• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN

HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN PANGKAJENE

DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

ZAINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ZAINUDIN, Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SUMARDJO dan DJOKO SUSANTO.

Keberadaan hutan mangrove sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir, yang dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan dan sebagai pelindung dari hempasan ombak dan angin kencang. Oleh karenanya, keberadaan hutan mangrove perlu dijaga dan dilestarikan. Kelestarian hutan mangrove tidak terlepas dari perilaku masyarakat yang berada di sekitarnya. Pengelolaan hutan mangrove secara lestari merupakan salah satu syarat untuk menjamin keberlanjutan hutan tersebut, namun demikian fakta di lapangan tidak selalu sesuai dengan harapan. Pada saat ini, kerusakan hutan mangrove terjadi di mana-mana, termasuk di kawasan pesisir Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Di kawasan pesisir Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, selain kondisi hutan mangrove yang rusak secara alami, terjadi pula alih fungsi lahan dari hutan mangrove menjadi tambak ikan, yang mengakibatkan luasan hutan mangrove semakin berkurang.

Apabila fenomena kerusakan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terus berlanjut dan tidak segera ditangani maka akan berakibat sangat buruk bagi ekologi hutan mangrove tersebut dan berdampak pada terjadinya abrasi pantai yang semakin kritis, intrusi air laut lebih jauh ke daratan, potensi perikanan menurun, kehidupan berbagai jenis habitat lainnya terganggu serta sumber pendapatan masyarakat sekitar berkurang. Oleh karena itu, ekosistem mangrove perlu dilestarikan agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.

Pihak yang selalu dianggap sebagai penyebab rusaknya hutan mangrove adalah masyarakat sekitarnya. Hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan juga tak luput dari fenomena tersebut, yaitu ada hutan mangrove yang mengalami deforestasi karena perilaku masyarakat yang apatis dan destruktif, namun ada juga hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik, terjaga dan tetap lestari karena dikelola dengan baik oleh masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan mengalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove serta merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku positif masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove.

Populasi penelitian adalah Kepala Keluarga (KK) masyarakat pesisir di Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene dan Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesis Selatan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 KK. Penarikan sampel dilakukan secara acak kelompok (cluster random sampling). Rancangan penelitian ini adalah deskriptif korelasional. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman SPSS 20.

(5)

kebutuhan dan pengelolaannya telah dilakukan dengan mengedepankan aspek kelestarian yang teraktualisasi dalam tindakan nyata yang meliputi pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pengawasan. Di samping itu, masyarakat cukup kreatif dalam membangun hubungan kemitraan dengan pihak lain terkait pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove yang termanifestasi dalam bentuk hubungan dagang, antara lain transaksi penjualan bibit tanaman mangrove, juga terwujud dalam bentuk kemitraan pendidikan lingkungan hidup.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan magrove secara lestari adalah intensitas penyuluhan dan dukungan lingkungan sosial. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberlanjutan manfaat hutan mangrove adalah dukungan lingkungan sosial dan perilaku masyarakat.

Strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove adalah: (a) penetapan kebijakan yang mendukung pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar hutan mangrove, (b) pengembangan stimulan bagi masyarakat sekitar hutan mangrove untuk tetap mengelola, memelihara, dan memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara baik dan benar, (c) pengembangan dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan mangrove secara lestari, (d) pengembangan upaya terciptanya usaha industri rumahtangga.

(6)

SUMMARY

ZAINUDDIN. Coastal Community’s Behaviour in Managing and Conserving The Mangrove forest in Pangkajene and Kepulauan District of South Sulawesi Province. Advisory Comitte: SUMARDJO and DJOKO SUSANTO.

The existence of mangrove forests have become an integral part of the lives of coastal communities, hence the existence of mangrove forests should be maintained and preserved. Mangrove forest sustainability can not be separated from the behavior of the people who live around the forest. Sustainable management of mangrove forest is one of the requirements to ensure the sustainability of the forest, however, in facts is not always in line with expectation. Nowadays, degradation and deforestation of mangrove forests occur everywhere. Mangrove forests in Pangkajene and Kepulauan are examples of this phenomenon. There are mangrove forests deforesting naturally, and there are also mangrove forests deforesting because of coverting to be fishpond, so the size of area of mangrove forest is more decreasing.

If the phenomenon of mangrove forests destruction in Pangkajene and Kepulauan is continued and not anticipated immediately, it will cause serious harm to the ecology of the mangrove forests and will bring about increasing coastal erosion critically, intrusion of seawater further to the land, disturbing life of various types of habitats, and others sources of income of surrounding community’s are reduced. Therefore, mangrove ecosystems need to be preserved in order to obtain the maximum benefits in the present and the future.

Parties are always considered as the cause of the destruction of mangrove forests is the surrounding community. Mangrove forests in Pangkajene and Kepulauan also not spared from this phenomenon, there is deforested mangrove forests due to the behavior of people who are apathetic and destructive, but there are also mangrove forests which are in good condition, maintained and preserved as well managed by the community.

The objective of this research were (1) to examine the behavior of the coastal communities conserving mangrove forests, (2) to examine factors related to coastal communities’ behavior in managing and conserving mangrove forest, and (3) to formulate appropriate strategies to improve coastal communities’ behavior in managing and conserving mangrove forest.

The population were 100 heads of fisherman households taken from Tekolabbua and Pundata Baji Village of Pangkajene dan Kepulauan District. This research was correlational reearch. Data were analyzed using Spearman Rank correlation using SPSS programming

(7)

forest mangroves, (c) increasing the abilities of coastal communities to sustainably manage mangrove forests, (d) developing home industry of coastal communities. Keywords: coastal community’s behavior, managing and conserving mangrove

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN

HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN PANGKAJENE

DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Zainudin

NIM : I351110091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Ketua

Prof (R) Dr Djoko Susanto, SKM Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli s/d September 2013 ini ialah Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.

Banyak pihak yang telah membantu dan mendorong mulai dari awal penulis menjadi mahasiswa S2 IPB sampai dengan tersusunnya tesis ini, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Bapak Prof (R) Dr Djoko Susanto, SKM dan (Alm) Bapak Prof Dr Ir Darwis S Gani, MA selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

2. Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku penguji luar komisi.

3. Bapak Ir Bambang Mulyonohadi, MSi, Ibu Ir Rosdiana, MP dan Ibu Dra Anriani, MP yang telah memberikan rekomendasi kelayakan.

4. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2.

5. Kepala Balai Diklat Kehutanan Makassar beserta staf yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis.

6. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan beserta staf yang telah memberikan ijin penelitian dan membantu proses pengumpulan data

7. Masyarakat di dua Kelurahan (Kelurahan Tekolabbua dan Kelurahan Pundata Baji) yang telah membantu pengumpulan data di lapangan.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan angkatan 2011 yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan selama ini. 9. Saudara Dr Adi Riyanto Suprayitno, SPd MSi beserta keluarga, istri tercinta

dan kelima putra putri tersayang serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa yang tiada henti sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lain yang terkait, khususnya bagi penyuluh dan masyarakat pesisir pantai Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan tesis ini.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Perilaku 5

Masyarakat 8

Pelestarian Hutan Mangrove 9

Karakteristik Individu 12

Intensitas Penyuluhan 15

Dukungan Lingkungan Sosial 18

Keberlanjutan Manfaat Hutan Mangrove 22

Kerangka Berpikir 24

Hipotesis 26

3 METODE PENELITIAN 27

Rancangan Penelitian 27

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Populasi dan Sampel 27

Pengumpulan Data 28

Validitas dan Reliabilitas Instrumen 28

Analisis Data 30

Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Peubah Penelitian 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Lokasi Penelitian 35

Karakteristik Individu 36

Intensitas Penyuluhan 38

Dukungan Lingkungan Sosial 41

Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove 45 Tingkat Keberlanjutan Manfaat Hutan Mangrove 48 Hubungan Karakteristik Individu dengan Perilaku Masyarakat 50 Hubungan Intensitas Penyuluhan dengan Perilaku Masyarakat 52 Hubungan Dukungan Lingkungan Sosial dengan Perilaku Masyarakat 55 Hubungan Dukungan Lingkungan Sosial dengan Tingkat Keberlanjutan 59 Hubungan Perilaku Masyarakat dengan Tingkat Keberlanjutan 62 Strategi Peningkatan Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

Mangrove. 65

5 SIMPULAN DAN SARAN 67

Simpulan 67

(15)

DAFTAR PUSTAKA 689

LAMPIRAN 73

RIWAYAT HIDUP 82

DAFTAR TABEL

1 Hasil perhitungan reliabilitas instrumen penelitian 29

2 Karakteristik individu 31

3 Intensitas penyuluhan 32

4 Dukungan lingkungan sosial 32

5 Perilaku masyarakat 33

6 Tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove 34 7 Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan karakteristik individu

masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013 36

8 Persentase sebaran masing-masing karakteristik individu masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan tahun 2013 37

9 Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan intensitas penyuluhan dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tahun

2013 39

10 Persentase sebaran masing-masing berdasarkan Intensitas penyuluhan dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013 40 11 Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan dukungan

lingkungan sosial dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

tahun 2013 432

12 Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan dukungan lingkungan sosial dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

tahun 2013 423

13 Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan tahun 2013 465

14 Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013 456

15 Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan tahun 2013 49

16 Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan tahun 2013 50

17 Koefisien hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan tahun 2013 51

18 Koefisien hubungan antara intensitas penyuluhan dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten

(16)

19 Koefisien hubungan antara dukungan lingkungan sosial dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013 56

20 Koefisien hubungan antara dukungan lingkungan sosial dengan tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan tahun 2013 60

21 Koefisien hubungan antara perilaku masyarakat dengan tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan Tahun 2013 64

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 25

2 Peta lokasi penelitian 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Validitas dan reliabilitas istrument intensitas penyuluhan (X2) 73 2 Validitas dan reliabilitas istrument dukungan lingkungan sosial (X3) 74 3 Validitas dan reliabilitas istrument perilaku masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove (Y1) 75

4 Validitas dan reliabilitas istrument keberlanjutan manfaat hutan

mangrove (Y2) 76

5 Hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua 77 6 Hubungan intensitas penyuluhan dengan perilaku masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua 77 7 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan perilaku masyarakat

dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua 78 8 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan tingkat keberlanjutan

manfaat hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua 78 9 Hubungan perilaku masyarakat dengan tingkat keberlanjutan manfaat

hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua 79

10 Hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji 79 11 Hubungan intensitas penyuluhan dengan perilaku masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji 80 12 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan perilaku masyarakat

dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji 80 13 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan tingkat keberlanjutan

manfaat hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji 81 14 Hubungan perilaku masyarakat dengan tingkat keberlanjutan manfaat

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumberdaya alam pesisir yang potensial, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Diantara sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove, perikanan, terumbu karang dan lain sebagainya, sedangkan sumberdaya non hayati di antaranya adalah mineral dan bahan tambang (Tambunan et al. 2005). Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Potensi tersebut disertai dengan kemudahan aksesibilitas, sehingga wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Sumberdaya pesisir memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Salah satu wilayah pesisir yang berperan penting dalam pembangunan adalah hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove ini merupakan ciri khas dari wilayah pesisir yang ada di daerah tropis dan sub tropis. Dari sekitar 16.9 juta hektar hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 persen berada di Indonesia (Bengen 2002). Hutan mangrove tersebut memberikan manfaat dan fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup manusia sebagai pengguna sumberdaya. Keberadaan hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar bagi manusia dan pembangunan serta keberlangsungan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonominya dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga sebagai tempat wisata alam. Selain itu, hutan mangrove dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat nelayan dan petani tepian pantai yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove.

Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat dalam dekade terakhir ini, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami. Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove (Raymond et al. 2010).

(18)

2

lahan mangrove untuk berbagai tujuan, seperti perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata, dan sebagainya. Akibat dari kegiatan tersebut, muncul permasalahan lingkungan di wilayah pesisir, seperti terjadinya degradasi ekosistem alami. Ekspansi pembangunan dan pengoperasian tambak yang tidak terkontrol menempatkan sumber hayati hutan mangrove yang berada sepanjang 81.000 km garis Pantai Indonesia terancam kepunahan.

Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 80-an memiliki luas areal hutan mangrove sekitar 112.577 hektar, dan saat ini tinggal sekitar 22.353 hektar (Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan 2010). Kerusakan terjadi hampir di seluruh kawasan pesisir pantai Provinsi Sulawesi Selatan. Robin Lewis III Perwakilan dari Mangrove Action Project-International mengatakan bahwa kerusakan hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 70 persen, kerusakan memanjang dari wilayah pesisir pantai barat yang mencakup Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Maros, Takalar, hingga ke wilayah pantai timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya (Tribun-Timur 2011).

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki luas kawasan pesisir sebesar 781.13 kilometer persegi atau 70 persen dari luas daratan, dengan panjang garis pesisir sepanjang 95 kilometer. Keberadaan hutan mangrove di kawasan ini juga tidak luput dari ancaman degradasi dan deforestasi. Terdapat kawasan hutan mangrove yang mengalami kerusakan, namun ada juga kawasan hutan mangrove yang relatif masih terjaga keberadaannya. Dalam rentang waktu 2003 sampai dengan 2007, kawasan hutan mangrove di sepanjang kawasan pesisir di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan banyak mengalami konversi atau alih fungsi menjadi tambak. Selama rentang waktu itu, luas tambak yang telah dikembangkan seluas 3.311.32 hektar tambak dengan komoditas utama udang dan bandeng (Mayudin 2012). Hal ini mengakibatkan luasan hutan mangrove semakin berkurang. Hasil penelitian Tantu (2012) di Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menemukan perubahan bentang lahan dari tahun 1980 sampai tahun 2010 sebagai akibat alih fungsi dari hutan mangrove menjadi tambak. Tantu menyatakan bahwa vegetasi mangrove berkurang dari 248.4 hektar menjadi 49.0 hektar, sementara luas tambak meningkat dari 2.251.4 hektar menjadi 5.029.3 hektar.

Apabila fenomena kerusakan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terus berlanjut dan tidak segera ditangani maka akan berakibat sangat buruk bagi ekologi hutan mangrove tersebut dan berdampak pada terjadinya abrasi pantai yang semakin kritis, intrusi air laut lebih jauh ke daratan, potensi perikanan menurun, kehidupan satwa liar dan berbagai jenis habitat lainnya terganggu serta sumber pendapatan masyarakat sekitar berkurang. Oleh karena itu, ekosistem mangrove perlu dilestarikan agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.

(19)

3

Upaya mewujudkan pelestarian hutan, termasuk hutan mangrove, dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 2 dalam UU tersebut menyatakan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Selanjutnya dipertegas dalam pasal 43 dikaitkan dengan kerusakan hutan mangrove, dinyatakan bahwa setiap orang yang memiliki, mengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dengan demikian, kelestarian hutan mangrove tidak terlepas dari kesadaran dan perilaku masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove untuk mempertahankan kelestarian sekaligus meningkatkan sumber pendapatan masyarakat nelayan dan petani tepian pantai yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya alam hutan mangrove.

Pihak terdepan yang paling krusial berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar hutan mangrove tersebut. Kesadaran akan pentingnya hutan mangrove dan perilaku positif masyarakat dalam beriteraksi dengan hutan mangrove akan menentukan apakah hutan mangrove akan lestari atau tidak. Artimya,, kunci keberhasilan dalam mengelola hutan mangrove secara lestari adalah kesadaran dan perilaku masyarakat sekitar hutan mangrove ketika memanfaatkan dan mengelola hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, interaksi antara masyarakat dengan ekosistem hutan mangrove merupakan hubungan yang sangat penting untuk diperhatikan. Untuk itu, diperlukan penelitian dalam rangka mengungkapkan dan menganalisis berbagai fakta empirik perilaku masyarakat dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove.

Perumusan Masalah

Luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan dari 5.21 juta hektar antara tahun 1982 sampai 1987 menjadi 3.24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2.5 juta hektar pada tahun 1993 (Widagdo 2000). Penurunan luas hutan mangrove diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia, seperti pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove yang tidak terkontrol, terjadinya alih fungsi lahan yakni mengkonversikan lahan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, lahan perkebunan, industri dan lain sebagainya dalam skala besar tanpa memikirkan keberlanjutan ekosistem pesisir itu sendiri.

Keberadaan hutan mangrove di Sulawesi Selatan juga tidak terlepas dari fenomena tersebut sebagai akibat perilaku manusia yang tidak memperhatikan aspek ekologis, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yang serius terhadap makhluk hidup baik yang ada dalam kawasan hutan mangrove maupun bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Sebagian besar hutan mangrove di Sulawesi Selatan mengalami penurunan luasan, yakni pada tahun 1980-an luas hutan mangrove 112.577 hektar dan pada saat ini yang tersisa tinggal 22.353 hektar atau 19.85 persen (Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan 2010).

(20)

4

degradasi tersebut, ada kawasan yang mengalami kerusakan, ada pula kawasan hutan mangrove yang relatif masih terjaga. Masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar hutan mangrove dapat menjadi pihak terpenting dalam menjaga eksisitensi hutan mangrove. Dengan kata lain, keterjagaan eksistensi hutan mangrove sangat bergantung pada perilaku masyarakat yang tinggal di sekitarnya dalam berinteraksi dengan hutan mangrove tersebut. Kelestarian hutan mangrove merupakan akibat dari perilaku masyarakat dan berbagai faktor lainnya dalam beriteraksi dengan hutan mangrove.

Berdasarkan argumen tersebut, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1 Bagaimana perilaku masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?

2 Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?

3 Bagaimana strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1 Mengalisis perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

2 Mengalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

3 Merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

Manfaat Penelitian

Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi segenap pihak yang berhubungan dengan perilaku dan pembangunan di bidang kehutanan. Penelitian ini memberikan kegunaan sebagai berikut:

1 Sebagai bahan masukan (informasi) yang positif bagi pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan mangrove, pembangunan masyarakat dan usaha-usaha pelestarian hutan mangrove.

2 Sebagai bahan masukan (informasi) atau sumbangan ilmiah untuk penelitian lebih lanjut pada masalah yang sama namun dengan kajian yang berbeda.

(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil interaksi yang menarik antara keunikan individual dengan keumuman situasional. Padmowihardjo (Amanah dan Utami, 2006), menyatakan bahwa perilaku merupakan pencerminan-pencerminan yang ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifat-sifat genetis dan lingkungan. Perilaku dapat diamati oleh orang lain, dapat didengar, dilihat atau dirasakan oleh orang lain. Perilaku dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1999), didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, bekerja, termasuk kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku dalam kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa semua aktivitas atau kegiatan yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak langsung diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo 2007). Manusia sebagai makhluk yang berakal dan aktif akan selalu berusaha untuk mencari kebutuhan yang sesuai dengan dirinya, jiwa manusia bukan merupakan sesuatu yang abstrak konsisten dan statis, melainkan sesuatu yang dinamis dan sebagai keseluruhan jiwa raga yang aktif. Kebutuhan seseorang akan informasi akan mampu menggerakkan secara aktif usaha melakukan pencarian terhadap sumber informasi. Perilaku berkaitan dengan kemampuan fisik maupun non fisik dan umumnya unsur-unsur perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap mental (afektif).

Pengetahuan adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut (Walgito 2002). Koentjaraningrat (1990), menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya, Artimya, bahwa pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang. Soekanto (2001) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kesan yang terdapat di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan didapatkan pada individu yang baik melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori individu. Marzano (2000) berpendapat bahwa pengetahuan adalah bahan bakar yang memberi tenaga pada proses berpikir.

(22)

6

membentuk atau mengubah sikap pada orang banyak, namun hal itu tergantung pada isi komunikasi dan sumber komunikasi.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa pengetahuan adalah suatu daya didalam hidup manusia dan dengan pengetahuan manusia mengenali peristiwa dan permasalahan, menganalisa, mengurai, mengadakan interpretasi serta menentukan pilihan-pilihan. Melalui pengetahuan, manusia dapat mempertahankan, mengembangkan dan membentuk sikap dan nilai hidup, menentukan pilihan serta tindakan yang akan dilakukan. Tanpa pengetahuan, individu ataupun masyarakat tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut (Mar’at 1981). Sherif et al. (Rakhmat 2001) menyatakan bahwa (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai, (2) sikap mempunyai daya dorong dan motivasi, (3) sikap relatif lebih menetap, (4) sikap mengandung aspek evaluatif, dan (5) sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah. Manusia tidak dilahirkan dengan pandangan ataupun sikap perasaan tertentu, tetapi sikap tersebut dibentuk sepanjang perkembangannya.

Adanya sikap mengakibatkan manusia akan bertindak secara khas terhadap obyek-obyek tertentu. Oleh karena itu menurut Sherif (Gerungan 1996) bahwa: (1) sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya, (2) sikap dapat mengalami perubahan, karena itu sikap dapat dipelajari orang, (3) obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi juga dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut, (4) sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, hal inilah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang, dan (5) sikap itu tidak berdiri sendiri, tetapi mengandung relasi tertentu terhadap suatu obyek. Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pengalaman yang dimaksud, oleh Sarwono (2002) dinyatakan sebagai obyek yang menjadi respon evaluasi dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat melalui interaksi dengan pengalaman peribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh faktor emosional.

(23)

7 Rogers dan Shoemaker (1986) menyatakan bahwa perilaku merupakan suatu tindakan nyata yang dapat dilihat atau diamati. Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai terjadi penentuan sikap untuk bertindak atau tidak bertindak, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan panca indera. Arif (1995) menjelaskan bahwa perilaku atau tingkah laku adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkkan tabiat seseorang ynag terdiri dari pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatannya. Lebih jauh dikatakan bahwa perilaku itu terjadi karena adanya penyebab tingkah laku (stimulus), motivasi tingkah laku, dan tujuan tingkah laku. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon (Notoatmodjo 2007).

Sejalan dengan itu Bandura (1977) menyatakan bahwa perilaku muncul sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan organisme. Peran perilaku (behavior) berkaitan dengan lingkungan (environment) dan individu (person) yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perilaku yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat atau yang disebut perilaku masyarakat merupakan perilaku yang terbentuk akibat adanya interaksi antara individu yang satu dengan lainnya secara bersama-sama dan dilakukan secara berulang yang berdampak langsung terhadap lingkungan sekitarnya, seperti halnya perilaku masyarakat disekitar daerah pesisir. Perilaku masyarakat pesisir umumnya terbentuk akibat dari kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang melalui pengertian sehingga apa yang dilakukan dapat berdampak pada diri sendiri maupun orang lain, dan pada akhirnya akan menjadi contoh bagi orang lain oleh karena dianggap sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Sebagian besar perilaku manusia merupakan perilaku yang dibentuk, perilaku yang diperoleh, perilaku yang dipelajari melalui suatu proses belajar. Dalam hal ini perilaku yang dibentuk, dipelajari dan dikendalikan yang dapat berubah melalui proses belajar. Pembentukan perilaku melalui proses belajar diantaranya: (1) melalui kondisioning atau kebiasaan, yaitu melakukan sesuatu secara berulang-ulang. Perilaku yang terbentuk dengan cara ini adalah perilaku yang sesuai dengan yang diharapkan; (2) melalui pengertian (insight), cara ini berdasarkan teori kognitif, yaitu belajar disertai dengan pengertian sehingga apa yang dilakukan dapat berdampak pada diri sendiri maupun orang lain. (3). pembentukan perilaku dengan model, yaitu perilaku akan terbentuk dengan meniru contoh atau panutan. Seseorang akan meniru contoh tersebut karena dianggap sesuai dengan yang diharapkan.

Musyafar (2009) mengatakan bahwa perilaku masyarakat pesisir merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan pelestarian hutan mangrove. Perilaku merupakan tindakan yang ditujukan kepada orang lain atau lingkungan. Perilaku merupakan niat yang terealisasi dalam bentuk tingkah laku nyata, sedangkan kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu tentang seberapa sulit atau mudahnya dalam melakukan suatu tindakan. Dalam hal ini, perilaku seseorang dapat terbentuk melalui cara membiasakan diri atau kebiasaan untuk berprilaku seperti yang diharapkan, namun umumnya ditentukan oleh niat (intensi).

(24)

8

pengetahuan dan pengalaman. Seperti yang diungkapkan oleh Dwidjoseputro (Musyafar 2009) bahwa pengetahuan bermanfaat sebagai pengubah sikap. Pengetahuan dapat berpengaruh langsung terhadap suatu obyek. Temuan Musyafar (2009) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat mengenai hutan mangrove, lingkungan hidup, dan pengendalian diri secara bersama-sama menpengaruhi perilaku dan sikap masyarakat pesisir dalam melestarikan hutan mangrove.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa perilaku terbentuk akibat adanya respon atau reaksi yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap suatu obyek atau stimulus. Selain itu perilaku juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Pengetahuan dengan pengertian, pengalaman yang dihasilkan oleh seseorang melalui penglihatan, pendengaran dan sebagainya akan menghasilkan dorongan untuk bertindak yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Secara umum perilaku merupakan suatu tindakan nyata yang terjadi pada individu yang terbentuk akibat adanya dorongan dari dalam diri individu itu sendiri untuk melakukan perubahan dalam hidupnya dan keluarganya untuk hidup yang lebih baik yang didukung oleh lingkungan sekitarnya.

Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat terus-menerus yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990). Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan adalah kelompok-kelompok orang warga negara yang bermukim di dalam maupun di sekitar hutan dan memiliki ciri-ciri sebagai suatu komunitas, baik oleh karena kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterkaitan tempat tinggal bersama, maupun oleh faktor ikatan komunitas lainnya. Secara harfiah masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa sekitar hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya.

Satria (2009) menyatakan bahwa masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terikat dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Saad dan Basuki (2004) mendefinisikan bahwa masyarakat pesisir adalah sekelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonominya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi ini pun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.

(25)

9 keseluruhan dapat diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya laut terutama ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsistem, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir yang dikategorikan miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan sepertinya tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.

Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan secara umum dikategorikan lebih miskin dari pada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit kelembagaan yang tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah.

Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Berdasarkan tinjauan di atas maka dapat dikemukakan bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir atau pantai yang berhubungan langsung dengan laut, yang sebagian besar mata pencahariannya bergantung kepada alam laut, atau bekerja sebagai nelayan, guna pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Pelestarian Hutan Mangrove

(26)

10

pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu system yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem pesisir yang unik dan rawan merupakan suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 generasi tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Santoso dan Arifin 1998). Tempat tumbuh yang ideal bagi hutan mangrove adalah di sekitar pantai yang lebar muara sungainya, delta dan tempat yang arus sungainya banyak mengandung lumpur dan pasir. Menurut Bengen (2001) hutan mangrove dikenal dengan istilah hutan pasang surut air laut atau hutan bakau (coastal forest), hutan pantai (coastal woodland), dan hutan payau (brackish forest). Mangrove tumbuh dan berkembang pada pantai-pantai tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau di belakang terumbu karang di pantai yang terlindung (Nybakken 1998).

Hutan mangrove memiliki manfaat ganda (multiple use) dan merupakan mata rantai yang penting dalam memelihara siklus biologi di suatu perairan. Manfaat dari mangrove dapat dibedakan atas manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan secara langsung kegunaannya dalam pemenuhan kebutuhan manusia, misalnya pemanfaatan tanaman mangrove sebagai bahan makanan, kayu bangunan, kayu bakar dan obat-obatan. Sebagai lahan pertambakkan tradisional, lahan pariwisata yang menawarkan keindahan alamnya dan lain sebagainya. Manfaat mangrove secara tidak langsung adalah manfaat yang sesungguhnya mempunyai nilai strategis yang sangat menentukan dalam menunjang kehidupan manusia, seperti sebagai sumber plasma nutfah, dan tak kalah pentingnya sebagai sabuk hijau (green belt) di wilayah pantai atau pesisir (Kustanti 2011).

(27)

11 Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

Hutan Mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat penting keberadaannya bagi kehidupan makhluk hidup yang berada di sekitamya. Hutan mangrove memiliki banyak manfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (Rusdianti dan Sunito 2012) mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai. Disamping itu juga merupakan penyanggah kehidupan sumber daya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground).

Sejalan dengan itu Bengen (2000) mengemukakan bahwa secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan di perairan pesisir dan laut. Hutan mangrove dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya kelautan yang ganas lainnya.

Upaya pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove tidak terlepas dari keberadaan masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang berada di sekitar hutan merupakan sumberdaya manusia yang sangat menentukan bagi terciptanya pelestarian hutan. Partisipasi masyarakat yang berada di sekitar hutan merupakan unsur yang penting untuk diketahui dan dipelajari agar strategi penyuluhan/pembinaan masyarakat yang akan dilaksanakan sesuai dengan harapan dan tepat sasaran. Partisipasi masyarakat yang positif terhadap hutan akan sangat menentukan kondisi dan keberadaan hutan yang berada di sekitamya.

(28)

12

masyarakat di sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya merupakan upaya manusia dalam mengubah sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengutamakan kontinuitas produksi. Sejalan dengan Davis 1960 (Harahap & Khazali 2001) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivitas mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen.

Menurut Bengen (Haikal 2008) pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berbeda di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan penduduk sebagai komponen penggerak pelestarian hutan mangrove.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pelestarian hutan mangrove merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat sekitar melalui sistem pengelolaan secara berkelanjutan, sehingga hutan mangrove yang telah memberikan manfaat pada manusia dan pembangunan dapat berfungsi secara optimal dan lestari. Pengelolaan dan pemanfaatan produktivitas hutan mangrove baik yang dilakukan oleh masyarakat guna pemenuhan kebutuhan hidupnya maupun pihak-pihak yang merasa mendapatkan keuntungan dari hutan mangrove, seharusnya memperhatikan aspek kelestariannya, antara lain aspek ekologi, social ekonomis dan aspek lingkungan. Agar keberadaan hutan mangrove untuk masa yang akan datang masih tetap terjaga dengan baik.

Karakteristik Individu

(29)

13 Satria (2002) menyatakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris, sesuai dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dikelola. Masyarakat agraris yang diwakili oleh kaum tani menghadapi sumberdaya alam yang terkontrol, atau pengelolaan lahan untuk suatu komoditi dengan out put yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi seperti ini memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resiko-pun tidak terlalu besar. Dalam hal ini usaha pembudidayaan ikan juga dapat digolongkan sebagai usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Karakteristik tersebut sangat berbeda dengan nelayan, yang sumberdayanya bersifat open access. Karakteristik seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal sehingga resikonya menjadi lebih tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka.

Karakteristik individu masyarakat dibangun berdasarkan unsur-unsur demografis, perilaku, psikografis dan geografis. Karakteristik masyarakat pesisir dapat diketahui perilakunya dalam pelestarian hutan. Hal tersebut dikemukakan Suparta (2001) dalam hasil penelitiannya bahwa faktor internal individu seperi: umur, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan, dan pengalaman berpengaruh terhadap tindakannya dalam berusaha. Karakteristik individu yang merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan berpengaruh positif terhadap pelestarian hutan mangrove. Hasil penelitian Hardhani (2002) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara umur, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan dan jumlah anggota keluarga terhadap peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove. Karakteristik inidividu masyarakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan, pengalaman dalam mengelola hutan mangrove.

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakan dengan berdasarkan usia yang dimiliki (Halim 1992). Menurut Bettinghaus (1973) mengatakan bahwa terdapat perbedaan diantara individu yang berbeda usianya. Pembaca utama surat kabar adalah orang terdidik, hanya sekitar 50 persen dari orang yang berusia dua puluh satu tahun dan tiga puluh lima tahun yang membaca surat kabar tertentu (DeVito 1997). Namun demikian Lionberger (1960) mengatakan bahwa semakin tua umur petani maka semakin lambat mengadopsi inovasi dan cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat.

(30)

14

Tingkat pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya. Gonzales (Jahi 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Halim (1992) menyebutkan bahwa pendidikan menjadi faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Berdasarkan penyelenggarannya pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa pendidikan berhubungan dengan pengetahuan responden.

Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi perilaku individu masyarakat dalam suatu kegiatan. Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito (2012) memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki motivasi partisipasi lebih variatif. Selain motivasi karena kesadaran mereka terhadap pentingnya ekosistem mangrove, mereka juga bisa mencari keuntungan dengan mengikuti kegiatan seperti pelatihan-pelatihan, sehingga mereka bisa menerapkan tambak ramah lingkungan berbasis penghijauan pesisir, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dari pelatihan dan memiliki nilai ekonomi bagi mereka. Sementara responden dengan pendidikan rendah, motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa upah dari kegiatan penanaman mangrove. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan (fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman (fungsi fisik dan ekologi).

Jumlah pendapatan pada konsep rumah tangga menunjuk pada arti ekonomi dari satuan keluarga, seperti contoh bagaimana suatu keluarga mampu mengelola kegiatan ekonomi keluarga, pembagian kerja dan fungsi, kemudian berapa jumlah pendapatan yang diperoleh atau dikonsumsinya serta jenis produksi dan jasa yang dihasilkan (Handayani & Artini 2009). Jika keluarga semakin besar, membuka kesempatan bagi pencari pendapatan yang akan memberikan kontribusinya terhadap pendapatan keluarga. Hasil penelitian Handayani dan Artini (2009) menunjukkan adanya korelasi positif yang erat antara banyaknya pencari pendapatan dengan tingkat pendapatan. Kontribusi pendapatan dari satu jenis kegiatan terhadap total pendapatan rumah tangga tergantung pada produktivitas faktor produksi yang digunakan dari jenis kegiatan yang bersangkutan. Stabilitas pendapatan rumah tangga cenderung dipengaruhi dominasi sumber-sumber pendapatan. Jenis-jenis pendapatan yang berasal dari luar sektor pertanian umumnya tidak terkait dengan musim dan dapat dilakukan setiap saat sepanjang tahun.

(31)

15 memerlukan sebuah pekerjaan, baik pekerjaan yng menetap maupun yang tidak menetap. Pekerjaan adalah keseluruhan kegiatan untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada pada lingkungan fisik, sosial dan budaya yang terwujud sebagai kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi.

Seseorang yang bekerja untuk memperoleh pendapatan senantiasa mengharapkan agar pendapatan yang diterimanya sesuai dengan tingkat pengorbanan yang telah diberikan, sedangkan pemberi kerja mengharapkan hasil pekerjaan yang lebih memuaskan dengan kata lain tenaga kerja tentu mengharapkan pendapatan besar sebaliknya bagi pengusaha pendapatan harus ditekan sedemikian rupa sehingga laba yang diperoleh semakin besar guna mengembangkan usahanya dan meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa pendapatan adalah semua penghasilan yang diterima setiap orang dalam kegiatan ekonomi dalam satu periode tertentu. Pendapatan adalah jumlah barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi tingkat hidup (Djojohadikusumo 1990).

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah semua barang ataupun jasa yang diperoleh dalam periode tertentu yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidup seseorang. Pendapatan perseorangan dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apapun yang diterima oleh penduduk suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Pendapatan seseorang juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman, Artimya, semakin banyak pengalaman kerja seseorang, maka tingkat pendapatan mereka juga semakin meningkat. Oleh karena kinerja yang baik mencerminkan profesionalisme seseorang terhadap suatu obyek pekerjaan, namun hal ini tidak berlaku secara umum.

Pengalaman adalah merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Rakhmat (2001) berpendapat bahwa pikiran dan perasaan bukan penyebab tindakan tetapi disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang telah dialami dalam membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah-satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Menurut Middlebrook (Azwar 2003), menyatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut.

Berdasarkan tinjauan di atas, karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada diri individu atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan yang dapat membentuk sikap dan perilaku seseorang terhadap lingkungannya, termasuk perilaku dalam pelestarian hutan manrove.

Intensitas Penyuluhan

(32)

16

bergantung pada interaksi yang terjadi antara penyuluh dengan lingkungan, penyuluh dengan masyarakat, penyuluh dengan tokoh masyarakat, penyuluh dengan kelompok tani, serta penyuluh dengan yang lainnya (Yumi 2011). Interaksi yang baik dihasilkan dari proses penyuluhan yang baik. Proses penyuluhan yang baik antara lain ditunjukkan oleh proses penyuluhan yang dialogis atau ”interaktif”. Intensitas penyuluhan tinggi dihasilkan dari proses penyuluhan yang interaktif dalam memberdayakan masyarakat sekitar hutan, sebaliknya proses penyuluhan yang ”pasif” atau yang menempatkan masyarakat sebagai obyek, bukan subyek dalam proses penyuluhan akan menyebabkan masyarakat menjadi tidak berdaya. Dalam intensitas penyuluhan yang tinggi, frekuensi dan intensitas komunikasi banyak, komunikasi dilakukan dengan berbagai cara, serta manfaat adanya interaksi sangat mendukung proses penyuluhan. Sebaliknya pada intensitas penyuluhan yang rendah, komunikasi yang kurang dan dilakukan secara terbatas, maka manfaat interaksi bagi proses penyuluhan kurang bermakna.

Penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar (Van De Ban dan Hawkins 1999). Secara sistematis pengertian penyuluhan tersebut adalah proses: (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut; (3) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani; (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; (5) membantu petani memutuskan pilihan yangtepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.

Menurut Slamet (2003) penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran, tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya, sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik.

(33)

17 yang lebih baik. Dari definisi tersebut di atas, penyuluhan pembangunan mencakup pengertian tentang proses penyebaran ide-ide baru, keterlibatan penyampai pesan dan penerima pesan, penambahan pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku dari sasaran penyuluhan, dilakukan dengan sadar tanpa paksaan/ancaman dari pihak lain.

Penyuluhan adalah transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna dan penyampaian kebijakan serta informasi kehutanan kepada kelompok sasaran melalui pendidikan non formal untuk mengubah perilaku agar tahu, mau dan mampu menerapkan teknologi tersebut bagi perbaikan hidupnya secara sadar untuk ikut aktif dalam pelestarian hutan. Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan mendidik, sebagaimana dinyatakan oleh Asngari (2001) bahwa penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal. Implikasinya, penyuluh sebagai pelaksana kegiatan penyuluhan harus mampu berperan sebagai edukator/pendidik yang baik bagi petani. Sebagai pendidik penyuluh memiliki peran untuk meningkatkan kemampuan petani.

Kegiatan penyuluhan kehutanan ditujukan untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan rasa cinta kepada hutan, alam dan lingkungan, dalam bentuk gerakan karya nyata di lapangan dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungannya. Menurut Padmanegara (Suparta 2001), tugas ideal seorang penyuluh adalah: (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, (3) memberikan rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha yang lebih menggairahkan sasaran penyuluhan. Penyuluhan dikatakan berhasil jika kegiatan penyuluhan pada akhirnya dapat menimbulkan perubahan dalam aspek tindakan yang mengarah kepada perbaikan tarap hidup sasaran penyuluhan. Intensitas penyuluhan merupakan frekuensi atau jumlah pertemuan yang dilaksanakan di masyarakat/kelompok tani oleh penyuluh kehutanan dan perangkat desa maupun pejabat pemerintahan.

Peran penyuluh kehutanan dalam pendampingan di masyarakat dalam suatu kegiatan yang berbasis kehutanan harus dilaksanakan secara terus menerus sejalan dengan tingkat produktifitas, jenis aktifitas dan sistem kegiatan. Berkembangnya suatu kegiatan yang berbasis pembangunan kehutanan telah mencirikan terwujudnya kemandirian masyarakat secara sosial dan ekonomi. Untuk dapat menggerakkan dan memotivasi masyarakat, penyuluh kehutanan harus aktif, terpercaya dan diakui integrasinya serta mampu meyakinkan dan kompeten dalam bidang tugasnya, mampu mengorganisir masyarakat dengan memfasilitasi masyarakat dalam bentuk kelompok-kelompok organisasi yang peduli akan kelestarian hutan dan lingkungan serta mampu berperan dalam mengawal keberhasilan dari setiap program pembangunan kehutanan yang diprakarsai pemerintah. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat akan sangat menentukan suksesnya suatu program.

(34)

18

kerja penyuluh. Selain dari sistem kelembagaan, proses penyuluhan diharapkan terjadi penerimaan sesuatu yang baru oleh petani yang disebut adopsi, Samsudin (Saridewi dan Siregar 2010). Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkan dengan benar serta menghayatinya. Adopsi dapat dilakukan melalui tahap: mengetahui, memperhatikan, menilai, mencoba dan menerapkan.

Frekuensi kunjungan penyuluh adalah jumlah pertemuan yang dilaksanakan oleh penyuluh di masyarakat/kelompok tani atau seberapa sering penyuluh mengadakan penyuluhan tentang mangrove. Materi yang disampaikan harus sesuai dengan kondisi yang ada. Dan juga mendengar masukan-masukan dari tokoh masyarakat atau sesuai dengan kebijakan pemerintah sehingga proses menyampaikan tepat sasaran. Kesesuaian, yang berarti materi penyuluhan harus dikemas dalam bentuk yang paling sederhana, sehingga mudah dipelajari pada level petani. Persepsi petani mengenai cara yang dilakukan penyuluh pelaksana lapangan dalam menyampaikan materi dan cara yang mudah dimengerti oleh petani. Penyuluh kehutanan sebelum menerapkan suatu metode penyuluhan terhadap petani perlu memahami prinsip-prinsip metode penyuluhan yang dapat dijadikan sebagai landasan metode yang tepat untuk petani.

Ketersediaan sarana dan alat bantu adalah untuk membantu dalam proses pembelajaran atau penyuluhan. materi, metode dan sarana sangat ditunjang dengan kemampuan seorang penyuluh dalam menyampaikan informasi dalam proses pembelajaran. Penyuluhan kehutanan dapat memahami betul keadaan sasaran, termasuk masalah-masalah yang dihadapi dan potensi serta peluang yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan mutu hidup mereka, kepada sasaran untuk ditunjukkan contoh-contoh nyata tentang masalah dan potensi serta peluang yang dapat ditemukan di lingkungan pekerjaannya sendiri, sehingga mudah dipahami dan diresapi serta diingat oleh petani. Keberhasilan suatu program kegiatan pembangunan kehutanan tentunya tidak dapat ditentukan oleh penyuluhnya saja, tetapi juga sangat tergantung pada perhatian serta dukungan dari pihak pemerintah dan masyarakat, oleh karena itu sosialisasi akan maksud dan tujuan serta manfaat dari suatu program perlu dilakukan agar timbul pemahaman yang baik dan menyeluruh sehingga mampu mempertahankan aneka usaha masyarakat yang berbasis kehutanan dan peduli kepada sumberdaya alam dan lingkungan hutan.

Berdasarkan uraian di atas, intensitas penyuluhan merupakan seberapa seringnya seorang penyuluh memberikan materi penyuluhan, menyampaikan informasi yang terkini, baik berupa metode-metode maupun alih teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga tujuan seorang penyuluh terintegrasi dengan jelas yaitu mengatasi permasalahan sasaran penyuluhan.

Dukungan Lingkungan Sosial

(35)

19 mendapakan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan, makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya, makin besar jumlah kebutuhan hidupnya berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungannya. Soerjani et al. (1987) menyatakan bahwa lingkungan adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan perikehidupan dan kesejahteraan manusia.

Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan hidup mempunyai unsur-unsur yaitu: (a) unsur hayati (biotik), yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan; (b) unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh segenap anggota masyarakat; (c) unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti, tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya dalam menunjang pertumbuhan mangrove.

Menurut Kusmana et al. (2003) bahwa faktor-faktor fisik hutan mangrove diantaranya: (1) topografi pantai, topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh; (2) iklim, dalam hal ini adalah cahaya, curah hujan dan temperature, tanaman mangrove pada umumnya membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove, sedangkan curah hujan dan temperature mempengaruhi suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah dan air tanah, yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove; (3) tanah mangrove dibentuk melalui akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi daerah hulu sungai, umumnya mangrove tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut; (4) pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove, durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang; (5) salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam petumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove, tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 sampai 30 ppt; (6) tersedianya unsure hara dalam jumlah yang cukup, mendukung terjaganya keseimbangan ekosistem mangrove.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Tabel 1 Hasil perhitungan reliabilitas instrumen penelitian
Tabel 2 Karakteristik individu
Tabel 3 Intensitas penyuluhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

AQ adalah salah satu faktor spesifik sukses (prestasi) dengan AQ berarti seseorang telah mampu mengubah rintangan menjadi peluang. Secara umum penelitian ini bertujuan

Sidik r agam menunjukkan bahw a penggunaan bokashi kotor an sapi pada tanaman padi saw ah member ikan pengar uh tidak nyata ter hadap ber at 1000 butir gabah ker

Sesuai dengan laporan pengurus KOWAR dalam Laporan Keuangan KOWAR tahun buku 2008, yang menyebutkan bahwa KOWAR telah mencapai keberhasilan pada periode

Kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada press release PT. Bank Sumut peneliti tidak menemukan adanya strategi yang khusus dilakukan ketika menulis press release oleh

Pada perkebunan kelapa sawit yang populasi kumbangnya tinggi, fruit set paling banyak dipengaruhi oleh kumbang, sebaliknya, perkebunan yang populasi kumbangnya rendah, maka peran

Agar pengoperasian sistem angkutan masal kereta ini dapat lebih bermakna mendukung transportasi kota Jakarta pada umumnya, memadukannya dengan seluruh moda

Hasil pr e-test dan post-test kemudian dibandingkan untuk mengetahui per bedaan hasil belajar dan seber apa besar keefektifan penggunaan per aga Combined Brake System

Penelitian Relevan : Penelitian yang dilakukan oleh Anantyarta yaitu tentang pengembangan petunjuk praktikum protista kelas X SMA MA’Arif NU Pandaan dan Winda tentang