• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BERMAIN PERAN PROSOSIAL TERHADAP PENINGKATAN KONSEP DIRI ANAK PADA SISWA SD NEGERI 1 PRAMBANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH BERMAIN PERAN PROSOSIAL TERHADAP PENINGKATAN KONSEP DIRI ANAK PADA SISWA SD NEGERI 1 PRAMBANAN"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGARUH BERMAIN PERAN PROSOSIAL TERHADAP

PENINGKATAN KONSEP DIRI ANAK PADA SISWA SD

NEGERI 1 PRAMBANAN

Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Disusun Oleh:

Diah Tri Novita

G 0104016

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

(4)

commit to user

iv

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi

saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,

kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya

bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, April 2011

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

v MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti terdapat kemudahan. (Q.S. Al Inshyroh : 5)

Jangan takut dengan kesalahan, kebijaksanaan biasanya lahir dari kesalahan. (Paul Galvin)

Bukan masalah-masalah yang mengganggu pikiran tetapi cara memandang masalah tersebut. Semua bergantung pada cara memandang sesuatu.

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Dengan penuh hormat serta cinta, kasih, dan sayang, karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

1. Ibu dan Bapak, serta keluarga tercinta. 2. Staf pengajar Program Studi Psikologi UNS.

3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini.

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan

nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep

Diri Pada Siswa SD Negeri 1 Prambanan sebagai syarat mendapatkan gelar

sarjana Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Penulis menyadari akan kekurangan, kelemahan, dan hambatan yang

penulis hadapi, sehingga tanpa dorongan, bantuan, bimbingan, serta doa dari

beberapa pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik, oleh karena itu

penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3. Ibu Dra. Tuti Hardjajani, M.Si selaku dosen pembimbing I, yang telah

memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi

kelancaran skripsi penulis.

4. Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku pembimbing II, yang dengan

sabar memberikan bimbingan, arahan, masukan, serta memberi semangat,

dan motivasi untuk terus berusaha hingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik.

5. Ibu Dra. Macmuroh, M.S., selaku dosen pembimbing akademik dan penguji

I, yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus

berjuang menyelesaikan skripsi dan memberi masukan yang sangat

bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak H. Arista Adi Nugroho, S.Psi, M.M selaku penguji II, dan memberi

(8)

commit to user

viii

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu dan

pengalaman kepada penulis.

8. Seluruh staf tata usaha dan perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran

studi penulis.

9. Kepala Sekolah beserta seluruh pengajar dan staf tata usaha SD Negeri 1

Prambanan Klaten yang bersedia memberikan ijin serta membantu penulis

dalam melakukan penelitian.

10. Adik-adik siswa kelas V SD Negeri 1 Prambanan Klaten yang telah

membantu dalam proses pengumpulan data.

11. Keluarga tercinta yang telah memberikan nasihat, pengertian, kesabaran,

semangat, motivasi, arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu dipanjatkan

demi kesuksesan penulis.

12. Orang-orang terdekat dan sahabat-sahabatku yang telah menemaniku,

memberi semangat, dukungan, bantuan, serta atas doanya, semoga kita tetap

dapat saling membantu dalam kebaikan.

13. Teman-teman Psikologi terutama angkatan 2004, terima kasih atas bantuan,

semangat, dan dukungannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan karena adanya keterbatasan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada kita semua.

Surakarta, April 2011

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

A. Latar Belakang Masalah ...

B. Rumusan Masalah ...

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

BAB II. LANDASAN TEORI ...

A. Konsep Diri ...

1. Pengertian Konsep Diri ...

2. Perkembangan Konsep Diri ...

(10)

commit to user

x

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ...

5. Aspek-Aspek Konsep Diri ...

B. Bermain Peran Prososial ...

1. Pengertian Bermain Peran ……….

2. Tahap-Tahap Bermain Peran ……….

3. Macam-macam Bermain Peran ……….

4. Pengertian Perilaku Prososial ……..………...

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial ...

6. Pengertian Bermain Peran Prososial ………….…….………

7. Aspek-Aspek Bermain Peran Prososial ...

C. Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan

Konsep Diri pada Anak ...

D. Kerangka Pemikiran ... ...

E. Hipotesis ...

BAB III. METODE PENELITIAN ...

A. Identifikasi Variabel Penelitian ...

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...

C. Subjek Penelitian ...

D. Rancangan Penelitian ...

E. Alat Pengumpul Data ...

F. Validitas dan Reliabilitas Data ...

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

xi

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

A. Persiapan Penelitian ...

1. Orientasi Kancah Penelitian ...

2. Persiapan Alat Ukur ...

3. Pelaksanaan Uji-coba ...

4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ...

5. Penomoran Baru Alat Ukur Penelitian ...

B. Pelaksanaan Eksperimen ...

1. Penentuan Subjek Penelitian ...

2. Pelaksanaan Penelitian ...

C. Hasil Analisis Data ...

1. Hasil Pretest dan Posttest ...

2. Hasil Statistik Deskriptif ...

(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue-print Skala Sikap Konsep Diri pada Anak ...

Tabel 2. Pembagian Peran dan Karakter Peran ...

Tabel 3. Pedoman Pengamatan ...

Tabel 4. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Konsep Diri pada

Anak Setelah Uji Coba ...

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Konsep Diri pada Anak Setelah Uji Coba

Tabel 6. Data Hasil Pengukuran ...

Tabel 7. Kriteria Kategori Skala Sikap Konsep Diri pada Anak dan

Distribusi Skor Subjek ...

Tabel 8. Hasil Pengamatan ...

Tabel 9. Hasil Laporan Subjek dalam Pemeranan ………….……….…….

Tabel 10. Hasil Pretest dan Posttest ...

Tabel 11. Tabel Deskriptif Statistik ...

Tabel 12. Data Hipotetik dan Data Empirik ...

Tabel 13. Kategorisasi Subjek Penelitian ...

Tabel 14. Uji Normalitas berdasarkan rasio Skewness dan Kurtosis ...

Tabel 15. Uji Normalitas menggunakan rumus Shapiro WiIlk ...

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Modul Bermain Peran Prososial ...

Lampiran B. Alat Ukur Uji Coba ...

Lampiran C. Tabulasi Hasil Uji Coba ...

Lampiran D. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ...

Lampiran E. Alat Ukur Penelitian ...

Lampiran F. Tabulasi Data Hasil Penelitian ...

Lampiran G. Hasil Uji Normalitas, Linieritas dan Homogenitas ...

Lampiran H. Hasil Uji Hipotesis ...………....………...

Lampiran I. Surat Penelitian ...………...

Lampiran J. Hasil Dokumentasi ………...

95

103

108

113

117

122

129

137

139

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ……….. 40

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

xv ABSTRAK

Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep Diri Anak Pada Siswa SD Negeri 1 Prambanan

Diah Tri Novita

Universitas Negeri Sebelas Maret

Konsep diri anak akan berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri yang positif sangat penting dalam perkembangan individu. Konsep diri positif membantu anak menjadi lebih percaya diri dan mandiri. Respon positif dari orang lain dan penerimaan sosial dapat meningkatkan konsep diri positif. Hal tersebut dapat diperoleh dengan melakukan tindakan prososial dalam interkasi sosial. Perilaku prososial dapat ditanamkan pada anak dengan cara bermain peran prososial agar anak juga dapat merasakan langsung respon positif dan penerimaan sosial yang dapat meningkatkan konsep diri anak.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bermain peran prososial terhadap peningkatan konsep diri anak pada siswa SD Negeri 1 Prambanan.

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan randomize

pretest-posttest one group design. Skor konsep diri anak akan dibandingkan sebelum dan

sesudah perlakuan berupa bermain peran prososial. Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive non-random sampling. Subjek penelitian merupakan siswa berusia 10-11 tahun dan memiliki skor konsep diri sedang hingga sangat rendah. Pemilihan subjek tersebut berdasarkan kriteria yang sesuai dalam penelitian. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD berjumlah 16 anak.

Alat pengumpul data menggunakan modifikasi skala konsep diri anak PHCS (Piers-Harris Children Self-Concept scale) dengan menambahkan aspek konsep diri menurut Berzonsky. Skala sikap konsep diri yang digunakan terdiri dari 52 aitem pernyataan yang harus diisi sesuai dengan kondisi subjek. Analisis data menggunakan teknik analisis Paired Sample T-Test dengan bantuan program statistik SPSS 16.

Hasil perhitungan Paired Sample T- Test menunjukkan, T hitung = 2,446 > T tabel = 2,15 dan p < 0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan skor konsep diri yang signifikan sesudah pemberian perlakuan berupa bermain peran prososial dibandingkan sebelum pemberian perlakuan. Hasil analisis deskrptif juga menunjukkan peningkatan mean sesudah perlakuan sebesar 29,63 dibanding sebelum perlakuan yang menunjukkan sebesar 25,19 memberikan gambaran bahwa pemberian perlakuan berupa bermain peran prososial tersebut memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsep diri pada anak. Peningkatan skor konsep diri masing-masing subjek dan rata-rata seluruh subjek menunjukkan bahwa bermain peran prososial mampu meningkatkan konsep diri pada anak.

(16)

commit to user

xvi

ABSTRACT

The Influence of Prosocial Role Play On Increasing Children’s Self Concept In SD Negeri 1 Prambanan Student

Diah Tri Novita Sebelas Maret University

Children’s self concept is formed by individual through interactions with environment. Positive children’s self-concept have significant influence for children development. It makes children more confidence and independent in their social life. Positive response from others and social acceptance can increase positive self concept. It can happen when they do some prosocial behavior in their interactions. Children can learn prosocial behavior through prosocial role play. Prosocial role play may make the children experience positive response and social acceptance so they can increase their self concept.

The main focus of this study is to examine the influence of prosocial role play to increasing children’s self concept on SD Negeri 1 Prambanan. This study used quasi experiment with randomize pretest-posttest one group design. Score of child self concept before roleplay is compared with score after roleplay. Subject selection used purposive non-random sampling technique. Subject was 10-11 years old students and had medium until very low score of children’s self concept scale. That subject selection based on criteria that required for this study. Sixteen children from Five grade elementary school is selected as subject.

The modification of children self concept scale was used to measure children self concept. The children’s self concept scale was modified from PHCS (Piers-Harris Children’s Self-Concept scale) and added some aspect of self concept from Berzonsky. Self concept scale that was used in this study consisted from 52 item statements that must did properly with subject condition. Data analysis of this study uses Paired Sample T-Test with SPSS 16 statistic programme.

The result of analysis with Paired Sample T- Test revealed significant differences between pretest and posttest of children’s self concept through prosocial role play, T (2,15) = 2,446 and p < 0,05. From descriptive analysis revealed that mean increase after the prosocial role play (M = 29,63) than before the prosocial role play (M = 25,19) also gives description that prosocial role play has significant influence to the increase of children’s self concept. Increasing of children’s self concept each subject and mean for all subject revealed that prosocial role play could increases children’s self concept.

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan penting

bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya manusia tidak

bisa lepas dari bidang pendidikan yang secara umum diidentikkan dengan

pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah.

Pendidikan seolah menjadi syarat mutlak sebuah kesuksesan. Hampir

setiap orang menggantungkan harapan kepada pendidikan untuk melahirkan

generasi yang menguasai beragam ilmu dan pengetahuan. Generasi yang mampu

memanfaatkan potensi diri dan setiap peluang hingga menjadi manusia yang

sukses dalam setiap hal. Namun pada kenyataannya, terkadang seseorang berhasil

mencapai jenjang pendidikan yang tinggi tetapi kurang berhasil dalam kehidupan,

atau sebaliknya. Tidak jarang seseorang suskes dalam kehidupan, tetapi

pencapaian akademiknya biasa saja. Fenomena ketidakkonsistenan antara

pendidikan dan keberhasilan kehidupan tersebut memunculkan pertanyaan

bagiamana sistem pendidikan yang sangat kompetitif ternyata dapat melahirkan

generasi yang tangguh secara keilmuan tetapi rapuh atau gagal dalam kehidupan.

Menurut Aikesari (www.aikesari.multiply.com), salah satu kemungkinan

penyebabnya adalah ketika anak didik dihadapkan kepada beban pendidikan yang

terlalu banyak dan ekspetasi yang terlalu tinggi dikarenakan lingkungan yang

(18)

commit to user

yang cukup untuk mengembangkan konsep diri anak didik secara matang dan

positif. Menurut Meggert (dalam Kenny et. al., 2009), konsep diri pada anak

berhubungan dengan cara pandang tentang diri anak tersebut yang berkaitan

dengan atribut dan kemampuannya.

Di setiap jenjang pendidikan, anak sudah datang dengan berbagai konsep

diri, baik yang positif maupun yang negatif. Sekolah memang memiliki resiko

untuk menerima anak-anak dengan berbagai konsep diri tersebut. Di sekolah

sering dijumpai istilah anak bermasalah, berperilaku sulit, nakal dan lain

sebagainya. Sekolah justru yang sering memunculkan label-label tersebut tetapi

tidak berusaha memahami kondisi-kondisi yang sebenarnya anak alami. Sebagai

contoh, jika ada anak yang sering tidak mengerjakan PR, anak itu akan dimarahi

habis-habisan. Hal baik jika guru dapat menahan diri dan tidak lepas kendali

dalam pemilihan kata-katanya. Namun, jika kata-kata yang diucapkan tidak pantas

misal dasar pemalas, dasar anak bodoh dan diucapkan berkali-kali dalam jangka

waktu tertentu, problem kemalasan mengerjakan PR mungkin malah akan

semakin parah.

Banyak guru mengeluh bahwa anak yang sudah mendapatkan penanganan

kedisiplinan tidak semakin membaik tapi justru semakin memburuk. Bukan

menurut, tetapi malah semakin melawan. Hal ini dapat terjadi karena penanganan

kedisiplinan yang diterapkan guru tersebut justru memperkuat konsep diri anak

yang sudah buruk. Pengalaman hidup yang dialami anak-anak di dalam kelas

bersama sang guru akan sangat bermakna bagi mereka. Karena itu sangat fatal

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

akademis. Guru juga harus bepikir bahwa guru memiliki peran yang sangat

penting dalam membangun konsep diri anak.

Prestasi akademis berhubungan dengan konsep diri anak, sehingga upaya

untuk mengajar anak akan sulit dilakukan tanpa pembinaan konsep diri. Anak

yang memiiki konsep diri yang baik biasanya belajar dengan mudah karena

senang menerima tantangan untuk melakukan sesuatu yang baru dan memperoleh

keterampilan yang baru. Sikap mental “aku bisa”, membuat pembelajaran menjadi

lebih mudah. Sebagai orang tua atau guru, kita harus punya komitmen untuk

membantu anak merasa nyaman dengan dirinya. Jika anak merasa bahwa anda

percaya akan kemampuannya untuk menjadi sukses, dan ia juga percaya, tidak

akan terbayangkan apa yang bisa dicapai olehnya.

Anak biasanya juga membandingkan dirinya dengan orang-orang di

sekitarnya. Dari lingkungan keluarga, anak akan membandingkan dirinya dengan

orang tuanya atau saudaranya. Misal, anak merasa tidak sepintar ayahnya atau

anak merasa tidak pandai menggambar seperti kakaknya. Beberapa anak mungkin

belum menyadari bahwa kemampuan anak berbeda dengan kemampuan remaja

atau orang dewasa.

Di sekolah, anak sering dibandingkan dengan anak lain di kelasnya bukan

bagaimana dibandingkan dengan anak tersebut ditahun sebelumnya. Hal ini dapat

membuat anak merasa peningkatan yang terjadi pada dirinya tidak merubah

pandangan seseorang tentang dirinya. Orang lain akan selalu menganggap anak

tersebut tetap dibawah rata-rata anak lain di kelasnya. Dengan sistem sekolah

(20)

commit to user

mengetahui peningkatan anak setiap tahun. Guru yang tidak mengetahui

peningkatan anak setiap tahun sulit untuk membantu anak menghargai

peningkatan dan menggunakannya sebagai dasar pembentukan self esteem dan

motivasi.

Orang tua dan guru perlu mengetahui bagaimana seharusnya sikap mereka

agar dapat membantu anak meningkatkan penilaian positif terhadap dirinya

sendiri. Contoh kasus, seorang anak usia 9 tahun selalu menonton kartun di

televisi sebelum berangkat ke sekolah. Pada suatu hari karena asik menonton

televisi iaa terburu-buru berangkat ke sekolah. Saat mengecek tasnya ia baru ingat

bahwa ada pr yang belum dikerjakan. Tiba-tiba mukanya merah dan melemparkan

tasnya ke lantai. Biasanya pada kondisi tersebut orang tua kan menenangkan anak

dan menasehati agar lain kali dia tidak menonton televisi saat berangkat ke

sekolah namun menggunakan waktunya untuk mengecek kembali tas sekolah dan

pelajarannya. Dan respon yang sering kita dapat dari anak jika orang tua

melakukan hal seperti itu adalah ia akan marah atau malah berteriak pada orang

tua. Tujuan orang tua sebenarnya ingin anak menyadari kesalahannya namun cara

tersebut secara tidak langsung malah membuat anak semakin merasa dirinya

bersalah dan menimbulkan penilaian yang buruk pada dirinya sendiri. Cara yang

paling tepat mungkin adalah dengan membuat aturan baru untuk mengatasi

masalah tersebut bukan menyalahkan anak. Mungkin dengan orang tua mengecek

perlengkapan sekolah anak sebelum berangkat sekolah atau membantu anak

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Menurut Barnes (2000), kata-kata yang bersifat sebagai dorongan dapat

berpengaruh lebih baik terhadap penilaian anak pada dirinya sendiri. Kata-kata

yang bersifat dorongan akan membuat anak percaya pada apa yang mereka

mampu dan miliki. Sebagai contoh, kalimat “kamu bisa melakukannya” akan

lebih baik daripada kalimat “kamu kadang ceroboh,jadi hati-hati”, atau “kamu

melakukannya dengan bagus” akan lebih baik dari “kamu bisa melakukan lebih

baik”.

Seorang anak sering mendengar cerita mengenai diri mereka dari

keluarganya. Cerita tersebut mungkin mengenai masalah mereka di sekolah,

kegagalan, kemampuan mereka. Dari cerita tersebut dapat menggambarkan

apakah anak itu pintar atau bodoh, rajin atau malas, cantik atau biasa saja, populer

atau tidak. Tanpa disadari cerita ini akan mempengaruhi penilaian orang lain dan

diri sendiri. Atau kadang orang tua mrasa perlu mengatakan pada anaknya tentang

permassalahan yang dibicarakan guru pada orang tua pada anaknya. Padahal ini

dapat semakin meyakinkan anak tentang penilaian yang kurang baik tentang

dirinya.

Menurut Rogers (1977), banyak bukti menunjukkan bahwa perilaku anak

dalam berbagai konteks yang spesifik lebih banyak ditentukan oleh bagaimana

cara mereka memandang diri mereka sendiri. Konsep diri memiliki peran yang

sangat penting dalam perkembangan anak. Konsep diri akan menjadi dasar

pembentukan karakter individu. Mengerti tentang konsep diri anak dapat

membantu orang tua atau guru dalam mengambil tindakan untuk memberikan

(22)

commit to user

untuk meningkatkan perkembangan kemampuan anak dan mencegah munculnya

perilaku menyimpang dalam tahap-tahap perkembangan (Spencer, 1991 dalam

Kenny et. al., 2009).

Konsep diri yang sehat pada anak dapat menjadi dasar yang sangat baik

bagi perkembangan anak, demikian juga sebaliknya konsep diri yang buruk dapat

menghambat perkembangan anak. Konsep diri pada anak membentuk inti yang

tetap yang menyatukan perilaku-perilaku dan mencegah kekacauan sifat-sifat.

Konsep diri yang kuat membantu anak percaya diri dan mandiri. Dalam

menghadapi permasalahan hidup yang kompleks, mereka merasa lebih kuat dan

memandang dunia lebih bersahabat dan tidak mengancam. Menurut Rogers

(1977), konsep diri yang sehat membantu anak memiliki kemampuan untuk

menghadapi lingkungannya. Konsep diri akan terus berkembang walaupun

tahap-tahap perkembangan telah tercapai. Konsep diri anak dapat berkembang kearah

negatif maupun positif (Calhoun & Acocella, 1990).

Menurut Rini (www.e-psikologi.com), individu dikatakan mempunyai

konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak

berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak

menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Menurut Tim

Familia (2006) apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang

dirinya, maka akan muncul evaluasi negatif pula tentang dirinya. Keyakinan

seseorang bahwa ia pasti gagal mungkin disebabkan ia memandang dirinya tidak

kompeten atau bahkan bodoh. Pandangan ini selanjutnya dapat mempengaruhi

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

keyakinannya. Jika berhasil, orang yang memiliki konsep diri negatif akan

mengatakan bahwa keberhasilannya karena suatu kebetulan atau nasib baik.

Sebaliknya apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka

akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri. Penghargaan

terhadap diri yang merupakan evaluasi tehadap diri sendiri akan menentukan

sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya.

Jadi, apabila ia memiliki konsep diri yang positif, segala perilakunya akan selalu

tertuju pada keberhasilan. Anak yang memiliki konsep diri positif, jika

menghadapi kegagalan akan bersikap lebih positif. Oleh karena itu, anak yang

memiliki konsep diri positif biasanya juga lebih optimis dan realistis.

Menurut beberapa ahli, konsep diri dikembangkan melalui interaksinya

dengan orang lain maupun peniruan. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi

dan selalu dihargai, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif.

Sementara itu pengalaman sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan

membentuk konsep diri yang negatif. Demikian halnya perilaku orang-orang yang

dianggap penting bagi anak maupun tokoh-tokoh idola anak akan mempengaruhi

konsep dirinya. Dengan bertambahnya usia seorang anak, maka konsep diri akan

terus berkembang melalui interaksinya dengan orang lain selain orang tuanya

terutama melalui perbandingan sosial dengan teman sebayanya (Tim Familia,

2006). Anak yang mengalami umpan balik negatif dari anak yang lain dapat

mempengaruhi konsep dirinya (Kenny et. al., 2009).

Agar anak lebih mudah diterima dalam lingkungannya, anak melakukan

(24)

commit to user

masyarakat biasanya melakukan hal-hal yang dapat diterima dalam budaya

masyarakat tersebut (Twenge, et. al., 2007). Sebagai contoh, anak yang masuk

dalam lingkungan yang baru akan lebih mudah diterima dalam lingkungan

tersebut jika anak tersebut baik terhadap anak lain, suka menolong, tidak suka

berbohong, dan lain sebagainya. Perilaku-perilaku yang lebih berorientasi pada

orang lain disebut dengan perilaku prososial.

Menurut Twenge, et. al., (2007) perilaku prososial merupakan perilaku

yang ditunjukkan untuk lebih menguntungkan orang lain dibanding

menguntungkan diri sendiri dan biasanya memiliki resiko untuk diri sendiri.

Sebagian besar kebudayaan mendorong dan bahkan mensyaratkan perilaku

prososial karena hal ini vital dalam sistem interaksi sosial. Empati dan perilaku

prososial yang rendah dapat mengarahkan pada penolakan sosial. Menurut

Eisenberg & Fabes (dalam Retnaningsih, 2005), perilaku prososial dapat

berfungsi untuk meningkatkan kualitas sosial dan hubungan antar individu. Brian

& Test (dalam Hakam, 2008) memandang perilaku prososial sebagai kegiatan

individu untuk berbagi atau berkorban yang diperkirakan akan mendapat

reinforcement positif karena tidak mendapatkan hasil sosial atau materi yang

nyata. Perilaku prososial juga menimbulkan perasaan positif seperti berharga

karena dirinya berguna bagi orang lain, perasaan kompeten serta dapat terhindar

dari perasaan bersalah apabila tidak menolong (Baurn, Fisher & Singer, 1985

dalam Retnaningsih, 2005).

Perilaku prososial dapat dipengaruhi oleh faktor situasional dan faktor

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

yang harus dikeluarkan, pengalaman dan suasana hati, kejelasan stimulus, adanya

norma-norma sosial, serta hubungan antara calon penolong dengan si korban.

Faktor personal yang mendorong perilaku prososial antara lain empati yang

tinggi, harga diri yang tinggi, kebutuhan akan persetujuan orang lain yang rendah,

penghindaran tanggung jawab yang rendah, lokus kendali internal serta adanya

keyakinan dalam diri individu bahwa dunia adalah adil dan dapat diprediksi

bahwa perilaku yang baik akan memperoleh ganjaran sedang perilaku jahat akan

memperoleh hukuman (Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Menurut Yosef (www.kabarindonesia.com) terdapat satu hal yang perlu

diketahui oleh orang tua dan pendidik seputar menumbuhkan perilaku prososial

anak yaitu membawa anak pada pengalaman nyata (real-life experiences) melalui

bemain peran. Menurut Zuhaerini (dalam Sadali, 2000) bermain peran digunakan

apabila materi yang akan diajarkan dimaksudkan untuk :

a. Menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut orang banyak dan

berdasarkan pertimbangan lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan,

karena akan lebih jelas dan dihayati oleh anak. Anak akan mengalami kesulitan

jika membayangkan orang yang terlalu banyak jika hanya diceritakan.

b. Melatih anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial

psikologis. Permasalahan yang diangkat dalam bermain peran biasanya

merupakan permasalahan sosial yang juga melibatkan kondisi psikologis

individu yang terlibat dalam masalah tersebut.

c. Melatih anak agar mereka dapat berinteraksi dan memberi kemungkinan bagi

(26)

commit to user

banyak orang sehingga dengan bermain peran anak-anak dapat melatih interkasi

mereka dengan orang lain.

Roberta M. Berns (dalam Yosef, 2008) mengungkapkan bahwa melalui

kesempatan bermain peran prososial seolah anak ditempatkan pada pengalaman

yang nyata akan meningkatkan perilaku prososial anak. Memberi kesempatan

pada anak untuk bermain peran sebagai seseorang yang membutuhkan bantuan

dapat membuat seorang anak merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang yang

butuh pertolongan. Dan saat memberi kesempatan pada anak untuk bermain peran

sebagai penolong, anak belajar untuk bagaimana caranya menolong.

Pengajar atau orang tua dapat menerapkan bermain peran seperti halnya

program bantuan kelompok dan mediasi untuk meningkatkan perasaan konsep diri

anak. Program-program tersebut dapat meningkatkan perasaan siswa tentang diri

mereka (Edmondson & White, 1998 dalam Kenny et. al., 2009). Dengan

menggunakan metode bermain peran perilaku prososial khususnya diharapkan

dapat meningkatkan konsep diri anak. Metode bermain peran yang lebih efektif

mengajarkan hal baru pada seorang anak menjadi media agar anak menilai dirinya

sendiri secara positif.

Berdasarkan latar belakang di atas, baik-buruknya perilaku anak dapat

ditentukan oleh konsep diri anak tersebut. Konsep diri anak dapat berkembang

kearah yang positif jika anak tersebut memperoleh reinforcement positif dan

penerimaan sosial dari lingkungan. Reinforcement positif dan penerimaan sosial

dapat diperoleh salah satunya dengan melakukan tindakan prososial dalam

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

mendidik perilaku prososial pada anak. Mendidik perilaku prososial pada anak

dapat dilakukan dengan cara bermain peran. Bermain peran dapat membawa anak

dalam pengalaman nyata. Maka dari itu, penulis mengambil judul penelitian:

”Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep Diri Pada

Anak”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah

penelitian sebagai berikut: adakah pengaruh bermain peran prososial terhadap

peningkatan konsep diri anak.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan secara positif bermain

peran prososial terhadap konsep diri pada anak.

2. Manfaat Penelitian:

Apabila terbukti, penelitian ini diharapkan bermanfaat secara :

a. Teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

mengenai perilaku prososial dan konsep diri dalam pengembangan ilmu

psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi perkembangan ataupun

(28)

commit to user b. Praktis:

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

1. Bagi anak, menjadi salah satu sarana belajar dalam memahami perilaku

prososial dan peningkatan konsep diri sehingga dapat mengembangkan

konsep diri positif .

2. Bagi orang tua, pendidik dan masyarakat dapat memberikan wawasan

tentang perilaku prososial dan konsep diri pada anak, sehingga dapat

membantu mengarahkan dan meningkatkan perilaku prososial serta

konsep diri positif anak.

3. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai acuan untuk peneliti

selanjutnya, khususnya mengenai pengaruh bermain peran prososial

terhadap konsep diri pada anak, dan dapat dijadikan sebagai bahan

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Burns (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan individu

terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan mencakup pendapatnya tentang diri

sendiri, pendapatnya tentang gambaran dirinya dimata orang lain dan

pendapatnya tentang hal-hal yang dapat dicapainya. Mead (dalam Burns, 1993)

mengemukakan bahwa konsep diri merupakan suatu objek yang timbul di

dalam interaksi sosial sebagai suatu hal perkembangan dari perhatian individu

mengenai bagaimana orang-orang lain (significant others) bereaksi terhadap

dirinya.

Hurlock (1997) berpendapat bahwa konsep diri adalah gambaran yang

dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri merupakan gabungan dari

keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri sehingga apa yang

diyakini individu tentang dirinya akan mempengaruhi perilakunya. Jika

individu meyakini bahwa dirinya tidak mampu maka perilakunya akan

menunjukkan ketidakmampuannnya tersebut. Hal yang hampir sama juga

disampaikan Calhoun & Acocella (1990) bahwa konsep diri adalah gambaran

mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri,

(30)

commit to user

Hamalik (dalam Suyanto & Abdurrahim, 2006) menyatakan bahwa

konsep diri adalah konsepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsepsi diri

tersebut merupakan perangkat karakteristik pada diri yang dapat diamati fisik,

misalnya tinggi dan berat badan; dari segi segi sifat-sifat kepribadian, misalnya

pendiam, senang ngobrol, terbuka, pemalu dan sebagainya. Pernyataan,

ungkapan, pendapat seseorang individu terhadap dirinya sendiri merupakan

deskripsi yang menggambarkan keadaan diri pribadi.

Menurut Purwanti, dkk. (2000) konsep diri adalah sebuah struktur

mental yang merupakan sebuah totalitas dari persepsi realistik, pengharapan

dan penilaian seseorang tehadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika,

keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut

terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas

dalam hubungan interkasi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok

lingkungan asuh selama hidupnya. Mowen (dalam Sjabadyni & Alfarini, 2001)

menyatakan bahwa konsep diri merupakan cerminan totalitas pemikiran dan

perasaan individu yang merujuk pada dirinya sendiri sebagai sebuah objek.

Menurut Fitriasih & Pudjono (2003) konsep diri merupakan semua

perasaan dan pemikiran seseorang tentang dirinya sendiri, meliputi

kemampuan, karakater diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri,

serta gambaran pribadi remaja terhadap dirinya meliputi penilaian diri dan

penilaian sosial. Konsep diri juga merupakan bagian penting dari kepribadian

seseorang, yaitu sebagai penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Secara spesifik Rogers (1977) menyatakan bahwa konsep diri pada

anak meliputi semua kesan dan keyakinan pada diri sendiri. Konsep diri pada

anak membentuk inti yang tetap yang menyatukan perilaku-perilaku dan

mencegah kekacauan sifat-sifat. Konsep diri akan terus berkembang walaupun

tahap-tahap perkembangan telah tercapai. Definisi lain menurut Santrock

(1999), konsep diri merupakan hasil evaluasi spesifik tentang diri sendiri.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa konsep diri

merupakan kumpulan persepsi individu mengenai diri mereka sendiri yang

dapat berpengaruh terhadap perilaku individu.

2. Perkembangan Konsep Diri

Konsep diri yang dimilik manusia tidak terbentuk secara instan

melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal

dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan

individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Ketika individu lahir, individu

tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan-harapan

yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri

(Calhoun & Acocella, 1990). Namun seiring dengan berjalannya waktu individu

mulai bisa membedakan antara dirinya, orang lain dan benda-benda sekitarnya

dan pada akhirnya individu ulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan

serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri (Calhoun & Acocella,

1990).

Menurut Willey (dalam Calhoun & Acocella, 1990), dalam

(32)

commit to user

adalah ineraksi individu dengan orang lain. Baldwin dan Holmes (dalam

Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil

belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain.

Menurut Fabes & Martin (1999), Pada usia 2 tahun, sebagian besar

anak-anak menganali dirinya sebagai individu, mereka dapat menyebutkan

nama mereka sendiri, mengenali diri mereka sendiri di cermin, membedakan

dan menyebutkan diri mereka sendiri pada sebuah foto yang di dalamnya

terdapat anak-anak lain yang usia dan jenis kelamin yang sama.

Perkembangan penting dalam pembentukan konsep diri terjadi selama

masa kanak-kanak awal bersamaan dengan perkembangan kesadaran anak-anak

pada karakteristik yang mereka miliki. Anak-anak usia 3 tahun mengambarkan

dirinya secara global, berdasarkan sifat-sifat eksternal seperti saya cepat

dibanding dengan ciri-ciri psikologis seperti saya lembut. Kecenderungan

global ini membentuk anak-anak untuk berfikir bahwa jika mereka baik dalam

hal tertentu, ia juga baik dalam hal lain. Artinya definisi diri digeneralisasikan

dalam konteks-konteks lain. Pada anak-anak usia 4 tahun, penilaian anak-anak

lebih spesifik dan terdeferensiasi. Mereka menganggap bahwa jika mereka baik

dalam suatu keahlian tapi idak begitu baik pada keahlian lain. Atau mereka

menganggap bahwa mereka dapat melakukan sesuatu dengan baik pada suatu

situasi tapi tidak pada situasi lain.

Anak-anak sering mendeskripsikan diri mereka pada semua atau tidak

pada satupun kebiasaan, kurang bisa mengakui bahwa sifat-sifat dapat terjadi

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

atau buruk, tapi tidak diantara baik atau buruk. Anak-anak percaya bahwa

mereka tidak bisa merasakan senang dan sedih secara bersamaan. Antara usia

6-8 tahun, anak-anak mulai menganggap bahwa dua sifat atau perasaan dapat

terjadi secara bersama-sama, namun hanya secara berurutan, jika pada mulanya

menagalami suatu hal, diikuti hal yang lain.

Pada usia 8 tahun, anak-anak menganggap bahwa dua sifat yang

berlawanan pada diri mereka dapat terjadi secara bersamaan. Pada usia ini

anak-anak juga dapat beranggapan bahwa mereka merasa pada satu hal dan merasa

berlawanan pada hal yang lain. Contoh: saya pandai dalam matematika, tapi

bodoh dalam bahasa.

Selama masa kkanak awal, kehidupan sosial dan emosional

anak-anak berkembang menjadi lebih kompleks mencakup sekumpulan orang,

situasi-situasi dan lingkungan yang lebih luas. Kumpulan situasi dan partner

interaktif yang beragam ini menyediakan banyak kesempatan untuk

mempelajari interaksi sosial , tentang emosi mereka sendiri dan orang lain.

Konsep diri merupakan keyakinan individu tentang sifat-sifat dan kemampuan

yang dimilikinya (Coopersmith dalam Fabes & Martin, 1999). Hal yang

mendasari konsep atas diri adalah pengakuan bahwa setiap individu berbeda

satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa individu

tidak lahir dengan konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring dengan

pertumbuhan manusia melalui proses belajar. Sumber informasi dalam

(34)

commit to user

orang tua, kawan sebaya serta masyarakat. Proses belajar yang dilakukan

individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh dengan melihat

reaksi-reaksi orang lain terhadap perbuatan yang telah dilakukan, melakukan

perbandingan dirinya dengan orang lain, memenuhi harapan-harapan orang lain

atas peran yang dimainkannya serta melakukan identifikasi terhadap orang yang

dikaguminya.

3. Jenis-jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya

konsep diri terbagi dua, yaitu :

a. Konsep diri positif

Konsep diri positif lebih diwujudkan sebagai penerimaan diri bukan

sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif

bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif

adalah individu yang tahu betul tentang dirinya sendiri, dapat memahami

dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang

dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat

menerima keberadaan orang lain. Individu yang memilki konsep diri

positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu

tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu

menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup

adalah suatu proses penemuan.

Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individuu

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta

mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

b. Konsep diri negatif

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua

tipe, yaitu :

1. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,

tidak memiliki kestabilan perasaan dan keutuhan diri. Individu tersebut

benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau

apa yang dapat dihargai dalam kehidupannya.

2. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini

bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras,

sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya

penyimpangan dari seperangkat hukum dalam pikirannya yang

dipandang sebagi cara hidup yang paling tepat.

Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri negatif terdiri dari dua

tipe, tipe pertama yaitu individu yang tidak mengerti siapa dirinya dan

tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya, sedangkan tipe kedua

adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri

diantarnya usia, jenis kelamin, kondisi fisik dan penghayatan terhadap kondisi

tersebut, perlakuan & sikap orang lain di sekitarnya, pengalaman bermakna

(36)

figur-commit to user

figur yang bermakna dalam kehidupannya (Burns & Fitts dalam Zebua &

Nurdjyadi, 2001).

Menurut Stuart & Sudeen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) ada

beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-

faktor tersebut terdiri dari :

a. Teori perkembangan menyatakan bahwa konsep diri berkembang secara

bertahap sejak lahir melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa,

pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan

hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri

sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang

nyata.

b. Significant Other atau orang yang terpenting atau yang terdekat. Konsep diri

dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain. Belajar

mengenal diri sendiri dengan bercermin pada orang lain yaitu dengan

mengintrepetasi diri dari pandangan orang lain terhadap diri sendiri.

c. Self Perception (persepsi diri sendiri), yaitu persepsi dan penilaian individu

terhadap diri sendiri serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan

situasi tertentu.

Rogers (1977) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep

diri adalah :

a. Orang lain

Konsep diri anak pada mulanya berkembang berawal dari kelompok

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Mereka memperoleh umpan balik dari orang-orang terdekat yang

mengekspresikan penerimaan dan penolakan mereka yang selalu

bersesuaian dengan rasa penerimaan atau penolakan diri mereka. Kondisi

keluarga merupakan faktor terpenting karena dalam keluarga anak pertama

kali mendiferensiasikan dirinya sendiri.

b. Usia

Pada masa anak, individu merasa kurang penting dibanding orang dewasa.

Anak hidup dalam dunia yang didesain dan dijalankan orang yang lebih

tua. Pada pertengahan masa kanak-kanak, konsep diri mungkin

mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan,

kegagalan di sekolah dan perlakuan-perlakuan yang kurang bijaksana

dalam interaksi sosialnya.

c. Jenis kelamin.

Setiap kepribadian terdapat percampuran antara maskuliniti dan feminiti,

hanya saja proporsinya akan lebih besar sesuai dengan jenis kelaminnya.

Keyakinan-keyakinan dari masyarakat bahwa anak laki-laki lebih kuat,

lebih pintar, bekerja lebih baik sedangkan anak perempuan merupakan

pribadi yang hangat, bersahabat dan tergantung mempengaruhi konsep diri

pada anak. Anak laki-laki memiliki konsep diri yang lebih kuat dibanding

anak perempuan.

d. Ras

Ras akan mempengaruhi citra diri seseorang. Berdasarkan citra diri

(38)

commit to user

dengan budaya, maka dari itu budaya di lingkugan anak tinggal

mempengaruhi cara pandang mereka.

Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi konsep diri antara lain usia, jenis kelamin, kondisi fisik

serta penghayatan terhadap kondisi tersebut (self perception), perlakuan dan

sikap orang lain di sekitarnya (significant other), pengalaman bermakna yang

diperoleh dalam berhubungan dengan orang lain dan pengaruh dari figur-figur

yang bermakna dalam kehidupannya.

5. Aspek-aspek Konsep Diri

Menurut Berzonsky (dalam Fitriasih & Pudjono, 2003) bahwa aspek

dari konsep diri antara lain:

a. Aspek fisik, yaitu bagaimana penilaian individu terhadap segala sesuatu

kasat mata yang dimilikinya seperti tubuh, uang, barang, dan sebagainya.

b. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu dan

sejauh mana penilaian individu terhadap kinerja perannya tersebut.

c. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah

dalam kehidupan individu dan memandang nilai etika moral dirinya seperti

kejujuran, tanggung jawab atas kegagalan yang dialaminya, religiusitas serta

kesesuaian perilakunya dengan norma-norma masyarakat yang ada.

d. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Hurlock (1997) menyampaikan ada tiga aspek konsep diri yaitu :

a. Fisik, merupakan penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

dimilikinya yaitu yang bersifat fisik dan penampilan individual secara

keseluruhan.

b. Psikologis, meliputi perasaan, pikiran dan sikap individu terhadap dirinya.

c. Sosial, yaitu hubungan diantara dua atau lebih individu yang mencakup

kebiasaan, karakteristik, ciri dan perasaan sosial yang diperoleh dalam satu

konteks sosial.

Menurut Calhoun & Acocella (1990), aspek konsep diri meliputi :

a. Pengetahuan atau apa yang individu ketahui tentang diri sendiri misalnya

usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain sebaginya.

b. Harapan atau pandangan tentang kemungkinan menjadi apa di masa

mendatang. Dengan kata lain, individu mempunyai pengharapan bagi

dirinya sendiri. Pengharapan ini merupakan diri ideal.

c. Penilaian dimana setiap individu berkedudukan sebagai penilai tentang

dirinya sendiri setiap hari, mengukur apakah dirinya bertentangan dengan

pengharapan bagi diri sendiri dan standar bagi diri sendiri.

Konsep diri biasanya terdiri dari komponen atau dimensi yang

bermacam-macam, yang paling umum adalah fisik, akademik, dan sosial

(Huitt, 2004 dalam Kenny et, al., 2009). Hal serupa juga dinyatakan oleh

Piers-Harris (1969 dalam Nolte, 1981) bahwa konsep diri anak meliputi aspek

fisik, sosial dan akademik. Konsep diri fisik mengacu pada atribut-atribut fisik

(40)

commit to user

diri akademik mengacu pada sebaik apa individu di sekolah. Sedangkan

konsep diri sosial mengacu pada sebaik apa individu berhubungan dengan

kelompok mereka dan orang lain.

Dari uraian di atas, secara umum aspek-aspek dari konsep diri

meliputi aspek fisik, aspek sosial, aspek moral, aspek psikis dan aspek

akademik.

B. Bermain Peran Prososial

1.Pengertian Bermain Peran

Bermain peran merupakan salah satu bentuk psikodrama (J.L. Moreno,

1953 dalam Pfeiffer & Ballew, 1988). Tujuan psikodrama ini adalah

memberikan klien pemahaman dalam hubungan mereka dengan orang lain

dengan cara melibatkan klien untuk memainkan peran-peran orang lain.

Menurut Pfeiffer & Ballew (1988), bermain peran merupakan interaksi spontan

manusia yang melibatkan perilaku yang realistik berdasarkan kondisi tiruan

atau imajinasi. Peran yang telah diperankan kemudian di diskusikan dan

tindakan-tindakan yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan lagi.

Bermain peran biasanya digunakan untuk beberapa tujuan antara lain :

a. Untuk mempraktekkan perilaku dalam suatu persiapan untuk suatu peran

baru atau mengantisipasi situasi masalah.

b. Untuk memeriksa suatu situasi masalah atau kejadian masa lalu untuk

(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

c. Untuk menciptakan pemahaman dalam motivasi dan peran orang lain atau

dirinya sendiri.

Nilai-nilai yang dapat diperoleh partisipan dalam bermain peran antara

lain :

a. Menuntut individu untuk berfikir atau menentukan keputusan.

b. Dapat mempraktekkan suatu perilaku dalam kepura-puraan dan mendapat

umpan balik dari orang lain.

c. Memperjelas fakta bahwa hubungan antar manusia yang baik membutuhkan

suatu ketrampilan.

d. Mengajarkan perubahan sikap secara efektif dengan menempatkan

seseorang dalam peran tertentu.

e. Melatih seseorang untuk lebih peduli dan sensitif terhadap perasaan orang

lain.

f. Mengembangkan apresiasi yang lebih dalam pada saat bermain peran serta

dalam menentukan perilaku dalam situasi sosial.

g. Mampu membuat individu menemukan kesalahan personalnya.

h. Melatih kontrol perasaan dan emosi.

Menurut Sadali (2000) ada empat asumsi bahwa bermain peran dapat

mengajarkan hal baru pada anak, yaitu:

a. Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan

pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now)

sebagai isi pengajaran. Model ini dipercaya adalah mungkin sekelompok

(42)

commit to user

nyata. Terhadap analogi-analogi tersebut yang diwujudkan dalam bermain

peran para siswa dapat menampilkan respon-respon emosional secara khas

dan sejati sambil belajar dari respon-respon orang lain.

b. Bermain peran memberikan kemungkinan kepada anak untuk

mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tidak dapat mereka kenali

tanpa bercermin kepada orang lain.

c. Model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf

kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok.

Pemecahan tidak selamanya datang dari orang tertentu melainkan dapat

saja muncul dari reaksi orang lain terhadap masalah yang tengah

diperankan.

d. Model mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi

berupa sikap-sikap, nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan

dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara

spontan dan analisisnya. Dengan cara itu individu dapat menguji sejauh

mana sikap-sikapnya relevan dengan sikap orang lain apakah sikap itu

perlu dipertahankan atau diubah.

Bermain peran disebut juga bermain simbolik, pura-pura, fantasi,

imajinasi, atau bermain drama. Bermain peran ini sangat penting untuk

perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak. Bermain peran dipandang

sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan

ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan

(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

kognisi. Bermain peran memungkinkan anak memproyeksikan dirinya ke masa

depan dan menciptakan kembali masa lalu (Amirudin, 2008).

Hurlock (1978) mengungkapakan bahwa bermain peran atau “permainan

pura-pura” adalah bentuk permainan aktif dimana anak melalui perilaku dan

bahasa yang jelas, berhubungan dengan materi atau situasi seolah-olah hal itu

mempunyai atribut yang lain daripada yang sebenarnya. Jenis bermain ini dapat

bersifat reproduktif atau produktif. Dalam permainan drama reproduktif, anak

berusaha memproduksi situasi yang telah diamatinya dalam kehidupan

sebenarnya atau media massa dalam permainannya. Sebaliknya, dalam

permainan drama produktif, anak menggunakan situasi, tindakan dan bicara

dari situasi kehidupan nyata ke dalam bentuk yang baru dan berbeda.

Permainan drama reproduktif biasanya mendahului permainan drama produktif.

Menurut Hadi (2008) pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini,

meliputi: kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu

kejadian. Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi

hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan

mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat

mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi

pemecahan masalah. Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran

yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan

hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang

(44)

commit to user

merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta

langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi.

Goodwin & Coates (1976) berpendapat bahwa bermain peran merupakan

metode yang didasarkan pada fakta bahwa individu belajar dengan melihat

orang lain, mencoba bertingkah laku seperti yang dilakukan orang lain dan

menerima umpan balik dari tindakan tersebut. Bermain peran merupakan salah

satu teknik untuk mengajarkan perilaku baru.

Menurut Erikson (dalam Amirudin, 2008) terdapat dua jenis bermain

peran, yaitu bermain peran mikro dan makro. Bermain peran mikro

dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan menggunakan alat bermain

berukuran kecil, misalnya orang-orangan kecil yang sedang berjual beli.

Sedangkan bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi tokoh

untuk memainkan peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran

sebagai ayah, ibu, dan anak dalam sebuah rumah tangga.

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain peran

merupakan interaksi spontan manusia yang melibatkan perilaku yang realistik

berdasarkan kondisi tiruan atau imajinasi yang telah dirancang dengan tujuan

dan melalui tahapan tertentu.

2.Tahap-tahap Bermain Peran

Menurut Shaftel (dalam Komara, 2008) tahapan bermain peran meliputi :

a. Menghangatkan suasana dan memotivasi pemeran.

Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta terhadap

(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan

mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.

Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta agar tertarik

pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan

paling menentukan keberhasilan.

b. Memilih peran.

Tahap ini peserta dan pengamat mendeskripsikan berbagai watak atau

karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa

yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta diberi kesempatan

secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta tidak menyambut

tawaran tersebut, pengamat dapat menunjuk salah seorang peserta yang

pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.

c. Menyusun tahap-tahap peran.

Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan

dimainkan.

d. Menyiapkan pengamat.

Sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita

yang akan dimainkan agar semua peserta turut mengalami dan menghayati

peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.

e. Tahap pemeranan.

Pada tahap ini para peserta mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan

peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti

(46)

commit to user

f. Diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I.

Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam

bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan

melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta akan segera terpancing untuk

diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya

peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran

yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang

sedang dihadapi.

g. Pemeranan ulang.

Pemeranan ulang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai

alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut.

Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya

pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran

lainnya.

h. Diskusi dan evaluasi tahap II.

Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya

dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan

masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas.

i. Membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.

Pada tahap ini para peserta saling mengemukakan pengalaman hidupnya

dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua

(47)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Menurut Sadali (2000), untuk dapat mengatur sejauh mana bermain

peran memberikan manfaat kepada pemeranan dan pengamatnya ditentukan

oleh tiga hal, yakni kualitas pemeranan, analisis yang dilakukan melalui diskusi

setelah pemeranan dan persepsi siswa terhadap peran yang akan ditampilkan

dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan.

Dari uraian diatas, maka tahap bermain peran terdiri dari tahap

pemanasan, pemilihan peran, persiapan, pemmeranan, diskusi dan evaluasi

tahap I, pemeranan ulang, diskusi dan evaluasi tahap II, serta berbagi

pengalaman dan pengambilan keputusan.

3.Macam-macam Desain Bermain Peran

Menurut Forrester (2000), bermain peran secara garis besar memiliki tiga

macam teknik, yaitu :

a. Teks naskah penuh, teknik bermain peran yang menggunakan teks naskah

dari awal hingga akhir. Partisipan hanya memainkan peran sesuai teks

naskah yang diberikan. Penyelesaian dari masalah yang menjadi fokus

dalam bermain peran telah ditentukan. Partispan tidak diberikan

kesempatan untuk menampilkan respon berdasarkan keinginan dan

pemahamannya.

b. Teks naskah sebagian, dimana bermain peran dilakukan dari awal hingga

pertengahan berdasarkan teks naskah, namun pada bagian penyelesaiannya

partisipan diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam penyelesaian

peran tersebut. Hal ini akan memberikan berbagai macam alternatif

(48)

commit to user

c. Improvisasi, pada teknik ini partisipan hanya diberikan gambaran

mengenai kasus yang terjadi dan diminta untuk melakukan bermain peran

sesuai dengan yang diinginkan. Kelebihan dari teknik ini data yang

diperoleh lebih lengkap, sedangkan kekurangannya adalah kesulitan dalam

kontrol agar tetap fokus pada masalah.

Menurut Pfeiffer & Ballew (1988) Rancangan bermain peran

dipengaruhi oleh pemilihan masalah dalam bermain peran, situasi dan peran

yang akan dimainkan serta struktur bermain peran. Rancangan bermain peran

berdasarkan keterlibatan aktif pesertanya meliputi bermain peran

multiple-group dan single-group. Dalam rancangan multiple-group beberapa kelompok

atau pasangan dibentuk. Kelompok-kelompok tersebut kemudian berpura-pura

dalam bermain peran yang sama (biasanya di ruangan yang sama). Sedangkan

dalam rancangan single-group hanya ada satu kelompok yang bermain peran

dihadapan peserta lain.

Rancangan bermain peran berdasarkan struktur situasionalnya meliputi

bermain peran langsung, penyelesaian naskah (skit completion), dramatisasi

kasus dan bermain peran berdasarkan suatu naskah. Rancangan langsung

dilakukan jika masalah yang akan diangkat dalam bermain peran diperoleh pada

saat berinteraksi langsung dengan individu. Rancangan penyelesaian naskah

dilakukan dengan menentukan masalah kemudian peserta melakukan bermain

peran secara spontan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Rancangan

dramatisasi kasus merupakan rancangan bermain peran berdasarkan

(49)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

penyelesaian dalam bermain peran tersebut telah dtentukan, tidak ada

spontanitas dari peserta.

Rancangan bermain peran berdasarkan pemeranan antara lain pemutaran

peran (role reversal), peran ganda (doubling ), pembagian peran (tag teams),

mirroring, kursi kosong (empty chair), monodrama (self-role play). Pemutaran

peran (role reversal), jika setiap peserta dapat memainkan peran secara

bergantian. Peran ganda merupakan pemeranan yang dilakukan dengan karakter

yang berbeda pada satu peran yang sama. Pada pembagian peran, setiap peserta

menjalankan peran masing-masing dan tidak ada pertukaran. Mirroring, jika

pemeranan dilakukan secara bergantian namun setelah pergantian, peserta

menirukan apa yang dilakukan peserta sebelumnya dalam peran tersebut.

Pemeranan dengan kursi kosong merupakan pemeranan dimana peserta

menganggap kursi kosong sebagai lawan bicaranya, sehingga peserta bebas

berekspresi. Sedangkan monodrama merupakan pemeranan yang hanya

dilakukan sendiri, satu orang melakukan berbagai peran yang berbeda-beda.

Rancangan bermain peran juga dapat berdasarkan pada penekanan

nonverbal dalam bermain peran. Ada rancangan bermain peran yang

memberikan penekanan hanya pada nonverbal saja atau verbal saja namun

adapula yang memberikan penekanan pada keduanya.

Suatu rancangan bermain peran merupakan kombinasi dari semua

rancangan tersebut. Setiap rancanagan bermain peran yang akan digunakan

didasarkan pada keterlibatan peserta, struktur situasional, pemeranan dan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ……………………………………………….. 40
figur yang bermakna dalam kehidupannya (Burns & Fitts dalam Zebua &
  Gambar 1.
Tabel 1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

P elaks anaan s is tem penga wa san yang digunakan untuk memas tika n bahwa nila i dan bia ya. pe ng ada an telah s es uai, denga n terus -menerus me la kuk an peng ura

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) terhadap penurunan tekanan darah pada pasien Hipertensi berbasis teori

Adapun maksud dan tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui proporsi campuran beton yang menggunakan split palu dengan campuran pasir mahakam ,

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor.. Nilai Ujian

Pertumbuhan pada tumbuhan terjadi di daerah meristematis (titik tumbuh), yaitu bagian yang mengandung jaringan meristem. Jaringan ini terletak di ujung batang, ujung akar,

Adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak seharusnya dapat membantu menjamin memberikan perlindungan kepada anak tersebut agar mereka dapat hidup dengan

Mengetahui data jumlah penderita limfadenitis TB pada anak yang mempunyai riwayat TB paru pada keluarga di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas

Siatas Barita.. Kec.Purba