LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH
IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN
PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR
DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG
ROMI PINDONTA TARIGAN
090302015
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH
IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN
PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR
DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG
SKRIPSI
ROMI PINDONTA TARIGAN
090302015
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH
IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN
PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR
DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG
SKRIPSI
ROMI PINDONTA TARIGAN
090302015
Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Romi Pindonta Tarigan
NIM : 090302015
Menyatakan bahwa skrips yang berjudul “Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) Dengan Pemberian Pakan
Cacing Sutera (Tubifex sp.) Yang Dikultur Dengan Beberapa Jenis Pupuk
Kandang” benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan data informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di akhir skripsi
ini.
Medan, Juni 2014
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Chromobotia
macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera
(Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang.
Nama : Romi Pindonta Tarigan
NIM : 090302015
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui Oleh :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si. Indra Lesmana, S.Pi, M.Si.
Ketua Anggota
Mengetahui
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si.
Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
ROMI PINDONTA TARIGAN, Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang. Dibimbing oleh YUNASFI dan INDRA LESMANA.
Ikan botia (Chromobotia macracanthus) merupakan ikan hias air tawar yang yang memiliki nilai ekonomis penting karena memiliki daya jual yang cukup tinggi terutama di pasar ikan hias di Sumatera Utara. Pakan alami merupakan faktor pentin dalam budidaya ikan hias. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian pakan cacing sutera (Tubifex sp.) terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan botia. Kultur cacing sutera dilakukan dengan menggunakan kotak kayu dengan sistem resirkulasi dan pemeliharaan benih ikan botia dilakukan dengan akuarium volume 72 liter dalam ruangan tertutup.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan, sebagai berikut; 1) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran ayam (KTPFKA), 2) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran sapi (KTPFKS), 3) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran domba (KTPFKD), 4) Tubifex tanpa perlakuan (TTP), 5) Pelet ikan hias (PIH). Tingkat kelangsungan hidup sebesar 100 % pada masing-masing perlakuan. Pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan fermentasi kotoran domba memberikan hasil terbaik terhadap panjang mutlak (L), bobot mutlak (W), dan laju pertumbuhan harian (GR), masing-masing 1.02 cm, 0.91 g, dan 2.57% selama 30 hari pemeliharaan.
Kata kunci : Botia, Pakan buatan, Tubifex.
Romi Pindonta Tarigan. Growth Performance and Survival Rate of Botia Larvae (Chromobotia macracanthus) with Feeding Tubifex worms (Tubifex sp.) in Cultured With Several Types of Manure. Under academic supervision YUNASFI, and INDRA LESMANA.
Botia (Chromobotia macracanthus) is a freshwater fish that are having economic value is important because it has high sale value, especially in the ornamental fish market in North Sumatra. Life food is an important factor in the cultivation of ornamental fish. The research was conducted to determine the effect of feeding Tubifex worms (Tubifex sp.) on the growth performance and survival rate of Botia larvae. Tubifex worm culture do by using a wooden box with a recirculation system and the maintenance of Botia larvae done with volume 72 liter aquarium in a closed room.
Experimental design using a completely randomized design with 5 treatments with 3 replications, as follows; 1) The Tubifex worms culture given chicken manure fermentation, 2) The Tubifex worms culture given cow manure fermentation, 3) The Tubifex worms culture given sheep dung fermentation, 4) Tubifex without treatment, 5) Pellet ornamental fish. The survival rate was 100 % in each treatments. Feeding the Tubifex worms are cultured with sheep dung fermentation gives the best results on the survival rate (SR), the absolute length (L), absolute weight (W), and daily growth rate (GR), respectively 1.02 cm, 0.91 g, and 2.57% for 30 days of maintenance.
Keywords: Artificial feed, Botia, Tubifex.
ROMI PINDONTA TARIGAN, dilahirkan di Medan pada
tanggal 13 September 1991, dari Alm. Ayahanda Merhat
Tarigan dan Ibu Pawen Br. Sitepu. Penulis merupakan anak
keempat dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD. Santo
Thomas 2 Medan tahun 2003, SMP. Santo Thomas 1
Medan tahun 2006, dan SMA. Santo Thomas 2 Medan pada
2009. Penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Lokal Penerimaan
Mahasiswa Baru (SLPMB).
Selama masa perkuliahan penulis juga aktif dalam organisasi antara lain Ikatan
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (IMMASPERA) sebagai koordinator
bidang kewirausahaan, Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) Mbuah Page Fakultas
Pertanian periode 2012-2014 sebagai ketua. Penulis melakukan magang di Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera
Utara pada bulan Juni tahun 2011. Penulis juga mengikuti Praktek Kerja Lapang
(PKL) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung pada bulan
Mei tahun 2012.
Penulis melaksanakan penelitian skripsi berjudul “Laju Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan
Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang dikultur dengan Beberapa Jenis
Pupuk Kandang”
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun
judul skripsi ini adalah “Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia
(Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.)
yang dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang”. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat arahan, perhatian dan
bimbingan dari berbagai pihak baik berupa materi, ilmu dan informasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Ketua
Komisi Pembimbing maupun Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Indra Lesmana, S.Pi, M.Si selaku
Anggota Komisi Pembimbing serta kepada Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku
Penguji I dan Rusdi Leidonald, SP. M.Sc selaku penguji II yang telah memberikan
kritis, saran arahan dan bimbingan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan ilmu dan
membantu penulis selama menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Terima kasih
juga disampaikan kepada Alm. Ayahanda Merhat Tarigan, dan Ibunda Pawen Br.
Sitepu serta kakak Marlinda Br. Tarigan dan Suranta Sembiring, Sri Rejeki Br.
Tarigan dan Maradona Ginting, serta abangda Baskami Tarigan yang telah
memberikan dukungan, doa dan semangat kepada penulis. Rekan-rekan mahasiswa
angkatan 2009 di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian
Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yang telah
membantu penulis selama melakukan penelitian serta seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat
bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang manajemen
sumberdaya perairan.
Medan, Juni 2014
Romi Pindonta Tarigan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian 6
3. Cacing Sutera 13
4. Wadah Kultur Cacing Sutera dengan Berbagai Jenis Pupuk Kandang 28
5. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia 29
6. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Botia 29
7. Panjang Rata-Rata Benih Ikan Botia 30
8. Pertumbuhan Bobot Benih Ikan Botia 30
9. Bobot Rata-Rata Benih Ikan Botia 31
10. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia 31
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman 1. Data Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia 453. Data Bobot Rata-Rata (g) Benih Ikan Botia 47
4. Data dan ANOVA Pertumbuhan Panjang Mutlak Benih Ikan Botia 48
5. Data dan ANOVA Pertambahan Bobot Mutlak Benih Ikan Botia 49
6. Data dan ANOVA Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia 50
7. Dokumentasi Penelitian 52
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budidaya perikanan merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Botia
Ikan botia (Gambar 2.) merupakan ikan hias asli dari perairan Sumatera dan
Kalimantan dan sudah menjadi komoditas ekspor primadona ikan hias air tawar
selama puluhan tahun. Spesies ini dikenal juga dalam dunia perdagangan sebagai
(Sumatera), gecubang (Lampung), biju bana (Jambi), languli (Mahakam) (Suseno dan
Subandiah, 2000).
Gambar 2. Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)
Klasifikasi ikan botia adalah sebagai berikut (Kottelat, 2004) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cobitidae
Genus : Chromobotia
Spesies : Chromobotia macracanthus
Menurut Sterba (1969) diacu oleh Sari (2003); Weber dan Beaufort (1916)
diacu oleh Kamal (1992); Kottelat dkk. (1993); dan Satyani dkk. (2006), bahwa ciri
morfologis ikan botia yaitu memiliki bentuk tubuh memanjang agak pipih ke samping
dan ditutupi sisik halus (sikloid), kepala agak meruncing pipih ke arah mulut (seperti
torpedo), mulut terdapat di ujung anterior dan mengarah agak ke bawah dengan empat
pasang sungut diatasnya, bukaan mulut berbentuk sepatu kuda, bibir tebal dan
akan keluar apabila merasa ada bahaya. Sirip dada dan sirip perut berpasangan, sirip
punggung tunggal dan sirip ekor bercagak dalam.
Warna ikan kuning cerah dengan tiga garis lebar atau pita hitam lebar. Pita
pertama melingkari kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung
dan yang ketiga memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor.
Sirip berwarna merah oranye kecuali sirip punggung yang terpotong garis hitam
(Satyani dkk., 2006).
Ukuran ikan botia di alam dapat mencapai 30 cm, tetapi jika dipelihara di
akuarium ukurannya hanya mencapai 15-20 cm, bahkan pernah ditemukan mencapai
ukuran 40 cm (Suseno dan Subandiah, 2000). Menurut Kamal (1992) ikan botia yang
tertangkap di Sungai Batang Hari ukuran panjang totalnya mencapai 30,5 cm.
Ekologi dan Makanan Ikan Botia
Distribusi ikan botia hanya terdapat di Sumatera (DAS Batanghari-Jambi dan
DAS Musi-Sumatera Selatan) dan di Kalimantan (DAS Kapuas-Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Daerah Aliran Sungai Barito-Kalimantan Selatan)
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Di Sumatera ikan botia menyebar di Sungai
Tulang Bawang (Lampung), Teluk Betung, Sungai Pangabuang, Sungai Musi dan
sekitarnya, Sungai Kwanten, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. Penyebaran
ikan botia di Kalimantan yaitu di Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas,
Sungai Bongan dan Sungai Mahakam (Weber dan Beaufort, 1916 diacu oleh Kamal,
1992; Suseno dan Subandiah, 2000).
Habitat ikan botia terdapat di daerah sungai dengan kondisi air dengan pH agak
merupakan habitat ikan botia (Satyani, dkk., 2006). Di alam, ikan botia banyak
ditemukan mulai dari hulu sampai ke muara, serta berkumpul di dasar perairan tenang
(tidak berarus deras) karena ikan ini cenderung bergerombol atau bersifat schooling.
Menurut Satyani dkk., (2006), anak-anak ikan botia hidup di daerah yang
berarus lemah, substrat berupa lumpur dan kekeruhan tinggi dengan kedalaman 5-10
m. Sementara induknya berada di daerah berarus kuat (hulu) yang jernih, substrat
berpasir dan berbatu dengan kedalaman maksimum adalah sekitar 2 m. Ikan botia
merupakan ikan peruaya yaitu beruaya dari habitat asuhan (hilir) ke habitat induk
(hulu). Ruaya mulai dilakukan seiring dengan adanya perubahan kualitas air, pada saat
benih ikan berukuran panjang >2 cm. Ruaya mulai dilakukan pada pertengahan musim
penghujan yaitu sekitar bulan Januari jika musim penghujan dimulai pada bulan
Oktober (Nurdawati dkk., 2006). Di akuarium, ikan ini sangat menyukai tempat
berlindung (shelter) dan intensitas cahaya yang rendah di dasar perairan (Sterba 1969
diacu oleh Sari, 2003).
Ikan botia tergolong ikan omnivor yang cenderung karnivor (Samuel dkk.,
1994) dan pemakan dasar (Kamal, 1992), menyukai hewan-hewan kecil seperti
Tubifex sp., larva serangga, Daphnia sp., jentik nyamuk dan sisa-sisa makanan. Ikan
botia makan pada siang atau malam hari dan dalam mencari makanannya dibantu oleh
alat peraba berupa sungut sebanyak empat pasang (Saanin, 1968).
Pakan Alami dan Pakan Buatan
Pakan Alami
Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam, baik dengan atau
organisme hidup yang menghuni suatu perairan, baik berupa tumbuhan maupun hewan
dan dapat dikonsumsi oleh ikan. Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan
sangat bermacam-macam tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Pada saat
benih ikan mulai belajar mencari makan dari luar, makanan yang pertama-tama
mereka makan adalah plankton yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut benih
(Djariah, 1995).
Pakan alami merupakan pakan awal dan utama bagi benih ikan karena
memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang terdapat dalam
pakan alami antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nilai
kandungan gizi yang cukup tinggi dan baik dalam pakan alami sangat diperlukan oleh
benih ikan pada masa kritis untuk hidup dan tumbuh dari fase benih ke fase
selanjutnya. Pakan alami yang diberikan kepada benih ikan harus memenuhi syarat
antara lain berukuran lebih kecil dari diameter bukaan mulut benih ikan, mengandung
kandungan nutrisi tinggi, mudah dicerna dengan baik, dan memiliki warna yang
mencolok, dapat bergerak dan terapung atau tersuspensi dalam air sehingga dapat
merangsang benih ikan untuk memakannya (Djariah, 1995).
Pakan Buatan (Pakan Komersil)
Pakan buatan adalah makanan yang kita ramu atau kita buat sendiri yang terdiri
dari bahan-bahan alami yang berupa bahan nabati dan hewani atau dari beberapa
macam bahan yang kemudian kita olah menjadi bentuk khusus sebagaimana yang kita
kehendaki. Fungsi dari pakan utama sendiri yaitu untuk pemeliharaan tubuh dan
mengganti jaringan tubuh yang rusak, menunjang aktifitas metabolisme dan untuk
itu sendiri, yaitu dapat meningkatkan padat produksi melalui padat penebaran tinggi
dengan waktu pemeliharaan yang pendek, dapat memanfaatkan limbah industri
pertanian yang berupa sisa-sisa buangan dan rasa pakan buatan dapat kita atur sesuai
dengan selera serta kebutuhan yaitu dengan mengatur susunan formulasinya.
Pakan buatan yang diberikan harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan ikan
untuk menghasilkan energi dan menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh. Untuk
menghasilkan energi, ikan membutuhkan asupan protein, lemak dan karbohidrat.
Untuk menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh, ikan membutuhkan vitamin dan
mineral (Hoar dkk., 1979).
Biologi Cacing Sutra
Cacing sutera (Gambar 3.) merupakan hewan tingkat rendah karena tidak
memiliki tulang belakang (vertebrae) yang disebut juga dengan invertebrata, ordo
Haplotaxida, famili tubificidae dan genus Tubifex. Oligochaeta merupakan salah jenis
pendatang penghuni dasar (bentos) yang suka membenamkan diri dalam lumpur
Gambar 3. Cacing Sutera
Menurut Muller (1774), Tubifex sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Annelida
Kelas : Clitellata
Ordo : Oligochaeta
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Species : Tubifex sp.
Tubifex sp. merupakan jenis cacing air tawar yang sangat disukai oleh
benih-benih ikan. Cacing berwarna merah, karena mengandung erythrocruorin yang larut
dalam darah. Pada umumnya cacing ini mengandung asam-asam amino yang cukup
lengkap dan biasanya diberikan sebagai makanan ikan hias, pakan alami ini diberikan
umumnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhannya
(Scheurman, 1990 diacu oleh Febrianti, 2004).
Secara fungsional dan ekologi Tubifex terbagi menjadi 2 tipe, yaitu microdrile
tubuh tipis, agak transparan. Sedangkan megadrile merupakan spesies darat, dinding
tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm (Suwingnyo dkk., 2005).
Menurut Muliasari (1993), famili Tubificidae memiliki siklus hidup yang
relatif pendek, yaitu 42-50 hari dan memiliki fekunditas sebesar 92-340 butir,
bertoleransi pada kadar oksigen yang rendah dan mudah berkembang dalam substrat
dari sampah-sampah organik yang terbuang, serta dapat bertahan pada keadaan
anaerob hingga 48 hari pada suhu 0oC – 20C dan semakin besar temperaturnya
semakin kecil kelangsungan hidupnya.
Ekologi dan Makanan Cacing Sutera
Tubifex sp. hidup diperairan tawar jernih sedikit mengalir dengan dasar
mengandung banyak bahan organik sehingga sering ditemukan pada sungai atau danau
bersedimen halus. Kondisi dasar perairannya berpasir (41,4%), tanah halus (46%) dan
lumpur (11,3%). Cacing dewasa ditemukan pada permukaan sedimen sampai
kedalaman 4 cm, sedangkan juvenil ditemukan pada kedalaman hingga 2 cm.
Cacing ini akan membenamkan bagian kepala pada dasar perairan sementara bagian
ekor disembulkan dari dasar untuk melakukan pernapasan (Djarijah,1995).
Cacing sutera yang juga disebut “sludge worms” atau tubifex worm dengan
panjang lebih dari 2 cm ada yang hidup di air tawar dan air laut. Beberapa cacing sutra
sangat umum hidup di daerah dengan polusi limbah organik tingkat tinggi (Brusca dan
Brusca, 1990). Cacing sutera mempunyai habitat lingkungan dengan konduktivitas
tinggi, kedalaman rendah, sedimen liat berpasir atau liat berlumpur, kecepatan arus
Selain pada kedalaman rendah cacing sutera juga ditemukan pada bagian terdalam
danau (Pennak, 1953).
Umumnya jenis oligochaeta yaitu cacing tanah dan tubifex, mendapatkan
makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran
pencernaan akan dicerna, kemudian tanh beserta sisa pencernaan dibuang melalui
anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang filamen, diatom dan detritus.
Oligochaeta banyak tinggal pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan oligochaeta ditemukan
pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
oligochaeta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth,
1967).
Tubificid seringkali dihubungkan dengan lingkungan yang tercemar. Jenis
cacing tubificid yang dapat berkembang dengan subur pada kondisi tercemar dari
cacing Tubifex tubifex dan Limnodrillus hoffmeisteri dengan jumlah kurang lebih sama
(Yuherman, 1987). Keberhasilan cacing tubificidae hidup pada lingkungan yang
tercemar organik berat adalah karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada
tekanan oksigen yang sangat rendah. Laju respirasi Tubifex tubifex hampir tidak
terpengaruh pada kadar oksigen terlarut serendah 20% dari kejenuhan udara (Palmer,
1968).
Kultur Cacing Sutera
Cacing sutera sudah dibudidayakan sejak lama, para pembudidaya awalnya
mendapati cacing sutera pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
cacing Tubifex sp. dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah
(Wilmoth, 1967). Kultur cacing sutera pada dewasa ini sudah mulai mendapat
perhatian yang perkembangan budidaya cacing ini mulai dari menggunakan ember
dengan bantuan tambahan penyuplai oksigen dengan menggunakan aerasi hingga
mengggunakan lahan yang terdapat di alam sebagai wadah kultur (sistem terbuka) dan
beberapa peneliti pernah menggunakan sistem resirkulasi dan membuat design wadah
sendiri.
Penelitian Febrianti (2004), yang mengkaji tentang pengaruh pemupukan
harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing
sutera dengan padat tebar awal 150 individu/wadah dimana ukuran wadah yang
dipakai 80 x 20 x 15 cm dan diperoleh hasil tertinggi pada dosis pupuk 1 kg/m2/hari
dengan jumlah populasi 213.415 individu/m2 dan biomassa sebesar 292 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari.
Sedangkan Febriyani (2012), meneliti juga mengenai Tubifex sp. dimana
mengkaji tentang padat penebaran yang berbeda dengan sistem terbuka dengan wadah
kultur 100 x 25 x 20 cm. Memperoleh hasil tertinggi dengan padat penebaran 4.600
individu/m2 dengan populasi 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari. Dengan laju pertumbuhan biomassa didapati sebesar
55,41 g/m2/hari dengan kondisi dosis pemberian pupuk sebesar 1 kg/m2/hari.
Pengaruh Pemupukan
Pemupukan dalam budidaya cacing sutra bertujuan untuk menambah sumber
yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung
akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam
media akan menyebabkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh
bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makan pada media yang dapat
mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).
Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan
produktivitas cacing sutera. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yangtidak difermentasi. Hal ini
dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah
(2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004)
memperoleh hasil terbaik 292 g/m2. Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam- macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah
(2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk
tersebut, dapat juga digunakan kotoran domba.
Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Tolak ukur kegiatan pembenihan ikan adalah pertumbuhan. Dikarenakan
pertumbuhan dari larva hingga menjadi benih terlihat dalam kurva pertumbuhan ikan
sangat besar. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam
suatu waktu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan eksternal (Effendie,
1997). Faktor internal meliputi keturunan, kematangan gonad, parasit dan penyakit.
buangan metabolit. Apabila jumlah ikan melebihi batas kemampuan suatu wadah
maka ikan akan kehilangan berat. Selain itu persaingan dalam hal makanan sangat
penting karena kompetisi untuk memperoleh makanan lebih tinggi pada padat
penebaran yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran yang lebih rendah. Oleh
karena itu, pada padat penebaran lebih tinggi ukuran ikan lebih bervariasi sedangkan
padat penebaran yang lebih rendah relatif seragam dan ukurannya lebih besar
(Serdiati, 1988).
Sebagai data penunjang pertumbuhan diperlukan data kelangsungan hidup.
Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir
periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004).
Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan
kemampuan ikan untuk hidup. Dalam usaha budidaya, faktor kematian yang
mempengaruhi kelangsungan hidup larva atau benih. Mortalitas ikan disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam tubuh ikan yang
mempengaruhi mortalitas adalah perbedaan umur dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi
antar spesies, meningkatnya predator, parasit, kurang makanan, penanganan,
penangkapan dan penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama.
Kematian ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah oleh kondisi
abiotik, ketuaan, predator, parasit, penangkapan dan kekurangan makanan
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).
Dalam hal ini perlu upaya peningkatan kelangsungan hidup yang dapat
dilakukan dengan pengaturan padat tebar, kualitas air dan ketersediaan pakan sesuai
yang optimal dan kelangsungan hidup yang maksimal. Tingkat kelangsungan hidup
akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan
yang dipelihara. Ikan yang lebih kecil akan rentan terhadap penyakit dan parasit.
Kelangsungan hidup ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
diantaranya kepadatan dan kualitas air. Umumnya laju kelangsungan hidup benih lebih
tinggi dibandingkan larva, karena benih lebih kuat (Effendi, 2004).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April tahun 2014, dan
dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Kultur Cacing Sutera
Bahan-bahan yang digunakan pada kultur cacing sutera antara lain pasir halus,
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Botia
Ikan botia (Gambar 2.) merupakan ikan hias asli dari perairan Sumatera dan
Kalimantan dan sudah menjadi komoditas ekspor primadona ikan hias air tawar
selama puluhan tahun. Spesies ini dikenal juga dalam dunia perdagangan sebagai
(Sumatera), gecubang (Lampung), biju bana (Jambi), languli (Mahakam) (Suseno dan
Subandiah, 2000).
Gambar 2. Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)
Klasifikasi ikan botia adalah sebagai berikut (Kottelat, 2004) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cobitidae
Genus : Chromobotia
Spesies : Chromobotia macracanthus
Menurut Sterba (1969) diacu oleh Sari (2003); Weber dan Beaufort (1916)
diacu oleh Kamal (1992); Kottelat dkk. (1993); dan Satyani dkk. (2006), bahwa ciri
morfologis ikan botia yaitu memiliki bentuk tubuh memanjang agak pipih ke samping
dan ditutupi sisik halus (sikloid), kepala agak meruncing pipih ke arah mulut (seperti
torpedo), mulut terdapat di ujung anterior dan mengarah agak ke bawah dengan empat
pasang sungut diatasnya, bukaan mulut berbentuk sepatu kuda, bibir tebal dan
akan keluar apabila merasa ada bahaya. Sirip dada dan sirip perut berpasangan, sirip
punggung tunggal dan sirip ekor bercagak dalam.
Warna ikan kuning cerah dengan tiga garis lebar atau pita hitam lebar. Pita
pertama melingkari kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung
dan yang ketiga memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor.
Sirip berwarna merah oranye kecuali sirip punggung yang terpotong garis hitam
(Satyani dkk., 2006).
Ukuran ikan botia di alam dapat mencapai 30 cm, tetapi jika dipelihara di
akuarium ukurannya hanya mencapai 15-20 cm, bahkan pernah ditemukan mencapai
ukuran 40 cm (Suseno dan Subandiah, 2000). Menurut Kamal (1992) ikan botia yang
tertangkap di Sungai Batang Hari ukuran panjang totalnya mencapai 30,5 cm.
Ekologi dan Makanan Ikan Botia
Distribusi ikan botia hanya terdapat di Sumatera (DAS Batanghari-Jambi dan
DAS Musi-Sumatera Selatan) dan di Kalimantan (DAS Kapuas-Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Daerah Aliran Sungai Barito-Kalimantan Selatan)
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Di Sumatera ikan botia menyebar di Sungai
Tulang Bawang (Lampung), Teluk Betung, Sungai Pangabuang, Sungai Musi dan
sekitarnya, Sungai Kwanten, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. Penyebaran
ikan botia di Kalimantan yaitu di Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas,
Sungai Bongan dan Sungai Mahakam (Weber dan Beaufort, 1916 diacu oleh Kamal,
1992; Suseno dan Subandiah, 2000).
Habitat ikan botia terdapat di daerah sungai dengan kondisi air dengan pH agak
merupakan habitat ikan botia (Satyani, dkk., 2006). Di alam, ikan botia banyak
ditemukan mulai dari hulu sampai ke muara, serta berkumpul di dasar perairan tenang
(tidak berarus deras) karena ikan ini cenderung bergerombol atau bersifat schooling.
Menurut Satyani dkk., (2006), anak-anak ikan botia hidup di daerah yang
berarus lemah, substrat berupa lumpur dan kekeruhan tinggi dengan kedalaman 5-10
m. Sementara induknya berada di daerah berarus kuat (hulu) yang jernih, substrat
berpasir dan berbatu dengan kedalaman maksimum adalah sekitar 2 m. Ikan botia
merupakan ikan peruaya yaitu beruaya dari habitat asuhan (hilir) ke habitat induk
(hulu). Ruaya mulai dilakukan seiring dengan adanya perubahan kualitas air, pada saat
benih ikan berukuran panjang >2 cm. Ruaya mulai dilakukan pada pertengahan musim
penghujan yaitu sekitar bulan Januari jika musim penghujan dimulai pada bulan
Oktober (Nurdawati dkk., 2006). Di akuarium, ikan ini sangat menyukai tempat
berlindung (shelter) dan intensitas cahaya yang rendah di dasar perairan (Sterba 1969
diacu oleh Sari, 2003).
Ikan botia tergolong ikan omnivor yang cenderung karnivor (Samuel dkk.,
1994) dan pemakan dasar (Kamal, 1992), menyukai hewan-hewan kecil seperti
Tubifex sp., larva serangga, Daphnia sp., jentik nyamuk dan sisa-sisa makanan. Ikan
botia makan pada siang atau malam hari dan dalam mencari makanannya dibantu oleh
alat peraba berupa sungut sebanyak empat pasang (Saanin, 1968).
Pakan Alami dan Pakan Buatan
Pakan Alami
Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam, baik dengan atau
organisme hidup yang menghuni suatu perairan, baik berupa tumbuhan maupun hewan
dan dapat dikonsumsi oleh ikan. Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan
sangat bermacam-macam tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Pada saat
benih ikan mulai belajar mencari makan dari luar, makanan yang pertama-tama
mereka makan adalah plankton yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut benih
(Djariah, 1995).
Pakan alami merupakan pakan awal dan utama bagi benih ikan karena
memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang terdapat dalam
pakan alami antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nilai
kandungan gizi yang cukup tinggi dan baik dalam pakan alami sangat diperlukan oleh
benih ikan pada masa kritis untuk hidup dan tumbuh dari fase benih ke fase
selanjutnya. Pakan alami yang diberikan kepada benih ikan harus memenuhi syarat
antara lain berukuran lebih kecil dari diameter bukaan mulut benih ikan, mengandung
kandungan nutrisi tinggi, mudah dicerna dengan baik, dan memiliki warna yang
mencolok, dapat bergerak dan terapung atau tersuspensi dalam air sehingga dapat
merangsang benih ikan untuk memakannya (Djariah, 1995).
Pakan Buatan (Pakan Komersil)
Pakan buatan adalah makanan yang kita ramu atau kita buat sendiri yang terdiri
dari bahan-bahan alami yang berupa bahan nabati dan hewani atau dari beberapa
macam bahan yang kemudian kita olah menjadi bentuk khusus sebagaimana yang kita
kehendaki. Fungsi dari pakan utama sendiri yaitu untuk pemeliharaan tubuh dan
mengganti jaringan tubuh yang rusak, menunjang aktifitas metabolisme dan untuk
itu sendiri, yaitu dapat meningkatkan padat produksi melalui padat penebaran tinggi
dengan waktu pemeliharaan yang pendek, dapat memanfaatkan limbah industri
pertanian yang berupa sisa-sisa buangan dan rasa pakan buatan dapat kita atur sesuai
dengan selera serta kebutuhan yaitu dengan mengatur susunan formulasinya.
Pakan buatan yang diberikan harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan ikan
untuk menghasilkan energi dan menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh. Untuk
menghasilkan energi, ikan membutuhkan asupan protein, lemak dan karbohidrat.
Untuk menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh, ikan membutuhkan vitamin dan
mineral (Hoar dkk., 1979).
Biologi Cacing Sutra
Cacing sutera (Gambar 3.) merupakan hewan tingkat rendah karena tidak
memiliki tulang belakang (vertebrae) yang disebut juga dengan invertebrata, ordo
Haplotaxida, famili tubificidae dan genus Tubifex. Oligochaeta merupakan salah jenis
pendatang penghuni dasar (bentos) yang suka membenamkan diri dalam lumpur
Gambar 3. Cacing Sutera
Menurut Muller (1774), Tubifex sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Annelida
Kelas : Clitellata
Ordo : Oligochaeta
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Species : Tubifex sp.
Tubifex sp. merupakan jenis cacing air tawar yang sangat disukai oleh
benih-benih ikan. Cacing berwarna merah, karena mengandung erythrocruorin yang larut
dalam darah. Pada umumnya cacing ini mengandung asam-asam amino yang cukup
lengkap dan biasanya diberikan sebagai makanan ikan hias, pakan alami ini diberikan
umumnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhannya
(Scheurman, 1990 diacu oleh Febrianti, 2004).
Secara fungsional dan ekologi Tubifex terbagi menjadi 2 tipe, yaitu microdrile
tubuh tipis, agak transparan. Sedangkan megadrile merupakan spesies darat, dinding
tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm (Suwingnyo dkk., 2005).
Menurut Muliasari (1993), famili Tubificidae memiliki siklus hidup yang
relatif pendek, yaitu 42-50 hari dan memiliki fekunditas sebesar 92-340 butir,
bertoleransi pada kadar oksigen yang rendah dan mudah berkembang dalam substrat
dari sampah-sampah organik yang terbuang, serta dapat bertahan pada keadaan
anaerob hingga 48 hari pada suhu 0oC – 20C dan semakin besar temperaturnya
semakin kecil kelangsungan hidupnya.
Ekologi dan Makanan Cacing Sutera
Tubifex sp. hidup diperairan tawar jernih sedikit mengalir dengan dasar
mengandung banyak bahan organik sehingga sering ditemukan pada sungai atau danau
bersedimen halus. Kondisi dasar perairannya berpasir (41,4%), tanah halus (46%) dan
lumpur (11,3%). Cacing dewasa ditemukan pada permukaan sedimen sampai
kedalaman 4 cm, sedangkan juvenil ditemukan pada kedalaman hingga 2 cm.
Cacing ini akan membenamkan bagian kepala pada dasar perairan sementara bagian
ekor disembulkan dari dasar untuk melakukan pernapasan (Djarijah,1995).
Cacing sutera yang juga disebut “sludge worms” atau tubifex worm dengan
panjang lebih dari 2 cm ada yang hidup di air tawar dan air laut. Beberapa cacing sutra
sangat umum hidup di daerah dengan polusi limbah organik tingkat tinggi (Brusca dan
Brusca, 1990). Cacing sutera mempunyai habitat lingkungan dengan konduktivitas
tinggi, kedalaman rendah, sedimen liat berpasir atau liat berlumpur, kecepatan arus
Selain pada kedalaman rendah cacing sutera juga ditemukan pada bagian terdalam
danau (Pennak, 1953).
Umumnya jenis oligochaeta yaitu cacing tanah dan tubifex, mendapatkan
makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran
pencernaan akan dicerna, kemudian tanh beserta sisa pencernaan dibuang melalui
anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang filamen, diatom dan detritus.
Oligochaeta banyak tinggal pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan oligochaeta ditemukan
pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
oligochaeta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth,
1967).
Tubificid seringkali dihubungkan dengan lingkungan yang tercemar. Jenis
cacing tubificid yang dapat berkembang dengan subur pada kondisi tercemar dari
cacing Tubifex tubifex dan Limnodrillus hoffmeisteri dengan jumlah kurang lebih sama
(Yuherman, 1987). Keberhasilan cacing tubificidae hidup pada lingkungan yang
tercemar organik berat adalah karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada
tekanan oksigen yang sangat rendah. Laju respirasi Tubifex tubifex hampir tidak
terpengaruh pada kadar oksigen terlarut serendah 20% dari kejenuhan udara (Palmer,
1968).
Kultur Cacing Sutera
Cacing sutera sudah dibudidayakan sejak lama, para pembudidaya awalnya
mendapati cacing sutera pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
cacing Tubifex sp. dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah
(Wilmoth, 1967). Kultur cacing sutera pada dewasa ini sudah mulai mendapat
perhatian yang perkembangan budidaya cacing ini mulai dari menggunakan ember
dengan bantuan tambahan penyuplai oksigen dengan menggunakan aerasi hingga
mengggunakan lahan yang terdapat di alam sebagai wadah kultur (sistem terbuka) dan
beberapa peneliti pernah menggunakan sistem resirkulasi dan membuat design wadah
sendiri.
Penelitian Febrianti (2004), yang mengkaji tentang pengaruh pemupukan
harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing
sutera dengan padat tebar awal 150 individu/wadah dimana ukuran wadah yang
dipakai 80 x 20 x 15 cm dan diperoleh hasil tertinggi pada dosis pupuk 1 kg/m2/hari
dengan jumlah populasi 213.415 individu/m2 dan biomassa sebesar 292 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari.
Sedangkan Febriyani (2012), meneliti juga mengenai Tubifex sp. dimana
mengkaji tentang padat penebaran yang berbeda dengan sistem terbuka dengan wadah
kultur 100 x 25 x 20 cm. Memperoleh hasil tertinggi dengan padat penebaran 4.600
individu/m2 dengan populasi 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari. Dengan laju pertumbuhan biomassa didapati sebesar
55,41 g/m2/hari dengan kondisi dosis pemberian pupuk sebesar 1 kg/m2/hari.
Pengaruh Pemupukan
Pemupukan dalam budidaya cacing sutra bertujuan untuk menambah sumber
yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung
akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam
media akan menyebabkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh
bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makan pada media yang dapat
mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).
Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan
produktivitas cacing sutera. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yangtidak difermentasi. Hal ini
dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah
(2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004)
memperoleh hasil terbaik 292 g/m2. Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam- macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah
(2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk
tersebut, dapat juga digunakan kotoran domba.
Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Tolak ukur kegiatan pembenihan ikan adalah pertumbuhan. Dikarenakan
pertumbuhan dari larva hingga menjadi benih terlihat dalam kurva pertumbuhan ikan
sangat besar. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam
suatu waktu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan eksternal (Effendie,
1997). Faktor internal meliputi keturunan, kematangan gonad, parasit dan penyakit.
buangan metabolit. Apabila jumlah ikan melebihi batas kemampuan suatu wadah
maka ikan akan kehilangan berat. Selain itu persaingan dalam hal makanan sangat
penting karena kompetisi untuk memperoleh makanan lebih tinggi pada padat
penebaran yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran yang lebih rendah. Oleh
karena itu, pada padat penebaran lebih tinggi ukuran ikan lebih bervariasi sedangkan
padat penebaran yang lebih rendah relatif seragam dan ukurannya lebih besar
(Serdiati, 1988).
Sebagai data penunjang pertumbuhan diperlukan data kelangsungan hidup.
Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir
periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004).
Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan
kemampuan ikan untuk hidup. Dalam usaha budidaya, faktor kematian yang
mempengaruhi kelangsungan hidup larva atau benih. Mortalitas ikan disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam tubuh ikan yang
mempengaruhi mortalitas adalah perbedaan umur dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi
antar spesies, meningkatnya predator, parasit, kurang makanan, penanganan,
penangkapan dan penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama.
Kematian ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah oleh kondisi
abiotik, ketuaan, predator, parasit, penangkapan dan kekurangan makanan
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).
Dalam hal ini perlu upaya peningkatan kelangsungan hidup yang dapat
dilakukan dengan pengaturan padat tebar, kualitas air dan ketersediaan pakan sesuai
yang optimal dan kelangsungan hidup yang maksimal. Tingkat kelangsungan hidup
akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan
yang dipelihara. Ikan yang lebih kecil akan rentan terhadap penyakit dan parasit.
Kelangsungan hidup ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
diantaranya kepadatan dan kualitas air. Umumnya laju kelangsungan hidup benih lebih
tinggi dibandingkan larva, karena benih lebih kuat (Effendi, 2004).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April tahun 2014, dan
dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Kultur Cacing Sutera
Bahan-bahan yang digunakan pada kultur cacing sutera antara lain pasir halus,
yang digunakan adalah papan, terpal/plastik hitam, pompa air, pipa paralon, saringan
halus, tali plastik, ember, gayung plastik, sarung tangan, masker, gelas ukur, selang,
timbangan dan pompa air.
Perlakuan dengan Ikan Botia
Bahan-bahan yang digunakan pada budidaya ikan botia antara lain benih ikan
botia ukuran 3-4 cm, oxytetracyline (OTC) dan pelet ikan hias. Sedangkan alat-alat
yang digunakan adalah akuarium, aerator, pipa paralon, pompa air, kertas karton,
plastik putih, saringan busa, selang sipon, dan mangkok.
Pengamatan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada saat pengamatan antara lain cacing sutera
dan benih ikan botia. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah kertas milimeter
blok, timbangan analitik, pH-meter, DO-meter, termometer, penggaris, saringan kasar,
kamera digital, buku catatan, dan alat tulis.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kultur Cacing Sutera
Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan untuk kultur cacing sutera ialah kotak yang terbuat dari
kayu. Kotak kayu berukuran 100 x 50 x 20 cm dan dialasi dengan terpal atau plastik
hitam dan dilengkapi dengan tandon berukuran 100 x 50 x 100 cm dan dialasi juga
dengan terpal yang berfungsi sebagai bak penampungan air. Wadah kultur akan dialiri
tumpah dari wadah kultur cacing sutera akan ditampung dalam bak penampungan
yang terbuat dari kotak kayu dengan alas terpal atau plastik dengan pompa untuk
mengaliri air kembali kedalam bak tandon.
Persiapan Pupuk Organik Cair
Kotoran yang digunakan adalah kotoran ternak ayam, sapi, dan domba.
Kotoran yang digunakan merupakan kotoran sekam. Kotoran ayam berasal dari
peternakan ayam Kandang Baru (TAMORA), kotoran domba berasal dari jurusan
peternakan Fakultas Pertanian USU, sedangkan kotoran lembu berasal dari kandang
sapi masyarakat lokal daerah Simalingkar B, Medan Sumatera Utara. Kotoran sekam
kemudian dibersihkan terlebih dahulu hingga menjadi bersih dari sampah, kemudian
timbang dengan perbandingan 1:1 yaitu sebanyak 1 kg kotoran, diberi air sebanyak 1
liter. Kemudian diaduk sehingga kotoran tercampur merata dengan air, setelah diaduk
merata kemudian dimasukkan kedalam ember dan ditutup selama 10 hari untuk proses
fermentasi. Pupuk organik cair yang digunakan untuk pemupukan kultur cacing sutera
sebanyak 2 liter pupuk per hari dengan pemberian sekali dalam sehari. Pembuatan
pupuk organik cair masing-masing kotoran ternak dilakukan secara langsung sebanyak
20 kg pupuk dan dicampur dengan 20 liter air.
Kultur Cacing Sutera
Pakan alami berupa cacing sutera yang masih hidup dan segar yang didapatkan
dari penjual ikan hias di Jalan Dr. Mansyur, Medan, Sumatera Utara. Cacing sutera
yang dikultur terlebih dahulu ditimbang seberat 100 g (3.333 individu/wadah) sebagai
awal penebaran. Cacing sutera tersebut dibersihkan terlebih dahulu dengan
menggunakan air bersih mengalir untuk menghilangkan lumpur yang menempel pada
dimana 100 g untuk 1 wadah kultur. Wadah kultur yang pertama diberi pupuk organik
cair kotoran ayam, wadah kultur yang kedua diberi pupuk organik cair kotoran domba,
dan wadah kultur yang ketiga diberi pupuk organik cair kotoran sapi. Cacing sutera
yang sudah ditebar akan dipupuk dengan masing-masing 2 liter pupuk organik cair per
hari dan dipupuk selama 50 hari pemeliharaan.
Persiapan Panen Cacing Sutera
Cacing sutera dipanen ketika sudah dikultur selama 20 hari pemeliharaan.
Pemanenan cacing sutera dengan cara mengambil substrat dengan menggunakan
ember kemudian dipisahkan antara cacing dan substrat dengan menggunakan saringan
dan cacing sutera diambil dengan menggunakan tangan dan dipisahkan ke wadah
pemanenan. Cacing yang telah dipanen kemudian dibersihkan dengan air mengalir
sehingga diperoleh cacing yang siap menjadi pakan pada pemeliharaan benih ikan
botia. Hal ini terus dilakukan hingga diperoleh jumlah cacing sutera yang diinginkan.
Persiapan Pemeliharaan Benih Ikan Botia
Persiapan Wadah Pemeliharaan
Wadah untuk penelitian benih ikan botia menggunakan 15 buah akuarium
dengan ukuran 60 x 40 x 40 cm yang diisi air sebanyak 72 liter serta dilengkapi
dengan aerator sebagai penyuplai oksigen.
Penebaran Ikan Botia
Benih ikan botia yang digunakan ini berasal dari Balai Riset Budidaya Ikan
Hias (BRBIH) Depok, dengan panjang 3-4 cm dengan berat 0,5-1 g. Dan benih yang
diambil harus sehat dengan melihat warna yang cerah dan bergerak aktif dengan padat
sampai di unit pelaksana teknis budidaya terlebih dahulu di aklimatisasi pada bak
penampungan sementara dengan menggunakan aerasi tanpa penggunaan sistem
resirkulasi dan diberi oxytetracyline (OTC) dengan dosis 0,01 mg/l dengan air yang
telah diendapkan selama kurang lebih 3 hari dan aerasi berjalan 24 jam setiap harinya.
Perlakuan Pemberian Pakan
Dalam penelitian ini yang menjadi pakan benih ikan botia adalah cacing sutera
yang tidak diberi pupuk, diberi berbagai jenis pupuk organik cair (kotoran ayam, sapi
dan domba) dan pelet ikan hias. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 1 kali sehari
yaitu pada pukul 08.00 WIB dengan frekuensi pakan yang diberikan secara ad libitum
atau sekenyang-sekenyangnya. Perlakuan pertama yang dilakukan ialah dengan
menguji coba pemberian pakan dengan jumlah 0,1 g, 0,2 g, 0,4 g, 0,5 g, dan 1 g. Dan
diamati jumlah makanan yang habis dan bersisa selama 8 jam, dan 1 g didapati
sebagai hasil pakan yang dikonsumsi 10 ekor ikan botia dalam waktu 8 jam, sehingga
diberikan jumlah pakan 3 g (menggunakan timbangan analitik) perhari dalam
frekuensi 1 kali sehari.
Pengukuran Panjang dan Berat Ikan Botia
Pengukuran sampel benih ikan botia dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan
ikan dan tingkat penyesuaian ikan terhadap pakan dan lingkungan agar dapat bertahan
hidup. Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil ikan contoh sebesar 100 %
(seluruhnya) untuk ditimbang beratnya dengan timbangan analitik dan diukur panjang
ikan dengan menggunakan milimeter blok yang telah dilaminating. Pengukuran yang
digunakan adalah panjang total yaitu dari ujung mulut hingga ke ujung ekor.
untuk kelangsungan hidup benih ikan dilakukan perhitungan ikan pada awal penelitian
dan pada akhir penelitian terhadap keseluruhan jumlah ikan.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan, masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 3 kali ulangan, dimana dijelaskan sebagai berikut :
1. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran ayam (KTPFKA)
2. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran sapi (KTPFKS)
3. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran domba (KTPFKD)
4. Tubifex tanpa perlakuan (TTP)
5. Pelet ikan hias (PIH)
Analisis Data
Data percobaan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel dan hasil data
percobaan ditabulasikan dengan ANOVA. Data tersebut akan dijelaskan secara
deskriptif. Sedangkan model rancangan percobaan yang digunakan yaitu sebagai
berikut :
Yij = μ + δi + εij (Steel dan Torrie, 1982)
Keterangan : Yij = Hasil Pengamatan
μ = Nilai Tengah
δi = Nilai tambah akibat perlakuan
Parameter Pengamatan
Tingkat Kelangsungan Hidup
Pertambahan bobot mutlak ikan dihitung dengan rumus (Goddard, 1996) :
SR (%) = Nt
No x 100 %
Keterangan :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
Pertambahan Panjang Mutlak
Pertambahan panjang mutlak ikan uji dihitung mengikuti rumus yang
digunakan oleh Effendie (1997) :
∆L = Lt−Lo
Keterangan :
L = Pertambahan panjang mutlak (cm)
Lt = Panjang rata-rata individu pada waktu t (cm)
Lo = Panjang rata-rata individu pada awal penelitian (cm)
Pertambahan Bobot Mutlak
Pertambahan bobot mutlak ikan dihitung dengan mengikuti rumus Effendie
(1997) :
∆t = Wt−Wo
Keterangan :
Wt = Berat rata-rata pada waktu ke t (g)
Wo = Berat awal penebaran benih (g)
Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan harian ikan uji dihitung mengikuti rumus Effendie (1997) :
G = (LnWt−LnWo)
t x 100 %
Keterangan :
G = Laju Pertumbuhan Spesifik (%)
Wt = Berat ikan pada akhir penelitian (g)
Wo = Berat ikan pada awal penelitian (g)
t = Waktu pemeliharaan (hari)
Kualitas Air
Pengamatan parameter kualitas air dilakukan setiap pagi hari sebelum
pemberian pakan, dikecualikan pada oksigen terlarut yang di ambil setiap 10 hari
sekali. Data kualitas air (Tabel 1.) adalah suhu air, DO, dan pH. Untuk menjaga
kualitas air agar tetap terkontrol maka dilakukan penyiponan setiap 10 hari sebelum
pemberian pakan pada pagi hari. Penyiponan dilakukan dengan cara mengurangi air
sebanyak 100% dari tinggi volume air pada akuarium.
Tabel 1. Data Kualitas Air
Parameter Satuan Metode
Suhu oC Pembacaan Skala
Oksigen Terlarut Mg/l Pembacaan Skala
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kultur Cacing Sutera
Kultur cacing sutera yang dilakukan pada wadah kotak kayu dengan sistem
resirkulasi air dimana perlakuan pemberian satu jenis pupuk organik cair untuk
masing-masing wadah kultur cacing sutera (Gambar 4.). Populasi dan biomassa cacing
sutera diperoleh selama 50 hari pemeliharaan yakni pada wadah kultur dengan
pemberian pupuk organik cair kotoran ayam diperoleh hasil sebesar 255.18 g (8.506
individu/wadah), pada pemberian pupuk organik cair kotoran sapi sebesar 259.40 g
(8.646 individu/wadah) dan pada pemberian pupuk organik cair kotoran domba
Gambar 4. Wadah Kultur Cacing Sutera dengan Berbagai Jenis Pupuk Kandang
Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia
Tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia selama 30 hari pemeliharaan
(Gambar 5.) tidak mengalami penurunan pada masing-masing perlakuan dengan
kisaran 100%. Data kelangsungan hidup benih ikan botia (Lampiran 1.) memperoleh
nilai tertinggi sebesar 100% pada seluruh perlakuan dimana padat tebar ikan 10
ekor/72 liter air.
Gambar 5. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia
Ikan botia mengalami pertumbuhan panjang selama 30 hari pemeliharaan
(Gambar 6.) dari 3.90-4.14 cm menjadi 4.14-5.15 cm. Dari data panjang rata-rata
benih ikan botia (Lampiran 2.) diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan berkisar antara
0.14 cm hingga 1.02 cm (Gambar 7.). Hasil analisis ragam (Lampiran 4.) menyatakan
bahwa pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan beberapa jenis pupuk
kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang mutlak
(Fhit>0.05)
Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Botia
Gambar 7. Panjang Rata-Rata Benih Ikan Botia.
Bobot Mutlak Benih Ikan Botia
Benih ikan botia mengalami perubahan dalam 30 hari pemeliharaan diketahui
dari data bobot rata-rata benih ikan botia (Lampiran 3.), bahwa terjadi peningkatan
bobot rata-rata benih ikan botia berkisar antara 0.09 g hingga 0.91 g (Gambar 9.).
Hasil analisis ragam (Lampiran 5.) menyatakan bahwa pemberian pakan cacing sutera
yang dikultur dengan beberapa jenis pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata
terhadap pertambahan bobot mutlak (Fhit>0.05).
Gambar 8. Pertumbuhan Bobot Benih Ikan Botia
Gambar 9. Bobot Rata-Rata Benih Ikan Botia
Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia
Selama 30 hari masa pemeliharaan benih ikan botia diperoleh data laju
pertumbuhan bobot harian berkisar antara 0.27% hingga 2.57% (Gambar 10.). Hasil
dengan beberapa jenis pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap laju
pertumbuhan harian (Fhit>0.05).
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia
Kualitas Air
Hasil pengamatan data kualitas air (Tabel 2.) dari 30 hari pemeliharaan benih
ikan botia diperoleh kisaran suhu antara 26.1-27.7oC. Nilai pH berkisar antara 7-7.6,
serta nilai kelarutan oksigen (DO) berkisar antar 8.1-8.8 ppm.
Tabel 2. Data Kualitas Air Wadah Pemeliharaan Benih Ikan Botia
Perlakuan Parameter Kualitas Air
Suhu (oC) pH DO (ppm)
KTPFKA 26.7-27.4 7.2-7.6 8.1-8.3
KTPFKS 26.3-27.7 7.2-7.4 8.2-8.3
KTPFKD 26.1-27.4 7-7.3 8.3-8.5
TTP 26.3-27.1 7-7.1 8.7-8.8
PIH 26.3-27.3 7.3-7.6 8.4-8.6
Pembahasan
Kultur Cacing Sutera
kotoran ayam. C/N juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan
bagi cacing. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri
memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan
tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat.
Menurut Darmawati (2013), apabila rasio C/N yang terlalu tinggi artinya
pupuk organik cair ini masih mengandung fraksi-fraksi padat, jika rasio C/N terlalu
rendah berarti kandungan nitrogen semakin tinggi sehingga akan menghasilkan
amonia pada proses fermentasi sedangkan menurut Supadma dan Arthagama (2008)
yang menyatakan limbah kotoran ayam menghasilkan rasio C/N yang paling rendah
jadi semakin tinggi kadar N bahan dasar, maka semakin mudah mengalami tingkat
dekomposisi, kadar N-total yang semakin tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan
lapangan, fermentasi kotoran ayam segar selama 10 hari menimbulkan bau yang tidak
sedap hal ini berbeda dengan fermentasi kotoran sapi dan domba.
Adanya perbedaan jumlah populasi dan biomassa cacing sutera pada perlakuan
fermentasi kotoran domba dan sapi akibat jumlah bahan organik yang dapat
terkandung pada kotoran berbeda, dimana menurut Rahman (2012) pemakaian kotoran
sapi fermentasi pada budidaya cacing sutera memiliki nilai C/N tertinggi dari pada
fermentasi kotoran ayam dan puyuh, sedangkan Chamberlain dkk., (2001) pemakaian
bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif
tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri. Jika dibandingkan dengan domba maka nilai C/N sapi juga lebih tinggi karena
jumlah konsumsi sapi akan bahan berserat jauh lebih banyak dibandingkan domba.
Tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia yang diberi perlakuan pada saat
pemeliharaan menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak ada yang mengalami
kematian, sehingga perlakuan pemberian pakan yakni kultur cacing sutera dengan
pupuk kandang ayam, pupuk kandang sapi, pupuk kandang domba, dan cacing sutera
tanpa pemberian perlakukan pupuk kandang dan pelet ikan hias tidak memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap kelangsungan hidup benih ikan botia. Tingkat
kelangsungan hidup benih ikan botia mencapai nilai 100% pada setiap perlakuan juga
menunjukan bahwa tidak ada pengaruh pada penebaran dan juga kualitas air pada saat
pemeliharaan benih ikan botia selama 30 hari.
Menurut Effendie (1997), bahwa kelangsungan hidup ikan disebabkan oleh
banyak faktor, salah satunya padat tebar ikan yang terlalu tinggi. Padat tebar
merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
dan pertumbuhan ikan dalam persaingan gerak, dan konsumsi oksigen. Kelangsungan
hidup dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui toleransi dan kemampuan
hidup ikan dalam suatu populasi dengan melihat mortalitas ikan.
Laju Pertumbuhan Benih Ikan botia
Menurut Effendie (1997), pertumbuhan adalah perubahan ukuran baik panjang,
bobot maupun volume dalam kurun waktu tertentu, atau dapat juga diartikan sebagai
pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis, yang terjadi apabila
ada kelebihan pasokan energi dan protein. Pertumbuhan panjang mutlak (L) benih ikan
botia menunjukkan hasil tertinggi pada perlakukan pemberian pakan cacing sutera
cm dan terendah menunjukkan hasil sebesar 0.14 cm pada perlakukan pemberian
pakan pelet ikan hias ikan terhadap benih ikan botia.
Benih ikan botia menunjukan respon terhadap pakan pelet ikan hias yang
rendah dikarenakan benih ikan botia memerlukan adaptasi untuk dapat memakan pelet.
Berbeda dengan cacing sutera yang diberikan menunjukkan respon benih ikan botia
yang tinggi yang menyatakan benih ikan botia lebih dominan mengkonsumsi pakan
alami (cacing sutera) yang merangsang benih ikan botia melalui gerakan daripada
pakan buatan (pelet) dikarenakan jumlah kandungan protein pada pakan alami (cacing
sutera) lebih tinggi dari pakan buatan. Berdasarkan komposisi pelet ikan hias yang
digunakan pada saat penelitian terdiri dari kandungan protein 48% dan lemak 6%,
sedangkan cacing sutera memiliki kandungan protein sebesar 57% dan kadar lemak
13%. Menurut Jauncey (1982) diacu oleh Nofyan (2005), kualitas pakan sangat
mempengaruhi laju pertumbuhan organisme, terutama besarnya kadar protein didalam
pakan tersebut. Protein merupakan bagian yang terbesar dari daging ikan.
Menurut Ekavianti (2004), bahwa ikan botia merupakan ikan karnivora yang
membutuhkan kadar protein yang lebih tinggi, dan ikan botia lebih menyukai pakan
alami cacing sutera dibandingkan pelet buatan dikarenakan kadar protein cacing sutera
lebih tinggi dari pada pakan buatan. Respon rendah benih ikan botia terhadap pelet
ikan hias dari pada cacing sutera mengakibatkan pertumbuhan panjang mutlak
terendah pada saat pemeliharaan benih ikan botia selama 30 hari pemeliharaan.
Hal ini juga terjadi pada laju pertumbuhan harian (GR) benih ikan botia,
dimana nilai tertinggi pada perlakuan pemberian pakan cacing sutera yang dikultur
dengan pupuk kandang domba yaitu sebesar 2.57%, dan terendah pada pelet ikan hias
bobot ikan dimana bobot mutlak (W) dengan nilai tertinggi pada perlakuan pemberian
cacing sutera yang dikultur dengan pupuk kandang domba yaitu sebesar 0.91 g, dan
terendah pada perlakuan pemberian pakan pelet ikan hias yaitu sebesar 0.09 g.
Pada penelitian ini pemberian pakan terhadap benih ikan botia diberikan secara
ad libitum dimana ikan tidak memiliki frekuensi pemberian pakan. Pemberian pakan
diberikan sekali sehari pada puku 08:00 WIB. Dimana mempengaruhi pada perlakuan
pemberian pakan berupa pelet. Menurut Ekavianti (2004), kelemahan dari pakan
buatan adalah bila terlalu lama berada di air akan larut dan menyebabkan air menjadi
keruh. Sisa pakan akan menghasilkan amoniak, terutama dari pakan dengan
kandungan protein tinggi, yang akhirnya menyebabkan kualitas air menurun. Ini jelas
mempengaruhi laju pertumbuhan harian dan bobot dari benih ikan botia meninjau
kelemahan dari pelet ikan hias yakni cepat hancur (amoniak), sehingga ketika lambung
benih ikan botia kosong makanan tidak tersedia.
Berdasarkan uji statistik, bahwa nilai tertinggi pada perlakukan pemberian
pakan cacing sutera yang diberi pupuk kandang domba berbeda nyata terhadap
pertumbuhan panjang dan bobot benih ikan botia, tapi tidak signifikan terhadap
perlakuan yang diberikan pada cacing yaitu pupuk kandang yang berbeda (ayam, sapi
dan domba) terhadap pertumbuhan panjang dan bobot benih ikan botia. Sedangkan
perlakuan pemberian pakan pelet ikan hias menunjukkan berbeda nyata terhadap
perlakuan kultur cacing sutera dengan pemberian pupuk kandang ayam, sapi dan
domba.
Menurut Syarip (1988), pemupukan dalam budidaya cacing sutera bertujuan
untuk menambah sumber makanan baru pada media pemeliharaan cacing sutera.
pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media.
Tingginya bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel
organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan
makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing.
Kualitas Air
Berdasarkan data penunjang kualitas air yang dihasilkan selama pemeliharaan
benih ikan botia masih berada dalam kisaran normal. Lingga dan Susanto (2003),
menyatakan bahwa kandugan oksigen terlarut untuk pertumbuhan yang optimal bagi
sintasan ikan botia harus selalu lebih dari 5 mg/liter. Sedangkan menurut Panjaitan
(2004), dalam penelitiannya menunjukan bahwa suhu 27.16-27.44oC memperoleh hasil tertinggi dalam pertumbuhan panjang dan bobot ikan botia. Menurut Boyd
(1982), pH ideal untuk kehidupan ikan yatiu 6.5-9.0. Nilai pH dibawah 4 dan diatas 11
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia
sebesar 100% pada setiap perlakukan. Dan hasil tertinggi diperoleh dari perlakuan
pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan menggunakan fermentasi kotoran
domba (KTPFKD) terhadap pertambahan panjang mutlak (L) sebesar 1.02 cm,
pertambahan bobot mutlak (W) sebesar 0,91 g, dan laju pertumbuhan harian (GR)
sebesar 2.57%. Hasil terendah didominansi dari perlakuan pemberian pakan pelet ikan
hias (PIH) terhadap pertambahan panjang mutlak (L) sebesar 0.14 cm, pertambahan
bobot mutlak (W) sebesar 0.09 g, dan laju pertumbuhan harian (GR) sebesar 0.27%.
Dan kualitas air termasuk optimal untuk pertumbuhan benih ikan botia pada setiap
perlakuan yakni suhu 26.1-27.7 oC, pH 7-7.6, dan DO sebesar 8.1-8.8 ppm.
Saran
Disarankan dalam pemeliharaan benih ikan botia ukuran 3.9-4 cm dengan
pemberian pakan pelet ikan hias diberikan dengan frekuensi pemberian pakan. Selain
itu disarankan pula pemeliharaan benih ikan botia menggunakan pakan yang