HUBUNGAN SOCIAL IDENTITY DENGAN PERCEIVED
ENTITATIVITY PADA MAHASISWA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKU TAWURAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
VIVIN CHRISTINE HUTAGALUNG
071301067
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Hubungan Social Identity Dengan Perceived Entitativity Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Pelaku Tawuran
Vivin Christine Hutagalung dan Prof. Dr. Irmawati, psikolog
ABSTRAK
Beberapa tahun belakangan ini cukup banyak aksi tawuran yang terjadi di berbagai kalangan masyarakat, termasuk dalam kalangan yang dikenal sebagai kaum intelektual yaitu mahasiswa. Tawuran merupakan salah satu perilaku kolektif yang ditunjukkan oleh beberapa orang dalam sebuah kelompok. Harga diri, kesetiakawanan dalam kelompok, kurangnya interaksi dengan kelompok lain adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana orang-orang dalam kelompok memandang kelompoknya dan kelompok lain.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara social identity dengan perceived entitativity pada mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pelaku tawuran. Penelitian ini melibatkan 112 mahasiswa pelaku Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pelaku tawuran pada bulan Oktober 2011. Metode pengambilan data yang digunakan adalah random sampling tak terbatas (unrestricted random sampling). Data didapatkan dengan menggunakan skala social identity (rxy=0.936) dan skala perceived entitativity (rxy=0.904) dan diolah dengan menggunakan Pearson Product Moment. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy=0.785 yang hubungan antara social identity dengan perceived
entitativity kuat (>0,60 – 0,799) yang menunjukkan semakin kuat social identity
(identitas sosial) maka semakin tinggi/positif penerimaan seseorang terhadap kelompoknya.
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan syukur hanya saya berikan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang hanya karena berkat, kasih, dan penyertaan-Nya sajalah saya dapat
menyelesaikan dan penelitian ini yang berjudul ‘Hubungan antara Social Identity
dengan Perceived Entitativity pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara Pelaku Tawuran’.
Saya juga menyadari bahwa penelitian ini tidak akan terwujud tanpa
bantuan dari banyak pihak. Karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan
memberikan petunjuk dan saran untuk dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
2. Ibu Meutia Nauli, M.Si, psikolog; Ibu Rika Eliana, M.Psi, psikolog; Ibu
Ridhoi M. Purba, M.Si; Bapak Omar K. Burhan, yang telah bersedia
memberikan waktu, tenaga dan pemikiran serta memberikan semangat
untuk penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Liza Marini, M.Si, psikolog, selaku dosen PA (Pembimbing
Akademik) yang selalu memberikan motivasi kepada saya dalam
4. Kepada keluarga saya, Bapak (J.M Hutagalung) dan Mama (A. br.
Nainggolan) yang telah membesarkan dan mendidik saya. Dan juga untuk
abang-abang saya, terima kasih atas doa, ketulusan, kasih sayang, dan
kesabaran yang telah diberikan selama ini.
5. Seluruh teman, kakak, abang, dan semua pihak yang telah mendukung dan
membantu saya sejak awal penelitian hingga akhirnya, saya ucapkan
terima kasih banyak.
6. Teman-teman mahasiswa Fakultas Teknik USU yang telah bersedia
bekerjasama dan membantu penelitian ini meluangkan waktu dan
tenaganya, terima kasih buat teman-teman semua.
7. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitan ini
nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu Psikologi
Medan, Januari 2012
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Social Identity ... 10
1. Definisi ... 10
2. Dimensi dalam Mengkonseptualisasikan Social Identity ... 12
3. Motivasi Melakukan Social Identity ... 14
B. Perceived Entitativity ... 18
1. Definisi ... 18
2. Kelompok dan hal yang Mendasari Entitativity dalam Kelompok ... 19
C. Mahasiswa ... 21
1. Definisi ... 21
2. Pelaku tawuran ... 22
D. Hubungan antara Social Identity dengan Perceived Entitativity ... 23
E. Hipotesa Penelitian ... 25
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 26
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 26
1. Perceived Entitativity ... 26
2. Social Identity... 27
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 27
1. Populasi dan Sampel ... 27
2. Metode Pengambilan Sampel ... 28
D. Metode Pengumpulan Data ... 28
1. Skala Social Identity ... 29
2. Skala Perceived Entitativity ... 29
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 30
1. Validitas Alat Ukur ... 30
F. Prosedur Penelitian ... 33
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 33
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 34
3. Tahap Pencatatan Data ... 34
G. Metode Analisis Data ... 34
1. Uji Normalitas ... 35
2. Uji Linieritas ... 36
BAB IV ANALISA DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian 1. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 37
2. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Usia ... 38
3. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jurusan ... 38
4. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Tingkatan ... 39
B. Hasil Penelitian ... 40
C. Deskripsi Data Penelitian ... 41
1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Perceived Entitativity ... 41
2. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Social Identity... 42
D. Pembahasan ... 42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 45
1. Saran Metodologis ... 46
2. Saran Penelitian Lanjutan ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas ... 35
Tabel 2. Hasil Pengujian Linearitas ... 36
Tabel 3. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 37
Tabel 4. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Usia ... 38
Tabel 5. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jurusan... 39
Tabel 6. Gambaran Umum Subjek Penelitian berdasarkan Tingkatan ... 39
Tabel 7. Korelasi Pearson Product Moment ... 40
Tabel 8. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Perceived Entitativity………..41
Hubungan Social Identity Dengan Perceived Entitativity Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Pelaku Tawuran
Vivin Christine Hutagalung dan Prof. Dr. Irmawati, psikolog
ABSTRAK
Beberapa tahun belakangan ini cukup banyak aksi tawuran yang terjadi di berbagai kalangan masyarakat, termasuk dalam kalangan yang dikenal sebagai kaum intelektual yaitu mahasiswa. Tawuran merupakan salah satu perilaku kolektif yang ditunjukkan oleh beberapa orang dalam sebuah kelompok. Harga diri, kesetiakawanan dalam kelompok, kurangnya interaksi dengan kelompok lain adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana orang-orang dalam kelompok memandang kelompoknya dan kelompok lain.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara social identity dengan perceived entitativity pada mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pelaku tawuran. Penelitian ini melibatkan 112 mahasiswa pelaku Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pelaku tawuran pada bulan Oktober 2011. Metode pengambilan data yang digunakan adalah random sampling tak terbatas (unrestricted random sampling). Data didapatkan dengan menggunakan skala social identity (rxy=0.936) dan skala perceived entitativity (rxy=0.904) dan diolah dengan menggunakan Pearson Product Moment. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy=0.785 yang hubungan antara social identity dengan perceived
entitativity kuat (>0,60 – 0,799) yang menunjukkan semakin kuat social identity
(identitas sosial) maka semakin tinggi/positif penerimaan seseorang terhadap kelompoknya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia,
sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah
tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa; bukan
hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi
tawuran antar polisi dan tentara, antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki
lima, bahkan tawuran juga terjadi diantara mahasiswa dengan mahasiswa.
Tawuran antar kelompok semakin semarak semenjak terciptanya geng-geng.
Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa
mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika
masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya
Rasa dendam dan kesetiakawanan dapat menjadi pemicu terjadinya
tawuran. Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi, maka sekelompok orang
membalas perlakuan yang disebabkan kelompok lain yang dianggap merugikan
individu dalam kelompok atau mencemarkan nama baik kelompok tersebut
Salah satu aksi tawuran antar kelompok adalah tawuran antar kelompok
mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian yang terjadi pada bulan
“… Peristiwa tawuran terjadi antara mahasiswa Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sumatera Utara (USU) di dalam lingkungan kampus, Senin (31/10) siang…”
Lebih lanjut menurut salah seorang mahasiswa Departemen Teknik Mesin
(dalam Tabloid Suara USU, Desember 2011), ratusan polisi mengamankan lokasi
dengan menahan sekitar 119 mahasiswa Fakultas Teknik di Polresta Medan.
Sementara itu, dari sekitar 119 mahasiswa Fakultas Teknik, polisi menetapkan
lima mahasiswa ditahan selama satu bulan. Sedangkan mahasiswa Fakultas
Pertanian memilih kembali ke fakultas. Sekitar 150 mahasiswa Fakultas Pertanian
berjaga hingga pukul 4 dini hari.
Tian (nama samaran), salah seorang pelaku tawuran tersebut, menyatakan
bahwa permasalahan yang terjadi antara mahasiswa Fakultas Pertanian dengan
Fakultas Teknik, bukan merupakan hal yang baru terjadi. Beberapa tahun
sebelumnya juga pernah terjadi perkelahian antar kedua fakultas ini. Namun,
permasalahan tersebut tidak pernah lagi muncul sampai dengan kejadian pada
tanggal 30 Oktober 2011 yang lalu. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 30
Oktober 2011 yang lalu juga diawali dengan beberapa kejadian yang akhirnya
memicu perkelahian yang lebih besar.
Berdasarkan kutipan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa permasalahan
yang sederhana ternyata dapat memunculkan perkelahian. Meskipun
permasalahan tersebut hanya dialami oleh mahasiswa Departemen Teknik Mesin,
namun mahasiswa Fakultas Teknik lainnya (selain Departemen Teknik Mesin)
juga turut membela kepentingan Departemen lainnya.
Suwarno (2008), menyatakan bahwa kebanggaan yang begitu besar
terhadap kelompok dan anggota didalamnya menyebabkan fanatisme terhadap
kelompoknya dan secara tidak langsung membuat mereka memiliki nilai yang
negatif terhadap kelompok lain. Dengan kata lain, pandangan anggota kelompok
terhadap kelompoknya akan sangat berpengaruh terhadap perilaku setiap anggota
terhadap kelompoknya tersebut (social identity).
Menurut Burke (2000), social identity adalah bagaimana seseorang
menyadari keberadaannya dalam sebuah kelompok dan menyatakan identitasnya
sesuai dengan kelompoknya. Hal ini menjadi dasar bagi setiap individu untuk
dapat menerima dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Sedangkan menurut Social Identity Theory (Hoggs & Abrams, 1988;
Tajfel, 1978) secara alamiah setiap individu melakukan pengelompokan terhadap
atribut-atribut sosial yang dikenalnya. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan
kompleksitas berbagai stimulus sosial dan informasi yang diperolehnya dari
lingkungan. Dengan demikian, individu melakukan pemrosesan informasi
didasarkan atas kategorisasi hasil pengelompokan yang dilakukan tersebut, yang
dikenal sebagai category based information processing (Oetzel, 2002).
dilihat berdasarkan karakteristik-karakteristik individual yang dimilikinya,
melainkan berdasar atribut kelompok tempat ia menjadi anggotanya (Dahesihsari,
2008).
Individu juga mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok sosial
sebagai usahanya untuk mencari identitas sosial yang positif (Ellemers & Van
Knippenberg, 2002). Hal itu dilakukan dengan cara melakukan perbandingan
antara kelompoknya dengan kelompok lain. Terjadi penilaian-penilaian yang
terpolarisasi menjadi baik dan buruk, atribut yang positif diberikan kepada
kelompoknya sendiri, sedangkan atribut yang kurang positif diberikan kepada
kelompoknya lain (Abrams, 2003). Perbandingan tersebut, secara alamiah akan
menimbulkan distorsi informasi, karena terdapat kecenderungan individu untuk
membuat batasan-batasan dalam menginterpretasikan informasi yang diterimanya.
Dalam situasi ini, streotipe dan bias dalam penilaian kelompok sangat mungkin
untuk terjadinya kondisi yang potensial menimbulkan kesalahpahaman dan
konflik. Dalam kondisi tersebut, rasa saling percaya antar kelompok dan
kesediaan untuk berbagi informasi antar mereka akan cenderung berkurang
(Dahesihsari, 2008).
Susuk. Soalnya kemaren ada kabar jalan dari Kampung Susuk ke kampus, ditutup, jadi harus mutar kalo mau ke kampus. Malamnya kami tiba-tiba diserang duluan sama Pertanian. Itulah lab-lab kami ada yang rusak. Kami pun serang baleklah. Sampe polisi datang, barulah mulai berlarian semua. Tapi banyak juga yang kena tangkap kemaren itu...”
(Komunikasi Personal, 20 Desember 2011)
Pandangan setiap anggota terhadap kelompoknya juga dapat dipengaruhi
oleh dampak ataupun peranan yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Halim,
2004). Salah satu hal yang dapat membuat seseorang membandingkan antar
kelompok yang satu dengan yang lain adalah dilihat dari kesatuan individu yang
ada didalamnya. Secara personal setiap orang pastinya memiliki keragaman
kepribadian yang bervariasi, namun sekelompok orang tersebut dapat dipandang
sebagai satu kesatuan. Sejauh mana sekelompok orang bersatu dan saling
berpengaruh satu dengan yang lain, dikenal
Hogg (2004) menjelaskan bahwa group entitativity merupakan sifat atau
kekhasan yang terdapat dalam sebuah kelompok, tidak ada batasan antar anggota
kelompok, homogenitas internal, interaksi sosial, tidak ada tingkatan sosial,
memiliki tujuan bersama. Group entitativity juga menyatakan bahwa setiap
anggota dalam kelompok memiliki kesamaan pengalaman yang menuntun
anggota-anggota didalamnya memikirkan dan melakukan perlakuan yang
seragam, yang sesuai dengan kekhasan yang dimiliki oleh kelompok tersebut
(Campbell, 1958; Hamilton & Sherman, 1996). Sedangkan bagaimana pandangan
atau penerimaan oleh setiap anggota yang terdapat dalam kelompok tersebut sebagai entitativity kelompok atau
terhadap kesatuan kelompok dikenal dengan istilah perceived entitativity
(Rodgers, 2004).
Seperti kutipan diskusi (Focus Group Discussion) yang diadakan pada
tanggal 4 Desember 2011 yang lalu dengan mahasiswa Fakultas Teknik pelaku
tawuran, ketika ditanya mengapa tawuran tersebut bisa terjadi.
“Menurutku, itu terjadi karna adanya disorientasi fungsi mahasiswa. Ini dikarenakan adanya kelompok-kelompok tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok-kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, ada ego yang bermain. Akhirnya ketika kepentingannya diusik/diganggu, maka orang/kelompok tersebut akan merasa tersinggung dan muncullah perilaku massa yang disebut tawuran… Selain itu karena merasa harga dirinya dilecehkan. Walaupun masalahnya itu sepele, misalnya ‘panggilan’ atau ‘julukan’ yang diberikan oleh kelompok lain kepada anggota kelompoknya, dapat memicu perselisihan. Meskipun cuma satu anggota yang diejek, tapi semua anggota kelompok merasa tersinggung. Terjadilah tawuran…. Trus, karna kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Misalnya PEMA, atau organisasi mahasiswa lainnya yang bisa membuat mahasiswa melakukan sesuatu yang berguna baginya dan bagi orang-orang disekitarnya. Kalau mahasiswa yang mengikuti sebuah organisasi akan memiliki kegiatan, sedangkan mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan organisasi akan cenderung untuk ikut-ikutan dalam aksi-aksi seperti tawuran ini. Karena ga ada kerjaannya yang lain.
(Focus Group Discussion, 4 Desember 2011)
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa entitativity dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kelompoknya, yaitu pertama,
entitativity dapat mempengaruhi prosesrepresentasi kognitif atau kesan seseorang
terhadap kelompok. Hamiltondan Sherman (1996) menjelaskan bahwa perbedaan
yang terjadi antara harapan individu (anggota kelompok) dan harapan kelompok,
menimbulkan penilaian yang berbeda dari sebelumnya dan munculnya penilaian
yang baru terhadap kelompoknya. Ketika individu memandang bahwa
kelompoknya memiliki kesatuan yang baik (entitativity yang tinggi), maka
perilaku yang akan ditunjukkan oleh individu tersebut juga akan cenderung sama
dengan apa yang diharapkan oleh kelompoknya (Batang, Mart, Millar, & Cole,
1984). Kedua, entitativity dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
kelompoknya ketika kelompok tersebut memiliki dampak atau pengaruh yang
relatif besar bagi sekitarnya (Hamiltondan Sherman, 1996).
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat hubungan
antara social identity dengan perceive entitativity pada mahasiswa Fakultas
Teknik pelaku tawuran.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan social identity
dengan perceived entitativity pada mahasiswa Fakultas Teknik pelaku tawuran?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diatas, maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan social identity dengan perceived entitativity pada
D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat
manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Mengembangkan kajian ilmu di bidang psikologi, khususnya psikologi
sosial yang menyangkut permasalahan mengenai social identity dan
perceived entitativity, khususnya pada mahasiswa pelaku tawuran
b. Memperkaya literatur dan menambah daftar temuan penelitian yang
berkaitan dengan social identity dan perceived entitativity, khususnya pada
mahasiswa pelaku tawuran. Selain itu, untuk berbagi dasar pengetahuan
bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan
mengenai social identity dan perceived entitativity
2. Manfaat Praktis
a. Dapat bermanfaat bagi orangtua, pendidik, dan terutama mahasiswa
sendiri, sehingga dapat lebih memahami hubungan ataupun dinamika yang
terjadi di dalam kelompoknya
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pihak-pihak yang ingin melakukan
intervensi ataupun tindakan preventif untuk mencegah kemungkinan
terjadinya tawuran, khususnya pada mahasiswa Fakultas Teknik USU
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam penelitian ini antara
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian singkat mengenai latar belakang dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti
yaitu teori social identity, teori perceived entitativity, teori mengenai
tawuran, teori mengenai hubungan antara social identity dengan
perceived entitativity, serta hipotesa penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel
penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan
metode pengambilan sampel, alat ukur penelitian, validitas dan
reliabilitas, uji daya beda aitem, prosedur pelaksanaan penelitian, serta
metode analisis data.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian tentang gambaran subjek penelitian, hasil
penelitian yang meliputi hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, dan
hasil tambahan penelitian, serta pembahasan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Social Identity
1. Definisi
Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada
tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial
dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1982), social identity (identitas
sosial) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan
mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan
signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity
berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan
dalam suatu kelompok tertentu.
Hogg dan Abram (1990) menjelaskan social identity sebagai rasa
keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam
berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa
perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai
minat. Menurut William James (dalam Walgito, 2002), social identity lebih
diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala
sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang
tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya,
rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya,
uangnya dan lain–lain. Sementara Fiske dan Taylor (1991) menekankan nilai
Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang
berkaitan, yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk.,
(2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan
ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial
berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih
yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu
kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan
anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990).
Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek
dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner dan
Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993). Pada umumnya, individu-individu
membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka.
Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah outgroup.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian social identity,
maka dapat disimpulkan bahwa social identity adalah bagian dari konsep diri
seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu
kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi,
tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya
dalam kelompok tersebut.
2. Dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity
Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat
a. Persepsi dalam konteks antar kelompok
Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan
gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi
setiap individu didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu
untuk memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun
kelompok yang lain.
b. Daya tarik in-group
Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana
seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas
umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan
jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering
menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap
baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael
Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada
out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi
kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang
pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain.
Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982)
mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in
group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam
perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group.
Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha
dan identitas sosial (social identity) yang berasal dari kelompok yang kita
miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang
kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan
individu lain.
c. Keyakinan saling terkait
Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang
berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama
secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang
memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu
sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu
kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari
kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka
semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat
harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki
prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi
yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang
mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat
dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat.
d. Depersonalisasi
Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah
kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilai-nilai
yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya
‘dianggap’ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun
kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut.
Keempat dimensi tersebut cenderung muncul ketika individu berada
ditengah-tengah kelompok dan ketika berinteraksi dengan anggota kelompok
lainnya.
3. Motivasi Melakukan Social Identity
Social identity dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan
uncertainty reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik
dibandingkan kelompok lain. Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal
distinctiveness. Ketiga motivasi ini akan dijelaskan sebagai berikut (Burke, 2006):
a. Self-enhancement dan positive distinctiveness
Positive distinctiveness mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih
baik dibandingkan “kelompok mereka”. Kelompok dan anggota yang
berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan positive
distinctiveness tersebut karena hal itu menyangkut dengan martabat, status,
dan kelekatan dengan kelompoknya. Positive distinctiveness seringkali
dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri
yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan
perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri
pun akan mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat disangkal
juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk
dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan
self enhancement (Burke, 2006).
b. Uncertainty Reduction
Motif social identity yang lain adalah uncertainty reduction. Motif ini
secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu
berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan
posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa
mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui
dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan
bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial
dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan group
prototype yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya)
akan/dan seharusnya berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam uncertainty reduction, anggota kelompok terkadang langsung
menyetujui status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok
berarti meningkatkan ketidakpastian self-conceptualnya. Individu yang
memiliki ketidakpastian self-conceptual akan termotivasi untuk
mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah
memiliki kepastian self-conceptual akan dimotivasi oleh self-enhancement
untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya (Burke,
c. Optimal Distinctiveness
Motif ketiga yang terlibat dalam proses social identity adalah optimal
distinctiveness. Menurut Brewer (1991), individu berusaha
menyeimbangkan dua motif yang saling berkonflik (sebagai anggota
kelompok atau sebagai individu) dalam meraih optimal distinctiveness
(dalam Burke, 2006). Individu berusaha untuk menyeimbangkan
kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas dengan kebutuhan
menjadi bagian dalam kelompok yang akan menghasilkan definisi dirinya
sebagai anggota kelompok (Ellemers, 1999).
4. Komponen Identitas Sosial
Tajfel (1978) mengembangkan social identity theory sehingga terdiri dari
tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative
component (group self esteem), dan emotional component (affective component)
yaitu:
a. Cognitive component
Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self
categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok
tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku
sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999).
Komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang
satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku
kelompok (Hogg, 2001).
b. Evaluative component
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap
keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative
component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu
terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).
c. Emotional component
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti
affective commitment. Emotional component ini lebih menekankan pada
seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap
kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung lebih
kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok
lebih berkontribusi terhadap social identity yang positif. Hal ini
menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat
penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap
kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif
(dalam Ellemers, 1999).
B. Perceive Entitativity
1. Definisi
Hogg (2004) menjelaskan bahwa group entitativity merupakan sifat atau
kelompok, homogenitas internal, interaksi sosial, tidak ada tingkatan sosial,
memiliki tujuan bersama. Group entitativity juga menyatakan bahwa setiap
anggota dalam kelompok memiliki kesamaan pengalaman yang menuntun
anggota-anggota didalamnya memikirkan dan melakukan perlakuan yang
seragam, yang sesuai dengan kekhasan yang dimiliki oleh kelompok tersebut
(Campbell, 1958; Hamilton & Sherman, 1996). Sedangkan bagaimana pandangan
atau penerimaan oleh setiap anggota yang terdapat dalam kelompok tersebut
terhadap kesatuan kelompok dikenal dengan istilah perceived entitativity
(Rodgers, 2004).
Dalam cakupan psikologi sosial, tingkat entitativity individu terhadap
kelompok dapat mempengaruhi bagaimana pengetahuan tentang salah satu
anggota kelompok mencirikan seluruh kelompok dan kemudian ‘menular’ kepada
anggota kelompok lainnya (Crawford et al 2002.). Kelompok yang sangat
entitative yang mengalami stereotypic, yaitu pembentukan kesan terhadap
kelompoknya (Crawford et al. 2002). Dalam kasus entitativity tinggi, sifat-sifat
individu diabstraksikan dari kelompok anggota bersamaan dengan pemrosesan
informasi (yaitu, secara on-line) (McConnell, Sherman, dan Hamilton 1997),
sedangkan dalam kondisi entitativity yang rendah, sifat individualis anggota
kelompok cenderung lebih besar daripada perasaan penerimaan terhadap
kelompoknya (Fiske dan Neuberg 1990)
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian perceived
pandangan atau perasaan individu terhadap kesatuan, persamaan, dan
kebersamaan yang terdapat di dalam kelompok sosialnya.
2. Kelompok dan hal-hal yang Mendasari Entitativity dalam Kelompok
Campbell (1958), menjelaskan bahwa untuk melihat entitativity dalam
kelompok ada hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu kesamaan anggota satu
sama lain dalam sebuah kelompok. Sebagai contoh, Brewer dan rekan-rekannya
(Brewer & Harasty, 1996; Brewer, Weber, & Carini, 1995) melihat entitativity
berkaitan dengan tingkat kelompok mana yang mental direpresentasikan sebagai
prototipe. Menurut konseptualisasi mereka, tinggi-kelompok entitativity dilihat
dari bagaimana hubungan yang terjalin antara anggota kelompok didalamnya,
yang kemudian mengarahkan perceivers untuk melihat anggota kelompok sebagai
bagian yang relatif sama atau homogen. Jadi, secara umum dapat disimpulkan
bahwa konseptualisasi Brewer agak berbeda dengan Campbell. Brewer
menggambarkan persepsi kesamaan sebagai konsekuensi dari entitativity,
sedangkan untuk Campbell menjelaskan kesamaan adalah salah satu yg mungkin
untuk melihat kelompok sebagai entitas.
Brewer (Brewer & Harasty, 1996;. Brewer et al, 1995) menyatakan bahwa
ukuran kelompok adalah faktor yang penting untuk mempengaruhi persepsi
entitativity anggota terhadap kelompok. Dia dan rekan-rekannya menunjukkan
bahwa, semua hal lainnya yang sama, kelompok minoritas akan dianggap lebih
tinggi di entitativity daripada kelompok mayoritas. Sejalan dengan ini penalaran,
dalam lebih prototypic cara dari kelompok mayoritas (Mullen, 1991). Namun,
bukti lain menunjukkan bahwa, setidaknya di bawah beberapa kondisi, besar
kelompok dilihat sebagai lebih koheren daripada kelompok-kelompok kecil
(McGarty et al, 1995.). Hasil ini bertentangan menyiratkan bahwa hubungan
ukuran kelompok untuk entitativity mungkin belum dipahami dengan jelas.
Kemungkinan lain adalah bahwa entitativity mencerminkan derajat
kelompok yang dipandang memiliki inti esensial atau sifat dasar. Beberapa
peneliti (Rothbart & Taylor, 1992;. Yzerbyt et al, 1997) telah menyarankan bahwa
perceivers dapat melihat beberapa kelompok memiliki esensi dalam banyak cara
yang sama seperti mereka melihat biologi entitas memiliki esensi (Gelman, 1988;
Keil, 1989). Satu aspek penting dari kelompok memiliki esensi adalah memahami
kelompok sebagai yang tak dapat diubah (Rothbart & Taylor, 1992). Setidaknya
ada dua sifat dari suatu kelompok yang dapat menyebabkan seseorang untuk
melihatnya sebagai yang tak dapat diubah. Yang pertama adalah permeabilitas
batas-batas kelompok (Campbell, 1958). Beberapa kelompok telah permeabel
seperti yang bergabung dan meninggalkan kelompoknya, yang memiliki
batasan-batasan yang relatif mudah (misalnya, sebuah partai politik), sedangkan kelompok
lain telah impermeabel batas dan sulit untuk masuk dan keluar (misalnya,
C. MAHASISWA
1. Definisi
Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya
menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi
terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar
18-30 tahun.
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang
memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga
merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan
masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah
merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan
perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di
harapkan menjadi calon-clon intelektual.
Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang
disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang
diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai cirri-ciri
tertentu, antara lain (Kartono, 1985):
a. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan
b. Yang karena kesempatan diatas, diharapkan nantinya dapat bertindak
sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin
masyarakat maupun dalam dunia kerja
c. Diharapkan dapat menjadi ‘daya penggerak yang dinamis bagi proses
modernisasi’
d. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkaitan dan
professional
2. Pelaku Tawuran
Tawuran merupakan salah satu bentuk tindakan massal yang melanggar aturan, serta
dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri
maupun orang lain. Pada umumnya dilakukan oleh remaja di bawah umur 17
tahun, namun saat ini segala kalangan dan usia dapat melakukan aksi tawuran.
(Mariah, 2007).
Menurut Ridwan (2006), tawuran didefinisikan sebagai perkelahian massal
yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, yang disebabkan
karena adanya perbedaan sudut pandang, dendam, ketidaksetujuan tentang suatu hal, dan
sebagainya. Tawuran terbagi dalam tiga bentuk: (1) tawuran antar kelompok yang telah memiliki
rasa permusuhan secara turun temurun, (2) tawuran satu kelompok melawan kelompok
lainnya yang didalamnya terdapat beberapa jenis kelompok (terdiri dari
kelompok-kelompok yang berbeda), dan (3) tawuran antar kelompok-kelompok yang sifatnya incidental, yang dipicu
Sementara menurut Solikhah (1999), tawuran didefinisikan sebagai perkelahian
massal
1. Faktor keluarga
atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun
masyarakat. Ada dua faktor penyebab terjadinya tawuran antar pelajar yaitu faktor
internal dan factor eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal di sini adalah
faktor yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh individu
dalam menanggapi peristiwa di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Perilaku
merupakan reaksi ketidakmampuan dalam melakukan adaptasi terhadap
lingkungan sekitar. Sedangkan faktor eksternal adalah sebagai berikut:
a. baik buruknya rumah tangga atau berantakan dan tidaknya sebuah
rumah tangga
b. perlindungan lebih yang diberikan orang tua
c. penolakan orang tua, ada pasangan suami istri yang tidak pernah bisa
memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu
d. pengaruh buruk dari orang tua, tingkah laku kriminal dan tindakan
asusila
2. Faktor lingkungan sekitar yang tidak selalu baik dan menguntungkan dapat
berupa bangunan yang tidak nyaman
D. Hubungan Antara Identitas Sosial dengan Perceived Entitativity
Penerimaan oleh setiap anggota yang terdapat dalam sebuah kelompok
terhadap kesatuan kelompoknya atau yang dikenal dengan istilah perceived
kelompok mencirikan seluruh kelompok dan kemudian ‘menular’ kepada anggota
kelompok lainnya (Crawford et al 2002.). Anggota kelompok yang memiliki
tingkat entitativity yang relatif tinggi dapat dengan mudah mengurangi nilai-nilai
yang terdapat dalam dirinya sehingga seusai dengan harapan kelompoknya
(McConnell, Sherman, dan Hamilton 1997).
Social identity theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982)
mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group
favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan
yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori
tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita,
yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial (social identity)
yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga
diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita
membandingkan dengan individu lain. Social identity mencakup kesadaran
kognitif individu bahwa dirinya menjadi bagian dari suatu kelompok, nilai yang
dimiliki individu terhadap kelompok, dan ikatan emosional yang didapatkannya
dari kelompok (Tajfel 1972 dalam Hogg, 1998).
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa ketika
individu menyadari keberadaan dirinya dan kelompoknya, maka individu tersebut
akan memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya. Hal ini juga dapat mendorong individu untuk
memberikan pandangan ‘positif’ atau ‘negatif’ kepada kelompoknya maupun
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan kajian pustaka, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai
berikut “Ada hubungan antara social identity dengan perceived entitativity pada
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian
ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan
apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000).
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini :
1. Variabel tergantung : Social Identity
2. Variabel bebas : Perceived Entitativity
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Perceived Entitativity
Perceived entitativity merupakan pandangan atau persepsi yang dimiliki
oleh individu dalam kelompok mengenai kekompakan, kesatuan dan kekohesifan
kelompoknya. Total skor yang diperoleh pada skala perceived entitativity ini
menggambarkan tingkat perceived entitativity pada mahasiswa Fakultas Teknik
pelaku tawuran. Semakin tinggi total skor skala perceived entitativity maka
2. Social Identity
Social identity merupakan identitas yang dimiliki oleh seseorang dalam
lingkungan sosialnya, yang akhirnya mengarahkan individu tersebut untuk
bertindak ataupun berpendapat seperti yang diharapkan oleh kelompok sosialnya.
Peran ayah ini di ukur dengan menggunakan skala social identity yang
dibuat oleh peneliti. Total skor yang diperoleh skala social identity
menggambarkan bagaimana pandangan mahasiswa Fakultas Teknik pelaku
tawuran terhadap kelompoknya di Fakultas Teknik. Semakin tinggi total skor
skala social identity maka semakin positif pandangan mahasiswa terhadap
kelompoknya, dan sebaliknya.
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu
sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mahasiswa Fakultas Teknik pelaku tawuran.
Penelitian ini menggunakan seluruh mahasiswa Fakultas Teknik yang
terlibat dalam tawuran (pelaku) dengan mahasiswa Fakultas Pertanian pada tahun
2. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel (teknik sampling) dilakukan dengan teknik
random sampling, yaitu pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang
bulu. Dalam teknik sampling ini, semua individu dalam populasi baik secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama diberikan kesempatan yang sama untuk dipilih
menjadi anggota sampel (Hadi, 2000).
Sedangkan teknik random sampling yang digunakan adalah random
sampling tak terbatas/random sampling tak bersarat (unrestricted random
sampling/unconditional random sampling). Ini adalah random sampling yang
dikenakan pada seluruh individu dalam populasi yang sudah didaftar terlebih
dahulu. Semua subjek dalam populasi tanpa kecualinya dan tanpa bersarat
diberikan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Karena itu
random sampling tak terbatas merupakan random sampling terhadap populasi
subjek atau populasi individu (Hadi, 2000).
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala. Skala berisi kumpulan pernyataan yang diajukan kepada responden untuk
diisi oleh responden. Ada dua buah skala yang digunakan yaitu skala social
identity dan skala perceived entitativity, yang diberikan kepada seluruh mahasiswa
Fakultas Teknik yang terdata sebagai pelaku tawuran dengan mahasiswa Fakultas
1. Skala social identity
Social identity diukur dengan menggunakan skala social identity yang
disusun berdasarkan komponen social identity yang dibagi berdasarkan defenisi
social identity menurut Tajfel (1978) (dalam Ellemers, 1999) yaitu:
1. Cognitive component
Kesadaran kognitif individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok
2. Evaluative component
Nilai positif atau negatif yang dimiliki individu terhadap keanggotaannya
di dalam kelompok
3. Emotional component
Keterlibatan emosional yang individu rasakan terhadap kelompoknya
Skala ini disusun berdasarkan komponen identitas sosial. Skala social
identity ini menggunakan skala Semantic Deferencial dengan pilihan 2 pilihan
respon, yaitu Strongly Agree (Sangat Setuju/Sangat Sesuai) dan Strongly Disagree
(Sangat Tidak Setuju/Sangat Tidak Sesuai). Dimana terdapat rentang 1 sampai 6
untuk respon terebut.
3. Skala perceived entitativity
Perceived entitativity diukut dengan menggunakan skala perceived
entitativity yang disusun berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Brewer
(1995), tinggi-rendahnya entitativity seseorang terhadap kelompoknya dilihat dari
kemudian mengarahkan orang tersebut untuk melihat anggota kelompok sebagai
bagian yang relatif sama atau homogen.
Skala perceived entitativity ini menggunakan Semantic Deferencial dengan
pilihan 2 pilihan respon, yaitu Strongly Agree (Sangat Setuju/Sangat Sesuai) dan
Strongly Disagree (Sangat Tidak Setuju/Sangat Tidak Sesuai). Dimana terdapat
rentang 1 sampai 6 untuk respon terebut.
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya
Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi
sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila
didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan
memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki
peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam
mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas
alat ukur yang akan digunakan.
1. Validitas alat ukur
Pengujian validitas diperlukan untuk mengetahui apakah skala pada
penelitian ini mampu menghasilkan data akurat sesuai dengan tujuan ukurnya.
Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi yaitu
validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam skala mencakup
ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta tidak keluar
dari batasan alat ukur (Azwar, 2000). Validitas isi memiliki dua tipe yaitu
validitas tampang dan validitas logik.
a. Validitas tampang
Validitas tampang adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya
karena hanya didasarkan pada penilaian pada format penampilan tes. Apabila
penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap
apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas tampang telah
terpenuhi. Tes yang memiliki validitas tampang yang tinggi akan memancing
motivasi individu yang dites untuk menghadapi tes tersebut dengan
sungguh-sungguh (Azwar, 2000).
b. Validitas logik
Validitas logik disebut juga validitas sampling atau validitas isi. Validitas
tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi tes merupakan representasi dari ciri-ciri
atribut yang hendak diukur. Untuk memperoleh validitas logik yang tinggi,
suatu tes harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi aitem
yang relevan dan perlu menjadi bagian tes secara keseluruhan. Suatu objek
ukur yang yang hendak diungkap oleh tes haruslah dibatasi lebih dahulu
kawasan perilakunya secara seksama dan konkret. Batas-batas perilaku yang
kurang jelas akan menyebabkan terikutnya aitem-aitem yang tidak relevan dan
tertinggalnya bagian penting dari tes yang bersangkutan (Azwar, 2000).
Penilaian validitas logik tergantung pada penilaian subjektif individual. Hal ini
apapun melainkan dengan analisis rasional dan melalui professional
judgement (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional
judgement yaitu dosen pembimbing peneliti dan dosen bidang statistika.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan
hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas ini
ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh subjek dengan memakai alat
yang sama (Suryabrata, 2000).
Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal
dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok
individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan
berefisiensi tinggi (Azwar, 2000).
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya
berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien
reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya.
Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin
rendahnya reliabilitas (Azwar, 2000). Teknik estimasi reliabilitas yang digunakan
adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan program SPSS
Versi 17.00 for Windows, dan diperoleh nilai sebesar 0,936 untuk aspek Social
F. Prosedur Penelitian
Sebelum dilaksanakan penelitian di lapangan maka peneliti perlu
melakukan beberapa prosedur, yaitu: tahap persiapan penelitian, tahap
pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.
1. Tahap persiapan penelitian
a. Rancangan alat dan instrumen penelitian
Alat ukur yang digunakan terdiri dari lima bagian skala yaitu skala social
dominance orientation, social identity, outgroup friendship, perceived entitativity,
dan multiculturalism. Namun yang menjadi fokus perhatian dalam peneliatian ini
adalah pada bagian social identity dan perceived entitativity, sedangkan skala
lainnya digunakan sebagai ’pengecoh’.
Setiap skala disusun dengan jumlah aitem yang berbeda. Untuk skala
social dominance orientation terdapat 15 aitem; untuk skala social identity
terdapat 8 aitem; untuk skala outgroup friendship terdapat 7 aitem; untuk skala
perceived entitativity terdapat 9 aitem; sedangkan untuk skala multiculturalism
terdapat 10 aitem; sehingga jumlah seluruhnya adalah 50 aitem.
Skala social identity dan perceived entitativity disusun berdasarkan definisi
ataupun aspek yang dikemukakan oleh masing-masing teori. Skala ini berupa
skala Semantic Deferencial dengan pilihan 2 pilihan respon, yaitu Strongly Agree
(sangat setuju/sangat sesuai/sangat positif) dan Strongly Disagree (sangat tidak
setuju/sangat tidak sesuai/sangat negatif). Terdapat rentang 1 sampai 6 untuk
respon tersebut dan subjek diminta untuk memberikan bobot penilaian terhadap
b. Perizinan
Sebelum dilakukan pengambilan data, peneliti terlebih dahulu meminta
izin dengan menyerahkan surat izin pengambilan data resmi dari Fakultas
Psikologi USU dan kemudian diserahkan langsung kepada Pembantu Dekan III
Fakultas Teknik USU.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian diadakan dengan menyebarkan 112 skala pada
mahasiswa Fakultas Teknik USU yang terlibat sebagai pelaku dalam tawuran
yang terjadi pada bulan Oktober 2011. Penyebaran skala dilakukan pada tanggal
8-23 Desember 2011.
3. Tahap pengolahan data
Pengolahan data penelitian ini seluruhnya menggunakan bantuan program
komputer SPSS for windows 17.0 version.
H. Metode Analisis Data
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara identitas sosial
dengan perceived entitativity pada mahasiswa Fakultas Teknik pelaku tawuran,
maka analisa data yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Seluruh data
penelitian ini dianalisa dengan menggunakan bantuan program Statistical Package
For the Social Science (selanjutnya disingkat menjadi SPSS) for windows 17.0
Namun sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan statistika
parametrik, maka dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan uji linieritas (Hadi,
2000).
1. Uji normalitas
Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk menguji apakah data yang
dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar
dapat digeneralisasikan pada populasi. Uji normalitas sebaran pada penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor–skor
yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal.
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik statistik uji one
sample Kolmogorof Smirnorv. Kaidah yang digunakan yaitu jika p ≥ 0,05 maka
sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran tidak normal (Hadi,
2000). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5 berikut.Pada penelitian ini
uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan
bantuan program komputer SPSS for windows 17.0 version.
Kolmogorov-Smirnov adalah suatu uji yang memperhatikan tingkat kesesuaian antara distribusi
serangkaian harga sampel (skor yang diobservasi) dengan suatu distribusi teoritis
tertentu.
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
Variabel Z P Keterangan
Social identity 1,888 0,2 Sebaran Normal
Hasil uji normalitas diperoleh skala social identity, Z = 1,888 dan p = 0,2
maka p > 0,05 artinya distribusi data skala social identity telah menyebar secara
normal. Sedangkan hasil uji normalitas diperoleh skala perceived entitativity, Z =
1,529 dan p = 0,19 maka p > 0,05 artinya distribusi data skala perceived
entitativity telah menyebar secara normal.
2. Uji Linieritas
Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui status linier tidaknya suatu
distribusi data penelitian (Winarsunu, 2004). Uji linearitas dilakukan untuk
mengetahui pola hubungan antara variabel X (perceived entitativity) dengan
variabel Y (social identity), dengan menggunakan analisis statistik uji Anova dan
bantuan program komputer SPSS for windows 17.0 version.
Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan
antara variabel bebas (perceived entitativity) dengan variabel tergantung (social
identity) adalah jika p < 0,05 dan deviation from linearity (F) > 0,05 maka
hubungannya antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier,
sebaliknya jika p > 0,05 dan deviation from linearity (F) < 0,05 berarti hubungan
antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan tidak linier (Hadi,
2000).
Table 2. Hasil Pengujian Linearitas
Variabel F p Keterangan
Social identity dan perceived entitativity
Berdasarkan tabel 2, diperoleh bahwa nilai p = 0,022 dan F = 1,814. Hasil
ini menunjukkan nilai p < 0.05 dan F > 0,05 yang berarti bahwa terdapat
hubungan yang linear antara perceived entitativity dan social identity. Sesuai
dengan hasil diatas diperoleh bahwa penelitian ini terdistribusi normal dan linear
sehingga dapat dilakukan pengolahan data dengan menggunakan statistik
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan menguraikan analisa data dan pembahasan, yang diawali
dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan
pembahasan.
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Teknik yang terdata
terlibat dalam tawuran dengan mahasiswa Fakultas Pertanian, yaitu berjumlah 112
orang. Adapun Departemen yang terlibat dalam tawuran ini adalah Departemen
Teknik Mesin, Departemen Teknik Elektro, Departemen Teknik Industri,
Departemen Teknik Sipil, dan Departemen Teknik Kimia.
Dari 112 orang mahasiswa, diperoleh gambaran subjek berdasarkan jenis
kelamin, usia, jurusan, dan tingkatan (semester perkuliahan) subjek penelitian.
1. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian maka diperoleh gambaran
penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)
Laki-laki 111 99,11
Perempuan 1 0,89
Tabel 3 menunjukkan jumlah subjek laki-laki jauh lebih banyak, yaitu 111
orang (99,11%) dibandingkan dengan jumlah subjek perempuan yang berjumlah 1
orang (0,89%).
2. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Usia
Berdasarkan usia subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran
subjek penelitian seperti yang tertera pada tabel 4.
Tabel 4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia
Usia Jumlah (N) Persentase (%)
19 14 12,5
20 36 32,15
21 22 19,64
22 30 26,78
23 8 7,15
24 2 1,78
Total 112 100
Tabel 4 menunjukkan jumlah subjek yang berusia 19 tahun ada 14 orang
(12,5%), yang berusia 20 tahun ada 36 orang (32,15%), yang berusia 21 tahun ada
22 orang (19,64%), yang berusia 22 tahun ada 30 orang (26,78%), yang berusia 23
tahun ada 8 orang (7,15%), dan yang berusia 24 tahun ada 2 orang (1,78%)
3. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Jurusan/Departemen
Berdasarkan jurusan subjek penelitian maka diperoleh gambaran
Tabel 5. Gambaran subjek berdasarkan jurusan
Berdasarkan data pada tabel 5, diketahui bahwa jumlah subjek yang
jurusan Teknik Mesin sebanyak 60 orang (53,57%), jurusan Teknik Elektro
sebanyak 30 orang (26,79%), jurusan Teknik Industri sebanyak 11 orang (9,82%),
jurusan Teknik Sipil sebanyak 1 orang (0,89%), jurusan Teknik Kimia sebanyak
10 orang (8,93%).
4. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Tingkatan (dalam semester
perkuliahan)
Berdasarkan tingkatan (dalam semester perkuliahan) subjek penelitian
maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada
tabel 6.
Tabel 6. Gambaran Subjek berdasarkan Tingkatan (dalam semester perkuliahan) Semester Jumlah (N) Persentase (%)
Berdasarkan data pada tabel 6, diketahui bahwa jumlah subjek yang
semester 3 ada sebanyak 13 orang (11,61%), semester 5 sebanyak 39 orang
(34,82%), semester 7 sebanyak 22 orang (19,64%), semester 9 sebanyak 34 orang
(30,36%), dan semester 11 sebanyak 4 orang (3,58%).
B. Hasil Penelitian
Hasil pengolahan data mengenai hubungan social identity dengan perilaku
agresif antar kelompok diperoleh dengan menggunakan Pearson Product Moment
dengan bantuan program komputer SPSS for windows 17.0 version. Berdasarkan
hasil perhitungan didapat nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.771 dengan p
(0.031).
Tabel 7. Korelasi Pearson Product Moment Social
Uji korelasi Pearson Product Moment menunjukkan seberapa besar
hubungan antara perceived entitativity dan social identity melalui rxy = 0.669,
maka dapat disimpulkan kekuatan hubungan antara variabel perceived entitativity
Dari hasil Pearson Product Moment ditunjukkan skor korelasi sebesar (rxy)
0.669 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara perceived entitativity dan social identity. Nilai
(rxy) yang positif menunjukkan bahwa arah hubungan perceived entitativity dan
bersifat positif. Hal itu berarti semakin tinggi (positif) perceived entitativity maka
semakin tinggi social identity mahasiswa pelaku tawuran, dan sebaliknya.
C. Deskripsi Data Penelitian
1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Perceived Entitativity
Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai perceived entitativity dari subjek penelitian. Untuk itu, peneliti
menggunakan alat penelitian berupa skala perceived entitativity. Setelah dilakukan
uji reliabilitas didapat 9 aitem utama yang memenuhi persyaratan untuk kemudian
dianalisa menjadi data peneltian dengam rentang 1-6 sehingga dihasilkan skor
minimum sebesar 9 dan skor maksimum 54. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh total skor minimum 16 dan skor maksimum 53. Hasil perhitungan
rata-rata empirik dan rata-rata-rata-rata hipotetik perceived entitativity dapat dilihat pada tabel
8.
Tabel 8. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Perceived Entitativity
Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik
Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Perceived
entitativity
16 53 41,402 1,017 9 54 31,5 1,02
Berdasarkan tabel 8, maka diperoleh nilai rata-rata empirik perceived
hipotetik sebesar 31,5 dengan standar deviasi 1,02. Jika dilihat perbandingan
antara rata-rata empirik dengan rata-rata hipotetik maka diperoleh rata-rata
empirik lebih besar daripada rata-rata hipotetik dengan selisih 9,902. Hasil ini
menunjukkan bahwa perceived entitativity subjek penelitian lebih tinggi daripada
rata-rata perceived entitativity pada umumnya.
2. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Social Identity
Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai social identity dari subjek penelitian. Untuk itu, peneliti menggunakan
alat penelitian berupa skala social identity. Setelah dilakukan uji reliabilitas
didapat 8 aitem utama yang memenuhi persyaratan untuk kemudian dianalisa
menjadi data peneltian dengam rentang 1-6 sehingga dihasilkan skor minimum
sebesar 8 dan skor maksimum 48. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh total
skor minimum 10 dan skor maksimum 48. Hasil perhitungan rata-rata empiric dan
rata-rata hipotetik social identity dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Social Identity
Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik
Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD social
identity
10 48 39,821 0,78 8 48 28 0,78
Berdasarkan tabel 9, maka diperoleh nilai rata-rata empirik social identity
sebesar 39,821 dengan standar deviasi sebesar 0,78 dan nilai rata-rata hipotetik
sebesar 28 dengan standar deviasi 0,78. Jika dilihat perbandingan antara rata-rata
empirik dengan rata-rata hipotetik maka diperoleh rata-rata empirik lebih besar