LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI
SUMARLAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
System Applied in Critical Land of Pegunungan Kendeng in Pati. Advisor Commission: SUMARDJO (Chief Advisor), PRABOWO TJITROPRANOTO and DARWIS S. GANI (as members).
Critical area of land is increasing from year to year, this occurs because of inappropriate management of the land area. One effort which may overcome this problem is applying agroforestry systems. However, the agroforestry system still have problems on how far the farmers performance and the determiners of the performance which will affect to the sustainability of the agroforestry systems on critical lands. Research objectives are: (1) to analyze the farmers performance and the determiners of the performance that will affect to the sustainability of the agro-forestry systems on degraded lands, (2) to analyze the forestry extension support to the determiners of the farmer performance, and (3) to develop appropriate strategy for extension activities in order to improve the farmer performance. Data are analyzed through three methode: (1) biplot, (2) descriptive statistics, (3) and SEM (Structural Equation Modeling). The result of the study could be summarized as follows: (1) The farmer performance of Pegunungan Kendeng are still low. This condition are reflected on the: (a) low level income, (b) limited types of food diversity, and (c) absence of business network in agroforestry system. Nevertheless, the farmer performance has significant and positive impact to the sustainability of agroforestry systems. The condition of the performance determinants is in a relatively strong level; this condition is reflected on (a) the farmer motivation is relatively strong, (b) enough availability of farmer’s opportunities (c) the acceptable farmer’s skills. This reflects that the farmer determinants positively and significantly affect to the farmer performance. (2) The support of forestry extension is still considered low; this condition is reflected on their low level on basic competence and on technical mastery. Nonetheless, the forestry extension supports are significantly and positively affect to the farmer motivation and opportunities. (3) In designing the strategy of forestry extension to improve the farmer performance and the sustainability of the agroforestry system, it needs to consider: the farmer motivation, the farmer work opportunities and the farmer capabilities.
Keywords: performance, farmer around forest, agroforestry systems, and
Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati. Komisi Pembimbing: SUMARDJO (Ketua), PRABOWO TJITROPRANOTO dan DARWIS S. GANI (masing-masing sebagai anggota).
Lahan kritis di Indonesia semakin bertambah luas dari tahun ke tahun yang disebabkan pengelolaan lahan yang tidak tepat sehingga menimbulkan berbagai bencana yang menyengsarakan kehidupan manusia. Untuk mencegah agar tidak terjadi bencana, perlu dilakukan pengelolaan secara tepat, salah satunya dengan penerapan sistem agroforestri. Terkait dengan hal tersebut, permasalahannya adalah sejauhmana tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor-faktor penentu tingkat kinerja. Selain itu, sejauhmana dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.
Tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor penentu tingkat kinerja; (2) Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis; dan (3) Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011 di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati, dengan pertimbangan bahwa Pegunungan Kendeng merupakan lahan kritis yang menjadi hulu sub DAS Juana dan apabila pengelolaannya tidak tepat menjadi penyebab banjir terbesar di Kabupaten Pati dan Kudus. Penelitian didesain sebagai explanatory research dengan jumlah sampel 400 responden dan unit analisis adalah kepala keluarga petani. Analisis data menggunakan: (1) biplot dengan bantuan program wolfram, (2) statistik deskriptif, dan (3) Analisis SEM dengan bantuan software LISREL 8.70.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan petani, kurangnya keragaman jenis pangan, tidak terjalinnya jejaring bisnis sistem agroforestri. Rendahnya kinerja petani sekitar hutan tersebut menyebabkan rendahnya keberlanjutan penerapan sistem agroforestri.
penyuluh jarang sekali melaksanakan penyuluhan. Penyebab rendahnya dukungan penyuluhan adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang menangani bidang penyuluhan dan belum terbentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh).
Rendahnya dukungan penyuluhan menyebabkan lemahnya motivasi, rendahnya kesempatan dan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Hal ini terjadi karena petani lebih mampu atau terampil dibandingkan penyuluh, sebab tumpang sari salah satu bentuk sistem agroforestri telah petani lakukan secara turun temurun. Selain itu, sistem agroforestri tersebut sesuai dengan kebutuhan petani, karena melalui sistem agroforestri petani mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil tanaman semusim, kebutuhan masa depan dari tanaman keras dan sistem agroforestri mampu mengakomodasi budaya petani. Meskipun demikian, dukungan penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani khususnya kemampuan generasi muda keturunan petani yang ada saat ini dan para pendatang yang menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis.
Strategi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, dilakukan dengan: (1) Penguatan intensitas dan dukungan penyuluhan untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani melalui: pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan dan fasilitas penyuluhan; dan (2) Mengembangkan hubungan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga lokal seperti: kelompok tani, penyuluh swasta, penyuluh swadaya, Perhutani, perusahaan saprodi, perusahaan kayu dan perusahaan pakan.
Kata Kunci: kinerja, petani sekitar hutan, sistem agroforestri,dan pengelolaan lahan kritis.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyebut sumber.
(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
(b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB.
(2) Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya
LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI
SUMARLAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi :
Penguji Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Prof. Dr. Pang S. Asngari
Dosen Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB.
Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc
Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Dr. Ir. Eka W. Soegiri, MM
Nama : Sumarlan
NRP : I.361090081
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Tanggal Ujian: 9 Januari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati.
Sungguh tidak berbudi orang tersebut setelah mendapat bantuan tidak menyampaikan apapun. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S; Dr. Prabowo Tjitropranoto dan Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A; selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini; Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dan Prof. Dr. Pang S. Asngari, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Letti Sundawati, MSc dan Dr. Eka W. Soegiri, MM; yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka; Dosen PPN dan IPH Fahutan IPB, yang telah mambagikan ilmu dan pengalaman selama kuliah; Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan seluruh Camat Pegunungan Kendeng beserta staf, yang telah memfasilitasi selama penelitian; Kepala Pusdikat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3; Secara khusus, disampaikan terima kasih kepada para responden, enumerator dan seluruh petani Pegunungan Kendeng, yang telah membantu memberikan data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini; (Alm) Bapak dan (Alm) Ibu tercinta yang telah memelihara, merawat, menjaga, membesarkan dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh, serta tiada henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan penulis; Kakak, saudara dan semua keponakan, serta Bapak dan Ibu mertua dan saudara-saudara ipar yang telah mendoakan dan memotivasi moril selama penulis mengikuti pendidikan; Kawan-kawan seperjuangan PPN angkatan 2009 serta semua pihak yang telah membantu sejak dari awal sampai terselesainya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri tersayang Elis Kartikasari dan putera-puteri tercinta Pascal dan Claresta atas doa, ketabahan, kesabaran, pengertian dan keikhlasan mendampingi penulis selama mengikuti studi ini. Semoga amal baik Bapak/ibu dan Saudara-saudara mendapat pahala dari Allah SWT.
Artikel ilmiah yang merupakan bagian dari hasil penelitian ini dengan judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati; telah diterbitkan oleh Wetlands International Vol. 19 No. 2 Edisi Juli 2011; dan Jurnal Penyuluhan Vol. VIII No. 1 Tahun 2012.
Tiada yang sempurna di dunia fana ini, kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk memperbaiki disertasi ini peneliti terima dengan senang hati. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Amien, terima kasih.
pada tanggal 5 Maret 1969 dari Ayah (Alm) Karno dan Ibu (Alm) Marni, sebagai
anak kedua dari dua bersaudara.
Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Sidorejo di
Sidoarum-Pati lulus pada tahun 1983. Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Jakenan lulus
pada tahun 1985. Lalu, dilanjutkan di SMA Negeri Jakenan-Pati lulus pada tahun
1988. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA, Program Studi Pendidikan
Matematika di Universitas Cenderawasih Jayapura dan lulus pada tahun 1994.
Pada tahun 1995 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil lingkup
Departemen Kehutanan dan bekerja pada Sekolah Kehutanan Menengah Atas
Manokwari sebagai guru matematika sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2000
pindah ke Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor sebagai staf penyelenggara
diklat. Tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan (PPN) atas biaya dari Departemen Kehutanan, lulus pada tahun
2004. Pada tahun 2003-2006, penulis bekerja sama dengan CIFOR, MFP (DFID)
dan TNC. Kemudian pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai Kepala Seksi
Penyelenggaraan Diklat pada Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor. Kesempatan
untuk mengikuti pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) penulis peroleh pada tahun 2009 atas biaya
Departemen Kehutanan.
Penulis menikah dengan Elis Kartikasari pada tahun 1999 dianugerahi dua
orang anak: Muhammad Pascal Kashfuzunnun lahir di Manokwari pada 15 Juni
2000 dan Claresta Putri Ailsa lahir di Bogor pada 23 Juli 2005.
DAFTAR TABEL …………..………..………. xv
DAFTAR GAMBAR ……..……….…….……...………... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ……….... xviii
PENDAHULUAN………... 1
Latar Belakang……….………... 1
Masalah Penelitian………...………... 2
Tujuan Penelitian……….……….. 3
Kegunaan Penelitian…………..………..…... 4
Definisi Istilah ………... 5
TINJAUAN PUSTAKA……….. 8
Kinerja Petani dalam Penerapan Sisten Agroforestri ……… 8
Pengertian Kinerja ... 8
Penilaian Kinerja ... 11
Kiteria Penilaian Kinerja ... 13
Penelitian tentang Kinerja ... 15
Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ... 15
Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 16
Pengertian Agroforestri ... 16
Bentuk-bentuk Agroforestri ... 18
Tujuan dan Fungsi Agroforestri ... 20
Sistem Agroforestri sebagai Pengelolaan Lahan Berkelanjutan .... 21
Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 23
Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 24
Pengertian Motivasi ... 24
Penelitian Motivasi Petani ... 27
Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 28
Kesempatan Petani dalam Menerapkan Sistem Agroforestri ... 29
Pengertian Lahan Kritis ... 38
Masyarakat Sekitar Hutan ... 40
Karakteristik Petani ... 42
Dukungan Penyuluh dalam Penerapan Sistem Agroforestri ... 46
Definisi Penyuluhan ... 46
Falsafah Penyuluhan ... 50
KERANGKA BERPIKIR ... 65
Paradigma Pembangunan Kehutanan ... 65
Paradigma Penyuluhan Kehutanan... 67
Kinerja Petani Wujud Pergeseran Pembangunan Kehutanan ... 68
Hubungan antar Peubah ... 69
Hipotesis Penelitian ... 81
Kinerja sebagai Paradigma Ilmu ... 81
METODE PENELITIAN ………... 83
Rancangan Penelitian ….………... 83
Populasi dan Teknik Sampling ……….………. 84
Populasi dan Sampel ……….. 84
Teknik Sampling ……… 84
Unit Analisis ……….. 85
Lokasi dan Waktu ……….. 85
Pengumpulan Data dan Instrumentasi Penelitian ……….. 85
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ………. 87
Definisi Operasional dan Pengukuran .……….. 88
Teknik Analisis Data ……….. 97
GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG ………. 101
Letak Geografis Kabupaten Pati ………... 101
Iklim Kabupaten Pati ………. 101
Topografi dan Jenis Tanah ……..………. 102
Penggunaan Lahan Kabupaten Pati ………. 103
DESKRIPSI PETANI PEGUNUNGAN KENDENG DAN DUKUNGAN PENYULUHAN ……….. 107
Karakteristik Individu Petani …….………... 107
Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……… 112
Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. 117
Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. 125
Dukungan Penyuluhan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 134
Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….. 143
Sistem Agroforestri ……… 158
Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….... 162
Pengaruh Dukungan Penyuluhan Terhadap Perkembangan Faktor- faktor Penentu Kinerja Petani dalam Sistem Agroforestri………. 175
Kontribusi Hasil Penelitian pada SKKNI Penyuluhan Kehutanan …... 183
Strategi Penyuluhan dalam Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……... ……….. 186
Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Kehutanan ……….. 193
SIMPULAN DAN SARAN ………. 198
Simpulan ………... 198
Saran ……….. 199
1. Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Resiko Ancaman……….. 40
2. Orientasi Kelembagaan Sistem Penyuluhan……… 53
3. Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya ……….. 62
4. Pergeseran Konseptual Pembangunan Kehutanan ……… 66
5. Perubahan Paradigma Penyuluhan Kehutanan ………. 68
6. Ciri-ciri Motivasi Petani dalam Penerapan Agroforestri ……….. 72
7. Ciri-ciri Kesempatan Petani yang Terbuka dan Terbatas dalam Penerapan Sistem Agroforestri……….... 73
8. Ciri-ciri Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri ……….. 75
9. Ciri-ciri Dukungan Penyuluhan Partisipatif dan Mobilitatif ………... 76
10. Paradigma Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ……… 80
11. Paradigma Berkelanjutan Penerapan Sistem Agroforestri ………. 81
12. Kinerja sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan ……… 82
13. Sebaran Populasi dan Ukuran Sampel Penelitian ………... 85
14. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan ..……… 88
15. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Dukungan Penyuluhan terhadap Petani Sekitar Hutan ……… 89
16. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ……… 91
17. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri………. 92
18. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri………. 94
19. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ……….……….. 96
20. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri………... 97
21. Penulisan Umum Notasi SEM ……… 98
22. Rincian Ketinggian Pegunungan Kendeng ( m dpal) ………. 102
23. Perbandingan Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati dan Pegunungan Kendeng ………... 104
24. Sebaran Karekteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 107
25. Hubungan antar Indikator Karakteristik Individu Petani dalam Penerapam Sistem Agroforestri………... 108
29. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kesempatan Petani
dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……….……... 118 30. Perbandingan Harga Kayu di Tingkat Petani dan Perusahaan ……… 121 31. Sebaran Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …….. 126 32. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kemampuan Petani
dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. 127 33. Sebaran Dukungan Penyuluhan Terhadap Kinerja Petani dalam
Penerapan Sistem Agroforestri……….…… 134 34. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Dukungan Penyuluhan
Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………. 135 35. Sebaran Kemampuan Penyuluh Menurut Penguasaan Kompetensi
Dasar Penyuluhan……….... 136 36. Sebaran Penyuluh Kehutanan Menurut Tempat Tugas dan Jumlah yang
Terdapat di Pegunungan Kendeng ……….. 141
37. Sebaran Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …. 144 38. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Kinerja Petani dalam
Penerapan Sistem Agroforestri ………... 144 39. Sebaran Keberlanjutan Penerapan Agoforestri pada Lahan Kritis ..……... 149 40. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Keberlanjutan dalam
Penerapan Sistem Agroforetsri ………... 150 41. Dekomposisi antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja ………. 10 2. Kerangka berpikir konseptual penelitian kinerja petani ………. 69 3. Hubungan antar peubah peningkatan kinerja petani ……… 71 4. Diagram Jalur Persamaan Sruktural Peningkatan Kinerja Petani dalam
Penerapan Sistem Agroforestri ……….………... 99 5. Peta lokasi penelitian kinerja petani dalam sistem agroforestri ….……… 106 6. Analisis Biplot Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan
dalamPenerapan Sistem di Lahan Kritis……….. 154 7. Analisis SEM peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem
agroforestri (standardized)……….……….. 155 8. Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem
agroforestri ……….. 158 9. Pengaruh faktor-faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani dalam
penerapan sistem agroforestri ………. 163 10. Pengaruh dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor Penentu
kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri ……… 175 11. Rancangan strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani
1. Validitas dan reliabilitas hasil ujicoba kuesioner …….………... 214
2. Hasil analisis Comfirmatory Factor Analysis(CFA) ……….. 215
3. Hasil analisis SEM tahap satu ……… 230
Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang
sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis.
Kondisi ini menyebabkan iklim di Indonesia memiliki suhu yang cukup tinggi
sepanjang tahun dan kelembaban udara yang relatif tinggi sehingga menjadikan
wilayah Indonesia sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis
tumbuhan dan hewan yang sangat beragam dan berlimpah. Selain itu, Indonesia
memiliki beragam jenis kandungan mineral dan bahan tambang yang tersimpan di
dalam dan di permukaan bumi nusantara. Di lain pihak, tata guna lahan dan
penutupan lahan juga berubah sangat cepat dalam merespon perubahan
perekonomian, kependudukan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
khususnya setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan pasca
diberlakukannya otonomi daerah. Dengan dalih reformasi memberikan peluang
yang sangat luas pada pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan juga kemajuan
dalam bidang komunikasi sehingga membuka hambatan-hambatan yang selama
ini mengekang, terutama pada masa orde baru. Konektivitas antara faktor
biofisik/ekologis, sosial, ekonomi, dan faktor budaya spiritual di dalam bentang
lahan adalah suatu hal utama untuk mendukung keamanan dan kenyamanan
kehidupan bermasyarakat secara luas. Oleh karena itu, struktur fungsi lahan dan
perubahan fungsi lahan secara keseluruhan baik skala mikro maupun makro harus
dipahami secara mendalam oleh semua pihak agar memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat.
Ketidakpahaman dalam mengelola perubahan fungsi lahan memberikan
sumbangan yang besar terhadap laju kerusakan hutan dan lahan. Menurut Word
Bank (2002), laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per
tahun. (Geist dan Lambin 2002, diacu dalam Arifin et al. 2009: 48-49) dan
Hairiah et al. (2003) menjelaskan bahwa pendorong utama terjadinya kerusakan
kawasan hutan menjadi lahan kritis adalah terjadi konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, transmigrasi dan perkebunan, serta
Dampak dari laju kerusakan hutan yang terus bertambah, menyebabkan
lahan kritis juga bertambah. Berdasarkan data Ditjen BP-DAS dan Perhutanan
Sosial Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan
tahun 2006 mencapai 30,2 juta hektar, 3,3 persen terdapat di Provinsi Jawa
Tengah, sedangkan di Kabupaten Pati seluas 48.956 hektar (BP DAS Pemali
Jratum 2009) yang sebagian besar terletak pada Pegunungan Kendeng.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut adalah
melakukan gerakan rehabilitasi lahan (Gerhan) dengan sistem agroforestri.
Kegiatan tersebut kurang mendapat respon yang positif dari masyarakat karena,
kegiatan tersebut lebih mengutamakan hal-hal bersifat teknis dan administrasi.
Kartodiharjo (2006) menyatakan bahwa pelaksanaan Gerhan dapat berhasil
dengan baik apabila kegiatan tersebut menyentuh secara langsung hajat
masyarakat dan melibatkan masyarakat setempat. Pernyataan tersebut
mengisyaratkan bahwa keterlibatan masyarakat di sekitar hutan dapat menjamin
keberhasilan pengelolaan lahan kritis yang ditunjukkan dengan meningkatkan
kinerjanya.
Menurut perspektif manajemen, meningkatkan kinerja petani tidak terlepas
dari kemampuan, kesempatan dan motivasi. Ketiga hal tersebut harus ada dan
berjalan secara seimbang, karena jika salah satunya tidak terpenuhi mustahil akan
mencapai kinerja (performance) yang tinggi (Robbins 2003). Selain itu, perlu
adanya karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh yang
berkompeten. Keberadaan penyuluh dalam pengelolaan lahan kritis sangat
dibutuhkan (Friday et al. 2000), karena dapat membantu petani untuk mengenal
dan memecahkan permasalahannya, khususnya dalam penerapan teknologi yang
tepat untuk mengelola lahan kritis. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Pati yang mempunyai lahan kritis di Pegunungan Kendeng telah
menempatkan Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan (SK. Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Nomor: 826.4/98/2009).
Masalah Penelitian
Salah satu cara untuk mengatasi lahan kritis adalah dengan menerapkan
inovasi pengelolaan lahan yang tepat, antara lain melalui inovasi sistem
mengembalikan kesuburan tanah, mencegah banjir, tanah longsor, menyerap air
dan menyediakan alternatif bahan pangan (von Moydell 1986).
Penerapan sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani sekitar hutan
dapat berhasil dengan baik tergantung dari motivasi, kesempatan dan kemampuan
petani. Oleh karena itu, tumbuhnya etos kerja petani ditentukan oleh pengetahuan
dan keterampilan yang dimilikinya, sebab dengan pengetahuan yang dimilikinya,
petani akan dapat membaca peluang dan menciptakan kesempatan, sehingga dapat
mengelola lahannya dengan tepat dan memberikan hasil yang optimal. Kondisi ini
akan berhasil dengan baik, apabila petani memiliki motivasi yang kuat dan
mampu menjaga motivasinya agar tidak cepat luntur jika mengalami kegagalan.
Upaya untuk dapat menjaga motivasi, menciptakan kesempatan, dan
meningkatkan kemampuan dalam penerapan sistem agroforestri tersebut,
memerlukan karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh
yang berkompeten agar dapat membangkitkan dan mendampingi petani sehingga
petani menjadi mandiri, berdaya dan tidak tergantung pada orang lain.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini berfokus pada masalah:
(1) Sejauhmana tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap
keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor
penentu kinerja petani sekitar hutan di Pegunungan Kendeng?
(2) Sejauhmana dukungan penyuluhan berpengaruh pada faktor-faktor penentu
tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di
Pegunungan Kendeng?
(3) Bagaimanakah strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan
kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
(1) Menganalisis tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap
keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor
(2) Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh pada faktor-faktor
penentu kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di
Pegunungan Kendeng.
(3) Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja
petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan
Kendeng.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaan secara akademis
(keilmuan) dan praktis:
(1) Kegunaan secara akademis/keilmuan, yaitu:
(a) Memperkaya kajian tentang kinerja petani sekitar hutan dalam
penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, khususnya yang
berhubungan dengan motivasi petani, kesempatan yang tersedia bagi
petani dan kemampuan petani sekitar hutan.
(b) Memberikan informasi kepada para peneliti bidang sosial agar dapat
melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang
kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.
(2) Kegunaan secara praktis yaitu: memberikan masukan atau informasi kepada
Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dan pihak lain
yang terkait, dalam menyusun kebijakan penyuluhan yang berhubungan
dengan kinerja petani sekitar hutan, khususnya dalam penerapan sistem
agroforestri harus memperhatikan kemampuan dan pengetahuan lokal yang
ada di daerah atau bersifat adaptif dan proses pelaksanaannya dilakukan
secara kemitraan atau kolaboratif dengan lembaga-lembaga lokal.
(a) Nilai kebaruan atau novelty, yaitu:
(a) Tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem
agroforestri tidak hanya ditentukan oleh kemampuan, motivasi dan
kesempatan, tetapi juga perlu memperhatikan lingkungan petani.
(b) Pada kegiatan yang telah ditekuni petani secara turun temurun seperti
penerapan sistem agroforestri, dukungan penyuluhan tidak
berpengaruh secara langsung meningkatkan kemampuan petani tetapi
memberikan kesempatan petani. Meskipun demikian, untuk generasi
muda keturunan petani dan para pendatang dukungan penyuluhan
dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani.
Definisi Istilah
(1) Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di mana
tanaman keras berkayu ditanam bersamaaan dengan tanaman semusim, dan
atau ternak, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di
dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai
komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan lingkungan (Nair 2003).
(2) Insentif adalah bantuan yang berasal dari pemerintah yang diperuntukkan
bagi masyarakat yang melakukan pengelolaan lahan dengan sistem
agroforestri dalam bentuk peringanan atau pembebasan pajak, pendidikan
dan pelatihan, serta penyediaan infrastruktur (incentive nonmonetary).
(3) Institusi lokal adalah suatu kesatuan (entity) nilai-nilai, norma-norma, adat
istiadat, dan peraturan-peraturan atau kesepakatan kolektif yang berlaku
dalam masyarakat, termasuk organisasi (non formal atau informal) sebagai
wadah yang berfungsi secara sosial, ekonomi, administrasi yang berlaku
secara fungsional maupun struktural dalam mengelola lahan kritis dengan
sistem agroforestri.
(4) Kelembagaan penyuluhan adalah suatu institusi yang melaksanakan
kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh pegawai negeri sipil (PNS),
penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, baik yang berada di tingkat pusat,
provinsi, kabupaten, maupun di tingkat desa.
(5) Kemampuan petani sekitar hutan adalah daya upaya yang dimiliki seseorang
yang merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge), wawasan dan
keterampilan (skill) yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang
diwujudkan melalui tindakan.
(6) Kepemimpinan lokal adalah pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin lokal
sehingga masyarakat setempat secara sukarela mematuhi, meneladani,
(7) Kesempatan petani sekitar hutan adalah kondisi atau situasi yang dapat
dimanfaatkan oleh petani sekitar hutan untuk meningkatkan kinerjanya
sehingga mendapatkan hasil yang optimal.
(8) Kinerja petani sekitar hutan adalah tingkat prestasi atau keberhasilan petani
sekitar hutan secara keseluruhan selama periode tertentu dalam penerapan
sistem agroforestri di lahan kritis.
(9) Kompetensi adalah karakteristik seseorang yang didasarkan pada perilaku
yang mengembangkan motif, kepribadian, konsep diri, nilai-nilai,
pengetahuan dan keahlian yang dapat digunakan untuk unjuk kinerja yang
unggul (Palan 2007; Spencer dan Spencer 1993).
(10) Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti lahan kosong tidak produktif, lahan yang kemiringannya di atas 15
persen, lahan dengan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, lahan
tambang yang tidak direklamasi, dan lahan rawan bencana (Dephut 2009).
(11) Masyarakat sekitar hutan adalah sekumpulan atau segolongan individu yang
mempunyai adat istiadat, budaya, norma, sanksi dan kedudukan individu
yang berada di perdesaan yang saling berhubungan dalam kehidupan
sehari-hari khususnya dalam mengelola lahan yang ada di sekitar hutan.
(12) Motivasi petani sekitar hutan adalah dorongan yang berasal dari dalam
maupun dari luar individu petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam
penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.
(13) Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku
usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan
dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan
sumber daya lainnya, sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas,
efesiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan
kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2006).
(14) Pemimpin lokal adalah pemimpin yang terdapat di desa seperti Kepala Desa dan perangkatnya, guru, pegawai, pesiunan, kelompok tani, mantan
(15) Sistem pasar adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan arus jual beli
yang dilakukan oleh masyarakat khususnya dalam memasarkan hasil
penerapan sistem agroforestri.
(16) Strategi penyuluhan adalah langkah-langkah taktis yang diperlukan dalam
Pengertian Kinerja
Secara etimologi kinerja atau prestasi kerja berasal dari kata performance.
Kata tersebut digunakan untuk menyebutkan hasil pekerjaan yang telah dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti prestasi belajar berarti hasil yang
telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau prestasi
dalam bidang lainnya. Istilah kinerja mulai populer setelah digunakan dalam ilmu
manajemen, yang didefinisikan dengan istilah hasil kerja, prestasi kerja dan
performance. Menurut (The Sriber Bantam English Dictionary 1979, diacu dalam
Prawirosentono 2008: 1), menyatakan bahwa:
“to perform“ mempunyai beberapa “entries” sebagai berikut: (1) to do or
carry out; executive, (2) to discharge or fulfill, as a vow, (3) to party, as a
character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument, (5) to
execute or complete on undertaking, (6) to act a part in a play, (7) to perform
music, (8) to do what is expected of person or machine”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai berikut:
(1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, dan (3) kemampuan
kerja. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat
pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan
menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan
untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Senada dengan Samsudin, Gibson
et al. (1994) mengemukakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan dalam
melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
pada batasan waktu tertentu. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas atau
pencapaian tujuan ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki individu atau
organisasi dalam kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel 1993).
Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi
tanggungjawab seseorang atau kinerja yang optimal, harus didukung oleh
ketersediaan sarana atau fasilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan dorongan atau motivasi yang kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Gilbert et al.
(1982) dalam artikelnya Behavior Engineering Model, memberikan penekanan
informasi, kapasitas peralatan yang digunakan dan motif insentif yang diberikan.
Menurut Gilbert, keterampilan dan pengetahuan tersimpan dalam benak atau
pemikiran individu, sedangkan data dan informasi berada di luar internal individu
tetapi tersimpan dalam eksternal manusia, seperti alat bantu kerja (komputer),
petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), atau sistem yang online.
Ketersediaan dan kelayakan fungsi dari peralatan memberikan pengaruh terhadap
kinerja seseorang.
Boselie et al. (2001) dan Lusthaus (2002) memiliki argumen yang
melengkapi beberapa pendapat sebelumnya. Boselie et al. (2001) menyampaikan
bahwa peningkatan kinerja berhubungan dengan motivasi, retensi, iklim sosial
dan kebijakan perusahaan; sedangkan Lusthaus (2002) menyatakan bahwa kinerja
berhubungan dengan kapasitas organisasi, motivasi dan lingkungan organisasi.
Berdasarkan pendapat kedua pakar ini terlihat bahwa kinerja tidak hanya
ditentukan oleh motivasi dan kemampuan yang harus dimiliki oleh pegawai, tetapi
ditentukan juga oleh situasi dan kondisi lingkungan tempat bekerja, hubungan
sosial, komitmen antara karyawan dan pimpinan serta kerjasama antara semua
yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Robbins (2003) menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan
(ability), motivasi (motivations) dan peluang (opportunity), sehingga fungsi
kinerja dapat diilustrasikan = f (A x M x O). Robbins berpendapat bahwa untuk
meraih kinerja yang tinggi dibutuhkan kemampuan yang baik dan semangat
bekerja yang tinggi, namun kedua hal itu saja tidak cukup, masih dibutuhkan satu
hal lain, yaitu kesempatan. Jika kesempatan atau peluang tidak ada maka
kemampuan dan motivasi yang tinggi belum cukup untuk menghasilkan kinerja
yang tinggi. Oleh karena itu, kinerja yang tinggi akan terwujud apabila ada
kemampuan yang memadai, didorong oleh motivasi yang kuat, dan diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencoba dan melakukan yang sebenarnya.
Hasibuan (2007: 34) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah
suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Schermerhorn et al. (1994) mengilustrasikan faktor-faktor yang
berhubungan dengan peningkatkan kinerja disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja (Schermerhorn et al. 1994)
Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja)
adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang
diberikan kepadanya. Menurut Mangkunegara, faktor yang mempengaruhi kinerja
antara lain: (1) Faktor kemampuan. Secara psikologis kemampuan (ability)
pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita
(pendidikan). Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang
sesuai dengan keahliannya; dan (2) Faktor motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap
(attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan
kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja.
Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David McCleland
(Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara
motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu
sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja dengan predikat terpuji. Ada
enam karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu: (1)
Memiliki tanggung jawab yang tinggi; (2) Berani mengambil risiko; (3) Memiliki
tujuan yang realistis; (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang
untuk merealisasi tujuan; (5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam
seluruh kegiatan kerja yang dilakukan; dan (6) Mencari kesempatan untuk
merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.
Schermerhorn et al. (1994) menyampaikan bahwa kinerja sebagai kualitas
dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu,
kelompok maupun perusahaan. Kinerja mengandung dua komponen penting,
yaitu: (1) Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasikan tingkat kinerjanya; dan (2) Produktivitaskompetensi tersebut
dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk
mencapai hasil kinerja (outcome). Meager (2009) menyampaikan bahwa kualitas
pekerjaan yang dibutuhkan dunia kerja ditentukan oleh keterampilan yang
ditunjang oleh pelatihan. Hal senada disampaikan oleh Park (2010) menyatakan
bahwa suksesnya pekerja tergantung dari peluang, motivasi bekerja yang tinggi
dan belajar secara kontinu. Skibba dan Tan (2002) menyampaikan bahwa tingkat
kinerja dalam organisasi dipengaruhi oleh faktor kepribadian, keaktifan,
kemampuan pemimpin dan harga diri terutama dalam konteks sosial. Pendapat
Skibba dan Tan tersebut, diperkuat oleh Kazmi et al. (2006) mengatakan bahwa
prestasi kerja atau kinerja dipengaruhi tingkat stres yang dialami oleh pekerja
yang bersangkutan.
Beberapa pendapat yang disampaikan oleh pakar-pakar terakhir tersebut,
menunjukkan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh peran pemimpin, ciri individu
yang bersangkutan (kemampuan, prakarsa dan inisiatif) untuk menyelesaikan
pekerjaan, jenis dan kualitas pekerjaan, keberanian dalam mengambil risiko,
tingkat stres, tingkat beban pekerjaan, dan kemauan untuk selalu meningkatkan
kompetensi melalui belajar baik secara formal maupun non formal.
Penilaian Kinerja
Dalam rangka melacak kemajuan kinerja, mengidentifikasi kendala, dan
yang berlangsung terus menerus sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan
masalah yang terjadi. Terkait dengan itu, alasan sebenarnya mengelola kinerja
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas serta merancang bangun
kesuksesan bagi setiap pekerja.
Berkaitan dengan hal tersebut Bernardin dan Russell (1993)
mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah a way of measuring the
contribution of individuals to their organization. Hasibuan (2007: 88)
memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah evaluasi terhadap perilaku, prestasi
kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan, dengan demikian,
penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi
pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi. Gomes (2003:135) berpendapat
bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memberikan reward kinerja
sebelumnya (to reward past performance,) memotivasi demi perbaikan kinerja
pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement) dan
informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan
untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan
penempatan tugas-tugas tertentu.
Berdasarkan ketiga pendapat dari Bernardin dan Russell, Gomes dan
Hasibuan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap organisasi mutlak melakukan
penilaian untuk mengetahui kinerja yang dicapai oleh setiap pegawai, apakah
telah sesuai atau tidak dengan harapan organisasi.
Rivai (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja adalah proses
mengumpulkan informasi mengenai kinerja ternilai yang didokumentasikan
secara formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan
mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil.
Pengukuran kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi
yang dapat digunakan untuk mengarahkan upaya karyawan melalui serangkaian
prioritas yang diinginkan. Simamora (2004:338) menyebutkan bahwa penilaian
kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk
mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan.
Bocci (2004) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja adalah seberapa
stakeholder. Senada dengan Bocci, Westin (2005) menyebutkan bahwa
pengukuran kinerja dilakukan mulai dari perencanaan program, pelaksanaan
program (proses), layanan yang dilakukan (output) dan hasil pelaksanaan
program. Syarif (1991: 72) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu
proses untuk mengukur hasil kerja yang dicapai oleh para pekerja dan
dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi yang diminta guna mengetahui
sampai di mana keterampilan telah dicapai. Samsudin (2005:159) menyebutkan
bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses untuk
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
Kriteria Penilaian Kinerja
Terkait dengan penilaian kinerja ini, Bernardin dan Russell (1993:383)
mengungkapkan terdapat enam kriteria pokok yang dapat dipakai untuk mengukur
kinerja, yaitu: (1) Quality, sejauh mana kesempurnaan dari hasil yang telah
diperoleh, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum; (2) Quantity, berapa
jumlah yang didapatkan; (3) Timeliness, sejauh mana waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Cost
effectiveness, efesiensi dalam penggunaan sumber daya untuk mendapatkan
keuntungan yang optimal; (5) Need for supervision, sejauh mana dibutuhkan
pengawasan untuk mendapatkan kualitas yang baik; dan (6) Interpersonal impact,
sejauh mana pekerjaan dapat memberikan dampak pada kebutuhan personal.
Robbins (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tolok ukur kinerja individu yakni:
(a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu. State of Missouri
Office of Administration Division of Personnel, menyatakan bahwa penilaian
kinerja dilakukan melalui lima komponen, yaitu: (1) pengetahuan tentang
pekerjaan, (2) kualitas kerja, (3) situasional, (4) inisiatif atau prakarsa, dan (5)
kepercayaan diri.
Koontz et al. (2004) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja
pegawai antara lain: (1) Inteligensia: berhubungan dengan kemampuan untuk
mengerti kesadaran mental; (2) Pertimbangan: berhubungan dengan sikap
membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya; (3) Inisiatif:
berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; (4) Kekuatan:
berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang
lain untuk bertindak; (6) Keberanian moril: berhubungan dengan sifat mental yang
membuat seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai hati nurani; (7) Kerjasama:
berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain
untuk mencapai tujuan bersama; (8) Kesetiaan: berhubungan dengan kesesuaian,
kesetiaan, dan kelanggengan; (9) Keteguhan: berhubungan dengan upaya
mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan; (10) Reaksi terhadap
keadaan darurat: berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk
akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga; (11) Daya tahan: berhubungan
dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun; (12) Kerajinan:
berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya; dan (13) Penampilan dan
kerapihan diri serta pakaian: berhubungan dengan harga diri, kelengkapan
seragam, dan kerapihan penampilan.
Untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes
(2003:142) mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat
perhatian dalam mengukur kinerja antara lain: (1) Quantity of work, yaitu jumlah
kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; (2) Quality of
work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan
kesiapannya; (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan
dan keterampilannya; (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang
dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang timbul; (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang
lain sesama anggota organisasi; (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat
dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan; (7) Initiative, yaitu
semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung
jawabnya; dan (8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.
Stewart (1987: 283) memberikan pedoman penilaian kinerja yang
didasarkan pada: (1) Kepribadian, antara lain: dorongan, kesetiaan dan integritas;
(2) Pekerjaan, antara lain: akurasi, kejelasan, dan kemampuan analitis; dan (3)
Ketepatan sasaran. Mangkunegara (2007: 70) menjelaskan penilaian pekerjaan
seperti: kepercayaan, kreativitas, kemampuan verbal dan kemampuan memimpin;
dan (2) Pekerjaan yang berhubungan dengan tingkah laku antara lain: kualitas
pekerjaan, kuantitas pekerjaan dan keterampilan yang dimiliki. Hasibuan (2007:
91) menjelaskan rambu-rambu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menilai
suatu pekerjaan seorang karyawan atau individu antara lain: (1) Harus jujur,
objektif, adil dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang unsur-unsur yang
dinilai sehingga dapat melihat fakta secara realitas; (2) Penilaian harus didasarkan
benar atau salah, sehingga terhindari rasa suka atau tidak suka (like or dislike);
(3) Penilai harus memiliki authority formal, sehingga hasil penilaian dapat
dilaksanakan dengan baik; (4) Penilai harus menguasai pekerjaan secara detail,
sehingga hasil penilaian dapat dipertanggungjawabkan secara formal; dan (5)
Penilai harus memiliki keimanan dan kejujuran yang tangguh.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja harus didasarkan pada kriteria
atau pedoman yang berlaku secara universal dan dirasakan adil oleh semua orang.
Penilaian tersebut harus obyektif, reliabel, jujur, adil dan sesuai dengan kondisi
dan situasi (timebond), sertatidak didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka.
Penelitian tentang Kinerja
Penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2009) menemukan bahwa tingkat
kinerja petani pemandu sebagai penyuluh swadaya di Jawa Barat tergolong
rendah, hal ini disebabkan tidak ada penghargaan baik dari pemerintah maupun
masyarakat setempat. Temuan Effendy tersebut sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Subagyo (2008), yang menemukan bahwa kapasitas atau
kemampuan kinerja petani termasuk kategori rendah dalam melakukan penerapan
inovasi baru. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesesuaian inovasi,
kebutuhan nyata petani, kepemilikan aset, keterkaitan dengan tradisi dan pengaruh
kepemimpinan masyarakat setempat.
Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri
Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri adalah hasil kerja yang
telah dicapai oleh petani dalam menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis.
lahan yang ditanami, persentase tegakan yang tumbuh sehat, keragaman jenis
bahan pangan dan terjadinya aksesibilitas jaringan sistem bisnis agroforestri.
Sumber pendapatan petani berasal dari hasil tanaman semusim antara lain:
palawija, jagung, sayuran, padi, ketela, dan pisang. Hasil tanaman keras seperti:
mangga, durian, rambutan, pete, jati, mahoni dan kelapa. Persentase lahan yang
ditanami dengan sistem agroforestri, terutama tanaman tahunan/pokok dan sela,
baik pada lahan milik, sewa, sakap dan pesanggem. Sejalan dengan persentase
luas lahan yang ditanami sistem agroforestri, kinerja petani dapat dilihat melalui
persentase tegakan yang tumbuh dengan sehat. Selain itu, dapat dilihat pula dari
keragaman jenis pangan. Keragaman jenis bahan pangan yang bervariasi dapat
membantu mencegah terjadinya bencana kelaparan pada musim paceklik karena
masyarakat dapat mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras. Terjalinnya
akses jaringan bisnis sistem agroforestri dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat
pengembangan sistem agroforestri.
Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Agroforestri
Istilah kehutanan sosial pertama kali dikenal pada tahun 1978 pada waktu
Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta dengan sebutan Forest for People.
Implementasi kehutanan sosial di Indonesia dimulai tahun 1986 (Awang 2003).
Kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah delapan tahun kongres
berlangsung. Arti kehutanan sosial dan kehutanan masyarakat, pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ahli kehutanan bernama Westoby pada tahun 1968
dengan istilah social forestry.
Penerapan perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan di Indonesia
menggunakan istilah yang bermacam-macam (Suharjito et al. 2000 dan Awang
2003), antara lain: community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm forestry
(FF) dan agroforestry (AG). Penerapan istilah-istilah tersebut disesuaikan dengan
kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya
saling mengisi dan melengkapi. Hal yang sama dengan definisi agroforestri juga
bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu penggunanya.
Teori dan konsep agroforestri yang mendasari penelitian ini, adalah:
(2003); Huxley (1999); dan de Foresta et al. (2000). Untuk melengkapi konsep dan
teori agroforestri tersebut disintesakan beberapa hasil penelitian sistem
agroforestri yang dilakukan pada lahan kritis baik di dalam maupun di luar negeri.
Menurut ICRAF (Huxley 1999), agroforestri adalah sistem penggunaan
lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu,
rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan
rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya
(lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman
berkayu dengan komponen lainnya. Senada dengan ICRAF, Nair (2003)
menyatakan bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di
mana tanaman keras berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan
atau hewan, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di
dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai
komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, kelestarian alam dan lingkungan.
King dan Chandler (Kartasubrata 2003) mengemukakan bahwa
agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian
yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan dengan mengkombinasikan
tanaman semusim, tanaman hutan dan atau ternak secara bersamaan atau
berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang
sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut De Foresta et al. (2000),
agroforestri merupakan sistem teknologi penggunaan lahan di mana pepohonan
berumur panjang (semak, palm, bambu dan kayu) dan tanaman pangan dan atau
pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam petak yang sama dalam suatu
pengaturan ruang dan waktu, sehingga terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar
unsur-unsurnya.
Lundgren dan Raintree (1982) menyebutkan bahwa agroforestri adalah
istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan
yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palm, bambu dan
lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan suatu
istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki
unsur-unsur: (1) Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia;
(2) Penerapan teknologi; (3) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan
dan/atau ternak atau hewan; (4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu
periode tertentu; dan (5) Ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Cornell dan
Miller (2007) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan sistem
agroforestri dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria yaitu: (1)
Structural basic, yaitu pengaturan dan penambahan jenis tanam akan menambah
keanekaragaman hayati sehingga dapat meningkatkan ketahanan sistem hutan
yang dibangun; (2) Functional basic, yaitu fungsi komponen species yang
berkayu akan mampu meningkatkan jumlah produk dan menjadi pencegah
terjadinya erosi, banjir, tanah longsor, tata air dan mengembalikan kesuburan
tanah; (3) Social economical basic, yaitu sebagai salah satu penyedia sumber
pangan alternatif sehingga dapat membantu mengentaskan kemiskinan; dan
(4) Ecological basic, yaitu secara lingkungan membantu dalam mengatasi
kekeringan sehingga alam menjadi lestari.
Bentuk-bentuk Agroforestri
Klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen yang membentuknya
dibedakan sebagai berikut: (a) Sistem agrisilvopastur yaitu penggunaan lahan
secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus
hasil-hasil pertanian dan kehutanan; (b) Sistem sylvopastoral yaitu suatu sistem
pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak;
(c) Sistem agrosylvopastora yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus
untuk memelihara hewan ternak; dan (d) Multiple purpose tree species (MPTS)
yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya
untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat
digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak.
Vergara (1982) membedakan sistem agroforestri sebagai berikut:
acak, perladangan berpindah, tumpang sari dan pekarangan. Nair (2003)
mengelompokkan sistem agroforestri dalam kelompok besar yaitu: (1) Sistem
agrisilvikultur terdiri dari: improved fellow (bera), taungya (tumpang sari), alley
cropping/hedgrowt (tanaman lorong), multilayer tree garden (kebun hutan),
planating crop combinations (kebun campuran), home garden (pekarangan
rumah), shelterbelts and windbreaks (pemecah angin), live hedges (pagar hidup),
dan fuelwood productions; dan (2) Sistem silvopastoral, yaitu tanaman dipadukan
dengan hewan atau padang penggembalaan.
De Foresta et al. (2000: 1-5) dan Lusiana et al. (2002: 2-5) membedakan
agroforestri menjadi dua sistem yaitu: sistem agroforestri sederhana dan
kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana
pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan salah satu tanaman semusim.
biasanya tanaman yang dipadukan adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi
tinggi seperti: kopi, kakao, karet, kelapa, mangga, nangka, jati dan mahoni;
sedangkan tanaman semusimnya antara lain: padi, jagung, kacang-kacangan, ubi
kayu dan sayur-sayuran. Bentuk sistem agroforestri sederhana atau tumpang sari,
telah lama dilaksanakan di Perhutani Ngantang Malang berupa tumpang sari
antara kopi dan pinus. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian
menetap yang menanam banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon), baik
sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola
petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan.
Bentuk-bentuk agroforestri kompleks antara lain kebun dan hutan. Contoh agroforestri
kompleks, antara lain: kebun campuran di Bogor, Ciamis, Wonosobo, Wonogiri;
Repong Damar di Krui Lampung; Talun di Banten; Tembawang di Kalimantan
Barat; dan Lembo di Kalimantan Timur.
Bentuk sistem agroforestri yang telah diterapkan di Kabupaten Pati dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: bagian barat di bawah Gunung Muria yang
memiliki lahan cukup subur, didominasi tanaman buah-buahan, kacang tanah,
kopi, singkong, randu, tebu dan jati. Bagian selatan ke timur di sepanjang
Pegunungan Kendeng yang lahannya sangat kritis dan menjadi hulu DAS Juana,
Tujuan dan Fungsi Agroforestri
Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memiliki tujuan antara lain:
(1) Penghutanan kembali; (2) Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak; (3)
Penyediaan kayu bangunan dan kayu bakar; (4) Mencegah migrasi penduduk ke
kota; (5) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan
memanfaat-kan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat
terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna
mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat; dan (6) Mengurangi
pemanasan global.
Menurut Huxley (1999) menyatakan bahwa fungsi sistem agroforestri
adalah: (1) Mengontrol atau mengurangi erosi; (2) Memelihara bahan organik
tanah; (3) Meningkatkan kondisi fisik tanah; (4) Menambah jumlah nitrogen
dengan penanaman pohon yang dapat menfiksasi nitrogen; (5) Menyediakan hara
mineral dalam tanah; (6) Membentuk sistem agroekologi; (7) Mengurangi
kemasaman tanah; (8) Mereklamasi lahan; (9) Meningkatkan kesuburan tanah;
(10) Meningkatkan aktivitas biologi tanah; (11) Adanya asosiasi mikoriza pada
campuran pohon dan pertanian; (12) Meningkatkan penangkapan hujan, cahaya,
hara mineral dan produksi biomasa; dan (13) Meningkatkan efisiensi
penangkapan cahaya, air dan hara mineral.
von Moydell (1986) menyebutkan bahwa sistem agroforestri dapat
membantu memecahkan masalah dalam: (1). Menjamin dan memperbaiki
kebutuhan alternatif bahan pangan; (2) Memperbaiki penyediaan energi lokal,
khususnya produksi kayu bakar; (3) Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif
dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan dan pertanian; (4)
Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan
sebagian besar masyarakatnya miskin; dan (5) Memelihara dan memperbaiki
kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat, yaitu: mencegah terjadinya
erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati,
perbaikan tanah melalui fungsi pohon. Shelterbelts, pohon pelindung (shade
trees), windbrake, pagar hidup (life fence), dan pengelolaan sumber air secara
Sistem Agroforestri sebagai Sistem Pengelolaan Lahan Berkelanjutan
Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman
dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu. Siklus sistem
agroforestri selalu lebih dari satu tahun. Penanaman dapat dilakukan secara
bergilir atau bergantian sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan lanskap
lahan dengan memperhatikan konsep triple botton line benefite, yaitu lingkungan
(ekologi), masyarakat (sosial-budaya) dan ekonomi (Arifin et al. 2009: 14). Sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Arifin et al. Tomas Hak et al.
(2007) dan Mitchell et al. (2003) menyebutkan bahwa selain ketiga konsep
tersebut yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah konsep
institusional yang di dalamnya menyangkut partisipasi, pemberdayaan masyarakat
dan kaum perempuan, serta penegakan hukum. Konsep institusional ini berperan
dalam implementasi dari ketiga konsep pembangunan berkelanjutan.
Konsep ekologi seyogyanya dilakukan berorientasi pada kepentingan
konservasi lingkungan sehingga kondisi nyaman lingkungan dapat terjaga dengan
baik. Penanaman tanaman pada lahan-lahan yang marginal diharapkan dapat
mengembalikan fungsi lahan, mencegah longsor dan terjadi penyerapan air
sehingga mencegah terjadinya erosi. Bahkan sistem agroforestri mampu
memberikan sumbangan yang cukup besar dalam penyerapan karbon (rosot), dan
menjaga kesegaran udara. MFP (2009) menyampaikan bahwa sistem agroforestri
atau kebun campuran memberikan sumbangan rosot (penyerapan karbon) yang
cukup efektif sehingga udara tidak tercemar polusi.
Ditinjau dari sosial budaya, pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri
harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat baik secara rohani maupun
jasmani. Pelaksanaan agroforestri harus memberikan sumbangan pada penyediaan
bahan pangan alternatif sehingga masyarakat memiliki kecukupan atau keamanan
pangan pada musim paceklik. Hasil penelitian di daerah kritis DAS Khlong Peed
Thailand yang dilakukan oleh Wachrinrat dan Khlangsap (2007) menemukam
bahwa sistem agroforestri dengan kebun campuran antara lain: kebun buah
campuran, kebun nanas, kebun karet lebih diminati oleh masyarakat dibanding
dengan tanaman monokultur sawit. Pranaji (2006) menemukan bahwa kondisi