BAB II
PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN ASING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan
1. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat yang
dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana
Pencurian Ikan.
Indonesia saat ini mempunyai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor : 154), tanggal 29 Oktober 2009,
yang menggantikan Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor :118), karena pada bagian menimbang dari
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 huruf b dan c dikemukakan bahwa
pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang
berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem
penegakan hukum yang optimal sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi
dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber
daya ikan.27
27 Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bagian menimbang (b dan c).
Dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum
itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam
penerapannya banyak terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan
politik hukum pemberlakuan undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat
bahwa politik hukum itu sendiri berbeda dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli
hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli hukum tentang apa itu hukum,
pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak
bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah,28
Rouscoe Pound menyatakan tentang “ law as a too of social engineering” sebagai
keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah
perjalanan masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan itulah pendapat Satjipto Rahardjo tentang politik dan
hukum, bahwa menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan
dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihadapkan dengan hukum.
Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka
undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya,
dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan
kemakmuran rakyat.
melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound
ini berbanding terbalik dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa
hukumlah yang lebih berperan dalam gerak langkah masyarakat ke depan. Dikaitkan
dengan undang-undang, maka undang-undang yang dibuat di Dewan Perwakilan
Rakyat haruslah benar-banar selayaknya dapat memobilisasi masyarakat kearah yang
lebih baik. Dihubungkan lagi dengan pendapat Van Savigny mengatakan bahwa
hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat, ini berarti
bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan politiknya.
Van Savigny berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa disatukan satu
dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang
lainnya.29
29 http:/ilmu hukum,umsb.ac.id, diakses tanggal 18 Juni 2013.
Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi
mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang
semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk
kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan
pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang
yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal
asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa
undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita
cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang nomor 31
Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada:30
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak
menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ),
melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah
sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana
Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang
tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan 1. Hal Pembatasan Penangkapan
Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia.
2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Selain itu
TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan31
31 Lihat penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
juga dapat memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas masyarakat Nelayan
untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dengan cara
memberdayakan anggota masyarakat Nelayan. TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 10 hari. Dalam
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.32
Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari,
memperoleh dan memberikan informasi yang berhubungan dengan tindak pidana
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Peran serta masyarakat yang
terpayungi oleh Undang-Undang ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk
4. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau
yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk
menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan
dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
“setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa pasal
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai
niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara
Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan
oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan. Penahanan pun tidak
boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara,
selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya
8. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana Selesai
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada perbedaan punishment
antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tindak pidana tidak selesai
(percobaan), sedangkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan
hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana
percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat
besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun.33
a. Kejahatan yang menyangkut penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/ Delik
percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, namun tindak pidana
tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tindak pidana
percobaan dan pelaku tindak pidana selesai harus dibedakan. Dari ketentuan pidana
yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari
segi bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.
1. Bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal,
84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, 94, dan 94A.
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 84).
b. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau menggunakan alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya
ikan di kapal penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia, (Pasal 85)
c. 1. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
2. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan
dan/atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia.
3. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan hasil
rekayasa genetik yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
4. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan obat-obatan dan
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 86).
d. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan memasukkan, mengeluarkan,
mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan dan/atau ke luar
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, ( Pasal 88).
e. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal
91)
f. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan usaha perikanan di bidang
penangkapan, pembudayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan,
yang tidak memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan ( SIUP ) di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 92).
g. 1. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut
2. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan
Ikan.
3. Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang tidak membawa Surat Ijin Penangkapan IKan ( SIPI ) asli.
4. Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) yang
tidak membawa Surat Ijin Penangkapan Ikan ( SIPI ) asli, (Pasal 93).
h. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak
memiliki Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ( SIKPI ), (Pasal 94).
i. Kejahatan yang menyangkut memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI,
dan SIKPI palsu, (Pasal 94 A).
2. Bentuk perbuatan yang dikategorikan Pelanggaran sebagaimana diatur dalam
a. 1. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfa yang berkaitan dengan
sumber daya ikan.
2. Pelanggaran yang menyangkut kelalaian di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia ( WPP-RI ) mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan, (Pasal 87).
b. Pelanggaran yang menyangkut melakukan penanganan dan pengolahan ikan
yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengelolaan
ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan, (Pasal 89).
c. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari/atau ke Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk
konsumsi manusia, (Pasal 90).
d. Pelanggaran yang menyangkut perbuatan membangun, mengimpor atau
memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu,
(Pasal 95).
e. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal
f. 1. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang
selama berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
tidak menyimpan alat penangkap ikan di dalam palka.
2. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan
1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang membawa alat penangkapan ikan
lainnya.
3. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang
tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada
di luar daerah penangkapan ikan yang di izinkan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 97).
g. Pelanggaran yang menyangkut Nakhoda kapal perikanan yang akan berlayar
tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan oleh
Syahbandar di pelabuhan perikanan, (Pasal 98).
h. Pelanggaran yang menyangkut setiap orang asing yang melakukan penelitian
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak
i. Pelanggaran yang menyangkut melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), (Pasal 100).
j. Pelanggaran yang menyangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 A,
pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan
pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang melibatkan
pejabat, (Pasal 100 A).
Klasifikasi kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan tersebut di
atas sesuai rumusan hukum pidana dari Moelyatno, yang menyatakan hal-hal sebagai
berikut:
a. Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu
Negara.
b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana.
c. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai
perbuatan pidana.
d. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana.
e. Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban hukum pidana
(criminal liability atau criminal responsibility).
g. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada hukum
pidana.34
Berdasarkan rumusan dari Moelyatno di atas dalam tindak pidana perikanan
dapat dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang akan
diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada.
Sinkronisasi peraturan dalam bidang perikanan dapat dilihat dari :
1. Dalam pengelolaan sumber daya ikan
Pengelolaan sumber daya ikan terdapat dalam Pasal 3 butir (a) sampai butir (i)
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan, pengelolaan perikanan
dilaksanakan dengan tujuan.35
(a) Meningkatkan taraf hidup Nelayan kecil dan pembudidayaan ikan.
(b) Meningkatkan penerimaan dan devisa Negara.
(c) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.
(d) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan.
(e) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan.
34 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, ( Yogyakarta : Penerbit Liberty
1987), hal. 19.
35Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
(f) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing.
(g) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan.
(h) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal, dan
(i) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata
ruang.
Uraian pasal di atas merupakan perwujudan dasar Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Undang-Undang lain mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pasal 3 huruf (d) menyatakan “ Tujuan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan pada Pasal 4 angka (3) mengenai
jumlah yang boleh ditangkap diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
473a/Kpts/Ik.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang
diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ).
Pasal 3 mengenai daerah dan jalur penangkapan ikan pelaksanaannya diatur dalam
Per.05/Men/2012 tentang perubahan ke dua atas peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan
Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan dalam Pasalnya
menyebutkan “Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia terdiri atas :36
a. Jalur Penangkapan Ikan I, terdiri dari :
1. Jalur penangkapan ikan I-A, meliputi perairan pantai sampai dengan 2
(dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
2. Jalur penangkapan ikan I-B, meliputi perairan pantai di luar 2 ( dua ) mil
laut sampai dengan 4 (empat) mil laut.
b. Jalur Penangkapan Ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 ( dua belas ) mil laut diukur dari permukaan air laut pada
surut terendah.
c. Jalur Penangkapan Ikan -III, meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan
perairan di luar jalur penangkapan ikan II, sampai dengan 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
2. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan
Mengenai pemanfaatan Sumber Daya Ikan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan
36Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2012
Pasal 24 Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dalam Pasal 26 ayat (1) disebut “bahwa setiap orang yang melakukan usaha
perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemasaran ikan di Wilayah Pengeloaan Perikanan Republik Indonesia, wajib memiliki
Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP).37 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dalam pasal 8 menyatakan “Pemberian Ijin kepada orang/badan hukum Indonesia
yang bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia untuk menangkap ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan yang berlaku bagi usaha perikanan Indonesia” dan
terdapat juga dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.12/Men/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 6
ayat (1) bahwa “ Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan
kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
wajib memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP)”.38
37Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
38 Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap Pasal 6 ayat (1).
Dalam Pasal 6 ayat (2)
disebutkan “ Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal
Republik Indonesia wajib melengkapi dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI)
untuk setiap kapal yang digunakan. Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa setiap kapal
pengangkut ikan berbendera asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3) wajib dilengkapi dengan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Perijinan juga diatur dalam Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan Perusahaan
perikanan atau perusahaan bukan perusahaan perikanan berbadan hukum Indonesia
yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib terlebih dahulu
mengajukan permohonan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Mengenai perijinan diatur juga dalam Pasal 2 yang di dalamnya diatur jenis-jenis
perikanan tangkap meliputi : penangkapan ikan, penangkapan dan pengangkutan ikan
dalam satuan armada penangkapan ikan, dan pengangkutan ikan. Dan perizinan usaha
perikanan tangkap meliputi: Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).39
39 Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 12/Men/2009 tentang perubahan
atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diatur mengenai “ Setiap
orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di luar Wilayah
2. Pertanggungjawaban Pidana dan Penerapan Sanksi PidanaTerhadap
Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI )
Beberapa ahli mengatakan dalam Hukum Pidana ada tiga persoalan yang
mendasar. Saner, berependapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan
strafe. Sementara Packer menyebut ke tiga masalah itu berkenaan dengan crime,
responsibility dan punishment.40 Menurut Soedarto persoalan-persoalan tersebut
berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana yang diancamkan terhadap
pelanggaran larangan itu.41 Masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan
dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.42
40 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenada Media, 2006),hlm.7.
41 Soedarto, Tentang Penbaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kertas Kerja, pda symposium Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980)
42 Chairul Huda, Op.Cit.
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus
diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana
yang dilakukannya, dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga
kita mengetahui secara jelas apakah orang tersebut harus diminta
pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur
1. Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Perbuatannya tersebut
meskipun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan,
hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan
masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah ( subjective guilt ).
Di sini berlaku apa yang disebut dengan “TIADA PIDANA TANPA
KESALAHAN” ( keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld ) NULLA
POENA SINE CULPA ( “Culpa “ di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan ). Dari
apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas
beberapa unsur ialah :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat ( Schuldfahigkeit atau
Zurechnungsfahigkeit ) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
Ketiga unsur ini telah terpenuhi maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana.43
Hukum pidana fisikal berbeda halnya yaitu tidak memakai kesalahan. Jadi jika
orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan
pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai
kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang
berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam
penerapannya. Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang
lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidanan.
Pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana, tindak pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan, tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut
mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertangungjawaban dalam
hukum pidana. “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder
schuld:actus non facit reum nisi mens sir rea )”.
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan
leer van het materiele feit (fait materielle).44
Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang
tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat
ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.45
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
46
a. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi
dasar adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.
44 Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R. 1916 Nederland ( Van Bammalen Arresten strafrecht), hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku aja tanpa kesalahan, tak mungkin di pidana.
45 Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Pidato Ilmiah.
46 Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 88. Kesalahan dapat ditinjau dari 3sisi yakni:
a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan suatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam
hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari pembuat.
Hubungannya terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan
psychis perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian
untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal di samping melakukan
tindak pidana, yaitu:
1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan
2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang
dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
c. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian
psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya
unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban
dalam hukum.
d. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat
semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal.
e. Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya
biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya yakni segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak
kesalahan, mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan
bagian dalam dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) merupakan bagian luar dari padanya. Artinya kesalahan
merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya dapat
dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat
dihindarkan, sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang
bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela.47
Kesengajaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu
tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa.
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur
kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan
tersebut meliputi :
a. Kesengajaan
48
Kesengajaan ini
biasanya suatu kondisi dimana melaksanakan suatu perbuatan, yang didorong oleh
suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak sesuatu.49
47 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jkarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), hlm.163.
48 S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 166
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak
dan teori pengetahuan atau membayangkan.50
Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan, yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi
dasar untuk melakukan perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian
jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Menurut teori pengetahuan atau teori
membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah
“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan si pembuat,
ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat.
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat” (voorhomen) dan
dengan rencana terlebih dahulu (met vooberachterade). Dalam pasal 35 ayat (1)
KUHP tentang percobaan dikatakan “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam
hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak
sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.
51
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)
50 Moeljatno, Op.Cit., hlm.171-176
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid).
3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met
waarschlijkheidbewustzijn).
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja hanya menghendaki tindakannya
itu tetapi juga mengerti bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu
yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika
menghendaki tindakannya itu artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya
dengan tindakannya, tidak disyaratkan apakah ia mengerti bahwa tindakannya itu
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.52
Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis
kedua yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum
pidana menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari pengertiannya,
apakah suatu tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut
akan memberikan beban kepada para penegak hukum terutama hakim dalam
membuktikannya. Imbalan yang diberikan hanyalah tindakan tertentu (yang harus
diatur dalam undang-undang) yang ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap
orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut
bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan.53
Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai
maksud (dolus directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan
atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud dan tujuan dan
pengetahuan si pelaku, pada delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada
delik material diatur dalam Pasal 338 KUHP. Kedua, kesengajaan dengan sadar
kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang menjadi sandaran adalah seberapa
jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan
salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga, kesengajaan dengan
sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaar delijk opzet) merupakan
kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan
ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana
dan akibat terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku
mengenai kemungkinan terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa
syarat-syarat tertentu.54
b. Kelalaian (culpa)
Kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar larangan
undang-undang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu. Dia alpa, lalai, teledor dalam
melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif
kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.55
Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana
diharuskan oleh hukum.56
Uraian di atas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan
untuk diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana
dianggap hanya sebagai obat terakhir (ultimatum remedium).57
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), kealpaan yang disadari terjadi apabila si
pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
akibat yang menyertai perbuatannya, meskipun ia telah berusaha untuk
mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat
dibedakan atas dua yaitu :
tanggal 20 Mei 2013.
56 Moeljatno. Op.Cit.hlm.171-176.
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat
membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang
terdiri dari :
1. Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut
dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa
kealpaan berat ini tersimpul dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP.
2. Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli
tidak menyatakan dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang
ringan, melainkan dapat terlihat dalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
2. Kemampuan Bertanggung jawab
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada
masa itu tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan
hewan atau benda mati lainnya dapat dipertanggungjawabkan tindak pidananya.
Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya
akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa
itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada pelaku meskipun mereka tidak melakukan
didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk
dan jumlah hukuman.
Setelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar
falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab
taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini
seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang
dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik.58
I… use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjected to the exaction.”
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :
59
Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan,60
menurutnya bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum
semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan
yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebaga“toerakenbaarheid”,
diakses tanggal 11 Mei 2013.
59 Roscou Pound, “an introduction to the philosophy of law” dalam Romli Atmasasmita,
“criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana yang
dimaksud disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya itu.61
Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggung jawab, karenanya tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawab
kan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Simons menyatakan bahwa
kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan psykis, yang membenarkan
adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun
orangnya,62 seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila;63
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum
c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya secara
negatif yakni:64
a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si
terganggu karena penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si
pembuat tersebut pada saat perbuatan dilakukan.
b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan
perbuatannya, dalam hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah
hakim.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan batin orang
yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung
jawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang
mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang
dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik
oleh masyarakat.65
Kemampuan bertanggung jawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang
mengatakan seseorang yang mampu bertanggung jawab harus memiliki tiga syarat,
yaitu: pertama, dapat mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua,
dapat memgerti bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat; ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.66
65 Sutrisna, I Gusti Bagus, “ Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tinjauan
terhadap pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78.
Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta
penjatuhan pidana. Setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,67
Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang
pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan yakni
pertama, pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak
senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua, pendekatan ini yang melihat
kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal
sehingga ia berbuat jahat.
3. Alasan Penghapusan Pidana
Di dalam KUHP pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam
Buku I Bab III tentang hal- hal yang mengahapus atau memberatkan pengenaan
pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini secara umum
dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat
dalam buku ke satu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua
buku sebagaimana terdapat dalam buku ke dua (tentang kejahatan) dan buku ke tiga
(tentang pelanggaran). Alasan penghapusan pidana di samping diatur dalam bagian
umum buku ke satu KUHP ( yang berlaku secara umum ) juga pengaturannya terdapat
dalam bagian khusus buku ke dua KUHP ( yang berlaku secara khusus bagi tindak
pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).
pidana. Ketidakmampuan bertanggung jawab sebenarnya merupakan alasan
penghapusan kesalahan atau alasan pemaaf. Menentukan keadaan di mana seseorang
tidak mampu bertanggung jawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui
metode berikut, yakni :68
a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa
seseorang yang dilakukan oleh psikiater.
b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa
abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah
akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu
bertanggung jawab dan tidak dapat dipidana.
c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa
itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu bertanggung
jawab.
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan
dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau
pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum)
yakni:
a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang
ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah
atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan
perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam ketentuan
Umum KUHP alasan penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu
Bab III. Adapun alasan pemaaf yang terdapat pada KUHP adalah :
1. Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggung jawab karena tidak sempurna
akal, jiwanya atau terganggu karena sakit.
2. Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat
diharapkan dari sipembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya
paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni :69
a) Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam,
dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat dihukum.
b) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang
yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan
mengadakan perlawanan.
3. Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri
dari beberapa syarat yaitu :70
a. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan
b. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan
jiwa yang hebat.
c. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan,
maka harus ada hubungan kausal antara keduanya.
4. Pasal 51 ayat (2) yakni itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang
tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :71
a) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah
b) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang
diperintah.
b. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah pada :
1) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau paksa
(noodweer) yang memiliki syarat :
a. Adanya serangan. Tidak pada semua serangan dapat diadakan
pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat seketika; langsung
mengancam; melawan hukum; sengaja ditujukan pada badan, peri
kesopanan, dan harta benda.
b. Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu, dengan
syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan; pembelaan harus
menyangkut pembelaan pada badan, peri kesopanan dan harta benda.
2. Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu peraturan
perundang-undangan. Perundang-undangan di sini maksudnya adalah tiap
peraturan yang dibuat oleh pemerintah, maka kewajiban/tugas itu
diperintahkan oleh peraturan perundangan. Ketentuan
undang yang dimaksud di sini bukan hanya undang-undang dalam arti
formil saja, tetapi juga setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu
kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang
menurut Undang-Undang Dasar dan ketentuan undang-undang.
B. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal
Fishing) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ).
1. Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana
Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan habisnya
mengingat justru aspek pidana merupakan bagian yang terpenting dari suatu
undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa
jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan. Pemidanaan agar dapat dipahami
lebih mendalam maka harus diketahui dasar dari pemidanaan yang dimulai dari aliran
klasik.72
72 Teguh Presetyo dan Abdul Halim Halim Berkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hl. 73-75. Menurut J.D. Mabbott, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter). J.D. Mabbott memandang seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari pelanggaran hukum, artinya jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hokum maka orang itu harus dipidana. Menurut Ted Honderich, berpendapat pemidanaan memuat 3 (tiga) unsur, yaitu : 1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.
2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.
Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yaitu system
sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Berkaitan dengan itu Sudarto menyatakan
bahwa aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak
pidana.73 Aliran ini muncul pada abad ke XVIII yang berpaham interminisme
mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku
kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan ( daad-strafrecht ),
karenanya, system pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan
pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan
ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya penetapan sanksi dalam
undang-undang tidak dipakai system peringanan atau pemberatan yang berhubungan
dengan factor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan
terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang
dilakukan.74
Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :75
d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana a. Definisi hukum dari kejahatan
b. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya
c. Doktrin kebebasan berkehendak
73Ibid, hlm.76. Lihat Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pida Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974.
74 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm.25-26 dan 62.
e. Tidak ada riset empiris dan
f. Pidana yang ditentukan secara pasti
Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan
memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau
mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak
belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak
manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat
dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran
modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya aliran ini
bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisme
pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.76
Aliran modern memiliki cirri-ciri sebagai berikut :77
76Ibid, hlm. 64.
77 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit.hlm.25-26. a. Menolak definisi hukum dari kejahatan
b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana
c. Doktrin determinisme
d. Penghapusan pidana mati
e. Riset empiris dan
Perkembangan selanjutnya muncullah aliran neo-klasik yang juga
menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of free
will). Aliran ini telah berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan
kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran
neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum,
tidak realistis dan bahkan tidak adil.78 Aliran ini berpangkal dari aliran klasik yang
dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran modern. Ciri dari aliran ini
yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin
kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggung jawaban pidana. Beberapa
modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan
(mitigating-circumstance) baik fisikal, lingkungan maupun mental, termasuk
keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu
terjadinya kejahatan. Juga diperkenankan (expert testimony) untuk menentukan derajat
pertanggungjawaban pidana.79
78 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.26.
79 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit.hlm.65-66
Bertitik tolak dari konsepsi-konsepsi ke dua aliran hukum pidana yang tersebut di
atas, lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai
berikut :
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada pidana
tanpa kesalahan)”.
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti
harus ada kelonggaran / fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis
maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana
(perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.80
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar
menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 2. Tujuan Pemidanaanan
Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan
pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam
tataran yang bersifat teoritis. Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat sarjana
seperti menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu :
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut-nakuti orang banyak (general preventif) maupun menakut-nakuti orang
tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar kemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi (special preventif), atau
81
80 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 1996), hlm.43.
81
Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan
masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta
aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran
tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain
sudah tidak dapat diperbaiki lagi.82
Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan.
Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan
Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut :
a. Teori absolut atau teori pembalasan
itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana
menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedangkan pengaruh
yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan Imanuel Kant buku Filosophy of
Law,83
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.
bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya menerima
ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada
anggota masyarakat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :
84
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana
dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang
menajadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan
teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana” hal itu
akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak
memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.
83 E. Utrecht. Op.Cit. hlm. 157.
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan
pembalasan objektif. Pembalasan subjetif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku
sedangkan pembalasan objetif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan
pelaku di dunia luar.85
Karl O. Cristiansen mengungkapkan ciri dari teori retributif, yaitu :
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana
sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa
menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana ringan pun terkadang
merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu
usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor,
misalnya apakah pelaku tindak pidana itu memiliki lapangan kerja atau tidak. Apabila
pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap
seperti lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan
untuk melakukan tindak pidana kembali.
86
e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan
b. Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat.
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli
Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut :87
Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan
tetapi dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit
untuk menjelaskan bahwa seseorang dipidana hanya karena orang telah melakukan
kejahatan. Meskipun rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik
perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat
dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak dapat dihindari dan
tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran
retributif ini disebut vindicative.
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan
anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang
lain atau memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan
menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya
suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut
proportionality.
masyarakat akan tetapi pemikiran yang rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti
tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan perasaan dendam
pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat.
b. Teori relatif atau teori tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi
terhadap teori absolut. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah
sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu
:88
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de
maatschaapplijke order).
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari
terjadinya kejahatan ( het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschaappelij
ke nadeel )
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader)
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de maken van de
misdadiger)
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad )
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat tentang teori ini,
bahwa :
tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan
(utilitarian theory).Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena
orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).89
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya
dapat dijadikan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia
merupakan mahluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan
menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap
kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenangan
yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan dari pidana adalah :
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di
dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada
si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk
mempertahankan ketertiban umum.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu :
a. prevensi umum (generale preventive)