Bulu putih (inhibitor) I -
Kulit dan kaki putih W -
Kulit dan kaki terang H -
Bulu normal Sk*) - Terpaut kelamin
Pertumbuhan bulu lambat Fr -
Bulu terbalik K*) - Terpaut kelamin
Bulu leher tidak tumbuh Na -
Bulu tidak lurik - b*) Terpaut kelamin
Bulu emas (gold) - S*) Terpaut kelamin
Bulu putih - c
Bulu berwarna - I
Kulit dan kaki kuning - w
Kulit dan kaki gelap - h
Bulu sutera - sk*) Terpaut kelamin
Pertumbuhan bulu cepat - k*) Terpaut kelamin
Bulu normal - fr
Bulu leher normal - na
Sumber: Hardjosubroto (2001)
Menurut Sarengat (1990), pola warna bulu yang terdapat pada itik lokal Indonesia dibedakan menjadi sembilan macam adalah: 1) warna branjangan, yaitu warna coklat muda yang dihiasi lurik-lurik hitam, 2) warna jarakan adalah warna coklat tua yang dihiasi lurik-lurik hitam (jika terdapat kalung di lehernya
disebut jarakan belang), 3) warna bosokan yaitu ketika masih muda berwarna hitam, tetapi setelah dewasa berubah menjadi coklat tua, 4) warna gambiran
Smyth (1993), membagi kelompok tipe-tipe bulu berdasarkan penampilan corak bulu pada unggas, yaitu: stripping, pencilled, buttercup, single laced,
double laced, spangling, motling dan tricolor pattern. Ekspresi dari sifat ini
ditentukan oleh banyak pasangan gen (polygen), baik dalam keadaan homozigot maupun heterozigot (Noor 2008), dipengaruhi oleh lingkungan (Martojo 1992; Warwick et al. 1995).Lingkungan dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe seekor ternak melalui pakan, penyakit dan pengelolaan, tetapi tidak dapat mempengaruhi genotipe hewan (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001).
Penampilan warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu serta warna paruh, kaki dan shank yang seragam pada itik Alabio merupakan salah satu ciri khas. Warna bulu walaupun tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi sangat penting dalam upaya pemuliaan untuk tujuan komersial. Pengaruh pasangan gen dan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan pada penampilan
fenotipik itik Alabio.
Warna kulit unggas menjadi perhatian para breeder, karena mempunyai kepentingan ekonomis, yang berhubungan langsung dengan selera konsumen. Menurut Smyth (1993), selera konsumen di suatu wilayah atau negara
berbeda-beda. Sebagai contoh konsumen di Inggris lebih menyukai unggas yang memiliki warna kulit putih, sementara di Amerika konsumen lebih memilih kulit unggas yang berwarna kuning. Pada sisi lain, segmen pasar bagi kalangan konsumen
menengah ke atas di Indonesia, penampakan dan kekompakan produk yang ditawarkan sangat berpengaruh terhadap preferensi konsumen. Karkas yang
memiliki warna putih atau terang tingkat penerimaan dan nilai jual akan lebih baik, dibanding dengan karkas yang penampakkannya berwarna coklat atau
gelap (Suparyanto 2003). Perbedaan warna kulit dapat diamati berdasarkan warna paruh dan shank. Warna paruh dan shank saling berhubungan satu sama lainnya. Variasi warna kulit termasuk paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor, yaitu struktur kulit, pigmen yang terkandung dalam kulit dan genetik.
Faktor genetik menurut Smyth (1993) antara lain adalah gen warna kulit putih (W+) bersifat dominan terhadap warna kuning (w) dan terletak pada otosomal. Penampilan gen W+ dan w dapat optimal jika didukung melanin dan xanthopyll
dalam jumlah mencukupi. Pigmen melanin dan dermis disebabkan oleh gen id+ yang diwariskan secara sex linkage (Noor 2008).
Menurut Suparyanto (2003) munculnya warna putih pada kulit, paruh, kaki
melanin pada berbagai jaringan. Pada bangsa itik Peking dan itik White Campbell keberadaan xanthopyll dalam pakan yang diberikan berpengaruh terhadap warna kuning pada kaki dan paruh (Smyth 1993). Deposisi xanthopyll dalam pakan seperti jagung kuning, alfalfa maupun tepung daun yang dikonsumsi unggas
berdampak terhadap warna kulit, kaki, shank dan lemak abdominal (Lancester 1990). Warna kulit putih adalah tipe liar sebagai alel W+ otosomal. Gen W+ dapat menghalangi masuknya xanthopyll ke dalam jaringan kulit, paruh, kaki dan
shank, sehingga warna kuning tidak muncul (Hardjosubroto 2001). Warna kulit
putih yang terkait dengan sex linkage, disebabkan oleh adanya mutasi gen y
resesif yang berfungsi mengeliminir pigmen xanthopyll pada kaki dan kulit (Suparyanto 2003). Variasi warna paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu struktur paruh dan shank, pigmen yang terkandung dalam paruh
dan shank serta faktor genetik (Hardjosubroto 2001). Pigmen utama pada paruh
dan shank adalah melanin dan xanthopyll (Noor 2008). Melanin merupakan
protein kompleks yang bertanggung jawab untuk memunculkan warna biru dan
hitam (Smyth 1993). Warna kuning pada paruh dan shank tidak diproduksi oleh tubuh unggas sendiri seperti halnya melanin, melainkan diproduksi oleh
xanthopyll atau karetenoid yang bersumber dari tumbuhan (jagung kuning,
tepung alfalfa dan ganggang) (NRC 1994). Unggas mendapatkan sumber
xanthopyll dari pakan yang dikonsumsinya (Suparyanto 2005).
Warna paruh, kaki dan shank itik Alabio yang dominan adalah kuning gading tua dan kuning gading muda, terutama yang dipelihara secara intensif. Warna tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki itik Alabio sebagai itik petelur dan membedakan dengan galur itik lokal lainnya di Indonesia. Warna kuning
Tabel 3 Penampakan warna paruh dan shank
Karoten (xanthopyll)
Derma melanin
Epidermal melanin
Genotipe Fenotipe
W+ Id E W+ W+ id id E E Putih berulas hitam W+ Id e+ W+ W+ id id e+ e+ Putih