• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Serta Pengaruh Dispute Settlement Body Terhadap Status Perekonomian Negara Anggota Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Tentang Sengketa Rokok Kretek Antara Indonesia Melawan Amerika Serikat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Serta Pengaruh Dispute Settlement Body Terhadap Status Perekonomian Negara Anggota Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Tentang Sengketa Rokok Kretek Antara Indonesia Melawan Amerika Serikat)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Adolf,Huala, Hukum Ekonomi Internasional ,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005

__________, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005

AK,Syahmin, Hukum Dagang Internasional,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006

AK, Syahmin, Hukum Perdagangan Internasional (dalam Kerangka Studi Analisis),Inderalaya: Universitas Sriwijaya, 2004

Arifin ,Sjamsul, Rae ,Dian Ediana, dan Joseph , Charles P.R. Kerjasama Perdagangan Internasional.,Jakarta:PT Gramedia, 2007

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Bennet ,A .Leroy, International Organization, New Jersey: Prentic Hall, Inc.m 1979

Bowett ,D.W, The Law of International Institution ,London: Steven & Sons, 1982

Commission On Macroeconomics and Health, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press, 2001

Dam ,Kenneth W., The GATT: Law and International Economic Organization

(2)

Fuady ,Munir, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO) , Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004

Herjuno, Kinarsih, Tembakau Negara dan Keserakahan Modal Asing, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012

Istanto ,Sugeng, Hukum Internasional (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2010

Kartadjoemena, H. S. , GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Pedagangan Internasional, Jakarta: UI-Press,1996

Kok Peng, Marthin, Imperialisme Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Narsif, Diktat Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2005

Poerwadarminta ,W.J.S, Kamus Umum Bahasa Besar Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1986

Rachmat ,Muchjidin dan Nuryanti ,Sri ,Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya Bagi Indonesia,Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,2009

Sefriani, Hukum Internasional, Jakarta:Raja Grafindo Persada,2010

(3)

Soekanto, Soerjono dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, PT Sinar Grafika, 2010

Sutiarnoto, Kepentingan Negara Berkembang dalam Sistem Penyelesaian Sengketa WTO, Medan:Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera,2014

Sunandar ,Tartaya, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 sampai terbentuknya WTO. Jakarta:BPHN, Departemen Kehakiman, 2010

Sutrisno ,Nandang, Efektivitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda bagi Negara Berkembang:Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa,Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009

van den Bossche, Peter,The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University,2005

Widayanto ,Sulistyo,Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan, Buletin Kerja Sama Perdagangan Indonesia, 2007

(4)

Yulianingsih ,Wiwin dan Sholihin,Moch. Firdaus, Hukum Organisasi Internasional, Yogyakarta,PT Penerbit ANDI, 2014

UNDANG-UNDANG

General Agreement on Tariff and Trade

Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Disputes Agreement on Technical Barrier to Trade

Marakesh Agreement Establishing the World Trade Organization Family Smoking Preventation and Tobacco Control Act

Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO

Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok

Bagi Kesehatan INTERNET

(5)

http://www.wto.org/english/tratop_e/devel_e/dev_special_differential_provisions_e.htm#le gal_provisions

.

l%20Institute%20Briefing%20Paper%20US%20-%20Clove%20Cigarettes.

http://www.depdag.go.id.

(6)

BAB III

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA OLEH PANEL DISPUTE SETTLEMENT BODY(DSB)

F. Prinsip-Prinsip Dasar GATT/WTO

Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak dan sebagainya.56Adapun prinsip-prinsip hukum atau disebut pula dengan asas-asas hukum merupakan dasar pembentukan hukum secara filosofis mempunyai atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut Wil D. Verwey ialah prinsip non-diskriminasi yang mengundang 3 bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional. Prinsip-prinsip itu berakar dari filsafah liberalisme barat, yang dikenal dengan “Trinita”, yaitu kebebasan

(freedom), persamaan (equality) dan asas timbal balik (reciprocity).57

Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama kedudukannya. Dari prinsip-prinsip tersebut tersirat prinsip persaingan bebas melalui kesempatan yang sama. Prinsip hukum liberal meranggapan bahwa semua negara sama kuat. Namun demikian, permasalahan timbul ketika negara berkembang muncul setelah merdeka dari Perang Dunia II.Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan industri negara maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akibatnya

56

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Besar Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,

1986), hlm 768. 57

(7)

asas persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru membesar ketidakadilan.

Dalam perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-prinsip hukum menghendaki perlakuan yang sama atas setiap produk baik terhadap produk impor maupun domestic. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT. Masalah perdagangan antarnegara dihadapkan kepada dua kepentingan nasional dan kepentingan internasional. GATT-WTO mengusahakan kompromi antar dua kepentingan itu melalui berbagai pengaturan dan pencantuman schedule tariff GATT.58

1. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)

Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan internasional yang diatur dalam GATT/WTO, meliput i Prinsip Non-Diskriminasi, Prinsip Resiprositas, Prinsip Penghapusan Hambatan Kuatitatif, Prinsip Perdagangan yang adil, dan Prinsip tarif mengikat, yang akan diuraikan berikut ini.

Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle),dan prinsip

National Treatment (NT Principle)

a. Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul Genaral Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non-Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.

58

(8)

Article 1 section (1) GATT 1947 mengharuskan perlakuan MFN atas semua konsensi tarif yang telah diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa:

“With respect to custom, duties and charges and any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed or internasional transfer of payment for imports and exports, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation; and with respect to all matters referred to in paragraph 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege, or immunity granted by contracting, party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties”.

Menurut prinsip ini, semua negara terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan ekspor dan impor serta menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dilaksanakan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditujukan kepada semua anggota WTO, Karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi. Maksudnya apabila suatu negara memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan kepada negara kedua, maka kemudahan serupa harus juga diberikan kepada negara ketiga,keempat dan seterusnya. Dengan kata lain, suatu negara yang memberikan keuntungan kepada negara yang satu, wajib meyebarluaskan keuntungan serupa kepada negara lainnya.

Pengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nations (MFN) sebagaimana diatur

(9)

1) Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.

2) Dalam hubungan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences).

GSP merupakan salah satu pengecualian dari prinsip non-diskriminasi khususnya prinsip MFN, sebagaimana diatur dalam Article XXIV GATT 1947, yakni pengecualian dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang yang berlaku sejak 1971.59

Bantuan ini bukan semata-mata ditujukan untuk pengembangan ekonomi, akan tetapi lebih bernuansa politik sebagai salah satu guna cara menekan negara-negara berkembang agar tetap mengikuti kebijakan dari negara-negara maju. Dengan demikian, bantuan tersebut dapat dicabut apabila negara-negara penerima bantuan tidak melaksanakan kepentingan negara maju (Pemberi GSP), terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), Pada dasarnya GSP ialah sejenis bantuan atau fasilitas dalam perdagangan internasional yang diberikan oleh pemerintah dari negara maju kepada negara berkembang, seperti: bantuan pemerintah Inggris kepada negara-negara berkembang yang merupakan anggota Commonwealth; bantuan Perancis melalui organisasi Franch Union; bantuan pemerintah Belanda terhadap Indonesia melalui IGGI (Internasional Government Group of Indonesia) dan bantuan pemerintah Amerika kepada negara-negara Timur Tengah

59

(10)

tidak mendukung demokratisasi sosial, mengabaikan lingkungan hidup (tidak pro lingkungan), dan sebagainya.

b. Prinsip National Treatment (NT)

Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul “National Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan bahwa, ‘this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.

Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negeri. Artinya, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis.

Menurut Moesler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur penting yang terkandung dalam prinsip NT adalah sebagai berikut:60

c. negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang berada di wilayahnya

a. adanya kepentingan lebih dari satu negara

b. kepentingan tersebut terletak di wilayah yurisdiksi suatu negara

60 Mahmul Siregar,

(11)

d. perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain.

Penerapan prinsip NT merupakan pencerminan dari pembatasan kedaulatan suatu negara.Hal ini kerapkali diperjanjikan dalam rangka mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional yang sering bertentangan. Berhubungan dengan hal tersebut , semata-mata prinsip NT merupakan urusan hukum nasional yang termasuk yurisdiksi domestic suatu negara. Sehingga sukar dituntut berdasarkan hukum internasional.

Namun demikian, dalam praktik terutama dalam perjanjian bisnis internasional, prinsip ini sering dipergunakan. Menurut Taryana Sunandar61

Persetujuan-persetujuan dalam WTO memuat ketentuan-ketentuan khusus yang memberikan negara-negara berkembang secara lebih utama dari pada negara anggota WTO lainnya. Ketentuan-ketentuan khusus dimaksud sebagai “Special and Differential

, tujuan prinsip ini adalah untuk menciptakan harmonisasi dalam perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif antara produk domestic dan produk impor, artinya kedua produk tersebut harus mendapatkan perlakuan yang sama.

c. Prinsip Pengecualian (Special and Differential Treatment Principle)

61Tartaya Sunandar,

(12)

Treatment” yang mencakup sebagaimana berikut:62

Secara umum “Special and Differential Treatment” merujuk pada hak-hak khusus yang diberikan WTO terhadap negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya ketentuan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara a. Longer time periods for implementing Agreements and commitments (periode waktu yang lebih panjang untuk mengimplementasikan persetujuan-persetujuan dan kesepakatan-kesepakatan WTO)

b. Measures to increase trading opportunities for these countries (langkah-langkah untuk meningkatkan peluang dagang bagi negara-negara berkembang)

c. Provisions requiring all WTO members to safeguard the trade interest of developing countries (ketentuan-ketentuan yang mengisyaratkan agar semua anggota WTO menjaga kepentingan dagang dari negara-negara berkembang)

d. Support to help developing coutries build the infrastructure for WTO work, handle disputes, and implement tehnical standarts (dukungan untuk membantu negara-negara berkembang membangun infrastruktur bagi kerja WTO, menangani sengketa-sengketa ,dan mengimplementasikan standard tehknis) dan;

e. Provisions related to Least-Developed Country (LDC) Members (Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan negara-negara kurang berkembang)

62http://www.wto.org/english/tratop_e/devel_e/dev_special_differential_provisions_e.htm#legal_pro

(13)

berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO.63

Prinsip resiprositas yang diatur dalam Article II GATT 1947, mengisyaratkan adanya perlakuan timbale balik diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.Artinya, apabila suatu negara dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi.Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas.

Dengan demikian kepentingan-kepentingan pembangunan negara berkembang tidak terhambat dan pada gilirannya, negara berkembang dapat mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO secara penuh.Dimuatnya ketentuan-ketentuan ini dalam perjanjian WTO didasarkan pada prinsip bahwa liberalisasi perdagangan bukanlah tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan, yaitu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seluruh negara anggotanya.

2. Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle)

63

Nandang Sutrisno, Efektivitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan

(14)

Prinsip resiprositas merupakan salah satu prinsip fundamental dalam perdagangan internasional, sebagaimana dinyatakan dalam paragraph 3 Pembukaan (Preambule) GATT menyatakan sebagai berikut.

“Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and

mutual advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and

other varies to trade and to eliminations of discriminatory treatment in internasional

commerce”

Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik, dan menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.

3. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibition of Quantitative Restriction)

(15)

bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk diterapkan.Oleh karena itu, prinsip ini sering kali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.

Adapun beberapa pengecualian dari prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, yaitu sebagai berikut.64

a. Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasin impor dengan cara kuota (Pasal XII-XIV GATT 1947).

b. Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu tidak boleh tunduk pada prinsip ini (Article XIX GATT 1947).

c. Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini. (Article XX dan XXI GATT 1947).

4. Prinsip perdagangan yang Adil (Fairness Principle)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang Dumping (Article VI) dan Subsidi (Article XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksaaan tertentu, sedangkan dipihak lain, kebijaksaan tersebut malah menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.Dalam

64

(16)

perdagangan internasional, prinsip ini diarahkan untuk menghilangkan praktik-praktik persaingan curang dalam kegiatan ekonomi yang disebut dengan praktik dumping dan subsidi dalam perdagangan internasional.65

Dumping adalah kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengekspor yang melakukan penjualan barang di luar negeri (negara pengimpor) dengan harga yang lebih rendah dari harga normal penduduk yang sejenis di negara bersangkutan sehingga menimbulkan kerugian terhadap negara pengimpor.66

Sedangkan subsidi merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pengeskpor atau produsen dalam negeri, baik bantuan modal, keringanan pajak, dan fasilitas lainnya, sehingga akan berakibat terjadinya kelebihan produksi (over production) yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian baik bagi negara pengimpor atau pengekspor. Kerugian bagi negara pengimpor akan mengarah pada kegiatan dumping, sedangkan bagi pengeskpor akan mengakibatkan ketidakmandirian karena akan selalu bergantung pada pemerintah. 67

Oleh karena itu, dumping dan subsidi dinilai sebagai praktik ekonomi yang tidak adil atau curang, maka WTO menentukan bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktik tersebut, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh praktik itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan. Sanksi balasan itu adalah berupa pengenaan bea masuk

65

Ibid 66 Ibid 67

(17)

tambahan yang disebut dengan “bea masuk antidumping” yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan fasilitas subsidi.

5. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995,Bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat. Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif (bea masuk). Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetensi yang sehat.Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif secara bertahap.

Penerapan tarif impor mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut.68

1. Tarif sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan oleh negara untuk dijadikan kas negara. 2. Tarif untuk melindungi produk domestic dari praktik dumping yang

dilakukan oleh negara pengekspor.

68 Munir Fuady,

(18)

3. Tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk ekspor.

B. Kedudukan WTO dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan.

Apabila timbul sengketa dalam WTO, maka GATT mempersiapkan suatu mekanisme dengan prosedur tersendiri untuk menangani sengketa tersebut.Mekanisme ini telah mengalami evolusi sejak tahun 1947. Dengan adanya paket hasil perundingan Uruguay Round yang juga membentuk lembaga baru, World Trade Organization (WTO), sebagai pengganti dan penerus GATT, maka sistem penyelesaian sengketa yang telah dikembangkan oleh GATT juga semakin disempurnakan lagi.69

Perjanjian GATT adalah suatu dokumen yurudis.Dalam dokumen ini tercantum hak maupun kewajiban negara peserta perjanjian.Adanya serangkaian hak dan kewajiban yang secara eksplisit dicantumkan tentunya sering menimbulkan sengketa. Sebagai lembaga maka WTO telah menetapkan tata cara dan prosedur untuk menangani sengketa yang timbul antara negara anggota.70

Dalam prakteknya, WTO harus berhadapan dengan berbagai subjek hukum yang berkembang di dunia internasional.Secara umum, subjek hukum yang paling banyak berperan dalam segala perundingan di WTO adalah negara dan beberapa organisasi internasional lainnya. Namun perkembangan yang terjadi bahkan sebelum WTO dibentuk,

69

H. S. Kartadjoemena, Op.Cit. hlm 136

70 Kenneth W. Dam,

(19)

telah menghadapkan WTO pada sebuah tantangan besar, yaitu ketika harus menerapkan ketentuan – ketentuan hukumnya kepada organisasi voting-blok semacam Uni Eropa, Liga Arab, ASEAN, dan lain – lain. Meskipun perjanjian – perjanjian internasional yang dibuat dalam WTO sering menjadi ketentuan hukum umum bagi pelaksanaan perdagangan dunia, atau paling tidak menjadi guideline dalam sistem pasar yang ada, kendala akan selalu muncul ketika hukum – hukum tersebut harus menembus sebuah sistem hukum yang memiliki pengaturannya sendiri dalam berbagai bidang termasuk bidang yang diatur oleh WTO itu sendiri.

C. Aturan Penyelesaian Sengketa dalam Kerangka WTO

Kekuatan mekanisme penyelesaian sengketa WTO dapat dilihat dari fitur yang terdapat dalam sistem.Pertama sistem yang diterapkan oleh WTO merupakan sistem yang unik diantara berbagai sistem yang diterapkan untuk mengatur penyelesaian sengketa internasional (kecuali penyelesaian sengketa yang berlaku secara regional).Tribunal of Law of the Sea 1982 misalnya, memiliki kompetensi yang terbatas.Tidak ada kewajiban bagi anggota konvensi tersebut untuk menyelesaikan sengketa melalui tribunal untuk beberapa jenis sengketa tertentu.71

Kedua, implementasi keputusan panel dan appellate body (badan banding) setelah mendapat persetujuan dari Dispute Settlement Body.Implementasi keputusan internasional yang mengikat, baik yang diterbitkan oleh lembaga politik maupun yang diterbitkan oleh

71 Sutiarnoto,

Kepentingan Negara Berkembang dalam Sistem Penyelesaian Sengketa WTO,

(20)

lembaga peradilan merupakan Achilles heel (titik lemah) dari tatanan internasional yang menghambat bekerjanya keadilan internasional. Untuk mengatasi kelemahan implementasi keputusan internasional tersebut WTO menetapkan suatu sistem dengan unsur-unsur sebagai berikut:72

1. Pertama, kemauan dan kerjasama para pihak harus patuh terhadap keputusan, dengan asumsi kewajiban perdagangan harus dilaksanakan segera dengan itikad baik.

2. Kerjasama antar pihak yang kalah dan pihak yang menang untuk memfasilitasi adanya kepatuhan atau mencari alternatif lain misalnya kompensasi

3. Pengawasan terus menerus oleh DSB sampai pihak yang kalah mengimplementasikan keputusan

4. Secara factual, pencabutan peraturan yang bertentangan dengan kewajiban anggota tidak berlaku surut dan tidak ada kewajiban membayar ganti rugi atas pelanggaran yang telah dilakukan.

5. Keputusan DSB hanya dapat dibatalkan apabila semua negara anggota tidak setuju (negative consensus).

Karakeristik sistem penyelesaian sengketa WTO yaitu wajib, eksklusif dan otomatis:

a. WTO secara wajib harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan dan kepentingan yang terkait didalamnya.

72

(21)

b. WTO memberikan hak ekslusif kepada pihak yang bersengketa untuk mengajukan perkara.

c. WTO secara otomatis akan langsung membentuk panel untuk membantu menyelesaikan perkara.

Dalam hal ini terjadi ketidaksepakatan antara anggota apakah peraturan perundang-undangan nasional atau kebijakan nasional suatu anggota telah melampaui batasan yang ditetapkan dalam perjanjian WTO, maka tidak jarang kata akhir penyelesaiannya diserahkan kepada panel WTO sebagai pihak ketiga.

Perbedaan mendasar antara penyelesaian sengketa berdasarkan GATT dengan penyelesaian sengketa WTO adalah menyangkut adanya instrumen retaliasi dalam WTO.Selama 50 tahun keberadaan GATT hanya satu kasus yang disetujui GATT council untuk dikenakan retaliasi dalam bentuk suspension of concssions or obligation.Pada era WTO sampai dengan tahun 2010 WTO telah mengotorisasi enam retaliasi.73

Dimulai babak baru dalam hubungan perdagangan internasional.Dengan demikian, diharapkan perdagangan dunia yang bebas, adil, dan terbuka dapat dicapai.Persetujuan multilateral yang dihasilkan Putaran Uruguay terdiri dari

multilateral trade agreement dan plurilateral trade agreement.Selanjutnya adalah hasil pertemuan tingkat menteri tentang pengesahan hasil-hasil perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay yang nmerupakan paket

73

(22)

pengaturan/hukum, yaitu “The Result of tg Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations legal Tests” sebagai berikut.

a. Marrakesh Declaration

Marrakesh Declaration merupakan pernyataan dari 124 negara yang hadir dalam pertemuan tingkat menteri di Marrakesh, Maroko pada tanggal 12-15 April 1994, di mana antara lain memutuskan “to build upon success of the Uruguay Round through the participation of their economics in the world trading system, based upon market oriented policies and the commitments set in the Uruguay Round Agreements and Decisions”.

b. Final Act Embodying the results of the Uruguay Round of Multilateral

Trade Negotiations

(23)

c. Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization.

Persetujuan ini mencakup Multilateral Trade Agreement yang terdiri dari

annex 1,2 dan 3 serta Plurilateral Trade Agreement, yaitu annex 4, dengan rincian sebagai berikut.74

1. Annex 1A : Multilateral Trade in Goods Annex 1B : Agreement on Trade in Services

Annex 1C : Agrrement on Trade Related Intelectual Property Right(TRIPs)

2. Annex 2 : Understanding on Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes

3. Annex 3 : Trade Policy Review Mechanism = TRIM 4. Annex 4 : Plurilateral Trade Agreements.

Secara sederhana persetujuan-persetujuan yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay diatas adalah kesepakatan untuj memperbaiki situasi hubungan perdagangan internasional.

Cerminan dari diterimanya hasil-hasil Putaran Uruguay oleh bangsa Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya UU No.7 Tahun 1994.

Dan dari hasil penelusuran peraturan yang berkaitan dengan aspek hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa dari WTO dapat disebutkan sebagai berikut.

74 Syahmin AK,

(24)

a) Pasal XXII dan Pasal XXIII GATT 1947 yang meletakan prinsip-prinsip hukum penyelesaian sengketa perdagangan internasional

b) Annex 2 tentang “Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes”; Beserta Appenix

c) Ministerial Decision butir 7b “Decision on Certain Dispute Settlement Procedures for the General Agreement on Trade in Services”

d) Ministerial Decision butir 9 “Decision on the Application and Review of the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement Rules

and Procedures”

e) Ministerial Decision butir 10 “Decision on Improvement to the GATT Dispute Settlemen Rules and Procedures”

f) Ministerial Decision butir 11 (b) “Decision on Standard of Review for Dispute Settlement Panels”

g) Ministerial Decision butir 12 “Decision on Dispute Settlement pursuant to the Agreement on Implementation of Article VI of GATT or Part V of the

Agreement on Subsidies and Countervailing Measures 1994”

D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui WTO

(25)

persetujuan-persetujuan yang tercakup di dalamnya, serta untuk mengklarifikasi keberadaan ketentuan-ketentuan dari persetujuan-persetujuan dimaksud dalam kesesuaiannya dengan aturan kebiasaan dari interpretasi hukum internasional public (customary rules of interpretation of public internasional law).75

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa prosedur penyelesaian sengketa WTO dimuat dalam DSU, oleh karena itu uraian tentang hal tersebut yang disini mencakup mulai dari: upaya konsultasi (consultation), kemudian upaya dengan menggunakan jasa baik, konsiliasi dan mediasi (good offices, consilitiation, and meditation), lalu diadakannya pembentukan panel (establishing of panels), upaya berlanjut yang berupa banding (appellate review), sampai pada pelaksanaan dan rekomendasi, dibawah ini akan mengacu pada ketentuan-ketentuan DSU.76

a. Konsultasi (Concultations)

Berikut ini adalah tahap-tahap dalam penyelesaian sengketa dalam WTO:

Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di WTO adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa.Tahap pertama adalah konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa.Setiap anggota harus menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta diadakan konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh hari setelah waktu permohonan.77

75

Pasal 3 (2) DSU

76 Sutiarnoto, Ibid, hlm. 33. 77

(26)

Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk konsultasi harus diberitahukan kepada DSB secara tertulis, kemudian disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-dasar hukum untuk pengaduan.

Sistem penyelesaian sengketa melalui WTO yang diatur dalam DSU cenderung untuk mengedepankan atau mengutamakan dilakukannya konsultasi diantara negara yang bersengketa sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4(1) DSU yakni: “Members affirms their resolve to strengthen and improve the effectiveness of the consultation

procedures employed by members”. Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan informal maupun formal, seperti melalui saluran diplomatik.

Bila konsultasi gagal dan kedua pihak setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jenderal WTO yang akan siap menawarkan diadakan Good Offices,

konsiliasi, atau mediasi dalam menyelesaikan sengketa.78 b. Jasa Baik, Konsiliasi dan Mediasi

Pengaturan tentang penyelesaian sengketa WTO dengan cara jasa baik, konsiliasi dan mediasi dimuat dalam pasal 5 DSU tentang “Good Offices, Conciliation and Mediation”. Ketiga bentuk penyelesaian sengketa secara damai dengan melibatkan jasa pihak ketiga ini dalam DSU disebutkan sebagai prosedur yang bisa dilakukan secara sukarela jika para pihak yang bersengketa sepakat atau menyetujui hal tersebut.79

78 Syahmin Ak, Ibid, hlm 253. 79

(27)

Penyelesaian dengan ketiga cara ini harus dilakukan secara confidential atau rahasia serta pelaksanaannya tidak mengurangi hak masing-masing pihak untuk melangkah ke prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa lebih lanjut.80

Dengan demikian ketiga cara ini bersifat sangat fleksibel oleh karena dapat dimulai setiap saat serta dapat pula diakhiri setiap saat manakala prospek penyelesaiannya dianggap gagal. Manakali diakhiri pihak pemohon dapat mengajukan permohonan untuk diadakan pembentukan panel.81

c. Pembentukan Panel

Hal itu bilamana jasa-jasa baik, konsiliasi atau mediasi masuk dalam jangka waktu 60 hari setelah tanggal diterimanya permohonan konsultasi, pihak pengadu harus mengikuti suatu periode 60 hari sesudah tanggal diterimanya pemohonan konsultasi sebelum mengajukan permohonan pembentukan panel. Pihak pengadu hanya bisa dapat mengajukan permohonan pembentukan panel selama periode 60 hari jika para pihak yang bersengketa sama-sama telah menyadari bahwa ketiga cara ini telah gagal menyelesaikan sengketa.

Bila setelah 60 hari konsultasi tersebut juga gagal untuk mencapai suatu keputusan, pemohon dapat meminta DSB menbentuk suatu panel untuk mengadakan pengkajian.Pembentukan suatu panel adalah otomatis dan keanggotaan panelis harus terbentuk dalam sepuluh hari setelah persetujuan pembentukan

80 Ibid, ayat (2) DSU 81

(28)

panel.Adapun standar kerangka acuan panel yang harus disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO berbunyi sebagai berikut.

to examine, in the light of the relevant provisions in (name of the covered agreement (s) cited by parties to dispute), the matter referred to the DSB by (name

of party) in document……… and to make such finding as will assist the DSB in

making provided for in that/those agreement (s)”.

Dalam hubungan ini, dijelaskan sebagai berikut.82

a) Sekretariat WTO akan mengusulkan nama-nama ketiga penelis kepada pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini berarti Sekretariat WTO harus memiliki suatu daftar orang-orang yang ahli. Dalam pengisian daftar tersebut, para anggota WTO juga dapat mengusulkannya.

b) Ketiga panelis tersebut bertindak atas kapasitas pribadi dan tidak boleh tunduk terhadap tekanan dari suatu pihak atau suatu negara mana pun. Dengan kata lain, pemilihan keanggotaan panelis harus selektif.

c) Panelis-panelis yang ditawarkan tersebut pada umumnya bekas wakil-wakil negara untuk WTO atau pejabat/pensiunan pejabat-pejabat pemerintah/lembaga-lembaga internasional yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang dipersengketakan tersebut.

82

(29)

d) Sekretariat WTO akan mempersiapkan informasi tentang latar belakang permasalahan dan fakta-faktanya.

Dan dalam melaksanakan tugasnya, panel akan memberlakukan hal-hal diantaranya:83

a) Presentasi mengenai temua-temuan dan alasan-alasannya

b) Mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak yang bersengketa dan dengan negara-negara ketiga

c) Mendapatkan/mengumpulkan masing-masing bantahan d) Pertemuan-pertemuan tambahan bila dianggap perlu

e) Menyiapkan laporan tentang faktanya dan argument yang disajikan oleh pihak-pihak yang bersengketa

f) Menyerahkan laporan sementara kepada pihak yang bersengketa g) Mengonsepkan kesimpulan dan rekomendasi

h) Menyampaikan laporan akhir kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pengaturan tentang pembentukan panel untuk menyelesaikan sengketa dimuat dalam pasal 6 DSU tentang Establishment of Panels dimana disebutkan bahwa: “If the complaining party so request, a panel shall be established at the latest at the

DSB meeting following that at which the first appears as an item on the DSB’s

agenda, unless that meeting the DSB decides by consensus not to establish a

panel”. 84

83Ibid, hlm. 262

84

(30)

Jadi jika para pihak mengajukan permohonan, pembentukan panel akan dilakukan pada pertemuan terakhir DSB, kecuali pada pertemuan tersebut DSB memutuskan dengan konsensus untuk tidak membentuk suatu panel. Permohonan untuk membentuk panel harus dibuat secara tertulis dan harus menunjukan bilamana konsultasi diadakan, identifikasi langkah-langkah khusus dan memuat suatu ringkasan singkat dari dasar hukum pemohon untuk mengemukakan masalah secara jelas.

Dalam praktiknya, permohonan secara tertulis tersebut juga mencantumkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam proses konsultasi, menunjukan upaya-upaya atau tindakan suatu negara yang di persengketakan dan memberikan ringkasan mengenai dasar hukum pemohonnya. Persyaratan-persyaratan pendirian panel dan wewenangnya diatur dalam the Understanding.Namun demikian para pihak sepakat, dapat pula menentukan persyaratan-persyaratan baru diluar the Understanding. Fungsi utama dari panel dalam DSB adalah untuk membantu DSB dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai badan penyelesaian sengketa WTO. Secara spesifik, fungsi panel adalah:85

a) Membuat penilaian terhadap suatu sengketa secara objektif dan menguraikan apakah suatu pokok sengketa bertentangan atau tidak dengan perjanjian-perjanjian WTO (Covered Agreements).

85

(31)

b) Merumuskan dan menyerahkan hasil-hasil temuannya yang akan dijadikan bahan untuk membantu DSB dalam merumuskan rekomendasi atau putusan.

Laporan yang dibuat oleh panel harus memcantumkan hal-hal berikut:86 a) Hasil penemuan panel yang menyangkut pokok sengketa b) Penerapan hukum terhadap pokok sengketa

c) Alasan bagi penemuan dan rekomendasi. d. Badan Banding (Appelate Review)

Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di WTO memberikan kemungkinan penarikan terhadap salah satu pihak dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan didengar oleh badan peninjau (Appelate Body) yang dibentuk oleh DSB. Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun. Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidang hukum dan perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan negara mana pun.

Tiga orang anggota dari Appellate Body mendengarkan permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah atau membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan permohonan tidak lebih 60-90 hari.Tiga puluh hari sesudah pengeluaran, laporan dari Appellate Body harus diterima oleh DSB dan tanpa syarat

(32)

diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak, konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.

Pengaturan mengenai upaya banding ini dimuat dalam pasal 17 DSU dengan judul “Appellate Review”. Badan banding ini dibuat oleh DSB dan badan ini akan mendengarkan banding atas kasus dari panel. Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengajukan banding terhadap putusan panel.87

Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 hari, sejak para pihak memberitahukan secara formal keinginannya untuk banding.

DSU mensyaratkan bahwa banding dibatasi untuk menperjelas interpretasi hukum atas suatu ketentuan atau pasal dalam perjanjian WTO. Banding tidak dapat diajukan untuk mengubah bukti-bukti yang ada atau bukti baru yang muncul kemudian.

88

Berdasarkan uraian diatas, selanjutnya dapat dilihat dibawah ini table yang menggambarkan mekanisme penyelesaian sengketa WTO yang ringkas, terstruktur dan sistematis sebagaimana berikut:

Berdasarkan itu maka dapat diketahui bahwa badan banding tidak dapat memenuhi batas waktu tersebut maka ia dapat memperpanjang hingga maksimum 90 hari. Untuk itu, ia harus memberitahukan kepada DSB secara tertulis beserta alasan perpanjagan kapan laporan akan diberikan.

89

87 Ibid.

88

(33)

Waktu Bentuk atau Tahapan 60 hari Konsultasi, mediasi, dan dsbnya

45 hari Panel dibentuk dan panelis ditunjuk 6 bulan laporan final dari panel pada para pihak 3 minggu laporan final panel pada anggota WTO 60 hari

Dispute Settlement Body mengadopsi laporan (Jika tidak ada banding)

total = 1 tahun (tanpa banding) 60-90 hari laporan banding

30 hari DSB mengadopsi laporan banding total = 1 tahun

3 bulan (dengan banding) Sumber: http//www.wto.org

e. Implementasi Putusan dan Rekomendasi

Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat penting demi mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-persengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota.Pada pertemuan DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihak yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk menghargai implementasi dari rekomendasi-rekomendasi.90

Untuk memastikan agar pihak (yang dikalahkan) melaksanakan rekomendasi atau putusan DSB, maka DSB akan terus mengawasi pelaksanaan rekomendasi

90

(34)

atas putusannya.91

Bila hal itu tidak berguna untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu yang beralasan yang di tentukan oleh DSB.

Dimana ketentuan ini merupakan ketentuan baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam GATT.

92

Bila hal ini tidak mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal WTO. Arbitrase harus selesai dalam kurun waktu 60 hari dari batas waktu, dan hasil keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai final, dan tidak diteruskan pada arbitrase lainnya. DSB Apabila itu gagal dalam waktu yang sudah ditentukan, diwajibkan untuk melakukan negoisasi dengan pengugat untuk menentukan kompensasi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.Jika dalam waktu 20 hari tidak disepakati kompensasi yang memuaskan kedua belah pihak, maka penggugat dapat mohon otorisasi dari DSB untuk menangguhkan konsesi-konsesi atau obligasi-obligasi terhadap pihak tergugat.Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam waktu 30 hari dari batas waktu “reasonable period of time”. Jika konsensus akan diberlakukan, jika anggota yang bersangkutan menolak atau keberatan terhadap tingkat suspense, maka hal tersebut akan diteruskan pada arbitrase. Hal ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang asli.

91 Pasal 21 (6) DSU 92

(35)

selanjutna member kuasa suspensi dari konsesi-konsesi secara konsisten dari hasil penyelesaian arbitraror.Jika tidak, maka diadakan konsensus.

E. Penggunaan Retaliasi dalam Penyelesaian Sengketa WTO

Retaliasi bermakna sebagai pengembalian sesuatu yang diinginkan, memberikan kerugian atau retaliasi melalui suatu perbuatan dengan jenis yang sama, atau pembalasan kejahatan dengan kejahatan.93

General Agreements on Tariff and Trade atau (GATT) memberikan hak untuk melaksanakan retaliasi kepada negara yang dirugikan sebagai akibat dari tindakan-tindakan negara lain yang melanggar hukum. Dalam hal ini, negara tersebut diberi hak untuk

Dalam konteks perdagangan di Amerika Serikat, istilah retaliasi telah menjadi terminologi juridis dengan diaturnya lembaga ini dalam peraturan perundangan-undangan negara Amerika Serikat.

Sebagai contoh jika suatu negara meletakan tarif atau harga sangat berlebihan terhadap barang-barang dagangan dari Amerika Serikat,maka Amerika Serikat akan dibenarkan secara hukum dalam negerinya untuk melakukan retaliasi lewat penetapan bea yang tinggi atas hasil pabrik maupun produksi negara yang meletakan tarif yang sangat berlebihan itu. Penerapan retaliasi diarahkan dalam bentuk peningkatan drastic pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor dari negara pelanggar.

93

(36)

menerapkan rintangan-rintangan perdagangan baru terhadap produk-produk impor dari negara-negara yang melanggar hukum.94

Dalam kerangka Hukum Internasional, pengertian retaliasi diarahkan kepada pengertian yang terkandung didalam Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO memberikan hak untuk melaksanakan retaliasi kepada negara yang dirugikan sebagai akibat dari tindakan-tindakan negara lain. Jika suatu negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai retaliasi.Biasanya kompensasi/retaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar.DSU mengizinkan retaliasi terhadap negara anggota WTO yang tidak memenuhi aturan melalui penangguhan konsesi perdagangan atau kewajiban maupun penanggulangan.

Hal yang melatarbelakangi retaliasi sulit dilaksanakan dalam perdagangan internasional dikarenakan komposisi negara berkembang serta negara kurang maju sangat banyak bila dibandingkan dengan jumlah negara-negara maju dan ketergantungan yang besar kepada negara-negara maju.

95

94Ibid

95

(37)

BAB IV

IMPLIKASI PUTUSAN PANEL DISPUTE SETTLEMENT BODY TERHADAP NEGARA YANG BERSENGKETA

(Studi Kasus: Sengketa Rokok Kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat) A. Definisi Umum tentang Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.96

Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasa dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi).

Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh.Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa.Kemudian

(38)

kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa.Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata.Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.

Menurut riset 51,1 persen rakyat Indonesia adalah perokok aktif, tertinggi di Darusallam 0,06% dan Kamboja 1,15%. Pada tahun 2013, 43,8% perokok berasal dari golongan lemah; 37,7% perokok hanya memiliki ijazah SD; petani, nelayan dan buruh mencakup 44,5% perokok aktif. 33,4% perokok aktif berusia di antara 30 hingga 34 tahun. Bagusnya hanya 1,1% perempuan Indonesia adalah perokok aktif, walaupun tentunya perokok pasif akan lebih banyak.97

a) Jenis-Jenis Rokok98

97

Ibid.

98 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun

1995 tentang Cukai

1.Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih,atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.

(39)

3.Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampurdengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikanjumlahnya.

4. Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran

daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

B. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Rokok Kretek Antara Indonesia dan AS.

(40)

tahun1960-2007 mencapai 1,72persen pertahun lebih tinggi disbanding laju pertumbuhan penduduk dunia yang hanya mencapai 1,69persen/tahun.Tapi pada dekade ini seiring dengan maraknya berbagai gerakan antirokok, maka produksi rokok cenderung turun hingga-0,45persen/tahun.99

Di Indonesia sendiri Selama tahun 1961-2007 ekspor tembakau yang telah diolah menjadi tembakau konsumsi seperti rokok mengalami peningkatan sebesar 6,44% pertahun, ekspor sigaret meningkat6,26% pertahun dan ekspor cerutu meningkat hingga4,58%pertahun. Peningkatan ekspor produk tembakau cukup signifikan dan sangat didominasi oleh pergerakan volume ekspor sigaret, Bahkan menurut perkirakan didunia pada tahun 2030 dapat mencapai 10 juta jiwa, dan70% diantaranya berasal dari negara berkembang.Saat ini 50% kematian akibat rokok berada dinegara berkembang. Bila hal ini terus terjadi maka Sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleeh rokok,yang setengahnya berada pada berusia produktif yaitu antara 20 sampai 25 tahun.100

Dilihat dari perspektif kesehatan, bisnis yang berkaitan dengan tembakau seperti halnya rokok dibatasi ruang geraknya dengan berbagai cara di seluruh dunia. Sebagai contoh, terdapat pembedaan pada aturan pembuatan, pengemasan dan iklan produk-produk

Tak heran rokok atau kretek yang menjadi salah satu komoditas penting didunia memiliki atau menimbulkan permasalahan-permasalahan dinegara dunia yang melahirkan sebuah sengketa dengan contoh kasusnya melibatkan Indonesia dan Amerika Serikat

99Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti ,

Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan

Implikasinya Bagi Indonesia (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,2009), hlm.76. 100Kinarsih Herjuno,

(41)

tembakau, yang di Indonesia sendiri diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003.101

Secara luas diakui bahwa tembakau merupakan sebuah bencana kesehatan masyarakat yang utama padaabad ke-20 ini.Berbagai penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai penyakit serius seperti halnya kanker, serangan jantung, serta penyakit serius lainnya.102

Seperti yang terjadi antara Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun 2009 silam. Sengketa kedua negara tersebut berawal dari disahkannya undang-undang “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act” atau biasa disingkat Tobacco Control Act oleh Amerika Serikat.Undang-undang tersebut telah resmi disahkan oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, dan diberlakukan pada bulan September 2009.Dibawah regulasi ini, Amerika serikat memberikan kepercayaan U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk mengatur produk tembakau, dengan penekanan khusus pada pencegahan penggunaan oleh anak- anak dan remaja dan mengurangi dampak tembakau terhadap kesehatan masyarakat. Undang-undang ini memberikan wewenang FDA, antara lain, untuk menetapkan standar produk tembakau, memerlukan daftar produk dan pendaftaran, merevisi label peringatan kesehatan, membuat standar manufaktur, dan review produk dimaksudkan untuk memodifikasi resiko penggunaan tembakau.Berdasarkan mandat tersebut, FDA telah mengambil beberapa langkah penting dalam upaya mencegah generasi

101

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan

102 Commission On Macroeconomics and Health, 2001,

(42)

baru Amerika Serikat meninggal secara prematur akibat penggunaan tembakau dan akhirnya mengurangi kematian dan penyakit yang berhubungan dengan penggunaan tembakau. Langkah tersebut salah satunya diterapkan dalam undang-undang Tobacco Control Act pasal 907 yang berisi tentang pelarangan peredaran rokok beraroma dan berasa (flavored cigarettes) di seluruh Amerika Serikat.Dengan disahkannya undang-undang tersebut maka seluruh negara tidak dapat mengeksport rokok dengan kategori tersebut masuk ke Amerika Serikat. Meski demikian, peraturan tersebut ternyata tidak melarang rokok yang beraroma dan rasa menthol, termasuk rokok kretek.

Sebagai salah satu negara penghasil rokok kretek terbesar, tentunya peraturan yang tercakup dalam pasal 907 TCA menjadi konsentrasi penting bagi Indonesia.Regulasi tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan terutama terhadap ekspor produk rokok ketek Indonesia ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, hampir 99% rokok kretek yang dijual di Amerika Serikat adalah hasil import. Kerugian yang di alami Indonesia yang diperkirakan timbul akibatdari larangan ekspor rokok kretek mencapai US$ 200.000.000 (dua ratus juta dolar) per tahun, selain itu, pelarangan ekspor rokok kretek juga akan dirasakan oleh para petani tembakau.103

Amerika Serikat memiliki alasan yang cukup kuat dalam mengesahkanperaturan Tobacco Control Act tersebut.Amerika Serikat berharap dengan disahkannya undang-undang tersebut maka tingkat konsumsi rokok di kalangan anak muda dapat berkurang dan

103 Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun, di akses dari

(43)

masalah kesehatan yang berdampak dari rokok dapat terhindari sejak dini. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh pihak Indonesia, konsumsi rokok mentol di kalangan anak muda Amerika Serikat sebesar 43% atau sekitar ¼ dari total keseluruhan rokok yang dikonsumsi masyarakat Amerika Serikat. Sebaliknya, konsumsi rokok kretek hanya mencapai 0,09% dari total keseluruhan konsumsi rokok di Amerika Serikat. Melalui data tersebut Indonesia mencoba membuktikan bahwa pelarangan beredarnya rokok kretek beraroma tanpa melarang rokok kretek beraroma dan rasa menthol adalah perbuatan yang tidak memiliki dasar dan tentunya merugikan negara-negara lain.Dengan mengumpulkan berbagai bukti pelanggaran yang dilakukan Amerika Serikat, akhirnya Indonesia memutuskan untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Dispute Settlement Body- WTO dengan gugatan bahwa Amerika Serikat melanggar peraturan yang tertulis jelas dalam Technical Barrier to Trade Agreement104

Indonesia merasakan adanya regulasi teknis yang dibuat oleh Amerika Serikat telah menghambat kegiatan perdagangan Indonesia, dimana hal tersebut sangat berpengaruh kepada perekonomian Indonesia.Pangsa pasar ekspor rokok kretek Indonesia sekitar 50 . Dengan harapan, sebagai satu-satunya organisasi yangmengatur persoalan ekonomi dan perdagangan internasional, WTO dapat menyelesaikan dan memutuskan hal yang benar.

C. Dasar Pengajuan Komplain Indonesia Terhadap Amerika Serikat

104 TBT

(44)

persen ke AS. Data Bea Cukai menyebutkan data ekspor hasil tembakau berupa ke AS tahun 2008 298.932.400 batang atau US$ 6,662 juta, dan tahun 2009 (sampai Agustus 2009) sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta. Namun sejak Tobacco Control Act diberlakukan, devisa dari hasil penjualan tembakau tersebut di Amerika Serikat langsung berubah menjadi no l8.

Berdasarkan hal tersebut, maka Indonesia sebagai negara yang terkena dampak ketidakadilan dari suatu regulasi teknis yang dibuat oleh Amerika Serikat, memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengajuan penyelesaian sengketa ke DSB, berdasarkan Pasal 14.1 TBT Agreement, yang mengacu kepada Pasal XXII dan XXIII GATT 1994. Dasar pengajuan komplain Indonesia terhadap Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek adalah TBT Agreement, dimana dalam memberlakukan Tobacco Control Act, Amerika Serikat tidak melaksanakan prinsip – prinsip dalam WTO, dan melanggar beberapa ketentuan dalam TBT Agreement.105

(45)

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh DSB

Keterlibatan Indonesia dalam forum sengketa WTO yang melibatkan AS dalam kebijakannya yang mempengaruhi produksi dan penjualan rokok kretek Indonesia di AS.Dalam tersebut pada 7 April 2010, Indonesia memcinta konsultasi dengan AS terkait dengan diterbitkannya Tobacco Control Act pada tahun 2009. Indonesia merasa UU tersebut tidak konsisten dengan pasal III : 4 GATT 1994, pasal 2 TBT Agreement dan SPS Agreement.

Pada tanggal 9 Juni 2010, Indonesia memohon pembentukan panel.Pada pertemuan tertanggal 22 Juni 2010, DSB menunda pembentukan panel tersebut.Namun pada pertemuan 20 Juli 2010, DSB menyetujui pembentukan panel.Beberapa negara diikutsertakan menjadi pihak ketiga, yaitu Brasil, Uni Eropa, Guatemala, Norwegia, Republik Dominika, dan Meksiko106

Pada tanggal 15 September 2011, Indonesia dan AS meminta DSB untuk mengadopsi draf keputusan yang memperluas periode waktu 60 hari seperti yang tercantum

. Pada tanggal 8 Maret 2011, Ketua Panel memberitahukan DSB bahwa jadwal yang digunakan panel setelah konsultasi dengan pihak-pihak yang berselisih bahwa laporan akhir akan diterbitkan pada akhir Juni 2011 dan panel berharap untuk menyimpulkan hasil kerjanya dalam kerangka waktu tersebut. Dan pada 2 September 2011, laporan panel tersebut dibagikan kepada para anggota.

106 WTO DSB,

(46)

dalam pasal 16.4 DSU sampai 20 Januari 2012 mengadopsi laporan panel. Pada pertemuan 27 September 2011, DSB telah sepakat bahwa dengan permohonan Indonesia atau AS, DSB tidak lebih tidak lebih dari tanggal 20 Januari 2012 dalam mengadopsi laporan panel, kecuali apabila DSB memutuskan secara sepakat untuk tidak melakukan hal yang demikian atau Indonesia atau AS memberitahu DSB terkait keputusan tersebut sesuai dengan pasal 16.4 DSU. Pada tanggal 5 Januari 2012, AS memberitahu DSB terkait keputusannya untuk naik banding terkait masalah khusus dalam laporan panel dan penafsiran hukum tertentu yang dikembangkan oleh panel. Pada 29 Februari 2012, Appelate Body atau Badan Banding memberitahukan DSB bahwa Badan Banding tersebut tidak dapat menyelesaikan laporannya dalam 60 hari sehubungan dengan waktu yang diperlukan untuk penyelesaian dan terjemahan dari laporan tersebut. Badan Banding tersebut menafsirkan bahwa laporan tersebut diedarkan tidak lewar dari 4 April 2012.

Pada tanggal 4 April 2012, Laporan Badan Banding telah diedarkan kepada para anggota dengan temuan bahwa pasal 907 (a) (1) (A) FFDCA melarang produksi dan penjualan rokok di AS dengan ciri (seperti rokok kretek, strawberry, anggur, orange, nanas, cinnamon, vanilla, kokoa, cherry, atau kopi) namun tidak melarang rokok biasa atau rasa menthol.Badan Banding akhirnya menyatakan bahwa hasil temuan panel terhadap pasal 907 (a) (1) (A) tidak konsisten dengan pasal 2.1 TBT Agreement107

107

Article 2.1 TBT: “Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country.”

(47)

dengan penafsiran panel terkait produk sejenis dan perlakuan yang kurang dalam pasal 2.1 TBT Agreement.

Akhirnya, Badan Banding menyatakan bahwa penemuan Panel bahwa dengan memperkenankan waktu hanya tiga bulan antara publikasi dan berlakunya bagian 907 (a) (1) (A), AS bertindak tidak konsisten dengan pasal 2.12 TBT Agreement108

Pada pertemuan DSB tertanggal 24 April 2012, DSB mengadopsi laporan Badan Banding dan laporan panel yang telah dimodifikasi oleh Badan Banding, selanjutnya pada pertemuan tanggal 24 Mei 2012, AS memberitahu DSB mengenai tujuannya untuk melaksanakan rekomendasi DSB dan aturan dengan cara melindungi kesehatan masyarakat dan terkait dengan kewajiban WTO namun butuh periode waktu yang wajar untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Pada tanggal 14 Juni 2012, Indonesia dan AS

dan jikan ditafsirkan dalam konteks paragraph 5.2 Doha Ministerial Decision yang menetapkan dibutuhkan waktu minimal enam bulan antara penerbitan dan berlakunya aturan teknis. Dalam mencapai kesimpulan ini, Badan Banding setuju dengan panel bahwa paragraph 5.2 dari Doha Minesterial Decision merupakan perjanjian lanjutan antara pihak-pihak sesuai arti yang terdapat dalam pasal 31 (3) dari Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian.

(48)

memberitahukan DSB bahwa periode waktu yang wajar bagi AS dalam melaksanakan rekomendasi DSB adalah selama 15 bulan yang berakhir pada tanggal 2 Juli 2013.

Pada tanggal 12 Agustus 2013, Indonesia memohon otorisasi kepada DSB untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan pasal 22.2 DSU.Pada tanggal 22 Agustus 2013, AS keberatan pada tingkat penangguhan konsesi tersebut dan meminta agar diselesaikan melalui arbitrase.Pada pertemuan DSB tertanggal 23 Agustus 2013, disepakati bahwa masalah tersebut mengacu kepada arbitrase seperti yang diatur dalam pasal 22.6 DSU.

Dalam perkembangan selanjutnya sebelum hasil sidang arbitrase diumumkan, AS dan Indonesia telah bersepakat memilih penyelesaian secara bilateral.Hasilnya adalah

(49)

AS109

Indonesia mengatakan bahwa regulasi yang dibuat oleh Amerika Serikat merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif.Hal tersebut dikarenakan, peraturan tersebut dibuat tanpa disertai bukti ilmiah yang menyatakan bahwa rokok kretek lebih berbahaya dibandingkan dengan rokok menthol.Oleh karena itu, maka pada tanggal 9 Juni 2010,

. GSP adalah pembebasan bea masuk untuk beberapa produk selama kurun waktu empat tahun senilai US$ 100 juta. Peluang tersebut kini dimanfaatkan untuk kabel otomotif namun tidak menutup kemungkinan ekspor komoditas lainnya.Poin kesepakatan ini sudah menguntungkan Indonesia karena fasilitas yang diperoleh Indonesia bernilai lebih besar dari nilai ganti rugi.

E. Analisis Putusan DSB Sengketa Rokok Kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Diterbitkannya Tobacco Control Act oleh Amerika Serikat dilakukan dengan dalih untuk melindungi generasi muda Amerika Serikat dari bahaya rokok, karena menurut Amerika Serikat rasa dan aroma rokok yang dilarang tersebut dapat merangsang generasi muda untuk mulai merokok. Amerika Serikat menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak untuk membuat regulasi demi kesehatan masyarakat.Dalam hal ini, Amerika Serikat mengatakan bahwa tujuan dari disahkannya Tobacco Control Act adalah untuk mengurangi jumlah perokok di bawah umur, serta melindungi mereka dari dampak bahaya rokok.

(50)

Indonesia meminta pembentukan panel kepada DSB WTO13. Pada intinya, Indonesia mengajukan dua gugatan utama yaitu:

1. Pasal 2.1 TBT Agreement110

2. Pasal 2.2 TBT Agreement

, yaitu bahwa Amerika Serikat telah melakukan diskriminasi.

111

Panel mengeluarkan laporannya pada tanggal 2 September 2011, dimana Panel mengabulkan gugatan pertama Indonesia, yakni bahwa Amerika Serikat telah melakukan diskriminasi terhadap rokok kretek. Dalam kaitannya dengan Pasal ini, Panel memutuskan bahwa Tobacco Control Act telah melanggar ketentuan Pasal 2.1 TBT Agreement,

, yaitu bahwa pelarangan rokok tersebut tidak perlu dilakukan.

112

karena telah memperlakukan rokok kretek, yang merupakan produk impor, kurang menguntungkan di banding dengan perlakuan yang diberikan terhadap rokok menthol yang merupakan produk domestik.113

110

Pasal 2.1 TBT berbunyi … “Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country.”

111 Pasal 2.2 TBT berbunyi… “Members shall ensure that technical regulations are not prepared,

adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”

112

“Tobacco Product Regulation and theWTO:US-Clove Cigarettes”,O’Neill Institute for National and Global Health Law, Georgetown

Law

l%20Institute%20Briefing%20Paper%20US%20-%20Clove%20Cigarettes.pdf , diakses:15 Desember 2015.

113

(51)

Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur suatu regulasi teknis yang di buat oleh suatu negara, tidak boleh memperlakukan produk domestik negara tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan produk impor sejenis. Untuk menentukan apakah telah terjadi suatu pelanggaran terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel memutuskan bahwa ada 3 (tiga) elemen yang terdapat dalam Pasal tersebut, yang harus terpenuhi, sesuai dengan putusan Panel dalam EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia), yaitu:

1. Kebijakan tersebut merupakan suatu regulasi teknis

2. Bahwa yang menjadi sengketa antara produk impor dengan produk domestik, merupakan produk yang “sejenis”

3. Bahwa produk impor diperlakukan kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang “sejenis”

Sebelum melakukan analisa terhadap ada atau tidaknya pelanggaran Tobacco Control Act

terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel terlebih dulu memeriksa apakah Tobacco Control Act termasuk ke dalam definisi “technical regulation” sebagaimana yang di atur di dalam Annex 1.1 TBT Agreement. Annex 1.1 TBT Agreement berbunyi:

“Document which lays down product characteristics or their related processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method.”

(52)

Pada kasus – kasus WTO sebelumnya, yaitu pada kasus EC – Asbestos dan EC – Sardines,

Appellate Body telah menetapkan kriteria – kriteria agar suatu regulasi dapat dikategorikan sebagai “regulasi teknis”, yaitu:

1. Dokumen tersebut harus memuat tentang identifikasi produk.

2. Dokumen tersebut harus mencantumkan karakteristik produk tersebut.

3. Regulasi tersebut bersifat “memerintah” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Tobacco Panel memutuskan bahwa telah terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Tobacco Control Act.

Meskipun Panel mengabulkan gugatan pertama Indonesia, akan tetapi Panel tidak mengabulkan gugatan kedua Indonesia, yaitu Pasal 2.2 TBT Agreement, mengenai tidak diperlukannya pelarangan terhadap peredaran rokok kretek. Panel memutuskan bahwa Indonesia tidak dapat membuktikan jika pelarangan rokok kretek lebih bersifat menghambat perdagangan dikarenakan adanya persaingan dagang, dan bukan untuk menguragi jumlah perokok muda.

(53)

Amerika Serikat, yang diproduksi oleh Altria Group Inc yang dimiliki oleh Philip Morris, dimanaperusahaan tersebut merupakan perusahaan rokok terbesar Amerika Serikat.Bahwa berdasarkan data dari Federal Trade Commission, rokok menthol menguasai 20% pasar rokok Amerika Serikat.Pelarangan terhadap beberapa jenis rokok, termasuk rokok kretek, yang dilakukan oleh Amerika Serikat dapat sangat memberikan keuntungan bagi produsen rokok terbesar Amerika Serikat tersebut.Biasanya Tobacco Control Act yang dibuat oleh Amerika Serikat tersebut menyebabkan Tobacco Control Act sering disebut-sebut sebagai Marlboro Monopoly Act of 2009.114

Hal tersebut dikarenakan produk Marlboro yang merupakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan rokok Philip Morris, telah membantu Amerika Serikat bersaing di dalam pasar rokok dunia.Dikarenakan pasar rokok domestik Amerika Serikat menurun tiap tahunnya, persaingan rokok di Amerika Serikat menjadi lebih ketat.Melalui pelarangan beberapa jenis rokok selain rokok menthol, hal tersebut dapat mengokohkan posisi rokok menthol di pasar rokok Amerika Serikat. Meskipun Panel memutuskan bahwa hal tersebut tidak dapat menjadi bukti bahwa Tobacco Control Act yang dibuat oleh Amerika Serikat merupakan tindakan untuk melakukan proteksionisme terhadap produk domestik, bukan berarti bahwa

Tobacco ControlAct tersebut tidak menghambat perdagangan. Perlu diingat bahwa tujuan dari pemberlakuan Tobacco Control Act adalah untuk mengurangi jumlah perokok dari kalangan di bawah umur.Maka yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan melarang

114 Carney, Timothy P., “

(54)

beberapa rokok dengan aroma dan rasa tertentu, termasuk rokok kretek, namun tetap membolehkan beredarnya rokok menthol dapat mencapai tujuan Amerika Serikat, yaitu mengurangi jumlah perokok muda.Dalam gugatannya, Indonesia sudah memberikan beberapa bukti yang menyatakan bahwa pengguna rokok kretek di Amerika Serikat jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pengguna rokok menthol. Selain itu, menurut hasil penelitian dari TobaccoProducts Scientific Advisory Committe (yang selanjutnya disebut TPSAC), yang merupakan badan yang diberi mandat oleh Tobacco Control Act untuk memberi laporan kepada US FDA, mengeluarkan laporan yang mematahkan argumen Amerika Serikat. Laporan yang dikeluarkan oleh TPSAC berbunyi:

“TPSAC does conclude that the availability of menthol cigarettes has led to an increase in the number of smokers and that this increase does have adverse public health impact in the United States. TPSAC found evidence that the availability of menthol cigarettes increases initiation; of particular concern was the high rate of menthol cigarette smoking among youth and the trend over the last decade of increasing menthol cigarette smoking among 12 to 17 year olds, even as smoking of non-menthol cigarettes declines. TPSAC also concluded that cessation is less likely to be successful among smokers of menthol cigarettes. Thus, the availability of menthol cigarettes increases initiation and reduces cessation, thereby increasing the number of people who are smoking. This increase in the number of smokers represents an adverse impact of the availability of menthol cigarettes on public health.”

Gambar

Tabel 1 : Putaran Perundingan Perdagangan

Referensi

Dokumen terkait

-- Tidak ada besi pengaman Tidak ada besi pengaman disisi jembatan, hanya ada pembatas jembatan saja. disisi jembatan, hanya ada pembatas jembatan saja. Seharusnya disisi

yang siap ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan Jumlah RASNI yang siap ditetapkan 8762 9262 9762 10262 1076 2 Dokumen RASNI 2 Memastikan

Kolaborasi riset universitas dan industri dapat didefinisikan secara luas sebagai interaksi antara setiap bagian dari sistem pendidikan tinggi dan industri yang bertujuan

Yang mana berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini sebagai syarat akhir untuk meraih gelar Sarjana Teknik di Jurusan Teknik

Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih

• Perekmbangan teknologi film dimulai dari Eadweard Muybridge’s yang membuat film sederhana dengan menggunakan gambar photo dari kamera yang disusun kemudian Kinetograph yang

Hasil pemeriksaan kadar air agregrat kasar menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung dalam agregrat kasar rata-rata yang diperoleh dari hasil pengujian sebesar 1,28

Pada pembelajaran bahasa Arab, terdapat empat keterampilan bahasa (mah ᾱ rah) yaitu; keterampilan menyimak (mah ᾱ rah istima’), keterampilan berbicara (mah ᾱ rah