• Tidak ada hasil yang ditemukan

Askariasis Sebagai Penyakit Cacing Yang Perlu Diingat Kembali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Askariasis Sebagai Penyakit Cacing Yang Perlu Diingat Kembali"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

82

T

TTIIINNNJJJAAAUUUAAANNNPPPUUUSSSTTTAAAKKKAAA

ASKARIASIS SEBAGAI PENYAKIT CACING

YANG PERLU DIINGAT KEMBALI

Rasmaliah

Epidemiologi FKM-USU

ABSTRACT

Ascariasis is one of intestinal worm, infections causes by Ascaris lumbricoides or often called as ringworm. This worm infection is still important health problem of peoples in developing countries, including Indonesia.

The worm existing in intestinal of patient will result in physiological disbalance, local iritation thus it also disturbs the peristaltic movement and absorption of food. This worm can also migrante to certain organs such as abdominal, oesophagus, mouth, nose, bronchus and it can block the respiratory flow and digestive tract. The Infection can accur by medium soil as intermediater and called as Soil Transmited Helminth (STH), the invasion of infective egg into the mouth or respiratory tract along with food and drinking contaminated and inhaled with polluted air, infective egg of worm will penetrate the blood vessels to enter the blood stream.

The prevention can be particularly personal hygiene and family through some activities such as to not use the leteer as fertilizer of plants, washing the hand by soap beforeand after eating some food, cook the food and vegetables perfectly or it should be sprayed with hot water. Washing the hand by soap after defication and use the toilet perfectly and and to make the mass chemotherapy once in six month.

Keywords: Ascariasis, Ascariais lumbricoides, Ttransmited helminth

PENDAHULUAN

Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992).

Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (“Soil Transmited Helminths”). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis.

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga

mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.

Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993).

Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antihelmentik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal.

Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu

(2)

Askariasis sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat Kembali (82–85)

Rasmaliah

83 mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8

gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).

Morfologi Ascaris lumbricoides

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 20 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 8 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 10 - 30 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Brotowodjoyo, 1987; Soedarto, 1991; Haryanti E, 1993).

Siklus Hidup dan Cara Penularan

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan menetas dan melepaskan larva infektif (larva rhabditiform) dan kemudian menembus dinding usus masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran darah masuk kejantung kanan dan selanjutnya keparu-paru dengan masa migrasi berlangsung selama 1 – 7 hari.

Larva tumbuh didalam paru-paru dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk kedalam traktus digestivus dan berakhir sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan bersama tinja.

Siklus hidup cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina

mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, di mana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif

Telur-telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit (Soedarto, 1991).

Aspek Klinik

Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain itu cacing sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.

Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita.

Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut:

1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

(3)

Askariasis sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat Kembali (82–85)

Rasmaliah

84

2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam usus buntu (apendiks), saluran empedu (duktus choledocus) dan saluran pankreas (ductus pankreatikus). Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam pemeriksaan histologi.

Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik (Soedarto, 1991).

Epidemiologi Ascariasis

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.

Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah tercemarnya lingkungan sekitarnya.

Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan lebih tinggi, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan buang air besar (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing

yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983).

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Penyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti:

- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan serta sesudah buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.

- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

- Sebaiknya makan makanan yang dimasak.

- Biasakan memakai jamban/WC.

- Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

2. Pengobatan penderita

Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal.

Beberapa obat yang sering dipakai seperti: piperazin, minyak chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. dapat

(4)

Askariasis sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat Kembali (82–85)

Rasmaliah

85 menimbulkan efek samping dan sulitnya

pemberian obat tersebut. Oleh karena adanya efek samping tersebut maka obat cacing yang sekarang dipakai berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya (Soedarto, 1991).

Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah:

1. Mebendazol

Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi migrasi ektopik.

2. Pirantel Pamoat

Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk menyembuhkan kasus lebih dari 90%. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“well tolerated”). Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik di mana infeksi multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.

3. Levamisol Hidroklorida.

Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan mebendazol.

4. Garam Piperazin.

Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Harold, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta.

Brotowidjoyo, MD, 1987. Parasit dan Parasitisme. Media Sarana Press. Jakarta.

Faust E.c., Beaver P.C and Jung RC,: Animal Agents and Vector of Human diasease 4th edition (Lea & Febiger, Philadelphia, 1975).

Haryanti,E. 1993. Helmitologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran USU, Medan.

Hoeprich, Pul D: Infections Diseases 2nd Edition (Harper and Row, Maryland 1977).

Moersintowarti, B. 1992. Pengaruh cacingan Pada Tumbuh Kemabang Anak. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Fakultas Kedokteran Unair. Surabaya Viqar Zaman, Loh Ah Keong: Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit Binacipta.

Rangkuman laporan Penelitian Tentang Anak Indonesia. Dicetak Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI Jakarta. Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran.

Edisi ke 2. EGC. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian persentase ikat silang dan morfologi termoplastik elastomer dari polipropilena bekas dan karet SIR 10 telah dilakukan dengan penambahan DKP (dikumil peroksida) dan

The steady state output voltage of switched inductor boost dc-dc converter and conventional boost dc- dc converter for each duty cycle values are shown in figure 13 to

Social Choice and Individual Values, Kenneth Joseph Arrow Masalah 12 dari University of Yale. Department of Economics. Cowles Foundation for Research in Economics. Arrow, The Limits

Tingkat pengetahuan tentang kanker serviks pada ibu yang berusia 20-55 tahun di Dusun Mangkudranan Desa Margorejo Tempel Sleman Yogyakarta tahun 2015 termasuk dalam kategori

Mulai edisi Mei 2016 hingga Mei 2017, jurnal SOSIOHUMANIKA telah dikelola oleh para Dosen dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, dan diterbitkan oleh Minda

Jadi dapat disimpulkan bahwa Current Ratio, Net Profit Margin, dan Return On Asset secara simultan memiliki pengaruh terhadap Harga Saham di perusahaan

Untuk memperoleh pemahaman yang sama dalam melaksanakan kegiatan dimaksud, maka disusun Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat