PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT KABUPATEN SAMOSIR
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1(S-1) di Fakultast Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara Oleh:
SAMUEL JUNIKO SAGALA 090905035
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Samuel Juniko Sagala
NIM : 090905035
Departemen : Antropologi Sosial
Judul : Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Kabupaten
Samosir
Medan, Juni 2015
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Antropologi
Drs. Yance, M.Si Dr. Fikarwin Zuska
NIP. 195803151988031003 NIP. 196212201989031005
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
PENGELOLAAN HUTAN OLEH MASYARAKAT KABUPATEN SAMOSIR
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini,saya bersedia diproses
secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juni 2015
ABSTRAK
Samuel Juniko Sagala, 2015. Judul Skripsi: Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Kabupaten Samosir. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 85 halaman, 5 gambar,4 tabel dan bagan daftar pustaka.
Pengelolaan sumber daya alam pada saat ini sudah sampai pada titik yang sangat kritis. Adanya perbedaan paham mengenai konsep pengelolaan hutan antara warga dengan pemerintah mengakibatkan lahan hutan semakin mengalami kerusakan. Perkembangan yang terjadi dalam sistem tata kelola hutan bahkan tidak mengalami proses perbaikan.
Adanya tiga pihak yang terlibat dalam pengelolahan hutan di Kabupaten Samosir yakni masyarakat, pengusaha dan pemerintah malah terkadang memunculkan perselisihan antara masing-masing ketiganya.Penelitian ini mendapatkan gambaran bahwa pengolahan hutan oleh masyarakat Kabupaten Samosir harus segera dirubah caranya.Sebab permasalahan yang ada menurut peneliti mengharuskan masyarakat dan pemerintah untuk duduk bersama menyelesaikan masalah ini.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam mengenai pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat Kabupaten Samosir. Teknik penelitian yang digunakan ialah wawancara dan observasi terhadap pihak-pihak terkait dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini ialah tentang pemahaman masyarakat mengenai hutan, cara masyarakat dalam mengelola hutan secara turun temurun hingga saat ini menjadi sebuah pertentangan antara sesama masyarakat dan pemerintah. Jelas terlihat bahwa adanya ketimpangan antara peraturan dan pemahaman masyarakat yang timbul dengan dasar cara masyarakat mengelola hutan. Skripsi ini juga menjelaskan bagaimana pengelolaan hutan oleh pemerintah, LSM dan juga pengusaha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kemudahan, kelancaran
dan kemurahan rezeki sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan di
Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan menyelesaikan skripsi mengenai
Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Kabupaten Samosir. Saya juga menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya saran,
bimbingan dan dukungan dari semua pihak.
Oleh karena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Seluruh Keluarga saya yang senantiasa mengasihi, mendidik,
membimbing dan memotivasi saya.Terutama Kepada kedua orang tua saya Kores
Sagala dan Jujur Hutabarat yang senantiasa ada sepanjang hidup saya. Mereka
yang selalu memberikan apa yang dibutuhkan anak-anaknya, menjadi tempat
sandaran dalam menjalani hidup, dan selalu sabar dalam menghadapi segala
cobaan dalam hidup kami. Kepada kedua adik saya Conny Gresella Sagala dan
Sonia Maranatha Sagala yang selalu memberikan senyum untuk menyemangati
saya.Tanpa mereka semua saya tidak yakin skripsi ini dapat saya tuntaskan
dengan baik.
Saya juga menyampaikan terima kasih yang sangat tulus kepada Bapak
Drs. Yance, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi
saya yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, perhatian, bimbingan serta
penyusunan proposal sampai pada akhir penyusunan skripsi ini. Bahkan sudah
saya anggap sebagai ayah kedua selama saya menjadi mahasiswa.
Saya juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Fikarwin
Zuska selaku ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU atas dukungan,
bimbingan dan arahan yang selama ini telah di berikan kepada saya. Kepada
Bapak Prof. Dr. Badaruddin. M.Si selaku Dekan FISIP USU; Drs. Agustrisno
MSP., selaku Sekertaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang selalu
mengingatkan saya terhadap proses perkuliahan, penelitian dan ilmu dalam
perkuliahan; Bapak Drs. Lister Berutu. MA selaku Ketua Laboratorium
Antropologi Sosial FISIP USU yang selalu memeberikan nasehat, bimbingan,
ilmu dalam penelitian, semangat dan arahan selama menjadi mahasiswa ; Ibu
Rhyta Tambunan yang selalu memberikan ilmu dan nasehat; Para dosen
Departemen Antropologi Sosial, Staf Administrasi, Departemen Antropologi,
Staf Pegawai FISIP, Pegawai Perpustakaan FISIP dan Pegawai Perpustakaan
USU.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada seluruh informan saya
yang telah memberikan informasi dalam melengkapi data skripsi ini, terlebih
kepada Bapak Limbong dari Dinas Kehutanan yang telah banyak memberikan
data dan masukan atas skripsi ini.
Terima kasih kakak Noor Aida Hasibuan yang juga banyak membantu saya
dalam menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. Kepada seluruh
Kerabat Antropologi 2009 yang selalu menjadi teman dan saudara saya selama
Aidtya Syafni, Christian Sidabalok, Rizki Ananda, Asrul, Swandi, Bastian
Tambunan, Agus Samuel, Azhari Ichlas dan Sri Fusanti yang telah banyak
membantu saya selama menjalani perkuliahan.
Kepada kerabat Saya 2010, terutama Gorat Siahaan, Iyan Sinuraya,
Mario, Jop, Mark, Sabam, Dina dan Mega. Kerabat 2011 terutama kepada
Jayanti, Jisman, Dika, Ryan, Septian, Rianda, Prasetyo dan Benry yang menjadi
teman berdiskusi saya.2012, Lestari, Hendra, winggo, Ali, Fajrin, Indra bako,
Drixen, Widya, Fritz, Endro dan Vande Sitanggang yang selalu memberikan
semangat. Kepada Kerabat Saya 2013 Boy, Sandi, Nazla, Habibah, Carol, Daniel
dan Riri Zulfiandari yang sudah sangat banyak membantu saya. Kerabat 2014
Yosua, David, Eunike, Sinta dan Gres Ayesha yang senantiasa jadi penyemangat
saya. Juga kepada senior-senior yang sangat banyak memberikan masukan, Ibnu
Avena Matondang, Tino, Thia Ayu, Nessya, Hery Manurung, Arifin Hasibuan,
Taupik dan Jonathan Tarigan.
Kepada Semua Teman saya di Ghetto Medan, Taqien, Agus, Dani, Imam,
Agus, Iqbal dan Bibir yang banyak berperan untuk membantu saya dalam
pengerjaan skripsi ini, kalian teman terhebat. Terima kasih yang sangat besar juga
kepada segenap pengurus INSAN (IKATAN DONGAN SABUTUHA
ANTROPOLOGI) yang senantiasa mendukung dan mempercayai saya selama
masa Jabatan Pengurus INSAN. Kepada seluruh pihak yang tidak saya tuliskan
satu persatu yang membantu saya dalam proses perkuliahan dan penyelesaian
skripsi. Semoga Tuhan membalas seluruh kebaikan yang telah saya terima selama
Saya sangat menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu saya sangat berharap akan masukan-masukan dari berbagai pihak untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
peneliti dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, Juni2015
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Samuel Juniko Sagala, lahir pada tanggal 16 Juni 1991 di Kabanjahe. Anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara dari pasangan Bapak Kores Sagala dan Jujur Hutabarat, beragama Kristen Protestan. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD St. Yoseph Kabanjahe pada tahun 2003, SMP N 1 Kabanjahe pada tahun 2006 dan SMA di SMA N 2 Pangururan.Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan spesifikasi Ilmu Antropologi Sosial. Alamat email sam.sallyblackers@gmail.com.
Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi antara lain:
Anggota Marching Band tahun 2004
Menjadi salah satu pelatih Marching Band SMA N 2 Pangururan pada tahun 2009 dan 2010
Ketua Himpuan Mahasiswa Departemen Antropologi FISIP USU, INSAN (Ikatan Dongan Sabutuha Antropologi) pada tahun 2012 sampai sekarang. Mengikuti Pelatihan “ Training Of Facilitator” angkatan I Oleh Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2012
Ketua Panitia dalam Seminar “Kontribusi Antropologi Dalam
Pembangunan”pada tahun 2013
Mengikuti Seminar “Draft Buku Sejarah Berdirinya Kabupaten Pakpak Bharat” tahun 2013
Panitia dalam kegiatan bincang-bincang dengan Direktur Jenderal
Kebudayaan, Prof. Kacung Marijan, MA. Ph.D berthema “Kebudayaan
Indonesia di Era Globalisasi” tahun 2014
KATA PENGANTAR
Skripsi merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi di
Departenen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Umatera Utara.Skripsi dengan judul Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Kabupaten Samosir yang disusun oleh penulis ini bermaksud untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir ini memiliki daya tarik sendiri
bagi penulis untuk dibahas. Pegelolaan yang menimbulkan pro kontra diantara
sesama masyarakat, pemerintah dan mempengaruhi kestabilan hutan menjadi
sebuah masalah yang kerap terjadi di Kabupaten Samosir. Sebahagian masyarakat
menganggap pengelolaan yang mereka lakukan merupakan sebuah cara yang
sudah mereka lakukan turun temurun. Masyarakat menganggap proses
pengelolaan yang mereka lakukan ini tidak terlalu menghasilkan dampak yang
kontras.
Skripsi ini akan mencoba menjelaskan bagaimana sebenarnya
proses-proses yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan hutan, efek -efek yang
timbul melalui pengelolaan dan ekosistem yang terdapat didalam hutan tersebut.
Pemerintah dengan peraturan-peraturan yang dibuat mencoba menghambat
pengelolaan yang mengakibatkan kerusakan hutan. Dilain sisi masyarakat
menganggap pengelolaan mereka sudah benar dan tidak menjadi masalah
Masyarakat dengan cara mereka mengelola hutan dan pemerintah dengan
peraturan yang ada sering sekali menghadapi benturan pemahaman. Terlihat jelas
belum ditemukannya titik temu dan jalan keluar anatara pemahaman masyarakat
mengenai pengelolaan hutan dengan peraturan yang dibuat pemerintah.Setelah
melakukan pengamatan sekian lama dan dilanjutkan dengan penelitian maka
penulis berharap skripsi ini dapat memaparkan bagaimana sebenarnya
pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat Kabupaten Samosir. Penulis
menyadari banyaknya kekurangan didalam penuliisan skripsi ini, untuk itu saya
sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
skripsi ini.Penulis juga berharap kelak skripsi ini dapat menjadi tinjauan dasar
mahasiswa dalam mmelakukan pengembangan penelitian terhadap hutan di
Kabupaten Samosir. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam kemajuan Ilmu
Pengetahuan.
Medan, Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16
1.5 Metode Penelitian ... 16 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten samosir ... 23
2.2 Sejarah Suku Batak Toba ... 28
2.7.1 Luas Kawasan Hutan Kabupaten Samosir ... 33
2.7.2 Hutan Lindung ... 34
2.7.3 Hutan Produksi ... 34
2.7.4 Lahan Krisis dan Gundul ... 34
2.7.5 Luas Kawasan Hutan berdasarkan Keadaan Vegetasi ... 35
2.7.6 Luas Kawasan Hutan per Kecamatan di Kabupaten Samosir 35 2.8 Sistem Mata Pencarian ... 36
BAB III SISTEM PENGETAHUAN MASYARAKAT DESA MENGENAI HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR 3.1 Asal Usul Sistem Pengetahuan Masyarakat ... 38
3.2 Arti Hutan Bagi Masyarakat Samosir ... 40
3.3 Sistem Pengetahuan Masyarakat Tentang Ekosistem Hutan Samosir ... 42
3.3.1 Flora... 42
3.3.3Tanah ... 47
3.3.4 Air ... 49
3.3.5 Udara ... 50
3.4 Peranan Hutan Samosir Bagi Samosir... 50
3.4.1 Peranan Hutan Samosir Secara Langsung ... 51
3.4.2 Peranan Hutan Samosir Secara Tidak Langsung... 52
3.5 Folklore Tentang Hutan... 53
3.6 Larangan ... 54
3.7 Tradisi Masyarakat Dalam Mengelola Hutan ... 55
3.8 Pesan Moral Orang Tua Tentang Hutan ... 56
BAB IV CARA PENGELOLAANHUTAN 4.1 Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Lokal ... 58
4.1.1 Pada Zaman Dahulu ... 58
4.1.2 Pada Zaman Sekarang ... 62
4.2 Pengelolaan Hutan Oleh Pengusaha ... 66
4.3 Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan di Samosir ... 68
4.4 Peran LSM (Dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten Samosir 72 4.5 Perubaahan Sosial Yang Terkait Dengaan Hutan ... 74
4.6 Masyarakat Pengusaha dan Pemerintah ... 76
4.7 Pertentangan Antara Masyarakat, Pengusha, LSM dan Pemerintah ... 80
BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 87
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel Kependudukan ... 32 Tabel 2.2. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Keadaan Vegetasi pada
Kawasan Hutan Register ... 35 Tabel 2.3 Luas Kawasan Hutan Perkecamatan di Kabupaten Samosir... 35 Tabel 2.4 Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Keadaan Vegetasi pada
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Samosir ... 24 Gambar 3.1 Lereng bukit yang masih ditumbuhi oleh pepohonan yang telah
terbakar di kawasan Kabupaten Samosir ... 41 Gambar 4.1 Kambing sebagai hewan ternak warga yang mencari makan di
lereng-lereng bukit ... 65 Gambar4.2. Papan pengumuman yang melatarbelakangi hutan yang masih
terjaga kelestariann ... 76 Gambar 4.3 Papan pengumuman yang membelakangi hutan yang hangus
ABSTRAK
Samuel Juniko Sagala, 2015. Judul Skripsi: Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Kabupaten Samosir. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 85 halaman, 5 gambar,4 tabel dan bagan daftar pustaka.
Pengelolaan sumber daya alam pada saat ini sudah sampai pada titik yang sangat kritis. Adanya perbedaan paham mengenai konsep pengelolaan hutan antara warga dengan pemerintah mengakibatkan lahan hutan semakin mengalami kerusakan. Perkembangan yang terjadi dalam sistem tata kelola hutan bahkan tidak mengalami proses perbaikan.
Adanya tiga pihak yang terlibat dalam pengelolahan hutan di Kabupaten Samosir yakni masyarakat, pengusaha dan pemerintah malah terkadang memunculkan perselisihan antara masing-masing ketiganya.Penelitian ini mendapatkan gambaran bahwa pengolahan hutan oleh masyarakat Kabupaten Samosir harus segera dirubah caranya.Sebab permasalahan yang ada menurut peneliti mengharuskan masyarakat dan pemerintah untuk duduk bersama menyelesaikan masalah ini.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam mengenai pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat Kabupaten Samosir. Teknik penelitian yang digunakan ialah wawancara dan observasi terhadap pihak-pihak terkait dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini ialah tentang pemahaman masyarakat mengenai hutan, cara masyarakat dalam mengelola hutan secara turun temurun hingga saat ini menjadi sebuah pertentangan antara sesama masyarakat dan pemerintah. Jelas terlihat bahwa adanya ketimpangan antara peraturan dan pemahaman masyarakat yang timbul dengan dasar cara masyarakat mengelola hutan. Skripsi ini juga menjelaskan bagaimana pengelolaan hutan oleh pemerintah, LSM dan juga pengusaha.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini mendeskripsikan pengelolaan hutan oleh masyarakat di
Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Ketertarikan peneliti mengenai
masalah pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir berawal pada saat peneliti
berkunjung ke daerah tersebut dan melihat bahwa kawasan hutan yang tadinya
masih padat ditumbuhi pepohonan kini telah berubah tandus karena terbakar.
Berdasarkan pengalaman peneliti yang pernah berkunjung ke daerah
tersebut, diperoleh informasi dari penduduk sekitar hutan yang terbakar tadi
bahwa, hutan tersebut sengaja dibakar karena tidak produktif lagi. Hasil dari
kegiatan pembakaran hutan tersebut diharapkan dapat memicu tumbuhnya
rumput-rumput dan tunas-tunas pohon yang baru. Rumput-rumput baru inilah
yang kemudian akan menjadi makanan ternak penduduk setempat.
Peneliti memperoleh informasi awal bahwa penduduk setempat juga
memanfaatkan lahan hutan untuk tempat berladang mereka dengan cara
pembakaran. Tentunya cara pengelolaan hutan dengan peroses pembakaran
menjadi suatu perdebatan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Apakah memang hanya melalui peroses pembakaran sajakah baru bisa diperoleh
lahan yang bagus untuk tempat penggembalaan ternak dan tempat perladangan
tanya besar bagi peneliti yang menggarisbawahipengelolaan lahan hutan di
Kabupaten Samosir dengan cara pembakaran.
Penelitian mengenai pengelolaan hutan di Samosir sebelumnya telah
dilakukan oleh D. Gerorge Sherman. Di dalam tulisannya Sherman membahas
mengenai pengelolaan lahan oleh masyarakat Batak. Dijelaskan bagaimana
masyarakat memanfaatkan padang rumput yang luas sebagai lahan untuk
memperoleh makanan ternak dan menjadi tempat pembukaan lahan perladangan1.
“Orang-orang desa tahu bahwa sapi-sapi mereka menyukai tunas-tunas muda alang-alang: meskipun mereka tidak mengetahui bahwa kadar protein dari tunas-tunas ini adalah lebih tinggi daripada yang terdapat dalam alang-alang yang sudah tua (Soewardi dalam Sherman. 1974).
Untuk melakukan pengelolaan hutan tersebut masyarakat di Kabupaten
Samosir lebih fokus pada proses pengelolaan dengan cara pembakaran saja.
Secara ekonomis, dari pembakaran memang ada dampak positif yang diperoleh
masyarakat yaitu masyarakat tidak perlu susah-susah menghabiskan uang dan
tenaga untuk mengolah lahan. Namun, dari kejadian ini sebenarnya efek yang
ditimbulkan malah akan kontradiktif dengan hasil yang didapat karena efeknya
malah akan mempersulit pertumbuhan tunas pohon.
Pertumbuhan tunas pohon akan mati disaat terjadinya pembakaran.
Sementara alang-alang hanya akan mati untuk sementara karena memiliki akar
yang kuat. Seperti yang dikatakan oleh G Gherman pada buku Michael R. Dove
yang berjudul “ Manusia Dan Alang-Alang Di Indonesia” bahwa hal ini juga
dipersulit dengan penebangan hutan yang dilakukan tanpa bero panjang sehingga rumput ilalang mendominasi kawasan hutan.
Lokasi hutan yang menjadi tempat dilakukannya “pembakaran” oleh
masyarakat untuk kebutuhan makan ternak maupun perladangan ini memang
diakui oleh masyarakat sebagai hutan milik mereka yang diwariskan oleh nenek
-moyang mereka secara turun-temurun. Masyarakat tersebut masuk kedalam
kategori masyarakat hukum adat dimana di dalam UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan dalam Pasal 67 ayat (1) menyebutkan bahwa hak masyarakat
hukum adat adalah:
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Persepsi masyarakat di Kabupaten Samosir yang menganggap bahwa
tanah beserta hutannya adalah milik mereka sendiri hampir sama dengan persepsi
masyarakat lereng Gunung Merapi dalam tulisan Handojo Adi Pranowo (1985
mengetahui seperti dilansir di banyak media masa2 bahwa kerusakan hutan di
Kabupaten Samosir disebabkan oleh pembakaran dan penebangan ilegal yang
terjadi secara masif. Banyak tudingan yang ditujukan kepada para pelaku
“pengerusakan” hutan di Kabupaten Samosir.
Pembahasan mengenai pengelolaan hutan di dalam penelitian ini didasari
oleh pemahaman mengenai ekologi hutan. Hutan merupakan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan (UU RI No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, pasal 1 ayat (2))
Sedangkan ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Indriyanto, 2012:2).
Sehingga dari definisi tersebut ekologi hutan dalam hal ini dapat diartikan sebagai
hubungan timbal balik yang terjadi antara makhluk hidup dan hutan.
Hutan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah hutan yang berada di
wilayah teritorial Kabupaten Samosir secara keseluruhan. Sesuai data yang
diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 hutan di
Kabupaten Samosir terbagi atas dua bagian berdasarkan fungsinya yaitu hutan
produksi 33.950 Ha dan hutan lindung 33.473 Ha.
Seperti diketahui oleh masyarakat luas, hutan merupakan sumber daya
alam yang menjadi salah satu penopang kehidupan masyarakat dalam pemenuhan
2. http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/08/07/110156/penebangan_liar_hutan_ancam lingkungan_samosir/#.VFr2alfNwqU, http://www.antarasumut.com/kerusakan-hutan-ancam-
kebutuhan. Kebutuhan akan sumber daya alam yang terdapat di dalam hutan ini
menjadi salah satu penyebab terjadinya hubungan timbal balik antara manusia
dengan hutan. Hutan sebagai paru-paru dunia adalah ungkapan yang wajar dan
sangat logis untuk ditafsirkan.
Sebagaimana hutan memproduksi oksigen untuk kehidupan manusia dan
hewan. Pohon-pohon yang dikelola oleh manusia digunakan sebagai bahan
pelengkap bagi kehidupan manusia seperti membangun rumah, kayu bakar,
membuat perabotan rumah tangga yang hampir kesemuanya bersumber dari kayu
hutan. Akan tetapi kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan (deforestasi hutan)
akan merusak hutan itu sendiri dan dampaknya sudah pasti sangat buruk bagi
hidup manusia.
Untuk itulah penelitian ini dianggap penting guna memberikan
pengetahuan serta gambaran kepada kita semua bagaimana manusia mengelola
hutan. Banyaknya buku-buku serta artikel yang memuat pembahasan mengenai
pengelolaan hutan juga menjadi bukti bahwa kajian tentang pengelolaan hutan ini
memang penting untuk digali lebih dalam.
Seorang antropolog yang bernama Roy Ellen menuliskan bahwa
manusia yang hidupnya mengandalkan hutan secara aktif mengubah hutan.
Sebagian besar hutan hujan tropis di daratan rendah Indonesia dan di tempat lain
merupakan hasil dari interaksi dan modifikasi oleh manusia yang selektif selama
beberapa generasi untuk mengoptimalkan kegunaannya dan meningkatkan
keragaman hayatinya. Hasilnya adalah proses ko-evolusi (evolusi yang
modifikasi hutan sering dipandang sebagai bagian integral bagi masa depan yang
berkelanjutan.
Bagi sejumlah pakar, bukti perubahan yang dilakukan dengan sengaja
dan bukannya pengaruh manusia yang menemukan sesuatu tanpa sengaja itulah
yang begitu menarik perhatian sehingga timbul istilah dan deskripsi tentang
hutan yang ‘dikelola’ (Ellen, 2002:214)3
. Merujuk dari apa yang dikatakan oleh
Ellen mengenai hutan yang ‘dikelola’ maka muncul pertanyaan-pertanyaan baru yakni siapa yang mengelola? bagaimana cara mengelolanya? dan cara apa saja
yang dilakukan dalam mengelola hutan?Tentunya jawaban dari pertanyaan inilah
yang nantinya akan menggambarkan bagaimana sesungguhnya pengelolaan
hutan itu dilakoni oleh masyarakat.
Penelitian mengenai pengelolaan hutan ini didasari atas pola prilaku yang
terjadi di lapangan. Banyak dari masyarakat Kabupaten Samosir menggantungkan
kehidupannya dari hasil pengelolaan sumber daya hutan. Hal yang paling
menonjol ialah pembakaran hutan dan penebangan hutan yang marak terjadi di
Kabupaten Samosir. Pembakaran hutan dalam hal ini dilakukan masyarakat
dengan tujuan tertentu. Kebakaran ini terjadi pada bulan-bulan menjelang
datangnya musim penghujan disetiap tahunnya. Kebakaran yang secara rutin
terjadi ini banyak mengindikasikan adanya kepentingan bagi masyarakat
sehingga mereka melakukan pembakaran hutan.
Penelitian mengenai pembakaran hutan ini sudah banyak dilakukan dan
ditulis oleh mahasiswa dan para ahli yang terkait dengan kehutanan, sosial dan
lingkungan. Salah satu peneliti yang pernah meneliti mengenai pembakaran hutan
oleh masyarakat Batak Toba ditulis oleh D. George Sherman di dalam buku
Manusia dan Alang-Alang. Pembakaran hutan ini menjadi polemik yang setiap tahun menjadi pembahasan pemerintah, masyarakat dan media massa. Kendati
demikian, kegiatan pembakaran hutan ini tidak mencapai titik terang dan tetap
saja pembakaran hutan terjadi secara berkala.
Tidak hanya pembakaran, penebangan kayu hutan dalam hal ini menurut
peneliti juga sangat menarik perhatian dengan adanya kayu-kayu yang diambil
masyarakat dari hutan. Masyarakat yang melakukan penebangan hutan tersebut
kerap menyatakan bahwa kayu yang mereka tebang merupakan kayu yang
diambil dari tanah milik mereka.
Pemerintah dalam hal ini menilai bahwa pembakaran hutan merupakan
sebuah pelanggaran yang dilakukan tangan-tangan jahil dan harus ditindak.
Namun tidak sekalipun pemerintah mencari solusi dibalik pembakaran hutan.
Pemerintah selalu berusaha mengusut dan menghukum para pelaku pembakaran
hutan tersebut. Sesuai dengan landasan Undang-Undang No. 41 Tahun 1991
Pasal 4 ayat 1 Tentang Kehutanan yang berbunyi “Semua hutan di dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hal ini menempatkan dua paham yang berbeda antara masyarakat dengan
pemerintah. Pemerintah dengan landasan undang-undang menyatakan bahwa
hutan merupakan milik negara sementara masyarakat menyatakan hutan
menyatakan bahwa “Apa yang diharapkan oleh peraturan-peraturan agar dapat terwujud dilapangan, maka lewat relasi-relasi kuasa yang terbentuk dan proses
diantara pelaku, peraturan itupun tak semuanya jalan”.
Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang tentang kehutanan yang
seharusnya menjadi dasar pemerintah dan masyarakat dalam bertindak tidak
berlaku di lapangan. Relasi kuasa dalam hal ini tidak berjalan dengan baik antara
pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tinjauan Pustaka
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang cara pengelolaannya
sangat mempengaruhi tatanan hidup masyarakat dalam berbagai hal. Sebelum
membahas mengenai pengelolaan hutan itu sendiri, pemahaman tentang defenisi
hutan dan sumber daya alam yang terkait dalam hutan ini menjadi penting untuk
kita pahami secara rinci. Didalam bukunya, Indriyanto (2012) mencoba
memaparkan defenisi mengenai hutan dari beberapa sumber:
1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No.
41 Tahun 1999).
2. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau
3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh
pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan
keadaaan luar hutan (Soerianegara dan Indrawan dalam Indriyanto, 2012).
4. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan
dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk
suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief
dalam Indriyanto, 2012)
Defenisi hutan diatas menggambarkan bagaimana kekayaan dan ekosistem
yang terdapat didalam hutan. Kekayaan inilah yang menempatkan hutan sebagai
salah satu penopang kehidupan masyarakat luas. Pentingnya hutan dalam
kehidupan masyarakat dituangkan Rimbo Gunawan dkk didalam tulisannya:
“Hutan bukanlah semata-mata sekumpulan flora dan fauna. Hutan merupakan salah satu landasan ekosistem yang sangat besar peranannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan menyerap, menyimpan dan mengeluarkan air. Hutan merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen. Hutan menjaga dan melindungi tanah dari gerusan air dari sapuan angin. Hutan pun menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bakar, bahan bangunan, dan memberi kehidupan bagi seluruh manusia di muka bumi ini Pendeknya, seluruh fungsi dan kegunaan hutan
tidak terbatas dan ternilai bagi kelangsungan hidup manusia”
(1998:19-20)
Besarnya peranan hutan terhadapkelangsungan hidup manusia ini
menjadikan hutan menjadi salah satu bagian dari lingkungan yang sangat perlu
mendapat perhatian. Perhatian dan pemahaman mengenai hutan tidak sebatas apa
itu hutan, dimana letak hutan, apa yang dihasilkan hutan. Namun, lebih seperti
apa yang disampaikan oleh Indriyanto dalam bukunya:
pertanyaan, misalnya dimana tumbuhan, binatang atau manusia itu hidup, bagaimana mereka hidup dan mengapa mereka hidup dalam suatu habitat” (Indriyanto.2012 : 13)
Untuk itu, masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan harus
memahami pengelolaan hutan yang tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri.
Sangat jelas kita ketahui bahwa hutan merupakan salah satu bagian dari
lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Bila ditelaah melalui
defenisi hutan, kita juga dituntut untuk dapat memahami proses-proses alam yang
terjadi didalam hutan itu sendiri. Proses-proses alam yang dimaksud, seperti yang
dikutip oleh Indriyanto (Arief dalam Indriyanto. 2012) didalam bukunya antara
lain sebagai berikut:
1. Proses yang berkenaan dengan siklus air, pengawetan tanah (Hidro-orologis)
dimana hutan menjadi tempat penyimpanan air yang akan mengalir melalui
sungai dan mata air.
2. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan.
Unsur-unsur yang terkait didalam hutan, sangat mempengaruhi temperatur,
kelembapan, angin dan curah hujan.
3. Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah hutan menjadi tempat
pembentukan humus dan gudang mineral. Yang dibutuhkan oleh tetumbuhan
dan akan mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang
terbentuk.
4. Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang tumbuhan dan binatang
yang menjadi suatu sistem yang saling berkaitan. Kerusakan hutan akan
5. Kekayaan sumber daya alam. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan
sumber alam yang sangat besar bagi negara dan masyarakat.
6. Objek wisata alam. Hutan dapat dijadikan sebagai tempat untuk mengenal dan
mengagumi keagungan Tuhan.
Didalam bukunya, Indriyanto (2012:13-14) mengatakan bahwa adanya
kegiatan yang dilakukan masyarakat terkait hutan sebagai berikut:
“Penebangan, dan pembakaran hutan untuk perladangan,
penebangan hutan yang melebihi daya dukungnya, pembukaan hutan untuk pemukiman para transmigran, konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan ataupun penggunaan lainnya, perubahan yang terjadi pada kawasan-kawasan hutan pelestarian alam dan hutan lindung, serta kegiatan pemanfaatan hutan sebagai sumber daya alam lainnya yang cenderung mengubah keseimbangan ekosistem jauh dari kemampuan
pemulihannya”
Pengelolaan hutan juga pernah ditulis oleh M R. Dove pada buku Sistem Perladangan di Indonesia. Didalam buku ini Dove memaparkan secara rinci bagaimana sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suku bangsa Kantu di
Kalimantan Barat. “Ketika orang Kantu menebas pohon-pohon yang masih muda dan semak-semak, mereka mempergunakan cara yang berlain-lainan. Untuk
memotong tumbuh-tumbuhan yang dekat tanah digunakan cara pukulan tunggal
memakai parang dengan cara mambungkukkan pinggang” (Michael R. Dove,
1988:61).
Secara teoritis ekologi hutan membahas mengenai hubungan timbal balik
antara masyarakat dan hutan. Di dalam hubungan timbal balik ini terdapat cara
hutan ini sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka.
Kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat menghasilkan cara pengelolaan hutan
sendiri oleh masyarakat.
Marvin Harris sebagai penganjur paling cermat dan sangat teoritis
mengenai materialisme budaya, telah mengajukan penafsiran materialisme yang
mengisyaratkan adanya rasionalitas tersembunyi, berupa adaptasi ekologis, bagi
seperangkat praktek kehidupan budaya, yang pada permukaannya melambangkan
ketidakrasionalitasan manusia dalam selubung budaya (Keesing, 1989). Hal ini
menegaskan bahwa adanya tujuan tertentu oleh masyarakat dalam melakukan
segala hal, meski terkadang hal yang ditonjolkan merupakan sebuah hal yang
tidak rasional.
Adaptasi ekologi ini penting dilakukan oleh masyarakat agar dapat
survive(bertahan) dengan kondisi lingkungan alamnya. Kenyataan ekologi dimana suatu masyarakat tinggal akan melahirkan suatu budaya tertentu terkait
dengan sistem pengelolaan lingkungan alamnya. Bahan-bahan baku dan
bentuk-bentuk sosial dasar yang berhubungan dengan upaya masyarakat untuk
mempertahankan kehidupannya dan beradaptasi dengan lingkungannya di dalam
pendekatan materialisme budaya Marvin Harris dikategorikan sebagai komponen
infrastuktur material yaitu terdiri dari teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi (Sanderson, 1995, hal: 60).
Teknologi dalam pengertian ini adalah terdiri dari informasi, peralatan,
teknik yang dengannya manusia beradaptasi dengan lingkungan fisiknya (Lenski
objek yang bersifat fisik atau kongkrit saja tapi juga pengetahuan yang dapat
diaplikasikan dengan cara tertentu (Sanderson, 1995). Ekonomi adalah sistem
yang teratur dimana barang dan jasa dihasilkan, didistribusikan dan dipertukarkan
antara individu dan masyarakat.
Ekologi meliputi keseluruhan lingkungan fisik dimana manusia harus
beradaptasi dengannya yang meliputi tanah, sifat iklim, pola hujan, sifat
kehidupan tanaman dan binatang, serta ketersediaan sumber daya alam. Ekologi
merupakan lingkungan eksternal dimana sistem sosiokultural harus menyesuaikan
diri tapi faktor ekologi acapkali menjadi determinan krusial bagi berbagai aspek
kehidupan sosial, maka ekologi diperlakukan sebagai komponen dasar sistem
sosiokultural. Faktor demografi meliputi sifat dan dinamika penduduk manusia.
Kepadatan dan jumlah penduduk, pertumbuhan, kemerosotan atau stabilitasnya
serta komposisi umur dan jenis kelamin merupakan hal yang penting diketahui
dalam mengkaji suatu masyarakat. (Sanderson, 1995)
Dilihat dengan pendekatan materialisme budaya Marvin Harris ini maka,
hutan merupakan faktor ekologi bagi masyarakat Batak Toba di Kabupaten
Samosir dimana sebagian masyarakatnya beradaptasi agar dapat bertahan hidup.
Sedangkan yang menjadi faktor teknologi disini adalah segala informasi, teknik,
peralatan dan pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam mengelola atau
memanfaatkan hutan untuk keberlangsungan hidupnya.
Sementara faktor ekonomi adalah apa yang menjadi bentuk adaptasinya
misalnya peladang, bagaimana sistem ekonomi pada peladang terkait dengan
demografi/kependudukan dilihat sebagai komponen dalam infrastruktur material
yang akan mempengaruhinya.
Sumber daya alam, dalam hal ini adalah hutan berada dalam bentangan
tanah yang terus akan mengalami desakan seiring dengan bertambahnya
penduduk dimana masyarakat sebagai pengelola hutan. Desakan itu terkait
dengan kebutuhan hidup manusia itu sendiri apakah karena bertambahnya
penduduk maka diperlukan lahan untuk pemukiman, pertambahan lahan untuk
perladangan, kebun atau lain pemanfaatan dalam rangka keberlangsungan
hidupnya. Di samping karena ada kebutuhan masyarakat juga ada kepentingan
lain yakni dari sudut pandang pemerintah.
Diketahui bahwa pemerintahan Kabupaten Samosir memiliki peraturan
daerah terkait dengan pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir yakni Peraturan
Bupati Samosir Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang
Berasal dari Hutan Hak di Kabupaten Samosir. Peraturan Bupati Kabupaten
Samosir ini menempatkan babagaimana tata usaha pengambilan kayu dari hutan
baik hutan hak atau hutan negara.
Selain hal itu, penetapan wilayah kelola hutan masyarakat dan negara
masih simpang siur. Sehingga ada pertentangan antara masyarakat dan
pemerintah soal status hutan. Dimana di satu sisi masyarakat mengakuinya
sebagai haknya dan di sisi lain pemerintah menyatakan itu termasuk hutan
1.3. Rumusan Masalah
Hutan dan masyarakat harus dipahami sebagai suatu sistem yang
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Suatu hubungan yang sangat berkaitan
antara masyarakat sebagai pengelola hutan dan hutan yang menghasilkan sumber
daya alamnya. Sesuai dengan pengertian tentang sistem. Saat satu bagian dari
sistem tersebut jika tidak berjalan dengan baik, maka semua sistem akan
mengalami gangguan. Sistem yang dibangun masyarakat terhadap hutan
merupakan sebuah cara dalam pengelolaan hutan. Cara pengelolaan hutan yang
secara terus menerus di masyarakat, menghasilkan sebuah kebudayaan.
Kebudayaan yang secara turun-temurun dijalankan oleh masyarakat dengan
perubahan-perubahan yang dilakukan sebagai sebuah cara dalam beradaptasi.
Setiap masyarakat adat sebagai pelaku pengelolaan hutan juga memiliki
cara, tujuan dan teknik yang berbeda dalam pengelolaan hutan yang ada disekitar
mereka. Tergantung pada apa yang mereka butuhkan. Pengelolaan hutan yang
dilakukan masyarakat ini sering juga dianggap sebagai sebuah pelanggaran oleh
pemerintah daerah. Situasi ini memunculkan pertanyaan dan daya tarik dalam
penelitian ini. Adapun pertanyaan yang menjadi masalah utama dalam penelitian
ini adalah mengenai bagaimana cara masyarakat dalam mengelola hutan di
Kabupaten Samosir. Sehubungan dengan hal ini maka dirumuskan beberapa
pertanyaan yang lebih rinci sebagai awal dari langkah dalam melakukan
penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana cara masyarakat dalam mengelola hutan di Kabupaten
2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan di Kabupaten
Samosir?
3. Masalah apa saja yang ada dalam kegiatan pengelolaan hutan di
Kabupaten Samosir?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara dan
tujuan masayarakat mengelola hutan dengan adanya larangan-larangan dari
pemerintah mengenai pengelolaan hutan oleh masyarakat. Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah untuk membuka pemahaman masyarakat
terhadap sebuah “kegiatan” pengelolaan hutan yang ada di Kabupaten Samosir. Pengelolaan hutan yang selama ini bertentangan antara pemerintah dan
masyarakat harus mendapat titik temu agar masing-masing pihak mengetahui
bagaimana sebenarnya pengelolaan hutan yang baik dan seimbang. Pemahaman
mengenai pengelolaan hutan oleh masyarakat di Kabupaten Samosir ini
diharapkan menjadi sebuah landasan bagi pemerintah di daerah terkait dalam
menjalankan peraturan dan mengambil kebijakan.
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
yang bersifat etnografi. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai
bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat,
lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spredley, 1997:3).
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder maupun data
primer melalui observasi dan wawancara.
I.5.1. Observasi
Observasi dalam hal ini merupakan suatu teknik penelitian yang dilakukan
langsung di lapangan. Observasi dilakukan di awal penelitian untuk mengamati
dan mencermati guna mendapatkan gambaran lokasi dan informasi awal. Pada
saat observasi atau pengamatan ini juga peneliti mendapatkan informan pangkal
yang akan mengarahkan peneliti kepada informan-informan lainnya guna
memperoleh data-data yang dibutuhkan.Observasi saya lakukan dengan
mendatangi lokasi yang menjadi tempat pengelolaan hutan oleh masyarakat dan
juga berinteraksi langsung dengan orang-orang yang terkait dengan pengelolaan
hutan di Kabupaten Samosir.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif, pengamatan
dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti dikemukakan oleh Guba dan Lincoln
dalam Moleong (1989:137) sebagai berikut ini:
Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengamatan secara
langsung. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik atau setelah melihat baru
percaya. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan peneliti melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatan perilaku dan kejadian sebagaimana yang
mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan
proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat,
sering terjadi keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya
ada yang “menceng” atau bias.
1.5.2. Wawancara
Wawancara dilakukan guna memperoleh data secara langsung dari
informan baik informan biasa maupun informan kunci. Setiap masyarakat yang
berada di lokasi penelitian memiliki kemungkinan sebagai infoman biasa apabila
dari segi waktu memiliki kesempatan untuk menjawab pertayaan-pertayaan yang
diajukan. Informan biasa ini untuk melengkapi data yang bersifat umum.
Wawancara secara mendalam dilakukan kepada informan-informan kunci yang
mengetahui dan memahami pokok permasalahan yang sedang diteliti. Informan
kunci dalam penelitian saya ialah Bapak A Sagala (Kepala Desa di Desa Ginolat),
Orang tua dari Bapak A Sagala ( Tokoh Masyarakat),Kepala Nagari Sagala, R
Limbong dan Bapak W Simandjorang (Ketua Dewan Pendiri LSM Save Lake
Toba Foundation).Saat melakukan pengumpulan data, informan juga memperoleh
data-data sekunder yang berasal dari Dinas Kehutanan, Badan Pusat Statistik
Samosir dan sumber lain yang diperoleh melalui website.
Proses pencarian data di lapangan didukung oleh alat pendukung di
lapangan yakni alat rekam dan kamera foto/video. Alat rekam membantu peneliti
ketika melakukan wawancara sehingga data yang diperoleh ketika melakukan
wawancara tersimpan dengan baik dimana informasi-informasi tidak akan hilang.
diperoleh. Alat rekam ini tentu sangat membantu terutama ketika melengkapi
catatan lapangan (fieldnote) sebagai dasar dalam pengolahan data yang dilakukan. Kamera foto/video bermanfaat untuk merekam peristiwa di lapangan guna
mendukung data dan bukti lapangan dan dapat juga memberikan gambaran
penelitian ini secara visual.
Melakukan rapportmerupakan suatu hal yang mutlak di lapangan. Rapport bertujuan untuk memperoleh data yang akurat di lapangan. Terjalinnya rapport memudahkan peneliti dalam menggali data tertutama dengan informan-informan. Sehingga hubungan yang baik dilakukan terlebih dahulu agar peneliti
tidak menemukan kesulitan karena tidak terjalinnya hubungan secara baik yang
membuat informan tidak dengan mudah memberikan informasi. Rapport yang terjalin membuat informan tidak sungkan dan merasa curiga kepada peneliti yang
dapat menghambat dalam perolehan data. Sebagai seorang peneliti, peneliti
adalah orang yang sedang belajar yang memposisikan diri tidak tahu apa-apa
terkait permasalahan penelitian sehingga informan merupakan guru yang menjadi
tempat bertanya.
1.6. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah proses pencarian data dilapangan dianggap
cukup. Proses pencarian data di lapangan dilakukan dengan sistem bola salju
dilakukan crosscheek(triangulasi) kepada informan untuk memastikan kebenaran data-data yang diperoleh.
Analisis data dilakukan terhadap data hasil observasi, wawancara dan dari
dokumentasi dengan mengklasifikasikan/mengkategorikan data yang diperoleh
sesusai dengan perumusan masalah dalam penelitian ini dan menyingkirkan data
yang tidak relevan. Sehingga memudahkan untuk dipahami dengan baik. Data
yang terkumpul sudah dianggap menjawab permasalahan penelitian kemudian
dilakukan analisis dan interpretasi data. Terakhir adalah melakukan rangkuman
dari hasil interpretasi data-data yang telah dikumpulkan.
Paparan dari temuan-temuan ini disajikan dalam sistematika penulisan
skripsi yang sudah standar. Setiap babnya akan memaparkan data yang sudah
diklasifikasi atau dikategorikan sesuai dengan judul setiap bab.
1.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahap awal penelitian dilakukan observasi di 3 desa yakni, Desa Sianjur
Mula-Mula Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Desa Harian, Kecamatan Harian dan
Desa Ronggur Nihuta, Kecamatan Ronggur Nihuta. Setelah dilakukan observasi
maka lokasi penelitian akhirnya dilaksanakan didaerah lahan Hutan yang
berssinggungan dengan Kecamatan Pangururan, Harian dan Sianjur Mulamula.
Masyarakat yang beraktifitas di hutan tersebut adalah masyarakat yang
tidak berbasis desa tapi berpegang pada status hutan, dimana hutan yang dikelola
masyarakat tersebut berada.
1.8. Pengumpulan Data di Lapangan
Proses pengambilan data dimulai dengan mendatangi daerah Tele karena
di daerah ini sering terjadi kebakaran hutan. Pada saat itu Saya bertemu dengan
seorang Bapak yang bertani di lahan yang bersebelahan dengan hutan negara.
Awalnya petani tersebut tidak mau terbuka memberikan informasi. Setelah
berbincang-bincang beberapa saat, saya menyampaikan maksud dan tujuan saya
dan meminta kesediaan waktu Beliau untuk diwawancarai terkait dengan
penelitian skripsi saya. Kemudian Bapak tersebut mengajak saya ke kedai kopi.
Di situlah saya melakukan wawancara dengan Bapak petani tersebut.
Setelah wawancara selesai, kemudian saya pergi ke daerah Baniara. Di
Baniara saya menjumpai polisi hutan yang menjaga hutan di sekitar Tele. Baniara
adalah daerah perbatasan Kabupaten Samosir dengan Humbahas dengan jarak
tempuh satu jam lebih. Saya melakukan wawancara di lokasi kerja informan.
Selesai wawancara, saya pergi ke Sianjur Mulamula untuk bertemu dengan
kepala desa di sana. Namun sesampainya di sana kepala desa yang dimaksud
sedang keluar rumah. Sambil menunggu Beliau, saya pergi ke rumah tetangganya
yang bermarga Sitindaon dan mengobrol terkait data yang ingin diperoleh.
Namun dari pembicaraan itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Bapak ini
kurang pas untuk dijadikan informan. Bapak tersebut banyak tidak tahu apa yang
saya tanyakan dan selalu mengarahkan saya kepada kepala nagari. Beberapa saat
Beliau. Bapak Kepala Nagari ini merupakan salah satu informan kunci dalam
penelitian ini.
Kemudahan yang saya rasakan karena orang tua saya tinggal dan bekerja
di Pangururuan sehingga mengenal baik tokoh-tokoh masyarakat di Pangururan.
Beberapa urusan terkait menjumpai informan dan perolehan data dapat
kemudahan. Seperti ketika menemui Kepala Desa yang awalnya tidak ada di
tempat dengan relasi orang tua yang mengkomunikasikan akhirnya bisa bertemu
di kediaman kepala desa dan melakukan wawancara. Ternyata yang dikatakan
oleh tetangga beliau sedang keluar adalah bapak dari kepala desa yang juga
merupakan tokoh masyarakat/adat yakni sebagai Raja Parhata marga Sagala. Raja Parhata ini juga kemudian merupakan salah satu informan kunci demikian juga kepala desa Bapak Agus Sagala. Informasi dari Raja Parhata banyak yang berkaitan dengan tata cara membuka hutan, larangan, mitos dan pengetahuan
lokal lainnya tentang hutan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat.
Selain mencari data penelitian langsung ke masyarakat, pencarian data
juga dilakukan ke dinas-dinas terkait seperti ke Dinas Kehutanan. Data yang
diperoleh dari Dinas Kehutanan adalah terkait kebijakan pemerintah daerah
tentang pengelolaan hutan di lokasi penelitian, pandangan pemerintah terhadap
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMOSIR
2.1.Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Samosir.
Kabupaten Samosir merupakan sebuah kabupaten yang terbentuk dari
hasil pemekaran Kabupaten Toba Samosir. Diawali dengan dicetuskannya
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1998 tentang Pembentukan daerah Tingkat II
Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten
daerah Tingkat II Toba Samosir diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas
nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 09 Maret 1999 di Kota Medan.
Maka setelah 4 tahun usia Kabupaten Toba Samosir, masyarakat Samosir
yang bermukim di bona pasogit bersama putera-puteri Samosir yang tinggal diperantauan kembali melakukan upaya pemekaran untuk membentuk Samosir
menjadi kabupaten baru.
Hal ini juga didasari oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang memberi peluang keleluasaan pada daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerahnya dalam bentuk
pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru. Hal ini diperkuat pula
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang perimbangan
Gambar 1.1. Peta Samosir
Sumber: Wikipedia
Dengan berlandaskan hal diatas, maka pada tanggal 20 Juni 2002 anggota
DPRD Kabupaten Toba Samosir melakukan rapat paripurna yang bersamaan
dengan desakan masyarakat maka usul pemekaran Kabupaten Toba Samosir
didasarkan pada :
1. Kabupaten Toba Samosir (induk), terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan yaitu
Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea, Lumnajulu, Uluan,
Pintupohan Meranti, Ajibata dan Borbor.
2. Kabupaten Samosir (kabupaten baru), terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan
yaitu Kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mula-mula,
Melalui musyawarah mufakat ditetapkan keputusan DPRD Kabupaten
Toba Samosir Nomor 4 tahun 2002 tentang pembentukan pemekaran Kabupaten
Toba Samosir untuk Pembentukan kabupaten Samosir sekaligus
merekomendasikan dan mengusulkannya ke pemerintah pusat. Dengan surat
DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor 171/866/2002 tanggal 21 Juni 2002
tentang usul pembentukan Kabupaten Samosir, kemudian disusul dengan surat
ketua DPRD Kabupaten Samosir Nomor 171/878/2002 tanggal 24 Juni 2002
tentang Pemekaran Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara yang
ditujukan masing-masing kepada: DPR RI Cq. Komisi II DPR RI,Gubernur dan
ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkaan rekomendasi DPRD Kabupaten Toba Samosir, pada tanggal
26 Juni 2002 beberapa utusan atau delegasi masyarakat Samosir didampingi
Pimpinan DPRD Kabupaten Toba Samosir menemui Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia dan Komisi II DPR RI di Jakarta untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat akan pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan
Pembentukan Kabupaten Samosir.
Pada tanggal 29 Juni 2002, Tim Komisi II DPR RI dibawah pimpinan
Bapak Prof. DR. Manasse Malo bersama anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara
mengadakan kunjungan ke Samosir yang disambut Bupati Toba Samosir dan
unsur DPRD Kabupaten Toba Samosir serta masyarakat.
Selanjutnya atas usul tersebut, Gubernur Sumatera Utara meminta DPRD
Kabupaten Samosir yang memberikan Persetujuan Pembentukan Kabupaten
Samosir yang diteruskan kepada Pemerintah Pusat.
Maka atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa atas perjuangan
segenap komponen masyarakat Samosir, baik yang tinggal di bona pasogit maupun yang berada di perantauan seperti yang tinggal di Kota Jakarta dan di
Kota Medan, berdasarkan Hak Usul Inisiatif DPR RI ditetapkanlah
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia atas nama Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 7 Januari 2004 meresmikan Pembentukan
Kabupaten Samosir sebagai salah satu kabupaten baru di Provinsi Sumatera Utara
dengan wilayah administrasi pemerintahan sebanyak 9 (sembilan) kecamatan dan
111 (seratus sebelas) desa serta 6(enam) kelurahan dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten
Simalungun;
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten
Humbang Hasundutan;
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir;
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak
Atas dasar itu, disepakati bahwa tanggal 7 Januari ditetapkan sebagai Hari
Jadi Kabupaten Samosir sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Samosir
Nomor 28 Tahun 2005 tentang Hari Jadi Kabupaten Samosir.
Seiring dengan diresmikannya Kabupaten Samosir, melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.21.27 tanggal 6 Januari
2004 diangkat dan ditetapkan Penjabat Bupati Samosir atas nama Bapak Drs.
Wilmar Elyascher Simanjorang, M.Si yang dilantik pada tanggal 15 Januari 2004
di Medan oleh Gubernur Sumatera Utara.
Sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan pemerintah
melalui proses demokrasi-ketatanegaraan, pada bulan Juni 2004 diadakan
pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang
dilanjutkan dengan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.
Sejalan dengan tuntutan perkembangan era reformasi, Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang perlu mendapat
perubahan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang salah satunya antara lain menetapkan bahwa Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui pemilihan
langsung. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada tanggal 27 Juni 2005
diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Samosir secara langsung oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Samosir
sebagai Bupati dan Wakil Bupati Samosir Periode 2005-2010 yang selanjutnya
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.22-740 tanggal 12 Agustus 2005.
Kemudian pada tanggal 13 September 2005, Bupati dan Wakil Bupati
Samosir terpilih dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara atas namaPresiden
Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Samosir.
2.2 Sejarah Suku Batak Toba di Kabupaten Samosir
Samosir merupakan salah satu daerah yang didiami oleh mayoritas suku
Batak Toba.Menurut pengakuan masyarakat dan dari sumber buku yang
diperoleh, masyarakat Batak Toba yang kini telah menyebar keberbagai daerah
berasal dari Pulau Samosir. Tepatnya didaerah Pusuk Buhit. Menurut Ypes (Ypes
dalam Simanjuntak. 2006) bermula dari teluk Haru di Provinsi Aceh, kemudian
pindah ke Pusuk Buhit di tepi Danau Toba. Sebagian lagi naik ke pedalaman
wilayah Toba melalui muara Sungai Asahan, kemudian menetap disana.
Kemudian dari Pusuk Buhit, keturunan Batak itu melakukan migrasi lagi
ke seluruh tanah Batak yang sekarang, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah,
Tapanuli Selatan, Kabupaten Asahan, Simalungun, Deli Serdang, labuhan Batu,
Aceh Tenggara dan Luar Sumatera (Cunmingham dalam Simanjuntak. 2006).
(Mulajadi Nabolon).Melihat kesendirian Si Raja Batak, maka Mulajadi Nabolon
mengirimkan putrinya untuk menemani Si Raja Batak dan menikah dengannya.
Si Raja Batak memiliki 2 orang anak yang disebut Guru Tateabulan dan
Raja Isumbaon (Vergouwen dalam Simandjuntak 2002). Guru Tateabulan
memiliki 5 (lima) orang anak laki-laki yaitu Raja Biak-biak, Sariburaja,
Limbongmulana, Sagalaraja, Malauraja dan empat anak perempuan, yaitu Boru
Sibidinglaut, Si Boru Pareme, Si Boru Paromas dan Nan Tinjo. Anak pertama
Guru Tateabulan diyakini sebagai makhluk yang dapat menjelma dan berubah
wujud, sampai saat ini bahkan masyarakat Batak Toba dimana Raja tersebut dan
Siapa keturunannya.Sementara anak kedua yaitu Sariburaja kemudian menikahi
adik perempuannya Si Boru Pareme.
Sariburaja merupakan keturunan Guru Tateabulan yang pertama sekali
pergi merantau dan menjadi leluhur bagi kelompok besar marga lainnya, yakni
Lontung.Sagala dan Limbong sendiri menjadi marga yang menetap di daerah
Pusuk Buhit (Kecamatan Sianjur Mula-mula saat ini) Sementara marga Malau
terpencar kedaerah Pangururan saat ini. Raja Isumbaon memiliki anak Sori
Mangaraja yang kemudian memiliki tiga orang anak, yaitu Sorba Dijulu, Sorba
Dijae dan Sorba Dibanua yang kemudian memiliki anak yang dijadikan marga
saat ini.
Marga-marga diatas menyebar hampir disetiap daratan yang berdekatan
dengan Danau Toba. Marga merupakan nama yang diperoleh dari garis keturunan
ayah, marga merupakan nama leluhur yang kemudian dijadikan sebuah kelompok
Melalui sumber-sumber yang ada, dapat dijelaskan bagaimana posisi masyarakat
Batak Toba sebagai penghuni awal dan sampai saat ini di wilayah Kabupaten
Samosir.
2.3 Pemerintahan
Kabupaten Samosir saat ini masih tetap memiliki daerah teritori yang
berjumlah 9 (sembilan) kecamatan, 128 (seratus dua puluh delapan) desa dan 6
(enam) kelurahan. Anggota Dewan Perwakilan rakyat berjumlah 25 orang terdiri
atas 25 Dinas Daerah (Samosir Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten
Samosir).Sembilan kecamatan yang ada di Kabupaten Samosir (kabupaten baru)
yaitu Kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mula-mula, Simanindo,
Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Harian dan Sitio-Tio.
2.4 Letak Geografis
Kabupaten Samosir terletak pada titik geografis 2021’38’’- 2049‘48” Lintang Utara dan 98024‘00-99001’48” Bujur Timur dengan ketinggian diatas permukaan laut antara 904-2.157 meter.
Luas wilayah Kabupaten Samosir ± 2.069,05 km2, terdiri atas ±1.444,25
Toba dan sebahagian wilayah daratan Pulau Sumatera. Sedangkan luas wilayah
danau berkisar 624,80 km2 (30,20 %).
Wilayah daratan terluas ialah kecamatan Harian dengan luas ± 560,45 km2
(38,81%), Simanindo ±198,20 km2 (13,72%), Sianjur Mulamula ±140,24 km2
(9,71%), Palipi ±129,55 km2 (8,97%), Pangururan ±121,43 km2 (8,41%),
Ronggurnihuta ±94,87 km2 (6,57%), Nainggolan ±87,6 km2 (6,08%),
Onanrunggu ±60,89 km2 (4,22%), dan Sitiotio ±50,76 km2 (3,51%).
Batas–batas wilayah kabupaten Samosir adalah:
Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
Selatan : Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan
Barat : Kabupaten dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat
Timur : Kabupaten Toba Samosir
2.5 Iklim dan Keadaan Alam
Samosir termasuk kedalam salah satu wilayah yang beriklim tropis basah
dengan suhu berkisar antara 170 C–290 C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85,04 %. Sianjur Mulamula merupakan daerah dengan curah hujan perbulan
tertinggi, sedangkan daerah dengan curah hujan terendah tiap bulan di Kecamatan
Nainggolan.Rata-rata banyaknya hari hujan tiap bulan tertinggi di Kecamatan
Harian dan daerah dengan rata-rata banyaknya hari hujan tiap bulan terendah di
Mengingat daerah teritori Samosir yang berada ditengah Danau Toba dan
termasuk kedalam dataran Bukit Barisan,menjadikan Kabupaten Samosir terletak
pada wilayah dataran tinggi dengan topografi/kontur tanah yang beraneka ragam
yaitu: Datar (± 10%), Landai (± 20%), Miring (± 55%) dan Terjal (±15%).
Struktur tanahnya labil dan berada pada wilayah gempa tektonik dan vulkanik.
2.6 Kependudukan
Pada pertengahan tahun 2013 penduduk kabupaten Samosir berjumlah
121.924 jiwa, terdiri dari 60.558 penduduk laki-laki (49,63%) dan 61.336
penduduk perempuan (50,37). Angka kepadatan penduduk mencapai 84,42
jiwa/km2.
Kabupaten Samosir 1444,25 121 924 84,42
2012 1444,25 121 594 84,19
2011 1444,25 120 772 83,62
2010 1444,25 119 653 82,85
Kecamatan yang mempunyai angka kepadatan penduduk paling kecil
adalah Kecamatan Harian, walaupun merupakan kecamatan yang paling luas
wilayahnya, yaitu mencapai 560,45 km2, namun hanya didiami oleh penduduk
sebanyak 8.010 jiwa (6,57 persen) dengan rata-rata 14,29 jiwa/km2. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar wilayahnya merupakan areal hutan produksi
maupun hutan lindung dan juga areal pertanian. Sementara angka kepadatan
penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Pangururan dengan tingkat kepadatan
penduduk 246,81.
2.7 Profil Hutan Samosir
KawasanhutanKabupatenSamosir tersebar di dua daratan, yaitudaratan
Samosir dan daratan Sumatera dengan luas keseluruhan 62.120,16hektar atau
sekitar 0,9% dari luas hutan Sumatera Utara yaitu seluas 7.243.746,66 hektar.
2.7.1. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Samosir
Menuurut Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir, kawasan hutan yang
dimiliki Kabupaten Samosir terdiri dari kawasan hutan register seluas 42.765,11
hektar, kawasan hutan Inlijving 11,650.05 hektar serta Hutan Rakyat seluas
2.7.2. Hutan Lindung
Luas Hutan Lindung Kabupaten Samosir sampai tahun 2005 adalah
24,608.84 hektar, yang tersebar di daratan Sumatera sebanyak 81% (19,878.29
hektar) dan daratan Samosir 19% (4,730.55 hektar).Kawasan hutan lindung ini
ditetapkan dari kawasan Inlijving sekitar 11,650.05 hektar dan kawasan register
seluas 12,958.79 hektar (Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir).
2.7.3 Hutan Produksi
Kawasan Hutan produksi di Kabupaten Samosir adalah seluas 24,688.42
ha, yang berada di kawasan Hutagalung register 41,kecamatan Harian dan
termasuk ke dalam kelompok daratan Sumatera. Sedangkan hutan produksi
terbatas seluas 5,117.90 hektar yang tersebar di kawasan Samosir register 43 dan
81, kecamatan Ronggur Nihuta dan Palipi.
2.7.4. Lahan Kritis dan Gundul
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir, hingga
tahun 2005 kawasan gundul/kritis di kawasan hutan seluas 12,939.75 hektar dan
kawasan inlijving seluas 9,320 hektar. Lahan tersebut terdapat di daratan
Sumatera sebanyak 81 % dan daratan Samosir 19 %.Lahan kritis yang terluas
terdapat di kecamatan Harian dan si Tiotio masing-masing 10,357.00 hektar dan
3,165.00 hektar.
Mengingat wilayah Kabupaten Samosir seluruhnya masuk dalam kawasan
sedimen tanah sangat tinggi dan di tambah lagi dengan kondisi kawasan hutan
yang semakin gundul/kritis, mengakibatkan lahan-lahan yang ada sangat mudah
longsor
2.7.5. Luas Kawasan Hutan berdasarkan Keadaan Vegetasi
Tabel 2.2. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Keadaan Vegetasi pada Kawasan Hutan Register
No. Nama Kawasan
Luas Berdasarkan Vegeetasi
Jumlah Hutan Alam Hutan Pinus Rimba
1. Daratan
Samosir 1.456,07 4.936,49 745,34 7.137,90 2. Daratan
Sumatera 16.089 1.352,90 0 17.441,90
JUMLAH 17.545,07 6.289,39 745,34 24.579,80
2.7.6 Luas Kawasan Hutan per Kecamatan di Kabupaten Samosir
Tabel 2.3 Luas Kawasan Hutan per Kecamatan di Kabupaten Samosir
No. Kecamatan Luas Hutan (Ha) Persentase