• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performance improvement of forest farmer in agroforestry system applied in critical land of pegunungan kendeng in Pati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performance improvement of forest farmer in agroforestry system applied in critical land of pegunungan kendeng in Pati"

Copied!
512
0
0

Teks penuh

(1)

LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI

SUMARLAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

System Applied in Critical Land of Pegunungan Kendeng in Pati. Advisor Commission: SUMARDJO (Chief Advisor), PRABOWO TJITROPRANOTO and DARWIS S. GANI (as members).

Critical area of land is increasing from year to year, this occurs because of inappropriate management of the land area. One effort which may overcome this problem is applying agroforestry systems. However, the agroforestry system still have problems on how far the farmers performance and the determiners of the performance which will affect to the sustainability of the agroforestry systems on critical lands. Research objectives are: (1) to analyze the farmers performance and the determiners of the performance that will affect to the sustainability of the agro-forestry systems on degraded lands, (2) to analyze the forestry extension support to the determiners of the farmer performance, and (3) to develop appropriate strategy for extension activities in order to improve the farmer performance. Data are analyzed through three methode: (1) biplot, (2) descriptive statistics, (3) and SEM (Structural Equation Modeling). The result of the study could be summarized as follows: (1) The farmer performance of Pegunungan Kendeng are still low. This condition are reflected on the: (a) low level income, (b) limited types of food diversity, and (c) absence of business network in agroforestry system. Nevertheless, the farmer performance has significant and positive impact to the sustainability of agroforestry systems. The condition of the performance determinants is in a relatively strong level; this condition is reflected on (a) the farmer motivation is relatively strong, (b) enough availability of farmer’s opportunities (c) the acceptable farmer’s skills. This reflects that the farmer determinants positively and significantly affect to the farmer performance. (2) The support of forestry extension is still considered low; this condition is reflected on their low level on basic competence and on technical mastery. Nonetheless, the forestry extension supports are significantly and positively affect to the farmer motivation and opportunities. (3) In designing the strategy of forestry extension to improve the farmer performance and the sustainability of the agroforestry system, it needs to consider: the farmer motivation, the farmer work opportunities and the farmer capabilities.

Keywords: performance, farmer around forest, agroforestry systems, and

(4)

Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati. Komisi Pembimbing: SUMARDJO (Ketua), PRABOWO TJITROPRANOTO dan DARWIS S. GANI (masing-masing sebagai anggota).

Lahan kritis di Indonesia semakin bertambah luas dari tahun ke tahun yang disebabkan pengelolaan lahan yang tidak tepat sehingga menimbulkan berbagai bencana yang menyengsarakan kehidupan manusia. Untuk mencegah agar tidak terjadi bencana, perlu dilakukan pengelolaan secara tepat, salah satunya dengan penerapan sistem agroforestri. Terkait dengan hal tersebut, permasalahannya adalah sejauhmana tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor-faktor penentu tingkat kinerja. Selain itu, sejauhmana dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.

Tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor penentu tingkat kinerja; (2) Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis; dan (3) Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011 di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati, dengan pertimbangan bahwa Pegunungan Kendeng merupakan lahan kritis yang menjadi hulu sub DAS Juana dan apabila pengelolaannya tidak tepat menjadi penyebab banjir terbesar di Kabupaten Pati dan Kudus. Penelitian didesain sebagai explanatory research dengan jumlah sampel 400 responden dan unit analisis adalah kepala keluarga petani. Analisis data menggunakan: (1) biplot dengan bantuan program wolfram, (2) statistik deskriptif, dan (3) Analisis SEM dengan bantuan software LISREL 8.70.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut: kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan petani, kurangnya keragaman jenis pangan, tidak terjalinnya jejaring bisnis sistem agroforestri. Rendahnya kinerja petani sekitar hutan tersebut menyebabkan rendahnya keberlanjutan penerapan sistem agroforestri.

(5)

penyuluh jarang sekali melaksanakan penyuluhan. Penyebab rendahnya dukungan penyuluhan adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang menangani bidang penyuluhan dan belum terbentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh).

Rendahnya dukungan penyuluhan menyebabkan lemahnya motivasi, rendahnya kesempatan dan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Hal ini terjadi karena petani lebih mampu atau terampil dibandingkan penyuluh, sebab tumpang sari salah satu bentuk sistem agroforestri telah petani lakukan secara turun temurun. Selain itu, sistem agroforestri tersebut sesuai dengan kebutuhan petani, karena melalui sistem agroforestri petani mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil tanaman semusim, kebutuhan masa depan dari tanaman keras dan sistem agroforestri mampu mengakomodasi budaya petani. Meskipun demikian, dukungan penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani khususnya kemampuan generasi muda keturunan petani yang ada saat ini dan para pendatang yang menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis.

Strategi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, dilakukan dengan: (1) Penguatan intensitas dan dukungan penyuluhan untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani melalui: pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan dan fasilitas penyuluhan; dan (2) Mengembangkan hubungan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga lokal seperti: kelompok tani, penyuluh swasta, penyuluh swadaya, Perhutani, perusahaan saprodi, perusahaan kayu dan perusahaan pakan.

Kata Kunci: kinerja, petani sekitar hutan, sistem agroforestri,dan pengelolaan lahan kritis.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencamtumkan atau menyebut sumber.

(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

(b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

(2) Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI

SUMARLAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi :

Penguji Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Prof. Dr. Pang S. Asngari

Dosen Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB.

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc

Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Dr. Ir. Eka W. Soegiri, MM

(9)

Nama : Sumarlan

NRP : I.361090081

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua

Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc Anggota

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Tanggal Ujian: 9 Januari 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati.

Sungguh tidak berbudi orang tersebut setelah mendapat bantuan tidak menyampaikan apapun. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S; Dr. Prabowo Tjitropranoto dan Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A; selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini; Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dan Prof. Dr. Pang S. Asngari, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Letti Sundawati, MSc dan Dr. Eka W. Soegiri, MM; yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka; Dosen PPN dan IPH Fahutan IPB, yang telah mambagikan ilmu dan pengalaman selama kuliah; Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan seluruh Camat Pegunungan Kendeng beserta staf, yang telah memfasilitasi selama penelitian; Kepala Pusdikat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3; Secara khusus, disampaikan terima kasih kepada para responden, enumerator dan seluruh petani Pegunungan Kendeng, yang telah membantu memberikan data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini; (Alm) Bapak dan (Alm) Ibu tercinta yang telah memelihara, merawat, menjaga, membesarkan dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh, serta tiada henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan penulis; Kakak, saudara dan semua keponakan, serta Bapak dan Ibu mertua dan saudara-saudara ipar yang telah mendoakan dan memotivasi moril selama penulis mengikuti pendidikan; Kawan-kawan seperjuangan PPN angkatan 2009 serta semua pihak yang telah membantu sejak dari awal sampai terselesainya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri tersayang Elis Kartikasari dan putera-puteri tercinta Pascal dan Claresta atas doa, ketabahan, kesabaran, pengertian dan keikhlasan mendampingi penulis selama mengikuti studi ini. Semoga amal baik Bapak/ibu dan Saudara-saudara mendapat pahala dari Allah SWT.

Artikel ilmiah yang merupakan bagian dari hasil penelitian ini dengan judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati; telah diterbitkan oleh Wetlands International Vol. 19 No. 2 Edisi Juli 2011; dan Jurnal Penyuluhan Vol. VIII No. 1 Tahun 2012.

Tiada yang sempurna di dunia fana ini, kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk memperbaiki disertasi ini peneliti terima dengan senang hati. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Amien, terima kasih.

(11)

pada tanggal 5 Maret 1969 dari Ayah (Alm) Karno dan Ibu (Alm) Marni, sebagai

anak kedua dari dua bersaudara.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Sidorejo di

Sidoarum-Pati lulus pada tahun 1983. Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Jakenan lulus

pada tahun 1985. Lalu, dilanjutkan di SMA Negeri Jakenan-Pati lulus pada tahun

1988. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA, Program Studi Pendidikan

Matematika di Universitas Cenderawasih Jayapura dan lulus pada tahun 1994.

Pada tahun 1995 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil lingkup

Departemen Kehutanan dan bekerja pada Sekolah Kehutanan Menengah Atas

Manokwari sebagai guru matematika sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2000

pindah ke Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor sebagai staf penyelenggara

diklat. Tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan

S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Penyuluhan

Pembangunan (PPN) atas biaya dari Departemen Kehutanan, lulus pada tahun

2004. Pada tahun 2003-2006, penulis bekerja sama dengan CIFOR, MFP (DFID)

dan TNC. Kemudian pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai Kepala Seksi

Penyelenggaraan Diklat pada Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor. Kesempatan

untuk mengikuti pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) penulis peroleh pada tahun 2009 atas biaya

Departemen Kehutanan.

Penulis menikah dengan Elis Kartikasari pada tahun 1999 dianugerahi dua

orang anak: Muhammad Pascal Kashfuzunnun lahir di Manokwari pada 15 Juni

2000 dan Claresta Putri Ailsa lahir di Bogor pada 23 Juli 2005.

(12)

DAFTAR TABEL …………..………..………. xv

DAFTAR GAMBAR ……..……….…….……...………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….... xviii

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang……….………... 1

Masalah Penelitian………...………... 2

Tujuan Penelitian……….……….. 3

Kegunaan Penelitian…………..………..…... 4

Definisi Istilah ………... 5

TINJAUAN PUSTAKA……….. 8

Kinerja Petani dalam Penerapan Sisten Agroforestri ……… 8

Pengertian Kinerja ... 8

Penilaian Kinerja ... 11

Kiteria Penilaian Kinerja ... 13

Penelitian tentang Kinerja ... 15

Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ... 15

Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 16

Pengertian Agroforestri ... 16

Bentuk-bentuk Agroforestri ... 18

Tujuan dan Fungsi Agroforestri ... 20

Sistem Agroforestri sebagai Pengelolaan Lahan Berkelanjutan .... 21

Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 23

Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 24

Pengertian Motivasi ... 24

Penelitian Motivasi Petani ... 27

Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 28

Kesempatan Petani dalam Menerapkan Sistem Agroforestri ... 29

Pengertian Lahan Kritis ... 38

Masyarakat Sekitar Hutan ... 40

Karakteristik Petani ... 42

Dukungan Penyuluh dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 46

Definisi Penyuluhan ... 46

Falsafah Penyuluhan ... 50

(13)

KERANGKA BERPIKIR ... 65

Paradigma Pembangunan Kehutanan ... 65

Paradigma Penyuluhan Kehutanan... 67

Kinerja Petani Wujud Pergeseran Pembangunan Kehutanan ... 68

Hubungan antar Peubah ... 69

Hipotesis Penelitian ... 81

Kinerja sebagai Paradigma Ilmu ... 81

METODE PENELITIAN ………... 83

Rancangan Penelitian ….………... 83

Populasi dan Teknik Sampling ……….………. 84

Populasi dan Sampel ……….. 84

Teknik Sampling ……… 84

Unit Analisis ……….. 85

Lokasi dan Waktu ……….. 85

Pengumpulan Data dan Instrumentasi Penelitian ……….. 85

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ………. 87

Definisi Operasional dan Pengukuran .……….. 88

Teknik Analisis Data ……….. 97

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG ………. 101

Letak Geografis Kabupaten Pati ………... 101

Iklim Kabupaten Pati ………. 101

Topografi dan Jenis Tanah ……..………. 102

Penggunaan Lahan Kabupaten Pati ………. 103

DESKRIPSI PETANI PEGUNUNGAN KENDENG DAN DUKUNGAN PENYULUHAN ……….. 107

Karakteristik Individu Petani …….………... 107

Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……… 112

Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. 117

Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. 125

Dukungan Penyuluhan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 134

Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….. 143

(14)

Sistem Agroforestri ……… 158

Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….... 162

Pengaruh Dukungan Penyuluhan Terhadap Perkembangan Faktor- faktor Penentu Kinerja Petani dalam Sistem Agroforestri………. 175

Kontribusi Hasil Penelitian pada SKKNI Penyuluhan Kehutanan …... 183

Strategi Penyuluhan dalam Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……... ……….. 186

Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Kehutanan ……….. 193

SIMPULAN DAN SARAN ………. 198

Simpulan ………... 198

Saran ……….. 199

(15)

1. Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Resiko Ancaman……….. 40

2. Orientasi Kelembagaan Sistem Penyuluhan……… 53

3. Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya ……….. 62

4. Pergeseran Konseptual Pembangunan Kehutanan ……… 66

5. Perubahan Paradigma Penyuluhan Kehutanan ………. 68

6. Ciri-ciri Motivasi Petani dalam Penerapan Agroforestri ……….. 72

7. Ciri-ciri Kesempatan Petani yang Terbuka dan Terbatas dalam Penerapan Sistem Agroforestri……….... 73

8. Ciri-ciri Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri ……….. 75

9. Ciri-ciri Dukungan Penyuluhan Partisipatif dan Mobilitatif ………... 76

10. Paradigma Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ……… 80

11. Paradigma Berkelanjutan Penerapan Sistem Agroforestri ………. 81

12. Kinerja sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan ……… 82

13. Sebaran Populasi dan Ukuran Sampel Penelitian ………... 85

14. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan ..……… 88

15. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Dukungan Penyuluhan terhadap Petani Sekitar Hutan ……… 89

16. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ……… 91

17. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri………. 92

18. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri………. 94

19. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ……….……….. 96

20. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri………... 97

21. Penulisan Umum Notasi SEM ……… 98

22. Rincian Ketinggian Pegunungan Kendeng ( m dpal) ………. 102

23. Perbandingan Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati dan Pegunungan Kendeng ………... 104

24. Sebaran Karekteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 107

25. Hubungan antar Indikator Karakteristik Individu Petani dalam Penerapam Sistem Agroforestri………... 108

(16)

29. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kesempatan Petani

dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….……... 118 30. Perbandingan Harga Kayu di Tingkat Petani dan Perusahaan ……… 121 31. Sebaran Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …….. 126 32. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kemampuan Petani

dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 127 33. Sebaran Dukungan Penyuluhan Terhadap Kinerja Petani dalam

Penerapan Sistem Agroforestri……….…… 134 34. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Dukungan Penyuluhan

Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………. 135 35. Sebaran Kemampuan Penyuluh Menurut Penguasaan Kompetensi

Dasar Penyuluhan……….... 136 36. Sebaran Penyuluh Kehutanan Menurut Tempat Tugas dan Jumlah yang

Terdapat di Pegunungan Kendeng ……….. 141

37. Sebaran Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …. 144 38. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Kinerja Petani dalam

Penerapan Sistem Agroforestri ………... 144 39. Sebaran Keberlanjutan Penerapan Agoforestri pada Lahan Kritis ..……... 149 40. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Keberlanjutan dalam

Penerapan Sistem Agroforetsri ………... 150 41. Dekomposisi antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan

(17)

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja ………. 10 2. Kerangka berpikir konseptual penelitian kinerja petani ………. 69 3. Hubungan antar peubah peningkatan kinerja petani ……… 71 4. Diagram Jalur Persamaan Sruktural Peningkatan Kinerja Petani dalam

Penerapan Sistem Agroforestri ……….………... 99 5. Peta lokasi penelitian kinerja petani dalam sistem agroforestri ….……… 106 6. Analisis Biplot Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan

dalamPenerapan Sistem di Lahan Kritis……….. 154 7. Analisis SEM peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem

agroforestri (standardized)……….……….. 155 8. Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem

agroforestri ……….. 158 9. Pengaruh faktor-faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani dalam

penerapan sistem agroforestri ………. 163 10. Pengaruh dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor Penentu

kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri ……… 175 11. Rancangan strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani

(18)

1. Validitas dan reliabilitas hasil ujicoba kuesioner …….………... 214

2. Hasil analisis Comfirmatory Factor Analysis(CFA) ……….. 215

3. Hasil analisis SEM tahap satu ……… 230

(19)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang

sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis.

Kondisi ini menyebabkan iklim di Indonesia memiliki suhu yang cukup tinggi

sepanjang tahun dan kelembaban udara yang relatif tinggi sehingga menjadikan

wilayah Indonesia sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis

tumbuhan dan hewan yang sangat beragam dan berlimpah. Selain itu, Indonesia

memiliki beragam jenis kandungan mineral dan bahan tambang yang tersimpan di

dalam dan di permukaan bumi nusantara. Di lain pihak, tata guna lahan dan

penutupan lahan juga berubah sangat cepat dalam merespon perubahan

perekonomian, kependudukan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,

khususnya setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan pasca

diberlakukannya otonomi daerah. Dengan dalih reformasi memberikan peluang

yang sangat luas pada pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan juga kemajuan

dalam bidang komunikasi sehingga membuka hambatan-hambatan yang selama

ini mengekang, terutama pada masa orde baru. Konektivitas antara faktor

biofisik/ekologis, sosial, ekonomi, dan faktor budaya spiritual di dalam bentang

lahan adalah suatu hal utama untuk mendukung keamanan dan kenyamanan

kehidupan bermasyarakat secara luas. Oleh karena itu, struktur fungsi lahan dan

perubahan fungsi lahan secara keseluruhan baik skala mikro maupun makro harus

dipahami secara mendalam oleh semua pihak agar memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat.

Ketidakpahaman dalam mengelola perubahan fungsi lahan memberikan

sumbangan yang besar terhadap laju kerusakan hutan dan lahan. Menurut Word

Bank (2002), laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per

tahun. (Geist dan Lambin 2002, diacu dalam Arifin et al. 2009: 48-49) dan

Hairiah et al. (2003) menjelaskan bahwa pendorong utama terjadinya kerusakan

kawasan hutan menjadi lahan kritis adalah terjadi konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, transmigrasi dan perkebunan, serta

(20)

Dampak dari laju kerusakan hutan yang terus bertambah, menyebabkan

lahan kritis juga bertambah. Berdasarkan data Ditjen BP-DAS dan Perhutanan

Sosial Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan

tahun 2006 mencapai 30,2 juta hektar, 3,3 persen terdapat di Provinsi Jawa

Tengah, sedangkan di Kabupaten Pati seluas 48.956 hektar (BP DAS Pemali

Jratum 2009) yang sebagian besar terletak pada Pegunungan Kendeng.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut adalah

melakukan gerakan rehabilitasi lahan (Gerhan) dengan sistem agroforestri.

Kegiatan tersebut kurang mendapat respon yang positif dari masyarakat karena,

kegiatan tersebut lebih mengutamakan hal-hal bersifat teknis dan administrasi.

Kartodiharjo (2006) menyatakan bahwa pelaksanaan Gerhan dapat berhasil

dengan baik apabila kegiatan tersebut menyentuh secara langsung hajat

masyarakat dan melibatkan masyarakat setempat. Pernyataan tersebut

mengisyaratkan bahwa keterlibatan masyarakat di sekitar hutan dapat menjamin

keberhasilan pengelolaan lahan kritis yang ditunjukkan dengan meningkatkan

kinerjanya.

Menurut perspektif manajemen, meningkatkan kinerja petani tidak terlepas

dari kemampuan, kesempatan dan motivasi. Ketiga hal tersebut harus ada dan

berjalan secara seimbang, karena jika salah satunya tidak terpenuhi mustahil akan

mencapai kinerja (performance) yang tinggi (Robbins 2003). Selain itu, perlu

adanya karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh yang

berkompeten. Keberadaan penyuluh dalam pengelolaan lahan kritis sangat

dibutuhkan (Friday et al. 2000), karena dapat membantu petani untuk mengenal

dan memecahkan permasalahannya, khususnya dalam penerapan teknologi yang

tepat untuk mengelola lahan kritis. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah

Kabupaten Pati yang mempunyai lahan kritis di Pegunungan Kendeng telah

menempatkan Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan (SK. Kepala Dinas

Kehutanan dan Perkebunan, Nomor: 826.4/98/2009).

Masalah Penelitian

Salah satu cara untuk mengatasi lahan kritis adalah dengan menerapkan

inovasi pengelolaan lahan yang tepat, antara lain melalui inovasi sistem

(21)

mengembalikan kesuburan tanah, mencegah banjir, tanah longsor, menyerap air

dan menyediakan alternatif bahan pangan (von Moydell 1986).

Penerapan sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani sekitar hutan

dapat berhasil dengan baik tergantung dari motivasi, kesempatan dan kemampuan

petani. Oleh karena itu, tumbuhnya etos kerja petani ditentukan oleh pengetahuan

dan keterampilan yang dimilikinya, sebab dengan pengetahuan yang dimilikinya,

petani akan dapat membaca peluang dan menciptakan kesempatan, sehingga dapat

mengelola lahannya dengan tepat dan memberikan hasil yang optimal. Kondisi ini

akan berhasil dengan baik, apabila petani memiliki motivasi yang kuat dan

mampu menjaga motivasinya agar tidak cepat luntur jika mengalami kegagalan.

Upaya untuk dapat menjaga motivasi, menciptakan kesempatan, dan

meningkatkan kemampuan dalam penerapan sistem agroforestri tersebut,

memerlukan karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh

yang berkompeten agar dapat membangkitkan dan mendampingi petani sehingga

petani menjadi mandiri, berdaya dan tidak tergantung pada orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini berfokus pada masalah:

(1) Sejauhmana tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap

keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor

penentu kinerja petani sekitar hutan di Pegunungan Kendeng?

(2) Sejauhmana dukungan penyuluhan berpengaruh pada faktor-faktor penentu

tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di

Pegunungan Kendeng?

(3) Bagaimanakah strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan

kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan permasalahan tersebut, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

(1) Menganalisis tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap

keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor

(22)

(2) Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh pada faktor-faktor

penentu kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di

Pegunungan Kendeng.

(3) Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja

petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan

Kendeng.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaan secara akademis

(keilmuan) dan praktis:

(1) Kegunaan secara akademis/keilmuan, yaitu:

(a) Memperkaya kajian tentang kinerja petani sekitar hutan dalam

penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, khususnya yang

berhubungan dengan motivasi petani, kesempatan yang tersedia bagi

petani dan kemampuan petani sekitar hutan.

(b) Memberikan informasi kepada para peneliti bidang sosial agar dapat

melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang

kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.

(2) Kegunaan secara praktis yaitu: memberikan masukan atau informasi kepada

Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dan pihak lain

yang terkait, dalam menyusun kebijakan penyuluhan yang berhubungan

dengan kinerja petani sekitar hutan, khususnya dalam penerapan sistem

agroforestri harus memperhatikan kemampuan dan pengetahuan lokal yang

ada di daerah atau bersifat adaptif dan proses pelaksanaannya dilakukan

secara kemitraan atau kolaboratif dengan lembaga-lembaga lokal.

(a) Nilai kebaruan atau novelty, yaitu:

(a) Tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem

agroforestri tidak hanya ditentukan oleh kemampuan, motivasi dan

kesempatan, tetapi juga perlu memperhatikan lingkungan petani.

(b) Pada kegiatan yang telah ditekuni petani secara turun temurun seperti

penerapan sistem agroforestri, dukungan penyuluhan tidak

berpengaruh secara langsung meningkatkan kemampuan petani tetapi

(23)

memberikan kesempatan petani. Meskipun demikian, untuk generasi

muda keturunan petani dan para pendatang dukungan penyuluhan

dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani.

Definisi Istilah

(1) Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di mana

tanaman keras berkayu ditanam bersamaaan dengan tanaman semusim, dan

atau ternak, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di

dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai

komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan lingkungan (Nair 2003).

(2) Insentif adalah bantuan yang berasal dari pemerintah yang diperuntukkan

bagi masyarakat yang melakukan pengelolaan lahan dengan sistem

agroforestri dalam bentuk peringanan atau pembebasan pajak, pendidikan

dan pelatihan, serta penyediaan infrastruktur (incentive nonmonetary).

(3) Institusi lokal adalah suatu kesatuan (entity) nilai-nilai, norma-norma, adat

istiadat, dan peraturan-peraturan atau kesepakatan kolektif yang berlaku

dalam masyarakat, termasuk organisasi (non formal atau informal) sebagai

wadah yang berfungsi secara sosial, ekonomi, administrasi yang berlaku

secara fungsional maupun struktural dalam mengelola lahan kritis dengan

sistem agroforestri.

(4) Kelembagaan penyuluhan adalah suatu institusi yang melaksanakan

kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh pegawai negeri sipil (PNS),

penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, baik yang berada di tingkat pusat,

provinsi, kabupaten, maupun di tingkat desa.

(5) Kemampuan petani sekitar hutan adalah daya upaya yang dimiliki seseorang

yang merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge), wawasan dan

keterampilan (skill) yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang

diwujudkan melalui tindakan.

(6) Kepemimpinan lokal adalah pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin lokal

sehingga masyarakat setempat secara sukarela mematuhi, meneladani,

(24)

(7) Kesempatan petani sekitar hutan adalah kondisi atau situasi yang dapat

dimanfaatkan oleh petani sekitar hutan untuk meningkatkan kinerjanya

sehingga mendapatkan hasil yang optimal.

(8) Kinerja petani sekitar hutan adalah tingkat prestasi atau keberhasilan petani

sekitar hutan secara keseluruhan selama periode tertentu dalam penerapan

sistem agroforestri di lahan kritis.

(9) Kompetensi adalah karakteristik seseorang yang didasarkan pada perilaku

yang mengembangkan motif, kepribadian, konsep diri, nilai-nilai,

pengetahuan dan keahlian yang dapat digunakan untuk unjuk kinerja yang

unggul (Palan 2007; Spencer dan Spencer 1993).

(10) Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti lahan kosong tidak produktif, lahan yang kemiringannya di atas 15

persen, lahan dengan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, lahan

tambang yang tidak direklamasi, dan lahan rawan bencana (Dephut 2009).

(11) Masyarakat sekitar hutan adalah sekumpulan atau segolongan individu yang

mempunyai adat istiadat, budaya, norma, sanksi dan kedudukan individu

yang berada di perdesaan yang saling berhubungan dalam kehidupan

sehari-hari khususnya dalam mengelola lahan yang ada di sekitar hutan.

(12) Motivasi petani sekitar hutan adalah dorongan yang berasal dari dalam

maupun dari luar individu petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam

penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.

(13) Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku

usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan

dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan

sumber daya lainnya, sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas,

efesiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan

kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2006).

(14) Pemimpin lokal adalah pemimpin yang terdapat di desa seperti Kepala Desa dan perangkatnya, guru, pegawai, pesiunan, kelompok tani, mantan

(25)

(15) Sistem pasar adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan arus jual beli

yang dilakukan oleh masyarakat khususnya dalam memasarkan hasil

penerapan sistem agroforestri.

(16) Strategi penyuluhan adalah langkah-langkah taktis yang diperlukan dalam

(26)

Pengertian Kinerja

Secara etimologi kinerja atau prestasi kerja berasal dari kata performance.

Kata tersebut digunakan untuk menyebutkan hasil pekerjaan yang telah dicapai

oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti prestasi belajar berarti hasil yang

telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau prestasi

dalam bidang lainnya. Istilah kinerja mulai populer setelah digunakan dalam ilmu

manajemen, yang didefinisikan dengan istilah hasil kerja, prestasi kerja dan

performance. Menurut (The Sriber Bantam English Dictionary 1979, diacu dalam

Prawirosentono 2008: 1), menyatakan bahwa:

to perform“ mempunyai beberapa “entries” sebagai berikut: (1) to do or

carry out; executive, (2) to discharge or fulfill, as a vow, (3) to party, as a

character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument, (5) to

execute or complete on undertaking, (6) to act a part in a play, (7) to perform

music, (8) to do what is expected of person or machine”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai berikut:

(1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, dan (3) kemampuan

kerja. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat

pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan

menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan

untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Senada dengan Samsudin, Gibson

et al. (1994) mengemukakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan dalam

melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

pada batasan waktu tertentu. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas atau

pencapaian tujuan ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki individu atau

organisasi dalam kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel 1993).

Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi

tanggungjawab seseorang atau kinerja yang optimal, harus didukung oleh

ketersediaan sarana atau fasilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan dorongan atau motivasi yang kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Gilbert et al.

(1982) dalam artikelnya Behavior Engineering Model, memberikan penekanan

(27)

informasi, kapasitas peralatan yang digunakan dan motif insentif yang diberikan.

Menurut Gilbert, keterampilan dan pengetahuan tersimpan dalam benak atau

pemikiran individu, sedangkan data dan informasi berada di luar internal individu

tetapi tersimpan dalam eksternal manusia, seperti alat bantu kerja (komputer),

petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), atau sistem yang online.

Ketersediaan dan kelayakan fungsi dari peralatan memberikan pengaruh terhadap

kinerja seseorang.

Boselie et al. (2001) dan Lusthaus (2002) memiliki argumen yang

melengkapi beberapa pendapat sebelumnya. Boselie et al. (2001) menyampaikan

bahwa peningkatan kinerja berhubungan dengan motivasi, retensi, iklim sosial

dan kebijakan perusahaan; sedangkan Lusthaus (2002) menyatakan bahwa kinerja

berhubungan dengan kapasitas organisasi, motivasi dan lingkungan organisasi.

Berdasarkan pendapat kedua pakar ini terlihat bahwa kinerja tidak hanya

ditentukan oleh motivasi dan kemampuan yang harus dimiliki oleh pegawai, tetapi

ditentukan juga oleh situasi dan kondisi lingkungan tempat bekerja, hubungan

sosial, komitmen antara karyawan dan pimpinan serta kerjasama antara semua

yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Robbins (2003) menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan

(ability), motivasi (motivations) dan peluang (opportunity), sehingga fungsi

kinerja dapat diilustrasikan = f (A x M x O). Robbins berpendapat bahwa untuk

meraih kinerja yang tinggi dibutuhkan kemampuan yang baik dan semangat

bekerja yang tinggi, namun kedua hal itu saja tidak cukup, masih dibutuhkan satu

hal lain, yaitu kesempatan. Jika kesempatan atau peluang tidak ada maka

kemampuan dan motivasi yang tinggi belum cukup untuk menghasilkan kinerja

yang tinggi. Oleh karena itu, kinerja yang tinggi akan terwujud apabila ada

kemampuan yang memadai, didorong oleh motivasi yang kuat, dan diberikan

kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencoba dan melakukan yang sebenarnya.

Hasibuan (2007: 34) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah

suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang

dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan

(28)

nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh

karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.

Schermerhorn et al. (1994) mengilustrasikan faktor-faktor yang

berhubungan dengan peningkatkan kinerja disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja (Schermerhorn et al. 1994)

Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja)

adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang

diberikan kepadanya. Menurut Mangkunegara, faktor yang mempengaruhi kinerja

antara lain: (1) Faktor kemampuan. Secara psikologis kemampuan (ability)

pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita

(pendidikan). Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang

sesuai dengan keahliannya; dan (2) Faktor motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap

(attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan

kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja.

Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk

berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David McCleland

(Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara

motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu

(29)

sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja dengan predikat terpuji. Ada

enam karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu: (1)

Memiliki tanggung jawab yang tinggi; (2) Berani mengambil risiko; (3) Memiliki

tujuan yang realistis; (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang

untuk merealisasi tujuan; (5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam

seluruh kegiatan kerja yang dilakukan; dan (6) Mencari kesempatan untuk

merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.

Schermerhorn et al. (1994) menyampaikan bahwa kinerja sebagai kualitas

dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu,

kelompok maupun perusahaan. Kinerja mengandung dua komponen penting,

yaitu: (1) Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk

mengidentifikasikan tingkat kinerjanya; dan (2) Produktivitaskompetensi tersebut

dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk

mencapai hasil kinerja (outcome). Meager (2009) menyampaikan bahwa kualitas

pekerjaan yang dibutuhkan dunia kerja ditentukan oleh keterampilan yang

ditunjang oleh pelatihan. Hal senada disampaikan oleh Park (2010) menyatakan

bahwa suksesnya pekerja tergantung dari peluang, motivasi bekerja yang tinggi

dan belajar secara kontinu. Skibba dan Tan (2002) menyampaikan bahwa tingkat

kinerja dalam organisasi dipengaruhi oleh faktor kepribadian, keaktifan,

kemampuan pemimpin dan harga diri terutama dalam konteks sosial. Pendapat

Skibba dan Tan tersebut, diperkuat oleh Kazmi et al. (2006) mengatakan bahwa

prestasi kerja atau kinerja dipengaruhi tingkat stres yang dialami oleh pekerja

yang bersangkutan.

Beberapa pendapat yang disampaikan oleh pakar-pakar terakhir tersebut,

menunjukkan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh peran pemimpin, ciri individu

yang bersangkutan (kemampuan, prakarsa dan inisiatif) untuk menyelesaikan

pekerjaan, jenis dan kualitas pekerjaan, keberanian dalam mengambil risiko,

tingkat stres, tingkat beban pekerjaan, dan kemauan untuk selalu meningkatkan

kompetensi melalui belajar baik secara formal maupun non formal.

Penilaian Kinerja

Dalam rangka melacak kemajuan kinerja, mengidentifikasi kendala, dan

(30)

yang berlangsung terus menerus sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan

masalah yang terjadi. Terkait dengan itu, alasan sebenarnya mengelola kinerja

adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas serta merancang bangun

kesuksesan bagi setiap pekerja.

Berkaitan dengan hal tersebut Bernardin dan Russell (1993)

mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah a way of measuring the

contribution of individuals to their organization. Hasibuan (2007: 88)

memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah evaluasi terhadap perilaku, prestasi

kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan, dengan demikian,

penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi

pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi. Gomes (2003:135) berpendapat

bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memberikan reward kinerja

sebelumnya (to reward past performance,) memotivasi demi perbaikan kinerja

pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement) dan

informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan

untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan

penempatan tugas-tugas tertentu.

Berdasarkan ketiga pendapat dari Bernardin dan Russell, Gomes dan

Hasibuan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap organisasi mutlak melakukan

penilaian untuk mengetahui kinerja yang dicapai oleh setiap pegawai, apakah

telah sesuai atau tidak dengan harapan organisasi.

Rivai (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja adalah proses

mengumpulkan informasi mengenai kinerja ternilai yang didokumentasikan

secara formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan

mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil.

Pengukuran kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi

yang dapat digunakan untuk mengarahkan upaya karyawan melalui serangkaian

prioritas yang diinginkan. Simamora (2004:338) menyebutkan bahwa penilaian

kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk

mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan.

Bocci (2004) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja adalah seberapa

(31)

stakeholder. Senada dengan Bocci, Westin (2005) menyebutkan bahwa

pengukuran kinerja dilakukan mulai dari perencanaan program, pelaksanaan

program (proses), layanan yang dilakukan (output) dan hasil pelaksanaan

program. Syarif (1991: 72) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu

proses untuk mengukur hasil kerja yang dicapai oleh para pekerja dan

dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi yang diminta guna mengetahui

sampai di mana keterampilan telah dicapai. Samsudin (2005:159) menyebutkan

bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses untuk

mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.

Kriteria Penilaian Kinerja

Terkait dengan penilaian kinerja ini, Bernardin dan Russell (1993:383)

mengungkapkan terdapat enam kriteria pokok yang dapat dipakai untuk mengukur

kinerja, yaitu: (1) Quality, sejauh mana kesempurnaan dari hasil yang telah

diperoleh, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum; (2) Quantity, berapa

jumlah yang didapatkan; (3) Timeliness, sejauh mana waktu yang dibutuhkan

untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Cost

effectiveness, efesiensi dalam penggunaan sumber daya untuk mendapatkan

keuntungan yang optimal; (5) Need for supervision, sejauh mana dibutuhkan

pengawasan untuk mendapatkan kualitas yang baik; dan (6) Interpersonal impact,

sejauh mana pekerjaan dapat memberikan dampak pada kebutuhan personal.

Robbins (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tolok ukur kinerja individu yakni:

(a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu. State of Missouri

Office of Administration Division of Personnel, menyatakan bahwa penilaian

kinerja dilakukan melalui lima komponen, yaitu: (1) pengetahuan tentang

pekerjaan, (2) kualitas kerja, (3) situasional, (4) inisiatif atau prakarsa, dan (5)

kepercayaan diri.

Koontz et al. (2004) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja

pegawai antara lain: (1) Inteligensia: berhubungan dengan kemampuan untuk

mengerti kesadaran mental; (2) Pertimbangan: berhubungan dengan sikap

membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya; (3) Inisiatif:

berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; (4) Kekuatan:

(32)

berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang

lain untuk bertindak; (6) Keberanian moril: berhubungan dengan sifat mental yang

membuat seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai hati nurani; (7) Kerjasama:

berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain

untuk mencapai tujuan bersama; (8) Kesetiaan: berhubungan dengan kesesuaian,

kesetiaan, dan kelanggengan; (9) Keteguhan: berhubungan dengan upaya

mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan; (10) Reaksi terhadap

keadaan darurat: berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk

akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga; (11) Daya tahan: berhubungan

dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun; (12) Kerajinan:

berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya; dan (13) Penampilan dan

kerapihan diri serta pakaian: berhubungan dengan harga diri, kelengkapan

seragam, dan kerapihan penampilan.

Untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes

(2003:142) mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat

perhatian dalam mengukur kinerja antara lain: (1) Quantity of work, yaitu jumlah

kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; (2) Quality of

work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan

kesiapannya; (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan

dan keterampilannya; (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang

dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan

yang timbul; (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang

lain sesama anggota organisasi; (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat

dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan; (7) Initiative, yaitu

semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung

jawabnya; dan (8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian,

kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

Stewart (1987: 283) memberikan pedoman penilaian kinerja yang

didasarkan pada: (1) Kepribadian, antara lain: dorongan, kesetiaan dan integritas;

(2) Pekerjaan, antara lain: akurasi, kejelasan, dan kemampuan analitis; dan (3)

Ketepatan sasaran. Mangkunegara (2007: 70) menjelaskan penilaian pekerjaan

(33)

seperti: kepercayaan, kreativitas, kemampuan verbal dan kemampuan memimpin;

dan (2) Pekerjaan yang berhubungan dengan tingkah laku antara lain: kualitas

pekerjaan, kuantitas pekerjaan dan keterampilan yang dimiliki. Hasibuan (2007:

91) menjelaskan rambu-rambu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menilai

suatu pekerjaan seorang karyawan atau individu antara lain: (1) Harus jujur,

objektif, adil dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang unsur-unsur yang

dinilai sehingga dapat melihat fakta secara realitas; (2) Penilaian harus didasarkan

benar atau salah, sehingga terhindari rasa suka atau tidak suka (like or dislike);

(3) Penilai harus memiliki authority formal, sehingga hasil penilaian dapat

dilaksanakan dengan baik; (4) Penilai harus menguasai pekerjaan secara detail,

sehingga hasil penilaian dapat dipertanggungjawabkan secara formal; dan (5)

Penilai harus memiliki keimanan dan kejujuran yang tangguh.

Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut, dapat diambil kesimpulan

bahwa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja harus didasarkan pada kriteria

atau pedoman yang berlaku secara universal dan dirasakan adil oleh semua orang.

Penilaian tersebut harus obyektif, reliabel, jujur, adil dan sesuai dengan kondisi

dan situasi (timebond), sertatidak didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka.

Penelitian tentang Kinerja

Penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2009) menemukan bahwa tingkat

kinerja petani pemandu sebagai penyuluh swadaya di Jawa Barat tergolong

rendah, hal ini disebabkan tidak ada penghargaan baik dari pemerintah maupun

masyarakat setempat. Temuan Effendy tersebut sejalan dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Subagyo (2008), yang menemukan bahwa kapasitas atau

kemampuan kinerja petani termasuk kategori rendah dalam melakukan penerapan

inovasi baru. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesesuaian inovasi,

kebutuhan nyata petani, kepemilikan aset, keterkaitan dengan tradisi dan pengaruh

kepemimpinan masyarakat setempat.

Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri

Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri adalah hasil kerja yang

telah dicapai oleh petani dalam menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis.

(34)

lahan yang ditanami, persentase tegakan yang tumbuh sehat, keragaman jenis

bahan pangan dan terjadinya aksesibilitas jaringan sistem bisnis agroforestri.

Sumber pendapatan petani berasal dari hasil tanaman semusim antara lain:

palawija, jagung, sayuran, padi, ketela, dan pisang. Hasil tanaman keras seperti:

mangga, durian, rambutan, pete, jati, mahoni dan kelapa. Persentase lahan yang

ditanami dengan sistem agroforestri, terutama tanaman tahunan/pokok dan sela,

baik pada lahan milik, sewa, sakap dan pesanggem. Sejalan dengan persentase

luas lahan yang ditanami sistem agroforestri, kinerja petani dapat dilihat melalui

persentase tegakan yang tumbuh dengan sehat. Selain itu, dapat dilihat pula dari

keragaman jenis pangan. Keragaman jenis bahan pangan yang bervariasi dapat

membantu mencegah terjadinya bencana kelaparan pada musim paceklik karena

masyarakat dapat mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras. Terjalinnya

akses jaringan bisnis sistem agroforestri dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat

pengembangan sistem agroforestri.

Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Agroforestri

Istilah kehutanan sosial pertama kali dikenal pada tahun 1978 pada waktu

Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta dengan sebutan Forest for People.

Implementasi kehutanan sosial di Indonesia dimulai tahun 1986 (Awang 2003).

Kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah delapan tahun kongres

berlangsung. Arti kehutanan sosial dan kehutanan masyarakat, pertama kali

diperkenalkan oleh seorang ahli kehutanan bernama Westoby pada tahun 1968

dengan istilah social forestry.

Penerapan perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan di Indonesia

menggunakan istilah yang bermacam-macam (Suharjito et al. 2000 dan Awang

2003), antara lain: community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm forestry

(FF) dan agroforestry (AG). Penerapan istilah-istilah tersebut disesuaikan dengan

kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya

saling mengisi dan melengkapi. Hal yang sama dengan definisi agroforestri juga

bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu penggunanya.

Teori dan konsep agroforestri yang mendasari penelitian ini, adalah:

(35)

(2003); Huxley (1999); dan de Foresta et al. (2000). Untuk melengkapi konsep dan

teori agroforestri tersebut disintesakan beberapa hasil penelitian sistem

agroforestri yang dilakukan pada lahan kritis baik di dalam maupun di luar negeri.

Menurut ICRAF (Huxley 1999), agroforestri adalah sistem penggunaan

lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu,

rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan

rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya

(lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman

berkayu dengan komponen lainnya. Senada dengan ICRAF, Nair (2003)

menyatakan bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di

mana tanaman keras berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan

atau hewan, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di

dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai

komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat, kelestarian alam dan lingkungan.

King dan Chandler (Kartasubrata 2003) mengemukakan bahwa

agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian

yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan dengan mengkombinasikan

tanaman semusim, tanaman hutan dan atau ternak secara bersamaan atau

berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang

sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut De Foresta et al. (2000),

agroforestri merupakan sistem teknologi penggunaan lahan di mana pepohonan

berumur panjang (semak, palm, bambu dan kayu) dan tanaman pangan dan atau

pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam petak yang sama dalam suatu

pengaturan ruang dan waktu, sehingga terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar

unsur-unsurnya.

Lundgren dan Raintree (1982) menyebutkan bahwa agroforestri adalah

istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan

yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan

mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palm, bambu dan

lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang

(36)

interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan suatu

istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki

unsur-unsur: (1) Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia;

(2) Penerapan teknologi; (3) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan

dan/atau ternak atau hewan; (4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu

periode tertentu; dan (5) Ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Cornell dan

Miller (2007) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan sistem

agroforestri dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria yaitu: (1)

Structural basic, yaitu pengaturan dan penambahan jenis tanam akan menambah

keanekaragaman hayati sehingga dapat meningkatkan ketahanan sistem hutan

yang dibangun; (2) Functional basic, yaitu fungsi komponen species yang

berkayu akan mampu meningkatkan jumlah produk dan menjadi pencegah

terjadinya erosi, banjir, tanah longsor, tata air dan mengembalikan kesuburan

tanah; (3) Social economical basic, yaitu sebagai salah satu penyedia sumber

pangan alternatif sehingga dapat membantu mengentaskan kemiskinan; dan

(4) Ecological basic, yaitu secara lingkungan membantu dalam mengatasi

kekeringan sehingga alam menjadi lestari.

Bentuk-bentuk Agroforestri

Klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen yang membentuknya

dibedakan sebagai berikut: (a) Sistem agrisilvopastur yaitu penggunaan lahan

secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus

hasil-hasil pertanian dan kehutanan; (b) Sistem sylvopastoral yaitu suatu sistem

pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak;

(c) Sistem agrosylvopastora yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk

memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus

untuk memelihara hewan ternak; dan (d) Multiple purpose tree species (MPTS)

yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya

untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat

digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak.

Vergara (1982) membedakan sistem agroforestri sebagai berikut:

(37)

acak, perladangan berpindah, tumpang sari dan pekarangan. Nair (2003)

mengelompokkan sistem agroforestri dalam kelompok besar yaitu: (1) Sistem

agrisilvikultur terdiri dari: improved fellow (bera), taungya (tumpang sari), alley

cropping/hedgrowt (tanaman lorong), multilayer tree garden (kebun hutan),

planating crop combinations (kebun campuran), home garden (pekarangan

rumah), shelterbelts and windbreaks (pemecah angin), live hedges (pagar hidup),

dan fuelwood productions; dan (2) Sistem silvopastoral, yaitu tanaman dipadukan

dengan hewan atau padang penggembalaan.

De Foresta et al. (2000: 1-5) dan Lusiana et al. (2002: 2-5) membedakan

agroforestri menjadi dua sistem yaitu: sistem agroforestri sederhana dan

kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana

pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan salah satu tanaman semusim.

biasanya tanaman yang dipadukan adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi

tinggi seperti: kopi, kakao, karet, kelapa, mangga, nangka, jati dan mahoni;

sedangkan tanaman semusimnya antara lain: padi, jagung, kacang-kacangan, ubi

kayu dan sayur-sayuran. Bentuk sistem agroforestri sederhana atau tumpang sari,

telah lama dilaksanakan di Perhutani Ngantang Malang berupa tumpang sari

antara kopi dan pinus. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian

menetap yang menanam banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon), baik

sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola

petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan.

Bentuk-bentuk agroforestri kompleks antara lain kebun dan hutan. Contoh agroforestri

kompleks, antara lain: kebun campuran di Bogor, Ciamis, Wonosobo, Wonogiri;

Repong Damar di Krui Lampung; Talun di Banten; Tembawang di Kalimantan

Barat; dan Lembo di Kalimantan Timur.

Bentuk sistem agroforestri yang telah diterapkan di Kabupaten Pati dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu: bagian barat di bawah Gunung Muria yang

memiliki lahan cukup subur, didominasi tanaman buah-buahan, kacang tanah,

kopi, singkong, randu, tebu dan jati. Bagian selatan ke timur di sepanjang

Pegunungan Kendeng yang lahannya sangat kritis dan menjadi hulu DAS Juana,

(38)

Tujuan dan Fungsi Agroforestri

Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memiliki tujuan antara lain:

(1) Penghutanan kembali; (2) Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak; (3)

Penyediaan kayu bangunan dan kayu bakar; (4) Mencegah migrasi penduduk ke

kota; (5) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan

memanfaat-kan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat

terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna

mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat; dan (6) Mengurangi

pemanasan global.

Menurut Huxley (1999) menyatakan bahwa fungsi sistem agroforestri

adalah: (1) Mengontrol atau mengurangi erosi; (2) Memelihara bahan organik

tanah; (3) Meningkatkan kondisi fisik tanah; (4) Menambah jumlah nitrogen

dengan penanaman pohon yang dapat menfiksasi nitrogen; (5) Menyediakan hara

mineral dalam tanah; (6) Membentuk sistem agroekologi; (7) Mengurangi

kemasaman tanah; (8) Mereklamasi lahan; (9) Meningkatkan kesuburan tanah;

(10) Meningkatkan aktivitas biologi tanah; (11) Adanya asosiasi mikoriza pada

campuran pohon dan pertanian; (12) Meningkatkan penangkapan hujan, cahaya,

hara mineral dan produksi biomasa; dan (13) Meningkatkan efisiensi

penangkapan cahaya, air dan hara mineral.

von Moydell (1986) menyebutkan bahwa sistem agroforestri dapat

membantu memecahkan masalah dalam: (1). Menjamin dan memperbaiki

kebutuhan alternatif bahan pangan; (2) Memperbaiki penyediaan energi lokal,

khususnya produksi kayu bakar; (3) Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif

dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan dan pertanian; (4)

Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan

sebagian besar masyarakatnya miskin; dan (5) Memelihara dan memperbaiki

kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat, yaitu: mencegah terjadinya

erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati,

perbaikan tanah melalui fungsi pohon. Shelterbelts, pohon pelindung (shade

trees), windbrake, pagar hidup (life fence), dan pengelolaan sumber air secara

(39)

Sistem Agroforestri sebagai Sistem Pengelolaan Lahan Berkelanjutan

Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman

dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu. Siklus sistem

agroforestri selalu lebih dari satu tahun. Penanaman dapat dilakukan secara

bergilir atau bergantian sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan lanskap

lahan dengan memperhatikan konsep triple botton line benefite, yaitu lingkungan

(ekologi), masyarakat (sosial-budaya) dan ekonomi (Arifin et al. 2009: 14). Sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Arifin et al. Tomas Hak et al.

(2007) dan Mitchell et al. (2003) menyebutkan bahwa selain ketiga konsep

tersebut yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah konsep

institusional yang di dalamnya menyangkut partisipasi, pemberdayaan masyarakat

dan kaum perempuan, serta penegakan hukum. Konsep institusional ini berperan

dalam implementasi dari ketiga konsep pembangunan berkelanjutan.

Konsep ekologi seyogyanya dilakukan berorientasi pada kepentingan

konservasi lingkungan sehingga kondisi nyaman lingkungan dapat terjaga dengan

baik. Penanaman tanaman pada lahan-lahan yang marginal diharapkan dapat

mengembalikan fungsi lahan, mencegah longsor dan terjadi penyerapan air

sehingga mencegah terjadinya erosi. Bahkan sistem agroforestri mampu

memberikan sumbangan yang cukup besar dalam penyerapan karbon (rosot), dan

menjaga kesegaran udara. MFP (2009) menyampaikan bahwa sistem agroforestri

atau kebun campuran memberikan sumbangan rosot (penyerapan karbon) yang

cukup efektif sehingga udara tidak tercemar polusi.

Ditinjau dari sosial budaya, pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri

harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat baik secara rohani maupun

jasmani. Pelaksanaan agroforestri harus memberikan sumbangan pada penyediaan

bahan pangan alternatif sehingga masyarakat memiliki kecukupan atau keamanan

pangan pada musim paceklik. Hasil penelitian di daerah kritis DAS Khlong Peed

Thailand yang dilakukan oleh Wachrinrat dan Khlangsap (2007) menemukam

bahwa sistem agroforestri dengan kebun campuran antara lain: kebun buah

campuran, kebun nanas, kebun karet lebih diminati oleh masyarakat dibanding

dengan tanaman monokultur sawit. Pranaji (2006) menemukan bahwa kondisi

Gambar

Tabel 1.  Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Risiko Ancaman
Tabel 3. Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya
Tabel 3. Lanjutan
Tabel 3. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Esensi pendapat di atas, memiliki kompleksitas permasalahan yang memerlukan perhatian sangat besar dari seorang guru dalam membuat konsep pembelajaran. Maka guru

Hal tersebut dapat terlaksana bila guru berperan langsung dalam mengajar dan mendidik peserta didik sehingga dapat ditingkatkan kemampuannya, dibina secara teratur

Untuk mengetahui usaha yang telah di tempuh oleh pekerja sosial dalam meningkatkan sikap toleransi antara lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha

Dari hasil studi pendahuluan dalam penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti dan guru bersama–sama merumuskan permasalahan yang dirasakan didalam kelas. Guru

Nisa‟ul Karimah, Dalam Penelitiannya Yang Berjudul , Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Berdasarkan Gaya Belajar Pada Materi Garis Dan Sudut Kelas VII SMPN 1 Ngunut

Pada menit ke-1 pasca aktifitas fisik tekanan sistolik testi sebesar 130 mmHg jauh berbeda dengan rerata pra latihan yaitu 106,6 mmHg dan tekanan sistolik testi di atas normal

Assessment is a key issue in translation studies. It is perhaps what translation theory is all about. A multitude of translation quality assessment models have been devised,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pemilihan mata pencaharian pedagang didasari oleh dua faktor, meliputi faktor internal adalah hilangnya