PRODUKSI SUSU SAPI FH PADA MUSIM HUJAN DAN
KEMARAU DI SEKITAR GARIS LINTANG 0
oDATARAN RENDAH KAMPAR
DAPOT TUA PASARIBU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah
Kampar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
DAPOT TUA PASARIBU. Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan AFTON ATABANY.
Perbedaan musim menyebabkan cuaca pada musim hujan dan musim kemarau menjadi berbeda, salah satunya yaitu perbedaan suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi ketersediaan pakan dan produktivitas sapi FH. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis performa produksi susu dan reproduksi sapi FH musim hujan dan musim kemarau. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2011-2013 dengan tambahan data primer yang diambil pada bulan Mei-Agustus 2014. Lokasi penelitian di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu curah hujan musim hujan dan musim kemarau, Temperature Humidity Index (THI), kualitas pakan ternak dan produksi susu sapi FH.
Unsur iklim dan nilai THI di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau pada musim hujan lebih baik dibanding musim kemarau walaupun secara keseluruhan sapi FH yang dipelihara di UPT mengalami cekaman atau stress panas. Kualitas hijauan makanan ternak pada musim hujan lebih baik dibandingkan musim kemarau. Persentase laktasi lebih baik di musim hujan sedangkan di musim kemarau berkemungkinan terjadinya gangguan reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu akibat dari kondisi iklim dan Temperature Humidity Index (THI) yang kurang baik bagi sapi FH. Produksi susu pada musim hujan tidak berbeda nyata dibandingkan musim kemarau.
SUMMARY
DAPOT TUA PASARIBU. Milk Production of Friesian Holstein Cows during Rainy and Dry Season at Lowland 0o Latitude Kampar. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and AFTON ATABANY.
The difference in season caused different in weather condition between rainy and dry season. One of the differences is temperature and humidity that may affect availability of forage and productivity of FH cows. The purpose of study was to determine milk production and reproduction performance of FH cows during rainy and dry seasons which were collected from 2011-2014. The location of study was in UPT of Ruminant Breeding and Training in Kampar Riau. Parameter observed in this study was rainfall of rainy and dry season, Temperature Humidity Index (THI), forage quality and milk production of FH cows.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
PRODUKSI SUSU SAPI FH PADA MUSIM HUJAN DAN
KEMARAU DI SEKITAR GARIS LINTANG 0
oDATARAN RENDAH KAMPAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar
Nama : Dapot Tua Pasaribu NRP : D151120101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bagus P Purwanto MScAgr Ketua
Dr Ir Afton Atabany MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr Ir Salundik MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah yang penulis kenal dalam nama Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian telah dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2014 dengan judul Produksi Susu Sapi FH pada Musim Hujan dan Kemarau di Sekitar Garis Lintang 0o Dataran Rendah Kampar. Hasil penelitian telah dipublikasi di jurnal internasional Applied Research Journal Vol. 1, Issue 4, pp.222-228, June 2015 dengan judul Milk Production and Reproduction Performance of Friesian Holstein (FH) on Rainy and Dry Season Around 0o Latitude Kampar Regency.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto MSc Agr dan bapak Dr Ir Afton Atabany MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis bapak Rajimin Pasaribu dan ibu Lasih Sianipar yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis, menjadi penyemangat dan pendengar yang setia. Terimakasih kepada adik-adik penulis Andri Pasaribu dan Yohana Magdalena atas segala doa dan semangat yang diberikan kepada penulis dan juga kepada keluarga besar Pasaribu, Sianipar dan keluarga besar mbah Talip. Terimakasih juga disampaikan kepada Supiani karena telah banyak membantu penulis dalam menjalani setiap proses pada penelitian ini serta menjadi penyemangat. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr Ir Salundik MSi dan ibu Dr Ir Niken Ulupi MS sebagai ketua dan sekretaris program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB, kepada ibu Ade dan teh Okta yang telah banyak membantu dalam bidang akademik. Kepada seluruh dosen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Terimakasih kepada abang Ismail dan kak Tia yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi, berbagi ilmu, nasehat dan saran serta masukannya demi tesis ini. Terimakasih kepada UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru yang telah bersedia memberikan data kepada penulis untuk keperluan penelitian ini. Terimakasih juga kepada program beasiswa BU DIKTI 2012 atas bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada penulis.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan ITP 2012 dan seluruh teman-teman ITP 2012 yang masuk semester genap, terimakasih atas semangat dan kebersamaannya. Terimakasih juga penulis ucapkan atas segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
MATERI DAN METODE 3
Waktu dan Lokasi 3
Materi 3
Prosedur 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5
Profil Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Udara 5
Kualitas Pakan Ternak 14
Persentase Laktasi 17
Produksi Susu 21
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
DAFTAR TABEL
1. Curah hujan bulanan dan rataan tahun 2011-2013 5 2. Suhu udara per bulan dan rataan suhu udara pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013 7
3. Kelembaban udara per bulan dan rataan kelembaban udara pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 7
4. Temperature Humidity Index (THI) per bulan dan rataan THI pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 11
5. Rataan nilai THI, suhu dan kelembaban udara setiap bulan selama tiga
tahun (2011-2013) 12
6. Kualitas hijauan makanan ternak (HMT) pada musim hujan dan kemarau
serta konsentrat ampas tahu 14
7. Persentase laktasi per bulan dan rataan pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013 17
8. Rataan produksi susu per bulan, jumlah sapi laktasi dan rataan produksi sapi FH per hari pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 21 9. Perbandingan produksi susu sapi FH pada musim hujan dan musim
kemarau tahun 2011-2013 24
DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 5
2 Pola curah hujan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak
Ruminansia Kabupaten Kampar 6
3 Fluktuasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataannya
tahun 2011-2013 8
4 Fluktuasi nilai THI per bulan dan rataan nilai THI tahun 2011-2013 11 5 Fluktuasi persentase laktasi per bulan dan rataan tahun 2011-2013 18 6 Grafik fluktuasi produksi susu sapi FH per bulan dan grafik fluktuasi
PENDAHULUAN Latar Belakang
Musim adalah salah satu pembagian utama tahun berdasarkan bentuk cuaca yang luas. Indonesia merupakan daerah yang beriklim tropis sehingga musim dibagi menjadi dua yaitu musim hujan dan musim kemarau. Klasifikasi ilkim yang umum dipakai di Indonesia untuk keperluan pertanian adalah klasifikasi iklim Oldeman yang membagi bulan berdasarkan bulan basah dan bulan kering, kedua bulan ini berhubungan dengan kebutuhan tanaman padi dan palawija terhadap air dengan bulan basah atau musim hujan memiliki curah hujan lebih dari 200 mm per bulan (Kertasapoetra 2004).
Perbedaan musim menyebabkan iklim pada musim hujan dan musim kemarau menjadi berbeda, salah satunya yaitu perbedaan suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi produktivitas sapi FH. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1982). Sapi perah memerlukan suhu lingkungan dan kelembaban udara yang optimal untuk kehidupan dan berproduksi. Faktor lingkungan eksternal seperti curah hujan, suhu dan kelembaban dilaporkan mempengaruhi performa produksi susu dan faktor‐ faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Swalve 2000). Sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik pada suhu 18.3 ºC dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006), sedangkan di Indonesia suhu udara dapat mencapai 24-34 ºC dan kelembaban 60%-90% (Yani et al. 2007). Tingginya suhu dan kelembaban mengakibatkan proses penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat dan mengalami cekaman panas. Pengaruh yang
timbul pada sapi FH akibat cekaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan
katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung dan 7) perubahan tingkah laku yaitu meningkatnya intensitas berteduh (Armstrong 1994; Ingram dan Dauncey 1985; McDowell 1972; Rejeb et al. 2012).
Interaksi suhu dan kelembaban udara dapat diukur melalui Temperature Humidity Index (THI) sebagai indikator lingkungan untuk kenyamanan hidup ternak. Sapi perah Friesian Holstein (FH) akan nyaman apabila dipelihara pada nilai THI dibawah 72. Interaksi tersebut melebihi batas ambang ideal hidup ternak dapat menyebabkan terjadinya cekaman/stres panas (Dobson et al. 2003). Penelitian Berman (2005) melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap produksi disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan produktivitas ternak tersebut.
2
(1993) menyatakan hijauan yang tumbuh di daerah bercurah hujan tinggi mengandung kadar air yang lebih tinggi pula, sehingga dapat menurunkan kadar intake bahan kering oleh ternak. Menurut Weiss et al. (2002) meskipun kondisi kering atau keterbatasan air (musim kemarau) dapat menurunkan produksi hijauan tetapi justru dapat meningkatkan nilai nutrisinya. Panjang hari dan temperatur mempengaruhi kualitas hijauan, umumnya hari yang panjang dan temperatur yang hangat akan memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan laju pembentukan serat sehingga nilai nutrisinya menjadi berkurang. Sudono et al. (2003) menyarankan pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu yang diberikan kurang, hasil produksi susu tidak akan maksimal. Peningkatan produksi susu dapat dicapai jika terjadi peningkatan kualitas ransum, sesuai pendapat Susanti dan Marhaeniyanto (2007) bahwa produksi susu yang tinggi erat kaitannya dengan kualitas pakan yang dikonsumsi.
Faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi FH antara lain pakan dan iklim. Pakan dan iklim pada setiap musim diduga memberikan pengaruh terhadap produksi susu dan reproduksi sapi perah. Informasi pengaruh musim khususnya pada lintang 0o terhadap produksi susu dan reproduksi masih sangat
terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang performa produksi susu dan reproduksi sapi FH di musim hujan dan musim kemarau.
Perumusan Masalah
Perbedaan musim menyebabkan iklim pada musim hujan dan musim kemarau berbeda pula, salah satunya yaitu perbedaan suhu, kelembaban, interaksi suhu dan kelembaban udara atau Temperature Humidity Index (THI), serta perbedaan kuantitas dan kualitas pakan yang dapat mempengaruhi kenyamanan hidup dan produktivitas sapi Friesian Holstein (FH) baik itu produksi susu maupun reproduksinya. Data mengenai performa produktivitas sapi perah pada lintang 0o terhadap musim hujan dan kemarau masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang performa produksi susu dan reproduksi sapi FH di musim hujan dan musim kemarau.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis produksi susu sapi FH pada musim hujan dan musim kemarau.
Manfaat Penelitian
3 MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai Agustus 2014. Lokasi penelitian di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Materi
Materi yang digunakan yaitu catatan curah hujan, suhu dan kelembaban udara dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Materi lain yang digunakan adalah catatan produksi susu, laporan perkembangan ternak dan analisis hijauan rumput gajah di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau dari tahun 2011-2013.
Prosedur
Penelitian menggunakan data sekunder produksi susu, laporan perkembangan ternak dan analisis hijauan pakan ternak berupa rumput gajah di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Data sekunder lain yang dibutuhkan adalah catatan curah hujan, suhu dan kelembaban udara dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk daerah Kabupaten Kampar dari tahun 2011-2013.
Prosedur yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah:
1. Mengumpulkan data curah hujan, suhu dan kelembaban udara dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dari tahun 2011-2013, 2. Menghitung rataan curah hujan untuk menentukan musim hujan dan musim
kemarau,
3. Menghitung Temperature Humidity Index (THI) berdasarkan suhu dan kelembaban udara,
4. Mengumpulkan data produksi susu dan laporan perkembangan ternak dari UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau dari tahun 2011-2013,
5. Menganalisis hijauan pakan ternak di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau,
6. Mengelompokkan produksi susu sapi FH berdasarkan musim hujan dan musim kemarau dan selanjutnya
7. Membandingkan rataan produksi susu sapi perah berdasarkan musim hujan dan musim kemarau.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu: 1. Curah hujan musim hujan dan musim kemarau, 2. Temperature Humidity Index (THI),
4
Musim Hujan dan Musim Kemarau
Penentuan musim hujan dan musim kemarau pada penelitian ini berdasarkan rataan curah hujan per bulan dari tahun 2011-2013. Musim hujan ditetapkan dengan curah hujan lebih dari 200 mm sedangkan musim kemarau memiliki curah hujan kurang dari 200 mm.
Temperature Humidity Index (THI)
THI dalam penelitian ini di hitung berdasarkan suhu dan kelembaban udara di lingkungan kabupaten Kampar setiap musim sepanjang tahun 2011-2013 untuk melihat tingkat kenyamanan ternak sapi FH yang dipelihara di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kualitas Pakan Ternak
Kualitas pakan ternak pada penelitian ini dilihat dari segi hijauan makanan ternak yang diambil pada musim hujan dan musim kemarau dan konsentrat berupa ampas tahu pada tahun 2014 yang akan digunakan sebagai pembanding karena penelitian ini menggunakan data 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Persentase Laktasi
Persentase laktasi dalam penelitian ini digunakan untuk menduga performa reproduksi dan tingkat ekonomis pemeliharaan sapi FH setiap musim selama 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Produksi Susu
Produksi susu yang diamati dalam penelitian adalah produksi susu bulanan pada musim hujan dan musim kemarau sepanjang tahun 2011-2013. Tujuannya untuk mengetahui performa produksi susu sapi FH setiap musim di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Analisis Data
Data curah hujan dianalisis untuk menentukan musim. Deskripsi data meliputi rataan curah hujan, suhu dan kelembaban udara pada musim hujan dan kemarau tahun 2011-2013.
Data Temperature Humidity Index (THI) dihitung berdasarkan data suhu dan kelembaban udara di kabupaten Kampar dengan rumus (Tucker et al. 2007):
THI= (1.8×T+32) - ((0.55-0.0055×RH) x (1.8×T-26)) Keterangan:
T = Suhu Udara (oC)
RH = Kelembaban Udara (%).
5
Tabel 1 Curah hujan bulanan dan rataan tahun 2011-2013
Bulan Curah Hujan (mm)
2011 2012 2013 Rataan
Januari 227.00 66.70 110.90 134.87
Februari 88.10 247.60 335.00 223.57
Maret 116.00 324.60 339.00 259.87
April 328.10 215.30 172.10 238.50
Mei 100.50 182.60 129.20 137.43
Juni 65.20 140.60 56.00 87.27
Juli 26.10 269.70 133.90 143.23
Agustus 228.70 97.00 186.20 170.63
September 304.90 185.80 150.50 213.73
Oktober 255.30 228.90 469.40 317.87
Nopember 317.10 439.50 380.90 379.17
Desember 335.30 245.00 613.70 398.00
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar merupakan balai pembibitan yang berdiri sejak tahun 2006 terletak di Desa Sungai Pinang Kecamatan Tambang. Luas lahan UPT mencapai 8 ha dan untuk Hijauan Makanan Ternak (HMT) seluas 6 ha ditanami oleh rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang didukung dengan sarana gedung serta empat unit kandang dan di kelilingi pagar yang dibangun pada tahun 2012. Kondisi letak geografis UPT terletak pada garis 0o27’00’’ lintang selatan, beriklim tropis dan merupakan dataran rendah.
Profil Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Udara Curah Hujan
Curah hujan per bulan dan rataan curah hujan tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian Sumber:
6
Rataan curah hujan secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar tergolong cukup tinggi yaitu 225.34±95.05 mm per bulan, curah hujan terendah 87.27 mm pada bulan Juni dan tertinggi 398.00 mm pada bulan Desember dengan jumlah curah hujan lebih dari 2.000 mm tiap tahun. Berdasarkan curah hujan di UPT diketahui bahwa musim hujan terjadi selama delapan bulan (September-April) sedangkan musim kemarau hanya ada empat bulan (Mei-Agustus).
Menurut Tjasyono (2004) pola curah hujan ekuatorial yang terdapat pada daerah ekuator memiliki distribusi curah hujan sepanjang tahun sangat dipengaruhi oleh insolasi pada saat ekinoks (kedudukan matahari tepat berada di atas ekuator). Ekinoks terjadi dua kali dalam satu tahun maka distribusi curah hujan bulanannya memiliki dua maksimum atau dua puncak curah hujan. Curah hujan di UPT termasuk kedalam pola ekuatorial karena letak UPT yang berada pada garis lintang
0o dengan puncak secara rataan terdapat pada bulan Maret dan Desember (Gambar 2).
Curah hujan di lingkungan UPT sangat mendukung untuk pertumbuhan Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang membutuhkan banyak air seperti rumput gajah, apabila terjadi penurunan kuantitas pakan hal tersebut bukan dikarenakan oleh faktor kekurangan air melainkan disebabkan oleh manajemen pengelolaan seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan Mannetje dan Jones (2000) bahwa di Asia Tenggara rumput gajah tumbuh alami di daerah yang bercurah hujan tidak kurang dari 1.000 mm per tahun atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak memiliki musim panas yang panjang. Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataan suhu dan kelembaban udara pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan secara berturut-turut pada Tabel 2 dan 3.
7
Tabel 3 Kelembaban udara per bulan dan rataan kelembaban udara pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Musim/Bulan Kelembaban Udara (%)
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau
Rataan suhu udara secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar yaitu 27.19±0.48 ºC. Suhu udara terendah 26.40 ºC pada bulan Desember dan tertinggi 28.03 ºC pada bulan Juni. Rataan kelembaban udara secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar yaitu 76.32%±2.45% dengan kelembaban udara terendah 72.20% pada bulan Juni dan tertinggi 81.45% pada bulan Desember. Fluktuasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara per bulan dan rataannya tahun 2011-2013 disajikan pada Gambar 3.
Tabel 2 Suhu udara per bulan dan rataan suhu udara pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
8
Secara keseluruhan fluktuasi curah hujan berbanding terbalik terhadap suhu, tetapi linier dengan kelembaban, sedangkan fluktuasi suhu berbanding terbalik dengan kelembaban. Berdasarkan musim diketahui bahwa fluktuasi suhu mengalami peningkatan saat memasuki musim kemarau (Mei-Agustus) dan menurun saat memasuki musim hujan (Januari-April dan September-Desember) namun sebaliknya fluktuasi kelembaban mengalami peningkatan saat memasuki musim hujan dan menurun saat memasuki musim kemarau.
Zona termonetral untuk sapi FH berkisar antara 13-25 oC (Yani dan Purwanto
2006), 13-18 oC (McDowell 1972), 4-25 oC (Yousef 1985), 5-25 oC (Jones dan Stallings 1999). Hadisusanto (2008) menyatakan suhu kritis untuk ternak sapi FH adalah 27 ºC sedangkan suhu di lingkungan UPT rata-rata 25-28 oC pada musim
hujan dan 27-28 oC pada musim kemarau sehingga menyebabkan sapi FH yang dipelihara mengalami cekaman atau stress panas. Soetarno (2003) menyebutkan bahwa kelembaban ideal bagi sapi perah adalah antara 60%-80%, sehingga kelembaban di lingkungan UPT masih termasuk kedalam kelembaban yang ideal untuk sapi perah, namun Gwatibaya et al. (2007) menjelaskan bahwa kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah.
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan tingkah laku ternak (Esmay 1982). Sapi perah memerlukan suhu lingkungan dan kelembaban udara yang optimal untuk kehidupan dan berproduksi. Faktor lingkungan eksternal seperti curah hujan, suhu dan kelembaban dilaporkan mempengaruhi performa produksi susu dan faktor‐faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Swalve 2000). Sapi FH mereview
9 penampilan produksi terbaik di Indonesia pada suhu 18.3 ºC dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006), sedangkan secara umum suhu udara di Indonesia dapat mencapai 24-34 ºC dengan kelembaban 60%-90% (Yani et al. 2007) sehingga pada suhu dan kelembaban tersebut proses pelepasan panas dari tubuh sapi FH akan terhambat sehingga mengalami cekaman panas. Pengaruh yang timbul pada sapi FH akibat cekaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung; dan 7) perubahan tingkah laku, meningkatnya intensitas berteduh sapi (Armstrong 1994; Ingram dan Dauncey 1985; McDowell 1972; Rejeb et al. 2012).
Dampak langsung dari lingkungan tropis akan menyebabkan sulitnya proses pelepasan panas dari tubuh sapi (body heat dissipation) sebagai akibat tingginya temperatur lingkungan dan kelembaban udara, sehingga sapi mengalami stres panas (heat stress). Dampak stress panas menyebabkan turunnya konsumsi bahan kering (BK) dan tingginya konsumsi air sebagai akibat dehidrasi, sehingga berdampak rendahnya konsumsi nutrien untuk menjaga produktivitas ternak. Pada kondisi ekstrim sapi cenderung mengurangi konsumsi BK, bahkan berhenti sama sekali mengkonsumsi pakan. Berhentinya mengkonsumsi pakan salah satu upaya ternak untuk mengurangi body heat load (beban panas tubuh) untuk menurunkan produksi panas hasil proses metabolisme pakan (Yani dan Purwanto 2006). Churng (2003) merinci tentang beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urine. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik yang dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel (Isnaeni 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Yani dan Purwanto 2006). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu hewan meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan. Peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh, selain itu peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas metabolisme ke seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby dan Martawidjaya 1986).
10
kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan. Kelembaban rendah, angin dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono 2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat langsung terhadap penurunan jumlah panas yang hilang akibat penguapan. Pada kelembaban tinggi, penguapan tertahan yang berarti akan meningkatkan panas pada sapi (Sugeng 1998).
Calderon et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara penampilan produksi ternak di dataran rendah (daerah panas) dengan di dataran tinggi (daerah dingin), ditambahkan oleh Bayong (2004) bahwa keadaan iklim suatu daerah berhubungan erat dengan ketinggian tempat yang merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup ternak. Setiap kenaikan ketinggian tempat di atas permukaan laut memperlihatkan terjadinya penurunan suhu, curah hujan tinggi disertai peningkatan kelembaban udara. Suhu dan kelembaban udara di dataran rendah melebihi kondisi kenyamanan yang dibutuhkan untuk penampilan hidup dan produksi ternak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya cekaman atau stres panas pada tubuh ternak (Kadzere et al. 2002).
UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar termasuk dataran rendah dengan ketinggian 200-300 mdpl memiliki suhu minimum 26.40 oC maksimum 28.03 oC dengan rataan 27.19±0.48 ºC dan kelembaban
minimum 72.20% maksimum 81.45% dengan rataan 76.32%±2.45%, sebagai perbandingan dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Nugroho et al. (2010) melaporkan bahwa pada dataran rendah (Grati) dengan ketinggian 100 mdpl memiliki suhu udara minimum 23±0.55 ºC dengan kelembaban 84.93%±3.02%, suhu udara maksimum 29.21±0.58 ºC dengan kelembaban 81.64%±1.78%, rata-rata suhu udara di dataran rendah 25.93±3.12 ºC dengan kelembaban udara 83.26%±1.64% dapat menghasilkan susu rata-rata sebesar 10.17±2.57 liter. Penelitian lainnya yang juga di dataran rendah dilakukan oleh Siregar (2001) sapi FH mampu memproduksi susu sebesar 12.7 sampai dengan 15.7 liter/ekor/hari. Diteruskan oleh Siregar dan Kusnadi (2004) di Cirebon dengan ketinggian 0-300 mdpl memiliki suhu 24-33 oC dengan rata-rata 28 oC memiliki kemampuan untuk
memproduksi susu sebesar 4 sampai 8 liter/ekor/hari dengan rata-rata 5.8 liter/ekor/hari.
Temperature Humidity Index (THI)
Nilai THI digunakan untuk menduga tingkat kenyamanan ternak sapi FH yang dipelihara di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Nilai THI dalam penelitian ini di hitung berdasarkan suhu dan kelembaban udara di lingkungan Kabupaten Kampar setiap musim sepanjang tahun 2011-2013.
11
Nilai THI terendah 76.06 pada bulan Januari 2011 dan tertinggi 79.98 pada bulan Mei 2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar. Secara rataan bulan ternyaman terjadi pada bulan Desember dengan nilai THI 77.28, sedangkan bulan paling tidak nyaman dengan nilai THI yang tinggi terjadi bulan Mei awal musim kemarau dengan nilai THI 78.97 (Gambar 4).
Fluktuasi nilai THI setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan nilai THI terendah (bulan ternyaman) setiap tahunnya terdapat pada bulan Januari, Februari dan Desember musim hujan, sedangkan nilai THI tertinggi (bulan tidak nyaman) Tabel 4 Temperature Humidity Index (THI) per bulan dan rataan THI pada musim
hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Musim/Bulan Temperature Humidity Index (THI)
2011 2012 2013 Rataan
Musim Hujan
Januari 76.06 77.26 78.57 77.30
Februari 77.19 77.16 77.75 77.37
Maret 77.09 77.68 79.32 78.03
April 77.59 78.04 79.58 78.41
September 77.35 78.02 77.66 77.67
Oktober 77.41 77.29 77.70 77.47
Nopember 77.81 78.22 77.70 77.91
Desember 76.92 77.58 77.34 77.28
Musim Kemarau
Mei 78.49 78.43 79.98 78.97
Juni 78.50 78.59 78.92 78.67
Juli 77.93 77.79 78.29 78.00
Agustus 77.43 77.84 78.06 77.78
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pekanbaru Riau
12
setiap tahunnya ada pada bulan Mei musim kemarau. Nilai THI terhadap suhu dan kelembaban udara per bulan pada tahun 2011-2013 disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan rataan selama 2011-2013 per bulannya nilai THI terendah atau bulan ternyaman yaitu Desember musim hujan (nilai THI 77.28, suhu 26.84 oC dan kelembaban udara 76.49%) sedangkan nilai THI tertinggi atau bulan tidak nyaman yaitu Mei musim kemarau (nilai THI 78.97, suhu 27.94 oC dan kelembaban udara 75.51%).
Sapi FH dapat menghasilkan susu secara maksimal apabila lingkungan hidupnya berada pada kisaran nilai THI antara 35-72 dan setiap peningkatan satu angka THI memiliki pengaruh terhadap penurunan 0.26 kg produksi susu, penurunan 0.23 kg konsumsi hay dan peningkatan 0.12 ºC suhu rektal (Johnson 1984). Pennington dan VanDevender (2004) melakukan klasifikasi tersebut dengan tabel modifikasi Wierama menjadi tiga katagori, yaitu stress ringan (nilai THI= 72-79), stress sedang (nilai THI= 80-89) dan stress berat (nilai THI= 90-98). Ditambahkan oleh Chase (2006) bahwa nilai THI kurang dari 72 merupakan batas normal (kondisi nyaman) dan sapi FH akan mengalami cekaman/stress panas jika melewati angka 72 (Amir 2010; Armstrong 1994; Dobson et al. 2003; Moran 2005; Neil 2008; Yani et al. 2007; Rejeb et al. 2012).
Tanda stress umum yang tampak pada sapi perah dengan suhu sekitar 26.60 hingga 32.2 ºC dan kelembaban udara berkisar antara 50% hingga 90%, yaitu laju respirasi yang cepat, banyak berkeringat dan penurunan kira-kira 10% pada produksi susu dan konsumsi pakan. Menurut Esmay (1982) kelembaban relatif yang sesuai untuk lingkungan sapi perah adalah 50%. Sapi mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan yang ekstrim dan perubahan lingkungan yang cepat pada lingkungan ekstrim (Mader 2003).
Penelitian Berman (2005) melaporkan pengaruh langsung stress panas terhadap produksi disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang Tabel 5 Rataan nilai THI, suhu dan kelembaban udara setiap bulan selama tiga
tahun (2011-2013)
13 berdampak pada penurunan produktivitas ternak tersebut. Menurut West (2003) stres panas yang dialami ternak dapat menyebabkan penurunan asupan energi yang tersedia untuk fungsi produktif, peningkatan kehilangan natrium dan kalium. Hal ini terkait dengan peningkatan laju respirasi, sehingga mempengaruhi keseimbangan asam basa dan mengakibatkan metabolik alkalosis serta dapat mengakibatkan penurunan efisiensi pemanfaatan nutrisi.
Churng (2003) merinci tentang beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urine. Bath et al. (1985) menegaskan apabila temperatur udara di atas 23.9 oC dan kelembaban tinggi maka akan terjadi
efek negatif terhadap produksi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, penurunan produksi susu pada sapi perah yang menderita stres panas terjadi karena adanya pengurangan pertumbuhan kelenjar mammae (Anderson et al. 1985). Penelitian Nugroho et al. (2010) menyatakan bahwa nilai THI di dataran rendah sebesar 76.71±4.91 produksi susu rata-rata di daerah dataran rendah sebesar 10.17±2.57 liter. Rendahnya konsumsi pakan ternak di daerah dataran rendah dapat disebabkan pengaruh cekaman panas yang diderita ternak sehingga untuk mengatasi beban panas dan mempertahankan suhu tubuhnya maka secara fisiologis ternak akan menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi minum.
Data rataan secara keseluruhan yang didapat di lingkungan UPT yaitu nilai THI 76-79 (stress ringan), suhu 26.40-28.03 ºC (stress panas) dan kelembaban udara 72.20%-81.45%. Musim hujan dengan nilai THI 76.06-79.58, suhu 26.40-27.51 ºC dan kelembaban udara 75.22%-81.45% sedangkan pada musim kemarau nilai THI 77.43-79.98, suhu 27.20-28.03 ºC, kelembaban udara 72.70%-75.51%. Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Rejeb et al. (2012) di daerah beriklim sedang dengan fluktuasi suhu 20.12-37.35 oC, kelembaban 31.25%-57.70% dan THI 65.62-83.27 diketahui bahwa fluktuasi suhu, kelembaban dan THI di UPT tidak terlalu ekstrim.
Tingkat kenyamanan ternak di UPT mengalami stress ringan berdasarkan nilai THI dan stress panas berdasarkan suhu. Kondisi ternyaman terjadi pada musim hujan dengan nilai THI 76.06-79.58 dibandingkan musim kemarau 77.43-79.98. Suhu di UPT ternak mengalami stress panas, namun suhu terdingin 26.40-27.51 ºC terjadi di musim hujan dibandingkan musim kemarau 27.20-28.03 ºC. Kelembaban udara di UPT juga membuat ternak mengalami stress, kelembaban tertinggi terjadi di musim hujan 75.22%-81.45% dibandingkan musim kemarau 72.70%-75.51%.
14
Kualitas Pakan Ternak
Kualitas pakan ternak pada penelitian ini dilihat dari segi hijauan makanan ternak pada musim hujan dan musim kemarau pada tahun 2014 yang akan digunakan sebagai pembanding karena penelitian ini menggunakan data 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kualitas hijauan makanan ternak pada musim hujan dan musim kemarau serta pakan konsentrat ampas tahu di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan Tabel 6.
Rumput gajah musim hujan diambil pada bulan April yang merupakan puncak musim hujan pertama dengan curah hujan 200-300 mm. Rumput gajah musim kemarau diambil pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir di musim kemarau dengan curah hujan 151-200 mm pada tahun 2014. Perbandingan kualitas hijauan makanan ternak berupa rumput gajah pada musim hujan dan musim kemarau diketahui bahwa protein kasar lebih tinggi di musim kemarau, lemak kasar lebih tinggi di musim kemarau, serat kasar lebih tinggi di musim hujan, abu lebih tinggi di musim kemarau dan BETN lebih tinggi di musim hujan.
Perbedaan kualitas hijauan makanan ternak tersebut dipengaruhi oleh curah hujan yang berbeda pada tiap musim. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan rumput gajah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim basah/hujan rumput gajah mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat musim kering/kemarau. Perbedaan kualitas ini mungkin saja terjadi karena rata-rata rumput gajah yang tumbuh di musim hujan dan musim kemarau dipanen dengan umur panen yang sama sehingga mengakibatkan nilai nutrisi rumput gajah pada musim hujan mengalami penurunan kualitas atau nilai nutrisinya dan menyebabkan meningkatnya serat kasar pada musim hujan. Sesuai dengan Moran (2005) bahwa pertumbuhan rumput gajah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim basah rumput ini mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat musim kering. Oleh karena itu, umur panen rumput gajah yang tumbuh di musim hujan harus diatur sebaik mungkin agar tidak cepat mengalami penurunan kualitas atau nilai nutrisi. Penurunan nilai nutrisi yang disebabkan oleh semakin bertambahnya persentase serat kasar dan kecernaannya yang semakin rendah ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa hijauan yang tumbuh di daerah yang curah hujannya lebih tinggi umumnya akan mengandung kadar air Tabel 6 Kualitas hijauan makanan ternak (HMT) pada musim hujan dan kemarau
serta konsentrat ampas tahu
15 yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan intake bahan kering oleh ternak. Hal ini tidak sesuai dengan hijauan yang ada di UPT karena bahan kering hijauan pada musim hujan lebih tinggi dibanding pada musim kemarau. Menurut Weiss et al. (2002) meskipun kondisi kekeringan atau keterbatasan air dapat menurunkan produksi hijauan tetapi umumnya justru dapat meningkatkan nilai nutrisi nya. Kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga membatasi produksi serat oleh tanaman. Oleh sebab itu, hijauan yang tumbuh pada kondisi kering umumnya memiliki kadar serat yang lebih rendah serta mengandung protein kasar dan energi yang lebih tinggi dibandingkan hijauan yang tumbuh pada kondisi normal atau berlebih air. Sesuai dengan hijauan yang ada di UPT pada musim kemarau diketahui bahwa serat kasar lebih rendah dan protein kasar lebih tinggi dibandingkan musim hujan, hal ini disebabkan karena pada musim hujan pertumbuhan hijauan lebih cepat dibandingkan musim kemarau. Seperti yang telah diuraikan di atas mungkin terjadi penyamaan umur panen hijauan sehingga umur panen perlu diperhatikan demi menjaga kualitas hijauan pada musim hujan yang pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan musim kemarau.
Konsentrat di UPT diketahui bahwa nilai protein kasarnya sebesar 18.6%, serat kasar 18.63% dan BETN 54.33%. Siregar (1996) menyatakan persyaratan teknis minimal pakan ruminansia berupa konsentrat sapi perah laktasi adalah dengan kandungan protein kasar minimal 18%, sehingga konsentrat di UPT dapat dikatakan baik karena memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan persyaratan teknisnya. Sudjatmogo (2010) bahwa imbangan hijauan dengan konsentrat yang diberikan kepada sapi laktasi adalah berkisar 55%-70% (hijauan): 45%-30% (konsentrat). Menurut Siregar (2001) seekor sapi laktasi membutuhkan 30 kg hijauan dan 5.3 kg konsentrat untuk memproduksi susu sebanyak 8 liter/hari. Pendapat tersebut berkaitan dengan kurangnya nilai protein pada hijauan makanan ternak, sesuai dengan nilai protein kasar hijauan di UPT yang hanya 6.96 sehingga sangat dibutuhkan penambahan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan sapi FH akan protein kasar agar dapat menghasilkan susu dengan baik.
Subandriyo (1994) menyatakan bahwa pengaruh musim di Indonesia berhubungan dengan ketersediaan pakan hijauan, dimana pada musim kemarau pakan hijauan sulit didapatkan sehingga akan mempengaruhi produksi susu. Namun jika dilihat berdasarkan curah hujan di lingkungan UPT sangat mendukung untuk pertumbuhan Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang membutuhkan banyak air seperti rumput gajah, apabila terjadi penurunan kuantitas pakan hal tersebut bukan dikarenakan oleh faktor kekurangan air melainkan disebabkan oleh manajemen pengelolaan seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan Moran (2005); Mannetje dan Jones (2000) bahwa di Asia Tenggara rumput gajah tumbuh alami di daerah yang bercurah hujan tidak kurang dari 1.000 mm per tahun atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak memiliki musim panas yang panjang, sehingga secara kuantitas hijauan makanan ternak di UPT dapat dikatakan mencukupi untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah.
16
bahwa nutrisi terutama protein diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi perah. Menurut pendapat Alim et al. (2002); Damron (2003) bahwa nutrisi diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi perah.
Seekor sapi perah yang daya produksi susunya tinggi, bila tidak mendapat pakan yang cukup baik secara kuantitas dan kualitas, maka tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya (Soeharsono dan Makin 1996). Ditambahkan oleh McDowell (1974), pengaruh pakan sangat besar sekali terhadap kuantitas dan kualitas susu. Pemberian ransum yang tidak memadai menyebabkan hasil susu yang rendah, karena pemberian ransum pakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya tetapi juga membantu produksi susunya. Pemberian pakan dengan memenuhi kebutuhan protein sapi merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam usaha sapi perah. Induk sapi perah memerlukan protein pakan sebagai pemenuhan konsumsi pakan selama masa laktasi, yang digunakan untuk produksi susu. Sudono et al. (2003) menyarankan pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu yang diberikan kurang, hasil produksi susu tidak akan maksimal.
Berdasarkan kualitas hijauan di UPT diketahui bahwa protein kasar (PK) pada musim kemarau yaitu 6.96% lebih tinggi daripada musim hujan 6.30% walaupun perbedaannya tidak terlalu besar, namun apabila pemanenan hijauan pada musim hujan dilakukan lebih lama lagi tentu akan menyebabkan kualitas hijauan di musim hujan semakin tidak baik. Menurut Ali (2006) faktor yang mempengaruhi produksi adalah tingkat laktasi dan kondisi sapi waktu beranak, diteruskan Eniza (2004), yaitu banyaknya ransum dan nutrisi terkandung dalam pakan yang diberikan pada ternak yang sedang laktasi, besarnya hewan, birahi, hereditas, saat kawin, tukang perah dan jadwal pemerahan. Peningkatan produksi susu diduga karena adanya peningkatan kualitas ransum, terutama protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanti dan Marhaeniyanto (2007), bahwa produksi susu yang tinggi terkait erat dengan kualitas pakan yang dikonsumsi terutama protein. Kung (2000) menyatakan bahwa potensi genetik akan muncul secara optimal yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi PK pakan untuk memenuhi kebutuhan mikroba rumen dalam mencapai produksi susu maksimal. Kandungan PK ransum yang tinggi berhubungan positif dengan degradasi protein dalam rumen (meningkatkan konsentrasi ammonia) dan ditujukan dengan penurunan efisiensi utilitas N untuk produksi susu (Broderick dan Reynal 2009; Hristov et al. 2004). Protein kasar hijauan makanan ternak di UPT diketahui bahwa pada musim kemarau lebih tinggi dari pada musim hujan walaupun perbedaannya tidak terlalu besar sehingga mungkin saja akan menyebabkan produksi susu di musim kemarau sedikit lebih tinggi daripada musim hujan.
17
Tabel 7 Persentase laktasi per bulan dan rataan pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Sumber: UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar
(Ensminger 2005). Menurut Tessmann et al. (1991), peningkatan konsumsi energi oleh ternak akan menyebabkan peningkatan produksi susu. Nilai BETN hijauan makanan ternak di UPT diketahui bahwa pada musim hujan lebih tinggi dari pada musim kemarau sehingga mungkin saja akan menyebabkan produksi susu di musim hujan lebih tinggi daripada musim kemarau.
Berdasarkan serat kasar hijauan di UPT diketahui bahwa musim hujan lebih tinggi (33.00%) dibandingkan musim kemarau (25.00%). Sudono et al. (2003) menyatakan pakan hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan. Kadar lemak susu dipengaruhi oleh pakan karena sebagian besar dari komponen susu disintesis dalam ambing dari substrat yang sederhana yang berasal dari pakan (Maheswari 2004). Serat kasar hijauan makanan ternak di UPT diketahui bahwa pada musim hujan lebih tinggi dari pada musim kemarau, hal ini disebabkan karena kadar abu di musim kemarau lebih tinggi sehingga mungkin saja akan menyebabkan kualitas susu di musim hujan lebih baik daripada musim kemarau. Secara keseluruhan diketahui bahwa di UPT kualitas hijauan makanan ternak berupa rumput gajah paling baik untuk memproduksi susu dengan kualitas yang baik ada pada musim hujan dibanding musim kemarau.
Persentase Laktasi
Persentase laktasi pada penelitian ini bertujuan untuk menduga performa reproduksi sapi FH setiap musim sepanjang tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Persentase laktasi per bulan dan rataan persentase laktasi pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013 disajikan Tabel 7.
18
pada bulan Januari. Grafik fluktuasi persentase laktasi per bulan dan rataan selama tahun 2011-2013 disajikan pada Gambar 5.
Grafik fluktuasi persentase laktasi secara rataan menunjukkan bahwa pada bulan Januari merupakan bulan dengan persentase laktasi tertinggi sedangkan laktasi terendah pada bulan Desember dan penurunan persentase laktasi terbesar terjadi pada bulan Juli sebesar 2.57% dari 57.25% menjadi 54.68%. Berdasarkan data keseluruhan dapat disimpulkan bahwa persentase laktasi setiap bulannya mengalami penurunan selama 2011-2013.
Berdasarkan musim, persentase laktasi tahun 2011 pada musim hujan pertama 66.19%-70.59% dengan rata-rata 68.51%, musim kemarau 58.91%-62.69% dengan rata-rata 60.91% dan pada musim hujan kedua 59.35%-60.00% dengan rata-rata 59.65%. Persentase laktasi saat memasuki musim kemarau mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 3.50% dari 66.19% menjadi 62.69%, sedangkan saat memasuki musim hujan kembali (musim hujan kedua) terjadi peningkatan persentase laktasi sebesar 1.59% dari 58.91% menjadi 60.50%. Tingginya persentase laktasi pada tahun 2011 di musim hujan pertama diikuti dengan tingginya curah hujan 189.80±110.00 mm, suhu yang rendah 26.80±0.62 oC dan THI 75.98±1.26 serta pakan yang lebih baik dibanding pada musim kemarau dengan curah hujan rendah 105.13±87.81 mm, suhu yang lebih tinggi 27.67±0.33
oC dan nilai THI yang tinggi pula 77.83±0.50 menyebabkan sapi FH pada musim
kemarau mengalami stress panas yang lebih tinggi dan kondisi lingkungan yang tidak nyaman dibandingkan pada musim hujan pertama. Pada musim hujan kedua persentase laktasi sapi FH diketahui tidak terjadi peningkatan, hal ini disebabkan oleh pengaruh stress panas dan kondisi lingkungan yang tidak nyaman serta kualitas pakan pada saat musim kemarau yang kurang menguntungkan sapi FH.
Tahun 2012 pada musim hujan pertama 57.14%-59.35% dengan rata-rata 58.22%, musim kemarau 56.05%-58.18% dengan rata-rata 56.97% dan musim hujan kedua 48.17%-56.30% dengan rata-rata 54.26. Persentase laktasi saat memasuki musim kemarau tidak mengalami perubahan, sedangkan saat memasuki musim hujan kembali (musim hujan kedua) terjadi penurunan persentase laktasi sebesar 1.23% dari 57.53% menjadi 56.30%. Memasuki tahun 2012 di musim hujan
19 pertama persentase laktasi juga tidak mengalami peningkatan dibandingkan musim hujan kedua di tahun 2011, meskipun persentase laktasi di musim hujan pertama merupakan persentase laktasi tertinggi di tahun 2012, hal ini mungkin disebabkan oleh stress panas yang dialami sapi FH menyebabkan penurunan performa reproduksi. Memasuki awal bulan musim kemarau (Mei) persentase tidak mengalami perubahan, namun pada musim kemarau secara keseluruhan persentase laktasi mengalami penurunan dibanding pada musim hujan pertama. Penurunan persentase laktasi yang terjadi pada tahun 2012 lebih kecil dibandingkan dengan penurunan persentase laktasi yang terjadi di tahun 2011 dengan perbandingan 1.25% : 7.60%. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya peningkatan kualitas pakan pada musim kemarau di tahun 2012 terutama pada persentase protein kasarnya, karena dari sampel yang diambil pada tahun 2014 perbedaan kadar protein kasar tidak terlalu besar. Sesuai dengan Alim et al. (2002); Damron (2003); Johanson (1961) yang mengatakan bahwa pakan memegang peranan penting terhadap proses fisiologis terutama protein yang diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi perah. Memasuki musim hujan kedua di tahun 2012 persentase laktasi juga mengalami penurunan, sama halnya dengan tahun 2011 hal ini juga mungkin disebabkan oleh stress panas dan lingkungan yang tidak nyaman yang dialami sapi FH saat musim kemarau.
Tahun 2013 pada musim hujan 51.55%-54.05% dengan rata-rata 53.24%, musim kemarau 49.02%-54.17% dengan rata-rata 51.83% dan musim hujan kedua 50.25%-55.91% dengan rata-rata 51.67%. Persentase laktasi saat memasuki musim kemarau mengalami peningkatan persentase laktasi sebesar 0.28% dari 53.61% menjadi 53.89%, sedangkan saat memasuki musim hujan kembali (musim hujan kedua) tidak terjadi perubahan persentase laktasi. Pada tahun 2013 fluktuasi persentase laktasi hampir sama dengan tahun 2011. Pada musim hujan pertama tidak terjadi peningkatan dibandingkan musim hujan kedua di tahun 2012, namun lebih tinggi dibandingkan musim kemarau dan pada musim hujan kedua persentase laktasi juga mengalami penurunan. Penurunan persentase laktasi di tahun 2013 mungkin disebabkan oleh pengaruh stress panas dan kondisi lingkungan yang tidak nyaman serta kualitas pakan pada saat musim kemarau yang kurang menguntungkan sapi FH. Secara rata-rata musim hujan merupakan musim dengan persentase laktasi yang lebih tinggi dibanding musim kemarau dan persentase laktasi di UPT dari tahun 2011-2013 selalu mengalami penurunan.
20
Index (THI) mengalami stress ringan dan berdasarkan musim, musim yang baik untuk sapi FH di UPT agar dapat berproduksi maksimal terjadi pada musim hujan karena suhu di musim hujan lebih dingin dibandingkan pada musim kemarau. Menurut Hansen et al. (2001) berkurangnya performa reproduksi di pengaruhi oleh suhu udara yang panas sehingga menyebabkan rendahnya tingkat kebuntingan dan kematian embrio sering terjadi pada musim kemarau. Bila suhu tubuh sapi betina meningkat maka akan mengganggu kapasitas spermatozoa dalam saluran reproduksi betina, merusak sel telur sebelum dan sesudah ovulasi menghambat perkembangan awal embrio dan pertumbuhan anak pada akhir kebuntingan (Sartori et al. 2002). Performa reproduksi yang berkaitan dengan rendahnya fertilitas akibat terganggunya siklus estrus dan ovulasi sehingga dalam kondisi ekstrem fertilitas dapat mencapai 0%, ditambah pula kematian embrio yang menyebabkan penundaan laktasi dan masa beranak (Hansen dan Arechiga 1999).
Manajemen harus mampu menyesuaikan jumlah sapi-sapi perah yang sudah berproduksi atau laktasi terhadap jumlah sapi-sapi perah induk yang sedang dalam keadaan tidak berproduksi susu atau kering. Jumlah atau persentase sapi-sapi perah laktasi tidak boleh terlalu banyak dan tidak boleh terlalu sedikit. Persentase pemeliharaan sapi-sapi perah laktasi yang terlalu banyak dalam komponen pemeliharaan sapi-sapi perah induk akan berdampak terhadap ketidakstabilan dari suatu periode produksi ke periode produksi berikutnya. Sebaliknya, apabila persentase sapi laktasi yang terlalu sedikit akan berakibat terhadap jumlah produksi susu yang relatif sedikit yang berdampak terhadap biaya produksi yang relatif tinggi, sehingga tidak ekonomis. Siregar (1996) dan Djarijah (1996) menyimpulkan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah baru akan mencapai tingkat yang paling ekonomis apabila persentase sapi perah induk yang laktasi, berkisar antara 60%-80%.
Persentase laktasi dari tahun 2011-2013 di UPT yang paling ekonomis terjadi pada tahun 2011 karena nilai persentase laktasinya masih tergolong tinggi yaitu 58.91%-70.59% dan masih berada diantara nilai persentase reproduksi yang disarankan. Pada tahun 2012-2013 sudah tidak ekonomis karena nilai persentase laktasinya dibawah 60% yaitu berkisar antara 48.17%-59.35%. Persentase laktasi secara keseluruhan diketahui bahwa di UPT selisih sapi FH yang laktasi (berproduksi) dengan yang kering (tidak berproduksi) berkisar 14.50% dengan persentase sapi FH laktasi 57.25% dan kering 42.75%. Apabila dilihat berdasarkan musim, musim yang paling ekonomis terdapat pada musim hujan dengan persentase laktasi maksimal secara berturut-turut dari tahun 2011-2013 sebesar 70.59%, 59.53% dan 55.91% dibandingkan dengan musim kemarau 62.69%, 58.18% dan 54.17%. Selisih sapi FH laktasi dan kering berdasarkan musim berkisar 15.18% dengan persentase sapi FH yang laktasi 57.59% dan kering 42.41% pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau selisihnya 13.14% dengan sapi FH yang laktasi 56.57% dan kering 43.43%, sehingga diketahui bahwa pada musim hujan sapi FH yang laktasi lebih banyak dibanding musim kemarau.
21 Persentase laktasi di UPT kurang dari 80% dan secara keseluruhan kurang dari 60% yaitu 57.27%±2.35%, hal ini karena suhu dan kelembaban udara serta interaksi suhu dan kelembaban udara atau Temperature Humidity Index (THI) secara keseluruhan diketahui bahwa sapi FH yang dipelihara di UPT bila dilihat berdasarkan suhu dan kelembabannya mengalami stress panas dan berdasarkan Temperature Humidity Index (THI) mengalami stress ringan sehingga upaya perkawinan dengan inseminasi buatan (IB) maupun alami yang dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan kedua berkemungkinan mengalami kegagalan, sehingga mengakibatkan jarak antar kelahiran (calving interval) menjadi lebih panjang.
Produksi Susu
Produksi susu yang diamati dalam penelitian adalah produksi susu bulanan pada musim hujan dan musim kemarau sepanjang tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Rataan produksi susu sapi FH per bulan, jumlah sapi FH laktasi dan rataan produksi sapi FH per hari pada musim hujan dan musim kemarau selama tahun 2011-2013 di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau disajikan pada Tabel 8.
Rataan produksi susu sapi FH secara keseluruhan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar yaitu 193.90±9.66 liter dengan produksi susu minimum 176.18 liter pada bulan Desember dan maksimum 207.68 liter pada bulan Oktober. Grafik fluktuasi produksi susu sapi FH per bulan dan grafik fluktuasi produksi susu sapi FH per ekor selama tahun 2011-2013 disajikan pada gambar 6.
Tabel 8 Rataan produksi susu per bulan, jumlah sapi laktasi dan rataan produksi sapi FH per hari pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Musim/
22
Berdasarkan musim, produksi susu tahun 2011 pada musim hujan pertama 173.03-198.95 liter dengan rata-rata 187.11 liter, musim kemarau 176.80-219.52 liter dengan rata-rata 198.72 liter dan pada musim hujan kedua 187.16-257.18 liter dengan rata-rata 231.14 liter. Produksi susu saat memasuki musim kemarau mengalami penurunan sebesar 6.76 liter dari 198.95 liter menjadi 192.19 liter, sedangkan saat memasuki musim hujan kedua mengalami peningkatan sebesar 80.38 liter dari 176.80 liter menjadi 257.18 liter. Tahun 2012 pada musim hujan pertama 189.94-222.86 liter dengan rata-rata 207.41 liter, musim kemarau 194.40-245.73 liter dengan rata-rata 226.31 liter dan musim hujan kedua 182.17-206.73 liter dengan rata-rata 188.66 liter. Produksi susu saat memasuki musim kemarau mengalami peningkatan sebesar 2.29 liter, sedangkan memasuki musim hujan kedua mengalami penurunan sebesar 12.23 liter dari 194.40 liter menjadi 182.17 liter. Tahun 2013 pada musim hujan pertama 179.04-223.53 liter dengan rata-rata 195.41 liter, musim kemarau 144.68-161.98 liter dengan rata-rata 151.97 liter dan musim hujan kedua 148.92-165.64 liter dengan rata-rata 158.35 liter. Produksi susu Gambar 6 Grafik fluktuasi produksi susu sapi FH per bulan dan grafik fluktuasi
23 saat memasuki musim kemarau mengalami penurunan sebesar 27.63 liter dari 179.04 liter menjadi 151.40 liter, sedangkan memasuki musim hujan kedua mengalami penurunan sebesar 13.06 liter dari 161.98 menjadi 148.92 liter.
Produksi susu di tahun 2011 diketahui bahwa produksi susu pada musim hujan pertama lebih rendah daripada musim kemarau walaupun musim hujan pertama merupakan musim yang baik untuk sapi FH dilihat dari faktor iklim yang ada di lingkungan UPT dengan suhu 26.80 : 27.67 oC dan nilai THI 75.98 : 77.83. Sebaliknya peningkatan produksi susu mengalami peningkatan di musim hujan kedua. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh faktor selain iklim baik itu berupa perbedaan tatalaksana pemeliharaan, pemberian pakan dan perubahan mutu genetik, walaupun diketahui bahwa pakan di musim hujan lebih baik daripada musim kemarau. Faktor iklim baru terlihat pada saat musim hujan kedua, dengan curah hujan, suhu dan nilai THI yang lebih baik daripada musim kemarau sehingga menyebabkan produksi susu di musim hujan kedua mengalami peningkatan. Bila dilihat dari faktor persentase laktasi diketahui bahwa pada musim hujan pertama persentase laktasi lebih tinggi dibanding pada musim kemarau, akan tetapi produksi susu tidak mengalami peningkatan yang mungkin disebabkan oleh banyaknya sapi FH yang laktasi sudah memasuki fase-fase akhir laktasi sehingga produksi susu yang dihasilkan sedikit. Meskipun pada musim hujan kedua persentase laktasi mengalami penurunan akan tetapi produksi susu mengalami peningkatan, hal ini mungkin disebabkan sapi FH yang laktasi di musim hujan kedua lebih banyak yang masih dalam fase menghasilkan susu yang cukup baik. Secara keseluruhan pada tahun 2011 diketahui bahwa produksi susu yang tinggi terjadi di musim hujan dibanding musim kemarau.
Produksi susu di tahun 2012 diketahui bahwa produksi susu pada musim hujan pertama lebih rendah dibanding musim kemarau dan mengalami penurunan pada musim hujan kedua. Hal tersebut mungkin juga disebabkan oleh perbedaan tatalaksana pemeliharaan, pemberian pakan dan perubahan mutu genetik. Sama halnya pada persentase laktasi di musim kemarau tahun 2012 diduga kualitas pakan pada musim kemarau lebih tinggi dibanding pada musim hujan pertama terutama pada persentase protein kasarnya sehingga menyebabkan produksi susu di musim kemarau tahun 2012 meningkat atau lebih tinggi di banding musim hujan. Sesuai dengan Alim et al. (2002); Damron (2003); Johanson (1961) yang mengatakan bahwa pakan memegang peranan penting terhadap proses fisiologis terutama protein yang diperlukan untuk kesehatan dan produksi susu sapi perah. Apabila dilihat dari segi persentase laktasi juga hampir sama dengan tahun 2011 yaitu persentase pada musim hujan pertama lebih tinggi dibanding musim kemarau namun karena fase laktasi tidak diketahui maka dapat diduga bahwa pada musim kemarau merupakan fase dimana sapi FH memproduksi susu dengan baik sehingga pada tahun 2012 produksi susu yang lebih tinggi ada pada musim kemarau dibanding musim hujan.
Produksi susu di tahun 2013 diketahui bahwa produksi susu pada musim hujan pertama lebih tinggi dibanding musim kemarau selanjutnya meningkat pada musim hujan kedua. Hal tersebut mungkin karena pada tahun 2013 terjadi perubahan iklim yang dapat dikatakan ekstrim karena pada musim hujan pertama suhu 26.67-28.13 oC dengan rata-rata 27.51 oC, kelembaban 77.83%-81.89% dan
24
77.43-79.98 sehingga menyebabkan sapi FH mengalami stress panas berdasarkan suhu dan berdasarkan nilai THI sapi FH hampir mendekati pada stress sedang yang menyebabkan produksi susu di musim hujan pertama lebih tinggi dibanding pada musim kemarau. Meskipun pada musim hujan kedua suhu 26.25-26.81 oC dengan rata-rata 26.56 oC, kelembaban 79.33%-83.90% dan nilai THI 76.92-78.22 lebih
baik dibandingkan musim hujan pertama namun pengaruh musim kemarau terhadap sapi FH masih memiliki pengaruh terhadap jumlah produksi susu yang dihasilkan sehingga peningkatan produksi susu sapi FH di musim hujan kedua tidak mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu dari 151.97 liter menjadi 158.35 liter.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa secara keseluruhan musim yang paling baik untuk sapi FH dapat berproduksi secara maksimal terdapat pada musim hujan dengan perbandingan rataan produksi susu antara musim hujan dan musim kemarau adalah 194.68±9.50 liter pada musim hujan dengan produksi susu terendah 176.18 liter bulan Desember dan tertinggi 207.68 liter bulan Oktober, sedangkan pada musim kemarau 192.34±11.24 liter dengan produksi susu terendah 177.73 liter bulan Agustus dan tertinggi 201.67 liter bulan Juli. Hal tersebut disebabkan karena secara keseluruhan pada musim hujan dan musim kemarau berdasarkan suhu dan kelembaban udara diketahui bahwa suhu terdingin 26.40-27.51 ºC dan kelembaban tertinggi 75.22%-81.45% terjadi pada musim hujan dibandingkan musim kemarau dengan suhu 27.20-28.03 ºC dan kelembaban 72.70%-75.51% sedangkan berdasarkan nilai THI dengan kondisi ternyaman ada pada musim hujan dengan nilai THI 77.28-78.03 dibandingkan musim kemarau 77.78-78.97, walaupun berdasarkan suhu udara dan nilai THI sapi FH yang dipelihara di UPT mengalami stress panas namun suhu terdingin dan THI yang paling nyaman untuk sapi perah terjadi di musim hujan yang menyebabkan produksi susu pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau.
Perbandingan produksi susu sapi FH pada musim hujan dan musim kemarau dari tahun 2011-2013 berdasarkan uji-T disajikan pada Tabel 9.
Berdasarkan uji-T diketahui bahwa pada tahun 2011 produksi susu sapi FH di musim hujan tidak berbeda dibanding musim kemarau, sama halnya pada tahun 2012 produksi susu di musim hujan dan musim kemarau juga tidak berbeda, namun pada tahun 2013 perbedaan musim hujan dan musim kemarau berbeda nyata (P<0.05). Musim kurang berpengaruh terhadap produksi susu secara keseluruhan,
Tabel 9 Perbandingan produksi susu sapi FH pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2011-2013
Produksi Susu Musim Hujan Musim Kemarau
Perbulan (liter/bulan)
25 hal ini terlihat bahwa tidak setiap tahun terjadi perbedaan yang nyata antara musim terhadap produksi susu namun musim yang paling baik untuk sapi FH ada pada musim hujan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rejeb et al. (2012) bahwa pengaruh musim terhadap fluktuasi produksi susu sangat nyata di daerah beriklim sedang yaitu sebesar 24.26 kg/hari spring dan 30.24 kg/hari summer.
Indrijani (2008) menyatakan bahwa faktor musim, curah hujan, hari hujan, temperatur dan kelembaban kurang berpengaruh terhadap keragaman produksi susu secara keseluruhan pada penelitian yang dilakukan di berbagai perusahaan peternakan di Indonesia. Hal ini terjadi karena perbedaan musim hujan dan musim kemarau relatif tidak ekstrim seperti yang terjadi di daerah subtropis atau beriklim sedang. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rejeb et al. (2012) di Bousalem Tunisia (daerah beriklim sedang) menyatakan bahwa perbedaan suhu dan kelembaban udara serta THI pada saat summer bulan Agustus dan pada saat spring bulan Februari memiliki perbandingan yang ekstrim yaitu 37.35 : 20.12 ºC, 31.25% : 57.70% dan 83.27 : 65.62. Ditambah dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (1995); Indrijani (2001); Schneeberger et al. (1982) bahwa perubahan produksi susu terjadi karena beberapa faktor yaitu perbedaan tata laksana pemeliharaan, perbedaan pemberian pakan, maupun perubahan mutu genetik ternak karena adanya seleksi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Kondisi Iklim dan nilai THI di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar Provinsi Riau pada musim hujan lebih baik dibanding musim kemarau walaupun secara keseluruhan sapi FH yang dipelihara di UPT mengalami cekaman atau stress panas. Kualitas hijauan makanan ternak pada musim hujan lebih baik dibandingkan musim kemarau. Persentase laktasi lebih baik di musim hujan sedangkan di musim kemarau berkemungkinan terjadinya gangguan reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu akibat dari kondisi iklim dan Temperature Humidity Index (THI) yang kurang baik bagi sapi FH. Faktor musim tidak berpengaruh terhadap produksi susu.
Saran
Faktor musim dilihat berdasarkan iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban udara) dan interaksi antara suhu dan kelembaban udara atau Temperature Humidity Index (THI) kurang berpengaruh secara keseluruhan terhadap produksi susu sehingga perlu ditambahkan faktor-faktor lain seperti tata laksana pemeliharaan, pemberian pakan, maupun perubahan mutu genetik ternak di peternakan sapi perah.
DAFTAR PUSTAKA
26
Amir A. 2010. Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan Fries Holland pada energi ransum yang berbeda [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Armstrong DV. 1994. Heat stress interaction with shade and cooling. J Dairy Sci. 77: 2044-2050.
Anderson RR, Collier RJ, Guidry AJ, Heald CW, Jenness R, Larson BL, Tucker HA. 1985. Lactation. Larson BL, editor. Ames (US): Iowa University Pr. Anggraeni A. 1995. Faktor-faktor koreksi hari laktasi dan umur untuk produksi susu
sapi perah Fries Holland [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Minnesota (US): Lea dan Febiger.
Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): ITB.
Berman A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J Anim Sci. 83:1377-1384.
Broderick GA, Reynal SM. 2009. Effect of source of rumen-degraded protein on production and ruminal metabolism in lactating dairy cows. J Dairy Sci. 92(6):2822–2834.
Calderon A, Armstrong CV, Ray DE, Denise SK, Enns RM, Howison CM. 2005. Productive and reproductive response of Holstein and Brown Swiss heat stressed dairy cows to two different cooling systems. J Anim Vet. 4:572-578. Chase EL. 2006. Climate Change Impacts on Dairy Cattle. Climate Change and Agriculture: Promoting Practical and Profitable Responses. Ithaca (US): Cornell University.
Churng FL. 2003. Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stress. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle; 2005 Oktober 10; Hsinchu, Taiwan. Hsinchu (TW): Taiwan Livestock Research Institute. p 6-11.
Damron WS. 2003. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social, and Industry Prospective. Ed ke-2. Pearson Education. New Jersey (US): Upper Saddle River. p 71-94, 239-248.
Djarijah AS. 1996. Usaha Ternak Sapi. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Dobson H, Ghuman SPS, Prabhaker S, Smith RF. 2003. A conceptual model of the influence of stress on female reproduction [review]. J Reproduction. 125:151-163.
Eniza S. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan (ID): USU. Esmay ML. 1982. Principles of Animal Environment. Connecticut (US): AVI
Publishing Co.
Gatenby RM, Martawidjaya. 1986. Comparison of the Thermal Budgets of Five Different Roof of Animal House. Bogor (ID): Applied Agric. Res Project and Rest. Institut of Animal Production.
Gwatibaya SE, Svotwa E, Jambwa D. 2007. Potential effects and management options for heat stress in dairy cows in Zimbabwe [review]. Tersedia pada:
http://www.researchgate.net. [2015 Januari 03]. EJ EAFChe6(5):2066-2074.
Hadisutanto B. 2008. Studi tentang beberapa performan reproduksi pada berbagai paritas induk dalam formulasi masa kosong (days open ) sapi perah Fries Holland[disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran