Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian
A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan
Nanda Sartika 101121012
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perilaku Nyeri Pasien Post
Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”.
Skripsi ini dapat selesai ditulis karena arahan, masukan, dukungan, dan
koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing skripsi saya
di Fakultas Keperawatan USU yang telah banyak memberikan arahan,
masukan, dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS selaku penguji proposal skripsi saya
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan skripsi
ini.
4. Ibu Siti Saidah, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji I dan Ibu Salbiah,
S.Kp, M.Kep selaku dosen penguji II, yang telah memberikan masukan dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr. M. Nur Rasyid Lubis, SpB, FINACS selaku Direktur SDM dan
6. Ibu Arliza Juairiani, Msi, Psikolog selaku dosen Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungannya dalam
memvalidasi instrumen penelitian saya.
7. Teristimewa kepada Papa, Mama, dan keluarga tercinta yang selalu
memberikan semangat dan doanya sehingga skripsi ini dapat segera
diselesaikan.
8. Adikku tersayang Dwinta Kartika yang telah banyak membantu dalam
mengarahkan penulisan pengetikan.
9. Sahabat-sahabatku Dwi, Ismu, dan Uni, yang banyak membantu, selalu
mendukung dan mendoakanku dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan karena keterbatasan
ilmu dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, kritikan dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Akhir kata peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan.
Medan, Januari 2012
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan Skripsi ... ii
Prakata ... iii
Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Konsep Nyeri ... 6
2.1.1. Definisi Nyeri ... 6
2.1.2. Klasifikasi Nyeri ... 7
2.1.3. Fisiologi Nyeri ... 8
2.1.4. Teori Nyeri ... 10
2.1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 13
2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri ... 18
2.1.7. Pengkajian Nyeri ... 19
2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri ... 28
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri ... 30
2.3.3. Instrumen Perilaku Nyeri ... 32
2.4. Tipe Kepribadian A dan B ... 36
Bab 3. Kerangka Penelitian 3.1. Kerangka Konsep ... 40
3.2. Definisi Operasional ... 41
4.2. Populasi dan Sampel ... 43
4.5.1. Kuesioner Data Demografi ... 46
4.5.2. Kuesioner Tipe Kepribadian A dan B ... 46
4.5.3. Lembar Observasi Perilaku Nyeri ... 48
4.6. Uji Validitas ... 50
4.7. Uji Reabilitas ... 51
4.8. Pengumpulan Data ... 52
4.9. Analisa Data ... 54
Bab 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1. Hasil Penelitian... 55
5.1.1. Karakteristik Demografi Tipe Kepribadian A ... 55
5.1.2. Karakteristik Demografi Tipe Kepribadian B ... 58
5.1.3. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ... 61
5.2. Pembahasan ... 63
5.2.1. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A ... 63
5.2.2. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian B ... 68
5.2.3. Parameter Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ... 71
Bab 6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan ... 74
6.2. Saran ... 75
6.2.1. Saran Bagi Perawat... 75
6.2.2. Saran Bagi Pendidikan Keperawatan ... 75
6.2.3. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 75
Daftar Pustaka Lampiran:
1. Surat Persetujuan Menjadi Responden 2. Instrumen Penelitian
9. Lembar Hasil Uji Reliabilitas 10.Master Tabel
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Indikator perilaku nyeri ...29
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik
Demografi Responden Tipe Kepribadian A ...56
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik
Demografi Responden tipe Kepribadian B ...59
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perilaku Nyeri Pasien Post
Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ...62
Tabel 5.4. Mean dan Standar Deviasi Parameter Perilaku Nyeri Pasien Post
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mekanisme Teori Gate-Control ...12
Gambar 2.2. Intensitas (skala) Nyeri ...20
DAFTAR SKEMA
Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama : Nanda Sartika
Jurusan : Sarjana Keperawatan
Tahun : 2012
Abstrak
Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, sampel diambil dengan metode pengampilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 47 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner data demografi, kuesioner tipe kepribadian A dan B, dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain
Behavior Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih
dari setengah responden (51,85%) tipe kepribadian A mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat tinggi. Sedangkan pada tipe kepribadian B, mayoritas responden (75%) tipe kepribadian B mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang. Dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur, grimacing (ekspresi wajah) adalah perilaku nyeri yang frekuensinya paling sering diekspresikan oleh responden dengan tipe kepribadian A (M = 1.81, SD = .39) dan B (M = 1.4, SD = .50). Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan diagnosa yang sama untuk setiap responden, intensitas nyeri yang sama, lama hari rawat yang sama ketika memberikan aktivitas-aktivitas untuk mengkaji perilaku nyeri pasien agar didapatkan hasil yang lebih akurat.
Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama : Nanda Sartika
Jurusan : Sarjana Keperawatan
Tahun : 2012
Abstrak
Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, sampel diambil dengan metode pengampilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 47 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner data demografi, kuesioner tipe kepribadian A dan B, dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain
Behavior Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih
dari setengah responden (51,85%) tipe kepribadian A mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat tinggi. Sedangkan pada tipe kepribadian B, mayoritas responden (75%) tipe kepribadian B mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang. Dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur, grimacing (ekspresi wajah) adalah perilaku nyeri yang frekuensinya paling sering diekspresikan oleh responden dengan tipe kepribadian A (M = 1.81, SD = .39) dan B (M = 1.4, SD = .50). Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan diagnosa yang sama untuk setiap responden, intensitas nyeri yang sama, lama hari rawat yang sama ketika memberikan aktivitas-aktivitas untuk mengkaji perilaku nyeri pasien agar didapatkan hasil yang lebih akurat.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepribadian adalah pola kognitif, afektif, dan perilaku yang berbeda dan
karakteristik yang menentukan gaya personal individu serta mempengaruhi
interaksinya dengan lingkungan (Sarafino, 2002). Kepribadian mengatur
tingkah laku manusia dalam merespons hal-hal yang ada di lingkungannya,
dan setiap individu mempunyai cara yang berbeda-beda dalam merespons hal
tersebut sesuai dengan tipe kepribadiannya. Tipe kepribadian dibagi dalam
dua jenis, yaitu tipe kepribadian A dan B. Hal ini diungkapkan Friedman dan
Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002; Sarafino, 2006) sebagai orang yang
pertama sekali memperkenalkan pembagian tipe kepribadian A dan B pada
manusia. Tipe kepribadian A adalah perilaku atau emosional yang
dikarakteristikka n dengan tingkat kompetitif (persaingan) yang tinggi, sangat
menghargai waktu, pemarah, dan suka bermusuhan. Sedangkan tipe
kepribadian B adalah perilaku atau emosional yang dikarakteristikkan dengan
tingkat kompetitif (persaingan) yang rendah, lebih santai terhadap waktu,
tenang, dan tidak mudah marah (Sarafino, 2006).
Hasil penelitian Friedman & Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002),
menyatakan bahwa ada hubungan kepribadian dengan perilaku seseorang.
Sehingga dengan mengetahui tipe kepribadian pasien, perawat dapat
penting bagi perawat mengindentifikasi tipe kepribadian pasien pada saat
melakukan pengkajian nyeri. Karena setiap individu cenderung untuk
menunjukkan perilaku nyeri ketika mereka merasakan ketidaknyamanan, dan
setiap individu menunjukkan tipe dan pola perilaku yang berbeda pula
(Sarafino, 2002). Seperti halnya fenomena yang sering kita lihat di rumah
sakit, setiap individu mempunyai perilaku yang berbeda-beda dalam
menghadapi nyeri yang mereka rasakan. Perilaku ini sangat beragam dari
waktu ke waktu (Smeltzer & Bare, 2001). Ketika pasien berada pada
beberapa tingkat nyeri, perilaku tersebut dihubungkan dengan nyeri yang
akan terjadi (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Dengan menganalisa
perilaku nyeri dapat membantu perawat dalam memberikan penilaian dasar
dan cara menentukan hal-hal apa yang menyebabkan nyeri yang dialami
pasien (Taylor, 1995; Taylor, 2009).
Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam
merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan ekspresi
wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan
cemas. Ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan penuh
toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian orang merespons nyeri dengan
menangis, mengerang dan menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di
tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi
rasa nyeri. Ada juga orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi atau
Nyeri merupakan masalah utama pasien post operasi (Alexander & Hill,
1987). Kira-kira 80 % pasien post operasi mengalami nyeri sedang sampai
hebat (Rekozar, 2005). Nyeri post operasi biasanya berlokasi pada area
pembedahan. Intensitas nyeri yang dirasakan tergantung pada lokasi, jenis
pembedahan, persepsi pasien tentang nyeri, dan lain-lain (Good &
Roykulcharoen, 2004).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 19 Maret
2011, didapatkan data bahwa jumlah pasien post operasi di ruang rindu B2
RSUP HAM Medan rata-rata sebanyak 47 orang per bulan selama satu tahun
terakhir. Dengan jumlah pasien yang relatif banyak ini, perawat harus lebih
fokus lagi dalam mengkaji nyeri yang dirasakan pasien. Salah satu komponen
pengkajian yang penting adalah mengidentifikasi tipe kepribadian pasien
sehingga perawat mengetahui perilaku nyeri pasiennya. Penelitian mengenai
perilaku nyeri pada pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B
belum pernah dilakukan di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan. Oleh karena
itu, peneliti melakukan penelitian mengenai perilaku nyeri pasien post
operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM
Medan, agar kita sebagai perawat dapat lebih memahami perilaku yang
ditunjukkan individu khususnya pasien dalam menghadapi nyeri yang
dirasakannya, sehingga perawat dapat bersikap tepat dalam menghadapi
pasien dan dapat menjalankan asuhan keperawatan dengan efektif dan efisien
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe
kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A
dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi perilaku nyeri yang
diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Praktik Keperawatan
Sebagai informasi dan tambahan pengetahuan bagi perawat dalam
memahami perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian
A dan B sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat kepada
pasien dengan masalah keperawatan nyeri dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan.
1.5.2. Pendidikan Keperawatan
Sebagai informasi dan tambahan pengetahuan kepada perawat bahwa
nyeri agar perawat lebih mengetahui perilaku nyeri yang ditunjukkan
pasien post operasi.
1.5.3. Penelitian Keperawatan
Sebagai masukan atau sumber data bagi peneliti lain yang ingin
melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai perilaku nyeri pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (Townsend,
2008), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan
emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan aktual dan potensial. Perasaan yang tidak nyaman tersebut
sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang
dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak &
Chayatin, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer
dan Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan
yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh
individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan
(1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang
kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif
yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda
atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah
suatu perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat
merasakannya, serta berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual
dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus mempercayai
apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena
sifat subjektif dari nyeri ini.
2.1.2.Klasifikasi Nyeri
Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu (1) nyeri akut dan (2)
nyeri kronis (Berger, 1992). Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai
suatu pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman
yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan, yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan dari suatu penyakit seperti pada
luka yang diakibatkan oleh kecelakaan, operasi, atau oleh karena
prosedur terapeutik (Lewis, 1983). Nyeri akut biasanya mempunyai
awitan yang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik.
Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.
Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik,
nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan.
Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya
kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri
akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan pengobatan
(Smeltzer & Bare, 2001).
Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus
menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis
sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri
kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa
ujung-ujung syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri
menjadi mampu untuk memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung
syaraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat
nyeri menjadi mampu mentransmisikan stimulus yang sebelumnya
tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri (Smeltzer & Bare,
2001).
2.1.3. Fisiologi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah
stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi
dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri
(nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama sekali merasakan
nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor
untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine,
bradikinin, asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2001).
Zat-zat kimia ini mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls
nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf bebas yang termasuk dalam
nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus, bermielin,
dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan
intensitas nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak
dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta
bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten
(Taylor, 2009).
Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta,
tetapi beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat
aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer
dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada akar dorsal
sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat serabut C
membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander &
Hill, 1987).
Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang
belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan
neurotransmiter (seperti substansi P). Impuls nyeri berpindah ke sisi
yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan merambat ke otak
melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di
thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus
nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak,
individu merasakan nyeri. Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di
neuron motorik melalui arkus reflex di sumsum tulang. Neuron
motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang belakang
untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang
motorik yang merangsang tangan menjauh dari sumber panas (Potter &
Perry, 2009).
Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang dinamakan
neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi
hambat. Substansi P adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan
aksi merangsang. Ini mengakibatkan pembentukan aksi potensial, yang
menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan pasien merasakan
nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan aksi
menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi
kimia lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri
adalah endorfin dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin
yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam
konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat. Kadar endorfin dan
enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga
terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap
orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang mempunyai
kadar endorfin yang banyak akan merasakan nyeri yang lebih ringan
daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit
(Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.4. Teori Nyeri
Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat
dikemukakan, yaitu specificity theory, pattern theory, dan gate control
theory.
a. Teori Spesificity
Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di
tubuh yang menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri.
Ketika reseptor nyeri menerima stimulus, sebuah impuls
ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri spesifik kemudian
diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus (Berger, 1992; Lewis,
1983).
b. Teori Dasar
Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada
reseptor yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls
ke jalur neuron untuk menghasilkan dasar yang diinterpretasikan
oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan ini digabungkann dalam akar
dorsal sumsum tulang belakang untuk menghasilkan intensitas
tertentu dari rangsangan nyeri (Berger, 1992; Lewis, 1983).
c. Teori Gate-Control
Teori ini dikemukakan oleh Melzack & Wall (1965). Teori ini
menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang
belakang berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian
impuls nyeri ke otak (Berger, 1992; Lewis, 1983).
Menurut Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992), teori
belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai
pintu gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang
nyeri dari syaraf perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup
tergantung input dari serabut syaraf besar dan kecil. Peningkatan
aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka gerbang, dan
menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya, peningkatan
aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga
sensasi nyeri tidak sampai ke otak. Melzack & Wall (1965 dalam
Berger, 1992) juga menggambarkan pengaruh kognitif terhadap
persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri sebelumnya,
perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status sosial
ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri
(Berger, 1992). Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu
terhadap stimulus nyeri, dimulai ketika individu pertama sekali
merasakan nyeri (Berger, 1992).
Gambar 2.1
Mekanisme Teori Gate-Control (Mubarak & Chayatin, 2007)
Serabut tebal (besar)
Serabut halus Rangsangan Nyeri
Medula Spinalis otak Kontrol Sentral
Keterangan :
SG: Sel di dalam substansi gelatinosa
T : Sel transmisi sentral (Sel T) terletak di dalam akar belakang (radiks
posterior)
+ : Efek menguat
: Efek menekan
2.1.5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi
oleh faktor fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu
mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:
a. Faktor Fisiologi
Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) umur,
(2) jenis kelamin, (3) kelelahan, (4) gen dan (5) fungsi neurologi.
Umur mempengaruhi persepsi nyeri seseorang karena anak-anak
dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan
orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat
mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum
mempunyai perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit
untuk mengungkapkan nyeri secara verbal dan sulit untuk
mengekspresikannya kepada orang tua ataupun perawat. Pada orang
tua, nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena mereka
sering sama dengan bagian tubuh yang lain. Oleh karena itu,
perawat harus teliti melihat dimana sumber nyeri yang dirasakan
pasien (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009).
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari
Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja
yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa
kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya,
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).
Begitu juga dengan kelelahan, seseorang yang merasakan
kelelahan akan terfokus terhadap pengalaman nyerinya. Jika
kelelahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi nyeri yang
dirasakan pasien akan meningkat. Nyeri merupakan pengalaman
yang sering dirasakan setelah istirahat daripada menghabiskan
waktu sepanjang hari (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).
Penelitian kesehatan mengungkapkan bahwa informasi genetik
yang diturunkan oleh orang tua kemungkinan dapat meningkatkan
atau menurunkan sensitifitas nyeri. Genetik mempunyai
kemungkinan untuk dapat menentukan ambang batas nyeri
seseorang atau toleransi seseorang terhadap nyeri (Potter & Perry,
nyeri seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi
normal dari nyeri (seperti cedera spinal cord, neuropati perifer, atau
penyakit neurologi) sebagai efek kewaspadaan dan respons pasien
(Potter & Perry, 2009).
b. Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) perhatian,
(2) pengalaman nyeri sebelumnya, dan (3) keluarga dan dukungan
sosial. Peningkatan perhatian dihubungkan dengan peningkatan
nyeri (Carrol & Seers, 1998 dalam Potter & Perry, 2009). Seseorang
yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal
yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan
pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat
seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan
memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat
menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2009). Pengalaman
nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu
dan kepekaannya terhadap nyeri. Karena setiap orang belajar dari
pengalaman nyeri sebelumnya. Jika sebelumnya seseorang pernah
mengalami nyeri tanpa adanya pertolongan, maka nyeri yang
dirasakannya saat ini akan dipandangnya sebagai suatu kecemasan
dan ketakutan. Dengan kata lain, jika pengalaman nyeri sebelumnya
mungkin dapat lebih baik mempersiapkan dirinya dengan peristiwa
nyeri yang lain (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).
Seseorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk mendukung, menemani,
atau melindunginya. Walaupun nyeri masih ada, kehadiran keluarga
atau teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
(Potter & Perry, 2009). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa
keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung
merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan individu
yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang
terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).
c. Faktor Spiritual
Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari
nyeri yang dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada
dirinya, apa yang telah dia lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter
& Perry, 2009).
d. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1)
kecemasan dan (2) koping individu. Kecemasan dapat
meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri. Ancaman yang
tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau
peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri.
mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan mengalami penurunan
rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan persepsi nyeri
mereka (Mubarak & Chayatin, 2007). Wall & Melzack (1999 dalam
Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang
aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi,
salah satunya adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi
emosional terhadap nyeri, dapat meningkatkan ataupun
menurunkannya (Potter & Perry, 2009).
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
memperlakukan nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan
lokus internal merasa bahwa diri mereka sendiri mempunyai
kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang yang
mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa
faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan
orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang dirasakannya.
Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting untuk diperhatikan
(Potter & Perry, 2009).
e. Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) makna
nyeri dan (2) suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang
dihubungkan dengan pengaruh pengalaman nyeri dan bagaimana
seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini sangat
nyeri yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan,
hukuman, atau tantangan (Potter & Perry, 2009).
Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka
terhadap nyeri (Davidhizar & Giger, 2004; Lasch, 2002 dalam
Potter & Perry, 2009).
2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri
dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar
ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasa
ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat
mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal,
endokrin, dan immunologik (Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984
dikutip dari Smeltzer & Bare, 2001). Pasien dengan nyeri hebat dan
stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak mampu untuk nafas
dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.
Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi
fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan
pertumbuhan tumor. Nyeri kronis juga sering mengakibatkan depresi
dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk
Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan
dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
pribadi, seperti berpakaian atau makan.
2.1.7. Pengkajian Nyeri
Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana nyeri
dirasakan oleh pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri dan
menggunakan pendekatan dalam pengkajian nyeri, termasuk deskripsi
verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri
yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi: data
subjektif dan data objektif.
a. Data subjektif
1. Intensitas (skala) nyeri
Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala
verbal, misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau
sangat hebat; atau sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak
adanya nyeri, dan 10 mengindikasikan nyeri sangat hebat.
2. Karakteristik nyeri, termasuk area nyeri yang dirasakan, durasi
(menit, jam, hari, bulan), irama (terus-menerus, hilang timbul,
periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan
dari nyeri), dan kualitas (seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri
3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang
bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan apa
yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.
4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya
tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain,
gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.
5. Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai
masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh
terhadap peran dan perubahan citra diri (Smeltzer & Bare, 2001).
Gambar 2.2 Intensitas (skala) Nyeri
(Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009; Smeltzer & Bare, 2001)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana
Tidak ada
Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
Menurut McGuire dan Sheidler (1993 dalam Ardinata, 2007) ada
enam dimensi nyeri, yaitu: (1) fisiologis, meliputi faktor pencetus,
karakteristik, durasi, (2) sensori, meliputi intensitas dan kualitas nyeri,
(3) afektif, meliputi emosional dan psikologis seperti kecemasan dan
depresi, (4) kognitif, meliputi persepsi dan interpretasi tentang nyeri,
(5) perilaku, seperti menyeringai, menangis, merapatkan gigi, dan
lain-lain, (6) sosiokultural, nyeri bisa dipersepsikan berbeda pada etnis
yang berbeda.
Gambar 2.3 Dimensi Nyeri
Fisiologis Sensoris Afektif Kognitif Perilaku Sosiokultural
(Disimpulkan dari Ardinata, 2007)
b. Data objektif
Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respons pasien
terhadap nyeri. Menurut Taylor (1997), respons pasien terhadap
nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan sebagai (1) respons
perilaku, (2) respons fisiologik, dan (3) respons afektif. Skala Analog Visual (VAS)
Tidak ada
nyeri
Nyeri
paling
Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan
verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik
dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan.
Respons perilaku ini sering ditemukan dan kebanyakan diantaranya
dapat di observasi. Individu yang mengalami nyeri akan menangis,
merapatkan gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke
sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai,
mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini sangat
beragam dari waktu ke waktu (Berger, 1992).
Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya pernafasan
dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya
ketegangan otot, dilatasi pupil, berkeringat, wajah pucat, mual, dan
muntah (Berger, 1992). Respons fisiologik ini dapat digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak
sadar (Smeltzer & Bare, 2001).
Respons afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan,
kelelahan, tidak punya harapan, dan depresi juga terjadi pada
pasien yang mengalami nyeri. Cemas sering diasosiasikan sebagai
nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut dapat diantisipasi.
Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis
2.2. Operasi 2.2.1. Definisi
Operasi adalah tindakan invasif yang direncanakan atau tidak
direncanakan, mayor atau minor yang melibatkan bagian atau sistem
tubuh (Taylor, 1997). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (1998),
operasi adalah tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan
tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka. Operasi umumnya dilakukan untuk berbagai alasan
seperti diagnostik, kuratif, separatif, rekonstruktif, kosmetik, dan
paliatif (Taylor, 1997).
2.2.2.Klasifikasi Operasi
Menurut Taylor (1997), berdasarkan tingkat risikonya, maka
operasi dibagi atas: (1) operasi mayor, (2) operasi minor. Operasi
mayor bersifat elektif, urgen, dan emergensi. Operasi mayor
melibatkan organ vicera. Tujuan dari operasi ini adalah
menyelamatkan nyawa (hidup), mengangkat atau memperbaiki bagian
tubuh, memperbaiki fungsi tubuh, dan meningkatkan kesehatan.
Contoh: kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, radikal
mastektomi, amputasi, dan operasi akibat trauma. Operasi mayor
melibatkan organ tubuh yang penting serta berpotensi terhadap
komplikasi postoperasi (Taylor, 1997). Sedangkan operasi minor
secara umum bersifat elektif, bertujuan untuk memperbaiki fungsi
tubuh, mengangkat lesi pada kulit, dan memperbaiki deformitas.
Operasi minor prosedurnya langsung, risikonya rendah, dan
komplikasinya sedikit. Contoh: pencabutan gigi, pengangkatan kutil,
biopsy kulit, kuretase, laparoskopi, arthroskopi, dan ekstraksi katarak
(Taylor, 1997).
2.2.3. Tahapan Operasi
Menurut Taylor (1997), tindakan operasi dibagi atas tiga fase yang
terdiri dari: (1) fase preoperasi, (2) fase intraoperasi, (3) fase post
operasi. Fase preoperasi adalah fase ketika keputusan untuk melakukan
operasi dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Persiapan
preoperasi penting sekali untuk memperkecil risiko operasi.
Fase intraoperasi adalah aktivitas di ruang operasi yang dipusatkan
pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan,
koreksi, atau menghilagkan masalah fisik. Fase ini di mulai ketika
pasien masuk ke ruang bedah berakhir sampai saat pasien dipindahkan
kembali ke ruang pemulihan.
Fase post operasi adalah fase menstabilkan kembali ekuilibrium
fisiologis pasien, menghilangkan nyeri, dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera dalam membantu pasien
mungkin. Mulai masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik (Taylor, 1997).
2.2.4.Anestesi
Anestesi adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi, dan
hilangnya refleks. Anestesi dibagi menjadi dua yaitu: (1) anestetik
yang menghambat sensasi di seluruh tubuh (anestesi umum) dan (2)
anestetik yang menghambat sensasi di sebagian tubuh, seperti anestesi
lokal, regional, epidural, atau anestesi spinal (Smeltzer & Bare, 2001).
Anestesi umum biasanya segera tercapai ketika diberikan anestetik
diinhalasi atau secara intravena. Namun pada anestesi lokal, larutan
yang mengandung anestetik lokal disuntikkan ke dalam jaringan pada
bidang yang direncanakan sebagai tempat insisi (Smeltzer & Bare,
2001). Obat-obat anestesi lokal dapat menghambat hantaran syaraf
pada semua jaringan syaraf, dan ini bersifat reversibel serta dapat
terjadi perbaikan yang sempurna pada fungsi fisiologis. Obat-obat
yang digunakan dalam anestesi lokal yaitu: (1) procaine, dengan waktu
kerja selama ½ jam, (2) lidocaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam,
(3) mepivacaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) teracaine,
dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (5) bupivacaine, dengan waktu
kerja selama 5-7 jam, dan (6) etidocaine, dengan waktu kerja selama
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan
agens anestetik di sekitar syaraf sehingga area yang dipersyarafi oleh
syaraf ini teranestesi (Smeltzer & Bare, 2001).
Anestesi epidural dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan
anestesi ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling dura mater
(Smeltzer & Bare, 2001). Obat-obat yang digunakan dalam anestesi
epidural yaitu: (1) procaine, dengan waktu kerja selama 1 jam, (2)
lidocaine, dengan waktu kerja selama 1,5 jam, (3) mepivacaine,
dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) etidocaine, dengan waktu kerja
selama 4-6 jam, (5) tetracaine, dengan waktu kerja selama 1,5- 2 jam,
dan (6) bupivacaine, dengan waktu kerja selama 3,5- 5 jam (Siahaan,
2000).
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi syaraf yang luas
dengan memasukkan anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid di
tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia
pada ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah (Smeltzer &
Bare, 2001). Obat yang selalu disediakan pada anestesi spinal yaitu
tetracaine (dengan waktu kerja selama 1,5-2 jam), lidocaine (dengan
waktu kerja selama 1,5 jam), dan procaine (dengan waktu kerja selama
1 jam). Namun anestesi spinal yang paling banyak digunakan adalah
2.2.5. Nyeri Post Operasi
Nyeri akut yang sering terjadi adalah nyeri post operasi. Kualitas,
kuantitas, dan durasi nyeri berhubungan secara alamiah dengan proses
pembedahan. Beberapa trauma, termasuk trauma pembedahan,
merupakan kerusakan jaringan. Nyeri dihasilkan dengan melepaskan
substansi di bawah jaringan yang trauma sampai pada ambang batas
nyeri, ini merupakan stimulus normal yang tidak membahayakan.
Panjangnya insisi secara langsung dapat menimbulkan sensasi nyeri
yang dirasakan yang di produksi dengan melepaskan substansi. Durasi
dan luasnya pembedahan juga secara langsung menimbulkan besarnya
nyeri yang dirasakan. Insisi pembedahan yang transversal umumnya
menimbulkan nyeri yang lebih ringan daripada insisi pembedahan
yang vertikal atau diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta
fascia sedikit yang terpotong (Lewis, 1983).
2.3.Perilaku Nyeri 2.3.1. Definisi
Perilaku nyeri merupakan salah satu aspek dari pengalaman nyeri.
Perilaku ini terlihat dan dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah
(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Adanya suatu nyeri yang
dirasakan biasanya ditandai dengan semacam perilaku yang terlihat
atau terdengar yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu perilaku
Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh
output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri
seperti postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring,
mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi.
Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas individu untuk
mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan
berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsional individu
(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).
2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam
merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan
ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan
takut, gelisah, dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap
yang optimis dan penuh toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian
orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan
menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan
mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga
orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan
ketika mengalami nyeri (Berger, 1992).
Cara yang dilakukan individu sebagai respons dari nyeri yang
dirasakannya dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang telah ditemukan
wajah atau ekspresi suara seperti merapatkan gigi dan mengerang
(merintih), mengubah sikap badan atau bergerak seperti berjalan
pincang, dan menjaga area yang sakit. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku nyeri memperkuat bahwa mereka benar-benar merasakan
nyeri, menerima pengakuan mereka dan selanjutnya dapat
menguntungkan mereka seperti tidak pergi kerja. Penguatan perilaku
nyeri yang positif mungkin dapat meningkatkan persepsi nyeri.
Perilaku nyeri juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas dan
mengecilnya otot-otot serta mengurangi hubungan atau interkasi sosial
(Ogden, 2000).
Tabel 2.1
Indikator Perilaku Nyeri (Potter & Perry, 2009)
Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial
4.Menutup mata atau
mulut dengan rapat
2.Tidak dapat bergerak
3.Ketegangan otot
4.Peningkatan gerakan
tangan dan jari
5.Aktivitas yang cepat
6.Gerakan berirama
atau mengikuti
7.Menjaga pergerakan
bagian tubuh yang
Tabel 2.1 (lanjutan)
Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial
nyeri
8. Memegang bagian
tubuh yang nyeri
berkurang
5. Interaksi
dengan
lingkungan
berkurang
2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri
Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri
meliputi beberapa faktor, yaitu:
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan
perilaku nyeri. Beberapa penelitian tela menunjukkan bahwa jenis
kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri
tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002; Asghari & Nicholas, 2001).
Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering
menunjukkan dan mengeluhkan perilaku nyeri daripada laki-laki
(Philips & Jahanshahi, 1986).
b. Intensitas Nyeri
c. Suku/ Budaya
Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang
berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam
mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri
(Lovander & Forhoff, 2002). Kepercayaan barat sungguh berbeda
dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih
tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan
kelemahan, sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas, dan
pluralistik. Bates, Edwards, dan Anderson (1993) mengatakan
bahwa Negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan,
dan emosional serta psikologi (Harahap, 2007).
d. Percaya Diri
Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri
dapat mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 dalam
Harahap, 2007). Pasien dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat
menunjukkan pergaulan yang positif dengan latihan dan negatifnya
dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan
Rosenthal dkk (1990 dalam Harahap, 2007) bahwa percaya diri
berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar
seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri
telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan
pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka
yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri
dengan perilaku nyeri (Harahap, 2007).
e. Pasangan/ anggota keluarga
Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan
kehisupan sosial pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat
yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan
sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976). Menurut Flor, Turk, dan
Rudy (1992 dalam Harahap, 2007) bahwa pasangan dan anggota
keluarga yang lain sering termasuk dalam pengobatan dan
mengajarkan kepada pasien untuk berespons positif pada setiap
aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainnya bagi
perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi
peningkatan nyeri pasien.
2.3.4. Instrumen Perilaku Nyeri
Pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan menunjukkan
perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga
area tubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini
merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang
merasakan nyeri (Harahap, 2007).
Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan
bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri.
Fordyce (1976) mengembangkan metode pengawasan diri melalui
nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama
mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku
seperti: duduk, berdiri, atau berjalan. Pasien juga diminta untuk
melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah
dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan
sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien
tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 dalam
Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri
pada perilaku nyeri kelihatannya akan berat sebelah atau tidak akurat
karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam
melaporkan perilaku nyeri mereka sendiri (Turk & Flor, 1978 dalam
Harahap, 2007).
Moores dan Watson (2004 dalam Harahap, 2007) menggunakan
metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada
pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial
pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga
telah dikritik karena pasien akan cenderung untuk memilih jawaban
yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasan yang paling utama
pada metode pertanyaan dan wawancara adalah bahwa tidak
mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.
Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode
pengamatan secara langsung atau tidak langsung. Metode ini
itu tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri
biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah
pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan
yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan
mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara
tidak langsung kelihatannya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari
itu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka
mungkin akan memanipulasi perilaku mereka, terutama sekali dalam
kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond (1999 dalam Harahap,
2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri harus
mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat
biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan
langsung kelihatannya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih
mudah digunakan (Harahap, 2007). Oleh karena itu penelitian ini
menggunakan metode pengamatan langsung.
Pada metode pengamatan ini, biasanya pasien diminta untuk
melakukan beberapa aktivitas yang telah diinstruksikan dalam protokol
yang sudah distandarisasi. Penggunaan protokol yang telah
distandarisasi ini pertama sekali dikembangkan oleh Keefe dan Block
pada tahun 1982. Keefe dan Block menetapkan serangkaian aktivitas
seperti duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan. Aktivitas ini akan
lima parameter perilaku yang dapat diamati yaitu guarding, braching,
rubbing, grimacing, dan sighing. Kelima parameter inilah yang
nantinya akan diamati (Harahap, 2007).
Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan Pain Behavior
Observation Protocol (PBOP) yang telah distandarisasikan oleh Keefe
dan Block pada tahun 1982. PBOP terdiri dari lima parameter perilaku
nyeri dan dirating dalam 3 poin likert-skale (0 = tidak ada nyeri, 1 =
sering, 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan
dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi (10)
mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi. Serial aktivitas
protokol Keefe dan Block yang telah distandarisasi ini akan
diadaptasikan selama 10 menit. Protokol aktivitas ini meliputi: duduk
untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1
menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode 1 menit dan
lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi selama
1 menit kedua. Pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri
tersebut adalah: (1) guarding, yang mana mengacu pada penjagaan
area tubuh yang sakit, (2) braching, yang mana mengacu pada
kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela, atau pergerakan yang
kaku, (3) rubbing, yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan
pada bagian tubuh yang sakit, (4) grimacing, yang mana mengacu pada
guratan wajah dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti mengerutkan
dan merapatkan gigi, (5) sighing, yang mengacu pada pernafasan atau
menghela nafas (Harahap, 2007).
2.4. Tipe Kepribadian A dan B
Kepribadian adalah karakteristik unik yang dimiliki setiap individu
sebagai suatu kesan yang dapat dilihat oleh orang lain yang mungkin dapat
berganti sebagai respons pada situasi yang berbeda (Schultz, 1994).
Sedangkan menurut Sarafino (2002), kepribadian adalah pola kognitif,
afektif, dan perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya
personal individu serta mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan.
Ahli kardiologi bernama Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah
orang yang pertama sekali mengemukakan tipe kepribadian A dan B. Mereka
melihat adanya perbedaan emosional antara individu yang menderita
penyakit jantung dengan individu yang sehat. Perbedaan emosional ini
mereka lihat dari karakteristik perilaku individu tersebut, sehingga mereka
menyebut perilaku individu yang menderita penyakit jantung tersebut sebagai
perilaku kepribadian A. Sedangkan individu yang sehat disebut sebagai
perilaku kepribadian B (Sarafino, 2002; Sarafino, 2006).
Perilaku tipe kepribadian A terdiri dari tiga karakteristik, yaitu sebagai
berikut:
a. Kompetitif dalam prestasi
Individu dengan tipe kepribadian A cenderung menjadi seseorang yang
mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa merasakan kenikmatan hasil dari
usahanya atau prestasinya.
b. Sangat menghargai waktu
Individu dengan tipe kepribadian A adalah seseorang yang sangat
menghargai waktu. Sehingga mereka sering menjadi seseorang yang tidak
sabar dan tidak suka dengan keterlambatan dan waktu yang mendesak,
mereka juga sangat komitmen dengan jadwal yang sudah mereka susun
dan mereka selalu mencoba melakukan satu kegiatan atau lebih secara
bersamaan, seperti membaca sambil makan atau menonton TV.
c. Pemarah dan suka bermusuhan
Individu dengan tipe kepribadian A cenderung mudah marah sehingga
mereka terlihat sebagai orang yang suka bermusuhan (Sarafino, 2002;
Sarafino, 2006).
Tipe kepribadian A adalah perilaku dan tipe emosional yang ditandai
dengan perjuangan yang agresif secara terus menerus untuk mencapai sesuatu
dalam waktu yang singkat (sedikit) dan sering bersaing dengan orang lain.
Tipe kepribadian A mempunyai kecenderungan (risiko) untuk menderita
penyakit kardiovaskular karena individu ini sering mendapatkan serangan
jantung yang tiba-tiba dan sangat rentan terhadap stress.
Individu dengan tipe kepribadian A tidak sabar dengan orang-orang yang
berperilaku lambat, mereka suka tantangan dan berkompetensi yang lain,
khususnya pada keadaan dengan tingkat persaingan yang sedang, dan mereka
Taylor, 2003). Individu dengan tipe kepribadian A sangat sulit untuk
berhubungan atau menjalin hubungan dengan orang lain, dan mereka
mungkin mempunyai masalah koping dalam situasi yang mengharuskan
pekerjaan yang lambat (situasi yang lambat), berhati-hati dalam bekerja yang
memerlukan fokus dan perhatian yang lebih (K.A. Mattheus, 1982 dalam
Taylor, 2003). Mereka juga mempunyai rasa ketidakpuasan terhadap karier
mereka. Mungkin mereka juga dapat merusak keutuhan keluarga karena
sedikitnya waktu yang mereka habiskan bersama keluarga.
Pada umumnya, individu dengan tipe kepribadian A akan mengorbankan
hubungan sosialnya untuk mencapai prestasi, dan mereka mungkin memiliki
masalah kesehatan yang lebih banyak. Tetapi individu dengan tipe
kepribadian A juga mempunyai perilaku adaptasi. Individu dengan tipe
kepribadian A sangat senang melanjutkan pendidikannya daripada individu
dengan tipe kepribadian B (Glass, 1977 dalam Taylor, 2003), mempunyai
banyak teman dengan jabatan-jabatan yang tinggi, banyak menghabiskan
waktu dengan bekerja dan kurang mendukung hubungan dengan teman
sekerja daripada tipe kepribadian B (Taylor, 2003), memiliki rasa percaya
diri, berbicara keras, berbicara cepat, tidak sabar, dan suka bermusuhan
(Ogden, 2000).
Hal ini sangat berlawanan dengan karakteristik tipe kepribadian B, yang
tidak terlalu kompetitif dalam prestasi, tidak suka mengganggu, rileks, lebih
cenderung lebih santai dan sangat menikmati hidupnya (Sarafino, 2002;
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku
nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B. Adapun
parameter perilaku nyeri yang digunakan dalam penelitian ini mencakup
guarding, braching, rubbing, grimacing, dan sighing (Harahap, 2007).
Berdasarkan tinjauan pustaka, nyeri merupakan masalah utama pada
pasien post operasi (Alexander & Hill, 1987). Dalam hal ini yaitu nyeri akut,
karena nyeri yang dirasakan pasien post operasi berlangsung beberapa jam
setelah operasi, dan keadaan ini membuat pasien merasa tidak nyaman.
Setiap individu cenderung untuk menunjukkan perilaku nyeri ketika mereka
merasakan ketidaknyamanan, dan setiap individu menunjukkan tipe dan pola
perilaku yang berbeda pula (Sarafino, 2002). Hasil penelitian Friedman &
Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002), menyatakan bahwa ada hubungan
kepribadian dengan perilaku seseorang. Mereka membagi tipe kepribadian
menjadi dua bagian yaitu tipe kepribadian A dan B. Dengan adanya tipe
kepribadian ini, memungkinkan individu untuk menunjukkan perilaku yang
Skema 3.1
Kerangka Penelitian Perilaku Nyeri
Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B
Keterangan:
--- : variabel yang tidak diteliti
: variabel yang diteliti
3.2. Definisi Operasional
Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas pasien post operasi untuk
mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan berperan
signifikan dalam penurunan tingkat fungsionalnya. Perilaku nyeri ini diukur
dengan cara mengobservasi perilaku pasien post operasi ketika merasakan
nyeri dengan menggunakan lembar observasi. Perilaku nyeri pasien post
operasi di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan diobservasi dengan
menggunakan 5 parameter perilaku nyeri yaitu: (1) guarding, yaitu menjaga
area yang sakit, (2) braching, yaitu pergerakan anggota tubuh yang sakit, (3)
yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5) sighing, yaitu menghela nafas.
Selanjutnya perilaku nyeri tersebut dirating dalam 3 point skala likert, yaitu 0
menunjukkan nyeri tidak ada, 1 menunjukkan nyeri sering, 2 menunjukkan
nyeri selalu. Perilaku nyeri ini diobservasi secara langsung selama 10 menit.
Jumlah skor perilaku nyeri dimasukkan dalam 3 level yaitu rendah, sedang,
dan tinggi. Tingkat skor perilaku nyeri tersebut adalah (0-3) rendah, (4-7)
sedang, dan (8-10) tinggi. Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan
dari kelima parameter perilaku nyeri yang tersebut diatas. Skor tertinggi (10)
mengindikasikan bahwa level perilaku nyeri yang tinggi. Perilaku nyeri ini
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam
mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan
data (Nursalam, 2009). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif. Desain ini dipakai untuk menerangkan atau menggambarkan
bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan
tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.
4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi
Populasi adalah subjek yang mempunyai kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien post operasi minimal hari ke tiga yang mengalami nyeri
yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan. Berdasarkan
survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 19 Maret 2011,
diperoleh data bahwa jumlah pasien post operasi yang dirawat di ruang
rindu B2 RSUP HAM Medan rata-rata sebanyak 47 orang per bulan
4.2.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2009).
Menurut Arikunto (2002), apabila populasi kurang dari 100 maka
sampel yang diambil adalah semua jumlah dari populasi. Maka jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 47 orang pasien post operasi yang
dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.
4.2.3. Sampling
Sampling adalah proses seleksi sampel yang digunakan dalam
penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan
mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2009). Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling,
yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau
sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).
Subjek yang dijadikan sampel adalah subjek yang kebetulan jumpa di
ruang rindu B2 RSUP HAM Medan secara bersamaan pada waktu
pengumpulan data (Nursalam, 2009), dengan kriteria sampel sebagai
berikut:
a. Pasien post operasi minimal hari ke 3 (Wardani, 2011).
b. Pasien sadar dan kooperatif dengan GCS: 15 (komposmentis).
c. Pasien yang mengalami nyeri akibat tindakan operasi.
e. Bersedia menjadi subjek penelitian.
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan pada
tanggal 19 Juli 2011-13 Agustus 2011. Alasan peneliti memilih ruang rindu
B2 RSUP HAM Medan tersebut sebagai tempat penelitian adalah karena
jumlah pasien post operasi yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM
Medan relatif banyak, serta keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki
peneliti sehingga penelitian ini hanya dilakukan di ruang rindu B2 RSUP
HAM Medan. Pertimbangan lain adalah efesiensi waktu dan lokasi RSUP
HAM Medan yang dekat dengan Universitas Sumatera Utara. Selain itu, di
ruang rindu B2 RSUP HAM Medan tersebut belum pernah dilakukan
penelitian mengenai perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe
kepribadian A dan B.
4.4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Fakultas
Keperawatan USU dan izin dari RSUP HAM Medan. Lembar persetujuan
untuk menjadi responden diberikan kepada subjek penelitian. Sebelum
responden menandatangani lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu
menjelaskan maksud, tujuan, dan proses penelitian yang akan dilakukan serta
dampak yang mungkin terjadi selama dan setelah proses pengumpulan data.
lembar persetujuan tersebut dan atau menyetujuinya secara lisan. Jika subjek
menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati haknya.
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak mencantumkan
nama subjek pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh
subjek. Lembar tersebut hanya diisi dengan menggunakan inisial nama
subjek. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh
peneliti.
4.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri
dari tiga bagian, yaitu (1) kuesioner data demografi, (2) kuesioner tipe
kepribadian A dan B, dan (3) lembar observasi perilaku nyeri.
4.5.1. Kuesioner Data Demografi
Kuesioner data demografi terdiri dari inisial nama, usia, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, agama, suku,
jumlah penghasilan tiap bulan, diagnosa, skala nyeri, pengalaman
operasi sebelumnya, obat penurun nyeri, jenis anestesi dan jenis
operasi.
4.5.2. Kuesioner Tipe Kepribadian A dan B
Kuesioner ini menggambarkan tentang tipe kepribadian seseorang
A atau B, sebagai data penunjang terhadap perilaku nyeri yang
dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Adapun klasifikasi pertanyaan
terdiri dari pertanyaan karakteristik tipe kepribadian A sebanyak 20
butir (No. 1-20) dan pertanyaan karakteristik tipe kepribadian B
sebanyak 6 butir (No. 21-26).
Kuesioner ini dimodifikasi sendiri oleh peneliti berdasarkan teori
yang sudah ada dengan menggunakan skala Guttman, dengan cara
menetapkan bobot jawaban untuk tiap-tiap item, yaitu apabila pasien
menjawab ya pada butir pertanyaan (No. 1-20) maka nilainya 1 untuk
masing-masing jawaban, dan apabila pasien menjawab tidak maka
nilainya 0 untuk masing-masing jawaban. Sedangkan apabila pasien
menjawab ya pada butir pertanyaan (No. 21-26) maka nilainya 0 untuk
masing-masing jawaban, dan apabila pasien menjawab tidak maka
nilainya 1 untuk masing-masing jawaban. Karena pada dasarnya tipe
kepribadian A dan B adalah saling berlawanan.
Nilai terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi
adalah 26. Berdasarkan rumusan statistika Hidayat (2009):
Dimana ί merupakan panjang kelas dengan rentang nilai tertinggi
dikurangi nilai terendah. Rentang kelas sebesar 26 dan banyak kelas 2,
sehingga diperoleh ί = 13. Dengan ί = 13 dan nilai terendah 0 sebagai
batas bawah kelas pertama, maka pasien yang digolongkan sebagai