SKRIPSI
Diajukan oleh
IBM. ANDHIKA SUPRIATMAN
NIM: 108044100077
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
IBM. Andhika Supriatman
NrM. 108044100077
Di Bawah Bimbingan:
NIP. 1 95507 061992031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA.
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 9 Desember 2014 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
/_
/Dr. JM. Muslimin. MA NIP. 19680812 199903
2or4
PANITIA UJIAN
Ketua
Sekretaris
Pernbimbing
Penguji I
Penguji II
Kamarusdiana. S.Ag. MH t9720224 t9l
Sri Hidayati. 19710215 19,
Dr. KH. A. J
)803 I 003 M.Ag )703 2 002
Lraini Svukri Lcs . MA
l 9550706 l 99 203 I 00 1
Oosinr Arsaclani. MA 19690629 20080r
l
0i6satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2014
ISLAM DAN HUKUM POSITIF/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014/1-88 Halaman/2 Lampiran
Adanya analisis penetapan ini karena terdapat ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur tentang pelaksanaan adopsi.
Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan permohonan pemohon untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah. Kedua hal tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bukti tersebut bisa dilihat dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Kemudian berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Kata Kunci: Penetapan, Pengangkatan anak, Hukum Islam, dan Hukum Positif.
i
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puja dan puji selalu dipanjatkan kepada
Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan hidup setiap saat, setiap detik, tanpa
pernah merasa bosan ataupun lelah sekalipun. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari jurang yang penuh kekelaman menuju pusaran terang
benderang yaitu pusaran iman dan takwa seperti saat ini.
Selama penulisan skripsi ini dan selama penulis mengenyam bangku
perkuliahan di Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Hukum Keluarga
Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi dari
berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA.
2. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum,
ii
serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, Al-Ustadz Dr. KH. A.
Juaini Syukri, Lcs,. MA.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu pemahaman
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Orang tua tercinta, ayahanda Drs. H. Ketut Imaduddin Djamal, SH., MM.,
serta ibunda Ety Supriaty, S.Pd., berkat doa, bantuan, bimbingan, serta
nasihatnya lah penulis dapat memiliki energi untuk menyelesaikan skripsi
ini.
7. Abanganda Wazir Iman Suprianto, serta adinda-adinda Agung Sidang
Amirulhaj, Gusti Muhamad Malikul Madani, serta Iday Imanety Jamilah
yang tak henti-hentinya memotivasi penulis.
8. Teman-teman seperjuangan, Peradilan Agama 2008 B, khususnya para
“Serigala Terakhir”, Ali Seto, Udi Wahyudi, Akbar Alfaththa,
Fachrurrozy, Ade Taufik, yang selalu menemani dan membantu di
iii
10.Teman-teman Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN) Jakarta.
Tanpa kalian, penulis bukanlah siapa-siapa.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga senantiasa
menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan
atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah
khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 9 Desember 2014
iv
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
D. Studi PustakaTerdahulu ... 10
E. Metode Penelitian... 11
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak ... 16
B. Sejarah Pengangkatan Anak ... 21
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam ... 32
D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Indonesia... 38
BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR A. Sejarah Pengadilan Negeri Denpasar ... 43
B. Yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar ... 45
v
DENPASAR
A.Konsep Pengangkatan Anak menurut Hukum Islam... 54
B. Prosedur Pengangkatan anak Menurut Hukum positif
Indonesia... 60
C.Analisis Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps ... 72
BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 84
B. Saran-saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang MasalahAnak adalah amanat yang harus senantiasa kita jaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi. Sebagai anugerah dari Tuhan, anak harus dijaga secara normatif demi
kepentingan fisik maupun psikisnya.1
Adapun jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah pewaris dan sekaligus potret depan bangsa di masa mendatang, generasi
penerus cita-cita bangsa. Mereka adalah pewaris peradaban, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan
perlindungan kepada anak. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
1
tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
Pancasila serta kemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.2
Keinginan untuk memiliki keturunan adalah hal yang mutlak dimiliki
oleh kebanyakan manusia. Hal ini menjadi permasalahan yang penting dalam
kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Untuk terus melestarikan
kehidupan manusia diatas bumi ini maka proses regenerasi manusia harus selalu
dilakukan.
Lazimnya, untuk mendapatkan keinginan ini didahului dengan proses
perkawinan. Dimana salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh
keturunan dari pasangan yang menikah tersebut. Keinginan yang alamiah dari
setiap pasangan yang telah melangsungkan perkawinan untuk memiliki
keturunan. Yang kelak akan melanjutkan kehidupan orang tuanya dengan
mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya.
Sejalan dengan hal diatas, menurut Subekti, perkawinan oleh
undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging), dalam hal ini
suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan
mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan
tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya
memberikan bantuan (binjstand) kepada si isteri dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum.3
2
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.8. 3
Namun adakalanya dimana pasangan yang telah menikah tidak dapat
memiliki keturunan. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu,
kelainan genetik, faktor turunan dari keluarga, ataupun faktor penyakit yang
diderita oleh salah satu pasangan atau bahkan kedua-duanya. Untuk mengatasi
permasalahan tidak memiliki keturunan tersebut, maka mayoritas umat manusia
memilih solusi pengangkatan anak.
Pengangkatan anak ini dilakukan oleh orang-orang karena disadari bahwa
hal tersebut merupakan cara yang termudah. Karena banyaknya orang yang
melakukan pengangkatan anak, maka pengaturan tentang pengangkatan anak pun
harus dapat mengakomodir semua keinginan dan kepentingan yang berkaitan
dengan pengangkatan anak sehingga dapat menertibkan masyarakat yang
melakukan pengangkatan anak.
Secara sederhana, pengertian pengangkatan anak merupakan
pengangkatan anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan
hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun
hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain4.
Lebih lanjut, menurut Muderis Zaini, pengangkatan anak adalah suatu cara
untuk melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
4Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU
pengaturan perundang-undangan5. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan
untuk mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak
beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu ialah bahwa anak
yang diangkat memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak
dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak tersebut, calon
orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan anak.
Dalam hukum Islam istilah pengangkatan anak telah dikenal sejak lama,
bahkan dipraktikkan oleh nabi Muhammad SAW sendiri. Artinya bahwa
pengangkatan anak ini telah mempunyai legalitas yang jelas karena telah
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW.
Dari praktik pengangkatan anak yang dijalankan oleh Rasululah diatas,
bahwa secara normatif hukum Islam telah memperkenalkan sekaligus mengatur
masalah tentang pengangkatan anak. Untuk lebih jelasnya aturan Hukum Islam
tentang pengangkatan anak bisa dilihat dari surat Al-Azhab ayat 4 dan 5.
٤
-٥
5
"Tidaklah Allah SWT menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga nya dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan Allah SWT mengatakan yang benar dan Dia akan menunjuki jalan. Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih adil disisi Allah SWT. Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka adalah mereka saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati kamu. dan Allah SWT adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 4-5)
Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak-anak angkat tidak
sama sebagaimana hubungan hukum antara orang tua dengan anak kandung.
Hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap seperti
sebelum adanya pengangkatan anak.
Salah satu ketetapan hukum Islam tentang pengangkatan anak adalah
bahwa anak angkat mengikuti nasabnya sesuai dengan orang tua kandungnya,
bukan mengikuti orang tua angkatnya. Hal ini pernah ditetapkan oleh nabi
Muhammad SAW yang mempunyai anak angkat bernama Zaid bin Haritsah yang
sebelumnya bernama Zaid bin Muhammad SAW.6
Namun hal itu berbeda dengan praktek pengangkatan anak yang terjadi di
daerah Denpasar. Seperti yang ditemukan oleh penulis dalam sebuah penetapan
yang keluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor Perkara
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
6
Dalam duduk perkaranya, pemohon telah mengajukan permohonannya
tertanggal 17 Desember 2013 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada
tanggal 18 September 2013, pada pokoknya yaitu pemohon belum pernah
menikah dan bekerja swasta, kemudian pemohon berniat mengangkat seorang
anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama, yaitu anak dari seorang Ibu
bernama Tina Yulia Novanda dan pada saat itu anak tersebut juga belum
mempunyai akte kelahiran. Pemohon telah membiayai anak tersebut dari
kandungan hingga saat ini dikarenakan ibu tersebut tidak bekerja dan menyatakan
tidak sanggup untuk memeliharanya, sehingga pemohon berinisiatif untuk
mengangkatnya. Untuk mendapatkan legalitas atas status anaknya, dan setelah
mendapatkan saran dari Kantor Catatan Sipil, maka pemohon mengajukan
permohonan tersebut ke pengadilan.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, dan juga pemohon telah mengangkat
anak tersebut sejak tanggal 07 Desember 2012, dimana anak tersebut telah
diserahkan secara ikhlas oleh orang tua kandungnya untuk dipelihara, diasuh,
maupun dididik oleh pemohon seperti anak kandungnya sendiri sampai sekarang,
maka demi untuk kepentingan kelangsungan hidup dan kehidupan anak tersebut
dikemudian hari dimana pemohon juga telah bekerja, maka pemohon dipandang
mampu untuk membiayai hidup dan kehidupan anak tersebut.
Kemudian Pengadilan Negeri Denpasar menetapkan dalam perkara diatas
tertanggal 28 Oktober 2013 dengan nomor register: 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN.
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon
NURYANI ROSALINDA terhadap anak laki-laki yang bernama GAVIN
ROBERT PRATAMA yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember
2012;
3. Memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan tentang Penetapan
ini kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Badung agar dicatatkan kedalam register yang diperuntukkan untuk itu.
Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil
penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang
beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak
dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum
menikah. Dari kedua permasalahan tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan Indonesia menyalahi aturan secara normatif. Bukti tersebut bisa dilihat
dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus
seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.7 Kemudian
berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang
Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat
harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.8
7
Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak 8
Adanya ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri
Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur
tentang pelaksanaan adopsi ini merupakan hal yang menurut penulis menarik
untuk diteliti dan dibahas dalam sebuah skripsi yang berjudul “ANALISIS
PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan MasalahAgar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang
diambil oleh penulis, maka penulis batasi terkait Penetapan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri Denpasar No. Register: 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan pemohon
untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara
tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di
Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik
2. Perumusan Masalah
Bedasarkan pada uraian tersebut diatas, permasalahan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut;
a. Bagaimanakah Konsep pengangkatan anak menurut Hukum Islam?
b. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif
Indonesia?
c. Bagaimanakah hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif?
C.
Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan.Terdapat beberapa hal yang akan dicapai dari tujuan penulisan ini,
antara lain;
a. Memahami konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam.
b. Mengetahui prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif
Indonesia
c. Memahami hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif hukum Islam dan
2. Manfaat Penulisan.
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama
pembahasan hukum mengenai pengangkatan anak.
2. Dalam hal praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi praktisi hukum/aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum,
serta secara khusus bagi penulis, hasil penelitian ini menjadi bahan untuk
penyusunan skripsi sebagai tugas akhir penyelesaian studi pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
D.
Studi Pustaka Terdahulu1. Mery Wanyi Rihi, SH, Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat
Bali (Studi Kasus di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar), (Semarang, Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, 2006).
Menganalisis kedudukan anak angkat menurut hukum waris adat Bali
yang ditinjau dari sudut pandang hukum adat. Namun, saudari Mery Wanyi
Rihi, SH hanya menganalisis hal tersebut dari sudut pandang hukum adat Bali
2. Sulistya Rini Saputro Wibowo, C.100.980.208, Kedudukan Anak Angkat
dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali (Studi di Kecamatan
Kerambitan, Kabupaten Tabanan), (Surakarta, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Membahas tentang kedudukan hukum anak angkat di kecamatan
Kerambitan, kabupaten Tabanan.Namun, saudari Sulistya Rini Saputro
Wibowo hanya mengangkat kedudukan serta akibat hukum yang terjadi di
Bali tanpa mengangkat hal tersebut dalam perspektif hukum perdata Islam.
E.
Metode PenelitianAdapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.9 Penelitian
Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.10 Jenis
penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini
adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang
berhubungan dengan pengangkatan anak.
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 10
1. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis, maka jenis
penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan pendekatan analitis (analytical apprpoach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk
meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.11 yang dalam hal ini adalah aturan hukum tentang hierarki
peraturan perundang-undangan. Jadi, penelitian normatif yang
menggunakan pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk
memahami hukum secara lebih mendalam tentang hasil putusan atau
penetapan lembaga peradilan di Indonesia, baik dalam pemahaman maupun
penerapan hukum suatu lembaga atau ketentuan hukumnya.12
Sedangkan pendekatan analitis (analytical apprpach) dilakukan
untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang
digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional,
sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putuan
hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti
berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV, 2008), hal. 302
12
yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam
praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis hukum
adalah menganalisis konsep pengangkatan anak dilihat dari segi yuridis
atau norma yang berlaku.
Adapun metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian
hukum normatif ini mencakup:
1. Bahan hukum primer: sumber penelitian, yaitu penetapan Pengadilan
Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
2. Bahan hukum sekunder, yang merupakan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti Undang-undang, Rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil penelitian dan buku-buku hasil karya para ahli, serta hasil
wawancara dengan para ahli hukum terkait.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi dan lain
F.
Sistematika PenulisanSistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok
pembahasan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodelogi penelitian, studi terdahulu, sistematika penulisan..
BAB II : PERATURAN PENGANGKATAN ANAK
Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian pengangkatan
anak, Sejarah pengangkatan anak, Dasar pengangkatan anak
menurut Islam, dan dasar hukum pengangkatan anak menurut
Peraturan Indonesia.
BAB III : PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah Pengadilan Negeri
Denpasar, yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar, tugas dan fungsi
Pengadilan Negeri Denpasar, Penetapan Pengangkatan Anak No.
BAB IV : PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Pada bab ini akan diuraikan mengenai konsep pengangkatan anak
menurut hukum Islam, prosedur pengangkatan anak menurut
hukum positif Indonesia, analisis penetapan Pengadilan Negeri
Denpasar No.1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
BAB V : PENUTUP
BAB II
PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK
A. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
Setiap manusia didalam dunia ini memiliki hasrat. Dan salah satu hasrat
yang dimiliki oleh manusia adalah menikah. Pada umumnya, manusia menikah
dengan tujuan untuk menyalurkan nafsu biologisnya secara baik-baik/halal, serta
untuk memiliki keturunan (anak). Akan tetapi keinginan untuk memiliki
keturunan ini menjadi bermasalah ketika secara biologis, pasangan yang telah
menikah tersebut tidak dapat memiliki keturunan. Hal ini bisa disebabkan faktor
yang berasal dari pasangan pria maupun pasangan wanita. Namun, ketidak
mampuan memiliki keturunan tersebut tetap dapat mereka atasi walaupun secara
biologis tidak memungkinkan.
Kemungkinan ini dapat terjadi ketika pengangkatan anak menjadi solusi
alternatif. Pasangan yang tidak dapat memiliki keturunan secara biologis dapat
memiliki keturunan dengan mengangkat anak atau mengadopsi anak orang lain
untuk dijadikan anak mereka.
Mengangkat anak berarti mengambil anak dari keluarga lain dengan
maksud untuk dijadikan anak sendiri agar dapat melanjutkan kehidupan orang
Menurut Rifyal Ka’bah, Pengertian pengangkatan anak adalah
mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan
hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak-hak waris ataupun hak-hak
menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain13.
Menurut Muderis Zaini14, pengangkatan anak adalah suatu cara untuk
melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk
mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak bias
memilik anak. Akibat dari pengangkatan anak tersebut ialah bahwa anak yang
diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan
segala hak dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu,
calon orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan anak.
Pengangkatan anak merupakan usaha untuk memperoleh keturunan yang
telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Setiap peradaban,
bangsa, negara, agama dan lain-lain memiliki pandangan dan cara tersendiri
dalam melakukan pengangkatan anak. Termasuk di Indonesia pun telah lama
pengangkatan anak ini dilakukan.
13Rifyal Ka’bah,
Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No 284, hlm. 32.
14
[image:27.612.130.534.107.317.2]Di dalam hukum perdata Indonesia tidak diatur tentang masalah
pengangkatan anak atau lembaga pengangkatan anak. Hukum perdata Indonesia
hanya mengatur masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak
yang diakui (erkend kind). Artinya, disini terdapat kekosongan hukum yang bisa
menimbulkan ketidakteraturan dalam masyarakat yang ingin melakukan
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat serta
martabat dari anak itu sendiri maupun keluarga yang mengangkatnya tersebut.
Sehingga anak yang diangkat ini dapat terjamin hidupnya, nafkah, pendidikan,
serta asuhan bagi dirinya. Juga bagi keluarga yang mengangkatnya diberikan
keturunan yang kelak dapat mewarisi hidupnya berupa harta kekayaan yang
ditinggalkannya serta manfaat lainnya.
Dari segi perkembangan hukum nasional, rumusan pengertian
pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di
Indonesia-tanpa membedakan golongan penduduk, juga tanpa membedakan
domestic adoption atau inter-country adoption – dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP
Pengangkatan Anak”). Menurut PP Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
lingkungan keluarga orangtua angkat (Pasal 1 butir 2). Pengangkatan anak dengan
demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan seorang anak dari suatu
lingkungan (semula) ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Dari rumusan
pengertian pengangkatan anak ini tidak cukup tercermin sampai berapa jauh atau
seberapa luas akibat hukum perbuatan pengangkatan anak.15
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ditemukan suatu
ketentuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Yang ada hanyalah
ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin. Seperti yang diatur dalam buku I
bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai pasal 289 tentang pengakuan terhadap
anak-anak diluar kawin. Ketentuan ini sama sekali tidak berhubungan dengan
masalah pengangkatan anak.
Menurut Muderis Zaini16, karena tuntutan masyarakat walaupun dalam
KUHPerd. tidak mengakui masalah pengangkatan anak ini, sedang pengangkatan
anak itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah
Hindia-Belanda berusaha untuk membuat peraturan yang tersendiri tentang pengangkatan
anak tersebut. Karena itulah pemerintah Hindia-Belanda melalui Staatsblad
nomor 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai dengan 15 yang mengatur masalah
adopsi atau anak angkat untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah
Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum yang tertulis yang
15
Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta;Sinar Grafika),2012,hlm.105. 16
mengatur pengangkatan anak bagi kalangan Tionghoa yang biasa dikenal dengan
golongan Timur Asing.
Setelah itu dikeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)
Republik Indonesia tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No.2 tahun 1979.
Hal ini karena pemerintah mensinyalir bahwa lembaga pengangkatan anak ini
disalahgunakan seperti yang terjadi pada trafficking for women and children.
Kejahatan semacam itulah yang wajib dihapuskan diseluruh dunia, karena telah
mencoreng maksud luhur untuk mengentaskan penderitaan anak demi memenuhi
haknya kehidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam pasal 9 UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian MA mengeluarkan SEMA RI No. 4 Tahun 1989 tentang
pengangkatan anak yang berisi ketentuan bahwa syarat bagi warga Negara asing
untuk mengangkat anak warga Negara Indonesia harus berdomisili dan bekerja
tetap di Indonesia sekurang-kurangnya tiga tahun. SEMA ini kemudian ditindak
lanjuti oleh Menteri Sosial yang mengeluarkan keputusan No. 4 Tahun 1989
tentang petunjuk pelaksanaan pengangkatan anak guna memberi pedoman dalam
pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan
pengangkatan anak agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib
administrasi17.
17
Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA RI No. 3 Tahun 2005 tentang
pengangkatan anak. Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA 2005 adalah
kewajiban Pengadilan Negeri melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak
ke MA selain kepada Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial,
Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal
tersebut dilakukan demi memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
diangkat18.
B. SEJARAH PENGANGKATAN ANAK
Untuk melengkapi uraian pengangkatan anak di Indonesia, akan
dikemukakan sekilas sejarah pengangkatan anak secara berurutan, mulai dari
sejarah pengankatan anak menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129, hukum adat,
dan perundang-undangan.19
1. Menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129
Hukum keluarga adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan
laki-laki (Patrilineal), karena itu nama keluarga (she, atau fam, seperti Tan,
Oei, Lim, dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila
tidak ada keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka
mereka akan mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu,
18
Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berspektif HAM, Suara Uldialag vol 3 No X, hlm.33.
19
asas pengangkatan anak hanya bias dilakukan seorang laki-laki, karena
seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya
tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur. 20
Untuk mengetahui sejarah pengaturan pengangkatan anak bagi orang
Tionghoa dalam Staatsblaad, terlebih dahulu perlu diketahui adanya
pennggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda. Adanya penggolongan
tersebut berakibat pada berlakunya beragam hukum pada masing-masing
golongan. Penggolongan penduduk ini diatur dalam Pasal 163 Indische
Staatsregeling yang membagi menjadi tiga golongan, yaitu:
- Golongan Bumiputra, terdiri dari mereka yang termasuk rakyat asli
Hindia Belanda yang tidak pindah ke golongan lain dan mereka
yang mula-mula termasuk dari golongan lain tetapi telah meleburkan
diri kedalam golongan Bumiputra.
- Golongan Eropa, terdiri dari orang Belanda, orang bukan Belanda
yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang-orang lain yang di
negara asalnya berlaku hukum keluarga yang pokoknya berdasarkan
asas yang sama dengan asas hukum keluarga Belanda, yaitu asas
perkawinan monogami dan terlaksana atas persetujuan kedua belah
pihak.
20
- Golongan Timur Asing, terdiri dari semua orang lainnya, seperti
orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Siam, dan lain-lain.
Berdasarkan Staatsblaad 1847 Nomor 23, hukum perdata yang
berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum perdata negeri Belanda
(Burgerlijk Wetboek). Golongan Timur Asing (Arab, India, Pakistan) berlaku
sebagian dari Burgerlijk Wetboek dan selebihnya yang menyangkut hukum
perorangan, hukum keluarga, dan waris berlaku hukum mereka sendiri, yaitu
hukum Islam, sebagaimana Staatsblaad 1924 Nomor 556. Sedangkan
golongan Bumiputra yang beragama Kristen, berdasarkan pasal 131 ayat (4)
Indische Staatsregeling berlaku hukum adat.
Untuk golongan Tionghoa, berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 129,
kemudian ditambah Staatsblad 1924 Nomor 557, hamper seluruh Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dinyatakan berlaku
bagi golongan Tionghoa.
Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) bagi golongan Tionghoa tersebut berakibat ada beberapa
pengecualian, dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara
khusus, yaitu perihal pengangkatan anak.
Lembaga pengangkatan anak ini diatur khusus karena merupakan
adat Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan kepercayaan
mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak (adopsi).21 Oleh sebab itu, banyak ketuntuan-ketentuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama dalam bidang hukum
keluarga dan hukum waris yang juga berbeda dengan hukum adat Tionghoa.
Pemberlakuan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi
golongan Tionghoa merupakan hal yang tidak sesuai dengan pandangan,
kebiasaan, dan kesadaran hukum mereka. Namun, untuk menampung
kebutuhan adat yang sangat erat berkaitan dengan pandangan religius
mereka, maka lembaga hukum pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad.22
Ketentuan pengangkatan anak merupakan bagian dari Staatsblad
1917 Nomor 129 junctis Staatsblad 1919 Nomor 81, Staatsblad 1924 Nomor
557, Staatsblad 1925 Nomor 93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia
mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa, yang
berlaku hanya bagi golongan Tionghoa.
Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami
perubahan pandangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula
patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu
dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan,
dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan
21
Ali Affandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm.149.
22
anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan
semula. Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak
mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau
memelihara mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak
perlu dibatasi hanya anak laki-laki.23
Didalam Burgerlijk Wetboek, tidak terdapat peraturan tentang
pengangkatan anak. Namun, dalam perkembangannya sejak tahun 1956,
Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (Nieuwe Burgerlijk Wetboek) telah
mengatur pengangkatan anak. Latar belakang pengaturan ini terutama karena
keinginan yang dirasakan oleh masyarakat untuk memberikan pemeliharaan
kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
kurang mampu.
Adapun yang dibolehkan melakukan pengangkatan dalam Nieuwe
Burgerlijk Wetboek hanya pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak
sendiri dan sudah lebih dari lima tahun dalam perkawinan. Pengangkatan
anak tidak boleh dilakukan terhadap anak sendiri yang lahir diluar
perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin itu dapat diakui dan disahkan
menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (erkening dan wettiging).
23
2. Menurut Hukum Adat
Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah
ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan
dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu
pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki
serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya
tidak punah dan menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila
suatu klan, suku, atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan
pada umumnya melakukan pengangkatan anak. 24
Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan suatu
lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir di seluruh Indonesia
yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi.
Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak
keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan. Sedangkan motivasi
pengangkatan anak tersebut berdasar alasan-alasan antara lain:
- Karena tidak mempunyai anak.
- Untuk mempererat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang
diangkat.
- Karena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu, anak
yatim, atau anak yatim piatu.
24
- Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapat
anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing).
- Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak
perempuan atau sebaliknya.
- Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan
orang tua sehari-hari.
Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat
sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya. Anak
angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai
anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung unruk
meneruskan keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan
anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga
orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak
angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk
meneruskan keturunan bapak angkatnya.25
Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan
menjadi tiga corak, yaitu:
25
- Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan perempuan.
- Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan laki-laki.
- Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu, kedudukan laki-laki dan
perempuan tidak dibedakan.26
3. Menurut Perundang-undangan RI
Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang
dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada.27 Dalam sejarah
perundang-undangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat
masuk dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Perkawinan dan Rancangan Undang-Undang-Undang-Undang (RUU)
tentang Peradilan Anak.
Dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Rancangan Undang-Undang (RUU)
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23. 27
tentang perkawinan mengatur pengangkatan anak dalam Pasal 62 sebagai
berikut:
(1) Suami istri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih.
(2) Yang dapat diangkat menjadi anak angkat ialah anak yang belum
kawin dan belum diangkat oleh orang lain.
(3) Anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 (delapan belas)
tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun lebih muda dari istri.
(4) Apabila anak yang diangkat itu masih saudara dari suami istri, dalam
hubungan keluarga dia tidak boleh mempunyai derajat kekeluargaan
yang lebih tinggi dari suami yang mengangkatnya.
(5) Untuk pengangkatan anak diperlukan izin dari orang tua atau walinya
dan persetujuan anak itu sendiri apabila ia sudah berumur 15 (lima
belas) tahun.
(6) Pengangkatan anak dilakukan dengan keputusan Pengadilan atas
permohonan suami dan istri yang mengangkat anak itu.
(7) Permohonan pengangkatan yang dimaksud ayat (6) pasal ini dapat
diterima apabila pengangkatan itu menguntungkan kepentingan anak
yang diangkat.
(8) Anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum sama seperti anak
(9) Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga
antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda
garis ke atas dan ke samping.
(10)Pengangkatan anak dapat dicabut kembali oleh keputusan pengadilan
atas permohonan anak yang diangkat demi kepentingannya.
Permohonan pencabutan diajukan secepat-cepatnya 2 (dua) tahun dan
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak itu berumur 18
(delapan belas) tahun.
(11)Pencabutan ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak lagi
mempunyai kedudukan hukum sebagai anak sah dari suami istri yang
mengangkatnya.
(12)Hubungan keluarga yang putus karena pengangkatan yang dimaksud
ayat (9) pasal ini, hidup kembali karena pencabutan.
Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal
yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan
hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11
Agustus 1973 mengusulkan pasal 62 tersebut untuk diubah sebagai berikut:
- Ayat-ayat (1) sampai dengan (7) tidak ada usul perubahan.
- Ayat (8) kata-kata “sama seperti” diubah menjadi “tidak sama
dengan”.
- Ayat (9) kata “putusnya” diubah menjadi “tidak putusnya”.
- Ayat (11) dihapuskan, sebagai akibat dari usul perubahan pada Ayat
(9).
- Ayat (12) dihapuskan atas dasar yang sama.28
RUU tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang RI
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan
menghapus semua ketentuan pasal 62 yang mengatur pengangkatan anak,
sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak.
Perbedaan prinsip yang demikian itu pula yang melatar belakangi
tidak diaturnya mengenai pengangkatan anak dalam Undang-Undang RI
Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang kemudian hanya
dirumuskan dalam 1 (satu) pasal,29 yaitu Pasal 12:
a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
b. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam Ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan bedasarkan
Peraturan Perundang-Undangan.
28
Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 47. 29
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga,
Ketentuan pasal itu menekankan bahwa dalam pengangkatan anak
harus mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Tujuan pengangkatan
anak tidak lagi dilakukan hanya untuk melanjutkan keturunan tetapi telah
terjadi suatu pergeseran ke arah kepentingan anak (favor adoption).
Mengenai kepentingan kesejahteraan anak selanjutnya akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah, namun Peraturan pemerintah yang dimaksud belum
pernah ada sampai saat ini.
C. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT ISLAM
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah
menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “tabanni”30 yang
artinya mengambil anak angkat.31
Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan anak sebelum
masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian
tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti
dengan anam panggilan Zaid bin Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW
mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid,
aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap nabi
Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu.
Oleh karena nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun
30
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 50.
31
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW.32 Demikian pula pernah
dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim
dan hal itu mendapat persetujuan dari nabi Muhammad SAW.
Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab bin Abdul Uzza adalah seorang
anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan
di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin
Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid,
selanjutnya Khadijah menyerahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Umur
Zaid saat itu sekitar delapan tahun. Setelah nabi Muhammad SAW menerima dan
memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya. Suatu ketika keluarga Zaid
yang selama itu mencari Zaid mengetahui perisitiwa tersebut, lalu ayah dan
pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat nabi Muhammad
SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa lalu
(sebelum Islam). Kemudian nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada
Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal
bersama nabi Muhammad SAW. Zaid memilih tetap tinggal bersama nabi
Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi
bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama nabi Muhammad
SAW karena nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap sangat baik
32
kepadanya.33 Setelah Zaid dewasa, nabi menikahkan Zaid dengan Zainab binti
Jahsy.
Setelah nabi Muhammad SAW menjadi rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4,
5, dan 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum
memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun
berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah. 34 Melalui peristiwa asbab
an-nuzul ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh
dilakukan, karena nabi Muhammad SAW telah melakukannya, tetapi
pengangkatan anak tersebut tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah
SWT telah menyatakannya dalam Al-Quran bahwa status nasab Zaid tidak boleh
dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW.35
Dalam peristiwa selanjutnya, ternyata rumah tangga Zaid dan Zainab
mengalami ketidakharmonisan. Zaid bin Haritsah meminta izin kepada nabi
Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi Muhammad SAW
bersabda: “Peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau
33
Al-Qurthubi dan juga Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan,
dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.
34
Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.
35
kepada Allah SWT!”. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah
tangganya, maka nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka.36
Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan nabi
Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 37:
(
٣٧
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah SWT melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”, sedangkan kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah SWT akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah SWT yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan dengan istrinya. Dan adalah ketetapan Allah SWT itu pasti terjadi.”
Perkawinan nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini
menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta
menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak
36
kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan
menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya.37
Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat
membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya tanpa
berakibat hukum seperti pengangkatan anak pada zaman jahiliah adalah menjadi
tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang
sebagai fardhu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu „ain apabila
seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat
membahayakan nyawan anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak
dijaga dan dipelihara.38
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret
1984 mengemukakan sebagai berikut:
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syariat Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
37
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 108. 38
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih saying seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang
dianjurkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing selain bertentangan
dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.39
39
D. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN
INDONESIA
Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia dalam perundang-undangan
beberapa kali mengalami kegagalan karena adanya perbedaan mendasar mengenai
konsepsi pengangkatan anak. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada
berdasarkan konsepsi pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Nomor 129
dan tradisi pengangkatan anak zaman jahiliah yang berbeda dengan konsepsi
pengangkatan anak menurut hukum Islam. Namun, beberapa hal mendasar
mengenai pengangkatan anak yang selaras dengan hukum Islam mulai masuk
dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41.40
Pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan telah
mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak.
Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau
perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan
lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting
40
mengenai penagturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut
diketengahkan, yaitu:
- Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41
- Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.42
- Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.43
- Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir (ultimum remedium).44
- Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
menegenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan.45
- Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. 46
41
Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 42
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 43
Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 44
Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45
Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 46
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke
Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan
khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan,
pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.47
Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat
tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan
dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat
setelah memperoleh putusan pengadilan.48 Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya,
antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu
kepada hukum terapannya.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri
sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa
peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara
Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum
47
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28.
48
yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok
kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:
1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur
masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang
ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979
tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur
prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau
permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh
pengadilan.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun
1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.
4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Juni 1984.
5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober
2002.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang
Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya
dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak
yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing
untuk mengangktanya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak
tersebut.
7. Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49
huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:”… Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam”.
8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti
oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara
43
BAB III
PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. SEJARAH PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan
Kerajaan kecil-kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem,
Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung.
Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal
dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8
kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam
peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892. Peristiwa yang paling penting dalam
sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan
sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut
terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 (20 September 1906) saat
dimana Badung jatuh ke tangan belanda.49
DARI TAHUN 1906 s.d 1942
Ketika pemerintahan berada ditangan penjajah Belanda, Daerah Badung
merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asistent Resident
yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1
juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap (kerajaan), dikepalai
49
seorang Raja dengan gelar Tjokorda Negara Badung ( Staasblad Hindia Belanda
1938, No. 529), berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang
diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja.
Pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942.
DARI TAHUN 1942 s.d 1945
Tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil selama masa
pendudukan Bala tentara Jepang, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah
dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun
1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua
kerajaan menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah
Tk I.
Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada
waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar
yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan
peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di
Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja
yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada
waktu pemerintahan Jepang (dai Nippon) disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah
kemerdekaan RI (RI-RIS) disebutkan“Raja/Ketua Dewan Pemerintah swapraja”.
Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang No. I Tahun 1951
dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di