BAB II
IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK ATAS PENGELOLAAN PERTAMBANGAN SUMBER DAYA MINERAL DAN
BATUBARA BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Peraturan Perundang-Undangan Hak Atas Pengelolaan Pertambangan Sumber Daya Mineral dan Batubara.
Dari segi peraturan atau hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur
tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan Mineral dalam tanah. Definisi
ini hanya difokuskan pada aktivitas galian atau pertambangan bijih-bijih.Penggalian
atau pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang
terkandung dalam perut bumi.54
54Salim HS, H, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 7
Sebagai sumber hukum pertambangan, pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1960 mengeluarkan PERPU Nomor 37 tahun 1960
tentang Pertambangan untuk mencabut peraturan Belanda Indische Mijnwet
(Staatsblad 1899 Nomor 214 yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD RI 1945.Selanjutnya pada tahun 1967, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Pertambangan dan menggantikan PERPU Nomor 37 tahun 1960, dengan alasan
ketentuan tersebut tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin
Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberi kesempatan
melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah dalam bidang pengaturan,
bimbingan dan pengawasan. Pada undang-undang tersebut, pengelolaan
pertambangan ditandai dengan rejim Kontrak Karya (KK), untuk pertambangan
Mineral dan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk
pertambangan batubara serta kuasa pertambangan yang diberikan oleh pemerintah
daerah.
Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan hal ini terjadi akibat belum
selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi
daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah
yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan
lainnya yang memperpanjang rantai perijinan yang harus dilalui.
Pada tanggal 12 Januari 2009 Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2009 No.2009 dan Tambahan
Lembaran Negara No.4959, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Pertambangan yang materi pengaturannya sudah tidak sesuai dengan
Didalam point pertimbangan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009,
menetapkan:
- Bahwa Mineral dan Batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai
oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan;
- Bahwa kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara yang merupakan
kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta
air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara
nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan;
- Perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan Mineral
dan Batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi Mineral dan
Batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan
berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara
berkelanjutan.
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, terdiri atas Bab XXVI, 175, yang secara
a. Ketentuan umum (Pasal 1);
b. Asas dan Tujuan (Pasal 2 s/d Pasal 5);
c. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Pasal 6 s/d
Pasal 8);
d. Wilayah Pertambangan (Pasal 9 s/d Pasal 33);
e. Usaha Pertambangan (Pasal 34 s/d Pasal 35);
f. Izin Usaha Pertambangan (Pasal 36 s/d Pasal 63);
g. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan ( Pasal 64 s/d Pasal 65);
h. Izin Pertambangan Rakyat (Pasal 66 s/d Pasal 72);
i. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus (Pasal 85 s/d Pasal 86);
j. Data Pertambangan (Pasal 85 s/d Pasal 86);
k. Hak dan Kewajiban (Pasal 90 s/d Pasal 112).
l. Penghentian Sementara Kegiatan Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha
Pertambangan khusus (Pasal 113 s/d Pasal 116);
m. Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan khusus
(Pasal 117 s/d Pasal 123);
n. Usaha Jasa Pertambangan (Pasal 124 s/d Pasal 127);
o. Pendapatan Negara dan Daerah (Pasal 128 s/d Pasal 133);
p. Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan (Pasal 134 s/d Pasal
138);
q. Pembinaan, Pengawasan, Dan Perlindungan Masyarakat (Pasal 139 s/d Pasal
r. Penelitian dan Pengembangan Serta Pendidikan Dan Pelatihan (Pasal 146 s/d
Pasal 148);
s. Penyidikan (Pasal 149 s/d Pasal 150);
t. Sanksi Administratif (Pasal 151 s/d Pasal 157);
u. Ketentuan Pidana (Pasal 158 s/d Pasal 168).
Agar ketentuan pertambangan yang terdapat dalam Undang-undang
Pertambangan tersebut dapat di implementasikan harus dilengkapi dengan peraturan
organik atau pelaksana, dan para aparat yang melaksanakan peraturan yang terdapat
di provinsi, kabupaten dan kota. Namun dari hasil inventarisasi atas substansi dari
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, terdapat beberapa pasal yang harus diatur
melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah.
Beberapa pasal antara lain yang harus dilengkapi dan diatur kembali dengan
Peraturan Pemerintah, antara lain :
- Pasal 19 mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP.
- Pasal 33 mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK
- Pasal 34 ayat 3 mengenai penetapan suatu komoditas tambang
- Pasal 65 ayat 2 mengenai persyaratan administratif, teknis, lingkungan dan
finansial.
- Pasal 71 ayat 2 mengenai persyaratan teknis pertambangan.
- Pasal 84 mengenai tata cara memperoleh WIUPK
- Pasal 89 mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian.
- Pasal 101 mengenai reklamasi pasca tambang dan dana jaminan reklamasi
- Pasal 109 mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat.
- Pasal 111 ayat 2 mengenai bentuk, jenis, waktu dan tata cara penyampaian
laporan.
- Pasal 112 ayat 2 mengenai divestasi saham
- Pasal,116 mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan.
- Pasal 156 mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif.
Sedangkan yang harus dilengkapi dengan Peraturan Menteri adalah pasal 127
mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan. Ketentuan yang harus ditindak
lanjuti dengan Peraturan Daerah, antara lain :
- Pasal 26 mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR.
- Pasal 143 mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat.
Selain ketentuan di atas, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan
seperangkat peraturan yang berhubungan dengan Pertambangan sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca dan
Tambang.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang TIM
Evaluasi Untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara.
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan dan Pengawasan Terkait Kegiatan Usaha Pertambangan
Batubara.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 tahun 2011
tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Pertambangan dan Sistem Informasi
Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 14 tahun 2011
Sumber Daya Mineral kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam
rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2011.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan
Mineral dan Batubara.
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 tahun2014
tentang Pelaksanaan Reklamasi Pasca Tambang pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 1 (1) dari peraturan itu
menyebutkan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangan untuk menata, memelihara, dan memperbaiki
kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
dengan peruntukannya.
- Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Mineral
dan Batubara dan Panas Bumi Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009 tentang
perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum terbitnya Peraturan
Akibat hukum yang timbul jika pemerintah belum menerbitkan peraturan
peraturan pelaksana atas substansi yang terdapat dalam beberapa pasal dari
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 maka ketentuan pertambangan belum bisa
diimplementasikan secara optimal apalagi untuk mewujudkan tujuan dari
undang-undang tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3mendukung pembanguan
nasional yang berkesinambungan.
Terdapat beberapa ketentuan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 yang
dalam tahap implementasinya belum adanya ketentuan pelaksananya, antara lain
tentang kewenangan pengelolaan pertambangan Mineral dan Batubara pada tingkat
pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 6 dari ketentuan itu menetapkan ada
21 (dua puluh satu) kewenangan, Pasal 7 menetapkan kewenangan tingkat antara
kabupatem 14 (empat belas) dan Pasal 8 menetapkan 12 (dua belas) kewenangan
tingkat Kota. Diantara kewenangan tersebut yang belum optimal pengaturannya
adalah pembuaatan peraturan perundang-undangan daerah baik pada tingkat
provinsi, kabupaten dan kota. Hal ini juga sesuai dengan hasil yang diperoleh pada
instansi yang terkait di provinsi Sumatera Utara belum diterbitkannya peraturan -
peraturan tersebut.55
55, Hasil data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara, tgl 21 April 2014.
Demikian juga dengan kewenangan pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi
penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari
pemberian IUP , pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat)
mil sampai dengan 12 (dua belas) mil. Serta keweangan pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang
berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan dan/ atau wilayah laut 4
(empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil. Kewenangan pemerintah
kabupaten/kota atas pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil.
Selanjutnya dalam kaitan untuk mengimplemtasikan peraturan yang
berhubungan dengan pertambangan dikemukakan uraian asas-asas sebagai berikut :
1. Asas- Asas Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan
Pertambangan secara etimologi kata berasal dari kata”tambang” 56 , maksudnya adalah liang atau lubang dalam tanah tempat orang mengambil mineral
dan bahan galian. Istilah tambang kemudian meluas mencakup usaha dibidang
minyak dan gas bumi. Pengertian pertambangan adalah suatu kegiatan yang yang
dilakukan dengan penggalian ke dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu
yang berupa hasil tambang (Mineral dan gas bumi dan Batubara).57
56Tambang dalam bahasa Belanda “mijn”, bahasa Inggris “mine” 57
Batasan yuridis tentang pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan Mineral atau
Batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan permurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pasca tambang.58 Dari batasan tersebut, bahwa pengertian pertambangan mencakup berbagai kegiatan pertambangan yang meliputi sebelum proses atau pada
tahap sebelum penambangan atau pra konstruksi, saat proses penambangan atau
konstruksi, dan sesudah proses penambangan atau pasca konstruksi. Kegiatan pada
tahap-tahap tersebut, telah melahirkan seperangkat peraturan yang tercakup dalam
hukum Pertambangan.59
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan Mineral yang berupa
bijih atau batuan, di luar panasbumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.60 Sedangkan pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang
terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan.61
58Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
59Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan Mineral-Mineral dalam tanah. Penggalian atau pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi..(H. Salim HS, Hukum
Pertambangan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, HLM 7.
60Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Terdapat beberapa asas dan tujuan pertambangan Mineral dan Batubara ,
sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009,
bahwa pertambangan Mineral dan/atau Batubara dikelola bersasaskan:
a. Manfaat, Keadilan, dan Keseimbangan.
Asas manfaat dalam pertambangan adalah asas yang menunjukkan bahwa
dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan keuntungan
dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Asas keadilan adalah dalam melakukan
penambangan harus mampu memberikan peluang dan kesempatan yang
sama secara proporsional bagi seluruh warga negara tanpa ada yang
dikecualikan. Sedangkan asas keseimbangan adalah dalam melakukan
kegiatan penambangan wajib memperhatikan bidang-bidang lain terutama
yang berkaitan langsung dengan dampaknya.
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa.
Asas ini mengatakan bahwa di dalam melakukan kegiatan penambangan
berorientasi kepada kepentingan negara. Walaupundi dalam melakukan
usaha pertambangan dengan menggunakan modal asing, tenaga asing,
maupun perencanaan asing, tetapi kegiatan dan hasilnya untuk
c. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntanbilitas.
Asas partisipatif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam melakukan
kegiatan pertambangan dibutuhkan peran masyarakat untuk penyusunan
kebijakan, pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaannya.
Asas transparansi adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan kegiatan
pertambangan diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi
yang benar, jelas dan jujur.Sebaliknya masyarakat dapat memberikan
masukan kepada pemerintah.
Asas akuntanbilitas adalah kegiatan pertambangan dilakukan dengan
cara-cara yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada negara
dan masyarakat.
d. Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.
Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara
terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial
budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan Mineral dan Batubara
untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.62
62Penjelasan pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selanjutnya pasal 3 dari undang-undang tersebut menetapkan tentang tujuan
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdayaguna, berhasil guna, dan berdaya saing.
b. menjamin manfaat pertambangan Mineral dan Batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau
sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih
mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan Mineral dan Batubara.
Prinsip-prinsip pengeloaan atau usaha pertambangan yang baik dan benar
harus memuat semangat, maksud dan tujuan sebagai berikut :63
a. mengendalikan distribusi pemanfaatan bahan galian, dengan prioritas
utama dan pertama dan/atau terlebih dahulu diperuntukkan bagi
kepentingan bangsa dan negara.
b. Meningkatkanmining recovery atau perolehan bahan galian semaksimal
mungkin.
63
c. meningkatkan efisiensi pemakaian bahan galian, sebagai upaya
penghematan pemakaian bahan dasar industri berdimensi jangka panjang,
hal ini berkaitan dengan keberadan bahan galian sebagai bahan yang tidak
dapat terbarukan “non renewable resources. Artinya penghematan juga
berkaitan dengan kepentingan generasi yang akan datang.
d. meningkatnya perolehan devisa negara dari sektor pertambangan, karena
dengan adanya mining recovery berarti pula meningkatkan jumlah
perolehan bahan galian dan memperpanjang umur tambang.
Penerapan prinsip-prinsip pertambangan yang baik dan benar, bukan hanya
merupakan konsep teknis dan ekonomis semata, tetapi sesuatu hal yang harus
dilaksanakan, karena telah mempunyai landasan yuridis yang jelas, yang
menegaskan bahwa IUP (Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan)/ IUPK (Izin
untuk melaksanakan pertambangan khusus). Operasi produksi wajib memuat tentang
“penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik”.64, serta pemegang IUP dan IUPK wajib “menerapkan kaidah teknis pertambangan yang
baik”.65
Terdapatnya ketentuan kaidah teknik pertambangan yang baik, merupakan
kemajuan signifikan dan merupakan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah
64Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 79 huruf (u) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan yang
berada di wilayah hukum Indonesia. Agar ketentuan ini berjalan efektif maka dalam
tataran implementasinya harus dilakukan secara terintegrasi dalam sebuah konsep dan
program yang aplikatif, tidak lain karena industri pertambangan adalah industri yang
banyak terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti lingkungan, ketenagakerjaan,
keselamatan dan kesehatan serta aspek kepentingan negara.
2. Ketentuan Bentuk Wilayah Usaha Pertambangan
Wilayah Pertambangan(WP) adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral
dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari tata ruang nasional.66 Dalam pengertian tersebut dikatakan wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan,
karena wilayah pertambangan tidak mengikuti wilayah administrasi pemerintahan
(provinsi, kabupaten/kota), sehingga diperlukan koordinasi dan kerjasama antar
pemerintahan daerah apabila pertambangan terjadi di lintas batas pemerintah
daerah.67
Wilayah penambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan
landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Penetapan wilayah pertambangan
harus dilakukan berdasarkan dengan data yang diperoleh di lapangan dari hasil
66Pasal 1 angka 29 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
67
penelitian terlebih dahulu. Oleh karena itu pemerintah dan pemerintah daerah
diwajibkan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam
rangka penyiapan wilayah pertambangan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP”.
Penetapan wilayah pertambangan dilakukan oleh Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan penetapan wilayah pertambangan dilakukan dengan
cara :68
a. transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait,
masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial budaya, serta berwawasan lingkungan, dan
c. memperhatikan aspirasi daerah.
Di dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2009 telah menetapkan bentuk
wilayah pertambangan terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari Wilayah
Pertambangan yanng telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi
68
geologi. Penetapan WUP dilakukan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM), dan dapat dilimpahkan sebagian kewenangnya kepada pemerintah provinsi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.69 Untuk satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada
pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota.70 Luas dan batas WIUP untuk Mineral logam dan Batubara ditetetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan
kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.71
a. letak geografis.
Selanjutnya mengenai kriterai sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 18 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, WUP bahwa
kriteria untuk menetapkan 1 (satu) WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai
berikut:
b. kaidah konservasi.
c. daya dukung lindungan lingkungan.
d. optimalisasi sumber daya Mineral dan/atau Batubara, dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
Selanjutnya Pasal 20 sampai dengan Pasal 26 dari Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, mengatur mengenai
Wilayah Pertambangan Rakyat. WPR adalah bagian dari Wilayah Pertambangan
69Pasal 15 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 70Pasal 16 dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 71
tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Kegiatan pertambangan
rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. Pejabat yang berwenang menetapkan WPR
adalah bupati/walikota setelah mengadakan konsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Bupati/walikota. Kreteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai
berikut :
a. mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau
di antara tepi dan tepi sungai;mengumum
b. mempunyai cadangan primer logam atau Batubara dengan kedalaman
maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima)
hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang, dan/atauukurannya 15
(lima belas) tahun.
Untuk menetapkan WPR tersebut bupati/walikota berkewajiban mengikuti
asas publisitas yaitu dengan melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada
masyarakat secara terbuka. Pengumumannya dapat dilakukan dengan cara
menempelkan pada pengumuman di kantor bupati/walikota yang bersangkutan yang
mudah diketahui oleh masyarakat, mengumumkan melalui media surat kabar atau
elektronik. Maksud dari pengumuman tersebut adalah memberikan kesempatan
dirugikan, dan ini merupakan pengawasan dari masyarakat yang perlu mendapat
perhatian.Wilayah Pencadangan Negara (WPN) adalah bagian dari Wilayah
Pencadangan Negara yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
Pasal 27 dari Undang- Undang Pertambangan Mineral dan Batubara,
menetapkan bahwa;
1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan
memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang
dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam
rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan batas waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK(Wilayah Usaha Pertambangan
Untuk dapat melakukan perubahan status dari WPN menjadi WUPK
dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :72 a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri.
b. sumber devisa negara.
c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana.
d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.
e. daya dukung lingkungan; dan/atau
f. penggunaan teknoklogi tinggi dan modal investasi yang besar.
Persoalan utama sehubungan dengan WUPK berada pada pemerintah daerah
yang akan diusahakan, pemerintah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah
setempat.
Di dalam pasal 30, menetapkan bahwa satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau
beberapa WIUPK yang beradapada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Luas dan batas
WIUPK Mineral logam dan Batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi
dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimilki oleh
Pemerintah.73 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut :74
a. letak geografis;
72Pasal 28 dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2Kriteria untuk009. 73Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.
74
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya Mineral dan/atau Batubara; dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
Setelah diuraikan materi pengaturan yang berhubungan dengan bentuk
wilayah pertambangan, Undang-undang nomor 4 tahun 2009, memberikan batasan
tentang usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau
Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta pascatambang.75
a. Pertambangan Mineral
Usaha pertambangan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu pertambangan Mineral dan pertambangan Batubara.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan Mineral yang berupa
bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Adapun golongan pertambangan Mineral, yaitu:
1) Pertambangan Mineral radio aktif.
Untuk WUP Mineral radio aktif ditetapkan oleh Pemerintah dan
pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
75
2) Pertambangan Mineral logam.
Pertambangan Mineral logam adalah Mineral ikutannya. WIUPMineral logam
diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang.
Pemegang IUP Eksplorasi Mineral logam diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 5.000 ha dan paling banyak 100.000 ha.Mengenai luas WIUP yang
dapat diberikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi Mineral dengan
ukuran paling banyak 25.000 ha.
3) Pertambangan Mineral bukan logam.
Pada prinsipnya WIUPMineral bukan logam diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan, prosedurnya dengan cara mengajukan
permohonan wilayah kepada pejabat pemberi izin yang berwenang. Kepada
pemegang IUP Operasi Produksi Mineral bukan logam dapat diberi WIUP
dengan luas paling banyak sedikit 5 (lima) ha dan paling banyak 5.000
ha.Selanjutnya kepada pemegang IUP Operasi Produksi batuan dapat
diberikan WIUP dengan luas paling banyak 1.000 ha.
b. Pertambangan Batubara.
Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di
dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Tidak seperti
pada pertambangan Mineral, untuk pertambangan Batubaratidak dikenal adanya
macam-macam penggolongan. WIUPbatubara diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan dengan cara mengikuti lelang. Paling sedikitmegang
ha dan paling banyak 50.000 ha. Produksi Batubara dapat diberi WIUP dengan
luas paling banyak 15.000 ha.
B. Penerapan Peraturan Perundang Undangan Pertambangan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup
1. Izin Lingkungan Hidup Dalam Kaitannya dengan pertambangan
Sebagaiman telah diuaraikan, bahwa di dalam Undang-undang Nomor 4 tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, salah satu asasnya adalah asas
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang secara terencana mengintegrasikan
dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha
pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan
masa mendatang.
Gagasan pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan
(Environmentally sustainable development), yang dikembangkan para pakar ekonomi,
ilmu sosial, dan merupakan alternatif terhadap model-model pembangunan yang
sedang berjalan. Paradigma tersebut pada galibnya, merupakan suatu ikhtisar untuk
meningkatkan standard dan kualitas hidup manusia tanpa mendegradasi lingkungan
hidup yang sangat dibutuhkan demi menjaga survivalisme hidup manusia. Itulah
suatu paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat (put the
people first), mengutamakan persamaan dan keadilan, menghargai nilai-nilai sosial
dan kultural, mengakui partisipasi rakya, pertumbuhan ekonomi yang lebih
diharapkan untuk lebih berorientasi pada hak-hak asasi manusia dan pada ciri-ciri
pembangunan berkesinambungan.76
Salah satu instrumen dalam upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah
perizinan
Asas dan paragdigma tersebut telah dijabarkan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, antara lain dalam Pasal 1 butir 3 dari Undang-undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
menetapkan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana
yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
77
. Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat
diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.78
Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap
76Harman K Benny, Hak Asasi dan Pembangunan Berkesinambungan, Majalah Andal, No.7, 1992. hlm 5.
77
Pasal 14 Undang-undang nomor 32 tahun 2009, instrumen pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup terdiri atas, KLHS, Tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, UKL-UPL, perizinan....dstnya.
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyrakat. Perizinan dapat berbentuk
pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan
sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi
perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu
kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya
dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan. Dengan demikian berarti, pada pokoknya izin , bahwa sesuatu tindakan
dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila
kriteria-kriteriayang telah ditetapkan penguasa tidak dipenuhi. Misalnya, tentang hal ini
adalah dilarang mendirikan suatu bangunan atau dilarang untuk melakukan suatu
kegitan usaha dalam pengelolaan Sumber Daya alam, kegiatan itu baru boleh
dilakukan jika ada izin tertulis dari pejabat yang berwenang dengan ketentuan
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.
Salah satu bentuk yang berhubungan dengan substansi dari penulisan ini
adalah izin lingkungan, yaitu izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai persyaratan untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.79
79
Pasal 1 butir 35 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009.
perusahaan yang melakukan usaha dibidang apa saja terutama yang melakukan
pengelolaan terhadap sumber daya alam wajib memiliki izin dari pihak yang
berwenang yaitu Pemerintah. Sejalan dengan perkembangan keadaan dan semua
kegiatan yang terdapat pada sektor-sektor terkait dengan diberlakukannya ketentuan
yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dimulai
dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, Undang-undang Nomor 23 tahun 1997
dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 setiap perusahaan wajib memiliki izin
lingkungan hidup.
Izin lingkungan diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 32
tahun 2009, yang menyebutkan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib
memiliki Amdal atau UKL-UPL, wajib memiliki izin lingkungan. Kewajiban tersebut
dilatarbelakangi, karena negara atau pemerintah berkeinginan agar setiap perusahaan
untuk bersungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah
atau diminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah tetapi juga
merupakan tanggung jawab masyarakat termasuk perusahaan.
Di dalam pasal 68 dari Undang-undang nomor 32 tahun 2009 menyebutkan,
bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
Sebagai penjabaran dari ketentuan tersebut, adalah pengaturan yang
mewajibkan pengusaha wajib memiliki izin lingkungan karena pemerintah
bermaksud serius untuk mengawasi lingkungan hidup dan mewujudkan keadaan
lingkungan hidup dan ingin mewujudkan keadaan lingkungan hidup yang lebih baik
dan sehat kemasa depan. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.80 Selanjutnya menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penangung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap
terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.81
Berdasarkan uraian tersebut di atas, setiap kegiatan Usaha Pertambangan
wajib memiliki izin lingkungan, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 36 ayat
(1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
Pengaturan mengenai izin lingkungan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
80Pasal 72 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
27 tahun 2012, di dalam Pasal 1 butir 1 menetapkan, bahwa izin lingkungan adalah
izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut
Amdal, adalah kejadian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.82 Sedangkan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap Usaha
dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha
dan/atau Kegiatan.83
Untuk dapat mengetahui, bahwa suatu usaha dan/ atau kegiatan dalam hal ini
perusahaan, dampak84
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
penting ditentukan berdasarkan kriteria :
b. luas wilayah penyebaran dampak;
82Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, jo Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 20`12.
83Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, jo Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012.
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.85
Selanjutnya Pasal 23 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 menetapkan sebagai
berikut:Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib
dilengkapi dengan amdal terdiri atas :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbaharukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. proses & kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
85
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
Usaha di bidang pertambangan termasuk di dalam kriteria berdampak penting
terhadap lingkungan hidup karena setidak-tidaknya memenuhi kriteria huruf a sampai
dengan huruf d dari Pasal 22 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, dan juga
kegiatan yang berdampak penting sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 23 ayat (1)
pada huruf a sampai dengan huruf, e, karena inti dari usaha pertambangan adalah
melakukan penggalian tanah dengan jumlah, kedalaman dan luas yang akan
menimbulkan akibat besar antara ;lain tanah longsor, ambles, tidak subur, tidak
mudah direklamasi, banjir dan berdampak akan merugikan kepada masyarakat luas
yang ada disekitar pertambangan, serta akibat yang ditimbulkan pasca pertambangan.
Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Menteri NegaraLingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 05 tahun 2012 tentang
Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal, dalam bidang Energi dan Sumber
daya Mineral dan Batubara, jenis kegiatan Eksplorasi (operasi produksi) Mineral dan
Batubara, terdiri dari luas perizinan dengan skala besar > 200 ha, luas daerah terbuka
untuk pertambangan > 50 ha (kumulatif partikel).86
86
Setelah diketahui kegiatan apa saja yang wajib Amdal, maka di dalam Pasal 2
dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, menetapkan :
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL –
UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui
tahapan, kegiatan yang meliputi :
a. penyusunan Amdal dan UKL-UPL.
b. penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL, dan
c. permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.
Penyusunan Dokumen Amdal, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dari Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, yaitu :
(1) Amdal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusun oleh
Pemrakarsa pada tahap perencanaan suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
(2) Lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan sebagarencana tata imana
dimaksud ayat (1) wajib sesuai dengan tata ruang.
(3) Dalan hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib
dikembalikan kepada Pemrakarsa.87
Penilaian Amdal ini dimulai dari Kerangka Acuan, Andal, RKL-RPL yang
telah disusun oleh Pemrakarsa diajukan keapada :
a. Menteri melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat.
b. Gubernur melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal procvinsi.
c. Bupati/walikota melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota.
Jika Kerangka Acuan, dapat disepakati , Komisi Penilai Amdal menerbitkan
persetujuan Kerangka Acuan, selanjutnya pemrakarsa menyusun Andal, RKL-RPL
yang juga diajukan dan dinilai melalui rapat Komisi Penilai Amdal, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 29 dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, sebagai
berikut:
1) Komisi Penilai Amdal, berdasarkan hasil penilaian Andal dan RKL-RPL
menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal.
2) Komisi Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan
RKL-RPL, kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
3) Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL dapat berupa:
b. rekomendasi kelayakan lingkungan; atau
c. rekomendasi ketidaklayakan lingkungan.
4) Rekomendasi ditetapkan berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi:
a. perkiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari
kesehatan masyarakat pada tahap pra konstruksi, operasi dan pascaoperasi
Usaha dan/atau Kegiatan.
b. hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh Dampak Penting hipotetik
sebagai sebuah kesatuan yang paling terkait dan saling mempengaruhi,
sehingga diketahui pertimbangan Dampak Penting yang bersifat positif
dengan yang bersifat negataif; dan
c. kemampuan Pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab
dalam menanggulangi Dampak Penting yang bersifat negatif yang akan
ditimbulkan dari Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan, dengan
pendekatan teknologi, sosial, dan kelembagaan.
5) Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Andal
dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan
dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Pemrakarsa untuk diperbaiki.
Selanjutnya Menteri, gubernur atau bupati/walikota berdasarkan rekomendasi
atau penilai akhir dari Komisi Penilai Amdal, menetapkan keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup paling
sedikit memuat :88
a. dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan;
b. pernyataan kelayakan lingkungan;
c. persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan RKL-RPL; dan ayat
(4) huruf c.
88
Dalam Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib
memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, keputusan Kelayakan
Lingkungan hidup harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Permohonan izin lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab
Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Permohonan izin lingkungan
disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL.89 Setelah menerima permohonan izin lingkungan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
wajib mengumumkan permohonan izin lingkungan.90
Pengumuman dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi
Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen
Andal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi.
Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap
pengumuman dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diumumkan. Saran, pendapat, dan tanggapan dapat disampaikan melalui wakil
masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi
anggota Komisi Penilai Amdal.91
89Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012. 90Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012. 91
Penerbitan Izin Lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,92
a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuatdalam izin lingkungan
dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup’
dan kewajiban pemegang izin
lingkungan adalah :
b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan
dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota; dan
c. menyediakan dana penjamin untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Laporan disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.93
Berdasarkan uaraian di atas, dapat diketahui bahwa tujuan diterbitkannya izin
lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup, memberikan kejelasan
prosedur; mekanisme dan koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan perizinan
untuk usaha dan/atau kegiatan, dan memberikan kepastian hukum dalam usaha
dan/atau kekegiatan. Selain itu pula dengan diterbitkannya izin maka telah
menimbulkan akibat hukum antara pemerintah dan perusahaan yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan.
92Pasal 47 dan Pasal 48 dari Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2012. 93
2. Ketentuan dalam pemberian Bentuk Izin Pertambangan
Pengertian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan.94
a. Perinsip Pemberian IUP
Perinsip pemberian IUP yang diatur di dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah
satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang.Satu IUP diberikan untuk
satu jenis Mineral atau Batubara.Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis
tambang.
Penyimpangan terhadap prinsip tersebut dimungkinkan.Hal ini dapat terjadi
apabila orang yang sudah diberikan IUP, pada waktu melakukan penambangan
menemukan Mineral lain di dalam WIUP yang dikelilanya.Pemegang IUP yang
bersangkutan dapat diberikan prioritas oleh Pemerintah untuk dapat
mengusahakannya.
Apabila pemegang IUP bermaksud mengusahakan Mineral lain yang
ditemukantersebut, maka prosesnya tidak secara serta merta, di mana yang
bersangkutan dapat langsung mengusahakannya.Akan tetapi pemegang IUP wajib
mengajukan permohonan IUP baru kepada pejabat yang berwenang (menteri,
gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya).
Dapat pula sebaliknya pemegang IUP menyatakan tidak berminat untuk
mengusahakan Mineral lain yang ditemukan tersebut. Meskipun pemegang
94
IUPtersebut tidak berminat untuk mengusahakan Mineral lain yang ditemukan,
namun yang bersangkutan berkewajiban menjaga Mineral lain tersebut secara hukum
melekat kepada penemunya karena sekaligus sebagai pengelola tambang di WIUP
dan baru berakhir kewajibannya setelah habis masa IUP-nya.
Oleh karena Mineral lain sebagai pertambangan yang dikuasai negara dan
belum ada yang diberi IUP, maka dapat IUP tetap dapat diberikan kepada pihak lain
oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pemberian IUP ada 2 (dua) macam yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi, yang penerbitan izinnya dilakukan secara bertahap.95 1. IUP Eksplorasi
IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama dan kegiatannya
meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis pertambangan
Mineral logam dan Mineral bukan logam.Untuk jenis pertambangan Mineral
logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8
(delapan) tahun.Sedangkan untuk IUP Eksplorasi untuk pertambangan
Mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun.Adapun IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan Batubara
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.96
95Pasal 36 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 96
Selanjutnyajika di dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi
kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan Mineral atau Batubara
dari yang tergali, maka yang bersangkutan diwajibkan untuk melaporkan hal
tersebut kepada pihak pemberi IUP. Hasil tambang yang didapatkan itu
statusnya adalah dikusai oleh negara.Jadi maka prosedurnya wajib
mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan
penjualan.Sehubungan dengan keuntungan yang diperoleh dari penjualan hasil
tambang yang tergali itu, maka pemegang izin sementara tersebut diwajibkan
untuk membayar iuran produksi kepada negara yang secara tidak langsung
merupakan pembagian keuntungan.
2. IUP Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi
diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan kontruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan.
Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin undang-undang untuk memperoleh
IUP Operasional Produksi karena sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya.IUP Operasional Produksi dapat diberkan kepada
perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, koperasi atau perseorangan
atas hasil pelelangan WIUP moneral logam atau Batubara yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
IUP Operasinal Produksi untuk pertambangan Mineral logam dapat diberikan
masing-masing 10 (sepulu) tahun. Sedangkan untuk pertambangan Mineral
bukan logam IUP Operasional Produksinya dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 10 (sepulu) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun.97
1. Bupati/Wali Kota
Kemudian IUP Operasional Produksi untuk pertambangan Mineral bukan
logam jenis tertentu antara lain batu gamping untuk industri semen, intan dan
batu mulia dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali
masing-masing 10 (sepulu) tahun. Sedangkan IUP Operasional Produksi
untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima)
tahun.
Selanjutnya mengenai IUP Operasional Produksi untuk pertambangan
Batubara dapat diberikan dalam jangka paling lama 20 (dua puluh) tahun
dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.Pejabat
yang berwenang memberikan IUP Operasional Produksi diberikan adalah :
Apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta
pelabuhan berada dalam satu wilayah kabupaten/kota, maka Bupati/Wali Kota
yang memberikan izin tersebut.
2. Gubernur.
97
Kewenangan Gubernur memberikan IUP Operasional Produksi, apabila lokasi
penambangan , lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di
dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatakan
rekomendasi dari Bupati/Wali Kota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Menteri.
Menteri ESDM berwenang memberikan IUP Operasional Produksi, apabila
lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan
berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan
rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Wali Kota setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.98
98
Pasal 48 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009
Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasional Produksi memiliki
kebebasan untuk melakukan baik sebagian atau seluruh kegiatannya sesuai
dengan izin yang diberikan.
3. Ketentuan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Pasal 1 butir 10 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 memberikan batasan
Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dari
Undang-undang nomor 4 tahun 2009 dikelompokkan sebagai berikut :
a. pertambangan Mineral logam;
b. pertambangan Mineral bukan logam;
c. pertambangan batuan; dan/atau
d. pertambanganBatubara.
Pejabat yang berwenang memberikan izin pertambangan rakyat adalah
Bupati/Walikota, terutama kepada penduduk setempat, baik kepada perseorangan
maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Pelaksanaan kewenangan tersebut
dapat dilimpahkan Bupati/Walikota kepada camat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara yang
mengenal delegeringatau pelimpahan weweang pejabat atasan kepada pejabat
bawahan. Oleh karena camat bertindak atas nama Bupati/ Walikota untuk
memberikan IPR kepada penduduk setempat.99
99
Gatot Supramono, Op Cit, hlm 30.
Selanjutnya untuk memperoleh IPR tersebut, maka prosedurnya permohonan
wajib menyampaikan surat permohonan yang ditujukan kepada Bupati/Walikota.
Meskipun sudah ada pendelegasian wewenang kepada camat, namun permohonan
Didalam Pasal 68 ayat (3) dari Undang-undang nomor 4 tahun 2009
menetapkan, bahwa luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut :
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) ha.
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) ha, dan/atau
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) ha.
IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
kembali untuk jangka waktu yang sama.
Akibat hukum yang timbul dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), sesuai
dengan Pasal 69 dari Undang-undang nomor 4 tahun 2009, hak pemegang IPR
adalah:
a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan
kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketententuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan kewajiban dari pemegang IPR berdasarkan pasal 70, yaitu :
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR
b. mematuhi peraturan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan
dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi
standar yang berlaku.
c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;
d. membayar iuran tetap dan iuran produksi, dan
e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat
secara berkala kepada pemberi IPR.
Selain wajib mengikuti aturan hukum,pemegang IPR wajib mengikuti aturan teknis
pertambangan.
4. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
Pasal 1 butir 11 Undang undang nomor 4 tahun 2009, memberikan batasan
bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut dengan IUPK
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.
Pejabat yang berwenang memberikan IUPK adalah Menteri ESDM, dengan
memperhatikan kepentingan daerah. Pemberian IUPK dilakukan dengan prinsip satu
izin untuk satu tambang, dalam hal ini Menteri memberikan untuk 1 (satu) jenis
Mineral logam atau Batubara dalam 1 (satu) WIUPK. Sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 74 dari Undang-Undang nomor 4 tahun 2009, sebagai berikut :
2. IUPK sebagimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis
Mineral logam atau Batubara dalam 1 (satu) WIUPK.
3. Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang menemukan
Mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk
mengusahakannya.
4. Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan Mineral lain sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada
Menteri,
5. Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat menyatakan
tidak berminat untuk mengusahakan Mineral lain yang ditemukan tersebut.
6. Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan Mineral lain yang
ditemukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) wajib menjaga Mineral lain
tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
7. IUPK untuk Mineral lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dan Ayat (5)
dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.
Sebagai dasar pertimbangan pemberian IUPK sebagaimana ditetapkan Pasal 75 Ayat
(1) adalah Pasal 28 Undang-undang nomor 4 tahun 2009, yaitu :
a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri,
b. sumber devisa negara,
c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana.
d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;
f. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.
Pertimbangan untuk memberikan IUPK di atas sifatnya alternatif atau
kumulatif, karena Menteri ESDM dalam memberikan izin tersebut tidak seluruh
unsur harus dipertimbangkan.Apabila dipandang salah satu unsur sudah dapat
dipertimbangkan untuk pemberian izin, unsur-unsur lainnya tidak perlu
dipertimbangkan lagi.100
a. Dikembalikan, pemegangIUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP
atau IUPK nya dengan menyampai pernyataan secara secara tertulis kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan
disertai dengan alasan yang jelas antara lain sudah selesai pekerjaannya, atau
menghadapi kendala yang mengalami kesulitan untuk meneruskan
pekerjaannya. Pengembalian IUP atau IUPK akan dinyatakan sah setelah
disetujui oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dan setelah pemegang izin bersangkutan memenuhi
kewajibannya.
Semua izin yang diterbitkan pemerintah pada waktunya nanti akan berakhir
karena suatu alasan. Izin-izin untuk kepentingan pertambangan pada prinsipnya
berakhir dengan alasan yang sama satu dengan lainnya. Di dalam Pasal 117 dari
Undang-undang nomor 4 tahun 2009 disebutkan bahwa IUP dan IUPK berakhir
karena alasan-alasan yaitu:
100
b. Dicabut, IUP atau IUPK dapat dicabut oleh pejabat pemberi izin sesuai
dengan kewenangannya dengan alasan sebagai berikut:
1) Pemegang izin tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP
atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.
2) pemegang izin melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
undang-undang ini; atau
3) pemegang izin dinyatakan pailit.
c. Habis masa berlakunya, apabila jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan
IUPK telah berakhir dan pemegangnya tidak mengajukan permohonan
peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan
tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut menjadi berakhir
masa berlakunya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat peraturan perundang-undangan
sebagai landasan yuridis untuk mewujudkan pengelolaan pertambangan sumber daya
Mineral dan berwawasan lingkungan hidup, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 sebagai ketentuan hukum pertanahan yang mengatur hak-hak atas tanah yang
terdapat dilapisan bumi, Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 merupakan ketentuan
hukum pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur pengolahan sumber daya
Mineral dan Batubara yang terdapat di dalam bumi mulai dari permukaan tanah
(dua puluh lima) hektare101. Pemegang IUP Eksplorasi Mineral logam diberi WIUPdengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000
(seratus ribu) hektare.102
Selain itu pula terdapat ketentuan yang berhubungan dengan kegiatan usaha
pertambangan yaitu Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012
tentang Izin Lingkungan sebagai ketentuan untuk mewujudkan pertambangan
Mineral dan Batubara yang berwawasan lingkungan hidup. Ketentuan ini merupakan
kewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah agar setiap perusahaan untuk
bersungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah atau Dari ketentuan di atas, bahwa pengaturan terhadap lapisan bumi diatur dalam
Undang-undang Pokok Agraria, sedangkan ketentuan yang berhubungan dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya Mineral dan Batubara diatur dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009. Sehingga terdapat keterkaitan batubara
diantara ketentuan tersebut dalam melakukan aktivitas pertambangan secara yuridis
dan menetapkan kewenangan diantara pemegang hak yang diberikan oleh ketentuan
tersebut.
101Pasal 22 dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, luas maksimal wilayah pertambangan rakyat, yang sudah dikerjakan sekuarn-kurannya 15 (lima belas) tahun.
102
diminimalkan terjadinya kerusakan dalam lingkungan hidup terutama pasca
pertambangan.103
Selanjutnya untuk mengetahui implementasi peraturan perundang-undangan
hak atas pengelolaan pertambangan dalam pemanfaatan sumber daya Mineral dan
Batubara yang berwawasan lingkungan, apakah sudah optimal pengaturannya dapat
dilakukan sinkronisasi,104 atas ketiga Undang-undang yang menjadi dasar hukum aktivitas pertambangan tersebut. Sinkronisasi atas peraturan tersebut untuk
mengetahui dari sektor eksternal penyebab belum dapat diimplementasinya ketentuan
yang berhubungan dengan pertambangan Mineral dan Batubara dalam mewujudkan
pertambangan yang berwawasan lingkungan hidup. Sinkronisasi dapat dilakukan
secara horizontal dan vertikal105
Sinkronisasi secara vertikal ketiga undang-undang tersebut didasari oleh
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3)
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengingat Mineral dan Batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam
103Peraturan Pemerintah 78 tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca tambang. Pembangunan berkelanjutan pada daerah bekas tambang akan menjadi promosi yang terbaik terhadap industri pertambangan untuk beroperasi di daerah lainnya.
104Sinkronisasi ini berdasarkan hirachie perundang-undangan, psl 7 (1) dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2004, UUD 1945, Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu
dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi
kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Penjabaran dari substansi tersebut
dikemukan dalam Penjahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia
dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk
hidup laiinnya.
Sinkronisasi secara vertikal terdapat perbedaan yang mendasar antara
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009
dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
bersifat Undang-Undang Pokok yang penjabarannya aturannya dilaksanakan dengan
Undang-Undang, Peraturan-perundang-undangan, sedangkan kedua Undang-undang
tersebut di atas bersifat Sektoral dan ini berimplikasi pada semakin beragamnya
tautan ini menyebabkan disharmonisasi hukum yang justru melahirkan
persoalan-persoalan hukum disatu sisi, disisi lain memperdalam ketimpangan strukur agraria.106
Secara vertikal Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 harus dijabarkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah sebagaimana
telah diuraikan di atas, terutama yang menyangkut mengenai kewenangan pada
tingkat Pemerintah, provinsi dan kabupaten kota untuk membentuk peraturan agar
ketentuan itu dapat dilaksanakan secara optimal dalam mewujudkan pengelolaan
pertambangan berwawasan lingkungan hidup. Terdapat kesamaan asas yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, baik di dalam Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 yaitu asas yang secara
terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam
keseluruhan usaha pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan
kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.107
- Prosedur dan penetapan wilayah pertambangan yang dilakukan oleh
Pemerintah berdasarkan data-data yang diperoleh dilapangan dari hasil Implementasi dari ketentuan tersebut di atas dalam prosedur kegiatan usaha
pertambangan dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
106Dari data konflik agraria tahun 2011 terdapat 163 kasus, 97n kasus diperkebunan, 36 kasus disektor kehutanan, 21 kasus disektor infrastruktur, 8 kasus disektor pertambangan...Oki Hajiansyah Waha. Dlm Jurnal Ius Univ Mataram 2013.