Yuki Farisandy
ABSTRAK
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA
OLEH
Yuki Farisandy
Dewasa ini tindak pidana tidak hanya terjadi di lingkungan luar rumah tapi, dapat juga terjadi di lingkungan dalam lingkup rumah tangga. Dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan dari hukum pidana. Pelaku dan korban berada dalam satu rumah, Korban merupakan anggota keluarga dan orang yang bekerja membantu kegiatan rumah tangga yaitu pembantu rumah tangga. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Permasalahan dalm penulisan skripsi ini adalah apakah yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korban kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga, upaya penanggulangan dan faktor penghambat dalam proses penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris, data-data yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk menentukan sampel populasi
mengguanakan metode “ Purposive Sampling” adapun responden yang menjadi sampel
dalam penelitin ini adalah pihak korban kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga, pihak Kepolisian Polresta Bandar Lampung, pihak Kejaksaan Tinggi Lampung dan pihak Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Bandar Lampung.
Yuki Farisandy
Saran yang dapat penulis sampaikan demi perbaikan di masa mendatang adalah Sebaiknya pemerintah khususnya aparat penegak hukum memberikan sanksi yang sangat tegas terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga sebagai contoh, mensosialisasikan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kepada masyarakat, Sebaiknya korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga tidak merasa takut lagi untuk melaporkan peristiwa yang telah dialaminya karena dilindungi oleh negara dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelakunya, serta sebaiknya Hakim dalam memberikan putusan harus memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan korban yang mengalami kerugian baik mental dan spiritual sehingga Hakim memberikan hukuman yang sesuai untuk pelaku agar pelaku jera dan tidak ingin mengulangi perbuatannya lagi kepada korban berikutnya.
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA
(Skripsi)
Oleh :
YUKI FARISANDY
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
MOTTO
Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT
diantara hamba-hambaNya adalah orang yang beriman
(Q.S. AL Fatir:28)
Do all things with love
Persembahan
Kupersembahkan Skripsi ini kepada:
Papi dan mami tercinta Yuhedi dan Purwanti
Yang telah membesarkanku, mengajarkanku banyak hal dan senantiasa mendoakan keberhasilanku.
Seluruh keluarga besarku Adek Indera, Adek Krisna, Bude, Mama Yayuk, Ii, Om Agus, Mas Nanang, Princess Intan, yang telah lama menantikan keberhasilanku
dan selalu menasehatiku agar menjadi lebih baik dan membanggakan keluarga.
Dan Archy Ollyvia, Papa Ndan, Mama Ros, sahabat dan teman-teman angkatan 2009 yang selalu senantiasa memberikan semangat, doa dan dukungan yang
khusus pada penulis.
THANK YOU TO
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 17Juli 1991,
merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak
Yuhedi dan Ibu Purwanti.
Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 3 Durian
diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menegah Pertama Negeri 4 Padang
Cermin diselesaikan pada tahun 2006 dan melanjutkan pada tingkat Sekolah
Menengah Atas Negeri 8 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009, pada
tahun 2009 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2012 penulis mengikuti kuliah
kerja nyata (KKN) di Desa Sukamulya Kecamatan Pugung Kabupaten
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Korban Kekerasan
Seksual Terhadap Pembantu Rumah Tangga, sebagaisalahsatusyarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H selaku Pembimbing I atas bimbingan dan saran
yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.
4. Ibu Firganefi, S.H.,M.H selaku Pembimbing II atas bimbingan dan saran
yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.
5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H selaku Pembahas I, atas masukan dan
saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.
6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H selaku Pembahas II, atas masukan dan saran
yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.
7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Kiyai
Basir, Kiyai Apri, Mbak Yani, Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak dewi yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
9. Kepala Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Kanit Reskrim, yang
telah memberikan izin untuk melakukan Pra-Research dan Research di
Polresta Bandar Lampung.
10. Seluruh Keluarga Besarku, Papi, Mami, Indera, Krisna, Bude, Mama Yayuk,
Ii, Om Agus,Mas Nanang, Juan, Jane, Intan (Princess), Dinda (Ibu Peri),
Ami, yang telah sabar, memberikan semangat, dukungan dan doa kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. My Honey Archy Ollyvia yang telah sabar memberikan bantuan, perhatian
dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
12. Seluruh Teman-teman : Wahyu-na (Busan Girl’s),Yoga (Jola), Yuni(Yunira),
Marini (Sist Nini), Tanti (Tante), Annisa (Lemot), Gilang (Mas Gils), Mamat,
Rey, Ditto, Byon, Lindra, Gusthio, Doddi Doy, Guin, Abi, Mang Defri, Mang
Deo, N.Co, Aldis, Angga Junot, Angga Mo, Senna. serta teman-teman yang
tidak bisa disebutkan satu persatu atas persahabatan dan kebersamaan selama
menempuh studi-studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam
penyelesaian skripsi ini.
13. Seluruh Rekan-rekan KKN : Indu, Lucy, Septi, Hendri, dan Ijul.
14. Seluruh Teman-teman SMA N 8 Bandar Lampung : Miftah, Ekoy, Jacob
Andi Tigor, Cahyo, Dwi Syam, Aji, Joko, Ivan, Lusia, Emak Stef, Ade, Iin,
Emul, Dian Id, Chiwi Kriting, Isna, Dwi Ockt, Uci, Anna, Cahya, Irma, Budi.
Penulis berdoa semoga kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan
mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung,Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 3
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 5
E. Sistematika Penulisan ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Penyebab Terjadinya Kejahatan ... 14
B. Pengertian dan Pengaturan Kekerasan Seksual... 18
C. Penyebab Terjadinya Viktimasasi ... 24
D. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Korban ... 26
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 32
B. Sumber dan Jenis Data ... 33
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 34
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35
E. Analisis Data ... 36
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 38
C. Upaya Penanggulangan dan Faktor Penghambat dalam Proses Penerapan Sanksi terhadap Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Pembantu Rumah Tangga. ... 48
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 64
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjelaskan bahwa
Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum hal tersebut mengandung arti
bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI 1945.Dalam Negara Hukum, hak dan kewajiban setiap
warga Negara adalah sama. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat (1) yang
menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengantidak ada kecualinya”.Sebagai upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran yang ditujukan memantapkan dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan serta menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap warga
negara menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, disamping itu hukum
harus benar-benar menjadi pengayom masyarakat. Penegakan hukum
dimanfaatkan untuk mencapai kesadaran hukum yang berdaya guna di era
reformasi ini.1
Mewujudkan keadilan yang merata baik secara material dan spiritual tidaklah
mudah, karena banyaknya keanekaragaman yang dimiliki oleh Negara Indonesia.
Keanekaragaman itu merupakan kekayaan bagi bangasa Indonesian tetapi juga
dapat menjadi sumber permasalahan bagi bangsa Indonesia. Salah satu perbedaan
dasar adalah perbedaan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan
1
2 antara laki-laki dan perempuan sering menjadi penyebab terjadinya masalah
dalam hidup bermasyarakat.
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang
terbentukkarena adanya ikatan perkawinan. Biasanya keluarga terdiri atas ayah,
ibu dan anak-anak. Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada
sanak saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua baik dari suami
atau istri, saudara kandung atau tiri dari kedua belah pihak, kemenakan dan
keluarga yang lain yang mempunyai hubungan darah. Di samping itu terdapat
juga pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama-sama dalam
sebuah rumah (tinggal satu atap).2
Kejahatan akan bertambah dan beragam, untuk itu diperlukan upaya untuk
menanggulangi kejahatan, pelanggaran hukum atau perbuatan yang melanggar
pidana. Tindak pidana tidak hanya terjadi di lingkungan luar rumah tapi, sering
juga terjadi di dalam lingkungan rumah tangga atau di dalam rumah itu sendiri.
Dalam hal ini tindak kekerasan di dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan
yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan dari hukum pidana. Tindak
kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban
diantara anggota keluarga. Bentuk kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
dapat berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).
Kekerasan didalam rumah tangga secara umum merupakan bagian dari bentuk
tindak kejahatan, misalnya penyerangan secara fisik atau penganiyaan, kekerasan
seksual di dalam rumah tangga dan kekerasan atau penyiksaan terhadap anak
sendiri.
2Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
3 Keperihatinan warga masyakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan
didalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU KDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat
dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat mengglobal tentang tuntutan
perlunya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak,yang dipandang
sebagai kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan.
Terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga tidak lepas dari struktur masyarakat
dan struktur keluarga yang menberikan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Ketidakberdayaan perempuan melawan kekerasan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dikondisikan oleh pembatasan-pembatasan status sosial, peran sosial, dan
norma sosial dalam konteks struktur keluarga yang lebih patriarki. Terjadinya
korban karena struktur keluarga yang lazim disebut viktimisasi
struktural.Viktimisasi Struktural yaitu penimbulan korban karena suatu kejahatan
sebagai hasil interaksi antara fenomena-fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi.3
Pada saat ini telah ada lembaga swadaya masyarakat yang memperhatikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan. Lembaga-lembaga swadaya
masyarakat tersebut berdiri untuk membantu para wanita untuk memperjuangkan
hak-hak mereka sebagai perempuan dan melindungi mereka dari tindakan
kekerasan.
Lembaga Advokasi Perempuan Damar menyebutkan, kasus kekerasan seksual dan
perkosaan di Provinsi Lampung masih tinggi. Mereka mencatat, sebanyak 474
perempuan di Lampung mengalami kekerasan seksual di lingkup rumah
3
4 tangga.Kasus perkosaan,kasus perkosan majikan terhadap pembantu, kasus
perkosaan dengan pelaku dan korban yang memiliki hubungan darah (incest), dan
lainnya kasus pencabulan. "Lalu di lingkup masyarakat terpantau 332 kasus
perkosaan, kasus pencabulan, dan kasus perdagangan perempuan untuk tujuan
eksploitasi seksual," kata Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan
Damar Sely Fitriani. Pada akhir 2013, LSM Damar juga mencatat tingginya kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan di Lampung. "Intensitas persoalan
kekerasan seksual terhadap perempuan menuntut perbaikan segera untuk
menghadirkan penanganan yang mumpuni bagi perempuan korban. Kebutuhan
penanganan yang mumpuni tidak dapat ditunda lagi," ujarnya.Berdasarkan data
yang dihimpun Damar, sedikitnya satu perempuan menjadi korban kekerasan
seksual setiap harinya. "Kekerasan seksual tersebut terjadi baik di lingkungan
rumah, di tengah-tengah masyarakat maupun dilakukan oleh oknum aparat negara.
Jumlah kasus ini tentunya masih merupakan puncak gunung es. Stigma dan beban
pembuktian menyebabkan sebagian banyak korban masih enggan melaporkan
kasusnya.4
Korban kekerasan seksual yang terjadi pada pembantu rumah tangga dapat di lihat
dalam kasus :
“ Pembantu Rumah Tangga yang sudah bersuami diperkosa Majikannya. Dalam Kasus Tersebut majikan yang berstatus PNS ini berinisial UMS (45), Warga Desa
Parsanga memperkosa pembantunya, Irma (30),Nama Palsu. Dengan ditemani
suami, wanita asal DesaBaban, Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, itu
menceritakan kepada petugas tentang perbuatan berulang-ulang yang dilakukan
sang majikan “.5
kemudian pada kasus berikutnya yaitu ” oknum PNS perkosa pembantu rumah
tangga , dalam kasus ini seorang pembantu rumah tangga dibawah umur diperkosa
4
http://www.saibumi.com/artikel-3830-damar-kasus-kekerasan-seksual-di-lampung-tinggi.html, diakses pada tanggal 16 Oktober 2014
5
5 oleh majikannya,di Kalimantan Tengah.”6Penyebab terjadinya kekerasan seksual
seperti kasus-kasus di atas biasanya terjadi karena pelaku habis menonton DVD
porno, tergoda oleh tubuh korban, suasana rumah yang sepi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
dalam penulisan skripsi tertarik untuk mengambil judul : “ Analisis Kriminologis
Terjadinya Korban Kekerasan Seksual Terhadap Pembantu Rumah Tangga”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dari latar belakang diatas, maka yang
menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya korban kekerasan
seksual terhadap pembantu rumah tangga?
2. Upaya penanggulangan dan faktor penghambat dalam proses penerapan
sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga?
2. Ruang Lingkup
Agar penelitian dapat lebih terfokus dan terarah sesuai dengan yang penulis
maksud, maka sangat penting dijelaskan terlebih dahulu batasan-batasan atau
ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu hukum
pidana khususnya pada faktor-faktor penyebab terjadinya korban kekerasan
seksual terhadap pembantu rumah tangga dan upayapenanggulangan dan
faktor penghambat dalam proses penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan
seksual terhadap pembantu rumah tangga. Sedangkan objek penelitian
6
6 dilakukan pada Polresta Bandar Lampung, Kejaksaan Tinggi Lampung,dan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor – faktor penyebab terjadinya korban
kekerasan seksual terhadap pembantu rumah tangga.
2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan dan faktor penghambat dalam
proses penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap
pembantu rumah tangga.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini meliputi secara teoritis dan secara
praktis.
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana kekerasan
seksual serta dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan
daya nalar dan acuan sesuai dengan ilmu yang dimiliki guna mengungkapkan
suatu permasalahan secara objektif melalui metode ilmiah.
7 Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai penambahan wawasan
berfikir penulis tentang hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana
kekarasan seksual terhadap perempuan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Menurut Soerjono Soekanto, kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang
sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada
dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi
sosial yang dianggap relevan untuk peneliti .
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang faktor
penyebab terjadinya tindak pidana yang dapat disebabkan beberapa hal, W.A
Bonger menekankan faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan adalah karena
kemiskinan dan kesengsaraan, yang dikenal dengan teori Subjektif Nahrungser
Schwerung.7
Dalam perspektif biologis teori Lombroso tentang Born Criminal (penjahat yang
dilahirkan), berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan membawa serta
bakat-bakat tertentu. Kalau bakat-bakat seseorang itu jahat, kapan saja dia bisa cenderung
jahat. Sebab bakat jahat sudah ada sejak lahir dan bukan karena pengaruh
lingkungan. Teori Lombroso tentang Born Criminal menyatakan bahwa para
penjahat adalah suatu bentuk lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati
nenekmoyang yang mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan
7
8 dengan mereka yang bukan penjahat. Pada dasarnya teory lombroso ini membagi
penjahat pada 4 golongan yaitu:
a. Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat.
b. Insome Criminal yaitu orang yang termasuk pada golongan orang idiot dan
paranoid.
c. Occasional Criminal atau Criminaloid adalahpelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya.
d. Criminal of Passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya
karena cinta, marah, ataupun karena kehormatan.8
Menurut Enrico Ferri Kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruh-pengaruh
interaktif diantara factor-faktor fisik (seperti ras, geografis, temperature) dan
faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin, variable-variabel psikologis). Dia juga
berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau diatasi dengan
perubahan-perubahan sosial.9
Menurut Marc Ancel penanggulangan kejahatan “Penal Policy” adalah suatu
ilmu sekaligus seni yang ada pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.10
8Ibid,
hlm 142
9
Topo Santoso dan Eva Achjani, Kriminologi, Rajawali Pers,Jakarta, 2012, hlm 39
10
9 Untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar
nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku di dalam suatu
masyarakat, maka tentu saja diperlukan upaya-upaya penanggulangan.
Penanggulangan kejahatan (criminal prevention) emperik terdiri atas 3 (tiga)
bagian pokok, yaitu :
1. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif disini adalah upaya-upaya awal yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan
dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan
nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi
dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran
atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak
akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang
meskipun ada kesempatan.
2. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif
yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya
preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya
kejahatan.
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang
tindakannya berupa penegak hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan
hukuman.11
Menurut Sudarto penanggulangan kejahatan “Penal Policy”adalah
11
10 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.12
Menurut A. Mullder penanggulangan kejahatan bersifat “Penal Policy” adalah
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilakukan. 13
Menurut G. P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan.14
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto
adalah :
a. Faktor hukumnya sendiri atau undang-undang yang belum jelas, yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapan
b. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang memebentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
11 e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.15
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas
penegakan hukum. Dengan demikian maka kelima faktor tersebut diatas sangat
tepat digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.
2. Konseptual
Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan
kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam
penelitian normatif maupun empiris.Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak
terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan
tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan
memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita.16
15
Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Rajawali Pers,Jakarta,2014.hlm 8
16http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/korban-victim.htmldiaksespadatanggal 31
12 2. Pengertian kekerasan seksual adalah kejahatan yang berkaitan dengan
perkelaminan atau seksualitas dan lebih khusus lagi yang berkaitan dengan
seksualitas laki-laki dan perempuan.17
3. Pengertian pembantu rumah tangga adalah orang yang bekerja di dalam
lingkup rumah tangga majikannya.18
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan
skripsi secara keseluruhan yang diperinci sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab ini diuraikan latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup
penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional serta
sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab ini menguraikan tentang pengertian hukum pidana, pengertian tindak
pidana, pengertian kekerasan seksual, pengaturan kekerasan seksual dalam hukum
pidana, penyebab terjadinya viktimisasi, dan Pengertian korban dan
bentuk-bentuk korban.
BAB III METODE PENELITIAN
17
http://www.psikoterapis.com/?en_kekerasan-seksual,210diaksespadatanggal 31 Mei 2014
18
13 Pada Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi yaitu
langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian memuat pendekatan
masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta
analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab ini diuraikan pembahasan dari Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Korban Kekerasan Seksual Terhadap Pembantu Rumah Tangga, Bentuk-Bentuk
Kekerasan Seksual Terhadap Pembantu Rumah Tangga serta faktor penghambat
dalam proses penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap
pembantu rumah tangga.
BAB V PENUTUP
Pada Bab Ini adalah Bab terakhir dari penulisan ini, dalam Bab ini dimuat dan
diuraikan secara singkat kesimpulan dari hasil pembahasan yang merupakan
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Penyebab Terjadinya Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan
Menurut W.A Bonger kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara
sadar mendapat reaksi dari negara negara berupa pemberian derita, dan kemudian
sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan.1
Sue titus reid berpendapat kejahatan adalah suatu tindakan sengaja atau omisi,
Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya,
melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan
untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban
hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat
jahat (criminal intent; mens rea)2
Menurut Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah :“An intentional act
in violation of the criminal law (statuory or case la, committed without defence or
excuse, and penalized by the state as a felony and misdemenor”3
1
Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm 44
2
Soerjono Soekanto, Ibid hlm 44
3
16 Pendapat Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku
yang dilarang oleh negara oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan
negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi, dengan hukuman sebagai suatu
upaya pamungkas.4
Herman manheim seorang ahli kriminologi Inggris menganggap bahwa
perumusan hukum tentang kejahatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana
adalah lebih tepat, walaupun kurang informatif.5
Menurut Austin Turk, kriminalitas merupakan suatu status dan bukan perilaku
yang secara hukum dirumuskan sebagai kejahatan.6
Immannuel Kant memberikan pengertian kejahatan adalah suatu konsep yuridis
berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Ia
mengemukakan dalam bahasa Jerman : Noch suchen die juristen eine definition zu
ihrem begriffe von recht (jurist are still trying to find their definition of law.7
Menurut Arif Gosita kejahatan adalah suatu hasil lnteraksi karena adanya
interrelasi antara fenomena yang ada dan yang paling mempenagaruhi. Yang
dimaksud dengan kejahatan disini, adalah kejahatan dalam arti luas.8
Garrofalo merumuskan kejahatan sebagai pelanggaran perasaan-perasaan kasih.
Thomas melihat kejahatan dari sudut pandangan psikologi sosial sebagai suatu
tindakan yang bertentangan dengan solidaritas kelompok dimana pelaku menjadi
anggotanya.9
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm 31
8
17 Sedangkan, Radcliffe brown merumuskan kejahatan sebagai suatu pelanggaran
tata cara (usage) yang menimbulkan dilakukannya sanksi pidana.10
Martin R.Hasskell dan Lewis Yablonsky mengemukakan bahwa terdapat beberapa
variabel yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan suatu rumusan
tentang kejahatan, yaitu :
1. There must be an act or ommission;
2. The act or ommission must be in violation of alaw forbidding or commanding it;
3. There must be criminal intent (mens rea) or criminal negligence;
4. There must be a union or joint operation of act and intent, or criminal negligence;
5. punishment must be provided by law.11
Richard Quinney menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang
perilaku. Manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat
yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan
perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang-orang lain dengan begitu
kejahatan sesuatu yang diciptakan.12
Tidak hanya yang dirumuskan oleh undang-undang hukum pidana saja, tetapi juga
tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dibenarkan dan
dianggap jahat. Tidak atau belum dirumuskan dalam undang-undang oleh karena
situasi dan kondisi tertentu.13
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kejahatan merupakan suatu
18 jahat dan membahayakan kepada orang di sekitarnya yang menimbulkan kerugian
serta melanggar hukum yang berlaku.
2. Penyebab Terjadinya Kejahatan
Menurut W.A Bonger Penyebab terjadinya kejahatan adalah sebagai berikut :
1. Faktor Sosial yang mempengaruhi pelaku melakukan kejahtan
2. Faktor Ekonomi yang menunutut pelaku memperoleh penghasilan dari hasil kejahatan karena tidak memiliki penghasilan cukup untuk kehidupannya.
3. Faktor Agama karena seseorang yang tidak mempunyai keteguhan iman dan kemantapan taqwa mudah menjadikan seseorang terpengaruh melakukan kejahatan.
4. Faktor Lingkungan yang tidak aman sehingga mudah sekali terjadi kejahatan.
5. Faktor Keluarga apabila seseorang tinggal dalam suatu lingkungan keluarga yang buruk dapat mempengaruhi anggota keuarga melakukan kejahatan.14
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penyebab terjadinya kejahatan tidak
hanya dari pelaku kejahatan tetapi juga dapat dari korban yang memberikan
kesempatan pelaku dan situasi serta kondisi tertentu di mana korban berada.
B.Pengertian dan Pengaturan Kekerasan Seksual
1. Pengertian Kekerasan Seksual
Pengertian kekerasan seksual sebenarnya belum ada atau belum di dibakukan
dalam kamus bahasa Indonesia, menurut Achie Sudiarti Luhulima pengertian
kekerasan seksual adalah kejahatan yang berkaitan dengan perkelaminan atau
14
19 seksualitas dan lebih khusus lagi yang berkaitan dengan seksualitas laki-laki dan
perempuan.15
Berapa literatur asing dapat ditemukan “Sexsual Violence” yang terjemahannya
adalah kejahatan atau kekerasan seksual pada umumnya diartikan sebagai
perbuatan pidana yang berkaitan dengan seksualitas atau perkawinan yang dapat
di lakukan terhadap laki-laki atau perempuan.16
Kejahatan seksual dapat berupa pelecehan seksual, kekerasan seksual dan
pelanggaran seksual. Pelanggaran seksual dapat diartikan setiap aktivitas seksual
yang dilakukan orang dewasa dan perempuan.17
Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Pelanggaran seksual tanpa unsur paksaan
Pelanggaran seksual tanpa unsur paksaan dilakukan dengan bujukan atau
tindakan lain dengan cara mengakali korban yang umumnya terjadi karena
keterbatasan pengalaman dan penalaran anak kemungkinan terjadinya
kejahatan ini didasari dan direncanakan oleh pelaku yang korbannya adalah
anak-anak.
15
Achi Sudiarti Luhulima, Pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasanterhadap perempuandan alternatif pemecahannya, PT. Alumni, 2000. Jakarta, hlm 57
16
Susilawati, Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2001, hlm 22
17
20 b. Pelanggaran seksual dengan paksaan
Pelanggaran seksual dengan unsur paksaan diberi terminologi khusus yaitu
perkosaan dalam delik ini telah diatur dalam Pasal 285 KUHP yang
diantaranya
harus memenuhi unsur :
1. Kekerasan/ ancaman kekerasan
2. Adanya persetubuhan dengan korban.18
Dari dua unsur diatas harus terbukti secara kumulatif, kegagalan membuktikan
salah satu unsur akan menggugurkan tuduhan perkosaan, seksual atau kejahatan
seksual dalam terminologinya harus mempunyai ciri-ciri bahwa tindakan tersebut
berupa :
a. Dapat berupa fisik maupun non fisik (psikis);
b. Dapat dilakukan secara aktif maupun pasif (tidak berbuat);
c. Dikehendaki/ diniati oleh pelaku;
d. Akibat ada kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau
psikis) yang dikehendaki oleh korban.19
Dapat dirumuskan bahwa kejahatan atau kekerasan seksual adalah tindakan atau
sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan korbannya
baik secara fisik maupun psikis. Hal penting lainnya dalah bahwa suatu kejadian
18
Achie Sudiarti Luhulima, Loc cit
19
21 yang bersifat kebetulan (accidential) tidak dapat dikategorikan sebagai kekerasan
walaupun menimbulkan kerugian pada korbannya.20
Definisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Deklarasi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan PBB tahun 1993 kekerasan seksual
adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman, tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.
Sementara, Pasal 2 Deklarasi membagi kekerasan terhadap perempuan, meskipun
tidak membatasinya, ke dalam 3 kelompok, yaitu kekerasan dalam keluarga,
kekerasan dalam masyarakat luas, dan kekersan yang dilakukan atau dibenarkan
oleh negara.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 memberikan pengertian
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan. Yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan-perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara relawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pada Pasal 1 Konvensi perempuan kekerasan berbasis jender yaitu kekerasan yang
ditujukan kepada perempuan, atau menimbulkan akibat pada perempuan secara
tidak proporsional , termasuk tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik,
mental, dan seksual dan perampasan dan paksaan ancaman.
20
22 Pada Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 kekerasan seksual meliputi
pemaksaan hubungan seksual meliputi orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau
tujuan tertentu.
Dalam usulan rancangan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang
disusun oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pada deklarasi diatas,
pengertian dalam kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sebagai :
Kekerasan seksual telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di
negara kita. Pengaturan kekerasan seksual terdapat dalam kitab undang-undang
hukum pidana tapi, hanya didapati dalam bab yang mengatur tentang kejahtan
terhadap kesusilaan.
Menurut Achie Sudiarti Luhulima diuraikan beberapa unsur-unsur kekerasan
seksual yaitu :
1. Setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (Gender based violence) ; 2. Yang berakibat ataupun tidak berakibat ;
3. Kesengsaraan atau penderitaan wanita ; 4. Secara Fisik, seksual atau psikologis ; 5. Termasuk ancaman tindakan tertentu ;
6. Pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang ; 7. Baik yang terjadi dalam masyarakat atau dalam kehidupan pribadi.21
2. Pengaturan tentang Kekerasan Seksual
Pengaturan kekerasan seksual dalam kitab undang-undang hukum pidana, diatur
dalam buku II Bab XIV, yaitu :
1. Pasal 281 tentang kejahatan kesopanan dalam arti kesusilaan;
21
23 2. Pasal 282 tentang penyalahgunaan alat pencegahan kehamilan pada orang
yang belum dewasa; 3. Pasal 283 tentang zinah; 4. Pasal 284 tentang perkosaan; 5. Pasal 285 tentang pornografi;
6. Pasal 286 tentang persetubuhan dengan orang yang sedang pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya.
7. Pasal 287 tentang persetubuhan dengan anak di bawah umur atau belum masanya dikawinkan.
8. Pasal 288 tentang persetubuhan dengan istri yang masih di bawah umur atau belum masanya dikawinkan.
9. Pasal 289 tentang perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan;
10.Pasal 290 tentang kejahatan perbuatan cabul kepada orang yang sedang pingsan atau tidak berdaya, umurnya belum 15 tahun dan lain-lain;
11.Pasal 292 tentang kajahatan perbuatan cabul sesama kelamin (Homo Seksual); 12.Pasal 293 tentang menggerakkan orang belum dewasa untuk melakukan atau
dilakukan perbuatan cabul;
13.pasal 294 tentang perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa dan lain-lain;
14.Pasal 295 tentang memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lain-lain;
15.Pasal 296 tentang memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain atau kebiasaan;
Dalam pengaturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur
tentang kekerasan seksual khusunya kekerasan seksual terhadap perempuan
lingkup rumah tangga tercantum pada undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui kekerasan seksual adalah
bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan melanggar hak asasi perempuan,
kekerasan seksual terhadap perempuan dapat mengakibatkan perempuan yang
mengaalaminya menjadi trauma. Kekerasan seksual tindak kriminal yang
melecehkan perempuan dan tindak pidana ini tersembunyi jarang dilaporkan.
Laki-laki mengintimidasi perempuan dengan menimbulkan kerugian fisik, mental
24
C. Penyebab Terjadinya Viktimisasi
Timbulnya korban, baik korban karena kejahatan, korban kecelakaan atau korban
dari peristiwa tertentu, pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara pihak
korban dan pihak yang menimbulkan korban, sehingga Guglielmo Gulotta sampai
pada diagnosa bahwa pada kasus terjadinya korban kejahatan, terjadi relasi antara
pelaku dengan korban.22
Menurut Arif Gosita suatu Viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu
penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan sosial) pada pihak tertentu oleh
pihak-pihak tertentu dan demi kepentingan tertentu. Yang dimaksud dengan pihak-pihak-pihak-pihak
tertentu ialah siapa saja yang terlihat dalam eksistensi suatu viktimisasi (individu
dan atau kelompok/korporasi). Dalam memahami dan mengerti suatu viktimisasi
tidak boleh hanya diarahkan pada korban saja (korban sentris). Sebabnya
pihak-pihak lain yang terlibat dalam eksistensi suatu viktimisasi dapat pula menjadi
korban. Misalnya pihak pelaku, polisi, jaksa dan hakim. Saksi dapat menjadi
korban ketidakpuasan, dan balas dendam pihak korban.23
Menurut Benjamin Mendelsohn bahwa viktimisasi adalah interaksi antara pelaku
dengan korban, proses interaksi antara pelaku dengan korban saling bersifat
fungsional. Kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban dapat dipandang bersifat
aktif, saling menciptakan kondisi viktimogen, yaitu kondisi yang mempermudah
seseorang menjadi korban (vulnerability) atau akibat bahaya yang mengancam
seseorang, dan menggunakan istilah viktimitas (victimity), yang berolak dari real
social affliction of victimity, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan orang mudah
menjadi korban atau akibat bahaya yang mengancam.24
22
Jp Widodo, Viktimologi, Fakultas Hukum Universitas Lanpung, Bandar Lampung,2004,hlm 59
23
Arif Gosita, Op cit hlm 122
24
25 Mulyana W. Kusumah memberikan pengertian bahwa viktimisasi yaitu berkaitan
dengan keberadaan korban, adanya korban yang secara resmi dirumuskan oleh
hukum pidana (pengertian korban dalam arti konkret) adalah indikasi bahwa
ketertiban sosial tergangggu.25
Pengertian Viktimisasi menurut Israel Drapklin dan Emilio C. Viano adalah the
action of victimized, in various senses (tindakan pengorbanan atau fakta yang
menjadikan timbulnya korban, dalam berbagai pengertian.26
Richard Quinny berpendapat “ rhetoric of victimization is one more weapon the
ruling class uses to justify and perpetuate its own existence. The victim, a
concrete one, apart from the state its self, is helf up as adefence of social order. it
is we would begin to conceive of the victims of police force, the victims of states
violence, the victim of oppression of any sort.27
Quinny merumuskan viktimisasi bertolak dari proses penetapan “korban” di
dalam undang-undang oleh penguasa dan dipakai sebagai sarana untuk
mempertahankan kekuasaan, sehingga pengertian viktimisasi terkait dengan
konsepsi sebuah realitas yang dibuat secara sistematis oleh penguasa di dalam
bentuk pengikatan sebuah perundang-undangan.28
Jenis-jenis viktimisasi Thorsten Sellin dan Marvin Wolgang memperkenalkan
tipologi viktimisasi sebagai berikut :
1. primery victimization… used a refer to a personalized or individu victim, who
may be directly assaulted or injured in vis-a vis offence, who is threated, or has
property stolen or damaged.
25
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung 2001 hlm 32
26
2. Secondary victimization…. generally refers to estabilisment such as department
stores, ralroads, theaters, chain strores, churches and the like. The victim is
impersonal, commercial dan collective.
3. Tertiary victimization… refers to those ceses in whice the participants engage
in mutually concensual acts, such as fornication, adultery or staury rape.
4. No victization… was used as a category for offence that could not be commited
by an adult.29
Menurut Arif Gosita dikemukakan bahwa viktimisasi tidak hanya menimpa para
korban secara individual, sebagaimana jenis viktimisasi yang telah diuraikan di
atas, tetapi juga bisa menyangkut struktur masyarakat tertentu. Viktimisasi yang
bersumber dari struktur masyarakat lazim disebut Viktimisasi Struktural (Structual
Victimization).30
Menurut Arif Gosita yang menjadi penyebab viktimisasi adalah :
1. Faktor individual korban dan pelaku yang saling berkaitan ; 2. Faktor biologis korban dan pelaku ;
3. Faktor psikologis jiwa yang mempengaruhi terjadinya viktimisasi ; 4. Faktor sosial lingkungan sekitar ;
5. Pembatasan-pembatasan status sosial, peran sosial, dan norma sosial dalam konteks struktur keluarga yang lebih partiarkhi ;
6. Refleksi struktur masyarakat dan keluarga.31
Menurut Arif Gosita dikemukakan tentang unsur-unsur sosial yang mempengaruhi
terjadinya viktimisasi yaitu sebagai berikut :
27 6. Peranan.32
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa viktimisasi adalah sebagai
penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan sosial) pada pihak-pihak tertentu demi
kepentingan tertentu.
D. Pengertian dan bentuk-bentuk korban
1. Pengertian korban
Ada korban ada kajahatan, ada kejahatan ada korban. Rangkaian kata-kata ini
menyatakan apabila terjadi suatu kejahatan maka timbul korban dari kejahatan
tersebut. Korban dalam suatu kejahatan mempunyai status sebagai partisipan pasif
maupun aktif dalam suatu kejahatan, peranan korban disini dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi tertentu yang langsung atau tidak langsung berhubungan
dengan korban.33
“The Declaration OF Basic Principles Of Justice For Victimes Of Crimes And
Abuse Of Power” tahun 1985, memberikan pengertian korban adalah orang-orang
yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi
penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau
kerugian hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran
yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, yang
meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.34
Menurut pendapat Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
28 mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.35
Richard Quinny berpendapat dalam tulisannya “who is the victim”, menegaskan
bahwa pengertian korban jangan diterima apa adanya (taken for granted). Konsep
tentang pengertian korban merupakan realitas sosial sebagai objek suatu
fenomena, sebagai kontruksi sosial dari situasi tertentu, tetapi berkait dan
merupakan produk dari proses-proses sosial baik dari kekuasaan pembentuk
undang-undang dan para penegak hukum.36
Pengertian korban menurut ZP. Separovic meliputi korban kejahatan dan korban
bukan kejahatan, kemudian dirumuskan a victim as anyone phsycal or moral
person, who suffer either as result of ruthless design or accidentially. Accordingly
we have victim of crime or offense and victim of accident. Victims are those who
are killed, injured or damages in property. Konsep tentang viktim dan viktimisasi
merupakan fenomena sosial yang berdasarkan pada ide tentang korban kejahatan,
insiden dan kecelakaan yang mempresentasikan keseluruhan viktimisasi.
Pengertian korban akibat kejahatan merupakan fase yang penting, karena studi
viktimologi bertolak sebagai bagian dari kriminologi, tetapi bukan berarti
membatasi kompetensi studi viktimologi tidak hanya untuk menghasilkan
perkembangan ilmu tentang korban, tetapi yang lebih penting adalah potensi
untuk kepentingan kesejahteraan manusia.37
Pendapat Zp Sevarovic tentang korban tersebut berdasarkan konsepnya tentang
ruang lingkup viktimologi, meliputi Fase old criminology, new criminology,
criminal criminology radical criminology and new criminology. Selanjutnya
29 subjek dan konsep tentang korban didasarkan pada perkembangan studi
viktimologi sebagai studi tentang human suffering.38
Menurut Stanciu pengertian korban terkait dengan keberadaan dan akibat
peradapan kehidupan negara-negara kapitalisme yang berasal dan berkembang di
negara-negara barat yang mengedepankan kompetisi materialistik dan industri.39
Benjamin Mendelsohn mengemukakan pendapat bahwa dalam merumuskan
pengertian korban dalam konteks viktimologi berkaitan dengan viktimitas
(victimity), Victimity tidaklah sama dengan Crime, tetapi merupakan pengertian
yang lebih luas daripada “ korban “ kejahatan, berdasarkan psikologikal
fenomenologi adalah faktor-faktor yang menyebabkan orang mudah menjadi
korban atau akibat bahaya yang mengancam seseorang. Lebih lanjut Mendelsohn
mengemukakan the definition of victimity in this phase evolution of victimology
can be indicate essentially by the whole of scio bio psychological characteristics ,
common to all victims in general, which society wishes to prevent and fight, no
matter what their determints are criminals or other. Jadi masalah korban dapat
dijelaskan dari evolusi suatu masyarakat yang berlangsung terus.40
2. Bentuk-bentuk korban
Menurut Arif Gosita masalah korban kejahatan mengemukakan berdasarkan
pengertian korban diatas, maka korban terbagi menjadi :
1. Korban ganda
Korban ganda akibat tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan. Misalnya
dalam peristiwa perkosaan. Korban disini akan mengalami berbagai macam
30 penderitaan mental, fisik dan sosial sebelum proses pengadilan (sewaktu
diperkosa dan pemeriksaan polisi), selama persidangan dan setelah persidangan.
2. Korban yang tidak nampak
Korban yang tidak nampak adalah korban yang sebetulnya tidak menderita
tindakan tindakan kekerasan tetapi karena sitiasi dan kondisi tertentu yang tidak
memberitahukan, melaporkan penderitaannya kepada yang berwajib untuk
menyelesaikan secepatnya.
3. Pelaku sebagai korban
Seorang pelaku perempuan yang melakukan suatu tindakan kekerasan dapat juga
menjadi korban yang non struktural. Ia menjadi korban karena pembalasan atau
tindak adanya peraturan atau adanya peraturan yang dapat menjadi landasan ia di
perlakukan secara adil.
4. Korban kekerasan
Korban kekerasan ini merupakan perwujudan tindak kekerasan yang meliputi
perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan atau berat, memaksa orang melakukan
sesuatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan, perkosaan dan
sebagainya.41
Mereka dalam pengertian adalah perorangan atau korban individual yang disebut
dengan bukan perorangan misalnya, suatu badan atau organisasi atau lembaga,
pihak adalah impersonal, kolektif komersial adalah yang disebut viktimisasi
sekunder.42
Kejahatan merupakan suatu hasil interaksi, karena adanya interelasi antara
peristiwa-peristiwa yang terjadi dan antara peristiwa-peristiwa tersebut saling
41
Arif Gosita Op Cit hlm 48
42
31 mempengaruhi, pelaku kejahatan dan korban kejahatan kedudukannya sebagai
partisipan, yang terlibat secara aktif maupun pasif dalam suatu kejahatan. Dari
kejahatan tersebut akan timbul korban akibat dari kejahatan.43
Korban akibat kejahatan menurut Mendelsohn terbagi menjadi lima alasan yaitu :
1. Korban karena kejahatan
2. Korban karena dirinya sendiri
3. Korban yang timbul karena perilaku anti sosial
4. Korban karena penggunaan teknologi
5. Korban karena kesembronoan atau kelalaian dalam memanfaatkan sumber
daya alam, sehingga mempengaruhi siklus alam, seperti musim, cuaca dan
lain-lain.44
43
Susilawati Op Cit hlm 12
44
32 Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
33
III. METODE PENELITIAN
Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian
dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara
yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang
objektif dan akurat, dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecahkan suatu
masalah.
A. Pendekatan Masalah
Dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, penulis
melakukan dua pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna
untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menganalisis dan menelaah
berbagai peraturan perundang-undangan, dokumentasi, teori-teori serta
literatur-literatur hukum dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap perempuan.
b. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris dilakukan dengan cara meneliti dan mengumpulkan data
34 nama sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
B. Sumber dan Jenis Data
Dalam melakukan penelitian, penulis memerlukan keterangan-keterangan yang
terkait dengan permasalahan yang berupa data, adapun data yang digunakan
adalah :
a. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Data tersebut di atas sifatnya hanya penunjang untuk kelengkapan data primer,
adapun data tersebut adalah :
1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya, untuk
penulisan skripsi ini bahan hukum primer yng digunakan adalah :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c. Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
d. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku literatur dan
35 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan tehadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris serta Kamus Hukum.
b. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara
langsung pada objek penelitian yaitu : Polresta Bandar Lampung, Kejaksaan
Tinggi Lampung, serta Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Bandar
lampung.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga
(Masri Singarimbun, 1987: 152). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi
yaitu Aparat Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Kejaksaan Tinggi Lampung
serta Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. Untuk mendapatkan data yang
diperlukan dari populasi, penulis melakukan metode wawancara kepada
responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili
seluruh responden. Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung 2 orang
b. JaksaKejaksaan Tinggi Lampung 1 orang
c. HakimPengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang 1 orang
36
D. Prosedur pengumpulan dan pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi
kepustakaan (library research), dilakukan dengan cara membaca, mempelajari,
mengutip dan menelaah literatur-literatur maupun peraturan perundang-undangan,
serta bahan-bahan hukum lainnya yang menunjang dan berhubungan dengan
permasalahan yang akan dibahas.
b. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara studi lapangan (Field Research)
1. Observasi
Observasi adalah pengumpulan data secara langsung secara terhadap objek
penelitian, untuk memperoleh data yang benar dan objektif dilakukan
penelitian di Polresta Bandar Lampung, Kejaksaan Tinggi Lampung serta
Pengadilan Negeri kelas I A Tanjungkarang, Bandar Lampung.
2. Wawancara
Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung
(Interview) dengan menggunakan bantuan daftar pertanyaan yang bersifat
terbuka dimana wawancara tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian antara lain Kepolisian
37 Tinggi Lampung, Ketua Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Bandar
Lampung dan Panitera Bagian Kasi Perkara Pidana yang dapat memberikan
penjelasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
setelah data-data tersebut terkumpul, belumlah berarti apa-apa bagi tujuan
penulisan, sebab data-data yang diperoleh masih merupakan bahan mentah. Oleh
karena itu, data tersebut harus diolah guna mendapatkan data yang baik, untuk
selanjutnya dianalisi pengolahan ini dilakukan dengan cara :
a) Editing data yaitu untuk memeriksa atau meneliti data yang keliru, menambah
serta melengkapi data yang kurang lengkap.
b) Klasifikasi data yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok
bahasan yang telah ditentukan.
c) Sistematisasi data yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara
sistematis hingga memudahkan interprestasi data.
E. Analisa Data
Setelah data tersebut berhasil diolah, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis adalah menganalisis data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterprestasikan, maka penelitian ini data yang diperoleh, akan dianalisis
secara kualitatif yaitu dilakukan dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan
dalam bentuk penjelasan serta penjelasan serta urutan kalimat. Dari analisis data
38 berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat umum yang kemudian
61
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab
terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korban kekerasan seksual terhadap
pembantu rumah tangga adalah :
a. Faktor sosial yaitu lingkungan rumah majikan yang sepi membuat majikan
dengan leluasa melakukan tindakan tidak terpujinya itu.
b. Faktor Ekonomi yaitu ketergantungan korban yang bekerja pada pelaku untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehingga, korban tetapmenjadi pembantu rumah
tangga..
c. Faktor Pendidikan yaitu latar belakang pendidikan korban yang rendah
sehingga mudah dibodohi dan dimanfaatkan oleh majikan.
d. Faktor Agama yaitu iman dan taqwa yang tidak teguh sehingga mudah untuk
melakukan perbuatan dosa dan melanggar hukum.
e. Faktor Keluarga yaitu keadaan rumah tangga majikan yang kurang harmonis,
majikan laki-laki yang merasa tidak cukup mendapat perhatian dari istrinya.
f. Faktor Biologis yaitu dapat juga korban tinggal dan bekerja dengan majikan
laki-laki yang memiliki penyakit kelainan seks.
g. Faktor Psikologis yaitu adanya niat jahat pelaku dan adanya kesempatan
untuk melakukan perbuatan jahat pada korban.
h. Faktor Internal Korban yaitu korban yang memiliki penampilan menarik
62 2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kejahatan kekerasan
seksual terhadap pembantu rumah tangga, dapat ditempuh dengan upaya pre-emtif,
yang diwujudkan melalui tindakan :
a. Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar secepatnya melaporkan
kepada pihak yang berwajib apabila terjadi suatu kejahatan termasuk kejahatan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT);
b. Melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum mengenai KDRT;
c. Memberikan bimbingan, ceramah-ceramah agama dan penyuluhan untuk taat
beragama serta patuh terhadap hukum kepada semua lapisan masyarakat secara
selektif dan prioritas.
Faktor penghambat dalam proses penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual
terhadap pembantu rumah tangga dapat ditimbulkan dari berbagai pihak adalah
sebagai berikut :
a. Pihak Aparat Penegak Hukum
Terbatasnya kekuatan polwan sebagai penyidik pada PPA. Karena, lebih
banyak polri sebagai penyidik
b. Pihak Korban
Belum ada keterbukaan dari pihak korban karena korban menganggap
perkosaan yang dialaminya merupakan aib tersendiri baginya sehingga beberapa
korban enggan melapor peristiwa kekerasan seksual yang telah dialaminya.
c. Pihak Pelaku
Pelaku tidak mengakui perbuatannya sehingga memerlukan kerja ekstra dalam
melakukan penyelidikan kasus.
d. Perundang-undangan
Aturan dalam KUHP memiliki kelemahan yaitu tidak ada batas liminatif yaitu
maksimal dan minimal hukuman. Sehingga ada pelaku yang dapat bebas murni
63 23 Tahun 2004 pasalnya merupakan delik aduan apabila laporan tersebut telah
dicabut pengaduannnya dengan pelapor penyidik tidak dapat melanjutkan proses
penyidikannya ke penuntut umum.
e. Pranata peradilan Pidana
Kecenderungan yang ada menunjukkan bawa perempuan yang menjadi korban
seringkali merasa cemas akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa,
hakim) terhadap peristiwa yang dialami korban.
f. Lembaga Pers
Media massa mempunyai peran yang sangat besar dalam menyampaikan
informasi serta membentuk opini publik dalam mencari berita menarik untuk
dijual kekhalayak ramai.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran dari penulis adalah :
1. Sebaiknya Pemerintah khususnya aparat penegak hukum memberikan sanksi
yang sangat tegas terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap
pembantu rumah tangga. Sebagai contoh : Mensosialisasikan Undang-Undang
N0. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kepada
masyarakat.
2. a. Sebaiknya korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap pembantu rumah
tangga tidak merasa takut lagi untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya
karena telah dilindungi negara dengan adanya peraturan perundang-undangan
yang dapat diterapkan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelakunya.
a. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan harus memperhatikan dan
mempertimbangkan keadaan korban yang mengalami kerugian baik fisik maupun
psikologis sehingga, hakim memberikan hukuman yang sesuai untuk pelaku agar