• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pelimpahan Wewenang Dalam Kegiatan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaran Perumahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pelimpahan Wewenang Dalam Kegiatan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaran Perumahan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

D. Hambatan yang Dihadapi Pengembang dalam Pelaksanaan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 93 B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(2)

Tinjauan Yuridis Pelimpahan Wewenang dalam Kegiatan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan

Affan Mukti, SH.,MHum.* Zaidar, SH.,MHum.**

Soraya Fadillah*** ABSTRAK

Rumah mempunyai peran strategis sebagai sarana pembinaan, pendidikan dan pembentukan watak serta kepribadian bangsa. Kualitas dan kuantitas rumah yang dibutuhkan terus meningkat seiring dengan perkembangan manusia. Kondisi ini berkaitan pula pada ketersediaan lahan dan pola kebijakan pertanahan sebagai faktor penting yang menentukan dimana dan bagaimana perumahan akan dibangun. Lahirnya otonomi daerah mempengaruhi pola kewenangan pertanahan yang awalnya terpusat pada pemerintah pusat menjadi teralih kepada pemerintah daerah. Berkembangnya tuntutan otonomi penuh oleh daerah justru menimbulkan konflik kepentingan, sebab jadi terdapat dua lembaga yang berwenang menyelenggarakan kebijakan pertanahan yaitu Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah. Pelimpahan dan pembagian kewenangan pertanahan yang tidak jelas hanya akan mengacaukan tertib administrasi pertanahan yang telah diupayakan selama ini. Dinamika kebijakan pemerintah dalam mengelola masalah pertanahan tersebut, tentu akan berpengaruh pada pola penyelenggaraan perumahan di Indonesia terutama menyangkut masalah kewenangan dalam proses perizinan dan administrasi pertanahan dimana masyarakatlah yang akan dirugikan apabila tidak adanya kejelasan dan jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam ini adalah bagaimana konsep pelimpahan wewenang di bidang pertanahan bagi penyelenggaraan perumahan, bagaimana pembagian kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara kebijakan pertanahan setelah lahirnya otonomi daerah, serta bagaimana mekanisme administrasi pertanahan bagi penyelenggaraan perumahan serta kendala-kendala apa yang umumnya dihadapi oleh pihak pengembang dalam hal kewenangan administrasi pertanahan.

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai norma dan kondisi penerapan hukumnya. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran bahan-bahan kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, serta melalui wawancara terstruktur.

(3)

kewenangan BPN maupun kewenangan pemerintah daerah masih belum dilaksanakan secara efektif, terutama dalam hal mekanisme pengadministrasian pertanahan yang tidak cermat dan masih kurang bertanggung jawab menetukan kebenaran materilnya serta pelaksanaan kewenangan pengawasan yang juga belum berjalan efektif.

Kata kunci : Pelimpahan Wewenang, Penyelenggaraan Perumahan

∗ Dosen Pembimbing I

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana pembinaan keluarga dan pendidikan dasar dan juga berfungsi dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif baik untuk saat ini maupun bagi kemajuan di masa akan datang. Sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia.1

1

Penjelasan Umum, UU No. 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

kualitas dan kuantitas rumah yang dibutuhkan manusia akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Perkembangan ini akan berpengaruh pula pada pola penyediaan perumahan bagi masyarakat terutama dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UUPP) yang baru diberlakukan.

(5)

Kebutuhan terhadap tanah sebagai sumber bagi kelangsungan hidup terus meningkat seiring dengan perkembangan manusia. Keberadaan tanah secara fisik yang relatif selalu tetap, kerap menimbulkan benturan kepentingan dan sering kali justru berujung pada sumber konflik di tengah kehidupan masyarakat.

Saat ini, masalah pertanahan bukan hanya timbul sebagai reaksi dari ego kepentingan antar individu, antar kelompok masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan pemerintah saja, melainkan telah berkembang menjadi permasalahan yang lebih kompleks menyangkut tindakan tarik-menarik kewenangan antar lembaga di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan yang dimaksud disini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Regulasi yang dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah menyangkut bidang pertanahan seringkali bersifat multitafsir. Pada dasarnya permasalahan tersebut muncul akibat interpretasi yang keliru dalam hal memahami peraturan perundang-undangan khususnya mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan.

(6)

pemerintah pusat untuk mengawasi pelaksanaannya sebagai konsekuensi bentuk negara kesatuan.2

Hal ini sejalan dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa kewenangan pertanahan itu adalah kewenangan negara dalam arti pemerintah pusat, yang dalam hal ini memang dapat dikuasakan kepada daerah, dengan syarat sesuai dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangan yang berlaku.

Format negara kesatuan inilah yang memberikan pengaruh kuat terhadap karakter hubungan pusat dan daerah di Indonesia selama ini termasuk dalam hal kebijakan pertanahan. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan yaitu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pertanahan, norma, standar, pedoman, dan termasuk pula mengenai pelaksanaan koordinasi pelayanan di bidang pertanahan, yang dapat diacu secara nasional. Hal ini diperlukan demi keseragaman, kesatuan, dan keutuhan sistem pertanahan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3

2

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 4.

3

Lihat Pasal 2, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria.

(7)

Semula, urusan agraria termasuk wewenang Menteri Agaria. Lalu tahun 1960 UUPA mulai diberlakukan. Tahun 1962 terjadi perubahan dalam struktur organisasi pemerintahan. Dengan Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1962, digabungkanlah Departemen Pertanian dan Departemen Agraria. Kemudian, dengan ditetapkannya Kepres Nomor 170 Tahun 1966, Departemen Agraria ditiadakan dan dimasukkan ke dalam Departemen Dalam Negeri. Ketentuan ini turut memperluas wewenang bidang agraria yang dilimpahkan kepada instansi di daerah. Kewenangan tersebut dapat dilihat pada ketentuan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, yang memberikan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada masing-masing Kepala Daerah dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat.4

Akhirnya, pada tahun 1988 dengan Kepres Nomor 26 Tahun 1988 dibentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkeduduk an di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

5

4

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakrta, Djambatan, 2008, hal. 121.

5

(8)

menunjukkan sifat sentaralistik sistem pertanahan Indonesia, sebab seluruh kebijakan di bidang pertanahan merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Kemudian keadaan menjadi berubah dengan lahirnya kebijakan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai produk

euforia reformasi membawa perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia dari

yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Pasal 11 ayat (2) UU ini menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja, telah memberikan kekuasaan yang amat besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya masing-masing.

Peraturan ini kemudian disempurnakan kembali dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Menyangkut masalah pertanahan, ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang ini tidak pula jauh berbeda dengan undang-undang terdahulunya. Berdasarkan rumusan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme kebijakan pertanahan tersebut sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.6

Interpretasi yang umumnya terbentuk dalam pemahaman penyelenggara pemerintahan di daerah adalah aturan tersebut pada dasarnya telah menyerahkan

6

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang

(9)

seluruh kewenangan pertanahan menjadi kewenangan daerah. Arus orde reformasi yang kuat menimbulkan gejolak di daerah untuk menuntut pemerintah pusat segera menyerahkan kewenangan pertanahan dalam rangka otonomi daerah. Tetapi sampai pada perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008, juga tidak diupayakan untuk menyempurnakan kebijakan mengenai kewenangan pertanahan yang lebih jelas. Sehingga dalam pelaksanaan tugas teknis di lapangan terjadi keraguan dan kebingungan, baik dari pihak aparatur penyelenggara pelayanan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan pertanahan.

Konflik kepentingan ini semakin nyata dengan keluarnya peraturan yang menguatkan fungsi dan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, menyangkut pelimpahan kewenangan pertanahan. Peraturan tersebut dinilai mengurangi kewenangan daerah dan bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

(10)

permasalahannya adalah bagaimana pemerintah pusat dapat meletakkan kebijakan tersebut secara proporsional tanpa mengabaikan hak-hak pemerintahan di daerah sebagai daerah otonom.

Dinamika kebijakan pemerintah dalam mengelola masalah pertanahan tersebut, tentu akan berpengaruh pada pola penyelenggaraan perumahan di Indonesia terutama menyangkut masalah kewenangan dalam proses perizinan dan administrasi pertanahan.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang muncul terkait dengan kewenangan kebijakan pertanahan, yaitu :

1. Bagaimana konsep pelimpahan wewenang di bidang pertanahan terhadap penyelenggaraan perumahan?

2. Bagaimana pembagian kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara kebijakan pertanahan setelah lahirnya otonomi daerah?

(11)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Secara umum penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, berdasarkan perumusan masalah yang telah di kemukakan diatas maka tujuan penulisan ini secara khusus adalah :

1. Untuk mengetahui konsep kebijakan dan pelaksanaan pelimpahan wewenang di bidang pertanahan.

2. Untuk mengetahui proporsi pembagian kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara kebijakan pertanahan setelah lahirnya otonomi daerah.

3. Untuk mengetahui mekanisme administrasi pertanahan bagi penyelenggaraan perumahan serta kendala-kendala yang umumnya dihadapi oleh pihak pengembang selaku pelaksana pembangunan perumahan.

Selanjutnya penulisan skripsi ini juga diharapkan akan memberikan manfaat untuk :

1. Manfaat secara teoritis

(12)

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penulisan skripsi diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapapun yang memiliki ketertarikan pada bidang agraria, khususnya mengenai pelaksanaan pelimpahan kewenangan pertanahan bagi penyelenggaraan perumahan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Pelimpahan Wewenang dalam Kegiatan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan”. Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa skripsi ini belum pernah dibahas sebelumnya. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan kewenangan administrasi pertanahan berbeda pembahasan pokok permasalahannya dengan permasalahan di dalam tulisan ini. Pembahasan skripsi ini dilakukan secara jujur dan rasional, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1.

Pengertian Wewenang

(13)

pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan kewenangan pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.7

P. Nicolai berpendapat bahwa kewenangan merupakan kemampuan untuk melaukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, mencakup mengenai timbul dan lenyapnya tindakan hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tetentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.8

Dan menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Apabila dikaitkan dengan otonomi daerah, maka hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya dan kewajiban secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.9

7

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 101.

8

Ibid, hal. 102. 9

(14)

2. Pelimpahan wewenang

Pelimpahan wewenang umumnya dilakukan di dalam suatu struktur keorganisasian, seperti lembaga negara. Lembaga negara dibentuk berdasarkan konstitusi yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Berdasarkan atribusi, pimpinan suatu lembaga negara memiliki tugas dan wewenang atas ketetapan undang-undang tersebut. Tetapi kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan lembaga negara tersebut secara langsung untuk keseluruhannya. Maka, dalam pelaksanaannya secara teknis di lapangan, pimpinan lembaga negara dapat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat lainnya untuk membantu melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Pengertian Tanah dan Hak Atas Tanah

Tanah adalah sumber daya alam dan sumber hidup serta kehidupan kini maupun di masa datang.10

10

Rinto Manulang, Segala Hal tentang Tanah, Rumah dan Perizinannya, Jakarta, Buku Pintar, 2011, hal. 6.

Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan sesuai oleh UUPA. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan, bahwa :

(15)

Dengan demikian, tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.11

Pasal 4 ayat (2) menyatakan hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.12 Dengan demikian pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.13

Penggunaan tanah haruslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, hingga memberikan manfaat baik bagi kesajahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hak atas tanah tersebut dibedakan pada jenis pemanfaatannya dan pada pribadi-pribadi hukum yang akan menjadi pemiliknya.14

a. Hak Milik adalah hak hak yang terpenuh dan terkuat serta bersifat turun temurun, yang hanya diberikan kepada warga negara Indonesia, dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu, yang pemanfaatannya dapat Hak-hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah meliputi : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut

Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas

yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

11

(16)

disesuaikan dengan peruntukan tanahnya diwilayah di mana tanah terletak. Pengecualian bagi badan hukum yang dapat diberikan status hak milik adalah badan hukum yang ditentukan dalam PP Nomor 38 Tahun 1963, yang terdiri dari bank-bank yang didirikan oleh negara, Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UU Nomor 79 Tahun 1958, badan-badan keagamaan, dan badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian.15

c. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, Meskipun hak milik memberikan kekuasaan penuh bagi pemanfaatannya, namun hak ini tetap dibatasi fungsi sosial sebagai jaminan pemerataan kesejahteraan umum.

b. Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun bagi perusahaan yang membutuhkan waktu lebih lama dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik. Hak guna usaha diberikan pada perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan atau peternakan.

15

(17)

jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

d. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

4. Pengertian Administrasi Pertanahan

Kata administrasi berasal dari bahasa latin administrare yang berarti to manage (mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola). Derivasinya antara lain menjadi administratio yang berarti besturing atau pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), administrasi diartikan sebagai; (1) usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi; (2) usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan serta mencapai tujuan; (3) kegiatan yang penyelenggaraan pemerintahan; (4) kegiatan kantor dan tata usaha.16

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas, maka pengertian administrasi pertanahan dapat dinyatakan sebagai usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan menyangkut segala sesuatu yang

16

(18)

berkenaan dengan tanah dan hak-hak atas tanah dengan tujuan untuk menjamian kepastian hukum dan tertib pertanahan.

Administrasi pertanahan erat kaitannya dengan kegiatan pendaftaran tanah. Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA, terdapat tugas-tugas pendaftaran tanah yang merupakan tugas administratif dan tugas teknis. Tugas administratif adalah yang menyangkut pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah, pendaftaran peralihan dan pemberian surat tanda bukti hak. Sedangkan tugas teknis adalah terdiri dari pengukuran dan pemetaan.17

Manurut ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa yang terkait segi administratif disebutkan adalah data yuridis, sedangkan segi teknis adalah data fisik. Data yuridis maksudnya adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Bila dinyatakan sebagai status hukum bidang tanah yang terdafta, berarti terdapat bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya. Adanya bukti hubungan hukum tersebut kemudian diformalkan melalui kegiatan pendaftaran tanah.18

Kegiatan pendaftaran tanah yang memformalkan pemilikan tanah baik berdasarkan bukti-bukti pemilikan maupun penguasaan atas tanah selain menyangkut aspek yuridis dan aspek teknis, juga pelaksanaan pendaftaran tanah terkait dengan tugas-tugas keadministrasian. Dengan kata lain dalam kegiatan pendaftaran tanah terdapat tugas-tugas penata-usahaan, seperti dalam hal

17

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, I, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung, Mandar Maju, 2010, hal. 208.

18

(19)

penetapan hak atas tanah dan pendaftaran peralihan hak tanah. Bahkan dapat dikatakan bahwa kegiatan yang menyangkut aspek yuridis atau pengumpulan data yuridis sampai kepada penerbitan buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya serta pencatatan perubahan di kemudian hari hampir seluruhnya menyangkut tugas-tugas administrasi.19

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintah sendiri.

5. Pengertian Otonomi Daerah

20

Pengertian otonomi daerah menurut Fernandes adalah pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.21

Otonomi daerah adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.22

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

19

Ibid, hal. 209. 20

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan

Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 81.

21

Ibid, hal. 82. 22

(20)

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian daerah otonom berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Pengertian Perumahan

Pengertian rumah dan perumahan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) dan (7) UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa :

(2) Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

(7) Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Pasal 19 UU Nomr 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa penyelenggaraan rumah dan perumahan bertujuan untuk :

(21)

b. Menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Pasal 20 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa penyelenggaraan perumahan meliputi perencanaan perumahan, pembangunan perumahan, pemanfaatan perumahan, dan pengendalian perumahan. Perencanaan dan perancangan rumah sebagai tahap awal dari penyelenggaraan perumahan harus memenuhi persyaratan teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis.

F. Metode Penelitian

Penelitian yang ditetapkan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini mengkaji hukum untuk memberikan gambaran mengenai norma dan kondisi penerapan hukumnya. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka serta penelusuran peraturan perundang-undangan serta penelitian lapangan sebagai penunjang.

1. Sumber dan Pengumpulan Data

Sumber data adalah tempat diketemukannya data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah sumber data sekunder, yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundangan, dokumen, buku-buku, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi :

(22)

Bahan hukum primer dalam penulisan hukum ini adalah norma atau kaidah dasar dalam hukum di Indonesia dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer sehingga dapat membantu memahami dan menganalisis bahan hukum primer, yaitu buku-buku, literatur-literatur, atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

(23)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran dan uraian awal mengenai isi dari penulisan skripsi ini, maka penulis akan memuat sistematika penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang melatarbelakangi penulisan ini, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang akan membahas tentang pengertian wewenang dan pelimpahan wewenang, pengertian administrasi pertanahan, pengertian otonomi daerah, dan pengertian perumahan, serta pada bagian akhir memuat Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN

BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Konsep Kebijakan Pertanahan Berdasarkan UUPA, Prinsip Dasar Administrasi Pertanahan, serta mengenai ketentuan Pelimpahan Wewenang dalam Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan.

(24)

Pada bab ini akan membahas mengenai Perangkat Pelaksana Kewenangan di Bidang Pertanahan, Kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai Lembaga Pelaksana Pelayanan Pertanahan, Kewenangan Pemerintah Daerah Bagi Pelayanan Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah, serta Pelaksana Kewenangan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan

BAB IV. KEBIJAKAN PERTANAHAN BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Pada bab ini akan membahas mengenai ketentuan Penyelenggaraan Perumahan dalam Perspektif Hukum agraria, Kedudukan Badan Hukum dalam Penyelenggaraan Perumahan, Mekanisme Administrasi Pertanahan Bagi Pengembangan Perumahan, serta Hambatan yang Dihadapi Pengembang dalam Pelaksanaan Administrasi Pertanahan Bagi Penyelenggaraan Perumahan.

BAB V. PENUTUP

(25)

BAB II

KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN

BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

A. Konsep Kebijakan Pertanahan Berdasarkan UUPA

Konsep kebijakan pertanahan nasional bersumber pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Ketentuan pasal ini bermakna bahwa, pada konsepnya semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya ditugaskan kepada negara sebagai pemegang hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, untuk digunakan sebasar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

1. Hak Menguasai dari Negara

Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia,23

“ (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

yang rincian isi dan tujuannya dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA sebagai berikut :

23

(26)

tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Hak menguasai negara atas tanah bersumber dari hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan Bangsa Indonesia yang mengandung unsur hukum publik. Bersifat publik berarti mengandung amanat, berupa beban tugas untuk mengelolanya dengan baik. Tugas mengelola tersebut berupa mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan atas tanah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.24

24

(27)

2. Pembebanan Hak Menguasai dari Negara

Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi tanah negara dapat diberikan dengan suatu hak atas tanah kepada pihak lain baik perorangan maupun badan hukum. Pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum, bukan berarti melepasakan hak menguasai tersebut dari tanah yang bersangkutan. Kewenangan negara terhadap tanah-tanah yang sudah diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain menjadi terbatas yaitu sampai batas kewenangan yang merupakan isi hak yang diberikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.25

Wewenang yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan, pada hakikatnya akan terbatas pada apa yang disebutkan Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.

3. Pelimpahan Pelaksanaan Hak Menguasai dari Negara

Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

26

25

Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 273.

26

(28)

B. Prinsip Dasar Administrasi Pertanahan

Kata administrasi berasal dari bahasa latin administrare yang berarti to

manage (mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola). Derivasinya antara lain

menjadi administratio yang berarti besturing atau pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), administrasi diartikan sebagai; (1) usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi; (2) usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan serta mencapai tujuan; (3) kegiatan yang penyelenggaraan pemerintahan; (4) kegiatan kantor dan tata usaha.27

Dengan demikian, tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Pertanahan berasal dari kata tanah. Dalam hukum tanah, kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan sesuai oleh UUPA. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan, bahwa :

Atas dasar hak menguasai dari Negara .... ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

28

Pasal 4 ayat (2) menyatakan hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang

27

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op.Cit, hal. 25. 28

(29)

bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.29 Dengan demikian, pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.30

Hukum agraria apabila dilihat dari isi aturan hukum adalah hukum yang mengatur hal yang bertalian dengan tanah. Ini berarti bukan saja menyangkut pengaturan tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah saja tetapi juga mengatur penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan serta pemeliharaan.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas, maka pengertian administrasi pertanahan dapat dinyatakan sebagai usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah dan hak-hak atas tanah dengan tujuan untuk menjamian kepastian hukum dan tertib pertanahan.

31

1. Lingkup Kegiatan Administrasi Pertanahan

Setiap kegiatan badan atau pejabat negara dalam mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan, serta pemeliharaan tanah tersebut merupakan kegiatan administrasi pertanahan.

a. Peruntukan dan Penggunaan Tanah

Peruntukan dan penggunaan tanah berkenaan dengan tata guna tanah. Rencana tata guna tanah dapat diartikan sebagai optimalisasi dari produktifitas

29

Ibid, hal. 18. 30

Ibid, hal. 7. 31

(30)

bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dilaksanakan secara terpadu dan seimbang untuk berbagai kegiatan pembangunan, berdasarkan peta-peta kemampuan yang dikeluarkan oleh BPN yang diatur dalam satu perencana tata ruang sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyat banyak masa kini dan masa yang akan datang. Dalam hal ini istilah tata guna tanah lebih ditekankan pada konteks penataan ruang.32

Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana struktur ruang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. Sedangkan rencana pola ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Ketentuan yuridis yang mengatur tentang penataan ruang adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Kegiatan administrasi dalam penataan ruang terutama diterapkan pada pelaksanaan tata ruang. Tugas pelaksanaan penataan ruang meliputi :

1) perencanan tata ruang

33

32

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, ( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2009 ), hal. 166-167.

33

Lihat Pasal. 17 UUNo.26Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Rencana struktur dan pola ruang merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang.

(31)

Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.34 Untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang maka ditetapkanlah pedoman teknis penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pedoman teknis ini menjadi pedoman dalam menyusun dan menerbitkan Pertimbangan Teknis Pertanahan.35

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Pertimbangan Teknis Pertanahan adalah pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pertimbangan teknis tersebut tersebut menjadi persyaratan dalam penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi atau Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Izin tersebut penting sebab merupakan salah satu persyaratan bagi menerbitan izin mendirikan bangunan (IMB). IMB termasuk pula sebagai syarat administratif bagi pelaksanaan pemanfaatan tanah berupa pembangunan rumah ataupun bangunan lainnya.

3) pengendalian pemanfaatan ruang.

36

Ketentuan perizinan pemanfaatana ruang diatur oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.37

34

Lihat Pasal. 33 angka (1).

35

Lampiran i, Peraturan Ka.BPN No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah.

36

Lihat Pasal. 35 UU No.26 Tahun 2007.

37

Lihat Pasal 37 angka (1).

(32)

yang menurut peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan kualitas ruang.38

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Tugas-tugas penyelenggaraan penataan ruang tersebut dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai bagian dari tugas administrasi pertanahan.

b. Penyediaan Tanah

Kegiatan penyediaan tanah berkenaan dengan kebijakan pengadaan tanah. Dasar yuridis kebijakan pengadaan tanah adalah Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, namun demikian sebagai petunjuk pelaksanaan terhadap Perpres tersebut masih mengacu pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanaha Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun 1993.

39

38

Lihat Penjelasan. 39

Lihat Pasal. 1 angka (3) Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

(33)

Prosedur pengadaan tanah yang berkaitan erat dengan tugas administrasi pertanahan meliputi :40

5) Panitia pengadaan Tanah menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Harga setelah ada atau tidak ada kesepakatan harga ganti rugi hasil musyawarah, selanjutnya instansi yang memerlukan tanah membuat daftar nominatif pemberian ganti rugi.

1) Penetapan Lokasi Pembangunan Instansi berdasarkan Surat Permohonan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota/Gubernur melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, dengan melampirkan peta koridor kasar. 2) Apabila rencana penggunaan tanah untuk kepentingan umum sudah sesuai

dengan RUTR, maka Bupati/Walikota/Gubernur memberikan persetujuan penetapan lokasi pembangunan yang dipersiapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat.

3) Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan untuk memulai pelaksanaan pengadaan tanah kepada Panitia pengadaan Tanah dengan melampirkan surat persetujuan penetapan lokasi pembangunan.

4) Panitia Pengadaan Tanah bersama instansi terkait menetapkan batas lokasi tanah yang terkena pembangunan dengan memasang batas lahan dan melakukan inventarisasi lahan, bangunan, tanaman serta benda-benda lainnya.

40

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, II, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan

(34)

6) Pelepasan Hak yang ditandatangani oleh pemegang hak atas tanah dan Kapala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

7) Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional untuk diproses sertifikasi lahan atas nama instansi yang memerlukan tanah.

c. Pemeliharaan Tanah

Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa pemeliharaan tanah, termasuk kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu. Ketentuan tersebut memberikan pengertian bahwa pemeliharaan tanah berkaitan dengan hubungan hukum dengan tanah, dengan kata lain pemeliharaan tanah juga menyangkut dengan pengaturan hak-hak atas tanah. Hak-hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah meliputi : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa,

Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang tidak

termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

(35)

serta beban-beban lain yang membebaninya. Bila dinyatakan sebagai status hukum bidang tanah yang terdafta, berarti terdapat bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya. Adanya bukti hubungan hukum tersebut kemudian diformalkan melalui kegiatan pendaftaran tanah.41

Kegiatan pendaftaran tanah yang memformalkan pemilikan tanah baik berdasarkan bukti-bukti pemilikan maupun penguasaan atas tanah selain menyangkut aspek yuridis dan aspek teknis, juga pelaksanaan pendaftaran tanah terkait dengan tugas-tugas keadministrasian. Dengan kata lain dalam kegiatan pendaftaran tanah terdapat tugas-tugas penata-usahaan, seperti dalam hal penetapan hak atas tanah dan pendaftaran peralihan hak tanah. Bahkan dapat dikatakan bahwa kegiatan yang menyangkut aspek yuridis atau pengumpulan data yuridis sampai kepada penerbitan buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya serta pencatatan perubahan di kemudian hari hampir seluruhnya menyangkut tugas-tugas administrasi.42

Berikut ini adalah pengaturan dari kegiatan administrasi dalam hal

pendaftaran tanah yaitu sebagai berikut :43

a. Konversi hak atas tanah.

1) Kegiatan pendaftaran tanah sebelum penerbitan sertipikat tanah berupa penetapan hak atas tanah dalam rangka kegiatan administrasi pendaftaran tanah tersebut dapat diperinci lagi sebagai berikut :

b. Pengakuan dan penegasan hak atas tanah c. Pemberian Hak Atas Tanah

d. Penolakan hak atas tanah

e. Redistribusi Tanah dan Konsolidasi tanah. f. Perwakafan Tanah

41

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Op.Cit, I, hal. 208. 42

Ibid, hal. 208-209. 43

(36)

2) Kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan sertifikat tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data yuridis (subjek hak, jenis hak, dan jangka waktu hak atas tanahnya), terdiri dari :

a. Peralihan Hak Atas Tanah dan. b. Pemindahan Hak Atas Tanah.

c. Perpanjangan Jangka Waktu Hak Atas Tanah. d. Pembaharuan Hak Atas Tanah.

e. Perubahan Hak Atas Tanah. f. Pembatalan hak atas tanah. g. Pencabutan Hak atas tanah h. Pembebanan Hak atas Tanah

i. Perubahan Data Karena Putusan dan Penetapan Pengadilan

j. Perubahan Data karena Perubahan Nama k. Hapusnya Hak atas Tanah

l. Penggantian Sertipikat

3) kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan sertipikat tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data fisik atau obyek hak atas tanahnya, terdiri dari :

a. Pemecahan Bidang Tanah b. Pemisahan Bidang Tanah c. Penggabungan Bidang Tanah

C. Pelimpahan Wewenang dalam Administrasi Pertanahan Bagi

Penyelenggaraan Perumahan

(37)

pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang menyeluruh. Sedangkan wewenang hanya merngenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan.44

Dalam negara hukum, setiap tindakan bagi penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat dijalankan berdasarkan adanya suatu kewenangan sebagaimana telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.45

Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu :46

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan delegasi sebagai pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang,

a. Atribusi

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Indroharto mengatakan bahwa atribusi ini ditunjukan bagi wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan baru yang dibentuk oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Disini berarti wewenang yang diperoleh melalui atribusi merupakan suatu wewenang asli dan baru sehingga bukan berasal dari suatu kewenangan yang telah ada.

b. Delegasi

44

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Pelimpahan_we2nang.pdf, 26 Agustus 2010.

45

Ridwan. HR, hal. 103. 46

(38)

melainkan hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang memperoleh wewenang secara atributif kepada pejabat lainnya.

c. Mandat

Algemene Wet Bestuursrecht (Awb) mendefinisikan mandat sebagai

pemberian wewenang oleh organ pemerintah kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya. Penerima mandat (mandataris) hanya hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.47

Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan bersumber dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian diwujudkan secara kokoh dalam UUPA. Selanjutnya prinsip ini direduksi ke berbagai peraturan organik sebagai peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan peraturan yang diterbitkan oleh pimpinan instansi teknis di bidang pertanahan.48

Sedangkan secara substansial, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan didasarkan pada ketentuan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA yang menyatakan bahwa pada tingkatan tertinggi negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memiliki wewenang untuk mengatur dan

47

Ibid, hal. 106-107. 48

(39)

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Dengan ketentuan tersebut Pemerintah telah diberi wewenang yuridis untuk membuat aturan dan peraturan (bestemming) dalam lapangan agraria berupa tanah, serta menyelenggarakan aturan tersebut.49

Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi terinci disebut dengan dekonsentrasi. Pada dekonsentrasi tersebut wewenang untuk mengurus dilimpahkan oleh pemerintah pusat tetapi wewenang pengaturannya masih tetap di tangan pemerintah pusat.50

Dekonsentarasi menciptakan kesatuan administrasi atau instansi vertikal untuk mengemban perintah atasan. Kesatuan administrasi atau instansi vertikal tersebut merupakan bawahan dari pemerintah pusat sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh penerima pelimpahan kewenangan (daerah) adalah atas nama pemberi pelimpahan kewenangan (pemerintah pusat) dalam wilayah yurisdiksi tertentu. Selain itu, di dalam dekonsentrasi juga tidak terdapat keputusan yang mendasar atau keputusan kebijaksanaan di tingkat daerah.51

Dasar yuridis pelimpahan wewenang admininistrasi pertanahan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA. Pasal ini menegaskan bahwa hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

49

Ibid, hal. 1

50

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op. Cit, hal. 109. 51

(40)

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan pasal 2 UUPA disebutkan pula bahwa pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind atau tugas pembantuan.52

Tugas pembantuan pada dasarnya adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur penyerahan, bukan penugasan. Yang membedakan secara mendasar bahwa kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.53

Perihal kewenangan pemerintah bagi penyelenggaraan perumahan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

Kewenangan yang pelaksanaannnya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaiman yang dimaksudkan dalam pasal 14 ayat 2 UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah msing-masing.

52

Ibid, hal. 113.

53

(41)

rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pasal 7 PP Nomor 38 Tahun 2007 menyatakan bahwa pemerintah yang wajib dilimpahkan kepada pemerintah daerah antara lain mengenai perumahan. Namun pelimpahan wewenang ini bukanlah untuk seleuruhnya, melainkan ada pembagian kewenangan yang dilimpahkan dengan rincian yang dimuat dalam lampiran D PP Nomor 38 Tahun 2007. Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan perumahan tersebut juga dirinci dalam UU Nomor 1 Tahun 2011. Pasal 19 menyatakan penyelenggaraan rumah dan perumahan dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan penyelenggaraan perumahanan antara lain meliputi kewenangan merumuskan, menetapkan, dan mengawasi kebijakan dan strategi nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat, namun khusus kewenangan dalam administrasi pertanahannya dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

(42)

perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional, menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman lintas kabupaten/kota, dan memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi.

Sedangkan Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan penyelenggaraan perumahanan antara lain meliputi kewenangan menyusun dan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi, menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah perumahan, dan kawasan permukiman, melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota, dan melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

(43)

BAB III

BADAN PELAKSANA PELIMPAHAN KEWENANGAN DI

BIDANG PERTANAHAN

A. Perangkat Pelaksana Kewenangan di Bidang Pertanahan

Penguasaan atas tanah pada tingkatan tertinggi berada pada negara. Kewenangan negara yang lahir dari hak menguasai negara merupakan kewenangan yang bersifat publik. Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik meliputi bidang legislatif, bidang eksekutif/administratif, dan bidang yudikatif. Bidang legislatif meliputi kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Bidang yudikatif meliputi tugas kewenangan mengadili kasus-kasus pertanahan. Tetapi ketentuan-ketentuan yang menatur tentang pertanahan tersebut tidak mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kegiatan legislatif dan yudikatif di bidang lain.54

54

Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 65.

(44)

Penyelenggaraan urusan pertanahan dilaksanakan oleh badan penyelenggara pemerintahan. Sejak tahun 1988 pelaksana kewenangan di bidang pertanahan dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional, selaku lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu, pengelolaan bidang pertanahan menjadi kewenangan pemerintah pusat seutuhnya.

Kemudian, sejak tahun 1998 dinamika ketatanegaraan Indonesia mulai mengarah pada pola pemerintahan yang lebih memberikan ruang kekuasaan bagi pemerintah daerah hingga lahirlah prinsip otonomi daerah. Dalam rangka otonomi daerah dan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA maka sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan pembagian kewenangan pertanahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

B. Kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai Lembaga Pelaksana

Kebijakan Pertanahan

(45)

dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan kebijakan di bidang pertanahan pada prinsipnya merupakan kewenangan daerah.55

Pengelolaan pertanahan secara nasional didasarkan pada pertimbangan bahwa:

Namun pengelolaan kebijakan pertanahan tersebut tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah sebab ketentuannya dibatasi oleh prinsip hak menguasai dari negara yang dimuat dalam Pasal 2 UUPA. Artinya, pengelolaan pertanahan adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat selaku pemegang kekuasaan negara tertinggi dan pelimpahan kewenangan hanya dapat dilaksanakan sebatas pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

56

55

Penjelasan Umum PP Nomor 13 Tahun 2010. 56

Lihat Konsiderans Perpres Nomor 10 Tahun 2006.

a. hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia;

b. tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara;

(46)

1. Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional

BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.57 Dalam melaksanakan tugasnya, BPN menyelenggarakan fungsi :58

57

Ibid, Pasal 2. 58

Ibid, Pasal 3.

a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;

f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; g. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;

i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;

j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; k. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik di bidang pertanahan;

o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;

r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;

t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(47)

Kewenangan BPN tersebut merupakan wujud pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola kebijakan pertanahan sebagaimana telah ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini menetapkan bahwa kewenangan pertanahan yang dimiliki oleh pemerintah pusat meliputi penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, kriteria, dan prosedur pelaksanaan kebijakan pertanahan, pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum, pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah, pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi, serta melakukan pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan kebijakan pertanahan.

2. Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional Beserta Kewenangannya Pelaksanaan kewenangan-kewenangan pengelolaan kebijakan pertanahan oleh BPN tersebut dirumuskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam suatu ketentuan yang terarah dan terstruktur melalui perangkat lembaganya. Struktur keorganisasian di dalam Badan Pertanahan Nasional beserta dengan kewenangannya masing-masing, diatur dalam ketentuan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh seorang kepala, dan unsur pelaksana tugasnya dipimpin oleh Deputi yang membidangi masing-masing bagian sesuai dengan kewenangan tugasnya, yaitu :

(48)

a. perumusan kebijakan teknis di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;

b. pelaksanaan survei dan pemetaan tematik; c. pelaksanaan pengukuran dasar nasional; d. pelaksanaan pemetaan dasar pertanahan.

2) Deputi II yang membidangi hak tanah dan pendaftaran tanah menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan teknis di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah;

b. pelaksanaan pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

c. inventarisasi dan penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah;

d. pelaksanaan pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah, pemerintah daerah, organisasi sosial keagamaan dan kepentingan umum lainnya; e. penetapan batas, pengukuran dan perpetaan dan bidang tanah serta

pembukuan tanah (kadaster);

f. pembinaan teknis Pejabat Pembuat Akta Tanah, Surveyor Berlisensi dan Lembaga Penilai Tanah.

Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah membawahi Direktorat Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah serta Direktorat Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang.

a. Direktorat Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah membawahi Subdirektorat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai serta Subdirektorat Hak Guna Usaha.

(49)

melakukan inventarisasi dan penyusunan pelaporan data hak milik,hak guna bangunan, dan hak pakai.

2) Subdirektorat Hak Guna Usaha mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pemberian, perpanjangan, pembaruan dan perubahan hak guna usaha perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, perikanan dan tambak.

b. Direktorat Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang membawahi :

1) Subdirektorat Pendaftaran Hak yang mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pendaftaran hak atas tanah, pemberian tanda bukti hak atas tanah dan pengelolaan dokumen serta blanko pendaftaran tanah.

2) Subdirektorat Pendaftaran Hak Guna Ruang dan Perairan yang mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pendaftaran hak guna ruang dan perairan,

3) Subdirektorat Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT yang mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak atas tanah, serta melaksanakan pembinaan teknis PPAT.

(50)

Nasional baik di tingkat pusat sampai pada tingkat kaupaten/kota sesuai dengan kewenangan yang telah dilimpahkan berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Kewenangan pemberian hak atas tanah tersebut meliputi :

1) Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menetapkan pemberian Hak Atas Tanah yang diberikan secara umum.

2) Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai:

a) pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atau badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m². b) pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya

lebih dari 2.000 m² dan tidak lebih dari 5.000 m².

c) pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 1.000.000 m².

d) pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 1.000 m2 dan tidak lebih dari 5.000m².

e) pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 5.000 m2 dan tidak lebih dari 75.000m².

f) pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atau badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m². g) pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non

pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m² dan tidak lebih dari 5.000 m2.

h) pemberian Hak Pakai untuk badan hukum atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m² dan tidak lebih dari 25.000 m².

(51)

a) pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m².

b) pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m².

c) pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan Pendaftaran Tanah yang bersifat strategis, massal, dan program lainnya.

d) pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 1.000 m².

e) pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 5.000 m².

f) semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.

g) pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atau badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m².

f) pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atau badan hukum atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m².

i) semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.

3) Deputi III yang membidangi pengaturan dan penataan tanah menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan pertanahan;

b. penyiapan peruntukan, persediaan, pemeliharaan , dan penggunaan tanah;

c. pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan dan penggunaan tanah;

d. pelaksanaan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya.

4) Deputi IV yang membidangi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat;

b. pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

c. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

(52)

5) Deputi V yang membidangi pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;

b. pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan;

c. penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum;

d. penanganan perkara pertanahan;

e. pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya;

f. pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan;

g. penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(53)

3. Kewenangan Legalitas Penetapan Hak atas Tanah

Penguasan tanah mengandung dua aspek pembuktian agar penguasaan tersebut dapat dikatakan kuat dan sempurna, yaitu :59

59

Rinto Manulang, Segala hal tentang Tanah, Rumah, dan Perizinannya, Jakarta, Buku Pintar, 2011, hal. 32-34.

1) Bukti Surat.

Bukti penguasaan atas tanah yang terkuat adalah sertifikat hak atas tanah, namun itu tidaklah mutlak. Artinya, sebuah sertifikat dianggap sah dan benar selama tidak terdapat tuntutan pihak lain untuk membatalkan sertifikat tersebut. Ketidakmutlakan itu untuk menjamin asas keadilan dan kebenaran. Oleh karenanya, ada empat hal pokok dan sangat prinsip yang wajib dipenuhi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah yaitu status dan dasar hukum atas hak penguasaan untuk menegetahui dan memastikan dengan dasar apa tanah diperoleh termasuk riwayat penguasaannya, identitas pemegang hak untuk menjamin kepastian subjek pemegang hak, letak dan luas objek tanah untuk menjamin kepastian objek hak atas tanah, dan prosedur penerbitan hak atas tanah yang harus sesuai dengan ketentuan peraturan. Kewenangan legalitas penetapan atas tanah melalui penerbitan status hak atas tanah adalah mutlak menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan tidak dapat dilimpahkan pada lembaga lain.

(54)

Bukti ini berfungsi sebagai kepastian bahwa orang yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat).

C. Kewenangan Pemerintah Daerah Bagi Pelayanan Pertanahan dalam

Konteks Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintah sendiri.60

Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama kompnonen wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian daerah otonom berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

60

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan

(55)

tertentu yang diperoleh dari pemerintah pusat melalui desentralisasi wewenang dan wewenang tersebut merupakan kekuasaan formal, yaitu kekuasaan sebagai pelaksana dan bukanlah kekuasaan untuk menetapkan kebijakan secara materil. Sedangkan, komponen kedua adalah wewenang untuk mengelola secara mandiri pendapatan dan sumber-sumber keuangan daerah.61

Lahirnya prinsip otonomi daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1999 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, melahirkan perubahan paradigma pemerintahan yang lebih desentralistik. Pejabat-pejabat pelaksana pemerintahan di daerah merasa undang-undang tersebut telah melegitimasi tindakan untuk menuntut penyelenggaraan otonomi daerah secara penuh termasuk masalah pertanahan. Apabila dikatakan seluruh kewenangan pertanahan, itu dapat berarti termasuk salah satunya kewenangan penetapan status hak atas tanah. Hal ini tentu menimbulkan masalah ketika eksistensi BPN masih tetap dipertahankan, sedangkan dilain pihak kriteria dan batasan kewenangan pertanahan yang dimiliki pemerintahan daerah tidak

Prinsip pemberian hak Otonomi oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta untuk menampung aspirasi dan keinginan masyarakat untuk diolah dan diproses menjadi kebijakan daerah yang langsung dijalankan oleh daerah demi kemakmuran seluruh rakyat.

2. Kewenangan Pemerintah Daerah Melaksanakan Urusan Pertanahan

61

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UUPM) menyebutkan, bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk

Pegawai Negeri Sipil dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang Nomor 8 tahun. 1974 Tentang Pokok- Pokok Kepegawaian

Dalam kasus tindak pidana penyerobotan tanah, selain berlaku Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau

yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, serta bahan hukum

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Pelayanan izin penanaman modal secara Online Single Submission (OSS) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi

Berbagai kebijakan umum di bidang penanaman Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan bahwa penanaman modal harus menjadi bagian dari

dimaksud dengan izin prinsip perubahan penanaman modal menurut Perka BKPM Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5