EVALUASI PERTUMBUHAN DAN KERAGAMAN GENETIK
TANAMAN PALAHLAR GUNUNG (Dipterocarpus retusus
Blume) DAN PALAHLAR (Dipterocarpus hasseltii Blume)
BERDASARKAN PENANDA RAPD DI KPH BOGOR PERUM
PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT - BANTEN
DETTI SUMIYATI
E14203022
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2
RINGKASAN
Detti Sumiyati. Evaluasi Pertumbuhan dan Keragaman Genetik Tanaman Palahlar Gunung (Dipterocarpus retusus) dan Palahlar (Dipterocarpus hasseltii) Berdasarkan Penanda RAPD di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat – Banten. Dibimbing oleh Istomo dan Iskandar Z. Siregar.
Palahlar (D. hasseltii) dan palahlar gunung (D. retusus) merupakan tanaman dari famili Dipterocarpaceae yang berasal dari Jawa Barat dan populasinya sudah semakin sulit ditemukan. Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan IPB melakukan penelitian untuk menyelamatkan palahlar dari kepunahan, dengan melakukan penanaman pohon palahlar. Informasi mengenai perkembangan pertumbuhan dan keragaman genetik tanaman palahlar penting untuk mendukung program pembudidayaan dan konservasi genetik. Salah satu cara untuk mengetahui pertumbuhan tanaman palahlar dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap tinggi tanaman dan pertumbuhan diameter batang. Untuk informasi keragaman genetik palahlar menggunakan analisis DNA. Salah satu penanda molekuler berbasis DNA yang telah banyak diaplikasikan sebagai penanda genetik tanaman adalah RAPD.
Tujuan dari penelitian ini adalah, mengetahui pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman palahlar, serta mengetahui keragaman genetik palahlar dan hubungan faktor genetik dengan potensi pertumbuhan tanaman palahlar gunung (D. retusus) dan palahlar (D. hasseltii).
Penelitian terdiri dari dua tahap yang dilaksanakan dari bulan Juni – November 2008. Tahap pertama, pengukuran di lapangan (pengukuran tinggi dan diameter tanaman) yang dilakukan di petak 14a KPH Bogor. Hasil pengukuran didapatkan 3 kelas pertumbuhan, yaitu kelas pertumbuhan kecil (kelas A), sedang (kelas B) dan tinggi (kelas C). Pertumbuhan tinggi untuk kedua jenis tanaman yaitu, kelas pertumbuhan A (kecil) sebanyak 88 tanaman (D. retusus) dan 129 tanaman (D. hasseltii) dengan selang pertumbuhan 0-100 cm, kelas pertumbuhan B (sedang) sebanyak 40 tanaman untuk D. retusus dan 48 tanaman untuk D. hasseltii (101-200 cm) dan kelas pertumbuhan C (tinggi) sebanyak 6 tanaman untuk D. retusus dan 10 tanaman untuk D. hasseltii (201 cm-up). Pertumbuhan diameternya yaitu, kelas pertumbuhan A (kecil) sebanyak 100 tanaman (D. retusus) dan 134 tanaman (D. hasseltii) dengan selang pertumbuhan 0,01-1,5 cm, kelas pertumbuhan B (sedang) sebanyak 25 tanaman (D. retusus) dan 42 tanaman (D. hasseltii) selang pertumbuhan sebesar 1,6-2,5 cm dan kelas pertumbuhan C (tinggi) sebanyak 9 tanaman (D. retusus) dan 11 tanaman (D. hasseltii) selang pertumbuhannya sebesar 2,6cm- up.
3
4
SUMMARY
Detti Sumiyati. Growth and Genetic Variation Evaluation Of Dipterocarpus retusus (Mountain Palahlar) and Dipterocarpus hasseltii (Palahlar) Based on RAPD Marker in KPH Bogor Unit III Perum Perhutani West Java – Banten. Under the Guidance of Istomo and Iskandar Z. Siregar.
D. hasseltii (palahlar) and D. retusus (palahlar gunung)is plant species of Dipterocarpaceae family that originate from west java which population is getting rare. Perum Perhutani and IPB Faculty of Forestry has done research to save the species by planting them. Information about growth development and genetic variation of palahlar is important to support culturing program and palahlar genetic conservation. One of the way to study palahlar growth is through observation of the plant height and stem diameter increament. DNA analysis is use to gain information of palahlar genetic variation. One of the DNA based molecular marker widely applicated as plant genetic marker is RAPD.
The goal of this research is to study diameter growth and palahlar plant height and also to study genetic variation and the connection between genetic factor with D. retusus and D. hasseltii growth potency.
The study is done in two stage from june to november 2008. The first stage is field observation (height and diameter measurement) that was held in 14a section KPH Bogor. The observation result 3 classes of diameter, that is small growth class (A class), medium (B class) and high (C class). Height growth for both species are 88 plants of growth class A (small) for D. retusus and 129 plants for D. Hasseltii with growth interval 0-100 cm, 40 plants of growth class B (medium) for D. retusus and 48 plants for D. hasseltii (101-200 cm) and in growth class C (high) there are 6 plants of D. retusus dan 10 plants of D. hasseltii (201 cm-up). For diameter growth there are 100 plants of D. retusus and 134 plants of D. hasseltii of growth class A (small) with growth interval between 0,01-1,5 cm, for growth class B (medium) there are 25 plants of D. Retusus dan 42 plants of D. Hasseltii with growth interval between 1,6-2,5 cm and in growth class C (high) there are 9 plants of D. retusus and 11 plants of D. Hasseltii with growth interval between 2,6cm- up.
The second stage is DNA analysis that was hels in silviculture labolatory of IPB faculty of forestry. Genetic variation analysis is done using POPGENE 32 software. Analysis of genetic relation is done using NTSYS ver. 2.0 software. There are 2 primary that resulting the best amplifying quality in genetic variation analysis that is OPO-13 dan OPY 20. Analysis result with POPGENE 32 is resulting average he points between classes as much as 0,1869. The biggest genetic point for D. hasseltii is on the medium growth class (B class) as much as 0,2498 dan for D. retusus is in small growth class (A class) as much as 0,2240. Cluster analysis shows that there are two big groups that is medium-high growth class group (B and C class) and small growth class group.
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah serta karuni-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Pertumbuhan dan Keragaman Genetik Tanaman Palahlar Gunung (Dipterocarpus retusus Blume) dan Palahlar (Dipterocarpus hasseltii Blume) Berdasarkan Penanda RAPD di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten”. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pertumbuhan palahlar serta mengembangkan informasi mengenai keragaman genetik tanaman palahlar yang merupakan salah satu jenis kayu potensial di Indonesia.
Karya ilmiah ini memuat metodologi penelitian dengan menggunakan teknik RAPD (Random Amplified Polymorfhic DNA) serta hasil analisis genetik pada tiga kelas pertumbuhan untuk spesies D. hasseltii dan D. retusus. Selain itu disajikan pula evalusi pertumbuhan kedua jenis berdasarkan pertumbuhan diameter dan tinggi, sehingga menghasilkan kelas pertumbuhan kecil (kelas A), sedang (kelas B) dan tinggi (kelas C). Pada akhirnya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam menjawab permasalahan kehutanan Indonesia.
Dengan segenap rasa hormat penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama keluarga besar penulis, Bapak Dr. Ir. Istomo MS dan Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku dosen pembimbing. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik selalu kami harapkan.
Bogor, Mei 2008
6
DAFTAR LAMPIRAN... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Manfaat Penelitian ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Jenis Palahlar (Dipterocarpus hasseltii Blume)... 3
2.1.1. Keterangan Botanis ... 3
2.1.2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh... 4
2.1.3. Manfaat Kayu... 4
2.2. Ekologi Jenis Palahlar Gunung (Dipterocarpus retusus Blume)... 5
2.2.1. Keterangan Botanis ... 5
2.2.2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh... 6
2.2.3. Manfaat Kayu... 6
2.3. Pertumbuhan Palahlar di BKPH Jasinga KPH Bogor... 7
2.4. Keragaman Genetik Tanaman... 8
2.5. Pengukuran Variasi Genetik ... 9
2.6. Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)... 10
2.7. Penanda RAPD (Random Amplified Polymorfhic DNA) ... 11
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian... 13
3.2. Topografi dan Tanah ... 13
7
4.2. Bahan dan Alat Penelitian... 15
4.3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 16
4.3.1 Pengukuran Pertumbuhan Tanaman Palahlar (D. hasseltii) dan Palahlar Gunung (D. retusus)... 17
4.3.2 Pengambilan Contoh Daun ... 18
4.3.3 Ekstraksi DNA ... 18
4.3.4 Proses PCR-RAPD... 20
4.4 Analisis Data ... 21
4.4.1 Evaluasi Pertumbuhan Palahlar (D. hasseltii) dan Palahlar Gunung (D. retusus)... 21
4.4.2 Analisis Keragaman Genetik... 21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 22
5.1.1 Pertumbuhan Tanaman... 22
5.1.1.1 Pertumbuhan Diameter... 24
5.1.1.2 Pertumbuhan Tinggi... 26
5.2.1 Pertumbuhan Palahlar (D. hasseltii) dan Palahlar Gunung (D. retusus)... 37
5.2.2 Keragaman Genetik Palahlar (D. hasseltii) dan Palahlar Gunung (D. retusus) ... 38
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42
6.2 Saran... 43
DAFTAR PUSTAKA... 44
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Januari 1985 di Desa Lengkong, Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Subang Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri Bapak Agus Jayeng Rono dengan Ibu Hatijah.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Cijoged hingga tahun 1997 kemudian melanjutkan di SLTPN 1 Cipeundeuy lulus tahun 2001. Selanjutnya penulis menyelesaikan SLTA di SMUN 1 Subang pada tahun 2003. Tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kehutanan Departemen Silvikultur Program Studi Budidaya Hutan.
Selama kuliah di IPB penulis aktif di himpunan profesi FMSC periode 2004-2005 sebagai staff Dept. Kesekretariatan dan aktif sebagai staff Ikatan Alumni Subang FOKUS cabang Bogor. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen Ekologi Hutan (2007-2008). Penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H). Praktek Umum Kehutanan (PUK) dilakukan di KPH Banyumas Barat, Cilacap dan KPH Banyumas Timur, Baturaden Jawa Tengah. Sedangkan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) dilaksanakan di KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dari bulan Juli sampai Agustus 2006. Pada bulan Februari sampai dengan April 2007 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di wilayah Dinas PKT Cianjur Jawa Barat.
9
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Rata-rata Nilai Sifat-sifat Tanah Hasil Analisis Laboratorium
di RPH Cigudeg ... 14
2. Alat-alat ekstraksi DNA, RAPD dan Analisis Data... 15
3. Komposisi Bahan dan Reaksi PCR dan Teknik RAPD ... 20
4. Rata-rata Hasil Pengukuran Pertumbuhan Palahlar Gunung
(D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 22
5. Kelas Pertumbuhan Diameter Palahlar Gunung
(D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 25
6. Kelas Pertumbuhan Tinggi Palahlar Gunung
(D.retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 27
7. Pengambilan Contoh Daun Berdasarkan Kelas Pertumbuhan
Tinggi Tanaman ... 28
8. Jenis Primer, Urutan Basa dan jumlah Pita Genotip Palahlar Gunung
(D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 31
9. Nilai na, ne, He dan PLP untuk Seluruh Populasi Tanaman Palahlar
Gunung (D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 34
10. Jarak Genetik Antar Kelas Diameter Tanaman Palahlar Gunung
10
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Foto Alat-alat PCR... 16
2. Urutan Kegiatan Penelitian ... 17
3. Grafik Kelas Pertumbuhan Diameter Palahlar Gunung (D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 25
4. Grafik Kelas Pertumbuhan Tinggi Palahlar Gunung (D. retusus) dan Palahlar (D. hasseltii)... 27
5. Hasil Ekstraksi DNA Jenis Palahlar (D. hasseltii)... 29
6. Hasil Ekstraksi DNA Jenis Palahlar Gunung (D. retusus)... 29
7. Foto Hasil Seleksi Primer ... 31
8. Hasil Proses PCR-RAPD Menggunakan Primer OPO-13 Pada D. hasseltii... 32
9. Hasil Proses PCR-RAPD Menggunakan Primer OPO-13 Pada D. retusus... 33
10. Hasil Proses PCR-RAPD Menggunakan Primer OPY-20 Pada D. retusus... 33
11. Hasil Proses PCR-RAPD Menggunakan Primer OPY-20 Pada D. hasseltii... 34
PENGGUNAAN SEKAM PADI DICAMPUR KOTORAN AYAM
SEBAGAI MEDIA TUMBUH JAMUR MERANG
Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.)
DEDI SUPARDI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGGUNAAN SEKAM PADI DICAMPUR KOTORAN AYAM
SEBAGAI MEDIA TUMBUH JAMUR MERANG
Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.)
DEDI SUPARDI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Sekam Padi
Dicampur Kotoran Ayam Sebagai Media Tumbuh Jamur Merang Volvariella volvacea
(Bull. Ex. Fr.) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen
pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai skripsi perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang barasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2008
Dedi Supardi
Lembar Pengesahan
Judul Skripsi : Penggunaan Sekam Padi Dicampur Kotoran Ayam Sebagai
Media Tumbuh Jamur Merang Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.)
Nama : Dedi Supardi
NIM : E14202015
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, Msc.
NIP. 130 696 561
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir Hendrayanto, M. Agr
NIP. 131 878 499
RINGKASAN
Dedi Supardi (E14202015).Penggunaan Sekam Padi Dicampur Kotoran Ayam Sebagai Media Tumbuh Jamur Merang Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.) Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, Msc.
Jamur merang saat ini merupakan salah satu jenis komoditi yang mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan. Jamur merang (Volvariella volvacea)
merupakan jenis jamur pangan (Edibel Mushroom) yang saat ini banyak dibudidayakan
oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Sekam padi dan kotoran
ayam merupakan contoh limbah yang bila dimanfaatkan akan sangat membantu petani
dalam meningkatkan pendapatan keluarga dan tentu saja mengurangi limbah tersebut
agar tercipta lingkungan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
produktivitas media jerami padi dan media sekam padi dicampur kotoran ayam pada
budidaya jamur merang.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengkomposkan
bahan-bahan yang dapat dijadikan media tanam jamur merang (seperti jerami padi, sekam
padi dan kotorna ayam). Selain itu juga dikomposkan kapas sebagai Casing media
tumbuh jamur merang.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa produktivitas media jerami
padi lebih besar daripada media sekam sekam padi dicampur kotoran ayam. Suhu dan
kelembaban udara yang tidak sesuai dapat mempengaruhi hasil panen yang diperoleh.
Untuk pencapaian hasil produksi yang lebih baik, media tanam jamur yang menggunakan
kotoran ayam sebagai campuran sebaiknya dipasteurisasi dan dikomposkan lebih lama
agar terhindar dari kontaminasi. Sedangkan agar suhu udara di dalam kumbung terjaga,
disarankan menggunakan lampu pijar yang diletakkan di dalam kumbung.
SUMMARY
Dedi Supardi (E14202015). Use of Husk mixed with Manure as Growth Media of Paddy Mushroom Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.)
Under the Direction of Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, M.Sc.
Nowadays, paddy mushroom is being one of good prospect commodity to be
developed. Paddy mushroom (Volvariella volvacea) is an edible mushroom which
currently cultivated to increase people’s income. Husk and manure is a kind of waste
which could help increasing farmer’s income by using it as well as reduce the waste to
create good environment. This study was aimed to know about productivity of husk
media and husk plus manure media in paddy mushroom cultivation.
The method in this study was composting some materials to make paddy
mushroom media such as paddy straw, husk and manure, as well as by composting cotton
as media casing.
The study result reveals that productivity of paddy straw media is higher than
husk plus manure media. Unconditional temperature and relative humidity (RH) might
affect crop production. However, in our opinion, improving crop production could be
done by put in the manure media in longer pasteurisation to prevent contamination. Air
temperature during growth term may be adjusted by installing light lamp to keep the air
temperature not too low.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan
rahmat dan kasih sayang Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September
2007 adalah jamur merang, dengan judul Penggunaan Sekam Padi Dicampur Kotoran
Ayam Sebagai Media Tumbuh Jamur Merang Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.). Dari
hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa media sekam padi dicampur kotoran ayam
dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang meskipun produksinya lebih
rendah bila dibandingkan dengan media jerami padi.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara pada tanggal
10 Juni 1984 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak
Saparuddin dan Ibu Siti Yusni. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU
Negeri 2 Kutacane dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
Fahutan IPB, Kepala Depertemen Olahraga dan Seni Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong
(IMTR) tahun 2005, staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia Forest
Management Club (FMSC) tahun 2003-2004, Panitia Bina Corp Rimbawan (BCR)
Fakultas Kehutanan tahun 2005, Panitia Temu Manajer (TM) tahun 2005, Ketua umum
Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Tenggara (IPMAT) JABOTABEK tahun 2005-2007,
Panitia Pembentukan Propinsi Aceh Leuser Antara (ALA) tahun 2007. Selain itu penulis
juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Intimpura Timber Iriana Sorong
Propinsi Irian Jaya Barat.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi
dengan judul Penggunaan Sekam Padi Dicampur Kotoran Ayam Sebagai Media Tumbuh
Jamur Merang Volvariella volvacea (Bull. Ex. Fr.) dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Salam cinta kepada junjungan
alam semesta Rasulullah Muhammad SAW, beserta pada Ahlulbait Nya.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Keluarga besar Manik, Ayahanda (Saparuddin), Ibunda (Siti Yusni), Kakak Yuslina
Wati, Kakak Melida Wati, Abang Yocerizal, Adikku Haristian, dan keponakanku
tersayang Rifky Aulia, atas do’a, kasih sayang, serta motivasi yang diberikan.
Semoga hidup kita semua di Rahmati Allah SWT (amin).
2. Keluarga besar Lingga di Pulolatong dan seluruh keluarga besar yang ada di Aceh
Singkil, atas bantuannya selama ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, dan masukan yang sangat berarti bagi penulis. Semoga Allah
SWT membalas berlipat-lipat segala kebaikan yang telah diberikan (amin).
4. Bapak H.Ir. Kasno, Ms, atas segala bimbingan dan perhatianya selama ini, (Salam
Sukses, Luar Biasa ! )
5. Bapak Dr. Ir. I Ketut N. Pandit, Ms dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc atas
kesediaannya meluangkan waktu sebagai dosen penguji
6. Mas Mardi, Teh Yuni, Pak Mat, Om Sandi, Zainal, Diyen, Pak Gatot dan Ibu,
Keluarga besar Pak Ni’an Effendi, dan pak Muhajir atas kemurahan hatinya.
7. Keluarga besar ”Kutacane” (Bang Mul, Bang Rey, Bang Suhada, Arif), Bang
Dudung, Bodonk, Rangga, Stevano, dan Seluruh Keluarga besar Fahutan IPB, atas
dukungannya dan spiritnya.
8. Keluarga besar Sylvicultur (E’38,39 dan 40) atas kebersamaannya selama ini,
semoga semua yang pernah kita lalui memberikan arti yang indah, dan semua pihak
DAFTAR ISI
Bentuk dan ukuran kumbung ...9
Pengaruh bentuk dan ukuran kumbung...10
Penyiapan Bibit...10
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Merang ...20
DAFTAR TABEL
Halaman
Selektifitas mutu produk jamur merang pada stadia kancing ... 19
Jumlah penduduk desa Suka Indah kecamatan Suka Karya kabupaten Bekasi
menurut usia sampai dengan desember 2005...27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada media jerami padi ...29
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada media sekam padi dicampur
kotoran ayam...30
Hasil penimbangan jamur merang pada saat panen ...30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Siklus hidup jamur merang ...44
2 Kumbung jamur merang ...45
3 Jamur Coprinus...46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jamur merang saat ini merupakan salah satu jenis komoditi yang mempunyai
prospek yang amat baik untuk dikembangkan. Selain nilai ekonominya yang tinggi serta
permintaan pasarnya yang terus meningkat, jamur merang juga mempunyai nilai gizi
yang baik. Hasil penelitian beberapa ahli mengungkapkan bahwa, jamur merang memiliki
kandungan protein, asam amino dan vitamin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
beberapa jenis sayuran. Jamur merang (Volvariella volvacea) merupakan jenis jamur
pangan (Edibel Mushroom) yang saat ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat untuk
meningkatkan pendapatan keluarga. Jamur merang mempunyai rasa yang enak, gurih,
dan tidak mudah berubah wujudnya jika dimasak, sehingga jamur ini banyak digunakan
untuk berbagai macam masakan, seperti mie ayam jamur, tumis jamur, pepes jamur, sup
dan capcay. Produksi jamur merang di Indonesia masih rendah. Hal ini tampak dari
jumlah petani jamur merang yang masih sedikit dan permintaan pasar untuk jamur
merang yang terus meningkat. Untuk itu perlu diusahakan peningkatan produksi jamur
merang dengan cara menarik minat masyarakat untuk membudidayakan jamur merang.
Peningkatan produktivitas jamur merang dapat dicapai dengan pengadaan bibit
yang berkualitas tinggi dan tersedia tepat waktu serta dengan penerapan teknik budidaya
yang lebih baik. Teknik budidaya yang lebih baik dapat diperoleh melalui
penelitian-penelitian. Namun hingga saat ini penelitian mengenai jamur merang masih sangat
kurang dilakukan, terutama penelitian di dalam negeri. Hal ini menyebabkan laju
perkembangan teknik budidaya jamur merang relatif lambat jika dibandingkan dengan
tanaman pangan lainnya yang bernilai ekonomi tinggi. Secara umum produksi jamur
merang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah jenis media yang
digunakan. Di Indonesia pengusahaan jamur merang biasanya menggunakan media
Namun beberapa limbah pertanian dan kehutanan lainnya seperti ampas sagu, sisa
kapas, limbah pabrik kertas, sabut kelapa, ampas kelapa sawit, sisa log kayu dan sekam
padi juga bisa digunakan sebagai media tumbuh jamur merang tentunya dengan hasil
produksi yang berbeda-beda. Sekam padi dan kotoran ayam merupakan contoh limbah
yang bila dimanfaatkan akan sangat membantu petani dalam meningkatkan pendapatan
keluarga dan tentu saja mengurangi limbah tersebut agar tercipta lingkungan yang lebih
baik. Penggunaan limbah-limbah tersebut untuk produksi jamur merang akan
memberikan beberapa keuntungan: (1) limbah tidak terbuang secara sia-sia tetapi dapat
digunakan lagi untuk memproduksi jamur, (2) sisa kompos bekas media tumbuh jamur
dapat dimanfaatkan lagi untuk menyuburkan tanah, serta memungkinkan budidaya jamur
merang di daerah-daerah yang bukan daerah pertanaman padi tanpa mengalami kesulitan
memperoleh bahan baku untuk pengusahaan budidaya jamur merang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas media jerami padi dan
TINJAUAN PUSTAKA
Jamur Merang
Jamur merang termasuk dalam golongan jamur saprofit, yaitu jamur yang tumbuh
pada substrat organik, dari hewan maupun tumbuhan yang sudah mati, dan akan
merombak substrat menjadi zat yang mudah diserap. Biasanya substrat tersebut
mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Jamur merang (Straw Mushroom),
merupakan jenis jamur yang pertama kali dapat dibudidayakan di Cina sekitar tahun
1650. Pada tahun 1930, jamur merang mulai masuk ke negara Malaysia dan Filipina.
Baru pada tahun 1950, jamur merang mulai dibudidayakan di Indonesia. Menurut Singer
(1975) dalam Chang dan Quimio (1982) klasifikasi jamur merang adalah sebagai berikut.
Kelas : Basidiomycetes
Subkelas : Homobasidiomycetidae
Ordo : Agaricales
Famili : Pluteaceae
Genus : Volvariella
Spesies : Volvariella volvacea
Jamur adalah fungi yang mempunyai bentuk tubuh buah seperti payung, struktur
reproduksinya berbentuk bilah (gills), yang terletak pada permukaan bawah dari payung
(tudung). Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil, dan termasuk ordo
Agaricales, dari kelas Basidiomycetes. Kehidupan jamur berawal dari spora
(basidiospora), yang kemudian akan berkecambah membentuk hifa, yang berupa
benang-benang halus (Lampiran 1).
Hifa ini akan tumbuh ke seluruh bagian media tumbuh. Kemudian dari kumpulan
hifa atau miselium, akan terbentuk gumpalan kecil seperti simpul benang, yang
menandakan bahwa tubuh buah jamur mulai terbentuk. Simpul tersebut berbentuk bundar
atau lonjong, dan dikenal dengan stadia kepala jarum (pinhead), atau primordia
(Widiyastuti 2006).
Simpul ini akan membesar dan disebut stadia kancing kecil (small button).
Selanjutnya stadia kancing kecil akan terus membesar mencapai stadia kancing (button)
(universal) mulai membesar. Selubung tercabik, kemudian diikuti stadia perpanjangan
(elongation). Cawan (volva) pada stadia ini, terpisah dengan tudung (pileus) karena
perpanjangan tangkai (stalk). Stadia terakhir adalah stadia dewasa tubuh buah. Tudung
jamur mempunyai diameter 5-14 cm dengan bentuk bundar telur, pada jamur yang sangat
tua kadang-kadang tudung mendekati rata, permukaan kering, berwarna coklat sampai
coklat keabu-abuan, dan kadang bergaris-garis (Sinaga 2000).
Warna tudung pada jamur merang ada beberapa macam, yaitu putih bersih,
abu-abu dan hitam. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh perbedaan bibit yang digunakan
(varietas), atau pengaruh penyinaran dan sirkulasi udara. Tangkai (stipe) pada jamur
berfungsi menghubungkan tudung dengan mangkuk, panjang tangkai bervariasi menurut
ukuran tudung, tetapi umumnya sekitar 3-8 cm dengan diameter antara 0,5-1,5 cm.
Tangkai jamur merang berwarna putih sampai coklat dengan permukaan licin, dan tidak
mempunyai cicin (annulus). Mangkuk (volva), merupakan lembaran tipis yang terjalin
dari hifa-hifa di sekeliling dasar tangkai. Chang dan Quimio, (1982). Volva berwarna
putih dan berbentuk mangkuk dengan pinggiran tidak teratur . Jamur merang mempunyai
jejak spora berwarna merah jambu, dengan ukuran (7-9 x 5-6) μm, menjorong dan licin
(Chang 1978). Sebagai organisme yang tidak berklorofil, jamur tidak dapat melakukan
fotosintesis, seperti halnya tumbuh-tumbuhan.
Dengan demikian jamur tidak dapat memanfaatkan langsung energi matahari.
Jamur mendapat makanan dalam bentuk seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan
senyawa pati. Bahan makanan ini diurai dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa
menjadi senyawa yang dapat diserap dan digunakan untuk tumbuh dan berkembang.
Semua jamur yang edibel (dapat dimakan) bersifat saprofit yaitu hidup dari senyawa
organik yang telah mati.
Jamur merupakan golongan fungi yang membentuk tubuh buah yang berdaging.
Tubuh buah ini umumnya berbentuk payung, mempunyai akar semu (rhizoid), tangkai,
tudung, serta terkadang disertai cicin dan cawan volva. Ordo agricales dapat tumbuh dan
menyebar luas pada berbagai habitat, berdasarkan habitat tumbuh, inilah yang
membedakan jamur, termasuk spesies tropis atau spesies subtropis (Sinaga 2000).
Media tumbuh yang umum untuk membudidayakan atau menanam jamur merang
adalah jerami padi. Akan tetapi, jamur ini pun dapat tumbuh pada limbah kapas, sorgum,
gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut kelapa, daun pisang,
eceng gondok, ampas sagu, serbuk gergaji, dan sebagainya. Media tumbuh yang
digunakan akan berpengaruh terhadap hasil akhir produksi.
Jerami Padi
Untuk budidaya jamur merang di Indonesia, jerami masih merupakan media
utama dan banyak digunakan, selain harganya murah, jerami juga mudah diperoleh.
Dengan pemanfaatan jerami sebagai media tumbuh jamur merang terbukti meningkatkan
pendapatan petani di daerah tersebut (Sinaga 2000).
Jerami padi adalah batang daun padi yang merupakan sisa-sisa tanaman setelai
dituai. Bahan ini merupakan limbah organik yang dapat digunakan sebagai bahan media
tumbuh jamur merang. Sarifitra (2004) menyatakan bahwa jerami padi segar
mengandung C- organik 37,38%, N total 1,08%, C/N 34,61%, P total 0,17 %, K total
2,70%, Ca total 0,31%, dan Mg total 0,14%. Bahan ini merupakan salah satu limbah
organik, yang sampai saat ini banyak dimanfaatkan masyarakat dalam berbagai
Sekam Padi
Sekam padi merupakan salah satu hasil sampingan dari produksi beras. Menurut
Luh (1991) dalam Waryanti (2006), padi kering dalam satu malai menghasilkan 52%
beras putih (% dalam berat), 20% sekam padi, 15% jerami padi, dan 10% dedak, sisanya
3% hilang selama konversi.
Bobot isi sekam padi berkisar 0,10- 0,16 g/ml dan kepadatan sesungguhnya
berkisar 0,67- 0,74 g/cm 3. Sekam padi merupakan bahan terpisah yang utama.
Penggilingan dapat meningkatkan bobot isi sekam dua hingga empat kali. Selain jerami
padi, sekam padi juga dapat dijadikan media tumbuh pada budidaya jamur merang.
Selama ini sekam padi masih dianggap sampah dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Disetiap penggilingan padi, sekam padi sering terlihat bertumpuk hingga membukit. Saat
ini pemanfaatan terbesar sekam padi adalah sebagai bahan bakar bata merah yang
merupakan industri rakyat di pedesaan pada saat musim paceklik atau kemarau panjang.
Sekam adalah bagian terluar yang keras dari bulir padi yang terdiri atas lapisan
lemma dan palea. Sifat kekerasan pada sekam ini disebabkan oleh tingginya kandungan
silikat sehingga sulit menyerap air dan tidak dapat mempertahankan kelembaban, serta
memerlukan waktu lama untuk mendekomposisinya. Hasil analisis kimia, sekam padi
terdiri atas Silika 18,8- 22,3%, Kalsium 0,6- 1,3 mg/g, Natrium 0,01- 0,02%, Phospor
0,4- 0,7 mg/g, Magnesium 0,03- 0,04%, dan Abu 13,2- 21,0%. Sekam padi ini dapat juga
digunakan untuk berbagai keperluan antara lain campuran pakan ternak dan sumber
energi. Penggunaan sekam padi sebagai media tumbuh jamur merupakan salah satu
alternatif pengganti jerami bila petani jamur sulit memperoleh jerami sebagai media
tumbuh (Muryanti 1999).
Kotoran Ayam
Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap
sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Kotoran ayam mempunyai kadar unsur hara
Menurut U.K Ministry of Agriculture, Fisheries and Food (1976) dalam Gunawan
(1998) menyatakan dibandingkan dengan pupuk kandang yang lain, kotoran ayam
mempunyai unsur hara yang lebih tinggi terutama unsur N, P, dan bahan organik.
Kandungan unsur hara pada kotoran ayam meliputi 5,0% N, 4,0% CaO, 3,0% P2O5, 2.0%
SO4, dan 1,0% MgO. Besar kecilnya kandungan unsur hara yang terdapat dalam kotoran
ayam tergantung pada kadar air, jenis ayam dan jenis makanan ayam.
Dalam budidaya jamur merang penggunaan kotoran ayam lebih kepada campuran
media tumbuh dan pemanfaatan limbah dari peternakan ayam. Penggunaan kotoran ayam
secara langsung dalam keadaan basah pada media tumbuh jamur merang dapat
mengakibatkan jamur tidak berkembang dengan baik atau bahkan mati, hal ini
disebabkan oleh kandungan amonia yang terlalu tinggi sehingga perlu dikeringkan bila
ingin menggunakan kotoran ayam sebagai campuran media tumbuh jamur merang
(Widiyastuti 2006).
Budidaya Jamur Merang
Di Indonesia, jamur merang telah dibudidayakan sejak tahun 1955. Berbagai cara
telah dipelajari untuk memperbaiki dasar teknologi dalam membudidayakan jamur
merang. Walaupun setiap negara mempunyai teknik pembudidayaan yang spesifik dan
agak berbeda satu dengan lainnya, tetapi sebenarnya prinsip dasarnya sama. Saat ini,
dikenal ada tiga cara budidaya jamur merang yaitu budidaya di luar kumbung (cara
tradisional), budidaya di dalam kumbung (cara modern), dan budidaya dalam growth
chambers. Selain ketiga cara tersebut, ada cara budidaya lain yang dilakukan di dalam
dapur (Sinaga 2000).
Untuk tujuan komersil, budidaya jamur merang secara modern atau yang
dilakukan di dalam kumbung lebih banyak dipilih di berbagai negara. Dengan budidaya
dalam kumbung ini petani dapat menyediakan produksi jamur merang sepanjang tahun
karena suhu di dalam kumbung dapat diatur. Untuk bisa mendapatkan hasil yang tinggi
dari bertanam jamur merang cara budidayanya harus dilakukan dengan baik dan benar.
Berdasarkan segi teknis, beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk
penyiapan bibit, menyiapan media tanam (kompos), penanaman, dan pemeliharaan
tanaman.
Penentuan Lokasi Budidaya
Penentuan lokasi budidaya tidaklah sulit, karena jamur merang dapat hidup dan
tumbuh dimana saja. Namun demikian dalam menentukan lokasi harus tetap
memperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses produksi, baik
secara teknis maupun secara ekonomis. Secara teknis, faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan jamur merang adalah cahaya matahari, derajat keasaman
media tanam, angin, suhu dan kelembaban, serta curah hujan. Secara ekonomis,
pemilihan lokasi budidaya dipengaruhi oleh faktor sumberdaya tanah, ketersediaan
sumber air bersih, sumberdaya manusia yang memadai, sumberdaya hayati yang
mendukung, serta ketersedia lahan (Farihah 2005). Lebih lanjut, Widiastuti (2006)
menyatakan bahwa secara teknis, lokasi harus cukup bersih, bebas kontaminasi senyawa
berbahaya, dan mudah dalam mendapatkan instalasi listrik untuk penerangan.
Penyiapan Peralatan
Kebutuhan peralatan biasanya disesuaikan dengan skala usaha. Berdasarkan
jumlah kepemilikan kumbung, skala usaha jamur merang ini dapat dibagi menjadi tiga
(Widiyastuti 2006). Skala kecil hanya menggunakan satu kumbung berukuran ( 6 x 8 m2)
dengan kapasitas produksi produksi 200-250 kg. Skala menengah (sedang) menggunakan
2-5 kumbung dengan kapasitas total produksi 400-1250 kg. Skala besar menggunakan
lebih dari 5 kumbung dengan kapasitas produksi lebih dari 1250 kg. Sinaga (2000)
menilai pemilihan rumah jamur bentuk kumbung ini bermanfaat untuk melindungi jamur
dari kondisi lingkungan luar yang kurang mendukung, misalnya angin yang terlampau
kencang, dan memudahkan pengelolaan iklim mikro di dalam kumbung, menghemat
lahan karena bidang tanam dapat disusun dengan menggunakan rak, dan saat budidaya
tidak bergantung pada musim. Peralatan lain yang dibutuhkan menurut Cahyono dan
Juanda (2004) dalam Farihah (2005) adalah pH meter, termometer dan higrometer,
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kumbung dijelaskan dalam sub
bahasan berikut (Widiyastuti 2006).
Tata Letak Kumbung
1. Letak kumbung harus disesuaikan dengan gerakan sinar matahari dengan arah
Barat- Timur.
2. Letak kumbung diusahakan tidak di bawah naungan pohon
3. Lahan sebagai tempat/ lokasi kumbung diusahakan pada lahan yang agak berpasir
agar kelembaban dalam kumbung tetap konstan dan cepat kering.
Bentuk dan Ukuran Kumbung
1. Bagian atap kumbung dari bagian luar berbentuk segi tiga sedangkan atap
kumbung bagian dalam, berbentuk trapesium.
2. Ukuran kumbung yang ideal sebagai berikut :
a. Kumbung bagian dalam berukuran 4 x 7 x 4 m, sedangkan kumbung
bagian luar berukuran 4,6 x 7,6 x 5 m.
b. Lebar rak dalam kumbung 1,2 m dengan jarak antar rak kiri kanan 70 cm
c. Jendeka utama terdiri dari 2, yaitu di depan dan belakang. Posisi jendela
berada 30 cm di atas rak paling atas.
d. Jendela kontrol terdiri dari 2, yaitu didepan 2 dan dibelakang 2, posisi
jendela berada di sebelah kiri dan sejajar dengan rak kelima dan keenam.
3. Jarak kumbung bagian dalam dan bangunan kumbung bagian luar 30 cm. Jarak antara
rak kiri dan rak kanan dengan bagian pinggirnya 45 cm jadi luas penanamannya ± 74,4
Pengaruh Bentuk dan Ukuran Kumbung
Atap kumbung bagian dalam berbentuk trapesium, maksudnya untuk
menghindari jatuhnya uap air ke media kompos, dalam hal ini uap air akan jatuh ke lokasi
bagian tengah kumbung yang tidak terdapat media kompos (bagian kosong), sehingga
pertumbuhan jamur tidak terganggu. Ukuran kumbung yang ideal 4 x 7 x 4 m) diatas
ukutan ini kurang efisien baik dalam proses pasteurisasi maupun dalam biaya lainnya.
Sedangkan ukuran kumbung yang lebih kecil dari rata-rata idealpun kurang efisien baik,
dari efesiensi biaya dan tenaga kerja (Widiyastuti 2006).
Penyiapkan Bibit
Dalam menyiapkan bibit jamur dapat dengan cara membeli yang sudah siap jadi
(siap tanam) atau dengan cara membuat sendiri. Bagi petani jamur skala kecil hingga
menengah, membeli bibit yang sudah jadi lebih baik daripada membuat bibit sendiri,
karena mutunya lebih terjamin, serta lebih efisien. Tetapi untuk usaha jamur merang
skala besar, pembuatan bibit akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan membeli
bibit. Sinaga (2000) menyatakan untuk menghasilkan jamur merang yang berkualitas,
bibit harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
1. Miselium bibit tumbuh merata ke seluruh media tumbuh. Hindari bibit dengan
miselium terlalu padat, atau terlalu tipis dan jarang.
2. Pertumbuhan miselium bibit tidak menunjukkan pertumbuhan yang bersifat
sektoritas ( pengelompokan pertumbuhan miselium media tumbuh).
3. Bibit tidak terkontaminasi
4. Bibit jamur siap tanam tidak terlalu muda (tidak ada spora berwarna merah jambu)
atau terlalu tua (umumnya bibit lebih dari 2 bulan).
Dalam pemeliharaan bibit hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Fasilitas dan peralatan sterilisasi harus dalam kondisi steril untuk menghindari
atau mengurangi kontaminasi fungi atau bakteri.
2. Bibit jamur dapat disimpan dalam referegator untuk menghambat pertumbuhan
sementara. Namun sebelum digunakan atau langsung ditanam harus
diinkubasikan (disimpan) dalam temperatur ruangan yang mengembalikan sifat
aktif pertumbuhannya.
3. Penyimpanan atau inkubasi bibit setelah inokulasi dalam temperatur ruangan
tidak boleh lebih dari 5 minggu. Penggunaan bibit yang kadaluarsa (umur bibit
lebih dari 5 minggu setelah inokulasi) tidak akan menghasilkan produksi yang
baik.
Menyiapkan Media Tanam Bahan Baku
Ketersediaan dan mutu bahan baku media tanam menjadi perhatian penting
karena akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi jamur yang dihasilkan.
Jerami padi yang bermutu baik adalah jerami kering dengan kadar air kira-kira 20% dan
memiliki warna kuning cerah, tidak ada yang masih berwarna hijau. Untuk menjamin
keberlangsungan produksi yang dilakukan, maka persediaan/ stok bahan baku jerami
harus cukup untuk kebutuhan satu tahun ditambah penyusutan bahan baku yang rusak.
Agar kualitas jerami dapat dipertahankan, maka penyusunan jerami harus dilakukan
dengan cara yang benar, yaitu dengan membuat tumpukan sedemikian rupa sampai
membentuk kerucut dengan ukuran lebar maksimal 5 m, sedangkan untuk panjang dan
tinggi tumpukan disesuaikan dengan jumlah jerami yang tersedia.
Pada seluruh bagian pinggir tumpukan, setiap batang jerami ditumpuk dalam
posisi terbaring, sedangkan pada bagian tengah jerami yang ditumpuk saling menyilang
antara tumpukan yang satu dengan yang lainnya, selanjutnya tumpukan jerami
diinjak-injak supaya padat dan harus diperhatikan agar tidak terdapat celah sehingga air tidak
Bahan baku lainnya sebaiknya tidak terlalu lama disimpan, penyediaannya cukup
sebatas kebutuhan 3 kali proses produksi (Farihah 2005). Sinaga (2000) menambahkan,
bahwa dedak yang baik adalah yang berwarna terang, tidak berbau apek, tidak berubah
warna, tidak menggumpal, bebas hama dan penyakit. Adapun kapur (CaCO3) yang
menggumpal harus dihancurkan terlebih dahulu. Dan karena jamur bersifat
mengakumulasi unsur yang terkandung dalam bahan, maka pilihlah bahan yang tidak
tercemar, terutama kandungan bahan kimia yang berbahaya seperti oli, minyak,
insektisida, fungisida, atau limbah dari kegiatan produksi.
Pengomposan
Jamur merang dapat tumbuh dengan baik di media yang telah dikomposkan.
Pengomposan dilakukan dengan tujuan untuk mengaktifkan mikroflora termofilik,
misalnya bakteri dan fungi yang akan merombak selulosa, hemiselulosa, serta lignin
sehingga dapat dicerna oleh jamur. Selama proses pengomposan akan timbul panas yang
akan dapat mematikan organisme pesaing yang akan merugikan bagi pertumbuhan jamur.
Bahan utama sebagai tempat tumbuhnya jamur merang adalah jerami padi, selain itu,
bahan tambahan lain yang diperlukan adalah kapas sebagai Casing, bekatul sebagai
sumber karbohidrat, kapur untuk menetralkan media, dan kotoran ayam dapat
ditambahkan untuk meningkatkan nitrogen dalam media. Semua bahan baku diatas
nantinya akan dikomposkan, komposan-komposan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
komposan kapas dan komposan jerami. Dengan ukuran kumbung 4 x 7 x 4 m,
bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dua komposan adalah sebagai berikut :
Komposan kapas : Kapas 150 Kg, dedak 50 Kg, dan kapur 10 Kg.
Komposan jerami : Jerami 1000 Kg, dedak 100 Kg, dan kapur 20 Kg.
Langkah-langkah pembuatan kompos kapas sebagai berikut. Kapas dibasahi
dengan air, kemudian ditiriskan, kapur dan bekatul dicampur hingga rata. Lapisan-lapisan
Komposan ditutup dengan plastik untuk mengaktifkan mikroorganisme untuk
membantu proses pengomposan. Langkah-langkah pembuatan komposan jerami adalah
sebagai berikut (Farihah 2005). Jerami yang telah kering dipotong sekitar 30 cm. Cuci
jerami yang telah dipotong pada air yang mengalir selama satu jam, kemudian ditiriskan,
campur bekatul dan kapur hingga merata, susun potongan jerami setebal 10 cm dan
diatasnya ditaburi campuran bekatul dan kapur. Penyususunan lapisan ini dibuat hingga
ketinggian 1,5 m. Semakin tinggi komposan yang dibuat maka semakin baik hasil
pengomposan. Setelah kedua kompos selesai dibuat, lalu kedua jenis kompos tersebut
dicampur secara merata. Pembuatan kompos dapat dilakukan di dalam ruangan atau pada
ruangan yang tidak memiliki atap. Untuk hasil yang lebih baik, sebaiknya alas tempat
pengomposan diberi lapisan terpal atau disemen (Widiyastuti 2006).
Pemasukan dan Pemasangan Media
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam pemasukan media tanam ke
dalam kumbung adalah sebagai berikut. Sebelum kompos dimasukkan dan diletakkan di
atas rak, kumbung harus dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan dapat dilakukan
setelah pembongkaran, atau paling lambat tiga hari sebelum memasukkan media tanam.
Pemasangan lembaran plastik pada tempat pembongkaran yang berfungsi sebagai alas
dan pada jalan lalu lintas mengangkut jerami sampai dengan masuk kumbung, sehingga
kondisi kompos dan kaki pekerja tetap bersih. Komposan yang jatuh ke tanah, sebaiknya
tidak digunakan lagi. Karena dikhawatirkan terkontaminasi oleh organisme tanah.
Pengaturan komposan disesuaikan dengan kondisi panjang rak. Komposan disusun
sambil diurai dan tidak dipadatkan agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.
Tinggi gundukan pada rak pertama dan kedua antara 40-50 cm, dan pada rak ketiga dan
seterusnya antara 25-30 cm. Hal ini dilakukan agar suhu pada bagian atas dan bawah
Pasteurisasi
Pasteurisasi atau steaming adalah proses pemanasan ruangan rumah tanam dan
media jamur merang, tujuannya untuk menciptakan kondisi yang optimum dan ideal bagi
pertumbuhan dan perkembangan jamur merang, mengurangi daya tumbuh jamur pesaing
yang tidak dikehendaki, karenanya lingkungannya dibuat tidak sesuai untuk tempat
tumbuhnya. Pasteurisasi dianggap sempurna bila suhu minimal 70 oC (lebih tinggi lebih
baik) dan dapat dipertahankan selama 4 jam. Jika komposan yang dimasukkan memiliki
kualitas baik, pada saat awal proses pasteurisasi suhu kumbung biasanya sudah mencapai
36 oC (Widiyastuti 2006).
Persiapan yang perlu dilakukan dalam proses pasteurisasi adalah sebagai berikut.
Membersihkan lantai dan seluruh bagian dalam kumbung. Jika kondisi tanah di dalam
kumbung dan di luar kumbung terlihat kering sebaiknya disiram dengan air sampai
semuanya terlihat basah. Hal ini bertujuan agar tanah tidak kering dan retak pada saat
pasteurisasi . Apabila kondisi ini terjadi, dikhawatirkan udara panas dari dalam akan
menembus keluar sehingga pasteurisasi tidak berjalan sempurna. Mengecek semua
dinding dan atap plastik untuk memastikan tidak ada yang sobek atau bocor. Menutup
pintu dan jendela serta dikuatkan menggunakan paku. Persiapkan alat-alat steamer yaitu
mengisi air pada drum, minyak dan kompor. Pasang termometer dengan membuat lubang
kecil pada dinding. Setelah semua persiapan selesai, proses pasteurisasi dapat dilakukan.
Selama proses pasteurisasi, hal-hal yang perlu dilakukan adalah menyalakan dan
melakukan pemanasan blower agar minyak yang ada di dalam lingkaran blower
benar-benar matang. Selanjutnya aliran minyak dapat dibuka secara perlahan-lahan sampai api
yang keluar stabil. Pengaturan ini tergantung besarnya spuyer.
Agar api dihasilkan tetap stabil, tekanan angin di dalam tangki minyak harus
dipertahankan pada kisaran 7,5 sampai 8 psi (pound per square inch). Jika berjalan
sempurna, empat jam pertama suhu kumbung akan mencapai 60 oC. Pada saat itu ketiga
Empat jam berikutnya suhu akan mencapai 70 oC dan harus dipertahankan selama
4 jam. Untuk itu harus menambahkan air dan minyak dalam jumlah yang semula. Bila
setelah penambahan pertama suhu yang diharapkan tidak tercapai, hentikan pasteurisasi
dihentikan dan ulangi keesokan harinya seperti pada tahapan di atas sampai suhu
minimal 70 oC tercapai (Farihah 2005).
Penanaman Bibit
Bibit jamur yang telah diperoleh, baik dari membeli atau membibitkan sendiri,
dapat segera ditanam. Penanaman bibit dilakukan dengan cara menebarkan bibit ke
permukaan dan lapisan tengah media. Jumlah bibit yang diberikan tidak berpengaruh
pada hasil, tetapi berpengaruh pada penekanan tumbuhnya jamur atau cendawan
kontaminan (Widiyastuti 2006). Hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan bibit
adalah bibit sebaiknya dipesan 15 hari sebelum melakukan penanaman. Dengan demikian
bibit yang ditanam tidak terlalu muda atau kadarluarsa. Bibit yang terkontaminasi
sebaiknya tidak dipergunakan.
Para pekerja yang bertugas menabur bibit harus dalam keadaan bersih (sebaiknya
mandi terlebih dahulu). Tangan harus dicuci dengan menggunakan sabun atau alkohol
70%. Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari, maksudnya agar kondisi
bibit tidak steres terkena panas matahari. Tetapi apabila penanaman dilakukan siang hari,
maka jendela dan pintu kumbung harus dibuka setengah jam sebelum penanaman,
tujuannya untuk mengeluarkan gas amoniak yang terbentuk selama pasteurisasi.
Penanaman bibit dilakukan sehari setelah proses pasteurisasi, dimana suhu kumbung
sudah mencapai sekitar 35 oC. Proses teknis penanaman bibit adalah sebagai berikut.
Bibit diuraikan di dalam kumbung atau tempat steril lainnya, dengan syarat pada saat
Bibit ditempatkan di dalam ember dan ditebarkan secara merata ke atas media
tanam dimulai dari rak yang paling atas kemudian disusul rak di bawahnya. Pada bagian
pinggir yang berdekatan dengan plastik pasokan cahaya lebih memadai sehingga bagian
ini memiliki potensi tumbuh lebih tinggi, maka bibit ditaburkan lebih banyak supaya
tumbuh dapat maksimal (Farihah 2005). Pemeriksaan ulang dilakukan pada semua media
tanam untuk memastikan bahwa media sudah tertanam bibit secara keseluruhan. Jika
lantai kumbung terlihat kering sebaiknya disiram dengan air, maksudnya agar
kelembaban kumbung tetap terjaga selama pertumbuhan miselium jamur. Pintu dan
jendela ditutup rapat selama 3-5 hari.
Pemeliharaan
Suhu kumbung yang baik untuk budidaya jamur merang berkisar antara 32-38 oC
dan kelembaban berkisar antara 80-98 %. Untuk mempertahankan agar kondisi di atas
terpenuhi maka pemeliharaan memerlukan perhatian ekstra, karena hal ini merupakan
salah satu faktor kunci keberhasilan dalam produksi jamur merang. Secara garis besar
pemeliharaan terdiri dari penyemprotan, penyiraman, pengaturan pintu dan jendela, steam
pemeliharaan, serta pengendalian hama dan penyakit.
Penyemprotan
Tujuan dari penyemprotan tidak hanya mengendalikan suhu dan kelembaban,
lebih penting dari itu adalah menyediakan ketersediaan air untuk pertumbuhan tubuh
buah jamur merang. Dalam satu siklus produksi jamur merang dibutuhkan beberapa kali
penyemprotan, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan sekitarnya.
Penyemprotan bertujuan agar pertumbuhan miselium menjadi banyak. Selama fase
vegetatif ini tidak perlu diberi cahaya. Waktu maksimal penyemprotan pertama adalah
lima hari setelah tanam, namun pada musim kemarau miselium biasanya tumbuh lebih
Penyiraman
Pada musim panas, kondisi tengah/ jalan dalam kumbung terkadang terlihat
kering, sehingga setiap dua hari sekali perlu dilakukan penyiraman sebanyak empat
ember. Sedangkan untuk kumbung berlantai batu bata, maka jalan tengah disiram setiap
hari. Kegiatan penyiraman sebaiknya dilakukan sebelum pukul 09.00, sehingga pada saat
terik suhu kumbung tidak terlalu tinggi. Tujuan dari penyiraman dalam kumbung adalah
untuk mempertahankan kelembaban kumbung (Sinaga 2000).
Pengaturan Pintu dan Jendela
Pengaturan pintu dan jendela kumbung sesungguhnya sangat bergantung pada
kondisi cuaca pada saat pemeliharaan. Apabila pada saat pemeliharaan sedang musim
hujan, sebaiknya pembukaan pintu dan jendela tidak terlalu sering dilakukan, karena
dikhawatirkan akan mempengaruhi kelembaban di dalam kumbung. Tetapi apabila
pemeliharaan dilakukan pada musim panas, pengecekan suhu dan kelembaban dalam
kumbung harus lebih sering diperhatikan. Bila di dalam kumbung suhu lebih dari 38oC,
maka pintu dan jendela pada kumbung harus dibuka selama beberapa saat sampai suhu di
dalam kumbung turun dan sesuai untuk pertumbuhan jamur merang (Maman 2004).
Steam Pemeliharaan
Steam pemeliharaan dilakukan jika suhu kumbung dibawah 30 oC dan akan lebih
baik jika suhu kumbung dibawah 32 oC sudah dilakukan, khusus pada musim hujan.
Secara teknis steam pemeliharaan adalah memasukkan uap panas ke dalam kumbung
yang dialirkan melalui bambu/ pipa besi. Sebaiknya steam pemeliharaan dilakukan pada
malam hari, adapun waktu yang dibutuhkan dalam proses ini tergantung suhu yang
terdapat di dalam kumbung. Apibila suhu di dalam kumbung telah mencapai 35 oC, maka
proses ini akan diberhentikan dan menutup rapat pintu serta jendela agar suhu yang telah
tercapai tidak kembali turun (Zacky 2003).
Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut Widiyastuti (2006) hama yang umumnya merusak media tanam jamur
adalah tikus sawah. Tikus sawah dapat masuk dengan melubangi plastik kumbung.
Pencegahan yang efektif dilakukan adalah dengan memasang aliran listrik di bawah
sekeliling kumbung. Aliran listrik hanya dihidupkan malam hari dan diberi sinyal atau
tanda lampu berwarna merah di sudut-sudut kumbung.
Penanganan Panen dan Pasca Panen
Apabila kondisi media maupun lingkungan cukup, jamur dapat dipanen pada hari
ke-10 hingga hari ke -14 dari penanaman bibit jamur. Jamur merang yang dipanen adalah
jamur dalam stadium kancing. Waktu pemetikan dilakukan pada pagi hari pukul
05.00-06.30. Hal itu dimaksudkan agar jamur yang dipanen tidak banyak yang rusak, dan
harganya tetap tinggi. Cara memetik yang baik adalah menggunakan ujung ibu jari, jari
telunjuk, dan jari tengah. Caranya adalah dengan memutuskan bagian pangkal tubuh buah
jamur merang. Agar kualitas jamur tetap terjaga, hasil petikan dimasukkan ke dalam
keranjang. Sebab walaupun sudah dipetik jamur merang masih aktif melakukan respirasi,
dan mengeluarkan uap air.
Hasil panen dapat dihamparkan di atas lantai yang diberi alas karung plastik
bersih dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jamur yang payungnya sudah
mekar tidak diminati oleh konsumen. Oleh karenanya, usahakan waktu panen tidak
terlambat. Banyak sedikitnya hasil panen dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kualitas bibit, termasuk di dalamnya sifat genetik, kualitas media, proses sterilisasi, dan
kondisi lingkungan. Selain pemetikan (panen), penyimpanan/ pengepakan jamur turut
berperan dalam mempertahankan kualitas Alangkah lebih baiknya, apabila setelah dipetik
langsung dijual. Namun, bila situasi tidak memungkinkan hasil panen bisa direndam
dalam bak berisi air bersih. Tetapi semakin lama merendamnya maka kualitas jamur
Untuk memperpanjang daya tahan jamur merang setelah dipanen terdapat
beberapa cara yang harus dilakukan, bungkus jamur merang dalam kain batis, kemudian
simpan dalam refregerator pada suhu 15 oC atau kemas jamur merang dalam styrofoam
chest dengan meletakkan es pada dasar kotak. Bisa juga dengan membungkus jamur
merang dengan daun pisang, kemudian ditaruh pada tempat yang tidak terkena sinar
matahari secara langsung. Stadia kancing dari jamur merang dapat bertahan dalam
keadaan segar selama 4 hari, dengan suhu minimum 15 oC dengan kelembaban udara
yang tinggi (Widiyastuti 2006).
Pada suhu 5 oC akan terjadi “Chilling injuri ”. Sedangkan pada suhu 20 oC, jamur
akan cepat busuk. Secara teknis suhu 15 oC dengan kelembaban tinggi dapat diperoleh
bila jamur merang dikemas dalam wadah stryrofoam chest yang diberi es pada dasarnya.
Selektifitas mutu jamur merang akan disajikan pada tabel berikut (Farihah 2005).
Tabel 1 Selektifitas Mutu Produk Jamur Merang Pada Stadia Kancing
No Uraian Besar Sedang Kecil
1 Bentuk Bulat telur keras Bulat telur keras Bulat, tidak keras
2 Ukuran 1,5-2 cm 1-1,5 cm < 1 cm
3 Warna Putih bersih Putih bersih Putih bersih
keabu-abuan keabu-abuan keabu-abuan
4 Kebersihan Tidak ada kotoran Tidak ada kotoran Tidak ada kotoran
tidak ada cacat tidak ada cacat tidak ada cacat
5 Bobot tubuh 7-10 g 4-7 g < 4 g
buah
Untuk menghindari fluktuasi panen musiman akibat perubahan iklim (musim
kemarau dan musim hujan), maka teknik perawatanyang dilakukan harus disesuaikan
optimum dan sesuai dengan kebutuhan jamur yang dibudidayakan. Setelah panen dan
penanganan pasca panen dilakukan, tahapan selanjutnya adalah pembongkaran media.
Pembongkaran ini dilakukan setelah masa panen jamur berakhir, dengan tujuan untuk
membersihkan seluruh kumbung dari sisa media komposan. Rak-rak yang telah kosong
kemudian disikat dan dibilas dengan air sampai bersih. Pembersihan yang dilakukan pada
kumbung akan memperpanjang umur kumbung.
Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Merang Suhu Udara
Selama pemeliharaan, suhu di dalam kumbung harus dipertahankan antara 32o-38o
C, jangan lebih dari 38o C atau kurang dari 30o C karena produksi akan tidak baik. Suhu
di bawah 30o C akan menyebabkan pembentukan tubuh buah cepat tetapi kecil dan
tangkainya panjang tetapi kurus serta payung akan mudah terbuka sehingga kualitasnya
buruk. Pada suhu 26o-27o C, tubuh buah tidak pernah terbentuk dan miselium dorman.
Suhu berada di atas 38o C akan menyebabkan payung terbentuk tipis serta pertumbuhan
jamur kerdil dan payungnya keras.
Pada suhu 40o C akan sukar terbentuk jamur merang, tetapi sebaliknya
pertumbuhan gulma Coprinus akan sangat subur. Bila suhu terlalu tinggi (di atas 38o C),
cara untuk menurunkan suhu tersebut dengan mengkondisikan aerasi yang baik,
misalnya dengan membuka jendela kumbung (depan dan belakang) untuk beberapa saat
(Sinaga 2000).
Kelembaban Udara
Kelembaban udara (RH) yang dibutuhkan untuk perkembangan miselium jamur
merang adalah 65%. Pada tahap pemeliharaan dan pembentukan tubuh buah jamur
Kelembaban udara yang terlalu tinggi (95-100%) merupakan kondisi buruk
karena jamur merang mudah busuk, berwarna kecoklatan, layu dan jamur akan busuk
basah. Sementara kelembaban udara yang terlalu rendah (kurang dari 80%) akan
mengakibatkan tubuh buah yang terbentuk kecil dan sering terbentuk di bawah media
merang, tangkai buahnya panjang dan kurus, serta payung jamur mudah terbuka
(Widiyastuti 2006).
Oksigen
Jamur membutuhkan oksigen (O2) untuk pertumbuhan dan produksi tubuh
buahnya. Kebutuhan oksigen selama perkembangan miselium tidak terlalu besar. Namun,
pada stadia pembentukan tubuh buah, aerasi (aliran udara terutama oksigen) sangat
dibutuhkan. Bila kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, tubuh buahnya akan kerdil. Suhu
dan kelembaban udara perlu diatur kembali agar tercapai keadaan yang optimum bagi
pembentukan tubuh buah. Aerasi biasanya dilakukan dengan cara membuka jendela
kumbung selama 1-2 jam agar suhu dan kelembaban udara turun.
Kekurangan oksigen biasanya akan menyebabkan payung dari jamur merang
menjadi kecil sehingga cenderung mudah pecah dan bentuk tubuh buahnya abnormal.
Kekurangan oksigen yang ekstrim menyebabkan tubuh buah tidak pernah terbentuk serta
pertumbuhan miselium manjadi padat dan meluas ke semua bagian media. Kekurangan
oksigen yang ekstrim ini dapat diketahui melalui keadaan pengap dan pingsan hanya
dalam waktu dua menit saja (Sinaga 2000).
Karbondioksida
Walaupun kecil (hampir 1%), adanya konsentrasi karbondioksida (CO2) di dalam
ruang atau kumbung akan membahayakan dan menghambat produksi jamur merang.
Akumulasi karbondioksida sampai 5% menyebabkan jamur tidak pernah membentuk
tubuh buah. Sementara konsentrasi karbondioksida mendekati 1% menyebabkan tubuh
buah akan memanjang (etiolasi) dan payungnya kecil.
Mengurangi konsentrasi karbondioksida dalam kumbung dapat dilakukan dengan
pemeliharaan. Namun, suhu dan kelembaban udara harus tetap dipertahankan optimum
(Sinaga 2000).
Derajat Keasaman
Miselium jamur atau cendawan dapat tumbuh pada kisaran derajat keasaman (pH)
media sekitar 5,0-8,0. Untuk jamur merang, pH optimum media sekitar 6,8-7,0. Oleh
karena itu, kompos jamur merang biasanya masam (pH di bawah 6) sehingga perlu diberi
kapur agar pH-nya naik. Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 7) maka tubuh buah jamur tidak
berkembang baik, tetapi cendawan kontaminan akan berkembang biak. Dengan mengatur
pH yang optimum untuk jamur merang sebenarnya sekaligus mengurangi pertumbuhan
gulma jamur (Sinaga 2000).
Cahaya
Cahaya matahari langsung harus dihindari. Namun, cahaya tidak langsung
dibutuhkan untuk menginisiasi (memicu) pembentukan primordia atau tubuh buah dan
untuk menstimulasi pemencaran spora. Umumnya spora cendawan atau jamur bersifat
tertarik akan cahaya dan memancarkan sporanya ke arah cahaya. Ini berarti pemasukan
cahaya hanya sedikit dan tidak lama (1-2 jam) pada 5-6 hari setelah penanaman bibit dan
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada tempat budidaya jamur merang milik Bapak
Muhajir di desa Suka Indah, Kecamatan Suka Karya Kabupaten Bekasi. Pengumpulan
data di lapangan untuk penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu dari bulan Juli
sampai dengan September 2007.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan limbah organik
yang dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang dan bibit jamur merang.
Bahan-bahan tersebut meliputi :
1. Jerami padi
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: alat
pasteurisasi, thermohygrometer, sekop, garpu, sprayer, alat tulis, kamera, termometer,
timbangan, keranjang, terpal plastik, dan bak celup sebagai tempat perendaman jerami
dan sekam padi
Rumah Jamur
Dalam penelitian ini, rumah jamur (kumbung) yang digunakan memiliki panjang
8 m, lebar 5 m, dan tinggi 9 m. Di dalam kumbung terdapat 16 rak, berukuran 8 x 1 m,
Metode Pelaksanaan
Untuk mengetahui produktifitas media sekam padi dicampur kotoran ayam telah
dilakukan pembuatan media dan dengan budidaya jamur merang sesuai dengan cara
pembuatan media dari budidaya jamur merang yang menjadi standar atau umum
dilakukan baik dengan menggunakan media jerami padi sebagai bahan pokok media.
Tingkat produksi dari kedua jenis media yang dipakai tersebut dipakai petunjuk bahwa
media sekam padi dicampur kotoran ayam dapat dipakai sebagai pengganti media jerami
padi.
Cara kerja pembuatan media jerami padi dan sekam padi dicampur kotoran ayam
beserta cara budidaya jamur yang telah dilakukan dijelaskan seperti pada uraian berikut.
Pengomposan Jerami Padi
Untuk membuat media jerami padi dalam penelitian ini dibutuhkan 9000 Kg
jerami padi, 20 Kg dedak, dan 20 Kg kapur. Langkah-langkah pembuatan media jerami
padi adalah sebagai berikut:
1. Jerami padi direndam hingga merata dalam bak air
2. Jerami padi yang telah direndam, diangkat sambil ditiriskan kemudian disusun
diatas terpal plastik yang telah disiapkan. Jerami padi disusun secara merata
dengan ketebalan 30 cm.
3. Kapur ditaburkan diatas jerami hingga merata. Penaburan ini dilakukan pada
setiap 30 cm jerami padi yang telah disusun. Proses ini terus dilakukan sampai
kedua bahan tersebut habis tercampur.
4. Bahan-bahan yang telah tercampur kemudian dikomposkan dengan cara disekap
dengan menggunakan terpal plastik. Penyekapan ini dilakukan selama lima hari.
Pada hari kelima, jerami yang telah disekap kemudian dibuka dan dilakukan
pembalikan. Hal ini dimaksudkan agar kematangan komposan yang dihasilkan
sempurna.
5. Jerami yang telah dibalik, kemudian ditaburi dedak pada permukaannya secara
merata, dan kemudian disekap kembali hingga hari kesepuluh.
Untuk membuat media jerami padi dalam penelitian ini dibutuhkan 1500 Kg
sekam padi, 1500 Kg kotoran ayam, dicampur dengan 20 Kg kapur. Langkah-langkah
pembuatan media sekam padi dicampur kotoran ayam adalah sebagai berikut :
1. Sekam padi direndam terlebih dahulu pada bak air. Khusus untuk sekam padi, bak
air yang digunakan untuk merendam dilapisi karung goni pada bagian bawah dan
kedua sisinya. Pelapisan ini dimaksudkan agar pada saat perendaman, sekam padi
tidak ikut terbawa iar.
2. Sekam padi yang telah direndam diangkat dan ditiriskan dengan menggunakan
ember yang bagian bawahnya telah dilubangi untuk tempat keluarnya air.
3. Sekam padi disusun secara merata diatas terpal plastik dengan ketebalan 30 cm.
4. Setiap ketebalan 30 cm, sekam padi ditaburi campuran kapur dan kotoran ayam.
Kotoran ayam yang digunakan pada media ini dalam keadaan kering. Apabila
kotoran ayam yang digunakan masih dalam keadaan basah, dikhawatirkan masih
mengandung mikroorganisme da bisa mengakibatkan kontaminasi pada media.
5. Setelah proses penaburan kapur dan kotoran berakhir, selanjutnya adalah
penyekapan dengan terpal plastik. Penyekapan ini dilakukan selama 17 hari, pada
hari kesembilan, terpal penyekap dibuka dan kemudian dilakukan penyiraman
media kompos. Penyiraman ini bertujuan agar komposan tidak terlalu kering serta
dapat menjaga kelembaban disaat proses dekomposisi.
Pengomposan Kapas
Sebagai casing, dalam penelitian ini, dikomposkan 600 Kg limbah kapas pabrik
textile, 40 Kg kapur, dan 400 Kg dedak. Langkah-langkah pembuatan kompos kapas
adalah sebagai berikut :
1. Sebelum dikomposkan, kapas telebih dahulu direndam pada bak celup
untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada kapas.
2. Setelah bersih, kapas-kapas tersebut diangkat dan ditiriskan selama
beberapa saat lalu dilakukan penyusunan diatas terpal plastik.
3. Susunan kapas dibuat setebal 10 cm. Agar kapas tidak telalu padat dan
menempel, dalam proses penyusunannya kapas tersebut diurai-uraikan
4. Setiap ketebalan kapas 10 cm, kapas diberi taburan dedak secara
merata pada bagian permukaannya. Proses ini terus dilakukakan hingga
campuran kedua bahan habis.
5. Kapas yang telah ditaburi dedak kemudian disekap selama satu
minggu. Tetapi sebelum kapas disekap, bahan yang akan dikomposkan
disiram dengan air selama 15 menit. Hal ini untuk membuat
kelembaban pada saat pengomposan lebih terjaga. Setelah satu minggu,
sekapan kapas dibuka, lalu ditaburi dedak halus hingga merata, dan
disekap kembali hingga hari kedelapan.
Pasteurisasi
Tahapannya dimulai dari tangki yang berisi minyak tanah, diberi tekanan udara
dengan menggunakan compresor. Tangki minyak yang telah penuh dengan angin
kemudian dihubungkan ke kompor dengan menggunakan selang pipa. Kompor tersebut
lalu ditaruh dibawah tiga buah drum yang telah berisi air, kemudian dipanaskan hingga
mendidih. Uap air yang dihasilkan lewat pemanasan pada drum, dialirkan ke kumbung,
melalui pipa besi yang terdapat pada bagian depan drum.
Kedua percobaan ini dipasteurisasi selama 8 jam dengan suhu 70 oC. Setelah
pasteurisasiselesai, kumbung dibiarkan selama satu hari hingga suhunya turun sekitar 30
o