• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PERCERAIAN KARENA LI’AN DAN AKIBAT HUKUM DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

TESIS

OLEH

ZAISIKA KHAIRUNNISAK

127011056

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Li’an adalah ucapan tertentu yang digunakan suami untuk menuduh istrinya yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (zina) atau dapat menjadi alasan suami untuk menolak anak yang dilahirkan oleh istrinya. Tentang kapan terjadi li’an sebagai mana para ahli Fiqih Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an antara suami dan istri, maka sejak itu suami istri tersebut harus dipisahkan, dimana pengucapan sumpah yang dilakukan suami istri tersebut dihadapan orang yang beriman dalam jumlah yang banyak. Sedangkan didalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama. Sehingga perlu dikaji mengenai prosedur perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum dari perceraian yang disebabkan li’an dalam perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada istri dan anak akibat perceraian yang disebabkan oleh li’an.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secaralogis, sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa prosedur perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam yaitu suami harus mengangkat sumpah sebanyak empat kali bahwa dia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, dan sumpah kelima laknat Allah menimpa dirinya apabila dia berdusta, kemudian istri mengangkat sumpah penolakan sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya dan sumpah kelima murka Allah atasnya apabila suaminya berkata benar, kedua suami istri tersebut melakukan li’an dihadapan orang-orang yang beriman. Berdasarkan Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bagaimana prosedur pelaksanaan li’an dan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Akibat hukum dari li’an didalam Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam hanya memiliki satu kesamaan yaitu putusnya penikahan untuk selama-lamanya, sedangkan didalam Fiqih Islam li’an masih memiliki beberapa akibat hukum lainnya. Perlindungan hukum terhadap istri yang dili’an oleh suaminya di dalam Fiqih Islam yaitu istri memperoleh hak atas mahar yang diberikan oleh suaminya sepenuhnya, dan didalam KHI istri berhak atas harta bersama harta bawaan serta istri dapat membersihkan nama baik dengan mengangkat sumpah balasan. Anak mula’anah memiliki kedudukan yang sama dengan anak diluarnikah, dalam Fiqih Islam anak mula’anah tidak memiliki hak apapun atas suami yang meli’an ibunya, didalam KHI dijelaskan bahwa tidak terdapat larangan anak mula’anah menerima hibah ataupun wasiat dari suami yang meli’an ibunya. Anak mula’anah berhak memperoleh perlindungan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 dan berhak menerima hak-haknya sebagai anak

(3)

ABSTRACT

Li’an is a specific statement used by a husband for accusing his wife of committing adultery so that he has the reason to reject the child who is delivered by her. Li’an, according to the Islamic Fiqh experts, occurs between husband and wife when it is uttered in front of many people who have the same faith. Since then, they are separated. Meanwhile, Article 128 of KHI (Compilation of the Islamic Law) points out that li’an is valid when it is done before the Religious Court. Therefore, the problems of the research were how about the procedure of divorce because of li’an in the perspective of the Islamic Fiqh and of KHI, how about the legal consequence of a divorce because of li’an in the perspective of the Islamic Fiqh and of KHI, and how about the legal protection for a wife and her child as the result of divorce because of li’an.

The research used judicial normative and descriptive method. The data were gathered by using secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials as the main data. The gathered data were then processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that the procedure of divorce because of li’an, according to the Islamic Fiqh, was when a husband swore on oath four times, saying that he said the truth in his accusation. In his fifth oath, he said that he would be cursed by Allah if he told a lie. His wife also swore on oath four times, saying that she did not commit any adultery. In her fifth oath, she said that she would be cursed by Allah if her husband was right. Both of them then did li’an in front of the people who had the same faith. Article 127 of KHI points out that li’an will be valid when it is done before the Religious Court. The legal consequence of li’an in the Islamic Fiqh and in KHI has one similarity, that is, third and final divorce, while in the Islamic Fiqh it still has some other legal consequences. Legal protection for a woman who is done the li’an by her husband, according to the Islamic law, will get the right to have the whole dowry from him, and in KHI she has the right on the joint property and she restores her good name by swearing on oath for response. A mula’anah child has the same position as an illegitimate child in which he did not have any right to inherit from his father who has done the li’an to his mother. KHI points out that there is no prohibition for mula’anah child to receive a gift or a will from his father who has done a li’an to his mother. A mula’anah child has the right to get protection, based on Article 23 of Law No. 23/2002 and receives his rights as a child.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul: “Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari beragai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., serta Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukkan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn., dan Bapak Notaris Syafnil Ghani, SH, M.Hum., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magsiter Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.

5. Bapak-bapak dan ibu-ibu guru besar dan staf pengajar serta para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

segala pengorbanan untuk membesarkan ananda dengan tanggung jawab sepenuhnya, dan penulis mengucapkan terima kasih kepada abang penulis Wahyul Hifzi, S.IP, M.AP, serta adik penulis Nabila Khairul Husna dan ibunda penulis Raudha Simangunsong, SS, Nur Syam Simangunsong, S.Ag, serta semua keluarga yang banyak memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Mohd. Sayva Arrafi, SE, atas segala pengorbanan, pengertian, motivasi dan waktunya yang terus-menurus diberikan kepada penulis. Serta penulis mengucapkan terima kasih kepada para sahabat Raehan Afrillicia, BBA, Yuka Syahmita, SH, dan Silvia Ananda, SH, Fitriyani, SH, dan rekan-rekan seperjuangan khususnya rekan-rekan Magister Kenotariatan Angkatan 2012, Yulia, SH, M.kn, Yophi Sandofa, SH, M.Kn, Dina Arfina, SH, M.Kn, Syafwatunnida, SH, M.Kn, Desicha RD, SH, M.Kn, Basri Effendi, SH, M.Kn, Fenty Rizka SH, M.Kn, Yolanda Oktavina SH,M.Kn Hujjatul Marwiyah, SH, M.Kn, dan kawan-kawan satu angkatan lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat, kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran dari awal masuk Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sampai saat penulis selesai menyusun tesis ini.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesisi ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Desember 2014

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Zaisika Khairunnisak

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 10 Juni 1990

Alamat : Jl. Mangga 2, Perapat Hilir, Kutacane,

Aceh Tenggara

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 24 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Nama Bapak : Drs. Abdul Hamid Sekedang

NamaIbu : Dra. Zuraidah Simangunsong

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD. Pertiwi Medan (1996-2002) Sekolah Menengah Pertama : Mtss. YPMDU Asahan-Kisaran

(2002-2005)

Sekolah Menengah Atas : SMA. Akselerasi Al-Azhar Medan (2005-2007)

Universitas : S1 Fakultas Hukum Universitas Islam

Sumatera Utara (UISU) Medan

(2008-2012)

Universitas : S2 Magister Kenotaritan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………..…… i

ABSTRACT……….……… ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP………..… v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR ISTILAH……….... viii

DAFTAR SINGKATAN……….. x

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang……….……… 1

B. Rumusan Masalah………..……….. 11

C. Tujuan Penelitian………….………...…. 12

D. Manfaat Penelitian……….……….….. 12

E. Keaslian Penelitian……….……… 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………..……….... 14

1. Kerangka Teori……….……..…….. 14

2. Konsepi……….……….... 18

G. Metode Penelitian……….………...……… 21

1. Spesifikasi Penelitian………….………. 22

2. Sumber Data……….……….……... 23

3. Teknik Pengumpulan Data……….……….. 25

4. Analisis Data……….………..………. 25

BABII. PROSEDUR PENYELESAIAN LI’AN MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM……… 27

A. Tinjauan Umum Tentang Li’an……….………….… 27

1. Pertian Li’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.. 27

2. Dasar Hukum Li’an Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis… 35

B. Prosedur Perceraian dengan Cara Li’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam serta Praktek di Pengadilan Agama……..…..…. 43

1. Penyelesaian Perkara Li’an Menurut Fiqih Islam.……….……. 43

2. Penyelesaian Perkara Li’an Menurut KompilasiHukum Islam……. 50

3.Praktek Perkara Li‘an di Pengadilan Agama ……….……. 52

BAB III. AKIBAT HUKUM PERCERAIAN DISEBABKAN LI’AN …… 61

A. Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Li’an.……….. 61

B.Akibat Hukum dari Li’an Menurut Fiqih Islam.……….. 63

(8)

BAB IV. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI DAN ANAK

AKIBAT PERCERAIAN……… 84

A. Usaha-Usaha untuk Mendapatkan Perlindungan HukumTerhadap Istri dan Anak ……….…… 84

B. Hak-Hak Istri yang Telah Diceraikan Karena Li’an………..…… 89

C. Hak-Hak Anak sebagai Korban dari Li’an………..…………..…. 94

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 106

A.Kesimpulan………. 106

B.Saran……… 107

(9)

DAFTAR ISTILAH

Ahliful : saya bersumpah

Al-la’nu : berjauhan

Al-ab’adu : berjauhan

Al-mahr : imbalan yang disebutkan atau sesuatu yang Menggantikan posisi didalam aqad nikah Al-nihla : imbalan yang disebutkan atau sesuatu yang

menggantikan posisi didalam aqad nikah Al-thordu min al-khoi : pengusiran dari kebaikan

Anak mula’anah : anak yang ditolak atau dinafikkan oleh suami yang meli’an ibunya

Aqsimu : saya bersumpah

Asyhadu : saya bersaksi

Baligh : istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan

Decisoireed : sumpah menentukan Fasid : rusak, tidak sah atau batal

Fasakh : perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antarasuami istri

(pembatalan perkawinan)

Fakultatif : tidak diwajibkan, boleh memilih

Had : hukuman

Hamba sahaya : orang yang belum merdeka

Ijma’ : kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist dalam suatuperkara yang terjadi

Imperatif : bersifat memerintah

La’ana : membuang

Li’ana : menjauhkan

Li’an : ucapan tertentu yang digunakan untuk

menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori diri (berzina) dan dapat

menjadi alasan suami untuk menolak anak Khulu’ : perceraian yang diminta oleh istri dari

suaminya dengan memberikan tebusan Mahram muabbad : orang yang haram untuk dinikahi

(10)

Mazhab : metode yang dibentuk setelah melalui

pemikiran dan penelitian, kemudian dijadikan pedoman yang jelas batasan-batasannya, dibangun diatas prinsip-prinsip dan kaidah- kaidah

Mitsaqan galidzan : akad yang sangat kuat

Muhsan : bersih dari kemungkinan sifat-sifat tercela Mukallaf : orang yang sudah dewasa yang sehat akalnya

Mula’anah : saling bersumpah

Murtad : meninggalkan atau keluar dari ajaran Islam baik secara niat dan perbuatan untuk kemudian memeluka dan atau menjalankan ajaran lain

Nasab : keturunan

Nasikh : membatalkan

Nukul : sumpah balik atau sumpah balasan

Qazf : hukuman dera bagi orang yang menuduh orang baik-baik berzina

Qiyas : mentapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya sama

Suplatior eed : sumpah tambahan

Syiqaq : perselisihan yang terjadi diantara suami istri

Ta’zir : menolak atau mencegah

Talaq : ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan

Takhsis : pembatasan, pengkhususan

Zina : hubungan suami istri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan

(11)

DAFTAR SINGKATAN

bin : binti

H : Hijriah

HIR : Herziene Inlandsch Reglement

KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUHP : Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata

NTR : Nikah Thalak Rujuk

r.a : Radiallahu ‘anha

RBg : Rechtsreglement voor de

Buitengewesten

SAW : Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

(12)

ABSTRAK

Li’an adalah ucapan tertentu yang digunakan suami untuk menuduh istrinya yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (zina) atau dapat menjadi alasan suami untuk menolak anak yang dilahirkan oleh istrinya. Tentang kapan terjadi li’an sebagai mana para ahli Fiqih Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an antara suami dan istri, maka sejak itu suami istri tersebut harus dipisahkan, dimana pengucapan sumpah yang dilakukan suami istri tersebut dihadapan orang yang beriman dalam jumlah yang banyak. Sedangkan didalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama. Sehingga perlu dikaji mengenai prosedur perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum dari perceraian yang disebabkan li’an dalam perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada istri dan anak akibat perceraian yang disebabkan oleh li’an.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secaralogis, sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa prosedur perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam yaitu suami harus mengangkat sumpah sebanyak empat kali bahwa dia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, dan sumpah kelima laknat Allah menimpa dirinya apabila dia berdusta, kemudian istri mengangkat sumpah penolakan sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya dan sumpah kelima murka Allah atasnya apabila suaminya berkata benar, kedua suami istri tersebut melakukan li’an dihadapan orang-orang yang beriman. Berdasarkan Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bagaimana prosedur pelaksanaan li’an dan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Akibat hukum dari li’an didalam Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam hanya memiliki satu kesamaan yaitu putusnya penikahan untuk selama-lamanya, sedangkan didalam Fiqih Islam li’an masih memiliki beberapa akibat hukum lainnya. Perlindungan hukum terhadap istri yang dili’an oleh suaminya di dalam Fiqih Islam yaitu istri memperoleh hak atas mahar yang diberikan oleh suaminya sepenuhnya, dan didalam KHI istri berhak atas harta bersama harta bawaan serta istri dapat membersihkan nama baik dengan mengangkat sumpah balasan. Anak mula’anah memiliki kedudukan yang sama dengan anak diluarnikah, dalam Fiqih Islam anak mula’anah tidak memiliki hak apapun atas suami yang meli’an ibunya, didalam KHI dijelaskan bahwa tidak terdapat larangan anak mula’anah menerima hibah ataupun wasiat dari suami yang meli’an ibunya. Anak mula’anah berhak memperoleh perlindungan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 dan berhak menerima hak-haknya sebagai anak

(13)

ABSTRACT

Li’an is a specific statement used by a husband for accusing his wife of committing adultery so that he has the reason to reject the child who is delivered by her. Li’an, according to the Islamic Fiqh experts, occurs between husband and wife when it is uttered in front of many people who have the same faith. Since then, they are separated. Meanwhile, Article 128 of KHI (Compilation of the Islamic Law) points out that li’an is valid when it is done before the Religious Court. Therefore, the problems of the research were how about the procedure of divorce because of li’an in the perspective of the Islamic Fiqh and of KHI, how about the legal consequence of a divorce because of li’an in the perspective of the Islamic Fiqh and of KHI, and how about the legal protection for a wife and her child as the result of divorce because of li’an.

The research used judicial normative and descriptive method. The data were gathered by using secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials as the main data. The gathered data were then processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that the procedure of divorce because of li’an, according to the Islamic Fiqh, was when a husband swore on oath four times, saying that he said the truth in his accusation. In his fifth oath, he said that he would be cursed by Allah if he told a lie. His wife also swore on oath four times, saying that she did not commit any adultery. In her fifth oath, she said that she would be cursed by Allah if her husband was right. Both of them then did li’an in front of the people who had the same faith. Article 127 of KHI points out that li’an will be valid when it is done before the Religious Court. The legal consequence of li’an in the Islamic Fiqh and in KHI has one similarity, that is, third and final divorce, while in the Islamic Fiqh it still has some other legal consequences. Legal protection for a woman who is done the li’an by her husband, according to the Islamic law, will get the right to have the whole dowry from him, and in KHI she has the right on the joint property and she restores her good name by swearing on oath for response. A mula’anah child has the same position as an illegitimate child in which he did not have any right to inherit from his father who has done the li’an to his mother. KHI points out that there is no prohibition for mula’anah child to receive a gift or a will from his father who has done a li’an to his mother. A mula’anah child has the right to get protection, based on Article 23 of Law No. 23/2002 and receives his rights as a child.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ajaran Islam, perkawinan memang disyariatkan secara lengkap dan mulia.Manusia hanya menjalankan perintah perkawinan yang lengkap serta mulia itu dengan baik dan benar. Suatu perkawinan dalam Islam dipandang sempurna apabila suami istri mampu membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin atau dengan kata lain dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan.Begitu pentingya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al – Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah perkawinan dimaksud. Dengan perkawinan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki – laki dan perempuan menjadi terhormat1, interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.2

1

Abd. Nasr Taufik Al-Athar, Saat Anda Meminang, Terjemahan Abu Syarifah dan Afifah, (Jakarta : Pustaka Azam, 2000), hal. 5.

2

(15)

Didalam Hadist, Rasulullah bersabda yang artinya “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah termasuk ummatku“ (Hadist Riwaya Bukhari)3

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al- tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u , atau ‘ibarat ‘an al-wath’ wa al-‘aqdyang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.4Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.5

Nikah artinya perkawinan, sedangkan aqad artinya perjanjian.Jadi akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi).6

3

Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dina Utama,1993), hal. 7.

Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam diungkapan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera

4

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Asillatuhu, Juz VII, (Damsyiq; Dar al-Fikr,1989), hal. 40.

5

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No 1/ 1974 sampai KHI), (Jakarta : Kencana,

2004), hal. 40. 6

(16)

melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.7

Sebagaimana tersirat dalam Al – Qur’an surat Ar - Ruum ayat 21 yaitu :

ْﻡُﻛَﻧْﻳَﺑ

َﻝَﻌَﺟ َﻭ

ﺎَﻬْﻳَﻟِﺇ

ﺍﻭُﻧُﻛْﺳَﺗِﻟ

ﺎًﺟﺍ َﻭ ْﺯَﺃ

ُﻔْﻧَﺃ ْﻥِﻣْﻣُﻛِﺳ

ْﻡُﻛَﻟ

ْﻥَﺄَﻘَﻠَﺧ

ِﻪِﺗﺎَﻳﺁ

ْﻥِﻣ َﻭ

َﻥﻭُﺭﱠﻛَﻔَﺗَﻳ

ٍﺕﺎَﻳ َﻶٍﻣ ْﻭَﻘِﻟ

ﻲِﻔَﻛِﻟ َٰﺫ

ﱠﻥِﺇ

ۚ◌

ًﺔَﻣ ْﺣَﺭ َﻭ

ًﺓﱠﺩ َﻭَﻣ

Artinya :

“Dan diantara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri–istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kamu yang berfikir" 8

Ayat tersebut diatas sangat relevan denga tujuan perkawinan yang menyebutkan bahwa tujuan sebuah perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.9Tujuan Perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.10

7

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta :Sinar Grafika, 2006), hal. 7. Tujuan perkawinana menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

8

Departemen Agama RI. Al – Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang :Toha Putra,1989), hal.6 44.

9

Departemen agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : Fokusmedia, 2010), hal.7.

10

(17)

Iman Jauhari mengemukakan bahwa “Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin, Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak”.11

Prinsip hukum perkawinan bersumber dari Al–Qur’an dan Al-Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis – garis hukum melalui Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 asas hukum, yaitu :

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Asas kebsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka.

4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian.

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, 7. Asas pencatatan perkawinan.12

Keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.13

11

Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,(Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hal. 3.

Ayat (2) mengunkapkan, Tiap – tiap

12

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta :Sinar Grafika, 2006), hal. 7. 13

(18)

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.14

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara calon suami istri yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak keluarga dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak–anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian, lahirnya anak dalam perkawinan menimbulkan kewajiban orang tua, antara tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya sampai mereka dewasa dan mandiri. Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak – hak orang lain.

Oleh karena itu pencatat perkawinan merupakan syarat administratif. Pada pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

15

Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan perkawinan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya

14

Ibid

15

(19)

cinta lahir batin anatara pasangan suami istri tersebut.Perkawinan yang dibangun dengan cinta yang semu (tidak lahir batin), maka perkawinan yang demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu peceraian.16Apabila perkawinan sudah berakhir dengan suatu perceraian maka yang menanggung akibatnya adalah seluruh keluarga yang biasanya sangat memprihatinkan.17

Di dalam perkawinan terkadang terjadi perselisihan antara suami istri yang menimbulakan permusuhan, menanam bibit kebencian antar keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, walaupun berbagai usaha dan upaya telah dikerahkan ke arah perdamaian namun tidak mendapat jalan ke arah itu, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk pedamaian tidak dapat disambung lagi, maka perceraian itulah jalan satu – satunya yang menjadi pemisah antara mereka.18

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam DiIndonesia, Cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 1

Dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Dibolehkan bercerai mengingat apabila dengan mempertahankan perkawinan itu akan lebih besar mudharatnya dari pada manfaatnya. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw, yang artinya :

17

Ibid, hal. 2. 18

(20)

Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasullah Saw, telah bersabda “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).19

Bagi seorang muslim perceraian dilakukan dengan mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang non muslim mengajukan permohonan perceraian kepada Pengadilan Negeri. Dalam memutuskan apakah akan mengabulkan permohonan cerai atau tidak, pengadilan akan mengumpulkan bukti sebanyak – banyaknya agar keputusan yang diambil benar – benar yang terbaik. Perceraian dilakukan melalui lembaga pengadilan bertujuan untuk menghindari tindakan sewenang – wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum maka perceraian harus melalui lembaga pengadilan. Seperti yang terdapat di dalam pasal 39 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan, Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20

Kendatipun dalam Fiqih Islam tidak menentukan kalau perceraian itu harus melalui sidang pengadilan, seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam namun karena lebih banyak manfaat yang didapat oleh kedua belah pihak, maka sudah sepantasnya umat islam mengikuti ketentuan perceraian harus dilakukan didepan pengadilan.

19

Ibid, hal. 402. 20

(21)

Perceraian adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang–undang tidak memperbolehkan perceraian dengan pemufakatan saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Didalam masyarakat Indonesia saat ini banyak ditemukan kasus perceraian dengan berbagai macam alasan yang dapat mengakibatkan hubungan suami istri tersebut berakhir dengan perceraian. Menurut pendapat M. Said dalam bukunya yang berjudul Hukum Nikah Thalak Ruju’ (NTR) bahwa macam-macam perceraian yaitu :21

1. Thalak 2. Fasakh 3. Khuluk 4. Ila’ 5. Syiqaq 6. Li’an

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah perkawinan tidak dapat dihindari, alasan pengajuan perceraian sangat beragam seperti adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami istri dalam rumah tangga, seringnya istri ditinggal suami atau sebaliknya istri pergi meninggalkan suami tanpa ada izin, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat lagi setelah perkawinan berlangsung, perubahan peran antara suami dan istri, dan adanya pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi

21

(22)

kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan serta masuknya orang ketiga dalam kehidupan suami dan istri yang mengakibatkan perselingkuhan.

Perselingkuhan atau adanya orang ketiga merupakan salah satu penyebab terjadinya perceraian antara suami istri, dimana perselingkuhan sering terjadi karena berbagai alasan yang dapat dibenarkan oleh pasangan yang berselingkuh dan berakhir dengan perceraian, namun tuduhan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dan keragu – raguan suami terhadap anak yang berada didalam kandungan istrinya tersebut merupakan suatu tindakan yang kejam dan sangat berbahaya bagi masa depan ibu dan anak yang berada didalam kandungannya. Dengan keragu – raguan bahwa istrinya tersebut berbuat tidak jujur dan anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan berasal dari benihnya melainkan berasal dari hubungannya dengan laki – laki lain, maka tidak ada sebuah tanggung jawab moral maupun materiil yang dibebankan kepada suami atas istrinya tersebut dan kepada anak yang berada didalam kandungannya. Sehingga perceraian yang terjadi diantara suami dan istri tersebut membawa kepada li’an dan anak li’an tidak memiliki hak atas harta ayahnya.22

22

(23)

Sebagai contoh kasus dapat dilihat pada putusa Pengadilan Agama Nomor: 0609/Pdt.G/2010/PA. Slawi dimana antara suami istri yaitu S BIN R (suami) sebagai Pemohon berlawanan dengan S BINTI SR (istri) sebagai Termohon, bahwa Pemohon menuduh Termohon telah melakukan perselingkuhan atau berselingkuh dengan orang lain dan membuahkan satu orang anak yakni anak ketiga dan Pemohon atau suami menyatakan bersedia untuk mengangkat sumpah dihadapan sidang Pengadilan Agama Slawi, selanjutnya Termohon atau istri menolak tuduhan Pemohon atau suami dengan mengangkat sumpah sebagai penolakan dari tuduhan yang dilakukan suaminya dan anak ketiga yang ditolak oleh Pemohon adalah hasil dari hubungan antara Pemohon dan Termohon bukan anak dari hasil perselingkuhan seperti yang dituduhkan oleh Pemohon terhadap Termohon dan Termohon bersedia mengangkat sumpahdihadapan sidang Pengadilan Agama Slawi. Pemohon dan Termohon mengangkat sumpah li’an berdasarkan penetapan Majelis Hakim.23 Sehingga Majelis Hakim menetapkan mengalihkan proses perkara ini dari permohonan cerai menjadi perkara li’an.24

Dalam sejarah dicatat sahabat Rasulullah SAW, Hilal bin Umayyah melakukan li’an dengan istrinya dan Uwaimarah al-Ujlani dengan istrinya, melakukan perceraian dengan carali’an berdasarkan petunjuk dari Rasulullah yang bersumber dari ayat – ayat Al-Qur’an yang dilakukan dihadapan beberapa orang- orang yang beriman.Tentang kapan terjadi li’an, sebagai mana para ahli Fiqih Islam

23

Putusan P.A Slawi No. 0609/Pdt.G/2010/P.A.Slawi. 24

(24)

mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an antara suami dan istri, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan.Didalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkn istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.25 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 128 menyebutkan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.26

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tertarik untuk dilakukan penelitian dengan judul PERCERAIAN KARENA LI’AN DAN AKIBAT HUKUM DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prosedur perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Bagaimana akibat hukum dari perceraian yang disebabkan li’an dalam perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam?

3. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada istri dan anak akibat perceraian yang disebabkan oleh li’an?

25

Departemen agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : Fokusmedia, 2010), hal.40.

26

(25)

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur percerian karena li’an

menurut Fiqih Islam dan Kompulasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari perceraian yang disebabkan karena li’an dalam prespektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada istri dan anak akibat perceraian yang disebabkan oleh li’an.

D. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan permasalahan, kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu :

1. Secara Teoritis

(26)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan dibidang hukum terkait persoalan perceraian terutama perceraian yang dilakukan karena li’an dan akibat hukumnya serta pemahaman yang lebih tentang proses perceraian yang diambil dalam menyelesaikan masalah perceraian.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara yang telah dilakukan pada perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan dengan judul “Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum dalam Perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut perceraian diantaranya :

(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.27Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai sesuatu sektor tertentu dari sebuah disiplin ilmiah.28Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.29Oleh karena itu teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk analisis dan hasil penelitian yang dilakukan.30

27

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1,

Alam dunia ilmu teori menempati kedudukan yang sangat penting, karena teori memberikan sarana untuk dapat merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal – hal semula yang tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara lebih bermakna. Teori dengan demikian memberi penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan yang

(Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 6. 28

Koentjaraningrat, Metode – Metode Penelitian Mss, Edisi ke – 3 ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21.

29

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 30

(28)

dibicarakan.31

1) Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto menyatakan kegunaan teori paling sedikit mencakup hal – hal :

2) Teori sangat berguna dalam mengembanagkan sistem klasifikasi fakta. Membina stuktur konsep serta memperkembangkan defenisi – defenisi.

3) Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal – hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

4) Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab – sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin fakta – fakta tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

5) Teori memberikan petunuk – petunjuk terhadap kekurangan – kekurangan pada pengetahuan penelitian.32

Dengan demikian apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah “Teori Keadilan” yang didukung oleh “Teori Li’an”. Secara etimologis, al-adlu berarti “tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan sesuatudengan yang lain (al-musawah). Secara terminologi adil berarti “mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah, dan menjadi tidak berneda antara yang satu dengan yang lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.33

Dalam Al-Qur’an, keadilam dinyatakan dengan istilah “adl” dan “qist”, Pengertian adil didalam Al-Qur’an sering terkait dengan sikap seimbang dan

31

Khudzaifah Dimiyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, hal. 1945.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, Ui Press, 1986), hal. 121.

33

(29)

menengahi. Dalam semangat moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan).“Wasath” adalah sikap berkeseimbanganantara dua ekstrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebih.34

Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa semestinya untuknya (unitilia est constans et perpetua vluntas ius suum euique tribuendi uipianus).35 Menurut Muh. Alwy Al Maliki, “ keadilan ialah memenuhi hak seseorang sebagaimana mestinya tanpa membeda–bedakan siapakah yang harus menerima hak itu, dan bertindak terhadap yang salah sekedar kesalahannya tanpa berlebih–lebihan atau pandang bulu”.36

Hukum mengatur kehidupan bersama agar dalam aktifitasnya sehari–hari di masyarakat bila timbul konflik–konflik dapat segera diatasi dengan berpegang kepada aturan hukum yang belaku.37Sehingga kaedah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tantangan agar tujuannya tercapai, yaitu ketertiban masyarakat.38

Jadi hukum disamping mengatur tingkah laku didalam masyarakat, hukum juga harus dapat menyelesaikan persoalan–persoalan yang telah terjadi didalam masyarakat, agar hukum dapat menyelesaikan persoalan masyarakat maka hukum harus mempunyai kewibawaan. Hukum akan wibawa, apabila hukum berlaku secara

34

Ibid, hal. 99. 35

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 49. 36

Muh. Alwy Al Maliki, Isan kamil (Muhammad SAW), (Bondosowo), hal.181. 37

Muchsin, Ikhtisan Materi Pokok Filsafathukum, (STIH “IBLAN), hal.18 38

(30)

yuridis, filosofis, dan sosiologis. Pertama bahwa hukum dipertahankan sesuai dengan syarat–syarat yuridis.Kedua bahwa hukum sesuai dengan pandangan hidup masyarakat dan yang ketiga bahwa hukum memang secara nyata dapat diperlakukan dan benar – benar berlaku didalam masyarakat.39

Teori Keadilan dimaksud untuk menetukan jalan yang seadil- adilnya yang ditempuh oleh suami istri yang bercerai dengan cara li’an. Yang dikaji melalui keadilan hukum perkawinan nasional, maupun dikaji melalui keadilan hukum menurut Fiqih Islam yang dijalankan oleh masyarakat Islam dalam memutuskan masalah perceraian melalui cara li’an .

Perceraian merupakan kehancuran sebuah rumah tangga. Pekawinan yang berawal dari cinta kasih sayang berubah menjadi kebencian. Dalam Fiqih Islam maupun Kompilasi Hukum Islam tidak terdapat larangan tentang perceraian, tetapi didahuli dengan upaya perdamaian anatara kedua belah pihak. Akan tetapi jika perdamaian antar suami istri tidak terwujud dan perselisihan semakin memuncak, maka perceraian mungkin jalan terbaik.

Teori pendukung dalam penulisan ini digunakan Teori Li’an, menurut istilah bahasa li’an artinya berjauhan, misalnya firman Allah “La’anahullahu” artinya Allah tidak menjauhkan atau menyingkirkannya.Dinamakan demikian karena suami istri yang saling berli’an atau berjauhan tidak boleh berhimpun atau bersatu kembali lagi untu selama – lamanya.40

39

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op. cit,hal. 184.

Dalam penjelasannya Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa

40

(31)

pada hakekatnya li’an itu merupakan sumpahnya suami sebanyak empat kali atas tuduhan zina terhadap istrinya kemudian dilanjutkan dengan kata – kata “Murka allah atas dirinya jika tuduhan itu benar” dan adanya penolaka yang dilakukan oleh istri terhadap tuduhan suami dengan mengangkat sumpah balasan sebanyak empat kali dan dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atasnya apabila suaminya berkata benar”.41

Namun jalan yang ditempuh dalam perceraian di dalam pengadilan memiliki cara yang berbeda – beda tergantung kepada sebab dan alasan – alasan perceraiannya, seperti perceraian yang ditempuh melalui cara li’an, perceraian karena li’an

merupakan percerain yang terjadi karena tuduhan suami terhadap istrinya tanpa dapat memiliki bukti namun suami melakukan sumpah atas tuduhannya terhadap istrinya dan melakukan sumpah balasan terhadap suaminya tersebut, dari perceraian atau putusnya perkawinan melalui cara li’an memiliki akibat – akibat hukum tertentu terhadap kedua belah pihak dan anak yang dilahirkan atau anak yang diragukan oleh suami tersebut.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usahamembawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang kongkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk

Pustaka Bangsa, 2003), hal. 145. 41

(32)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua ( du bius ) dari suatu istilah yang dipakai.42

Dalam bahasa latin , maka kata conception (didalam bahas Belanda : begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah “defenisi” yang didalam bahasa latin adalah definition. Defenisi tersebut berarati perumusan (didalam bahasa Belanda: omsehrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentukungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalm epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.43 Dalam kerangka konsepsional diungkap beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.44

Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.Jika masalah dan kerangka konsep teoritis sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala – gejala yang menjadi pokok pengertian, dan suatu konsp sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan defenisi dan apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel – variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.45

42

Rusdi Malik,Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Universitas Trisakti, 1990), hal . 15.

43

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjauan Singkat,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal.6. 44

Ibid, hal 7. 45

(33)

Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.46

a. Pengertian perkawinan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah merupakan ikatan lahir batin, berarti secara formal merupakan suami – istri , baik hubungan antara mereka sendiri maupun dengan dengan masyarakat, antara seorang pria dengan seorang wanita dan sebagai suami istri. Tujuan perkawianan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal dan bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karena dalam penelitian ini harus didefenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan sebagai berikut :

47

b. Perceraian adalah suatu perbuatan hukum dari suami yang dilakukan terhadap istrinya. Perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat luas bagi seseorang dan keluarga. Karena itu Islam mensyariatkan bahwa suami yang menjatuhkan talak itu harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut : sudah dewasa, berfikir sehat, mempunyai kehendak bebas dan masih mempunyai hak talak. 48

c. Li’an adalah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) dan dapat menjadi alasan suami untuk menolak anak.

46

Peter Mahmud Marzuk, Penelitian Hukum,Cetakan ke – 1, ( Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005), hal. 139.

47

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , Cetakan ke - 3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005) hal.7.

48

(34)

d. Perceraian akibat li’an adalah Perceraian yang terjadi dimana suami menuduh istrnya berbuat zina dan tidak mengakui janin yang didalam kandungan istrinya dengan mengangkat sumpah dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, lalu istri menolak tuduhan suami dengan mengangkat supah balasan.49

e. Fiqih Islam adalah Hukum-hukum syari’at yang mengatur seluruh perbuatan dan perkataan mukallaf memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain, dimana hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

f. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah Undag – undang yang mengatur hal – hal yang berkaitan dengan Perkawinan bagi bangsa Indonesia.

g. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pedoman yang diperintahkan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah – masalah dibidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan.50

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu

49

Rahmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim

Mu’amalah), (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal.216.

50

(35)

pengetahuan. Penelitian hukum merupaka suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan cara menganalisisnya. Disamping itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan – permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.51

1. Spesifikasi Penelitian

Agar tercapai penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberi gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis.52

51

Sulaiman Rasjid, Op. Cit., hal. 12.

Sifat penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran–saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah tertentu. Maksudnya untuk menggambarkan permasalahan hukum perkawinan yang berkaitan dengan putusnya perkawinan atau perceraian yang dilakukan dengan carali’an. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan petunjuk atau saran terhadap hal-hal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah – masalah perkawinan yang berkaitan dengan perceraian akibat li’an. Metode pendekatan yang digunakan didalam

52

(36)

penelitian ini adalah yuridis normatif 53

2. Sumber Data

, dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam, buku – buku, putusan hakim, perundang – undangan, yurisprudensi yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas dalam poenelitian ini.

Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai sumber data tertulis seperti Peraturan perundang – undangan, buku – buku ilmiah, dan sebagainya.Dalam hal seorang peneliti duharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiansehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

Pengumpulan data sekunder dilakukana denga cara mempelajari beragai macam peraturan tentang Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam dan perundang-undangan yang ada kaitannya denga perkawinan menyangkut perceraian dengan cara li’an. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal :

53

Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal. 12 : Menyebutkan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dibedkan atas: a) Penelitian inventarisasi hukum positif, b) Penelitian terhadap asas – asas hukum , c) Penelitian untuk menemukan hukum in concreto, d) Penelitian terhadap sistematik hukum,

(37)

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan – bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang seperti peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perkawinan . Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik diperpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa bahan – bahan hukum seperti bacaan hukum, hasil penelitian hukum, jurnal-jurnal yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer berupa teks yang berhubungan tentang perkawinan dan perceraian, konsideran, artikel dan jurnal yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, sumber data elektronik berupa internet.

c) Bahan Hukum Tersier

(38)

yang dapat memberikan sejumlah informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya. Bahan hukum tersier biasanya memberikan informasi, petunujuk dan keterangan terhadap data primer dan data sekunder.54

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Data dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research).Penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang – undangan, artikel, jurnal, dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.55

4. Analisis Data

Dengan penelitian kepustakaan dikumpulkan data, dengan membaca dan mempelajari bahan – bahan kepustakaan yang terkait dengan judul yang saya teliti

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberi jawaban terhadap masalah yang diteliti. Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitataif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia.

54

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op cit, hal., 14-15. 55

(39)

Data yang terkumpul dipilih-pilih dan diolah, kemudia dianalisis dengan menggunakan cara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah- pisah menurut kategori masing-masing dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta – fakta yang bersifat khusus.56

56

Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(40)

BAB II

PROSEDUR PENYELESAIAN LI’AN MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Umum TentangLi’an

1. Pengertian Li’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam

Li’an menurut bahasa berarti ala’nu bainatsnaini fa sha’idan yaitu saling melaknat yang terjadi diantara dua orang atau lebih. Menurut kitab Al-Mufashal fie ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al shari’ah al-islamiyah, karya Abdul karim Zaidan disitu dijelaskan bahwasannya secara leksikal kebahasaan al-la’nu

berarti al-ab’adu yang memiliki arti arti berjauhan atau al-thordu min al-khoi yang berarti pengusiran dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la’nah, maka jama’nya adalah li’an, li’anat.57

Abi Zakariya al-Anshari dalam kitabnya fatkhu al-wahab, mengatakan bahwa pengertian li’an menurut bahasa adalah masdar dari fiil “la’ana”yang berlaku dari bentuk jamak “li’ana”yakni membuang dan menjauhkan.58

57

Abdul Karim Zaidan, Al-Mufahal fie ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah

Li’an adalah kata masdar

dari kata kerja la’ana, yyula’inu, li’anan yang diambil dari kata al-la’nu yang berarti

al-islamyah VII, hal., 320. 58

(41)

jauh dari kebaikan, azab, laknat atau kutukan.59 Disebut demikian, karena suami isti yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul bagi suami istri tersebut untuk hidup sebagai suami istri untuk selama-lamana, atau karena di dalam li’an suami istri diharuskan bersumpah li’an yang didalam sumpah dan kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia mendapat laknat Allah jika pernyataannya tidak benar.60

Menurut bahasa kata li’an dan mu’la’anah berarti saling melaknat yang terjadi di antar dua orang atau lebih, li’an dalam kosa kata bahasa tidak sama dengan

li’an yang dimaksud didalam munakahat walaupun memiliki tujuan yang sama-sama melakukan sumpah ataupun kutukan. Sedangkan menurut istilah shar’i, li’an ialah redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa istriya telah berzina dengan laki-laki lain atau ia menolak anak yang dikandung atau anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anak kandungnya, dan istri pun bersedia bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu dusta.61 Li’an secara terminologi adalah persaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang dilakuka oleh suami istri apabila seorang suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya dengan disertai kata laknat dari pihak suami dan sanggahan dari pihak istri.62

59

Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab Hanafi, MAliki, Syafi’i dan Hanbali, (Medan : Lembaga Peneliti dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Islam Sumatera Utara ), hal.,131

Li’an dapat diartikan sebagai tuduhan suami

60

Ibid., hal., 132 61

Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hal.,321. 62

(42)

terhadap istri bahwa istrinya berzina dengan orang lain atau mengingkari kehamilan istri dengan disertai empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian sumpah kelima disertai ketersediaan menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya. 63

Kajian li’an didalam perspektif Fiqh Islam merujuk kepada pengertian li’an

yang terdapat didalam Al-Quran dan juga Al-Hadist, karena perluasan penafsiran yang lebih lanjut terhadap defenisi li’an yang terdapat di dalam sumber Hukum Islam tersebut, maka kitab Fiqih adalah sebuah alternatif untuk menghubungkan pemahamanmengenai masalah li’an. Pengertian li’an menurut para ahli fiqih :

a. Abi Yahya Zakariya al-Ansharimendefenisikan li’an adalah beberapa kalimat yang maklum digunakan sebagai hujjah bagi orang yang membutuhkannya untuk menuduh zina kepada istrinya, dan menetapkan kejelekan dengannya atau untuk menolak anaknya.64

b. Imam Taqiyuddin Abi Bakr mendefenisikan li’an adalah ibarat dari kalimat yang biasa digunakan untuk menuduh zina suami kepada istrinya dan ia (suami) bersumpah bersedia menerima laknat apabila ia (suami) berbohong. 65 c. Ibnu ‘Abidin mendefenisikan li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan

dengan sumpah, yang mana kesaksian suami disertai dengan laknat dan

63

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008), hal., 239. 64

Abi Yahya al-Anshari, Op. Cit. hal., 98. 65

(43)

kesaksian istri dengan qazf, yang menduduki kedudukan hak qazf pada suami dan menduduki kedudukan had zina pada hak istri.66

Li’an dalam pengertian menurut para ulama mazhab:

a. Ulama mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefenisikan li’an dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang yang dibarengi dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hanafi,

li’an tidak sah dalam nikah fasid.67

b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah shahih maupun

fasid. Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila dan orang mabuk tidak sah.68

66

Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, (Lebanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), hal., 149. 67

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal., 1009.

68

(44)

c. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya.69

Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat pakar hukum Islam tentang apakah li’an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa li’an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebut bersaksi bagi dirinya.70 Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li’an

penekanannya kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dam juga Hadist Ibnu Abbas yang menyebutkan istri mengucakan kesaksian pula. 71

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia mengklasifikasi perceraian kepada (1) kematian salah satu pihak, (2) perceraian karena talaq dan perceraian karena gugat, (3) keputusan pengadilan.72

69

Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Al Fiqh ala Mazahibi al Arba’ah , (Mesir : Mathba’ah Tijariyah Al Kubra), hal., 244.

Pada dasarnya bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus, seperti dalam memeriksa

70

Abdul Manan, Op. Cit, hal., 147. 71

Ibid

72

(45)

perkara sengketa perkawinan. Hal-hal yang diatur dengan hukum secara khusus dalam sengketa perkawinan, meliputi perkara-perkara: 73

1) Cerai Talak 2) Cerai Gugat

3) Pembatalan Perkawinan 4) Ijin Poligami

5) Acara Li’an

6) Acara Khuluk

7) Penetapan Wali Adhol 8) Sengketa harta perkawinan

Li’an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama yang diatur dalam pasal-pasal tertentu di dalam Kompilasi Hukum Islam.74Li’an merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan antara suami istri, sesuai dengan Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam yang menekankan bahwa li’an juga menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan istri untuk selama-lamanya.75

Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama sebagaiman yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam.76

73

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, Cet. ke-2, (Yogyakarta :

Li’an merupakan perintah hakim kepada suami yang menuduh istrinya berselingkuh untuk mengucapkan sumpah.Apabila istrinya tidak hadir, maka harus disebutkan namanya oleh suami, dan jika istrinya hadir, maka harus ditunjuk dengan isyarat

Pustaka Pelajar, 1998), hal., 203. 74

Ibid, 226. 75

Lihat Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam. 76

(46)

tangannya. Pendapat lain mengatakan harus dihubungkan antara menyebutkan nama dengan isyarat tangan. 77

A.Fuad Said, berpendapat bahwa li’an hanya dapat dilakukan didepan hakim, dan hakim disunatkan terlebih dahulu memperingatkan tentang siksaan yang berat yang akan diterimanya, apabila masing-masing suami istri memberikan keterangan yang tidak benar.78 Pelaksanaan li’an oleh hakim dilakukan di hadapan beberapa orang beriman, dan harus berdasarkan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.79

1) Mukallaf yaitu suami istri merupakan muslim, baligh , berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), mempunyai kemampuan berbicara dengan jelas dan lancar.

Berlakunya li’an diantara suami dan istri apabila:

2) Adanya pernikahan yang sah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. 3) Status istri orang yang terhormat, istri merpakan sosok yang menjaga diri

dari perbuat zina dan dapat menjaga marwah dirinya dan keluarganya. Maka berlaku sebaliknya, jika istri merupakan wanita yang kurang menjaga diri diperlukan li’an, untuk meyakinkan tuduhan atas dirinya. 4) Tidak terdapat saksi , tidak adanya alat bukti atau saksi jelas dan sah yang

membenarkan tuduhan suami atas istrinya. Karena dengan mendatangkan empat laki-laki adil menjadi saksi perzinaan yang dilakkan istri, maka gugurlah praktek li’an saat itu juga.

5) Istri mengingkari tuduhan atas dirinya. Sehingga jika istri mengakui perbuatannya maka li’an tidak diperlukan lagi.

6) Didepan sidang Pengadilan , istri mendatangkan hakim. Dalam hal ini kedatangan hakim menjadi salah satu syarat sah diberlakukannya li’an,

karena praktek li’an juga bisa dijadikan alat menghindarkan istri dari aib perusak nama baik.

77

Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kunci Fiqh Syafi’i, alih bahasa Hafid Abdullah, cet. ke-1 , (Semarang: Asy Syifa’, 1992), hal., 257.

78

A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka AlHusna,1993),hal.,149. 79

(47)

Dalam hal percerian dalam masalah cerai gugat atas alasan zina telah diatur secara khusus dalam Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka sistem pembuktian dalam pemeriksaan cerai karena alasan zina adalah sistem pembuktian yang diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 4, 6 dan 7 yakni harus ada empat orang saksi yang melihat perbuatan tersebut. Apabila suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi maka ia dianggap dalam keadaan

qazf dan hakim secara ex officio dapat memerintahkan suami untuk mengucapkan sumpah li’an sesuai dengan tata cara yang diatur didalam Al-Qur’an dalam surat An-Nuur ayat 6 dan 7.80 Sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sumpah li’an harus diperintahkan oleh hakim secara ex officio kepada suami, dan perintah itu dituangkan kedalam putusan sela.81 Pihak istri berdasarkan surat An-Nuur ayat 8 dan 9 dapat menolak sumpah suami tersebut dengan mengucapkan sumpah yang sama di muka hakim Pengadilan Agama. Dengan terjadinya saling bersumpah antara suami dan istri dimuka hakim Pengadilan Agama, maka terwujud penyelesaian perkara perceraian karena alasan zina secara li’an.82

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada pasal yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li’an, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh

80

Abdul Manan, Op.Cit, hal., 144. 81

Abdul Manaf, Sumpah Li’an dan Teknis Penerapannya dalam Pemeriksaan Perkara Pereraian karena Alasan Zina, No 28 Tahun VII, (Mimbar Hukum, 1996), hal., 49.

82

(48)

menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama, didalam Kompilasi Hukum Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li’an namun proses penyelesaian dalam perkara li’an dijelaskan dalam beberapa pasal.

2. Dasar Hukum Li’an Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist

Didalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tent

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, nasab anak hasil hubungan seksual sedarah dalam perspektif Hukum Islam itu memiliki status sebagai anak zina, akan tetapi hal tersebut

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam

Akibat hukum menikahi wanita hamil karena zina menurut Hukum Islam adalah anak yang dilahirkan setelah enam bulan perkawinan memiliki hubungan nasab, perwalian, waris dan hak

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, anak diluar nikah sebab zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, dan status nasab

Berkaitan dengan pemberian hibah kepada anak li'an, walaupun secara hukum anak li’an tidak berhak mendapat hak waris dari ayahnya, tidak boleh menerima zakat

Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sedang hamil karena zina adalah tidak sah, sehingga tidak ada hubungan nasab antara anak

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, tidak menjelaskan mengenai anak yang dilahirkan diluar dari perkawinan yang sah atau anak luar

menyebabkan putusnya hubungan nasab dengan ayah biologisnya sehingga hanya memiliki hubungan nasab atau hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga