perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH BERMAIN PERAN PROSOSIAL TERHADAP
PENINGKATAN KONSEP DIRI ANAK PADA SISWA SD
NEGERI 1 PRAMBANAN
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Disusun Oleh:
Diah Tri Novita
G 0104016
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
commit to user
iv
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi
saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, April 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
v MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti terdapat kemudahan. (Q.S. Al Inshyroh : 5)
Jangan takut dengan kesalahan, kebijaksanaan biasanya lahir dari kesalahan. (Paul Galvin)
Bukan masalah-masalah yang mengganggu pikiran tetapi cara memandang masalah tersebut. Semua bergantung pada cara memandang sesuatu.
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Dengan penuh hormat serta cinta, kasih, dan sayang, karya sederhana ini kupersembahkan kepada :
1. Ibu dan Bapak, serta keluarga tercinta. 2. Staf pengajar Program Studi Psikologi UNS.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep
Diri Pada Siswa SD Negeri 1 Prambanan sebagai syarat mendapatkan gelar
sarjana Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penulis menyadari akan kekurangan, kelemahan, dan hambatan yang
penulis hadapi, sehingga tanpa dorongan, bantuan, bimbingan, serta doa dari
beberapa pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik, oleh karena itu
penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
3. Ibu Dra. Tuti Hardjajani, M.Si selaku dosen pembimbing I, yang telah
memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi
kelancaran skripsi penulis.
4. Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku pembimbing II, yang dengan
sabar memberikan bimbingan, arahan, masukan, serta memberi semangat,
dan motivasi untuk terus berusaha hingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
5. Ibu Dra. Macmuroh, M.S., selaku dosen pembimbing akademik dan penguji
I, yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus
berjuang menyelesaikan skripsi dan memberi masukan yang sangat
bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak H. Arista Adi Nugroho, S.Psi, M.M selaku penguji II, dan memberi
commit to user
viii
7. Seluruh staf pengajar Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu dan
pengalaman kepada penulis.
8. Seluruh staf tata usaha dan perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran
studi penulis.
9. Kepala Sekolah beserta seluruh pengajar dan staf tata usaha SD Negeri 1
Prambanan Klaten yang bersedia memberikan ijin serta membantu penulis
dalam melakukan penelitian.
10. Adik-adik siswa kelas V SD Negeri 1 Prambanan Klaten yang telah
membantu dalam proses pengumpulan data.
11. Keluarga tercinta yang telah memberikan nasihat, pengertian, kesabaran,
semangat, motivasi, arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu dipanjatkan
demi kesuksesan penulis.
12. Orang-orang terdekat dan sahabat-sahabatku yang telah menemaniku,
memberi semangat, dukungan, bantuan, serta atas doanya, semoga kita tetap
dapat saling membantu dalam kebaikan.
13. Teman-teman Psikologi terutama angkatan 2004, terima kasih atas bantuan,
semangat, dan dukungannya.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan karena adanya keterbatasan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada kita semua.
Surakarta, April 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...
BAB II. LANDASAN TEORI ...
A. Konsep Diri ...
1. Pengertian Konsep Diri ...
2. Perkembangan Konsep Diri ...
commit to user
x
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ...
5. Aspek-Aspek Konsep Diri ...
B. Bermain Peran Prososial ...
1. Pengertian Bermain Peran ……….
2. Tahap-Tahap Bermain Peran ……….
3. Macam-macam Bermain Peran ……….
4. Pengertian Perilaku Prososial ……..………...
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial ...
6. Pengertian Bermain Peran Prososial ………….…….………
7. Aspek-Aspek Bermain Peran Prososial ...
C. Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan
Konsep Diri pada Anak ...
D. Kerangka Pemikiran ... ...
E. Hipotesis ...
BAB III. METODE PENELITIAN ...
A. Identifikasi Variabel Penelitian ...
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...
C. Subjek Penelitian ...
D. Rancangan Penelitian ...
E. Alat Pengumpul Data ...
F. Validitas dan Reliabilitas Data ...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
xi
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
A. Persiapan Penelitian ...
1. Orientasi Kancah Penelitian ...
2. Persiapan Alat Ukur ...
3. Pelaksanaan Uji-coba ...
4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ...
5. Penomoran Baru Alat Ukur Penelitian ...
B. Pelaksanaan Eksperimen ...
1. Penentuan Subjek Penelitian ...
2. Pelaksanaan Penelitian ...
C. Hasil Analisis Data ...
1. Hasil Pretest dan Posttest ...
2. Hasil Statistik Deskriptif ...
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue-print Skala Sikap Konsep Diri pada Anak ...
Tabel 2. Pembagian Peran dan Karakter Peran ...
Tabel 3. Pedoman Pengamatan ...
Tabel 4. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Konsep Diri pada
Anak Setelah Uji Coba ...
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Konsep Diri pada Anak Setelah Uji Coba
Tabel 6. Data Hasil Pengukuran ...
Tabel 7. Kriteria Kategori Skala Sikap Konsep Diri pada Anak dan
Distribusi Skor Subjek ...
Tabel 8. Hasil Pengamatan ...
Tabel 9. Hasil Laporan Subjek dalam Pemeranan ………….……….…….
Tabel 10. Hasil Pretest dan Posttest ...
Tabel 11. Tabel Deskriptif Statistik ...
Tabel 12. Data Hipotetik dan Data Empirik ...
Tabel 13. Kategorisasi Subjek Penelitian ...
Tabel 14. Uji Normalitas berdasarkan rasio Skewness dan Kurtosis ...
Tabel 15. Uji Normalitas menggunakan rumus Shapiro WiIlk ...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Modul Bermain Peran Prososial ...
Lampiran B. Alat Ukur Uji Coba ...
Lampiran C. Tabulasi Hasil Uji Coba ...
Lampiran D. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ...
Lampiran E. Alat Ukur Penelitian ...
Lampiran F. Tabulasi Data Hasil Penelitian ...
Lampiran G. Hasil Uji Normalitas, Linieritas dan Homogenitas ...
Lampiran H. Hasil Uji Hipotesis ...………....………...
Lampiran I. Surat Penelitian ...………...
Lampiran J. Hasil Dokumentasi ………...
95
103
108
113
117
122
129
137
139
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ……….. 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
xv ABSTRAK
Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep Diri Anak Pada Siswa SD Negeri 1 Prambanan
Diah Tri Novita
Universitas Negeri Sebelas Maret
Konsep diri anak akan berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri yang positif sangat penting dalam perkembangan individu. Konsep diri positif membantu anak menjadi lebih percaya diri dan mandiri. Respon positif dari orang lain dan penerimaan sosial dapat meningkatkan konsep diri positif. Hal tersebut dapat diperoleh dengan melakukan tindakan prososial dalam interkasi sosial. Perilaku prososial dapat ditanamkan pada anak dengan cara bermain peran prososial agar anak juga dapat merasakan langsung respon positif dan penerimaan sosial yang dapat meningkatkan konsep diri anak.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bermain peran prososial terhadap peningkatan konsep diri anak pada siswa SD Negeri 1 Prambanan.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan randomize
pretest-posttest one group design. Skor konsep diri anak akan dibandingkan sebelum dan
sesudah perlakuan berupa bermain peran prososial. Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive non-random sampling. Subjek penelitian merupakan siswa berusia 10-11 tahun dan memiliki skor konsep diri sedang hingga sangat rendah. Pemilihan subjek tersebut berdasarkan kriteria yang sesuai dalam penelitian. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD berjumlah 16 anak.
Alat pengumpul data menggunakan modifikasi skala konsep diri anak PHCS (Piers-Harris Children Self-Concept scale) dengan menambahkan aspek konsep diri menurut Berzonsky. Skala sikap konsep diri yang digunakan terdiri dari 52 aitem pernyataan yang harus diisi sesuai dengan kondisi subjek. Analisis data menggunakan teknik analisis Paired Sample T-Test dengan bantuan program statistik SPSS 16.
Hasil perhitungan Paired Sample T- Test menunjukkan, T hitung = 2,446 > T tabel = 2,15 dan p < 0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan skor konsep diri yang signifikan sesudah pemberian perlakuan berupa bermain peran prososial dibandingkan sebelum pemberian perlakuan. Hasil analisis deskrptif juga menunjukkan peningkatan mean sesudah perlakuan sebesar 29,63 dibanding sebelum perlakuan yang menunjukkan sebesar 25,19 memberikan gambaran bahwa pemberian perlakuan berupa bermain peran prososial tersebut memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsep diri pada anak. Peningkatan skor konsep diri masing-masing subjek dan rata-rata seluruh subjek menunjukkan bahwa bermain peran prososial mampu meningkatkan konsep diri pada anak.
commit to user
xvi
ABSTRACT
The Influence of Prosocial Role Play On Increasing Children’s Self Concept In SD Negeri 1 Prambanan Student
Diah Tri Novita Sebelas Maret University
Children’s self concept is formed by individual through interactions with environment. Positive children’s self-concept have significant influence for children development. It makes children more confidence and independent in their social life. Positive response from others and social acceptance can increase positive self concept. It can happen when they do some prosocial behavior in their interactions. Children can learn prosocial behavior through prosocial role play. Prosocial role play may make the children experience positive response and social acceptance so they can increase their self concept.
The main focus of this study is to examine the influence of prosocial role play to increasing children’s self concept on SD Negeri 1 Prambanan. This study used quasi experiment with randomize pretest-posttest one group design. Score of child self concept before roleplay is compared with score after roleplay. Subject selection used purposive non-random sampling technique. Subject was 10-11 years old students and had medium until very low score of children’s self concept scale. That subject selection based on criteria that required for this study. Sixteen children from Five grade elementary school is selected as subject.
The modification of children self concept scale was used to measure children self concept. The children’s self concept scale was modified from PHCS (Piers-Harris Children’s Self-Concept scale) and added some aspect of self concept from Berzonsky. Self concept scale that was used in this study consisted from 52 item statements that must did properly with subject condition. Data analysis of this study uses Paired Sample T-Test with SPSS 16 statistic programme.
The result of analysis with Paired Sample T- Test revealed significant differences between pretest and posttest of children’s self concept through prosocial role play, T (2,15) = 2,446 and p < 0,05. From descriptive analysis revealed that mean increase after the prosocial role play (M = 29,63) than before the prosocial role play (M = 25,19) also gives description that prosocial role play has significant influence to the increase of children’s self concept. Increasing of children’s self concept each subject and mean for all subject revealed that prosocial role play could increases children’s self concept.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan penting
bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya manusia tidak
bisa lepas dari bidang pendidikan yang secara umum diidentikkan dengan
pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah.
Pendidikan seolah menjadi syarat mutlak sebuah kesuksesan. Hampir
setiap orang menggantungkan harapan kepada pendidikan untuk melahirkan
generasi yang menguasai beragam ilmu dan pengetahuan. Generasi yang mampu
memanfaatkan potensi diri dan setiap peluang hingga menjadi manusia yang
sukses dalam setiap hal. Namun pada kenyataannya, terkadang seseorang berhasil
mencapai jenjang pendidikan yang tinggi tetapi kurang berhasil dalam kehidupan,
atau sebaliknya. Tidak jarang seseorang suskes dalam kehidupan, tetapi
pencapaian akademiknya biasa saja. Fenomena ketidakkonsistenan antara
pendidikan dan keberhasilan kehidupan tersebut memunculkan pertanyaan
bagiamana sistem pendidikan yang sangat kompetitif ternyata dapat melahirkan
generasi yang tangguh secara keilmuan tetapi rapuh atau gagal dalam kehidupan.
Menurut Aikesari (www.aikesari.multiply.com), salah satu kemungkinan
penyebabnya adalah ketika anak didik dihadapkan kepada beban pendidikan yang
terlalu banyak dan ekspetasi yang terlalu tinggi dikarenakan lingkungan yang
commit to user
yang cukup untuk mengembangkan konsep diri anak didik secara matang dan
positif. Menurut Meggert (dalam Kenny et. al., 2009), konsep diri pada anak
berhubungan dengan cara pandang tentang diri anak tersebut yang berkaitan
dengan atribut dan kemampuannya.
Di setiap jenjang pendidikan, anak sudah datang dengan berbagai konsep
diri, baik yang positif maupun yang negatif. Sekolah memang memiliki resiko
untuk menerima anak-anak dengan berbagai konsep diri tersebut. Di sekolah
sering dijumpai istilah anak bermasalah, berperilaku sulit, nakal dan lain
sebagainya. Sekolah justru yang sering memunculkan label-label tersebut tetapi
tidak berusaha memahami kondisi-kondisi yang sebenarnya anak alami. Sebagai
contoh, jika ada anak yang sering tidak mengerjakan PR, anak itu akan dimarahi
habis-habisan. Hal baik jika guru dapat menahan diri dan tidak lepas kendali
dalam pemilihan kata-katanya. Namun, jika kata-kata yang diucapkan tidak pantas
misal dasar pemalas, dasar anak bodoh dan diucapkan berkali-kali dalam jangka
waktu tertentu, problem kemalasan mengerjakan PR mungkin malah akan
semakin parah.
Banyak guru mengeluh bahwa anak yang sudah mendapatkan penanganan
kedisiplinan tidak semakin membaik tapi justru semakin memburuk. Bukan
menurut, tetapi malah semakin melawan. Hal ini dapat terjadi karena penanganan
kedisiplinan yang diterapkan guru tersebut justru memperkuat konsep diri anak
yang sudah buruk. Pengalaman hidup yang dialami anak-anak di dalam kelas
bersama sang guru akan sangat bermakna bagi mereka. Karena itu sangat fatal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
akademis. Guru juga harus bepikir bahwa guru memiliki peran yang sangat
penting dalam membangun konsep diri anak.
Prestasi akademis berhubungan dengan konsep diri anak, sehingga upaya
untuk mengajar anak akan sulit dilakukan tanpa pembinaan konsep diri. Anak
yang memiiki konsep diri yang baik biasanya belajar dengan mudah karena
senang menerima tantangan untuk melakukan sesuatu yang baru dan memperoleh
keterampilan yang baru. Sikap mental “aku bisa”, membuat pembelajaran menjadi
lebih mudah. Sebagai orang tua atau guru, kita harus punya komitmen untuk
membantu anak merasa nyaman dengan dirinya. Jika anak merasa bahwa anda
percaya akan kemampuannya untuk menjadi sukses, dan ia juga percaya, tidak
akan terbayangkan apa yang bisa dicapai olehnya.
Anak biasanya juga membandingkan dirinya dengan orang-orang di
sekitarnya. Dari lingkungan keluarga, anak akan membandingkan dirinya dengan
orang tuanya atau saudaranya. Misal, anak merasa tidak sepintar ayahnya atau
anak merasa tidak pandai menggambar seperti kakaknya. Beberapa anak mungkin
belum menyadari bahwa kemampuan anak berbeda dengan kemampuan remaja
atau orang dewasa.
Di sekolah, anak sering dibandingkan dengan anak lain di kelasnya bukan
bagaimana dibandingkan dengan anak tersebut ditahun sebelumnya. Hal ini dapat
membuat anak merasa peningkatan yang terjadi pada dirinya tidak merubah
pandangan seseorang tentang dirinya. Orang lain akan selalu menganggap anak
tersebut tetap dibawah rata-rata anak lain di kelasnya. Dengan sistem sekolah
commit to user
mengetahui peningkatan anak setiap tahun. Guru yang tidak mengetahui
peningkatan anak setiap tahun sulit untuk membantu anak menghargai
peningkatan dan menggunakannya sebagai dasar pembentukan self esteem dan
motivasi.
Orang tua dan guru perlu mengetahui bagaimana seharusnya sikap mereka
agar dapat membantu anak meningkatkan penilaian positif terhadap dirinya
sendiri. Contoh kasus, seorang anak usia 9 tahun selalu menonton kartun di
televisi sebelum berangkat ke sekolah. Pada suatu hari karena asik menonton
televisi iaa terburu-buru berangkat ke sekolah. Saat mengecek tasnya ia baru ingat
bahwa ada pr yang belum dikerjakan. Tiba-tiba mukanya merah dan melemparkan
tasnya ke lantai. Biasanya pada kondisi tersebut orang tua kan menenangkan anak
dan menasehati agar lain kali dia tidak menonton televisi saat berangkat ke
sekolah namun menggunakan waktunya untuk mengecek kembali tas sekolah dan
pelajarannya. Dan respon yang sering kita dapat dari anak jika orang tua
melakukan hal seperti itu adalah ia akan marah atau malah berteriak pada orang
tua. Tujuan orang tua sebenarnya ingin anak menyadari kesalahannya namun cara
tersebut secara tidak langsung malah membuat anak semakin merasa dirinya
bersalah dan menimbulkan penilaian yang buruk pada dirinya sendiri. Cara yang
paling tepat mungkin adalah dengan membuat aturan baru untuk mengatasi
masalah tersebut bukan menyalahkan anak. Mungkin dengan orang tua mengecek
perlengkapan sekolah anak sebelum berangkat sekolah atau membantu anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Menurut Barnes (2000), kata-kata yang bersifat sebagai dorongan dapat
berpengaruh lebih baik terhadap penilaian anak pada dirinya sendiri. Kata-kata
yang bersifat dorongan akan membuat anak percaya pada apa yang mereka
mampu dan miliki. Sebagai contoh, kalimat “kamu bisa melakukannya” akan
lebih baik daripada kalimat “kamu kadang ceroboh,jadi hati-hati”, atau “kamu
melakukannya dengan bagus” akan lebih baik dari “kamu bisa melakukan lebih
baik”.
Seorang anak sering mendengar cerita mengenai diri mereka dari
keluarganya. Cerita tersebut mungkin mengenai masalah mereka di sekolah,
kegagalan, kemampuan mereka. Dari cerita tersebut dapat menggambarkan
apakah anak itu pintar atau bodoh, rajin atau malas, cantik atau biasa saja, populer
atau tidak. Tanpa disadari cerita ini akan mempengaruhi penilaian orang lain dan
diri sendiri. Atau kadang orang tua mrasa perlu mengatakan pada anaknya tentang
permassalahan yang dibicarakan guru pada orang tua pada anaknya. Padahal ini
dapat semakin meyakinkan anak tentang penilaian yang kurang baik tentang
dirinya.
Menurut Rogers (1977), banyak bukti menunjukkan bahwa perilaku anak
dalam berbagai konteks yang spesifik lebih banyak ditentukan oleh bagaimana
cara mereka memandang diri mereka sendiri. Konsep diri memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan anak. Konsep diri akan menjadi dasar
pembentukan karakter individu. Mengerti tentang konsep diri anak dapat
membantu orang tua atau guru dalam mengambil tindakan untuk memberikan
commit to user
untuk meningkatkan perkembangan kemampuan anak dan mencegah munculnya
perilaku menyimpang dalam tahap-tahap perkembangan (Spencer, 1991 dalam
Kenny et. al., 2009).
Konsep diri yang sehat pada anak dapat menjadi dasar yang sangat baik
bagi perkembangan anak, demikian juga sebaliknya konsep diri yang buruk dapat
menghambat perkembangan anak. Konsep diri pada anak membentuk inti yang
tetap yang menyatukan perilaku-perilaku dan mencegah kekacauan sifat-sifat.
Konsep diri yang kuat membantu anak percaya diri dan mandiri. Dalam
menghadapi permasalahan hidup yang kompleks, mereka merasa lebih kuat dan
memandang dunia lebih bersahabat dan tidak mengancam. Menurut Rogers
(1977), konsep diri yang sehat membantu anak memiliki kemampuan untuk
menghadapi lingkungannya. Konsep diri akan terus berkembang walaupun
tahap-tahap perkembangan telah tercapai. Konsep diri anak dapat berkembang kearah
negatif maupun positif (Calhoun & Acocella, 1990).
Menurut Rini (www.e-psikologi.com), individu dikatakan mempunyai
konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak
berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak
menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Menurut Tim
Familia (2006) apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang
dirinya, maka akan muncul evaluasi negatif pula tentang dirinya. Keyakinan
seseorang bahwa ia pasti gagal mungkin disebabkan ia memandang dirinya tidak
kompeten atau bahkan bodoh. Pandangan ini selanjutnya dapat mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
keyakinannya. Jika berhasil, orang yang memiliki konsep diri negatif akan
mengatakan bahwa keberhasilannya karena suatu kebetulan atau nasib baik.
Sebaliknya apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka
akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri. Penghargaan
terhadap diri yang merupakan evaluasi tehadap diri sendiri akan menentukan
sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya.
Jadi, apabila ia memiliki konsep diri yang positif, segala perilakunya akan selalu
tertuju pada keberhasilan. Anak yang memiliki konsep diri positif, jika
menghadapi kegagalan akan bersikap lebih positif. Oleh karena itu, anak yang
memiliki konsep diri positif biasanya juga lebih optimis dan realistis.
Menurut beberapa ahli, konsep diri dikembangkan melalui interaksinya
dengan orang lain maupun peniruan. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi
dan selalu dihargai, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif.
Sementara itu pengalaman sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan
membentuk konsep diri yang negatif. Demikian halnya perilaku orang-orang yang
dianggap penting bagi anak maupun tokoh-tokoh idola anak akan mempengaruhi
konsep dirinya. Dengan bertambahnya usia seorang anak, maka konsep diri akan
terus berkembang melalui interaksinya dengan orang lain selain orang tuanya
terutama melalui perbandingan sosial dengan teman sebayanya (Tim Familia,
2006). Anak yang mengalami umpan balik negatif dari anak yang lain dapat
mempengaruhi konsep dirinya (Kenny et. al., 2009).
Agar anak lebih mudah diterima dalam lingkungannya, anak melakukan
commit to user
masyarakat biasanya melakukan hal-hal yang dapat diterima dalam budaya
masyarakat tersebut (Twenge, et. al., 2007). Sebagai contoh, anak yang masuk
dalam lingkungan yang baru akan lebih mudah diterima dalam lingkungan
tersebut jika anak tersebut baik terhadap anak lain, suka menolong, tidak suka
berbohong, dan lain sebagainya. Perilaku-perilaku yang lebih berorientasi pada
orang lain disebut dengan perilaku prososial.
Menurut Twenge, et. al., (2007) perilaku prososial merupakan perilaku
yang ditunjukkan untuk lebih menguntungkan orang lain dibanding
menguntungkan diri sendiri dan biasanya memiliki resiko untuk diri sendiri.
Sebagian besar kebudayaan mendorong dan bahkan mensyaratkan perilaku
prososial karena hal ini vital dalam sistem interaksi sosial. Empati dan perilaku
prososial yang rendah dapat mengarahkan pada penolakan sosial. Menurut
Eisenberg & Fabes (dalam Retnaningsih, 2005), perilaku prososial dapat
berfungsi untuk meningkatkan kualitas sosial dan hubungan antar individu. Brian
& Test (dalam Hakam, 2008) memandang perilaku prososial sebagai kegiatan
individu untuk berbagi atau berkorban yang diperkirakan akan mendapat
reinforcement positif karena tidak mendapatkan hasil sosial atau materi yang
nyata. Perilaku prososial juga menimbulkan perasaan positif seperti berharga
karena dirinya berguna bagi orang lain, perasaan kompeten serta dapat terhindar
dari perasaan bersalah apabila tidak menolong (Baurn, Fisher & Singer, 1985
dalam Retnaningsih, 2005).
Perilaku prososial dapat dipengaruhi oleh faktor situasional dan faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yang harus dikeluarkan, pengalaman dan suasana hati, kejelasan stimulus, adanya
norma-norma sosial, serta hubungan antara calon penolong dengan si korban.
Faktor personal yang mendorong perilaku prososial antara lain empati yang
tinggi, harga diri yang tinggi, kebutuhan akan persetujuan orang lain yang rendah,
penghindaran tanggung jawab yang rendah, lokus kendali internal serta adanya
keyakinan dalam diri individu bahwa dunia adalah adil dan dapat diprediksi
bahwa perilaku yang baik akan memperoleh ganjaran sedang perilaku jahat akan
memperoleh hukuman (Dayakisni & Hudaniah, 2003).
Menurut Yosef (www.kabarindonesia.com) terdapat satu hal yang perlu
diketahui oleh orang tua dan pendidik seputar menumbuhkan perilaku prososial
anak yaitu membawa anak pada pengalaman nyata (real-life experiences) melalui
bemain peran. Menurut Zuhaerini (dalam Sadali, 2000) bermain peran digunakan
apabila materi yang akan diajarkan dimaksudkan untuk :
a. Menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut orang banyak dan
berdasarkan pertimbangan lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan,
karena akan lebih jelas dan dihayati oleh anak. Anak akan mengalami kesulitan
jika membayangkan orang yang terlalu banyak jika hanya diceritakan.
b. Melatih anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial
psikologis. Permasalahan yang diangkat dalam bermain peran biasanya
merupakan permasalahan sosial yang juga melibatkan kondisi psikologis
individu yang terlibat dalam masalah tersebut.
c. Melatih anak agar mereka dapat berinteraksi dan memberi kemungkinan bagi
commit to user
banyak orang sehingga dengan bermain peran anak-anak dapat melatih interkasi
mereka dengan orang lain.
Roberta M. Berns (dalam Yosef, 2008) mengungkapkan bahwa melalui
kesempatan bermain peran prososial seolah anak ditempatkan pada pengalaman
yang nyata akan meningkatkan perilaku prososial anak. Memberi kesempatan
pada anak untuk bermain peran sebagai seseorang yang membutuhkan bantuan
dapat membuat seorang anak merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang yang
butuh pertolongan. Dan saat memberi kesempatan pada anak untuk bermain peran
sebagai penolong, anak belajar untuk bagaimana caranya menolong.
Pengajar atau orang tua dapat menerapkan bermain peran seperti halnya
program bantuan kelompok dan mediasi untuk meningkatkan perasaan konsep diri
anak. Program-program tersebut dapat meningkatkan perasaan siswa tentang diri
mereka (Edmondson & White, 1998 dalam Kenny et. al., 2009). Dengan
menggunakan metode bermain peran perilaku prososial khususnya diharapkan
dapat meningkatkan konsep diri anak. Metode bermain peran yang lebih efektif
mengajarkan hal baru pada seorang anak menjadi media agar anak menilai dirinya
sendiri secara positif.
Berdasarkan latar belakang di atas, baik-buruknya perilaku anak dapat
ditentukan oleh konsep diri anak tersebut. Konsep diri anak dapat berkembang
kearah yang positif jika anak tersebut memperoleh reinforcement positif dan
penerimaan sosial dari lingkungan. Reinforcement positif dan penerimaan sosial
dapat diperoleh salah satunya dengan melakukan tindakan prososial dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
mendidik perilaku prososial pada anak. Mendidik perilaku prososial pada anak
dapat dilakukan dengan cara bermain peran. Bermain peran dapat membawa anak
dalam pengalaman nyata. Maka dari itu, penulis mengambil judul penelitian:
”Pengaruh Bermain Peran Prososial Terhadap Peningkatan Konsep Diri Pada
Anak”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah
penelitian sebagai berikut: adakah pengaruh bermain peran prososial terhadap
peningkatan konsep diri anak.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian:
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan secara positif bermain
peran prososial terhadap konsep diri pada anak.
2. Manfaat Penelitian:
Apabila terbukti, penelitian ini diharapkan bermanfaat secara :
a. Teoritis:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
mengenai perilaku prososial dan konsep diri dalam pengembangan ilmu
psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi perkembangan ataupun
commit to user b. Praktis:
Dari hasil penelitian ini diharapkan:
1. Bagi anak, menjadi salah satu sarana belajar dalam memahami perilaku
prososial dan peningkatan konsep diri sehingga dapat mengembangkan
konsep diri positif .
2. Bagi orang tua, pendidik dan masyarakat dapat memberikan wawasan
tentang perilaku prososial dan konsep diri pada anak, sehingga dapat
membantu mengarahkan dan meningkatkan perilaku prososial serta
konsep diri positif anak.
3. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai acuan untuk peneliti
selanjutnya, khususnya mengenai pengaruh bermain peran prososial
terhadap konsep diri pada anak, dan dapat dijadikan sebagai bahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Burns (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan individu
terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan mencakup pendapatnya tentang diri
sendiri, pendapatnya tentang gambaran dirinya dimata orang lain dan
pendapatnya tentang hal-hal yang dapat dicapainya. Mead (dalam Burns, 1993)
mengemukakan bahwa konsep diri merupakan suatu objek yang timbul di
dalam interaksi sosial sebagai suatu hal perkembangan dari perhatian individu
mengenai bagaimana orang-orang lain (significant others) bereaksi terhadap
dirinya.
Hurlock (1997) berpendapat bahwa konsep diri adalah gambaran yang
dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri merupakan gabungan dari
keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri sehingga apa yang
diyakini individu tentang dirinya akan mempengaruhi perilakunya. Jika
individu meyakini bahwa dirinya tidak mampu maka perilakunya akan
menunjukkan ketidakmampuannnya tersebut. Hal yang hampir sama juga
disampaikan Calhoun & Acocella (1990) bahwa konsep diri adalah gambaran
mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri,
commit to user
Hamalik (dalam Suyanto & Abdurrahim, 2006) menyatakan bahwa
konsep diri adalah konsepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsepsi diri
tersebut merupakan perangkat karakteristik pada diri yang dapat diamati fisik,
misalnya tinggi dan berat badan; dari segi segi sifat-sifat kepribadian, misalnya
pendiam, senang ngobrol, terbuka, pemalu dan sebagainya. Pernyataan,
ungkapan, pendapat seseorang individu terhadap dirinya sendiri merupakan
deskripsi yang menggambarkan keadaan diri pribadi.
Menurut Purwanti, dkk. (2000) konsep diri adalah sebuah struktur
mental yang merupakan sebuah totalitas dari persepsi realistik, pengharapan
dan penilaian seseorang tehadap fisik, kemampuan kognitif, emosi, moral etika,
keluarga, sosial, seksualitas dan dirinya secara keseluruhan. Struktur tersebut
terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas
dalam hubungan interkasi simbolis antara diri dengan berbagai kelompok
lingkungan asuh selama hidupnya. Mowen (dalam Sjabadyni & Alfarini, 2001)
menyatakan bahwa konsep diri merupakan cerminan totalitas pemikiran dan
perasaan individu yang merujuk pada dirinya sendiri sebagai sebuah objek.
Menurut Fitriasih & Pudjono (2003) konsep diri merupakan semua
perasaan dan pemikiran seseorang tentang dirinya sendiri, meliputi
kemampuan, karakater diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri,
serta gambaran pribadi remaja terhadap dirinya meliputi penilaian diri dan
penilaian sosial. Konsep diri juga merupakan bagian penting dari kepribadian
seseorang, yaitu sebagai penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Secara spesifik Rogers (1977) menyatakan bahwa konsep diri pada
anak meliputi semua kesan dan keyakinan pada diri sendiri. Konsep diri pada
anak membentuk inti yang tetap yang menyatukan perilaku-perilaku dan
mencegah kekacauan sifat-sifat. Konsep diri akan terus berkembang walaupun
tahap-tahap perkembangan telah tercapai. Definisi lain menurut Santrock
(1999), konsep diri merupakan hasil evaluasi spesifik tentang diri sendiri.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa konsep diri
merupakan kumpulan persepsi individu mengenai diri mereka sendiri yang
dapat berpengaruh terhadap perilaku individu.
2. Perkembangan Konsep Diri
Konsep diri yang dimilik manusia tidak terbentuk secara instan
melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal
dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan
individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Ketika individu lahir, individu
tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan-harapan
yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri
(Calhoun & Acocella, 1990). Namun seiring dengan berjalannya waktu individu
mulai bisa membedakan antara dirinya, orang lain dan benda-benda sekitarnya
dan pada akhirnya individu ulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan
serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri (Calhoun & Acocella,
1990).
Menurut Willey (dalam Calhoun & Acocella, 1990), dalam
commit to user
adalah ineraksi individu dengan orang lain. Baldwin dan Holmes (dalam
Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil
belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain.
Menurut Fabes & Martin (1999), Pada usia 2 tahun, sebagian besar
anak-anak menganali dirinya sebagai individu, mereka dapat menyebutkan
nama mereka sendiri, mengenali diri mereka sendiri di cermin, membedakan
dan menyebutkan diri mereka sendiri pada sebuah foto yang di dalamnya
terdapat anak-anak lain yang usia dan jenis kelamin yang sama.
Perkembangan penting dalam pembentukan konsep diri terjadi selama
masa kanak-kanak awal bersamaan dengan perkembangan kesadaran anak-anak
pada karakteristik yang mereka miliki. Anak-anak usia 3 tahun mengambarkan
dirinya secara global, berdasarkan sifat-sifat eksternal seperti saya cepat
dibanding dengan ciri-ciri psikologis seperti saya lembut. Kecenderungan
global ini membentuk anak-anak untuk berfikir bahwa jika mereka baik dalam
hal tertentu, ia juga baik dalam hal lain. Artinya definisi diri digeneralisasikan
dalam konteks-konteks lain. Pada anak-anak usia 4 tahun, penilaian anak-anak
lebih spesifik dan terdeferensiasi. Mereka menganggap bahwa jika mereka baik
dalam suatu keahlian tapi idak begitu baik pada keahlian lain. Atau mereka
menganggap bahwa mereka dapat melakukan sesuatu dengan baik pada suatu
situasi tapi tidak pada situasi lain.
Anak-anak sering mendeskripsikan diri mereka pada semua atau tidak
pada satupun kebiasaan, kurang bisa mengakui bahwa sifat-sifat dapat terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
atau buruk, tapi tidak diantara baik atau buruk. Anak-anak percaya bahwa
mereka tidak bisa merasakan senang dan sedih secara bersamaan. Antara usia
6-8 tahun, anak-anak mulai menganggap bahwa dua sifat atau perasaan dapat
terjadi secara bersama-sama, namun hanya secara berurutan, jika pada mulanya
menagalami suatu hal, diikuti hal yang lain.
Pada usia 8 tahun, anak-anak menganggap bahwa dua sifat yang
berlawanan pada diri mereka dapat terjadi secara bersamaan. Pada usia ini
anak-anak juga dapat beranggapan bahwa mereka merasa pada satu hal dan merasa
berlawanan pada hal yang lain. Contoh: saya pandai dalam matematika, tapi
bodoh dalam bahasa.
Selama masa kkanak awal, kehidupan sosial dan emosional
anak-anak berkembang menjadi lebih kompleks mencakup sekumpulan orang,
situasi-situasi dan lingkungan yang lebih luas. Kumpulan situasi dan partner
interaktif yang beragam ini menyediakan banyak kesempatan untuk
mempelajari interaksi sosial , tentang emosi mereka sendiri dan orang lain.
Konsep diri merupakan keyakinan individu tentang sifat-sifat dan kemampuan
yang dimilikinya (Coopersmith dalam Fabes & Martin, 1999). Hal yang
mendasari konsep atas diri adalah pengakuan bahwa setiap individu berbeda
satu dengan yang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa individu
tidak lahir dengan konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring dengan
pertumbuhan manusia melalui proses belajar. Sumber informasi dalam
commit to user
orang tua, kawan sebaya serta masyarakat. Proses belajar yang dilakukan
individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh dengan melihat
reaksi-reaksi orang lain terhadap perbuatan yang telah dilakukan, melakukan
perbandingan dirinya dengan orang lain, memenuhi harapan-harapan orang lain
atas peran yang dimainkannya serta melakukan identifikasi terhadap orang yang
dikaguminya.
3. Jenis-jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya
konsep diri terbagi dua, yaitu :
a. Konsep diri positif
Konsep diri positif lebih diwujudkan sebagai penerimaan diri bukan
sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif
bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif
adalah individu yang tahu betul tentang dirinya sendiri, dapat memahami
dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang
dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat
menerima keberadaan orang lain. Individu yang memilki konsep diri
positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu
tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu
menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup
adalah suatu proses penemuan.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individuu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta
mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.
b. Konsep diri negatif
Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua
tipe, yaitu :
1. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,
tidak memiliki kestabilan perasaan dan keutuhan diri. Individu tersebut
benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau
apa yang dapat dihargai dalam kehidupannya.
2. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini
bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras,
sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya
penyimpangan dari seperangkat hukum dalam pikirannya yang
dipandang sebagi cara hidup yang paling tepat.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri negatif terdiri dari dua
tipe, tipe pertama yaitu individu yang tidak mengerti siapa dirinya dan
tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya, sedangkan tipe kedua
adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri
diantarnya usia, jenis kelamin, kondisi fisik dan penghayatan terhadap kondisi
tersebut, perlakuan & sikap orang lain di sekitarnya, pengalaman bermakna
figur-commit to user
figur yang bermakna dalam kehidupannya (Burns & Fitts dalam Zebua &
Nurdjyadi, 2001).
Menurut Stuart & Sudeen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) ada
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-
faktor tersebut terdiri dari :
a. Teori perkembangan menyatakan bahwa konsep diri berkembang secara
bertahap sejak lahir melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa,
pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan
hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri
sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang
nyata.
b. Significant Other atau orang yang terpenting atau yang terdekat. Konsep diri
dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain. Belajar
mengenal diri sendiri dengan bercermin pada orang lain yaitu dengan
mengintrepetasi diri dari pandangan orang lain terhadap diri sendiri.
c. Self Perception (persepsi diri sendiri), yaitu persepsi dan penilaian individu
terhadap diri sendiri serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan
situasi tertentu.
Rogers (1977) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep
diri adalah :
a. Orang lain
Konsep diri anak pada mulanya berkembang berawal dari kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Mereka memperoleh umpan balik dari orang-orang terdekat yang
mengekspresikan penerimaan dan penolakan mereka yang selalu
bersesuaian dengan rasa penerimaan atau penolakan diri mereka. Kondisi
keluarga merupakan faktor terpenting karena dalam keluarga anak pertama
kali mendiferensiasikan dirinya sendiri.
b. Usia
Pada masa anak, individu merasa kurang penting dibanding orang dewasa.
Anak hidup dalam dunia yang didesain dan dijalankan orang yang lebih
tua. Pada pertengahan masa kanak-kanak, konsep diri mungkin
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan,
kegagalan di sekolah dan perlakuan-perlakuan yang kurang bijaksana
dalam interaksi sosialnya.
c. Jenis kelamin.
Setiap kepribadian terdapat percampuran antara maskuliniti dan feminiti,
hanya saja proporsinya akan lebih besar sesuai dengan jenis kelaminnya.
Keyakinan-keyakinan dari masyarakat bahwa anak laki-laki lebih kuat,
lebih pintar, bekerja lebih baik sedangkan anak perempuan merupakan
pribadi yang hangat, bersahabat dan tergantung mempengaruhi konsep diri
pada anak. Anak laki-laki memiliki konsep diri yang lebih kuat dibanding
anak perempuan.
d. Ras
Ras akan mempengaruhi citra diri seseorang. Berdasarkan citra diri
commit to user
dengan budaya, maka dari itu budaya di lingkugan anak tinggal
mempengaruhi cara pandang mereka.
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi konsep diri antara lain usia, jenis kelamin, kondisi fisik
serta penghayatan terhadap kondisi tersebut (self perception), perlakuan dan
sikap orang lain di sekitarnya (significant other), pengalaman bermakna yang
diperoleh dalam berhubungan dengan orang lain dan pengaruh dari figur-figur
yang bermakna dalam kehidupannya.
5. Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Berzonsky (dalam Fitriasih & Pudjono, 2003) bahwa aspek
dari konsep diri antara lain:
a. Aspek fisik, yaitu bagaimana penilaian individu terhadap segala sesuatu
kasat mata yang dimilikinya seperti tubuh, uang, barang, dan sebagainya.
b. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu dan
sejauh mana penilaian individu terhadap kinerja perannya tersebut.
c. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah
dalam kehidupan individu dan memandang nilai etika moral dirinya seperti
kejujuran, tanggung jawab atas kegagalan yang dialaminya, religiusitas serta
kesesuaian perilakunya dengan norma-norma masyarakat yang ada.
d. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Hurlock (1997) menyampaikan ada tiga aspek konsep diri yaitu :
a. Fisik, merupakan penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimilikinya yaitu yang bersifat fisik dan penampilan individual secara
keseluruhan.
b. Psikologis, meliputi perasaan, pikiran dan sikap individu terhadap dirinya.
c. Sosial, yaitu hubungan diantara dua atau lebih individu yang mencakup
kebiasaan, karakteristik, ciri dan perasaan sosial yang diperoleh dalam satu
konteks sosial.
Menurut Calhoun & Acocella (1990), aspek konsep diri meliputi :
a. Pengetahuan atau apa yang individu ketahui tentang diri sendiri misalnya
usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain sebaginya.
b. Harapan atau pandangan tentang kemungkinan menjadi apa di masa
mendatang. Dengan kata lain, individu mempunyai pengharapan bagi
dirinya sendiri. Pengharapan ini merupakan diri ideal.
c. Penilaian dimana setiap individu berkedudukan sebagai penilai tentang
dirinya sendiri setiap hari, mengukur apakah dirinya bertentangan dengan
pengharapan bagi diri sendiri dan standar bagi diri sendiri.
Konsep diri biasanya terdiri dari komponen atau dimensi yang
bermacam-macam, yang paling umum adalah fisik, akademik, dan sosial
(Huitt, 2004 dalam Kenny et, al., 2009). Hal serupa juga dinyatakan oleh
Piers-Harris (1969 dalam Nolte, 1981) bahwa konsep diri anak meliputi aspek
fisik, sosial dan akademik. Konsep diri fisik mengacu pada atribut-atribut fisik
commit to user
diri akademik mengacu pada sebaik apa individu di sekolah. Sedangkan
konsep diri sosial mengacu pada sebaik apa individu berhubungan dengan
kelompok mereka dan orang lain.
Dari uraian di atas, secara umum aspek-aspek dari konsep diri
meliputi aspek fisik, aspek sosial, aspek moral, aspek psikis dan aspek
akademik.
B. Bermain Peran Prososial
1.Pengertian Bermain Peran
Bermain peran merupakan salah satu bentuk psikodrama (J.L. Moreno,
1953 dalam Pfeiffer & Ballew, 1988). Tujuan psikodrama ini adalah
memberikan klien pemahaman dalam hubungan mereka dengan orang lain
dengan cara melibatkan klien untuk memainkan peran-peran orang lain.
Menurut Pfeiffer & Ballew (1988), bermain peran merupakan interaksi spontan
manusia yang melibatkan perilaku yang realistik berdasarkan kondisi tiruan
atau imajinasi. Peran yang telah diperankan kemudian di diskusikan dan
tindakan-tindakan yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan lagi.
Bermain peran biasanya digunakan untuk beberapa tujuan antara lain :
a. Untuk mempraktekkan perilaku dalam suatu persiapan untuk suatu peran
baru atau mengantisipasi situasi masalah.
b. Untuk memeriksa suatu situasi masalah atau kejadian masa lalu untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
c. Untuk menciptakan pemahaman dalam motivasi dan peran orang lain atau
dirinya sendiri.
Nilai-nilai yang dapat diperoleh partisipan dalam bermain peran antara
lain :
a. Menuntut individu untuk berfikir atau menentukan keputusan.
b. Dapat mempraktekkan suatu perilaku dalam kepura-puraan dan mendapat
umpan balik dari orang lain.
c. Memperjelas fakta bahwa hubungan antar manusia yang baik membutuhkan
suatu ketrampilan.
d. Mengajarkan perubahan sikap secara efektif dengan menempatkan
seseorang dalam peran tertentu.
e. Melatih seseorang untuk lebih peduli dan sensitif terhadap perasaan orang
lain.
f. Mengembangkan apresiasi yang lebih dalam pada saat bermain peran serta
dalam menentukan perilaku dalam situasi sosial.
g. Mampu membuat individu menemukan kesalahan personalnya.
h. Melatih kontrol perasaan dan emosi.
Menurut Sadali (2000) ada empat asumsi bahwa bermain peran dapat
mengajarkan hal baru pada anak, yaitu:
a. Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan
pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now)
sebagai isi pengajaran. Model ini dipercaya adalah mungkin sekelompok
commit to user
nyata. Terhadap analogi-analogi tersebut yang diwujudkan dalam bermain
peran para siswa dapat menampilkan respon-respon emosional secara khas
dan sejati sambil belajar dari respon-respon orang lain.
b. Bermain peran memberikan kemungkinan kepada anak untuk
mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tidak dapat mereka kenali
tanpa bercermin kepada orang lain.
c. Model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf
kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok.
Pemecahan tidak selamanya datang dari orang tertentu melainkan dapat
saja muncul dari reaksi orang lain terhadap masalah yang tengah
diperankan.
d. Model mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi
berupa sikap-sikap, nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan
dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara
spontan dan analisisnya. Dengan cara itu individu dapat menguji sejauh
mana sikap-sikapnya relevan dengan sikap orang lain apakah sikap itu
perlu dipertahankan atau diubah.
Bermain peran disebut juga bermain simbolik, pura-pura, fantasi,
imajinasi, atau bermain drama. Bermain peran ini sangat penting untuk
perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak. Bermain peran dipandang
sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan
ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kognisi. Bermain peran memungkinkan anak memproyeksikan dirinya ke masa
depan dan menciptakan kembali masa lalu (Amirudin, 2008).
Hurlock (1978) mengungkapakan bahwa bermain peran atau “permainan
pura-pura” adalah bentuk permainan aktif dimana anak melalui perilaku dan
bahasa yang jelas, berhubungan dengan materi atau situasi seolah-olah hal itu
mempunyai atribut yang lain daripada yang sebenarnya. Jenis bermain ini dapat
bersifat reproduktif atau produktif. Dalam permainan drama reproduktif, anak
berusaha memproduksi situasi yang telah diamatinya dalam kehidupan
sebenarnya atau media massa dalam permainannya. Sebaliknya, dalam
permainan drama produktif, anak menggunakan situasi, tindakan dan bicara
dari situasi kehidupan nyata ke dalam bentuk yang baru dan berbeda.
Permainan drama reproduktif biasanya mendahului permainan drama produktif.
Menurut Hadi (2008) pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini,
meliputi: kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu
kejadian. Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi
hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan
mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat
mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi
pemecahan masalah. Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran
yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan
hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang
commit to user
merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta
langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi.
Goodwin & Coates (1976) berpendapat bahwa bermain peran merupakan
metode yang didasarkan pada fakta bahwa individu belajar dengan melihat
orang lain, mencoba bertingkah laku seperti yang dilakukan orang lain dan
menerima umpan balik dari tindakan tersebut. Bermain peran merupakan salah
satu teknik untuk mengajarkan perilaku baru.
Menurut Erikson (dalam Amirudin, 2008) terdapat dua jenis bermain
peran, yaitu bermain peran mikro dan makro. Bermain peran mikro
dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan menggunakan alat bermain
berukuran kecil, misalnya orang-orangan kecil yang sedang berjual beli.
Sedangkan bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi tokoh
untuk memainkan peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran
sebagai ayah, ibu, dan anak dalam sebuah rumah tangga.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain peran
merupakan interaksi spontan manusia yang melibatkan perilaku yang realistik
berdasarkan kondisi tiruan atau imajinasi yang telah dirancang dengan tujuan
dan melalui tahapan tertentu.
2.Tahap-tahap Bermain Peran
Menurut Shaftel (dalam Komara, 2008) tahapan bermain peran meliputi :
a. Menghangatkan suasana dan memotivasi pemeran.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan
mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.
Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta agar tertarik
pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan
paling menentukan keberhasilan.
b. Memilih peran.
Tahap ini peserta dan pengamat mendeskripsikan berbagai watak atau
karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa
yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta diberi kesempatan
secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta tidak menyambut
tawaran tersebut, pengamat dapat menunjuk salah seorang peserta yang
pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
c. Menyusun tahap-tahap peran.
Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan
dimainkan.
d. Menyiapkan pengamat.
Sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita
yang akan dimainkan agar semua peserta turut mengalami dan menghayati
peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.
e. Tahap pemeranan.
Pada tahap ini para peserta mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan
peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti
commit to user
f. Diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I.
Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam
bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan
melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta akan segera terpancing untuk
diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya
peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran
yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi.
g. Pemeranan ulang.
Pemeranan ulang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai
alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut.
Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya
pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran
lainnya.
h. Diskusi dan evaluasi tahap II.
Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya
dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan
masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas.
i. Membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
Pada tahap ini para peserta saling mengemukakan pengalaman hidupnya
dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Menurut Sadali (2000), untuk dapat mengatur sejauh mana bermain
peran memberikan manfaat kepada pemeranan dan pengamatnya ditentukan
oleh tiga hal, yakni kualitas pemeranan, analisis yang dilakukan melalui diskusi
setelah pemeranan dan persepsi siswa terhadap peran yang akan ditampilkan
dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan.
Dari uraian diatas, maka tahap bermain peran terdiri dari tahap
pemanasan, pemilihan peran, persiapan, pemmeranan, diskusi dan evaluasi
tahap I, pemeranan ulang, diskusi dan evaluasi tahap II, serta berbagi
pengalaman dan pengambilan keputusan.
3.Macam-macam Desain Bermain Peran
Menurut Forrester (2000), bermain peran secara garis besar memiliki tiga
macam teknik, yaitu :
a. Teks naskah penuh, teknik bermain peran yang menggunakan teks naskah
dari awal hingga akhir. Partisipan hanya memainkan peran sesuai teks
naskah yang diberikan. Penyelesaian dari masalah yang menjadi fokus
dalam bermain peran telah ditentukan. Partispan tidak diberikan
kesempatan untuk menampilkan respon berdasarkan keinginan dan
pemahamannya.
b. Teks naskah sebagian, dimana bermain peran dilakukan dari awal hingga
pertengahan berdasarkan teks naskah, namun pada bagian penyelesaiannya
partisipan diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam penyelesaian
peran tersebut. Hal ini akan memberikan berbagai macam alternatif
commit to user
c. Improvisasi, pada teknik ini partisipan hanya diberikan gambaran
mengenai kasus yang terjadi dan diminta untuk melakukan bermain peran
sesuai dengan yang diinginkan. Kelebihan dari teknik ini data yang
diperoleh lebih lengkap, sedangkan kekurangannya adalah kesulitan dalam
kontrol agar tetap fokus pada masalah.
Menurut Pfeiffer & Ballew (1988) Rancangan bermain peran
dipengaruhi oleh pemilihan masalah dalam bermain peran, situasi dan peran
yang akan dimainkan serta struktur bermain peran. Rancangan bermain peran
berdasarkan keterlibatan aktif pesertanya meliputi bermain peran
multiple-group dan single-group. Dalam rancangan multiple-group beberapa kelompok
atau pasangan dibentuk. Kelompok-kelompok tersebut kemudian berpura-pura
dalam bermain peran yang sama (biasanya di ruangan yang sama). Sedangkan
dalam rancangan single-group hanya ada satu kelompok yang bermain peran
dihadapan peserta lain.
Rancangan bermain peran berdasarkan struktur situasionalnya meliputi
bermain peran langsung, penyelesaian naskah (skit completion), dramatisasi
kasus dan bermain peran berdasarkan suatu naskah. Rancangan langsung
dilakukan jika masalah yang akan diangkat dalam bermain peran diperoleh pada
saat berinteraksi langsung dengan individu. Rancangan penyelesaian naskah
dilakukan dengan menentukan masalah kemudian peserta melakukan bermain
peran secara spontan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Rancangan
dramatisasi kasus merupakan rancangan bermain peran berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
penyelesaian dalam bermain peran tersebut telah dtentukan, tidak ada
spontanitas dari peserta.
Rancangan bermain peran berdasarkan pemeranan antara lain pemutaran
peran (role reversal), peran ganda (doubling ), pembagian peran (tag teams),
mirroring, kursi kosong (empty chair), monodrama (self-role play). Pemutaran
peran (role reversal), jika setiap peserta dapat memainkan peran secara
bergantian. Peran ganda merupakan pemeranan yang dilakukan dengan karakter
yang berbeda pada satu peran yang sama. Pada pembagian peran, setiap peserta
menjalankan peran masing-masing dan tidak ada pertukaran. Mirroring, jika
pemeranan dilakukan secara bergantian namun setelah pergantian, peserta
menirukan apa yang dilakukan peserta sebelumnya dalam peran tersebut.
Pemeranan dengan kursi kosong merupakan pemeranan dimana peserta
menganggap kursi kosong sebagai lawan bicaranya, sehingga peserta bebas
berekspresi. Sedangkan monodrama merupakan pemeranan yang hanya
dilakukan sendiri, satu orang melakukan berbagai peran yang berbeda-beda.
Rancangan bermain peran juga dapat berdasarkan pada penekanan
nonverbal dalam bermain peran. Ada rancangan bermain peran yang
memberikan penekanan hanya pada nonverbal saja atau verbal saja namun
adapula yang memberikan penekanan pada keduanya.
Suatu rancangan bermain peran merupakan kombinasi dari semua
rancangan tersebut. Setiap rancanagan bermain peran yang akan digunakan
didasarkan pada keterlibatan peserta, struktur situasional, pemeranan dan