• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaitan antara pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorikpada anak usia prasekolah di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kaitan antara pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorikpada anak usia prasekolah di Kabupaten Bogor"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kaitan antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

(4)

RINGKASAN

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Kaitan antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan DADANG SUKANDAR.

Pertumbuhan anak salah satunya dapat dilihat dari indeks tinggi badan menurut umur. Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan diantaranya gangguan kognitif (Walker et al. 2005) dan motorik (Paiva et al. 2012), tetapi penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek pertumbuhan dan perkembangan masih terbatas dan hasilnya bervariasi.

Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis kaitan antara pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah. Secara khusus bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristik keluarga dan anak usia prasekolah; 2) Menganalisis pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan pengasuhan anak ibu; 3) Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah; 4) Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah; 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi anak, karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik) dan status gizi anak (TB/U); 6) Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak; dan 7) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Penelitian ini termasuk penelitian survei yang dilakukan terhadap 73 anak usia 3-5 tahun di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5 tahun; 2); mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai data berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat bawaan. Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan atau sedang sakit. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga, pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan pengasuhan anak pada ibu, karakteristik anak, perkembangan anak (kognitif dan motorik), pertumbuhan anak (TB/U), dan pola konsumsi anak. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian, jumlah dan karakteristik anak.

(5)

v

3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda.

Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh balita mempunyai karakteristik normal. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada pada kategori kecil dan termasuk keluarga miskin. Lebih dari separuh balita mempunyai anggota keluarga yang tergolong perokok aktif. Rata-rata pendidikan terakhir ayah adalah SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan ibu adalah SD atau SMA dan tidak bekerja. Lebih dari separuh ibu mempunyai tinggi badan dan IMT yang tergolong normal dan mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong sedang, sedangkan tingkat pengetahuan pengasuhan tergolong tinggi. Praktek kesehatan ibu tergolong tinggi sedangkan praktek gizi dan pengasuhan ibu tergolong sedang. Balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Pada umumnya, gangguan makan balita adalah kebiasaan jajan. Hampir seluruh ibu menyiapkan dan menyuapi balita makan sambil bermain di luar rumah. lebih dari separuh balita mempunyai TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan motorik halusnya rendah, sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar tergolong sedang.

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu, tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara besar keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu dengan tingkat kecukupan gizi balita.

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.

(6)

SUMMARY

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Relationship between Growth, Cognitive Development, and Motor Development among Preschool Children in Bogor District. Supervised by FAISAL ANWAR and DADANG SUKANDAR.

Children growth is reflected by height for age index. According to Riskesdas (2010), stunting among under five children in Indonesia reached 35.7%. Specifically in West Java province, the prevalence of stunting in under five children reached 35.4% in 2007 and decreased to 33.7% in 2010. The number was still below the national stunting prevalence, but it was a high public health problem according to WHO reference because it was above 30%. Stunting in under five children causes variety of developmental disorders including cognitive (Walker et al. 2005) and motor (Paiva et al. 2012) disorders. Studies in Indonesia, which leads to growth and development aspects are still limited and the results are varied.

The main objective of this study was to analyze relationship between growth, cognitive development, and motor development in preschool children. Specifically, it was aimed to : 1)analyze the characteristics of families and preschool children ; 2)analyze the knowledge and practice of nutrition, health and child care; 3)analyze the consumption pattern of preschool children ; 4)analyze growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool children; 5)analyze the relationship between consumption patterns of children, child characteristics, family characteristics, development (cognitive and motor) and children‟s nutritional status (height for age); 6)analyze the relationship between family characteristics, mother‟s knowledge (nutrition, health , and child care), mother‟s practices (nutrition, health and child care), and children‟s nutrient adequacy level; 7)analyze the factors that influence growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool children.

This survey was conducted to 73 children aged 3-5 years in Cibanteng village, Bogor District, West Java. Sampling was carried out with inclusion criteria: 1)children age 3-5 years, 2); had complete parents and willing to join the survey, 3) data of weight and height at birth were available; 4) do not have congenital abnormalities. Exclusion criteria were: children were sick or under any medical treatments. Data collected included primary and secondary data. Primary data included family characteristics, knowledge and practice (nutrition, health and child care) child characteristics, child development (cognitive and motor), child growth (height for age), and consumption patterns of children. Secondary data included description of the study location and children characteristics.

(7)

vii

level. Factors that affect growth (TB/U) and development (cognitive and motor) of children were analized by linear multiple regression.

This study showed that more than half of the children had normal characteristics. Families size mostly were small and they were poor. More than half children had family members that were active smokers. The average of father‟s education level was high school and worked as labor, while the mother was elementary or high school and not working. Mother‟s height and BMI were relatively normal. Level of mother‟s nutrition knowledge and health were classified as moderate, while the knowledge level of child care was high. Level of health practices was high while the level of nutrition practices and child care were moderate. Most children ate three times a day and did not always finish their food. Most children were not exclusively breastfed for six months (89.0%) and did not drink milk regularly. Snacking was a common children‟s eating disorder. Almost all mothers prepared and fed their children by themselves. More than half of the children had normal height for age, but level of cognitive and fine motor development were low, while gross motor development level were moderate.

There was significant positive relationship between: 1) mother‟s height, children‟s nutrient adequacy level (energy, protein, iron, vitamin A, calcium, phosphorus), birth length of children, and children height for age; 2) children height for age, early education, age of the children, and level of motor (fine and gross) development; 3) children height for age, early education, age of the children, psychosocial stimulation, and level of cognitive development; 4) mother's education level and mother‟s nutrition knowledge; 5) mother's education level, family income, and mother‟s health practices. There was significant negative relationship between family size, nutrition knowledge level and child care practices level of mother. There was no significant relationship between mother‟s nutrition and health practices and children‟s nutrient adequacy level.

Factors that significantly influenced children height for age were mother‟s height and children‟s nutrient adequacy level (energy and protein). Factors that significantly influenced the level of fine motor development were children height for age and gross motor development level. Factors that significantly influenced the level of gross motor development were children‟s age, cognitive and fine motor development level. Factors that significantly influenced the level of cognitive development were early education and gross motor development level.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN

KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK

(10)
(11)

xi

Judul Tesis : Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor

Nama : Rindu Dwi Malateki Solihin

NIM : I151114141

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS Ketua

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: (18 Desember 2013)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan usulan, saran, kritik dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.

3. Kedua orang tua, Rahmat Solihin Sm.Hk (Alm) dan Dra. Titin Kusumawati beserta semua keluarga besar penulis yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan motivasi.

4. Gugum Gumbira, S.Ik beserta keluarga yang senantiasa memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis.

5. Darwin Warsono, S.Sos selaku Kepala Desa Cibanteng yang telah memberikan izin pengambilan data penelitian.

6. Nuraeni, Susanti dan seluruh kader posyandu Desa Cibanteng yang telah memberikan bantuan selama pengambilan data penelitian.

7. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian: Ima Karimah, S.Gz; Nurlaely Fitriana, S.Gz; Siti Alvianti, S.Gz; Risma Junita, S.KPm; Catur Dwi Anggarawati, SP; Ida Parida, SP; dan Tatit Sastrini, SP.

8. Teman-teman mahasiswa Ilmu Gizi Masyarakat yang telah memberikan motivasi dan bantuan selama penulis melangsungkan studi di sekolah Pascasarjana IPB.

9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak permasalahan untuk dikaji terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga dibutuhkan penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2013

(13)

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Determinan Stunting pada Anak 4

Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak 10 Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak 16

3 KERANGKA PEMIKIRAN 19

4 METODE PENELITIAN 22

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 22

Teknik Pemilihan Sampel 22

Jenis dan Cara Pengambilan Data 23

Pengolahan dan Analisis Data 26

Definisi Operasional 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 31

Karakteristik Umum Balita 34

Riwayat Kelahiran Balita 36

Riwayat PemberianASI dan MP-ASI Balita 38

Preferensi Makanan dan Minuman Balita 40

Kebiasaan Makan Balita 42

Tingkat Kecukupan Gizi Balita 44

Pertumbuhan Balita 46

Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita 47 Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu 48

Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu 50

Tingkat Pengetahuan Ibu 51

Praktek Ibu 57

Praktek Pengasuhan Ibu 61

Karakteristik Keluarga Balita 64

(14)

Hubungan Praktek Ibu 68 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Praktek Ibu 69

Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur 71

Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita 74 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita 78 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita 82 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik kasar Balita 84 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita 86

6 SIMPULAN DAN SARAN 88

Simpulan 88

Saran 89

DAFTAR PUSTAKA 90

LAMPIRAN 104

(15)

xv

DAFTAR TABEL

1 Pondasi perkembangan motorik 13

2 Tahap perkembangan kognitif Piaget 14

3 Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data 24

4 Kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U 27

5 Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996) 27

6 Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng 31

7 Jumlah penduduk menurut struktur usia 32

8 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk 33

9 Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng 34

10 Sebaran balita menurut karateristiknya 36

11 Sebaran balita menurut riwayat kelahiran 37

12 Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI 39

13 Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman 41

14 Sebaran balita menurut kebiasaan makan 43

15 Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi 45

16 Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur 46

17 Sebaran balita menurut tingkat perkembangan 48

18 Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi 49

19 Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi 51

20 Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan 52

21 Sebaran ibu balita menurut praktek 57

22 Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan 62

23 Sebaran balita menurut karakteristik keluarga 65

24 Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu 67

25 Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu 69

26 Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu 70

27 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga 72

28 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita 73

29 Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan karakteristik balita 75

30 Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan karakteristik balita 76

31 Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan karakteristik balita 77

32 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U 79

33 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus 82

34 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar 85

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif

dan motorik pada anak usia prasekolah 21

2 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan

benar 53

3 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan

dengan benar 54

4 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan

dengan benar 56

5 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar 58 6 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan

Benar 60

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 105

2 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U 106

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gizi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi terlibat dalam berbagai reaksi matabolisme pada berbagai sistem tubuh yang diantaranya bertanggung jawab terhadap perkembangan fisik dan mental. Malnutrisi pada anak merupakan masalah yang kompleks, multidimensi, dan saling berhubungan. Di Indonesia, spektrum malnutrisi sangat luas yang tersebar di seluruh tahap kehidupan, diantaranya dalam bentuk Kurang Energi Protein (KEP), kekurangan zat gizi mikro, berat bayi lahir rendah, dan gangguan pertumbuhan yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (Atmarita 2005).

Pertumbuhan anak salah satunya tercermin dari indeks tinggi badan menurut umur. Berdasarkan indeks tersebut maka anak dikelompokan menjadi stunting atau normal. Stunting merupakan kondisi kurang gizi menurut indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek kumulatif dari kekurangan atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting dapat menyebabkan gangguan perkembangan diantaranya gangguan kecerdasan (Walker et al. 2005) dan perkembangan motorik (Pollit 2000)

Gangguan pertumbuhan yang dicirikan dengan rendahnya tinggi badan menurut umur (stunting) sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Pada anak stunting seringkali mengalami penurunan kinerja sistem syaraf yang berimplikasi pada rendahnya kecerdasan anak. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang gizi pada usia dini, salah satunya tercermin dari keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang dicirikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di sekolah. Menurut World Bank (2006), stunting dapat menyebabkan kehilangan IQ sebesar 5-11 poin. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang rendah di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia muda (Walker et al. 2005).

(18)

Pada umumnya, peneliti hanya meneliti aspek pertumbuhan dan perkembangan secara terpisah. Penelitian-penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek pertumbuhan sekaligus perkembangan anak masih terbatas dan hasilnya masih bervariasi. Penelitian Marlina (2012) menyebutkan tidak ada hubungan signifikan antara stunting dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Sebaliknya, sebuah penelitian terhadap kelompok stunting dan normal menunjukan bahwa kelompok stunting mempunyai skor perkembangan bahasa dan kognitif yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok normal, dan terdapat hubungan yang nyata antara kejadian stunting dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak (Hanum 2012). Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya dengan melihat pengaruh stunting baik terhadap perkembangan kognitif maupun terhadap dimensi perkembangan yang lain yaitu perkembangan motorik pada anak usia prasekolah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang ingin diteliti adalah: 1) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur; 2) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak; 3) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu; 4) bagaimana hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah; dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kaitan antara pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis karakteristik keluarga dan karakteristik anak usia prasekolah 2. Menganalisis pengetahuan dan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan dan

pengasuhan anak

3. Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah

4. Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah

(19)

3

6. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak. 7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

(TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur.

2. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak.

3. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu.

4. Terdapat hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah.

5. Terdapat pengaruh dari karakteristik keluarga dan anak terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Manfaat

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Determinan Stunting pada Anak

Pertumbuhan pada anak merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat karena erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan (Depkes 2009). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati defisit 2SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Manary & Solomons 2009). Hasil studi kohort di Brazil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa stunting dalam dua tahun pertama kehidupan merupakan faktor risiko untuk konsentrasi glukosa yang tinggi, tekanan darah, dan profil lipid yang merugikan setelah dewasa (Victora et al. 2008). Walaupun demikian, penyebab dan etiologi stunting pada anak jauh kurang dipahami jika dibandingkan dengan konsekuensinya. Stunting dapat terjadi secara luas di lingkungan yang miskin (Reyes et al. 2004; Khomsan et al. 2013), bahkan di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan (Teshome et al. 2009). Dalam suatu populasi, seorang anak dapat menjadi stunted atau tidak, atau secara lebih luas, suatu populasi dapat menjadi lebih stunted dibandingkan populasi lainnya. Hal ini berarti bahwa diperlukan pemahaman yang baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak menjadi stunting baik pada tingkat individu maupun ekologi.

Jenis Kelamin Anak

(21)

5

Usia Anak

Stunting merupakan proses kumulatif yang berlangsung lama bahkan sejak masih dalam kandungan. Oleh sebab itu, faktor usia menjadi berpengaruh terhadap kejadian stunting dalam beberapa penelitian di Ethiopia (Teshome et al. 2009; Yimer 2000) dan negara berkembang lainnya (Kumar et al. 2006). Pada penelitian Teshome et al. (2009), risiko stunting meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana anak dengan usia 13-24 bulan berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan anak dengan usia yang lebih muda (< 7 bulan). Hasil penelitian Teshome et al. (2009) menggarisbawahi pentingnya dua tahun pertama kehidupan sebagai masa paling kritis untuk intervensi gizi sehingga diperlukan program-program yang meningkatkan status gizi pada anak-anak yang rentan. Anak dengan usia kurang dari 24 bulan merespon jauh lebih cepat terhadap perbaikan pertumbuhan dibandingkan anak dengan usia lebih tua. Setelah anak mencapai 2 tahun, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi stunting yang telah terjadi sebelumnya.

Status Kesehatan Anak

Status kesehatan pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan masalah stunting khususnya diare (El Taguri et al. 2007; Teshome et al. 2009; Nzala et al. 2011). Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting dimana anak-anak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare, sementara prevalensi malaria lebih besar pada mereka yang stunting akan tetapi tidak ditemukan hubungan yang signifikan (Teshome et al. 2009). Selain diare, infeksi pernapasan akut juga ditemui pada anak stunting walaupun tidak setingi insiden diare (Nzala et al. 2011). Menurut Eastwood (2003) infeksi dan diare berkontribusi terhadap kejadian stunting karena dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh sehingga menyebabkan pertumbuhan anak tidak optimal, akan tetapi dalam penelitian Nasikhah (2012) infeksi pernapasan akut tidak terbukti berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting.

Status Kelahiran Anak

(22)

kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal, peluang tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan.

Asupan Zat Gizi Anak

Masalah stunting pada anak tidak dapat dipisahkan dari asupan zat gizi anak baik yang berasal dari makanan, minuman, maupun ASI. Zat gizi diperlukan oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat vital dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kulit manusia akan mengalami pergantian sel setiap tujuh tahun, lemak yang berada di bawah kulit hari ini tidak sama dengan lemak yang berada di bawah kulit setahun yang lalu, sel darah merah akan diperbaharui setiap 120 hari, dan seluruh lapisan pencernaan akan diperbaharui setiap tiga sampai lima hari (Whitney & Rolfes 2011). Untuk itu, seorang anak harus terus menerus memenuhi asupan gizinya untuk menjaga proses tersebut tetap berlangsung.

Mikronutrien yang seringkali dianggap penting dalam pertumbuhan balita maupun usia prasekolah adalah vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800 balita si NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan vitamin A) berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al. 2007). TB/U balita stunting pada kelompok yang diberi Zn+Fe dan kelompok yang diberi Zn+Fe+Vit A meningkat secara signifikan setelah 4 bulan suplementasi, ditunjukan dengan angka pertumbuhan 1.1-1.5 cm lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo, sementara pada kelompok Zn tidak berbeda secara signifikan dengan plasebo. Setelah 6 bulan kemudian dilakukan follow-up, perbedaan TB/U diantara ke empat kelompok menjadi tidak berbeda secara signifikan, tetapi kelompok Zn+Fe dan kelompok Zn+Fe+vit A masih tetap mempunyai nilai TB/U yang lebih tinggi jika dibandingkan kelompok Zn dan plasebo. Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan rasio Zn:Fe yang tepat. Fahmida et al. (2007) juga menekankan pentingnya peran zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita. Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan vitamin A anak usia 3-5 tahun adalah 400-450 RE/hari, zinc 8.2-9.7 mg/hari, besi 8-9 mg/hari, energi 1000-1550 Kal/hari, dan protein 25-39 gram/hari.

(23)

7

pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan kalsium anak usia 3-5 tahun adalah 500 mg/hari, fosfor 400 mg/hari, vitamin D 5 µg/hari, dan vitamin C 40-45 mg/hari.

Pemberian ASI dan MP-ASI

Pemberian ASI eksklusif secara tepat sejak bayi hingga usia 6 bulan merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak disusui secara eksklusif tidak hanya akan terganggu pertumbuhannya akan tetapi juga tidak akan mendapat stimulasi optimal untuk perkembangan otak karena melalui proses menyusui eksklusif akan terbentuk hubungan kasih sayang antara ibu dan anak (Syarief et al. 2009). WHO (2002) menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak (Teshome et al. 2009; Gugsa et al. 1999). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa penyapihan kolostrum, lama menyusui, usia pengenalan MP-ASI, frekuensi makan, cara pemberian makan, dan jenis makanan yang diberikan pertama kali sebagai MP-ASI berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada balita (Teshome et al. 2009).

Ukuran Keluarga

Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan secara merata (Djauhari & Friyanto 1993). Sebuah penelitian terhadap 1000 anak usia 7-12 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat mempengaruhi jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana semakin besar ukuran keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011). Ukuran keluarga bukan merupakan satu-satunya karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak. Pada penelitian Semba et al. (2008) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan ukuran keluarga, dimana ukuran keluarga antara kelompok stunting tidak berbeda signifikan dengan kelompok normal (Astari et al. 2006)

Tingkat Pendidikan Orang Tua

(24)

Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi (Madanijah 2003), stimulasi psikososial yang diberikan pada anak (Latifah et al. 2010), dan kejadian stunting (Zottarelli et al. 2007; Rayhan & Khan 2006; Astari et al. 2006; Fitri 2012). Sementara itu, beberapa hasil penelitian lain tidak menunjukan hubungan yang nyata antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak (Nasikhah 2012), bahkan pada penelitian Riyadi et al. (2011) terhadap 3 wilayah menunjukkan bahwa dua wilayah penelitian tidak mempunyai keeratan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak.

Pengetahuan dan Praktek Ibu mengenai Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan merupakan hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi perilaku yang diperkenalkan oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu perilaku atau praktek tertentu, ia akan melewati tahap awal yang disebut dengan awareness yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan baru yang disebabkan oleh adanya stimuli yang diterimanya. Praktek pengasuhan gizi dan kesehatan yang dilakukan seorang ibu merupakan hasil dari proses panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi.

Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007). Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan) merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al. 2011).

Pekerjaan Orang Tua

(25)

9

untuk mencari nafkah memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga mempengaruhi stunting melalui mekanisme akses terhadap pangan yang berkualitas. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Menurut Miller dan Rodgers (2009), pada level rumah tangga, tingkat pendapatan akan berhubungan dengan akses terhadap pembelian makanan dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi akses terhadap daya beli makanan yang bergizi, air bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan Martianto dan Ariani (2004) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Hasil penelitian Faiza et al. (2007) memperlihatkan hubungan signifikan antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, dimana anak yang berasal dari keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai peluang untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali jika dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi tinggi.

Status Merokok Keluarga

Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan. Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata 49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22% dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan skeletal (Kawakita et al. 2008).

Faktor Keturunan (Genetik)

(26)

kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo et al. 1997). Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan anak yang pendek pula (Astari 2006; Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Pada penelitian Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan teramati dari peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang dari 150 cm, 30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase sampai 13.61% pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm. Kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm, dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir dari ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.

Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak

Menurut Yusuf (2006), perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik maupun psikis. Sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling mempengaruhi antara fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Progresif berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi individu berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan acak. tetapi sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan yaitu: 1) perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti; 2) semua aspek perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif; 3) perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu dimana setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian diikuti perkembangan kaudal atau anggota tubuh (pola sefalokaudal). Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (pola proksimodistal). Perkembangan berjalan dari umum ke khusus, dari konkret ke abstrak, dari egosentrisme ke perspektivisme, dan dari outter control ke inner control; 4) pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda-beda pada masing-masing anak; 5) perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan, bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan pun meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya; 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya.

(27)

11

diri sendiri, dan sosial emosional. Penilaian perkembangan kognitif meliputi ketajaman menbedakan stimulus, perhatian, kemampuan memanipulasi benda, imitasi, vokalisasi, daya ingat, mengatasi masalah, dan menyebutkan nama objek. Penilaian perkembangan motorik meliputi kemampuan motorik kasar (mengukur kemampuan berjalan diatas garis lurus, berlari, melompat, membungkukan badan, koordinasi mata dan kaki, koordinasi mata dan tangan, melambungkan bola, berdiri satu kaki, dan berjalan diatas titian) dan motorik halus (membangun menara, meremas, menggambar, menjiplak, melipat, dan menggunting).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling berhubungan. Bertambahnya keterampilan anak baik mental maupun motorik akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya. Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan diantaranya gangguan perkembangan kognitif (Walker et al. 2005), dan perkembangan motorik (Pollit 2000).

Hingga tahun 1999, hubungan antara stunting dengan perkembangan anak masih belum jelas. Hasil yang bervariasi dihubungkan dengan kemungkinan adanya mekanisme yang berbeda tergantung dari zat gizi apa yang menjadi defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et al. 1999). Selain itu, caregiver mungkin kurang memberikan rangsangan terhadap anak apatis, sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez & Martinez 1982). Hipotesis lain menyebutkan bahwa anak stunting bisa menyebabkan orang dewasa memperlakukan mereka seperti anak-anak kecil sehingga tidak memberikan rangsangan yang sesuai dengan usia anak.

Perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan atau status gizi anak. Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak yang mengalami stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan perkembangan motorik yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget, meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah akibat dari perilaku gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu berhubungan dengan proses berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat dari perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori gerak Kephart dan Delaco. Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan belajar pada anak adalah hasil dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan langkah dalam persepsi proses gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsur-unsur dalam fungsi kognitif yang optimal merupakan pengembangan dari dominasi kontrol otak.

Perkembangan Motorik

(28)

proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak (Santrock 2007). Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak adalah Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen dan whiteneyer. Teori tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk bergerak. Perkembangan motor ditandai oleh beberapa ciri yaitu kemampuan yang berkembang secara sistematik, tiap penguasaan kemampuan baru mempersiapkan bayi untuk kemampuan berikutnya. Pertama kali bayi akan belajar keterampilan sederhana, kemudian mengkombinasikannya ke dalam sistem tindakan yang semakin kompleks, yang menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau lebih tepat dan kontrol yang lebih efektif terhadap lingkungan (Papalia et al. 2008).

Setelah lahir, dalam hal kontrol kepala, sebagian besar bayi dapat menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi untuk dapat diputarkan. Dalam 2 atau 3 bulan pertama, mereka akan mengangkat kepala mereka semakin tinggi hingga suatu ketika sampai pada titik di mana mereka kehilangan keseimbangan dan berguling. Pada usia 4 bulan, hampir semua bayi dapat menjaga kepala mereka tetap tegak ketika digendong atau dalam posisi duduk. Selain itu, bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Apabila telapak tangan bayi ditekan, maka tangan akan menggenggam dengan kuat. Pada usia 3.5 bulan, sebagian besar bayi dapat menggenggam benda berukuran sedang seperti mainan, tetapi kesulitan untuk menggenggam objek berukuran kecil. Kemudian mereka akan mencoba menggenggam objek dengan satu tangan dan mengalihkannya ke tangan yang lain. Antara usia 7-11 bulan, tangan mereka sudah cukup terkoordinasi untuk mengambil benda kecil seperti daun, dengan menggunakan pincer grasp. Setelah itu ketepatan kontrol tangan semakin meningkat. Pada bulan ke 15, bayi normal dapat membangun sebuah menara dengan dua kotak. Beberapa bulan setelah ulang tahun yang ketiga, seorang anak dapat menyalin lingkaran dengan baik (Papalia et al. 2008).

Dalam hal locomotion, setelah 3 bulan seorang bayi yang normal akan mulai berguling dengan sengaja. Pertama dari muka ke belakang kemudian dari belakang ke muka. Bayi normal dapat duduk tanpa bersandar pada usia 6 bulan, dan diperkirakan bisa duduk tanpa bantuan sekitar 2,5 bulan kemudian. Antara 6-10 bulan, sebagian besar bayi mulai bergerak merangkak dan merayap dengan kekuatan mereka sendiri. Pencapaian self-locomotion ini sangat mempengaruhi perkembangan kognitif dan psikososial. Dengan bertumpu pada tangan atau perabot, bayi normal dapat berdiri di usia 7 bulan ke atas. Kurang lebih 4 bulan kemudian, bayi sudah dapat berdiri sendiri. Seorang bayi normal dapat berdiri dengan baik sekitar 2 minggu sebelum ulang tahun pertamanya. Semua perkembangan ini mengarah kepada pencapaian keterampilan motorik utama pada bayi yaitu berjalan. Segera setelah mereka dapat berdiri sendiri dengan baik, pada sekitar 11.5 bulan, sebagian besar bayi melakukan langkah pertama mereka. Dalam beberapa minggu, segera setelah ulang tahun pertamanya, anak normal akan dapat berjalan dengan baik (Papalia et al. 2008)

(29)

13

Ketika membahas tentang apa yang “rata-rata” dapat dilakukan oleh seorang bayi, maka hal tersebut merujuk kepada 50% nilain Denver. Pada kenyataannya, definisi kenormalan mencakup area yang luas, dimana sebagian dari para bayi menguasai keterampilan tersebut sebelum usia yang seharusnya, sedangkan sebagian yang lain justru setelah usia yang seharusnya. Akan tetapi nilai ini belum tentu valid untuk anak dari budaya lain di luar budaya barat. Di indonesia, skala Denver sudah umum dipakai untuk menilai perkembangan pada anak, termasuk perkembangan motorik.

Tabel 1 Pondasi perkembangan motorik

Keterampilan 50% 90%

Bergulimg 3.2 bulan 5.4 bulan

Menggenggam mainan 3.3 bulan 5.9 bulan

Duduk sendiri 5.9 bulan 6.8 bulan

Berdiri ketika dipegang 7.2 bulan 8.5 bulan

Menggenggam dengan ibu jari dan jari lain 8.2 bulan 10.2 bulan Berdiri sendiri dengan baik 11.5 bulan 13.7 bulan

Berjalan dengan baik 12.3 bulan 14.9 bulan

Membangun menara dari dua balok 14.8 bulan 20.6 bulan

Menaiki tangga 16.6 bulan 21.6 bulan

Loncat di tempat 23.8 bulan 2.4 tahun

Meniru lingkaran 3.4 tahun 4.0 tahun

Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau masa anak-anak, yang mana terjadi dalam usia anak dan terbagi dalam 3 tahapan yaitu infancytoddlerhood di usia 0 sampai 3 tahun, early childhood usia 3 sampai 6 tahun, dan middle childhood usia 6 sampai 11 tahun. Seperti yang diungkapkan Papalia et al. (2008), pada usia 3-6 tahun, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak tidak mengalami sakit seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan perkembangan fisik jadi lebih maskimal dari pada usia sebelumnya. Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, contohnya kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006).

Sejak tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik telah temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et al. 1981; Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Anak yang mengalami stunting diketahui akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu terhadap lingkungannya dan kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga gagal dalam mencapai perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan dengan anak normal pada umumnya (Levitsky 1979). Perilaku ini juga terlihat pada anak dengan defisiensi besi (Lozoff et al. 1985), zinc (Sazawal et al. 1996; Bentley et al. 1997), dan energi (Torun & Viteri 1981; Viteri & Torun 1981).

(30)

stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari kemampuan mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting rendah sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan mekanik otot berkurang.

Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007). Salah satu pendiri teori perkembangan kognitif yang banyak dirujuk adalah Jean Piaget. Menurut Piaget, anak secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2007). Masing-masing tahapan perkembangan mempunyai keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap tahapan (Ormrod 2003). Tahapan perkembangan tersebut terdiri dari tahap sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12 tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008; Santrock 2007).

Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget

Tahap Umur Perkembangan kognitif

Sensorimotorik 0-2 tahun Perkembangan perlahan pada ketrampilan sensori dan motorik. Kurang dapat membedakan konsep diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti dan pencapaian konsep objek yang permanen

preoperational 2-7 tahun Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul kemampuan mencapai imajinasi pikiran. Kemampuan persepsi meningkat, namun masih ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat. Belum mengerti konsep konservasi, pola pikir masih bersifat intuitif dan impulsif.

concret operational 7-12 tahun Mulai memahami hukum konservasi dan operasi yang bersifat kebalikan. Mulai dapat mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan.

formal operational (>12 tahun) Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan dan logika, serta mampu membuat hipotesa.

Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik, misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, sehingga disebut “sensorimotorik”. Di akhir tahap ini, anak mampu menghasilkan pola-pola sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007).

(31)

15

Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini sangat berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007).

Pada tahap preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran. Mereka juga sudah mengkategorikan konsep (Papalia 1979). Tahap praoperasional diklasifikasikan dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir intuitif. Subtahap simbolik terjadi ketika anak berusia 2-4 tahun. Pada subtahap ini anak memiliki kemampuan menggambarkan objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Subtahap ini juga dikenal dengan subtahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan subtahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut subtahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007).

Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, dan kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007). Tahap operasional formal (12 tahun sampai dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara berpikir abstrak, yang dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut (Santrock 2007).

Perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal (Dariyo 2007). Faktor eksternal termasuk status ekonomi keluarga. Dalam studi Meksiko, hubungan yang signifikan antara stunting dengan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang miskin tetapi tidak muncul pada anak-anak kelas menengah. Peneliti menyimpulkan bahwa stunting pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh kecenderungan genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan fungsi neurosensori, sedangkan stunting pada anak-anak miskin di pedesaan terutama disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional terutama dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966).

(32)

walaupun pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi, belum tentu mereka tidak cerdas, sehingga perkembangan kognitif anak dapat tetap berkembang optimal asalkan diberikan stimulasi kognitif sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. Akan tetapi, orang tua dengan pendidikan yang tinggi lebih diharapkan sampai kepada perubahan pengetahuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat memberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan kognitif anak. Hasil penelitian kohort yang dilakukan oleh Schady (2011) terhadap 2118 anak di daerah pedesaan Ekuator secara menunjukkan bahwa pendidikan orang tua memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif anak.

Sesuai dengan prinsip perkembangan, anak-anak dengan gangguan pertumbuhan seperti stunting akan mempunyai perkembangan kognitif yang tidak optimal. Hipotesisi lain mengemukakan bahwa anak stunting mempunyai ukuran kepala yang lebih kecil, dan jika dibandingkan dengan pengukuran antropometri lainnya, ukuran kapala pada usia dini merupakan prediktor kuat nilai IQ pada usia 7 tahun (Grantham-McGregor et al. 1997). Studi serupa yang lebih baru dilakukan oleh Chang et al. (2002), yang meneliti pengaruh stunting terhadap perkembangan kognitif anak usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan anak normal, anak stunting mempunyai kemampuan kognitif yang rendah di usia 11-12 tahun, yang tercermin dari kemampuan aritmetik, mengeja, membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga pencapaian pendidikan anak stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Penelitian pada usia yang lebih tinggi juga dilakukan oleh Kar et al. (2007) di Kota Bangalore yang menguji pengaruh stunting pada anak usia 5-7 tahun dan 8-10 tahun terhadap perkembangan kognitif dengan menggunakan ukuran neuropsikologis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa anak kurang gizi yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007) menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang.

Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak

Pengukuran lingkungan pengasuhan anak salah satunya dapat dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory, dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah.

(33)

17

kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan). Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi, hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan kognitif, instrumen HOME juga bisa digunakan untuk memprediksi pencapaian akademik, perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa etnis di seluruh dunia. Semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula perkembangan anak (Anwar 2002).

Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberikan kasih sayang. Hal-hal tersebut berhubungan dengan keadaan ibu yang meliputi kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya (Soekirman 2000).

Menurut Sternberg dan Grigorenko (2001), lingkungan pengasuhan merupakan faktor “genetik” yang juga diwariskan. Walau bagaimanapun, perbedaan dalam lingkungan pengasuhan sebagian merupakan respon terhadap perbedaan genetik di antara anak-anak yang dibesarkan (emosi, minat, kemampuan, dan sebagainya). Analisis dengan menggunakan ukuran standar lingkungan pengasuhan seperti Skala Lingkungan Keluarga (FES) dan Home Observation for the Measurement of Environment (HOME) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi dalam membesarkan anak-anak (kehangatan dari orang tua, mainan yang disediakan, dan sebagainya) sekitar 40% diwariskan. Sebagai bukti, kembar identik yang diasuh terpisah menilai lingkungan masa kecil mereka lebih mirip dibandingkan dengan kembar fraternal yang diasuh bersama-sama. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang benar-benar mengamati interaksi orangtua dan anak yang membuktikan bahwa adanya pengaruh genetik pada lingkungan pengasuhan (Scarr 1996). Selain itu, sekitar separuh dari korelasi fenotipik antara HOME dan IQ anak-anak adalah genetik. Artinya, variasi substansial dalam kedua lingkungan HOME dan IQ dapat ditelusuri ke gen yang sama (Plomin et al. 1997).

Pola asuh mencakup stimulasi psokososial, yaitu kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008). Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan motorik anak.

(34)

pengasuhan. Sejalan dengan hal tersebut, Miquelote et al. (2012) meneliti hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen Home Environment for Motor Development dengan skala Bayley untuk perkembangan balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara lingkungan pengasuhan yang mencakup stimulasi motorik terhadap perkembangan motorik dan bahkan kognitif balita. Lingkungan pengasuhan lebih penting dibandingkan dengan materi, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) yang menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai terbukti berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu perilaku pemberian ASI (Jus‟at et al. 2000).

Walker et al. (2005) meneliti pengaruh suplementasi gizi dan stimulasi psikososial terhadap perkembangan kognitif anak stunting dan normal usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan stimulasi psikososial, suplementasi tidak mempunyai efek yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak di usia 17-18 tahun. Anak stunting yang tidak mendapat stimulasi psikososial mempunyai skor kognitif yang lebih rendah. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan pendidikan di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia dini.

Lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut hasil penelitian Latifah et al. (2010), terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu dengan stimulasi psikososial. Selain itu, semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan dan perawatan anak. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak. Hasil penelitian Sa‟diyyah (1998) terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang bekerja akan menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas pengasuhan anak tidak terkontrol dengan baik.

Gambar

Tabel 1 Pondasi perkembangan motorik
Gambar 1 Kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik pada  anak usia prasekolah
Tabel 3 Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data
Tabel 6 Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Yashinta Asteria Norhermaya, menyatakan bahwa skripsi dengan judul ANALISIS PENGARUH KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP KEPERCAYAAN DAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi terhadap atmosfer toko

standards used to assess water quality relate to health of ecosystems, safety of human contact and drinking water.. The parameters for water quality are determined by the intended

Penelitian ini bertujuan menentukan jenis kacang-kacangan yang tepat untuk meningkatkan kadar protein beras analog

Para peneliti juga menemukan bahwa tidak seperti pria, wanita biasanya tidak menambah ukuran dari latihan beban, karena dibandingkan dengan laki- laki, perempuan memiliki

Authentication dan Digital Signature Scheme , serta dapat meningkatkan kemampuan pembuatan perangkat lunak dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0..

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Produksi dan reproduksi teks karya sastra puisi merupakan praktek pemaknaan yang dilakukan kalangan mahasiswa di Kota Surabaya sebagai suatu kesenangan yang beroperasi