• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap Anatomi dan Sifat Fisik pada Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap Anatomi dan Sifat Fisik pada Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ELEVASI LAHAN DAN POSISI PELEPAH

TERHADAP ANATOMI DAN SIFAT FISIK PADA FENOMENA

PELEPAH SENGKLEH KELAPA SAWIT

(Elaeis quineensis Jacq.)

SKRIPSI

Oleh : Lily Janiyani

061203039 / Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HALAMAN PENGESAHAAN

Judul Penelitian : Pengaruh

Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap

Anatomi Dan Sifat Fisik pada

Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Nama : Lily Janiyani

NIM : 061203039

Program Studi : Kehutanan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Evalina Herawati, S.Hut.,M.Si

Ketua Program Kehutanan

Dr.rer.silv.Erwinsyah, S.Hut.,M.Sc

Mengetahui,

(3)

ABSTRACT

LILY JANIYANI: Influence of Land plantation and frond position the anatomical and physical properties in The phenomenon of Frond fracture elevation on Oil

Palm (Elaeis quineensis Jacq.). Stem under the supervision of EVALINA

HERAWATI, and ERWINSYAH.

Frond is a section in oil palm tree besides of flower and fruit. The cultivation oil palm were in many elevation. Frond fracture in palm oil was can cause the stop growth in plants. Frond fracture was can attacked the plants produced so as to decrease the value or the production of oil palm. This study was aim to provided information about the anatomical, physical properties as density of vascular bundle, moisture content, frond the weight and length of palm. For this purpose was a total of 12 frond palm at two elevations (<200 m dpl and 200-400 m dpl), two conditions (good frond and frond fracture) and 3 frond position (17, 25 and 33) from the frond of palm oil plantation were derived from experiments in PPKS Sentang hill and PTPN IV Balimbingan Siantar. Anatomical structure of frond the oil palm was dominated by vascular bundle and parenchyma. Moisture content of frond the oil palm was between 160-497%. The density of vascular bundle was between 37-71 vb/cm2. Frond the length of oil palm was beetwen 4-8 m and the weight was between 2-13 kg. Seen from frond fracture the weight and length of was bese frond (section A) must with stand 6x the weight of the frond upper end (section B) and load was so heavy of frond fracture influence on oil palm.

(4)

ABSTRAK

LILY JANIYANI: Pengaruh

Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap

Anatomi Dan Sifat Fisik Pada

Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan ERWINSYAH.

Pelepah merupakan bagian dari tanaman kelapa sawit selain bunga dan buah. Penanaman kelapa sawit banyak dilakukan di beberapa elevasi lahan tanam. Sengkleh pada kelapa sawit dapat menimbulkan kematian pada tanaman. Sengkleh ini dapat menyerang pada tanaman menghasilkan sehingga dapat menurunkan nilai atau hasil produksi dari kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang anatomi, sifat fisis (kerapatan vascular bundle dan kadar air) dan sifat fisik pelepah kelapa sawit. Untuk maksud itu sebanyak 12 pelepah di dua elevasi (<200 m dpl dan 200–400 m dpl), dua kondisi (normal dan sengkleh) dan 3 posisi pelepah (17, 25 dan 33) dari pelepah kelapa sawit yang berasal dari kebun percobaan PPKS Bukit Sentang dan PTPN IV Balimbingan Pematang siantar. Struktur anatomi pelepah kelapa sawit didominasi oleh vascular bundle dan parenkim. Kadar air kelapa sawit berkisar antara 160 % - 497 %. Kerapatan vascular bundle berkisar antara 37–71 vb/cm2. Kisaran rata-rata panjang pelepah kelapa sawit 4–8 m. kisaran rata-rata-rata-rata berat pelepah kelapa sawit 2–13 kg. Dilihat dari berat dan panjang pelepah sengkleh bagian pangkal (A) harus menahan 6x bobot beban bagian ujung pelepah (B) sehingga berat pelepah mempengaruhi pelepah mengalami patah atau sengkleh pada kelapa sawit.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sembahe (Sumatera Utara) pada tanggal 5 Januari 1989 dari Ayah Kasim Ginting dan Ibu Pinta Ukur br Karo. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu pendidikan dasar di SD Swasta Bhakti Pancurbatu lulus tahun 2000, pendidikan lanjutan di SLTP Negeri 2 Pancurbatu lulus tahun 2003, pendidikan menengah atas lulus di SMA Negeri 1 Pancurbatu lulus tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) bertempat di Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Andalas Merapi Timber (PT. AMT) dengan lokasi praktik di daerah Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan Propinsi Sumatera Barat pada bulan Juli 2010.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh

Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap Anatomi Dan Sifat

Fisik Pada

Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (

Elaeis guineensis Jacq.)” dapat selesai dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Evalina Herawati, S.Hut., M.Si dan Bapak Dr. rer. silv. Erwinsyah, S.Hut., M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Latifah, S.Hut., Ph.D selaku ketua Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh Karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Atas kritikan dan sarannya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2012

(7)

DAFTAR ISI

Morfologi Tanaman Kelapa Sawit ... 8

Akar ... 8

Sifat fisik, Morfologi dan Komposisi Serat Pelepah Kelapa Sawit ... 11

Manfaat Pelepah ... 12 Anatomi Pelepah Kelapa Sawit ... 24

(8)

Parenkim ... 27

Vascular bundle ... 28

Pengaruh Elevasi dan Posisi Pelepah Kelapa Sawit terhadap Distribusi Kadar Air Pelepah Sengkleh dan Normal ... 32

Analisis Jarak Patahan, Berat Pelepah, Pengelompokan Tipe dan Bentuk Pelepah Berdasarkan Tingkat Kerusakan... 42

Pengaruh Elevasi dan Posisi Pelepah Kelapa Sawit terhadap Kerapatan Vascular Bundle Pelepah Sengkleh dan Normal ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

Kesimpulan ... 54

Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(9)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Sifat Fisik dan Morfologi Pelepah Kelapa Sawit. ... 11

2. Komposisi Pelepah Sawit ... 12

3. Macam-Macam Kondisi KA Kayu ... 15

4. Berat dan Tingkat Kerusakan Pelepah Sengkleh dan Normal ... 47

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Kelapa Sawit (Elaais guineensis)... 4

2. Pola Pengukuran Distribusi Vascular bundle ... 19

3. Pola Pengukuran Melintang Vascular bundle ... 20

4. Pola Pengukuran Berat dan Jarak Patahan ... 20

5. Pelepah Sengkleh pada Tanaman Kelapa Sawit ... 23

6. Penampang Potongan Melintang Pelepah ... 25

7. Histologi Pelepah Kelapa Sawit ... 26

8. Susunan Vascular Bundle ... 29

9. Vascular Bundle pada Pelepah ... 31

10. Hubungan Kadar Air terhadap Pelepah Kelapa Sawit Posisi 17 ... 33

11. Hubungan Kadar Air terhadap Pelepah Kelapa Sawit Posisi 25 ... 34

12. Hubungan Kadar Air terhadap Pelepah Kelapa Sawit Posisi 33 ... 36

13. Kadar Air pada Elevas <200 m dpl dan 200-400 m dpl ... 39

14. Kerusakan Pelepah pada Elevasi <200 m dpl ... 43

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Data kerapatan Vascular Bundles (vb/cm2) elevasi <200 m dpl ... 60

2. Data kerapatan Vascular Bundles (vb/cm2) elevasi 200-400 m dpl ... 61

3. Hasil kadar air pelepah (%) ... 62

4. Hasil perhitungan statistik kadar air pelepah normal (%) ... 63

5. Hasil perhitungan statistik kadar air pelepah sengkleh (%) ... 64

5. Hasil perhitungan kerapatan vascular bundle pelepah normal (vb/cm2) .... 65

6. Hasil perhitungan kerapatan vascular bundle pelepah sengkleh (vb/cm2) .. 66

7. Hasil foto anantomi pelepah normal Posisi 17 ... 67

8. Hasil foto anantomi pelepah sengkleh Posisi 17 ... 69

9. Hasil foto anantomi pelepah normal Posisi 25 ... 71

10. Hasil foto anantomi pelepah sengkleh Posisi 25 ... 73

11. Hasil foto anantomi pelepah normal Posisi 33 ... 75

(12)

ABSTRACT

LILY JANIYANI: Influence of Land plantation and frond position the anatomical and physical properties in The phenomenon of Frond fracture elevation on Oil

Palm (Elaeis quineensis Jacq.). Stem under the supervision of EVALINA

HERAWATI, and ERWINSYAH.

Frond is a section in oil palm tree besides of flower and fruit. The cultivation oil palm were in many elevation. Frond fracture in palm oil was can cause the stop growth in plants. Frond fracture was can attacked the plants produced so as to decrease the value or the production of oil palm. This study was aim to provided information about the anatomical, physical properties as density of vascular bundle, moisture content, frond the weight and length of palm. For this purpose was a total of 12 frond palm at two elevations (<200 m dpl and 200-400 m dpl), two conditions (good frond and frond fracture) and 3 frond position (17, 25 and 33) from the frond of palm oil plantation were derived from experiments in PPKS Sentang hill and PTPN IV Balimbingan Siantar. Anatomical structure of frond the oil palm was dominated by vascular bundle and parenchyma. Moisture content of frond the oil palm was between 160-497%. The density of vascular bundle was between 37-71 vb/cm2. Frond the length of oil palm was beetwen 4-8 m and the weight was between 2-13 kg. Seen from frond fracture the weight and length of was bese frond (section A) must with stand 6x the weight of the frond upper end (section B) and load was so heavy of frond fracture influence on oil palm.

(13)

ABSTRAK

LILY JANIYANI: Pengaruh

Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Terhadap

Anatomi Dan Sifat Fisik Pada

Fenomena Pelepah Sengkleh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan ERWINSYAH.

Pelepah merupakan bagian dari tanaman kelapa sawit selain bunga dan buah. Penanaman kelapa sawit banyak dilakukan di beberapa elevasi lahan tanam. Sengkleh pada kelapa sawit dapat menimbulkan kematian pada tanaman. Sengkleh ini dapat menyerang pada tanaman menghasilkan sehingga dapat menurunkan nilai atau hasil produksi dari kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang anatomi, sifat fisis (kerapatan vascular bundle dan kadar air) dan sifat fisik pelepah kelapa sawit. Untuk maksud itu sebanyak 12 pelepah di dua elevasi (<200 m dpl dan 200–400 m dpl), dua kondisi (normal dan sengkleh) dan 3 posisi pelepah (17, 25 dan 33) dari pelepah kelapa sawit yang berasal dari kebun percobaan PPKS Bukit Sentang dan PTPN IV Balimbingan Pematang siantar. Struktur anatomi pelepah kelapa sawit didominasi oleh vascular bundle dan parenkim. Kadar air kelapa sawit berkisar antara 160 % - 497 %. Kerapatan vascular bundle berkisar antara 37–71 vb/cm2. Kisaran rata-rata panjang pelepah kelapa sawit 4–8 m. kisaran rata-rata-rata-rata berat pelepah kelapa sawit 2–13 kg. Dilihat dari berat dan panjang pelepah sengkleh bagian pangkal (A) harus menahan 6x bobot beban bagian ujung pelepah (B) sehingga berat pelepah mempengaruhi pelepah mengalami patah atau sengkleh pada kelapa sawit.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pengembangan tanaman kelapa sawit diawali tahun 1848 dan hingga tahun 2003 telah ditanam seluas 5.283.557 ha yang pada tahun 2005 naik menjadi 5.597.158 ha (Indriyati, 2008).

Tanaman kelapa sawit ini diproduksi dalam biomassa dan minyak. Dimana minyak diproduksi dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). Saat ini Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia kemudian Malaysia pada urutan kedua. Produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2006 sebesar 15,9 juta ton, sementara produksi CPO dunia tahun 2006 sebesar 36,8 juta ton. Meningkatnya produksi CPO Indonesia dibarengi pula dengan meningkatnya produksi PKO. Produksi PKO Indonesia sebesar 2,8 juta ton (Muluk dan Iwan, 2007)

Dengan meningkatnya penanaman kelapa sawit juga meningkatkan limbah/biomassa melimpah yang dihasilkan. Biomassa tersebut diperoleh dari pelepah, TKS (Tandan Kosong Sawit) dan batang sawit. Biomassa dari tanaman kelapa sawit ini dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku industri kayu. Kebutuhan kayu semakin sulit untuk dipenuhi mengingat luas hutan sebagai pemasok kayu terbesar di Indonesia semakin kecil. Sehingga peningkatan penanaman kelapa sawit dapat mengurangi kebutuhan kayu dan menjaga kelestarian hutan.

(15)

seperti produk kayu lapis dan papan partikel. TKS, pelepah daun, dan batang kelapa sawit mengandung lignoselulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk-produk serat. Paket teknologi yang telah dimanfaatkan dari pelepah kelapa sawit adalah pembuatan kertas cetak dan kertas industri serta pembuatan papan untuk furniture (Kurniawan et al., 2004).

Namun industri kelapa sawit yang terus berkembang ini memiliki kendala dalam produksinya yaitu pelepah pada tanaman kelapa sawit dapat mengalami patah pangkal pelepah yang disebut sengkleh. Patah pangkal pelepah di kebun lebih dikenal dengan istilah sengkleh, sering juga disebut daun terkulai. Biasanya tidak nyata merugikan secara ekonomi, kecuali bila patah pangkal diikuti dengan pembusukan stalk dari tandan buah. Penyakit ini sering ditemukan pada tanaman dewasa berumur >8 tahun (Lubis, 2008).

Patah pada pelepah kelapa sawit dapat menyebabkan tumbuhnya jamur sehingga dapat menimbulkan kematian pada tanaman. Patah pada pelepah ini dapat menyerang pada tanaman menghasilkan sehingga dapat menurunkan nilai atau hasil produksi dari kelapa sawit.

Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya, sengkleh pada pelepah kelapa sawit berhubungan erat dengan siklus pembuahan, dimana produksi merupakan petunjuk kuat terjadinya perubahan-perubahan fisiologis yang mengganggu kekuatan dan elastisitas mekanis dari jaringan-jaringan pangkal pelepah. Kurangnya air pada saat musim kemarau dapat menjadi pemicu munculnya gejala patah (Purba, 2009).

(16)

(kalium/magnesium) yang tinggi dan kandungan Ca (kalsium) yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman normal. Pengukuran panjang dan berat pelepah memberikan petunjuk kemungkinan adanya aspek-aspek mekanis dalam kasus sengkleh ini (Purba, 2009).

Secara komersial perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai dilakukan pada berrbagai elevasi lahan hingga mencapai dataran tinggi. Kecendrungan dilapangan, fenomena sengkleh ini dapat ditemukan pada berbagai elevasi lahan dan posisi pelepah kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan berdasarkan faktor elevasi lahan (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) dan posisi pelepah (17, 25 dan 33) terhadap anatomi dan sifat fisik pelepah sengkleh kelapa sawit.

Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian ini sehingga dapat ditentukan cara atau teknik penanggulangan yang efektif dan efisien dari patah pelepah tersebut serta sebagai bahan informasi guna pemanfaatan lebih lanjut yang dapat meningkatkan nilai tambah limbah kelapa sawit, khususnya pelepah kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh elevasi lahan terhadap anatomi dan sifat fisik pelepah yang mengalami sengkleh.

(17)

Hipotesis Penelitian

Adanya pengaruh elevasi lahan dan posisi pelepah terhadap anatomi dan sifat fisik (kadar air pelepah dan kerapatan vascular bundle) terhadap terjadinya sengkleh pada kelapa sawit.

Manfaat Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa sawit

Kelapa sawit atau yang sering disebut Elaeis quineensis Jacq, berasal dari bahasa Yunani Elaeis berasal dari kata Elaion yang berarti minyak dan quineensis

berasal dari kata Guinea yaitu pantai Barat Afrika, sedangkan Jacq merupakan singkatan dari Jacquin seorang botanis Amerika (Lubis, 2008).

Gambar 1. Kelapa Sawit.

(Sumber: Wikimedia project, 2009. Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit).

Kelapa sawit termasuk kelas Angiospermeae ordo Palmales, famili

Palmaceae, subfamili Palminea, genus Elaeis. Beberapa spesies kelapa sawit antara lain Elaeis quinesis Jacq, Elaeis adora. Istilah internasional “Oil Palm” Daun

Buah

Bunga

(19)

tidak hanya diartikan untuk Elaeis quinesis Jacq dari Afrika tetapi juga dua spesies lain dari Amerika yakni Elaeis oleivera atau Elaeis nelanococca dan

Elaeis odora atau Barcella odora (Risza, 1994).

Ekologi Kelapa Sawit

Iklim

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh didaerah antara 120 Lintang Utara dan 120 Lintang Selatan. Curah hujan optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit rata-rata 2.000-2500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Sinar matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan buah. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5-7 jam/hari. Selain curah hujan dan sinar matahari yang cukup, tanaman kelapa sawit memerlukan suhu yang optimum sekitar 24-280C untuk tumbuh dengan baik. Meskipun demikian, tanaman masih bisa tumbuh pada suhu terendah 180C dan tertinggi 320C. Kelembaban udara dan angin adalah faktor yang penting untuk menunjang pertumbuhan kelapa sawit. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80%. Kecepatan angin 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan (Risza, 1994).

Tanah

(20)

jumlah besar sangat baik untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sedangkan keasaman tanah menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4,0–6,5 sedangkan pH optimumnya adalah 5–5,5 (Fauzi et al., 2002).

Jenis kelapa sawit

Berdasarkan tebal tipisnya tempurung (cangkang) dan kandungan minyak dalam buah maka kelapa sawit dapat dibedakan dalam 3 tipe yakni:

1. Dura :

- Tempurung tebal (2 mm–8 mm)

- Tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar tempurung - Daging buah relatif tipis, yaitu 35–50% terhadap buah - Kernel (daging biji) besar dengan kandungan minyak rendah - Dalam persilangan, dipakai sebagai pohon induk.

2. Pisifera :

- Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada - Daging buah tebal, lebih tebal ari daging buah Dura

- Daging biji sangat tipis

- Tidak apat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis lain dan dapat dipakai sebagai pohon induk jantan.

3. Tenera :

- Hasil dari persilangan Dura dan Pisifera - Tempurung tipis (0,5 mm–4 mm)

(21)

- Tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relatif lebih kecil. 4. Macro Carya:

- Tempurung tebal sekitar (5 mm) - Daging buah sangat tipis.

Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan jumlah rendemen minyak sawit yang dikandungnya. Rendemen minyak paling tinggi terdapat pada varietes Tenera yaitu mencapai 22-24%, sedangkan pada varietes Dura hanya 16–18% (Fauzi et al., 2002).

Berdasarkan warnanya ada 3 varietes, yakni: Nigrescens, Virescens, dan

Albescens. Varietes yang dipakai untuk tanaman komersial adalah varietes

Nigrescens yang berasal dari Afrika (Risza, 1994).

Morfologi Tanaman Kelapa Sawit

Akar

Tanaman kelapa sawit berakar serabut membentuk perakaran primer, sekunder, terrier, dan kuarter. Disamping itu, tumbuh pula akar nafas yang munsul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Akar tertier dan kuarter banyak ditumbuhi bulu-bulu halus yang dilindungi oleh tudung akar. Kedua akar ini paling banyak ditemukan 2-2,5 m dari pangkal batang. Namun, sistem perakaran paling banyak ditemukan adalah pada kedalaman 0-20 cm pada lapisan olah tanah (Fauzi et al., 2002).

Batang

(22)

jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-45 cm/tahun. Tinggi maksimum yang ditanam diperkebunan antara 15-18 m sedangkan yang di alam mencapai 30 m (Fauzi et al., 2002).

Bunga

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecios) artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu suatu tandan. Bunga jantan bentuknya lonjong memanjang, ujung kelopak bunga agak meruncing dan garis tengah bunga lebih kecil dibandingkan dengan bunga betina. Sedangkan pada bunga betina bentuknya agak bulat dengan ujung kelopak bunga agak rata dan garis tengah bunga agak lebih besar. Pada tanaman muda tandan bunga jantan yang dihasilkan sekitar 4–6 tandan/ tahun tandan bunga/tahun. Untuk bunga betina, pada tanaman muda dihasilkan sebanyak 15-25 tandan bunga/tahun dan pada tanaman dewasa sebanyak 9–15 tandan bunga/tahun (Fauzi et al., 2002).

Buah

(23)

cukup tua mencapai 1.600 buah. Panjang buah antara 2–5 cm dan berat sekitar 20–30 gram/buah (Fauzi et al., 2002).

Daun

Daun kelapa sawit mirip daun kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk suatu pelepah yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5–9 m. Jumlah anak daun disetiap pelepah berkisar antara 250-400 helai (Fauzi et al., 2002).

Pelepah Kelapa Sawit

Jumlah kedudukan pelepah daun pada batang kelapa sawit disebut juga

phyllotaxis yang dapat ditentukan berdasarkan perhitungan susunan duduk daun, yaitu dengan menggunakan humus duduk daun 1/8. artinya, setiap datu kali berputar melingkari batang, terdapat duduk daun pelepah sebanyak 8 helai. Pertumbuhan melingkar duduk daun mengarah ke kanan atau ke kiri menyerupai spiral. Pada tanaman yang normal, dapat dilihat 2 set spiral berselang 8 daun yang mengarah ke kanan dan berselang 13 daun mengarah ke kiri (Fauzi et al., 2002).

(24)

Pelepah sawit meliputi helai daun, setiap satunya mengandung lamina dan midrib, racis tengah, petiol dan kelopak pelepah. Helai daun berukuran 55 cm hingga 65 cm dan menguncup dengan lebar 2,5 cm hingga 4 cm. Setiap pelepah mempunyai lebih kurang 100 pasang helai daun. Bilangan pelepah yang dihasilkan meningkat sehingga 30 hingga 40 ketika berumur tiga hingga empat tahun dan kemudiannya menurun sehingga 18 hingga 25 pelepah. Stomata atau rongga terbuka untuk menerima cahaya dalam proses fotosintesis wujud pada permukaan helai daun. Pelepah matang berukuran hingga 7,5 cm dengan petiol lebih kurang satu perempat daripada panjang pelepah serta mempunyai duri (Agustina, 2007).

Pelepah sawit mengandung protein sebesar 1,9%, lemak 0,5% dan lignin 17,4%. Karena memiliki kandungan lignin yang cukup tinggi, maka sebelum diberikan kepada ternak dilakukan perlakuan fisik, kimia, atau pun biologi terhadap pelepah untuk memutuskan ikatan selulosa maupun hemiselulosa dengan lignin. Pemberian daun sawit disarankan jangan melebihi 20% dari ransum, penggunaan daun sawit lebih dari 20% sebaiknya diberi pre-treatmen lebih dahulu karena daun sawit dibatasi karena tingginya kadar lignin (Efryantoni, 2009).

Sifat Fisik, Morfologi dan Komposisi Serat Pelepah Kelapa Sawit

(25)

Tabel 1. Sifat Fisik dan Morfologi Serat Pelepah Kelapa Sawit, Tandan Kosong dan Dephithed Bagasse

No Parameter Pelepah kelapa

sawit

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa panjang serat pelepah kelapa sawit berkisar antara 0,62–2,51 mm dengan panjang rata-rata 1,30 mm. Bila dikelompokkan ke dalam klasifikasi panjang serat menurut Klemm, maka serat pelepah kelapa sawit termasuk kedalam kelompok panjang serat sedang (0,9–1,6 mm) (Darnoko et al., 2001).

Tabel 2. Komposisi Pelepah Sawit

No Parameter Pelepah sawit Tandan kosong sawit 1

Kelarutan dalam air dingin Kelarutan dalam air panas Kelarutan dalam 1% NaOH

2,74

(26)

kilogram Phosfat, 176 kilogram Kalium Dioksida, dan 25 kilogram Mangan Oksida (Pontianak Post, 2005).

Batang dan pelepah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada prinsinya sebelum dapat dimanfaatkan sebagai pakan, produk samping kelapa sawit perlu ditingkatkan nilai nutrisnya dengan perlakuan fisik (pencacahan, penggilingan, pemberian tekanan uap), perlakuan kimia (NaOH, urea), biologis (fermentasi) maupun kombinasinya (Mathius, 2003).

Pengalaman peternak sapi di Malaysia pada usaha penggemukan sapi dengan skala 1.500 ekor, menggunakan komposisi makanan campuran dengan perbandingan 50% pelepah kelapa sawit dan 50% konsentrat (Fauzi et al., 2002).

Pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan pakan ternak harus mempertimbangkan aspek keseimbangan bahan organik di kebun, dimana biasanya pelepah sawit dikembalikan atau disebar ke kebun untuk menjaga tingkat kesuburan tanah serta mendukung usaha perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan (Efryantoni, 2009).

(27)

Anatomi Batang Kelapa Sawit

Di dalam kayu, parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan serta mengatur bahan makanan cadangan. Menurut Pandit dan Ramdan (2002), berdasarkan penyusunnya, parenkim dibagi atas dua macam yaitu:

1. Parenkim aksial (Parenkim), yang tersusun secara vertikal

2. Parenkim jari-jari (jari-jari kayu), yang tersusun secara horizontal

Berdasarkan distribusinya pada penampang lintang kayu, parenkim dibagi atas dua bagian besar yaitu parenkim apotrakeal dan parenkim para trakeal. Pada parenkim apotrakeal dan parenkim paratrakeal. Pada parenkim apotrakeal, sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim berdiri terpisah dari pembuluh (pori-pori) kayu, sedang pada parenkim paratrakeal, sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim terletak bersinggungan dengan pembuluh secara sepihak atau seluruhnya (Pandit dan Ramdan, 2002).

Kadar Air

Banyaknya air yang dikandung pada sepotong kayu disebut kadar air kayu (KA). Banyaknya kandungan air pada kayu bervariasi. Tergantung jenis kayunya, kandungan tesebut berkisar sekitar 40-300%, dinyatakan dengan persentase dari berat kayu kering tanur. Berat kayu kering tanur dipakai sebagai dasar, karena berat ini petunjuk banyaknya zat padat kayu (Dumanauw, 1990)

(28)

Kebanyakan sifat fisis kayu (selain berat) tidak dipengaruhi oleh perbedaan mengenai banyaknya air dalam rongga sel (Haygreen dan Bowyer, 1996).

Kondisi kadar air kayu dalam hubungannya dengan keberadaan air di dalam rongga/lumen sel dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. Macam-Macam Kondisi Kadar Air Kayu

No Kondisi kadar air (KA) Nilai Kondisi Rongga/Lumen dan Dinding Sel

1 KA Maksimal 40 – 400% Rongga/lumen sel penuh air, dinding sel jenuh air terikat

2 KA Basah Di atas TJS Rongga/lumen sel berisi air, dinding sel jenuh air terikat

3 KA Titik Jenuh Serat 28 – 30% Rongga/lumen sel kosong, dinding sel jenuh air terikat

4 KA Kering Udara 15 – 20% Rongga/lumen sel kosong, dinding sel mengandung sebagian air

5 KA kering Tanur ± 1% Rongga/lumen sel kosong, dinding sel kosong

(Hartono et al., 2005).

(29)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioproses Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia (Indonesian Oil Palm Research Institute) Medan dan pengambilan bahan penelitian diperoleh dari kebun percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Bukit Sentang, kecamatan Babalan Kabupaten Langkat dan kebun PTPN IV Balimbingan Pematangsiantar Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 – Desember 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelepah kelapa sawit yang mengalami sengkleh dan normal/tidak sengkleh yang diambil berdasarkan faktor elevasi lahan dan posisi pelepah. Bahan kimia safranin, xylol dan alkohol 30%, 50%, 70%, dan 100%.

(30)

Prosedur Penelitian

Pengambilan Bahan dan Pembuatan Contoh Uji

Pengambilan bahan penelitian yang dilakukan berdasarkan dua elevasi lahan yaitu pada elevasi lahan <200 m dpl di kebun percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Bukit Sentang Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat dengan tahun tanam 1998. Elevasi lahan 200–400 m dpl di Kebun PTPN IV Balimbingan Pematangsiantar dengan tahun tanam kelapa sawit yaitu 1996.

Adapun posisi pelepah yang diamati adalah posisi 17, 25 dan 33. Pelepah kelapa sawit yang diambil adalah pelepah yang mengalami sengkleh untuk setiap pengujian penelitian dan pelepah yang normal/tidak sengkleh sebagai kontrol pada setiap pengujian.

Metode Penelitian

Pengamatan Anatomi Pelepah

Pengamatan dilakukan terhadap bahan penelitian dengan pembuatan preparat dan dilakukan pengamatan dibawah mikroskop dan difoto.

Pembuatan preparat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

- Contoh uji dibuat berukuran 2x2x10 cm dari bidang lintang. Kemudian contoh uji dilunakkan dengan cara dipanaskan pada penangas

- Contoh uji disayat dengan menggunakan cutter

(31)

- Agar sayatan benar-benar bersih dari air sayatan, selanjutnya direndam dengan xylol

- Sayatan yang baik (tidak robek) ditempatkan di atas obyek glass, lalu ditutup dengan cover glass

- Diamati irisan melintang kelapa sawit tersebut berupa perubahan warna, keberadaan epidermis, parenkim, vascular bundle, xilem dan floem.

Pengujian Sifat Fisik

Pengujian sifat fisik bahan penelitian berupa pengujian kadar air pelepah, jarak patahan, berat pelepah, pengelompokan tipe dan bentuk pelepah dan kerapatan vascular bundle berdasarkan tingkat kerusakan.

Pengujian Kadar Air Pelepah

Kadar air adalah jumlah air yang terdapat pada kayu dibagi dengan berat kering tanur. Pengujian kadar air pelepah menggunakan British Standard 373-1975 Standard Test for Small Clear Spesimen. Cara penentuan kadar air pelepah dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm ditimbang berat awalnya (BA) kemudian di oven dengan suhu 103±20C sampai berat contoh uji konstan kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering oven (BKO).

Dihitung kadar air dengan rumus: KA Basah =

BKO BKO BA

X 100%

BA = Berat Awal

(32)

Pengukuran Berat dan Jarak Patahan

Pengukuran jarak patahan pelepah yang mengalami sengkleh dilakukan dengan mengukur jarak antara bagian pangkal pelepah hingga titik patahan (A) dan antara titik patahan hingga ujung pelepah (B) dan masing-masing (A dan B) ditimbang untuk mengetahui berat patahan pelepah.

Gambar 3. Pola Pengukuran Berat dan Jarak Patahan.

Pengelompokan Pelepah Sengkleh

Pengelompokan tipe dan bentuk pelepah yang sengkleh dilakukan secara visual dan diidentifikasi tipe dan bentuk menurut tingkat kerusakan (ringan, sedang dan berat) kemudian difoto.

Penghitungan Kerapatan Vascular bundle

Penghitungan distribusi kerapatan vascular bundle berdasarkan penampang melintang pelepah dan sepanjang pelepah. Penghitungan kerapatan

vascular bundle dilakukan dengan menggunakan penggaris khusus penghitung

vascular bundle. Jumlah vascular bundle yang diperoleh dari pengukuran tersebut kemudian dikonversi menjadi jumlah vascular bundle per cm2.

B

(33)

Pada pengukuran penampang melintang pelepah dan distribusi vascular bundle sepanjang pelepah, masing-masing pelepah dibagi menjadi lima bagian (A, B, C, D, dan E). Seperti gambar dibawah ini:

Gambar 3. Pola Pengukuran pengukuran distribusi vascular bundle sepanjang pelepah.

Pada pengukuran distribusi Vascular bundle sepanjang pelepah, masing-masing pelepah yang telah dibagi lima bagian dibagi menjadi 3 bagian sebagai ulangan A (a1, a2, a3), B (b1, b2, b3), C (c1, c2, c3), D (d1, d2, d3) dan E (e1, e2, e3). Pada masing-masing potongan tersebut ditempatkan alat pengukur pada posisi x1, x2 dan x3 hingga didapatkan x rata-rata, kemudian dihitung kerapatan

vascular bundle. Seperti terlihat pada Gambar 2:

Gambar 2. Pola Pengukuran Melintang Vascular Bundle. E

D C

B A

(34)

Analisa Data

Dari pengujian kadar air dan kerapatan vascular bundle yang telah dilakukan, selanjutnya data-data tersebut diolah untuk mengetahui pengaruh dari elevasi lahan dan posisi pelepah kelapa sawit terhadap adanya pelepah yang sengkleh. Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dengan dua faktor yaitu: elevasi lahan di atas permukaan air laut (m dpl) (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) dan posisi pelepah (17, 25 dan 33). Model statistik dari rancangan percobaan ini adalah:

Yijkl = µ + αi +βj + (αβ)ij+ ∑ijk (Sastrosupadi, 2000)

dimana :

Yijkl = Nilai pengamatan elevasi lahan i, kondisi dan posisi pelepah ke-j serta ulangan ke-k

µ = Rataan umum/nilai tengah

αi = Pengaruh akibat perlakuan elevasi lahan ke-i βj = Pengaruh akibat posisi pelepah ke-j

(αβ)ij = Pengaruh Interaksi antara elevasi lahan ke-i dengan posisi pelepah ke-j

∑ijk = Kesalahan percobaan pada elevasi lahan ke-i dengan posisi pelepah ke-j serta ulangan ke-k

Hipotesis yang digunakan:

(35)

H1: Perbedaan elevasi lahan dan posisi pelepah berpengaruh nyata terhadap terjadinya pelepah sengkleh pada tanaman kelapa sawit.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelepah kelapa sawit umumnya memiliki warna hijau dan tidak terdapat patahan atau kerusakan pada setiap bagian pelepah. Namun pelepah sengkleh memiliki perbedaan yaitu terdapat patah pada bagian pelepah sehingga terbentuk lekukan yang menyebabkan pelepah tersebut menggantung pada pohon. Awalnya daun yang semula hijau selanjutnya mengering dan berwarna coklat kehitaman pada daerah lekukan yang patah. Pelepah sengkleh dapat mengalami pembusukan dan terkadang terdapat jamur atau mikroorganisme di sekitar lekukan patah pelepah.

Fenomena pelepah sengkleh pada kelapa sawit banyak ditemukan pada nomor pelepah terbesar atau berada di lingkaran/rotasi terbawah tumbuhnya pelepah pada setiap pohon kelapa sawit. Menurut Agiariza (2009) nomor pelepah yang lebih besar mengindikasikan umur pelepah yang lebih tua, hal ini menunjukkan bahwa semakin tua umur pelepah maka tingkat kerusakan menjadi semakin besar. Pada Gambar 5 dapat dilihat pelepah sengkleh pada tanaman kelapa sawit.

Gambar 5. Pelepah Sengkleh pada Tanaman Kelapa Sawit.

(37)

Sentang, kecamatan Babalan dan pada elevasi lahan tanam 200-400 m dpl di kebun PTPN IV Balimbingan Pematang Siantar. Dua bulan sebelum dilakukan pengambilan pelepah telah lebih dulu dilakukan pemangkasan pelepah (pruning). Menurut Tim Penulis PS (2000), biasanya rotasi pruning dilakukan waktu 6-8 bulan. Untuk tanaman muda yang belum menghasilkan buah, pemangkasan dilakukan 6 bulan sekali. Sedangkan pada tanaman menghasilkan buah, 8 bulan sekali yaitu pada dua lingkaran daun tua.

Setiap lebar lekukan patahan yang terjadi bervariasi pada setiap pelepah kelapa sawit yang ditanam pada elevasi <200 m dpl dan 200-400 m dpl lahan tanam kelapa sawit. Umumnya memiliki lebar lekukan patahan yang ringan, sedang, dan berat.

Anatomi Pelepah Kelapa Sawit

(38)

Gambar 6. (a) Bentuk vascular bundle dan (b) Penampang Potongan Melintang pelepah.

Pengamatan sifat anatomis pada pelepah kelapa sawit dilakukan secara mikroskopis. Pengamatan ini dilakukan dengan mikroskop Unico dengan perbesaran 10 x. Pengamatan dilakukan arah melintang pelepah yang dibagi menjadi 5 bagian, yaitu bagian kiri dan kanan melintang pelepah, bagian adaksial, tengah, dan abaksial (Gambar 6b). Pengamatan ini dilakukan terhadap pelepah pada elevasi tanam <200 m dpl dan 200-400 m dpl setiap posisi pelepah 17, 25 dan 33. Sifat anatomis yang diamati berupa sel-sel yang membentuk jaringan pada pelepah seperti vascular bundle dan sel-sel parenkim pada bagian adaksial, tengah, abaksial dan kedua ujung pelepah. Sistem pembuluh yang tampak pada pelepah terdiri atas berkas yang tersebar diseluruh jaringan dasar.

Pada sayatan melintang, struktur antomi kelapa sawit terdiri atas epidermis, parenkim dan vascular bundle yang tersebar dan diselubungi oleh jaringan penyokong seperti sklerenkim dan kolenkim. Gambaran histology pelepah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 7.

b a

Tengah Abaksial

Adaksial

Ujung Vascular

(39)

Gambar 7. Histologi Pelepah Kelapa Sawit.

Histologi pelepah maupun batang kayu kelapa sawit berbeda dengan tumbuhan berkayu, struktur kayu hutan berlapis. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) dimana segera setelah pembentukan sel, sel-sel yang dibentuk ini membedakan diri dengan perubahan dalam ukuran, bentuk dan fungsinya kebagian tengah pohon, sel-sel mengalami proses evolusi, berubah ukuran dan bentuknya untuk akhirnya membentuk suatu cincin yang tidak terputus disekitar pusat pohon dan membentuk empelur, prokambium dan epidermis. Proses perubahan berlangsung terus. Sel-sel prokambium sebelah dalam terus mengalami perubahan untuk menjadi serupa xilem dan sel bagian luar prokambium mendekati ciri floem. Kedua lapisan ini disebut xilem primer dan floem primer. Cincin prokambium yang tinggal menjadi aktif dan jaringan ini disebut kambium vaskuler.

Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), kambium vaskuler dipandang mempunyai asal sekunder karena terbentuk sesudah meristem ujung. Karenanya sel-sel xilem dan floem yang dibentuk oleh meristem baru ini dapat disebut xilem sekunder dan floem sekunder. Pada palma semua sel prokambium secara khas

Vascular bundle

Epidermis

Parenkim

Xilem

(40)

membedakan diri menjadi xilem atau floem primer tanpa terbentuknya kambium vaskuler. Oleh karena itu, tumbuhan ini tidak membentuk xilem dan floem sekunder.

Epidermis

Epidermis merupakan jaringan yang terdapat paling luar pada setiap organ tumbuhan. Menurut Syarif (2009) dinding sel jaringan epidermis bagian luar berbatasan dengan lapisan udara mengalami penebalan, namun dinding sel jaringan epidermis bagian dalam yang berbatasan dengan jaringan lain tetap tipis.

Epidermis pelepah kelapa sawit (Gambar 7) terlihat keras karena mengandung lilin. Menurut Stern (1997), sel epidermis mengandung lemak yang disebut cutin yang terdapat dibagian luar permukaan kulit. Ketebalan ini berbeda pada setiap tumbuhan karena dipengaruhi oleh kandungan lilin. Struktur epidermis, khususnya ketebalan lilin di permukaannya, menentukan tingkat potensi pertukaran air antara tanaman dan lingkungan melalui proses evaporasi. Ketahanan dari epidemis kehilangan air pada umumnya lebih tinggi di tanaman itu sendiri dan lingkungan.

Parenkim

(41)

Pada tanaman monokotil lainnya seperti kelapa (Cocos nucifera L.) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Krisdianto (2006), parenkim pada tanaman kelapa berbentuk bundar sampai lonjong dan dinding sel serat lebih tebal dari dinding sel parenkim. Dengan demikian, parenkim pada kelapa sawit lebih mirip dengan parenkim yang terdapat pada kelapa.

Berbeda dengan parenkim pada beberapa jenis kayu hutan. Menurut Mandang dan Pandit (2007), parenkim kayu daun jarum mempunyai bentuk dan fungsi yang sama dengan kayu daun lebar. Parenkim tersebut ada yang berbentuk datar dan ada yang menyerupai buku (nodular).

Menurut Hidayat (2009), struktur sel parenkim beragam menurut fungsinya. Sel parenkim berfungsi dalam fotosintesis berisi klorofil, jaringannya disebut klorenkim. Dalam cairan sel ditemukan karbohidrat terlarut dan senyawa nitrogen. Sehingga parenkim berfungsi sebagai jaringan dasar yang berfungsi sebagai penyimpan makanan. Sedangkan jaringan penyokong hanya sedikit dibandingkan jaringan parenkim sehingga biasanya parenkim lebih banyak terdapat pada bagian pelepah yang masih tumbuh seperti ujung pelepah dibandingkan jaringan penyokong

Vascular bundle

(42)

Gambar 8. Susunan Vascular Bundle (a) Adaksial, (b) Tengah, (c) Abaksial, (d) Ujung Kiri, dan (e) Ujung Kanan.

Secara umum pada setiap pelepah pada elevasi dan nomor pelepah yang berbeda, Vascular bundle lebih banyak dan lebih tersusun rapat pada sisi adaksial dan abaksial dibandingkan dengan bagian tengah pelepah sedangkan bagian ujung pelepah lebih menyerupai ke bagian adaksial, seperti terlihat pada Gambar 8. Hal ini disebabkan karena lapisan epidermis lebih tebal pada bagian abaksial dan bagian ujung dan memiliki kandungan lilin yang tebal sehingga parenkim kurang berkembang dibagian tersebut.

(c) (b)

(a)

(43)

Menurut Purseglove (1990), batang kayu kelapa sawit ada yang memiliki jaringan penyalur berbentuk silinder lebar dimana vascular bundle akan lebih banyak di bagian tepi batang. Vascular bundle secara kontinyu mulai dasar sampai bagian atas batang, membengkok pada bagian tepi dan kembali menuju bagian tengah. Selanjutnya diketahui bahwa vascular bundle dibentuk secara spiral atau heliconal.

Tipe vascular bundle pada pelepah kelapa sawit adalah tipe kolateral tertutup dimana diantara xylem dan floem tidak terdapat kambium tetapi banyak terdapat parenkim penghubung seperti terdapat pada Gambar 9. Tipe ini dapat ditemukan pada setiap bagian (adaksial, tengah, abaksial dan kedua ujung pelepah) daerah pengamatan melintang pelepah seperti pada Gambar 8. Menurut literatur yang dikemukakan oleh Eames dan Laurence (2001) vascularbundle tipe kolateral terkadang dikelilingi oleh jaringan xylem dan floem. Floem terdapat disebelah luar xylem, yaitu pada bagian tepi cincin. Menurut Nugroho et al (2006) tipe kolateral dimana kondisi xilem dan floem terletak berdampingan dan tidak dijumpai adanya kambium dan adanya dijumpai parenkim sebagai penghubung. Xilem berfungsi sebagai pengangkut air, penyimpan makanan serta penyokong dan floem berfungsi mengangkut hasil fotosintesis, menyimpan cadangan makanan dan sebagai pendukung (Hidayat, 2009).

(44)

Gambar 9. Vascular bundle pada Pelepah bagian (a) abaksial, dan (b) tengah Pada kelapa sawit memiliki 1 sampai 3 buah pembuluh besar (vessel) pada tiap-tiap vascular bundle. Pembuluh ini terdapat ditengah maupun diujung sklerenkim seperti terlihat pada Gambar 9.

Secara umum tidak terdapat perbedaan antara vascular bundle pelepah sengkleh dan normal pada elevasi dan nomor pelepah yang berbeda. Perbedaan terdapat pada parenkim pada pelepah. Pada pelepah yang sengkleh parenkim mengalami perubahan warna menjadi coklat kehitaman (Lampiran 6). Sedangkan pada pelepah yang normal, parenkim tersusun teratur dan tidak terdapat perbedaan warna. Dapat dilihat pada Lampiran 7. Namun warna ini tidak secara keseluruhan terdapat di sepanjang badan pelepah. Perubahan warna ini hanya terdapat pada bagian pelepah di sekitar garis patah pelepah terutama yang mengalami pembusukan dan penyebarannya semakin lebar.

Menurut Eames dan Laurence (2001), vascular bundle berfungsi sebagai penyokong sebagian sel, sebagai pelindung dan mendukung atau penyokong beberapa jaringan lunak atau lemah. Kurang lebih vascular bundle memiliki

(45)

fungsi yang hampir sama dengan serat yaitu sebagai konduksi dan jaringan mekanik atau penguat. Menurut Fried (2010) pada tumbuhan berkayu terdapat jaringan meristematik yang disebut kambium vaskular diantara xilem dan floem. Berkas vascular dalam bentuk cincin, pusat batang terisi empulur.

Menurut Darmosarkoro et al (2001), kekeringan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada kondisi kering, penyerapan air dari tanah sangat terhambat sehingga tanaman kekurangan air. Kekurangan air yang berkelanjutan mengakibatkan tekanan turgor sel menurun sehingga tekanan ke arah luar pada dinding sel menurun. Kondisi tersebut menyebabkan proses pembesaran sel terganggu dan akhirnya menurunkan aktivitas pembelahan sel. Hal ini mengakibatkan proses pertumbuhan jaringan tanaman terhambat. Kekurangan air pada sel yang sangat parah mengakibatkan sel dan jaringan tanaman rusak dan kemudian mati.

Pengaruh Elevasi Lahan dan Posisi Pelepah Kelapa Sawit terhadap Distribusi Kadar Air Pelepah Sengkleh dan Normal

(46)

Gambar 10. Hubungan kadar air terhadap bagian pelepah kelapa sawit. Berdasarkan Gambar 10 distribusi kadar air ini berkisar antara 160-438%. Distribusi kadar air pelepah kelapa sawit normal pada masing-masing elevasi semakin menurun mulai dari pangkal (bagian A) hingga ujung (bagian E) pelepah. Sedangkan distribusi kadar air pelepah sengkleh kelapa sawit bagian tengah (C) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air bagian pangkal (A dan B).

Menurut Supriadi et al (1999) menyatakan kadar air kayu sawit pada arah ketinggian batang, dari lima segmen batang, bagian pangkal batang mengandung kadar air yang tinggi, menurun pada dua bagian diatasnya, kemudian naik dan menurun lagi pada bagian ujung batang.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Erwinsyah (2009), terjadinya fluktuasi sepanjang batang kelapa sawit dipengaruhi oleh kondisi batang, dimana kandungan atau proporsi komponen penyusun batang sangat menentukan kandungan air dalam kayu, khususnya jaringan parenkim.

(47)

Kadar air rata-rata pelepah kelapa sawit normal pada elevasi <200 m dpl lebih tinggi 6,36% dari pelepah kelapa sawit sengkleh. Kadar air pelepah normal yang diperoleh yaitu 322% dan pelepah sengkleh yaitu 302%. Sedangkan distribusi kadar air rata-rata pelepah kelapa sawit normal di elevasi 200-400 m dpl lebih tinggi 9,66%. Kadar air pelepah normal yang diperoleh yaitu 377% dan kadar air pelepah sengkleh yaitu 343%.

Gambar 11. Hubungan kadar air terhadap bagian pelepah kelapa sawit. Gambar 11 distribusi kadar air pelepah normal elevasi <200 m dpl menurun dari bagian pangkal A hingga bagian ujung E sedangkan pelepah sengkleh dielevasi yang sama, kadar air pelepah naik pada bagian B dan turun pada bagian C (tengah) dan kembali naik pada bagian D kemudian turun pada bagian E. Adanya kenaikan kadar air di bagian B ini mungkin dapat berpengaruh terhadap terjadinya sengkleh pada kelapa sawit.

(48)

Menurut Dwianto W dan Sri N. M (2008) menyatakan bahwa berat kayu dipengaruhi oleh kadar air dalam rongga sel. Susut dan penurunan berat kayu mempunyai hubungan linier sehingga dapat dinyatakan dengan model matematika. Pelepah kelapa sawit normal dan sengkleh di elevasi 200–400 m dpl mulai dari pangkal menurun hingga bagian C, naik di bagian D dan kembali turun pada bagian E (ujung pelepah) dapat dilihat pada Gambar 11.

Distribusi perbedaan kadar air terbesar terlihat pada pelepah posisi 25 di elevasi 200–400 m dpl. Kadar air rata-rata pelepah kelapa sawit normal di elevasi <200 m dpl yaitu 461% dan pelepah sengkleh 394%. Kadar air ini menunjukkan pelepah normal lebih rendah 16,83% dibandingkan pelepah sengkleh. Kadar air pelepah sengkleh (33%) elevasi 200–400 m dpl berbeda dengan kadar air pelepah normal (436%) di elevasi yang sama.

Diduga pelepah yang sengkleh pada posisi 25 di elevasi 200-400 m dpl terserang penyakit yang menyebabkan hampir keseluruhan pelepah pada pohon kelapa sawit tersebut mengalami sengkleh. Gejala penyakit ini dapat dilihat dari kondisi pelepah kelapa sawit ketika diperoleh sudah kering, ringan dan berwarna coklat.

(49)

Gambar 12. Hubungan kadar air terhadap bagian pelepah kelapa sawit nomor 33. Distribusi kadar air pelepah normal kelapa sawit posisi 33 di elevasi tanam <200 m dpl pada pangkal pelepah (bagian A) menurun ke bagian B hingga ke ujung pelepah sedangkan kadar air pelepah sengkleh bagian A menurun hingga bagian tengah pelepah (C), kemudian meningkat ke bagian D namun kembali turun pada bagian E (ujung pelepah).

Distribusi kadar air di elevasi lahan 200-400 m dpl, pelepah normal menurun dari pangkal hingga bagian C tetapi naik pada bagian D dan kembali turun pada bagian E. Sedangkan kadar air pelepah sengkleh naik dari pangkal ke bagian B dan turun ke bagian C hingga bagian D dan E. Adanya kenaikkan kadar air di bagian B ini mungkin dapat berpengaruh terhadap sengkleh pada kelapa sawit.

(50)

rata-rata pelepah sengkleh dielevasi <200 m dpl lebih tinggi 7,08% di elevasi 200-400 m dpl.

Kadar air berdasarkan posisi pelepah kelapa sawit normal (17, 25 dan 33) yang terdapat pada kedua elevasi (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) menurut data statistik pada lampiran 4 berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan posisi 17 berbeda nyata dengan posisi pelepah 25 dan 33 sedangkan posisi pelepah 25 tidak berbeda nyata dengan posisi 33. Terjadinya sengkleh pada posisi 17 ini dapat disebabkan ketika proses pemanenan di lapangan, ketidakmampuan pelepah kelapa sawit menahan bobot tandan buah kelapa sawit sehingga menyebabkan patah pada pelepah.

Distribusi kadar air yang diperoleh dari pelepah kelapa sawit normal yaitu 160-469% sedangkan kadar air pelepah yang mengalami sengkleh yaitu 167-497% (Lampiran 3). Distribusi ini diperoleh mulai dari pangkal hingga ujung pelepah berkisar 303-460% pada elevasi tanam kelapa sawit <200 m dpl. Perbedaan kadar air pelepah kelapa sawit antara bagian pangkal hingga ujung pada pelepah normal lebih rendah sekitar 43%.

Menurut Sucipto (2009) secara umum, air dalam kayu mengisi sel-sel penyusun kayu pada bagian dinding sel dan lumen (rongga sel). Air yang terdapat pada dinding sel disebut air terikat (bound water) yang mempengaruhi berat dan dimensi kayu, sedangkan air yang terdapat pada rongga sel disebut air bebas (free water) yang mempengaruhi berat kayu.

(51)

Kadar air berdasarkan posisi pelepah kelapa sawit sengkleh (17, 25 dan 33) yang terdapat pada kedua elevasi (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) menurut data statistik pada lampiran 5 berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan posisi 17 berbeda satu sama lain.

Menurut Dwianto W dan Sri N. M (2008), penelitian sifat fisik dan mekanik yang telah dilakukan sehubungan dengan prospek pemanfaatan jenis-jenis kayu dipengaruhi pada faktor-faktor alam. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi (1) jenis kayu; (2) umur dan tempat tumbuh; (3) letak dalam batang; (4) diameter; (5) kelembaban dan suhu; (6) cuaca dan jamur serta (7) kebakaran hutan.

Posisi pelepah pada kelapa sawit menandakan umur dari pelepah kelapa sawit tersebut. Posisi setiap pelepah kelapa sawit pada setiap rotasi tanam yaitu delapan pelepah pertahun. Pelepah dengan posisi 1-8 adalah rotasi pada tahun pertama. Sehingga pelepah pada posisi 17 adalah rotasi pada tahun ke-3, posisi pelepah 25 adalah rotasi pada tahun ke-4 dan posisi pelepah 33 adalah rotasi pada tahun ke-5. Jadi terjadinya sengkleh pada kelapa sawit dapat dipengaruhi oleh umur dari pelepah tersebut. Dan umumnya sengkleh lebih banyak ditemukan pada umur pelepah yang lebih tua.

(52)

Gambar 13. Kadar Air Pada Elevasi <200 m dpl dan 200-400 m dpl. Distribusi kadar air rata-rata pelepah kelapa sawit normal dielevasi <200 m dpl lebih tinggi 6,7% dari pelepah sengkleh. Kadar air rata-rata pelepah kelapa sawit normal yaitu 395% sedangkan pelepah sengkleh 370% (Gambar 10). Pada elevasi 200–400 m dpl distribusi kadar air pelepah normal yaitu 413% lebih tinggi 47,7% dari pelepah sengkleh yaitu 279,8%.

Berdasarkan data statistik pada lampiran 4 dan 5 diketahui bahwa kadar air berdasarkan elevasi lahan pelepah kelapa sawit (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) yang terdapat pada posisi pelepah (17, 25 dan 33) berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan belum diketaui elevasi yang berbeda nyata karena faktor elevasi yang dibandingkan ada dua elevasi. Untuk mendapatkan perbedaan tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan faktor lebih dari dua elevasi.

Nomor pelepah Nomor Pelepah

(53)

Menurut Muhdi (2004), faktor iklim dan keadaan tanah merupakan faktor dominan dalam pertumbuhan tanaman. Iklim terdiri atas unsur-unsur temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin, sedangkan keadaan tanah meliputi sifat-sifat fisik tanah, biologi dan kelembaban tanah. Respon tanaman sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada penampilan fisiologi dan morfologi tanaman. Sehingga perlu dilakukan pengukuran terhadap lingkungan yaitu pengaruh iklim dan keadaan tanah pada kedua elevasi secara langsung. Berdasarkan literatur yang dikemukakan oleh Saragih (2006), tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 24-280 C.

Kadar air berdasarkan interaksi posisi pelepah kelapa sawit normal (17, 25 dan 33) yang terdapat pada kedua elevasi (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) menurut data statistik pada lampiran 4 berpengaruh nyata. Terjadinya sengkleh pada pelepah kelapa sawit dapat juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut dapat berupa penyakit yang berada di lingkungan lahan tanam dan menyerang sebagian pelepah. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Darmosarkoro et al (2001), kekeringan secara tidak langsung mengakibatkan meningkatnya serangan penyakit di kelapa sawit, tetapi lebih diakibatkan oleh kondisi tanaman yang lemah. Seperti kelapa sawit yang terserang penyakit Ganoderma boninense

cendrung dipercepat karena tanaman sakit saat kekurangan air.

(54)

Hasil yang diperoleh ini menyerupai dengan kadar air batang kelapa sawit yang disebutkan oleh Bakar et al ( 1999) yang menyatakan kadar air batang kelapa sawit pada kondisi segar berkisar antara 134-500%. Prayitno (1995) menyatakan bahwa kadar air batang kelapa sawit berkisar antara 217-429%. Kadar air ini diukur dari pangkal ke ujung. Pengukuran yang dilakukan terhadap kayu kelapa sawit berumur kurang lebih 22 tahun, yaitu umur peremajaan perkebunan kelapa sawit. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Istie (2001), tingginya kadar air kayu (batang) kelapa sawit (khususnya kondisi segar) disebabkan oleh tingginya kandungan selulosa yang terdapat dalam vascular bundle dan rendahnya keawetan alami kayu kelapa sawit berkaitan dengan tingginya kandungan pati dan gula dalam parenkim.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2009), dibandingkan dengan kadar air batang monokotil lainnya seperti pinang juga lebih rendah, dimana kadar air batang pinang berkisar antara 218-622%. Namun lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kayu kelapa (100%) dan semakin kebawah akan semakin turun. Menurut Rahayu (2001) variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang mungkin terdapat dalam dinding atau dalam lumen sel kayu.

Analisis Jarak Patahan, Berat Pelepah, Pengelompokan Tipe dan Bentuk Pelepah Berdasarkan Tingkat Kerusakan

(55)

menjadi 2 bagian, yaitu bagian A dan B. Bagian A yang diukur mulai dari daerah pemotongan hingga bagian garis patah pelepah sengkleh dan bagian B yang diukur mulai dari garis patah pelepah sengkleh hingga ujung pelepah. Penimbangan pelepah kelapa sawit ini dilakukan tanpa penimbangan daun yang terdapat pada pelepah.

Tabel 4. Jarak, Berat dan Tingkat Kerusakan Pelepah Sengkleh dan Normal

Elevasi

A. Berat/jarak pelepah bagian pangkal yang patah hingga ke garis patah pelepah B. Berat/jarak pelepah dari bagian garis patah hingga ujung pelepah.

Berdasarkan Tabel 4, panjang pelepah sengkleh pada kedua elevasi sekitar 4,33–7,9 m dan berat antara 2,6–12,4 kg. Sedangkan untuk berat pelepah normal berkisar 10 kg dengan panjang 8 m.

(56)

terjadinya patah pelepah merupakan akibat beratnya beban pelepah yang melebihi kekuatan pangkal pelepah.

Pelepah normal lebih berat dibanding pelepah sengkleh. Hal ini dapat disebabkan pelepah yang mengalami sengkleh mengalami penurunan berat karena jaringan struktur pelepah yang mengalami pembusukan menyebabkan penurunan nutrisi dan air serta hasil fotosintesis yang mengisi rongga sel pelepah sehingga pelepah menjadi kering. Seperti yang terjadi pada pelepah sengkleh posisi 25 pada elevasi tanam 200-400 m dpl. Pelepah yang diperoleh berwarna coklat, kering hingga beratnya hanya 2,6 kg.

Analisis ini juga dilakukan dengan identifikasi kerusakan pelepah yang dibagi dalam kategori sedang, ringan dan berat. Yang dapat terlihat pada gambar 14 dan 15.

Gambar 14. Kerusakan pelepah pada elevasi <200 m dpl pada nomor pelepah a) 17, b) 25, dam c) 33.

Kerusakan pelepah ditandai dengan garis patah, perubahan warna, lebar garis patah dan serangga serta jamur yang terdapat di sekitar garis patah pelepah. Pada kelapa sawit dengan elevasi tanam <200 m dpl (Gambar 14) dalam kondisi ringan ditemukan pada posisi pelepah 17 (Gambar 14a) dan 25 (Gambar 14b) sedangkan kerusakan sedang ditemukan posisi pelepah 33 (Gambar 14c). Pada

C B

(57)

pelepah 17 dan 25 terlihat garis patah yang tidak terlalu lebar, disekitar pelepah belum mengalami perubahan warna seperti posisi 33. Dan dalam kondisi demikian, kemungkinan pelepah ini baru mengalami patah. Berat pelepah yang mengalami sengkleh pada posisi 17 yaitu 8,1 kg dan posisi pelepah 25 yaitu 9,7 kg.

Berdasarkan dari suatu penelitian yang dilakukan oleh (Listia et al, 2006) menyatakan bahwa telah terjadi indikasi kompetisi dalam memanfaatkan radiasi surya yang terlihat dari pertumbuhan panjang rachis pelepah daun kelapa sawit. Pertumbuhan rachis yang cepat akan menyebabkan tajuk pertanaman kelapa sawit akan saling bertempaan (overlapping) pada usia tanaman yang lebih dini, sehingga dikhawatirkan efektifitas pemanfaatan radiasi surya menjadi lebih rendah yang akan mempengaruhi produktifitas tanaman pada masa-masa berikutnya.

Kerusakan pelepah kelapa sawit pada penanaman elevasi tanam 200–400 m dpl (Gambar 15), pelepah sengkleh dalam keadaan kerusakan sedang dan berat. Kerusakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Kerusakan pelepah pada elevasi 200-400 m dpl pada nomor pelepah a) 17, b) 25, dam c) 33.

C B

(58)

Pada pelepah 17 (Gambar 15a) kerusakan dalam kondisi sedang, lebar patahan cukup besar dan timbul warna hitam disekitar garis patah. Posisi pelepah 25 (Gambar 15b) dikategorikan dalam kerusakan berat karena terjadi perubahan warna hijau menjadi coklat pada keseluruhan badan pelepah dan kering. Sedangkan posisi pelepah 33 (Gambar 15c) dikatakan dalam keadaan rusak berat karena adanya jamur yang ditandai dengan adanya warna putih disekitar garis patah selain lebar patah yang cukup luas. Berat pelepah sengkleh pada posisi 33 yaitu 12,4 kg.

Berat dan panjang pelepah juga berpengaruh terhadap terjadinya sengkleh pada pelepah kelapa sawit. Berdasarkan hasil pengukuran pelepah sengkleh yang diperoleh, rata-rata jarak pelepah bagian A 0,30 m dengan berat 1 kg harus menahan 6x berat bagian B yaitu sebesar 6,63 kg dengan panjang 6,26 m. Menurut Purba (2009), pengukuran panjang dan berat pelepah memberikan petunjuk kemungkinan adanya aspek mekanis dalam kasus sengkleh. Hal ini bisa terjadi terutama karena berat rakhisnya jauh lebih besar, rerata berat helaian daun dan pangkal pelepah lebih lebar dibandingkan dengan tanaman biasa.

Terjadinya sengkleh pada pelepah kelapa sawit juga dapat terjadi karena adanya tanaman tersebut terserang penyakit. Kondisi ini ditemukan pada pelepah kelapa sawit posisi 17 dan 25 yang ditanam pada elevasi 200-400 m dpl. Berdasarkan waktu pengambilan sampel pelepah ini di lapangan, hampir secara keseluruhan pelepah pada tanaman kelapa sawit mengalami sengkleh. Berdasarkan beberapa sumber, salah satunya yaitu menurut Utomo dan Swanto (2006) menyatakan tanaman kelapa sawit yang terinfeksi penyakit lethal wilt

(59)

klorosis, sedangkan daun-daun bagian tengah dan bawah mengering dengan cepat serta terjadi pembusukan pada tandan buah dan akar. Sumber lain PPKS (2006) juga menyebutkan gejala Ganoderma boninense juga menyebutkan penyakit ini ditandai dengan daun yang menguning pucat diikuti dengan akumulasi daun tombak. Pada gejala lebih lanjut ditandai dengan patahnya pelepah bagian bawah dan menggantung (sengkleh).

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari mandor kebun dilapangan, penyebab terjadinya sengkleh pada beberapa tanaman kelapa sawit di lokasi pengambilan sampel disebabkan oleh penyakit ganoderma. Menurut Saragih dan Derom (2006), adapun teknik pengendalian yang biasa dipakai untuk mengendalikan penyakit ini yaitu melakukan sensus dan pemakaian fungisida. Terhadap tanaman yang terserang penyakit ganoderma dilakukan penumbangan serta pembongkaran agar tidak terjadi penyebaran atau infeksi terhadap tanaman lain.

Gejala yang ditimbulkan penyakit ganoderma yaitu menurut Susanto et al

(60)

Pembagian tingkat kerusakan ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Agiariza (2009) yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan ringan pelepah kelapa sawit yang mengalami sengkleh yaitu 6,2-10 kg, untuk tingkat kerusakan sedang yaitu berkisar 9-14,2 kg sedangkan untuk tingkat kerusakan berat memiliki beban berkisar 10,5-14,8 kg. Lebar pelepah kelapa sawit yang mengalami sengkleh berkisar 60-100% yang terjadi pada bagian permukaan bawah pelepah.

Pengaruh Elevasi dan Posisi Pelepah Kelapa Sawit terhadap Kerapatan

Vascular Bundle Pelepah Sengkleh dan Normal

Penghitungan distribusi kerapatan vascular bundle pelepah kelapa sawit dilakukan dengan pembagian melintang pada 3 bagian, yaitu bagian adaksial– ujung kiri pelepah, adaksial–abaksial dan adaksial–ujung kanan pelepah. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis, pelepah kelapa sawit memiliki karakteristik vascular bundle yang sama untuk setiap bagiannya yaitu bagian pangkal hingga bagian ujung pelepah. Distribusi kerapatan tersebut berdasarkan elevasi lahan dan posisi pelepah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kerapatan vascular bundle pada Elevasi <200 m dpl dan 200-400 m dpl

Elevasi

X1= Kerapatan rata-rata vascular bundle dari adaksial – ujung kiri pelepah X2= Kerapatan rata-rata vascular bundle dari adaksial – abaksial

(61)

Distribusi kerapatan vascular bundle pelepah normal di elevasi <200 m dpl yaitu 57 vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 55vb/cm2. Distribusi kerapatan

vascular bundle pelepah normal di elevasi 200-400 m dpl yaitu 49vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 46 vb/cm2. Hasil penghitungan yang diperoleh lebih rendah dengan penelitian sebelumnya terhadap kerapatan vascular bundle pada batang kelapa sawit menurut Supriadi (1999) kerapatan vascular bundle kayu sawit berkisar antara 0,84 sampai 1,01 bh/mm2. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena metode penghitungan vascular bundle dilakukan pada pelepah kelapa sawit.

Kerapatan vascular bundle berdasarkan elevasi lahan pelepah kelapa sawit (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) yang terdapat pada posisi pelepah (17, 25 dan 33) menurut data statistik pada lampiran 6 dan 7 berpengaruh nyata. Menurut Muhdi (2004), faktor iklim dan keadaan tanah merupakan faktor dominan dalam pertumbuhan tanaman. Iklim terdiri atas unsur-unsur temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin, sedangkan keadaan tanah meliputi sifat-sifat fisik tanah, biologi dan kelembaban tanah. Respon tanaman sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada penampilan fisiologi dan morfologi tanaman. Jadi faktor iklim berpengaruh terhadap penampilan fisiologi dan morfologi. Penampilan tersebut ditandai dengan kondisi daun tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah.

(62)

Perbedaan kerapatan vascular bundle ini dapat terjadi karena faktor tahun tanam dan lokasi pengambilan sampel yang berbeda.

Distribusi kerapatan vascular bundle pelepah normal pada posisi pelepah 17 di elevasi <200 m dpl yaitu 60vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 67vb/cm2. Dengan adanya perbedaan distribusi kerapatan vascular bundle antara pelepah normal dan sengkleh, terjadinya sengkleh pada pelepah kelapa sawit posisi 17 dapat juga disebabkan karena pelepah kelapa sawit sengkleh yaitu pada bagian A (pangkal) harus menahan 6x berat beban B (ujung) pelepah.

Distribusi kerapatan vascular bundle pelepah normal pada posisi pelepah 25 di elevasi <200 m dpl yaitu 56vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 56vb/cm2. Terjadinya sengkleh pada pelepah kelapa sawit posisi 25 dapat juga disebabkan karena adanya perbedaan kadar air pada pelepah tersebut dan pelepah kelapa sawit sengkleh yaitu pada bagian A (pangkal) yang harus menahan 6x berat beban B (ujung) pelepah.

Kerapatan vascular bundle pada pelepah sengkleh posisi 33 di elevasi <200 m dpl dan posisi 17 di elevasi 200-400 m dpl lebih rendah dibanding pelepah normal kelapa sawit di elevasi dan posisi yang sama. Distribusi kerapatan

vascular bundle pelepah normal pada posisi pelepah 33 di elevasi <200 m dpl yaitu 54vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 42vb/cm2. Distribusi kerapatan

vascular bundle pelepah normal pada posisi pelepah 17 di elevasi 200-400 m dpl yaitu 57vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 44vb/cm2.

(63)

pelepah kelapa sawit posisi 25 di elevasi 200-400 m dpl dapat disebabkan oleh berat bagian A (pangkal) yang harus menahan 6x berat bagian B. serta dapat juga dipengaruhi oleh kondisi pelepah. Kondisi pelepah ini berupa perubahan warna hijau menjadi coklat dan penurunan berat pelepah yang besar dari berat pelepah normal pada posisi dan elevasi yang sama. Diduga pada pelepah ini sehingga mengalami sengkleh juga dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang pelepah tersebut.

Distribusi kerapatan vascular bundle pelepah normal pada posisi pelepah 33 di elevasi 200-400 m dpl yaitu 46vb/cm2 dan pelepah sengkleh yaitu 46vb/cm2. Kerapatan vascular bundle pada pelepah sengkleh posisi 33 di elevasi 200-400 m dpl tidak berbeda dengan kerapatan vascular bundle pelepah normal. Sehingga terjadinya patah pada pelepah ini dapat dipengaruhi dari berat, panjang dan kerusakan pelepah.

Distribusi kerapatan vascular bundle mulai dari pangkal meningkat sampai ujung pelepah kelapa sawit. Peningkatan kerapatan vascular bundle ini dapat diketahui pada tiap posisi pelepah (17, 25 dan 33) di kedua elevasi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, umumnya kerapatan vascular bundle lebih rendah dibagian tengah pelepah. Distribusi kerapatan vascular bundle pada bagian pangkal (A) pelepah kelapa sawit yang mengalami sengkleh lebih rendah 28% dibandingkan bagian B pelepah yang ditanam pada kedua elevasi.

Berdasarkan data statistik pada lampiran 6 kerapatan vascular bundle

(64)

berbeda nyata dengan posisi pelepah yang lainnya (17 dan 25). Sedangkan pengaruh posisi terhadap pelepah 17 tidak berbeda nyata dengan pelepah 25.

Menurut Balfas (2004), distribusi jaringan vascular pada batang kelapa sawit beragam menurut arah radial dan longitudinal. Pola penyebaran secara umum pada tanaman tua maupun yang muda menunjukkan adanya penurunan jumlah jaringan vascular dari luar ke dalam batang, dan penambahan jumlah jaringan dari pangkal kearah tajuk pohon.

Berdasarkan data statistik pada lampiran 7 kerapatan vascular bundle

pelepah sengkleh pada berbagai posisi pelepah (17, 25 dan 33) di elevasi (<200 m dpl dan 200-400 m dpl) memiliki pengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa pengaruh dari posisi pelepah berbeda nyata pada posisi 17 yang berbeda nyata dengan posisi pelepah yang lainnya (25 dan 33). Sedangkan pengaruh posisi terhadap pelepah 25 tidak berbeda nyata dengan pelepah 33..

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agiariza (2009), rendahnya nilai kerapatan diperkirakan dapat berpengaruh terhadap kekuatan jaringan untuk menyokong bentuk tumbuhan. Rendahnya jaringan penyokong yang terdapat pada pelepah kemungkinan besar dapat menyebabkan pelepah mengalami sengkleh. Rendahnya jaringan penyokong pada tumbuhan dapat mengakibatkan tumbuhan tidak mampu menahan bentuk gangguan lingkungan seperti adanya angin ataupun tidak mampu menahan beban pelepah yang terlalu berat.

(65)

5-6 km/jam. Pada kondisi angin yang cepat, kemungkinan pelepah bagian pangkal (A) tidak mampu menahan 6 x dari berat pelepah bagian ujung (B) sehingga pada kondisi tersebut pelepah banyak mengalami sengkleh.

Selain itu kecenderungan di lapangan menunjukkan bahwa kasus sengkleh lebih banyak ditemukan pada musim kemarau dibandingkan musim hujan. Cekaman air pada musim kemarau dapat menyebabkan tanaman cenderung mengabsorpsi air lebih banyak ketika musim hujan, sehingga pangkal pelepah tidak cukup kuat menahan bobot pelepah.

Menurut Darmosarkoro et al (2001), kekeringan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada kondisi kering, penyerapan air dari tanah sangat terhambat sehingga tanaman kekurangan air. Kekurangan air yang berkelanjutan mengakibatkan tekanan turgor sel menurun sehingga tekanan ke arah luar pada dinding sel menurun. Kondisi tersebut menyebabkan proses pembesaran sel terganggu dan akhirnya menurunkan aktivitas pembelahan sel. Hal ini mengakibatkan proses pertumbuhan jaringan tanaman terhambat. Kekurangan air pada sel yang sangat parah mengakibatkan sel dan jaringan tanaman rusak dan kemudian mati.

Pada kayu hutan, menurut Haygreen dan Bowyer (1996) serat atau trakeid serabut dalam struktur kayu hutan memegang fungsi utama sebagai penunjang mekanis. Oleh karena itu fungsi vascular bundle pada tanaman kelapa sawit sama dengan fungsi serat pada kayu hutan.

(66)

Gambar

Gambar 1. Kelapa Sawit. (Sumber: Wikimedia project, 2009. Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit)
Tabel 1. Sifat Fisik dan Morfologi Serat Pelepah Kelapa Sawit, Tandan Kosong dan Dephithed Bagasse
Tabel 3.  Macam-Macam Kondisi Kadar Air Kayu
Gambar 3. Pola Pengukuran Berat dan Jarak Patahan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Semakin besar persentase campuran pelepah terhadap cangkang sawit, maka akan meningkatkan nilai kerapatan, keteguhan tekan, kadar air, zat terbang, dan kadar abu, tetapi

Walaupun semua pupuk organik cair yang dibuat dari limbah pelepah kelapa sawit belum memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri

Selain adanya variasi berat jenis pada kelapa sawit ( E. guineesis Jacq) disebabkan oleh struktur anatomi kayunya, dimana bagian tengah dari pangkal ke ujung didominasi oleh

Selain adanya variasi berat jenis pada kelapa sawit ( E. guineesis Jacq) disebabkan oleh struktur anatomi kayunya, dimana bagian tengah dari pangkal ke ujung didominasi oleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bokashi kayambang berpengaruh pada pertambahan tinggi, pertambahan jumlah pelepah daun, berat basah bibit, berat kering

Pemberian tandan kosong kelapa sawit dalam bentuk mulsa dapat menambah unsur hara, meningkatkan kandungan bahan organik yang sangat diperlukan bagi perbaikan sifat fisik dan

Komponen penyusun kimia parenkhim pelepah sawit telah didapat dan beberapa sifat fisik dan mekanik bahan kering parenkhim pelepah sawit telah dilakukan pengukuran dan perhitungan

Penelit ian ini dilaku kan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia asap cair (Liquid Smok e) yang terdapat pada cangkang dan tandan kosong kelapa sawit (Elaeis