• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Antara Tanka Dengan Pantun Melayu Dari Segi Bentuk Dan Isi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Antara Tanka Dengan Pantun Melayu Dari Segi Bentuk Dan Isi"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN ANTARA

TANKA DENGAN PANTUN MELAYU

DARI SEGI BENTUK DAN ISI

SKRIPSI

Oleh :

RIZKI RAFIQAH HUTASUHUT

NIM: 040708042

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

(2)

PERBANDINGAN ANTARA

TANKA DENGAN PANTUN MELAYU

DARI SEGI BENTUK DAN ISI

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

RIZKI RAFIQAH HUTASUHUT

NIM: 040708042

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum Drs. Hamzon Situmorang, Ph.D

NIP : 131763365 NIP : 131422712

Ketua Jurusan

Drs. Hamzon Situmorang, Ph.D NIP : 131422712

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Muhammad SAW sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Perbandingan Tanka dan Pantun Melayu dari Segi Bentuk dan Isi. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi S-1 Jurusan Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak selaku Drs. Saifuddin Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang dan pembimbing II penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum, selaku pembimbing I penulisan skripsi ini.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan menguji skripsi ini serta seluruh dosen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

5. Kedua orang tua, ayahanda Ir. Hasan Basri Hutasuhut dan ibunda tercinta Fahridati Siregar karena atas doa dan segala kasih sayang yang tidak ternilai harganya kepada penulis hingga saat ini, serta pengorbanan dan dukungannya yang selalu dicurahkan kepada penulis dengan tulus tanpa pamrih, yang belum dapat penulis balas sampai saat ini.

6. Kepada kakak Azizah S.kom dan adik – adik (Ria, Fauzi, Dana, Anggi) yang telah mendukung dan membantu.

(4)

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya.

Medan, Juni 2008 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan... 6

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.4.1. Tinjauan Pustaka... 8

1.4.2. Kerangka Teori ... 10

1.4.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

1.4.4. Metode Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANKA DAN PANTUN MELAYU ... 15

2. 1. Tanka ... 15

2.1.1 Pengertian Tanka ... 15

2.1.2 Sejarah Tanka ... 16

2.1.3 Syarat Tanka ... 21

2.1.4 Jenis-Jenis Tanka... 23

2. 2. Pantun Melayu ... 26

2.2.1 Pengertian Pantun Melayu... 26

2.2.2 Syarat Pantun Melayu... 27

2.2.3 Sejarah Pantun Melayu... 28

(6)

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN TANKA DENGAN

PANTUN MELAYU DARI SEGI BENTUK DAN ISI .... 38

3.1 Persamaan Tanka dengan Pantun Melayu dari Segi Bentuk ... 38

3.1.1 Persamaan dari Segi Irama ... 39

3.1.2 Persamaan dari Segi Rima atau Persamaan Bunyi ... 42

3.2 Persamaan Tanka dengan Pantun Melayu dari Segi Isi ... 44

3.3 Perbedaan Tanka dengan Pantun Melayu dari Segi Bentuk ... 55

3.3.1 Perbedaan dari Segi Irama ... 55

3.3.2 Perbedaan dari Segi Rima atau Persamaan Bunyi ... 59

3.3.3 Perbedaan dari Segi Suku Kata ... 60

3.3.4 Perbedaan dari Segi Baris dan Bait ... 62

3.4 Perbedaan dari Segi Isi... 64

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

4. 1. Kesimpulan ... 69

4. 2. Saran... 72

(7)

ABSTRAK

Skripsi ini berisikan tentang perbandingan antara tanka dengan pantun

Melayu dari segi bentuk dan isi. Tujuan penulis membahas masalah perbandingan

antara tanka dengan pantun Melayu adalah untuk menemukan perbedaan dan

persamaan antara tanka dengan pantun Melayu dari segi bentuk yaitu persamaan

bunyi, jumlah suku kata, irama, baris atau bait, dan dari segi isi yaitu tema dan

unsur ekstrinsik. Selain itu, juga bertujuan untuk mengetahui sejarah mengenai

tanka dan pantun Melayu.

Selanjutnya definisi dari tanka dan pantun Melayu. Tanka adalah karya

sastra puisi yang dihasilkan oleh bangsa Jepang yang artinya puisi pendek. Tanka

tertulis sebagai satu deret puisi dengan 31 suku kata. Tanka merupakan puisi yang

bentuknya didasarkan pada pola suku kata. Pola suku kata tanka terdiri dari lima

bagian dan sebagai bentuk terpisah bila diterjemahkan atau diromajikan. Pola

suku kata tanka yaitu 5-7-5 / 7-7.

Sementara itu, pantun Melayu merupakan karya sastra puisi yang

dihasilkan oleh suku Melayu yang bentuknya terdiri atas empat baris dan memiliki

pola bunyi yang berselang-seling yaitu pola bunyi ab-ab Biasanya jumlah kata

pada tiap-tiap baris adalah empat kata dan suku kata tiap baris antara 8 sampai 12

suku kata. Dua baris pertama pada pantun Melayu merupakan sampiran dan dua

baris terakhir pada pantun Melayu merupakan isi dari pantun Melayu.

Hal yang dibandingkan dari tanka dan pantun Melayu adalah persamaan

dan perbedaan antara tanka dan pantun Melayu dari segi bentuk dan isi. Menurut

penulis, tanka dan pantun Melayu adalah karya sastra dengan jenis yang sama

(8)

tetapi, karena dihasilkan dari tempat yang beda yaitu tanka dari Jepang dan pantun

Melayu dari Indonesia, maka sudah pasti ada juga hal yang beda dari segi bentuk

dan isi. Yang dibandingkan dari segi bentuk tanka dan pantun Melayu adalah

persamaan bunyi, jumlah suku kata, irama, baris atau bait. Selanjutnya, yang

dibandingkan dari segi isi tanka dan pantun Melayu adalah tema dan unsur

ekstrinsik.

Jika tanka dan pantun Melayu dibandingkan dari segi bentuknya, maka

ditemukan beberapa persamaan terhadap unsur – unsur bentuknya seperti dari segi

unsur irama dan rima. Persamaan dari segi unsur irama, pada tanka dan pantun

Melayu yaitu sama – sama terdapat irama yang berasal dari jeda ritme, komposi

rima, dan pengulangan kata. Persamaan dari segi unsur rima, yaitu pada tanka dan

pantun Melayu sama – sama terdapat rima atau persamaan bunyi.

Akan tetapi, jika tanka dan pantun Melayu dibandingkan dari segi bentuknya,

maka ditemukan juga beberapa perbedaan terhadap unsur – unsur bentuknya

seperti dari segi unsur irama, rima, dan suku kata. Perbedaan dari segi irama,

tanka memiliki irama yang bermacam – macam polanya atau tidak tetap yang

disebabkan adanya jeda ritme atau bagian di dalam tanka, pola yang bermacam –

macam tersebut ada terdapat pengaruh pola suku kata yang dimiliki tanka. Akan

tetapi, pantun Melayu memiliki irama yang tetap dan tidak ada terpengaruh pola

bunyi pantun Melayu.

Perbedaan dari segi rima, tanka memiliki rima yang tidak teratur. Akan tetapi,

pantun Melayu memiliki rima yang teratur. Rima pada tanka berasal dari bunyi

suku kata yang sama karena tanka dipengaruhi oleh sistem huruf Jepang yang

(9)

karena itu, tanka tidak mengenal aliterasi atau persamaan bunyi huruf konsonan.

Akan tetapi, rima pada pantun Melayu berasal dari bunyi huruf yang sama baik itu

konsonan maupun vokal karena sistem hurufnya tidak ada huruf yang merupakan

gabungan dari huruf konsonan dengan vokal seperti yang terjadi pada tanka. Oleh

karena itu, pantun Melayu mengenal aliterasi atau persamaan bunyi huruf

konsonan.

Perbedaan dari segi suku kata, Suku kata tanka memiliki jumlah yang tetap

dan ganjil yaitu 5 dan 7 suku kata karena itu telah merupakan syarat mutlak tanka.

Akan tetapi, jumlah suku kata pada pantun Melayu sekitar 8 sampai 12 suku kata

dan itu tidak menjadi syarat mutlak. Akan tetapi, yang menjadi syarat mutlak

adalah suku kata tersebut harus memenuhi pola bunyi pantun Melayu. Suku kata

tanka berasal dari bunyi konsonan saja dan bunyi konsonan yang didampingi

vokal. Akan tetapi, suku kata pantun Melayu berasal dari bunyi konsonan saja dan

bunyi konsonan yang didampingi vokal serta bunyi konsonan yang didampingi

vokal dan didampingi konsonan kembali.

Perbedaan dari segi bait atau baris yaitu tanka tidak mengenal sistem bait atau

baris. Hal tersebut dikarenakan tanka merupakan puisi yang ditulis dalam satu

bagian atau deretan tetapi dipisahkan menjadi beberapa bagian yang disebabkan

oleh perhentian karena pola suku kata. Akan tetapi, pantun Melayu mengenal

sistem bait atau baris karena pantun Melayu dibuat dalam bentuk perbaris.

Selanjutnya, jika tanka dan pantun Melayu dibandingkan dari segi isinya, maka

ditemukan beberapa persamaan isi. Persamaan isi tersebut yaitu tanka dan pantun

Melayu sama – sama memiliki tema tentang percintaan, religi, kesedihan, alam,

(10)

Akan tetapi, jika tanka dan pantun Melayu dibandingkan dari segi isinya,

maka ditemukan beberapa perbedaan isi. Pada isi tanka ada yang dipengaruhi oleh

keadaan empat musim. Hal itu dikarenakan Jepang memiliki empat musim. Akan

tetapi, pada isi pantun Melayu tidak ada dipengaruhi oleh musim atau empat

musim. Selain itu, perbedaan isi tersebut dikarenakan ada terdapat tema pada

tanka yang tidak terdapat pada pantun Melayu atau sebaliknya. Pada tanka ada

terdapat tema tentang perjalanan yang dilakukan penyairnya dan tema tentang

kematian. Akan tetapi pada pantun tidak ada tema tersebut. Sebaliknya, pada

pantun Melayu ada terdapat tema tentang adat dan teka – teki tetapi pada tanka

tema tersebut tidak ada.

Setelah penulis menganalisa perbedaan dan persamaan antara tanka dengan

pantun Melayu dari segi bentuk dan isi, penulis mendapatkan kesimpulan.

Kesimpulannya yaitu, persamaan tanka dan pantun Melayu dari segi bentuk yaitu

ada persamaan bunyi dan irama dalam tanka dan pantun Melayu. Persamaan tanka

dan pantun Melayu dari segi isi yaitu tema kesedihan, alam, cinta, anak,

perpisahan, religi ada dalam tanka dan pantun Melayu.

Perbedaan tanka dan pantun Melayu dari segi bentuk adalah pola rima, irama,

suku kata yang beda, tanka tidak tertulis dalam bentuk bait dan baris, pantun

Melayu tertulis dalam bentuk bait dan baris. Perbedaan tanka dan pantun Melayu

dari segi isi adalah tema kematian dan perjalanan ada pada tanka tapi tidak ada

pada pantun Melayu, tema adat dan teka - teki ada pada pantun Melayu tapi tidak

ada pada tanka. Selain itu, perbedaan tanka dan pantun Melayu dari segi isi adalah

unsur ekstrinsik alam empat musim ada pada tanka tetapi tidak ada pada pantun

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jepang dan Indonesia adalah dua negara yang berbeda. Namun, kedua

negara ini sama – sama menghasilkan karya – karya sastra dalam bentuk puisi

terutama puisi – puisi klasik yang merupakan dasar dari munculnya karya sastra

puisi – puisi masa sekarang. Akan tetapi, sudah pasti ada perbedaan dan juga

persamaan antara unsur puisi klasik Jepang dengan puisi klasik Indonesia

sehingga diperlukan perbandingan dari keduanya. Dalam perbandingan dari dua

jenis karya sastra yang sama tetapi berbeda tempat asalnya ini, penulis ingin

menemukan adanya hal-hal yang menjadi persamaan dan hal-hal yang menjadi

perbedaan yang terdapat di dalamnya.

Dalam hal membandingkan karya sastra puisi klasik dari Jepang dengan

puisi klasik Indonesia, maka disini akan digunakan tanka sebagai bahan

perbandingan yang mewakili Jepang untuk dibandingkan dengan pantun Melayu

yang mewakili Indonesia. Namun, sebelumnya diuraikan terlebih dahulu definisi

dari puisi itu sendiri.

Menurut Zubeirsyah ( 1992:184 ) menyatakan bahwa pengertian puisi

secara umum yaitu sebagai bagian dari genre sastra, puisi merupakan jenis sastra

yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam

kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus

(12)

Dengan demikian, tanka dan pantun Melayu merupakan jenis sastra yang

bentuknya dipilih dan memiliki bunyi, irama, serta makna khusus di dalamnya

yang dapat membuat orang sadar akan suatu pengalaman dan memberikan

tanggapan khusus terhadap puisi itu sendiri.

Tanka sendiri merupakan salah satu jenis waka ( puisi Jepang ) dari sekian

banyak jenis puisi Jepang seperti; choka, bussokusekika, sedoka, renga, haikai no

renga, haikai, haiku, dan sebagainya. Waka kadang – kadang disebut juga tanka.

Ungkapan itu sebenarnya kurang tepat karena tanka merupakan bagian dari jenis

waka. Jenis dari tanka ada somonka, ada banka, dan ada zoka. Puisi tanka

memiliki pola yaitu pola 57577 dimana bagian pertama 5 suku kata , bagian kedua

7 suku kata , bagian ketiga 5 suku kata , bagian keempat 7 suku kata , bagian

kelima 7 suku kata.

Selanjutnya puisi klasik dari Indonesia yang menjadi bahan perbandingan

disini adalah pantun Melayu. Pantun merupakan puisi klasik Indonesia yang

paling banyak dihasilkan dibandingkan puisi – puisi klasik Indonesia lainnya.

Pantun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri umumnya

dan suku Melayu khususnya. Menurut Nursito ( 2000:1 ), bahwa pantun dianggap

orang Melayu sebagai buah kesusastraan nenek moyang.

Pantun Melayu ada banyak jenisnya. Pola pantun terdiri atas empat larik

( empat baris bila dituliskan ), bersajak ab-ab. Tiap baris biasanya terdiri dari 8

sampai 12 suku kata. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya

tentang alam ( flora dan fauna ), dua baris terakhir merupakan isi dari pantun

(13)

Tanka dan pantun Melayu merupakan puisi klasik dan puisi klasik identik

dengan adanya unsur pengikat yang tegas dan jelas dibandingkan puisi modern.

Unsur pengikat tersebut biasanya didasarkan pada rima atau persamaan bunyi,

jumlah suku kata dalam satu baris atau bagian, jumlah baris dalam satu bait.

Hal-hal tersebutlah yang menjadikan terciptanya bentuk dari puisi-puisi klasik seperti

tanka dan pantun Melayu. Unsur – unsur pengikat ini juga termasuk ke dalam

unsur bentuk pada tanka dan pantun Melayu

Misalnya, unsur bentuk yang dimiliki pantun Melayu yaitu rima atau

persamaan bunyi yang selalu ada pada setiap akhir baris, irama, jumlah suku kata

dalam satu baris, dan jumlah baris dalam satu bait. Hal tersebut dapat dilihat pada

sebuah contoh pantun Melayu berikut:

www.melayuonline.com : Air dalam bertambah dalam Hujan di hulu belum lagi teduh Hati dendam bertambah dendam Dendam dahulu belum lagi sembuh.

Akan tetapi, unsur bentuk yang dimiliki tanka yaitu jumlah suku kata

dalam satu bagian, rima atau persamaan bunyi tetapi tidak selalu ada pada setiap

akhir bagian, irama, tanpa ketentuan jumlah baris dalam satu bait. Hal tersebut

dapat dilihat pada sebuah contoh tanka berikut:

(14)

Kokinshu I: 20 ( www.2001wakaforjapan.com ) :

adusayumi / oshite harusame / kefufurinu / asu sahe furaba / wakana tsumitemu

Terjemahan:

Ketapelku yang bengkok / aku luruskan dan hujan musim semi / jatuh hari ini / jika besok masih turun /

aku akan pergi mengumpulkan tumbuh-tumbuhan segar

Selain itu, tanka dan pantun Melayu merupakan puisi yang memiliki isi.

Penulis melihat tanka dan pantun Melayu memiliki persamaan isi karena tema dan

unsur ektrinsik yang sama.

Contohnya, tanka dan pantun Melayu sama-sama memiliki tema-tema

yang umum pada puisi seperti, kesedihan, percintaan, alam, dan religi. Akan tetapi,

tema pada tanka banyak yang dipengaruhi oleh empat musim sehingga di dalam

isinya terdapat kata-kata yang menunjukkan fenomena-fenomena alam yang

terjadi di dalam empat musim sedangkan tema pada pantun Melayu dipengaruhi

oleh kebiasaan masyarakat Melayu dalam memandang suatu hal yang ada di alam

atau kehidupan sehari-hari untuk dihubungkan dengan pengalaman didalam

kehidupan.

Penulis juga melihat tanka dan pantun Melayu memiliki persamaan unsur

bentuk seperti persamaan bunyi pada pantun Melayu yang juga ada pada tanka.

Akan tetapi, persamaan bunyi pada tanka tidak beraturan seperti pada pantun

(15)

unsur-unsur bentuk dan isi dari tanka dan pantun Melayu untuk menemukan

segi-segi persamaan dan perbedaan lainnya..

1.2. Perumusan Masalah

Tanka dan pantun Melayu memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai

salah satu jenis puisi klasik yang terdapat di negaranya masing – masing yaitu

tanka yang ada di Jepang serta pantun Melayu yang ada di Indonesia. Akan tetapi,

karena tanka dan pantun Melayu berasal dari negara yang berbeda , maka hal ini

sudah pasti membuat tanka berbeda dengan pantun Melayu.

Di sini penulis ingin menemukan perbedaan dan persamaan antara tanka

dan pantun Melayu dengan cara membandingkan bentuk dan isi dari tanka dengan

bentuk dan isi dari pantun Melayu. Apakah dalam hal perbandingan tersebut

terdapat unsur-unsur bentuk yang sama atau berbeda dari bentuk tanka dan bentuk

pantun Melayu. Apabila ada terdapat perbedaan dari keduanya, maka hal-hal apa

saja yang membedakan bentuk tanka dengan bentuk pantun Melayu. Akan tetapi,

apabila ada terdapat persamaan dari keduanya, maka hal-hal apapula yang dapat

menjadi persamaan antara bentuk tanka dengan bentuk pantun Melayu .

Dilihat dari segi unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik yang membuat

terciptanya isi suatu puisi termasuk tanka dan pantun Melayu, apakah ada terdapat

perbedaan dan persamaan unsur-unsur tersebut dalam isi tanka dan isi pantun

Melayu. Jika ada unsur-unsur tersebut yang sama, maka unsur-unsur apa saja yang

dimiliki isi tanka yang sama dengan yang dimiliki isi pantun Melayu atau

sebaliknya. Akan tetapi, jika ada unsur tersebut yang berbeda, maka

(16)

pantun Melayu atau sebaliknya. Apakah ada isi dari tanka dan pantun Melayu

memiliki tema yang sama atau berbeda.

Dengan begitu penulis dapat menemukan hal-hal apa saja dari bentuk dan

isi tanka yang dapat dijadikan persamaan dan perbedaan dengan bentuk dan isi

pantun Melayu atau sebaliknya.

Permasalahan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut:

1. Apakah perbedaan tanka dengan pantun Melayu dari segi bentuk dan isi.

2. Apakah persamaan tanka dengan pantun Melayu dari segi bentuk dan isi.

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Tanka dan pantun Melayu memiliki pengertian dan sejarahnya masing –

masing. Untuk itu, penulis akan menguraikan pengertian masing – masing dari

Tanka dan pantun Melayu. Penulis juga akan menguraikan sejarah dari Tanka dan

pantun Melayu secara umum. Tanka dan pantun Melayu juga terdapat beberapa

jenis di dalamnya. Untuk itu, penulis juga akan menguraikan jenis – jenis Tanka

dan jenis – jenis pantun Melayu

Tanka dan pantun Melayu memiliki aturan atau syarat masing – masing

dan unsur – unsur bentuk di dalamnya. Di sini penulis akan menyajikan beberapa

tanka dan pantun Melayu untuk membandingkan keduanya serta menemukan

persamaan dan perbedaan dari unsur - unsur bentuknya. Misalnya, bunyi (irama

dan rima), suku kata, dan tipografi ( baris dan bait ).

Di sini penulis juga akan menyajikan beberapa tanka dan pantun Melayu

untuk membandingkan keduanya serta menemukan persamaan dan perbedaan dari

(17)

intrinsik isi suatu puisi yaitu tema dan pesan. Unsur – unsur ekstrinsik misalnya,

unsur alam, keyakinan agama pengarang, pengalaman, perasaan, dan pandangan

lain dari sang pengarang dalam memandang sesuatu di dunia dan kehidupan.

Unsur – unsur intrinsik isi misalnya, tema percintaan, kesedihan, religi, dan

sebagainya. Akan tetapi, penulis akan membahas tema yang sama atau berbeda

saja serta unsur ekstrinsik dari tanka dan pantun Melayu.

Dalam penganalisaan hal – hal tersebut digunakan beberapa tanka dari

manyoshu yang terangkum dalam situs www.2001wakaforjapan.com dan buku Ajip

Rosidi dengan judul “Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang” dan beberapa

contoh tanka dari situs – situs waka di internet. Untuk pantun Melayu akan

digunakan beberapa pantun Melayu yang terangkum dalam situs

www.melayuonline.com dan buku yang ditulis oleh Nursito dengan judul

“Ikhtisar Kesusastraan Indonesia” serta beberapa contoh pantun Melayu dari

situs-situs pantun di internet.

Selain itu, juga digunakan beberapa buku dan beberapa artikel yang

berasal dari internet yang dapat membantu dalam hal menguraikan pengertian,

sejarah, dan jenis - jenis dari tanka dan pantun Melayu secara umum serta yang

dapat membantu dalam menganalisa perbandingan antara tanka dengan pantun

Melayu dari segi bentuk dan isinya.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Menurut Rosidi (1989:11) yang menyatakan bahwa tanka adalah suatu

(18)

di dalam bahasa Jepang berarti puisi Jepang. Kata tersebut pada mulanya

digunakan sepanjang periode Heian untuk membedakan antara puisi asli Jepang

dengan kanshi ( puisi dari Cina ) dimana semua rakyat Jepang dididik untuk

terbiasa dengan itu.

Waka merupakan pengembangan dari kayo ( nyanyian rakyat ) yang

merupakan dasar dari semua persajakan di Jepang. Ekspresinya masih dipengaruhi

oleh kayo. Waka memiliki sebuah ungkapan yang maknanya mewakili

sekelompok kata dan tidak memiliki hubungan makna dengan isi waka dikenal

dengan istilah makura kotoba yang merupakan semacam ungkapan tetap yang

ditempatkan pada bagian pertama atau bagian ketiga dari waka.

Tanka sendiri secara harafiah memiliki pengertian yaitu puisi pendek

dengan pola 57577 dimana bagian pertama 5 suku kata , bagian kedua 7 suku

kata , bagian ketiga 5 suku kata , bagian keempat 7 suku kata , bagian kelima 7

suku kata. Jenis dari tanka ada somonka, ada banka, dan ada zoka. Makura kotoba

yang merupakan bentuk retorika waka juga digunakan dalam tanka.

Makura kotoba merupakan semacam ungkapan tetap yang ditempatkan

pada baris pertama atau ketiga pada puisi – puisi waka termasuk pada tanka untuk

memenuhi syarat pola 5 suku kata. Makura kotoba merupakan sebuah kata

ungkapan yang mewakili sekelompok kata atau beberapa kata. Adakalanya

makura kotoba tidak memiliki hubungan arti dengan tema utama tanka.

Begitu juga dengan pantun Melayu. Pantun merupakan salah satu jenis

puisi lama dalam beberapa bahasa Nusantara, terutama bahasa Melayu. Oleh

karena itu, pantun Melayu lebih dikenal daripada pantun-pantun lain yang ada di

(19)

Menurut Nursito ( 2000:11 ), bahwa kata pantun mengandung arti yaitu sebagai,

seperti, ibarat, umpama, laksana.

Dalam pantun Melayu ada istilah sampiran dan isi. R.B. Slamet Mulyana

dalam bukunya “Bimbingan Seni Sastra” membuat kesimpulan bahwa mula –

mula memang ada hubungan baris 1-2 dengan baris 3-4 pada pantun Melayu.

Akan tetapi, karena banyak pencipta pantun Melayu yang sebenarnya tidak ahli

membuat pantun Melayu, mereka akhirnya membuat pantun Melayu tidak

berdasarkan aturan. Mereka hanya memperhatikan yang tampak saja dalam hal ini

yaitu persamaan bunyi. Jika didasarkan pada isi, pantun Melayu banyak jenisnya.

Misalnya, pantun anak – anak yang terbagi atas pantun duka dan pantun suka.

Pantun remaja yang terbagi atas pantun cinta, jenaka, teka – teki. Pantun orang tua

yang terbagi atas pantun agama, adat, nasehat.

1.4.2. Kerangka Teori

Menurut Abdul Rozak Zaidan,dkk dalam buku berjudul “Kamus Istilah

Sastra” ( 1991:123 ) yang mengatakan bahwa sastra bandingan ialah telaah dan

analisa terhadap kesamaan pertalian karya sastra berbagai bahasa dan bangsa serta

salah satu bidang kajian kesusastraan bandingan adalah masalah bentuk atau jenis

sastra. Oleh karena itu, Perbandingan antara tanka dengan pantun Melayu

merupakan sastra bandingan.

Teori yang digunakan dalam perbandingan antara tanka dengan pantun

Melayu adalah teori strukturalisme dinamik. Menurut Nyoman Kutha

(20)

analisis unsur – unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis

yang sama maupun yang berbeda, memiliki unsur – unsur yang berbeda.

Untuk itu digunakan teori tersebut dalam hal perbandingan tanka dengan

pantun Melayu karena keduanya merupakan karya sastra yang memiliki jenis

yang sama tetapi unsur-unsurnya sudah pasti tidak sama seluruhnya, tentu ada

perbedaan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis menggunakan teori ini untuk

menemukan unsur-unsur yang berbeda.

Selanjutnya mengenai bentuk dan isi tanka dan pantun Melayu. Menurut

Suminto Sayuti ( 1985:16 ), bahwa puisi memiliki unsur intrinsik yang terbagi

atas unsur bentuk dan unsur isi, unsur bentuk adalah bunyi (irama dan rima), kata

( diksi, suku kata, gaya bahasa ) dan tipografi ( baris dan bait ), unsur isi adalah

tema dan pesan. Berdasarkan teori tersebut dalam kaitannya dengan perbandingan

tanka dan pantun Melayu, penulis membatasi hanya membahas unsur intrinsik

bentuk yaitu bunyi (irama dan rima), suku kata, dan tipografi ( baris dan bait ),

serta unsur isi yaitu tema dan pesan.

Selanjutnya mengenai unsur ektrinsik yang membangun isi tanka dan

pantun Melayu. Menurut Suminto Sayuti ( 1985:17 ), bahwa isi sebuah puisi

dibangun oleh unsur ekstrinsik karena unsur ektrinsik adalah isi yang mewarnai

karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra yaitu, alam,

religi, ide, pengalaman, perasaan, dan pandangan lain dari sang pengarang dalam

memandang sesuatu di dunia dan kehidupan. Unsur – unsur ekstrinsik itulah yang

membuat terciptanya unsur intrinsik isi puisi seperti tema dan pesan. Penulis akan

(21)

Melayu berdasarkan teori tersebut dalam kaitannya dengan perbandingan tanka

dan pantun Melayu,

Adapun pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perbandingan

antara tanka dengan pantun Melayu adalah pendekatan intrinsik dan ekstrinsik.

Menurut Nyoman Kutha Ratna ( 2004:78-79 ) yang menyatakan bahwa karya

sastra dapat dianalisa dengan dua cara. Pertama, menganalisa unsur-unsur yang

terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisa unsur-unsur diluarnya.

Analisa pertama dilakukan melalui pendekatan intrinsik, sedangkan analisa yang

kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan dilakukan atas

dasar kedua analisa.

Berdasarkan pendapat tersebut maka akan digunakan pendekatan intrinsik

dan ekstrinsik di dalam menganalisa perbandingan tanka dan pantun Melayu.

Pendekatan intrinsik untuk membandingkan unsur-unsur intrinsik yang

terkandung di dalam tanka dan pantun Melayu. Akan tetapi, pendekatan

ekstrinsik digunakan untuk mengetahui unsur-unsur ekstrinsik dari isi tanka dan

pantun Melayu. Misalnya, unsur ekstrinsik dalam tanka yaitu pengaruh empat

musim yang ada di Jepang dan dalam pantun Melayu yaitu agama.

Dalam hal untuk memahami isi dari tanka dan isi dari pantun Melayu,

maka digunakan pendekatan semiotik karena untuk memahami isi diperlukan

pemahaman terhadap makna di dalamnya. Menurut Pradopo, dkk ( 2001:71)

menyatakan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini

menganggap bahwa fenomena-fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan

merupakan tanda-tanda, Tanda-tanda tersebut bermanfaat dalam melihat sejauh

(22)

semiotika sendiri dipelajari sistem-sistem, aturan-aturan, serta konvensi-konvensi

yang menunjukkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Tanpa memperhatikan

sistem tanda, tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra

tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis menggunakan pendekatan

semiotik untuk menguraikan tanda-tanda dan fenomena –fenomena yang terdapat

di dalam isi tanka dan pantun Melayu sehingga dapat diketahui makna isi tanka

dan pantun Melayu tersebut.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk menemukan perbedaan dan persamaan antara tanka dengan

pantun Melayu dari segi isi dan bentuknya.

2. Untuk mengetahui sejarah mengenai tanka dan pantun Melayu.

b. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang tanka dan pantun

Melayu.

2. Memberikan wawasan baru tentang perbedaan dan persamaan

antara tanka dengan pantun Melayu dari segi isi dan bentuk.

3. Memberikan wawasan tentang hal-hal ekstrinsik yang

(23)

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode formal. Menurut Nyoman Kutha

Ratna (2004:51), menyatakan bahwa metode formal adalah analisa dengan

mempertimbangkan unsur-unsur bentuk karya sastra. Berdasarkan metode

tersebut, maka penulis akan meneliti unsur-unsur bentuk karya sastra puisi yang

terdiri dari rima, suku kata, bait atau baris pada tanka dan pantun Melayu. Hal itu

dikarenakan tanka dan pantun Melayu tergolong karya sastra dengan jenis puisi.

Metode penelitian yang kedua adalah metode deskriptif analisa. Metode

deskriptif analisa dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang

kemudian disusul dengan penganalisaan. Menurut Nyoman Kutha Ratna

( 2004:53 ), menyatakan bahwa secara etimologis deskripsi dan analisa berarti

menguraikan. Meskipun demikian, analisa yang berasal dari bahasa yunani telah

diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga

memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analisa

juga dapat digabungkan dengan metode formal. Caranya, mula-mula data

dideskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian

dianalisa, bahkan juga dibandingkan.

Berdasarkan metode tersebut, maka peneliti akan menguraikan

sumber-sumber yang berhubungan dengan tanka dan pantun Melayu serta memberikan

penjelasannya lalu menganalisanya dan membandingkan antara tanka dengan

pantun Melayu dari segi bentuk dan isi.

Data yang digunakan adalah data tulisan. Data tulisan ini dikutip dari

berbagai buku yang berhubungan dengan permasalahan yang ada seperti

(24)

kesusastraan Jepang dan Indonesia. Teknik penelitian yang digunakan adalah

penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelaahan buku-buku

kepustakaan. Peneliti juga menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang berasal

dari internet.

Selain itu, dikarenakan penggunaan bahan-bahan dengan bahasa asing,

maka peneliti akan menggunakan metode terjemahan. Menurut Machali (2004:48),

menyatakan bahwa metode terjemahan adalah metode yang berkenaan dengan

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP TANKA DAN PANTUN MELAYU

2.1. Tanka

2.1.1. Pengertian Tanka

Tanka merupakan karya sastra puisi yang dihasilkan oleh bangsa Jepang

yang merupakan salah satu dari beberapa jenis waka ( puisi Jepang ). Tanka

merupakan bentuk paling tua dari puisi Jepang selama 1300 tahun. Dari tahun ke

tahun, bentuk tanka tetap sama yaitu 31 suku kata. Di Jepang tanka tertulis

sebagai satu deret puisi dengan 31 suku kata.

Jika dilihat dari huruf kanjinya, kata tanka terdiri dari dua kanji yang

berbeda . Masing – masing kanji tersebut dapat berdiri sendiri dan memiliki arti.

Tan berasal dari kanji mijika ( 短 ) yang berarti pendek. Ka berasal dari kanji uta

( 歌 ) yang berarti nyanyian atau bisa juga puisi.

Akan tetapi, kedua kata tersebut digabungkan sehingga menjadi sebuah

kata baru yaitu tanka yang berarti puisi pendek dan kedua kanji yang berbeda

tersebut juga digabungkan. Dengan bergabungnya kedua kanji tersebut, maka

bunyi katanya juga berubah sehingga menjadi tanka yang makna katanya berarti

puisi pendek.

Tanka merupakan puisi yang bentuknya didasarkan pada pola suku kata.

Pola suku kata tanka terdiri dari lima bagian dan sebagai bentuk terpisah bila

(26)

5-7-5 disebut kami-no-ku ( ungkapan bagian atas ) dan 7-7 disebut shimo-no-ku

( ungkapan bagian bawah ).

Di ujung abad ke-12, penyair-penyair yang membuat bentuk puisi dalam

tiga puluh satu suku kata atau tanka telah mulai menyelidiki dengan teknik-teknik

yang sedikit berbeda, seperti membagi puisi-puisi dan gambaran-gambaran

mereka ke dalam dua bagian yaitu 5/7/5 dan 7/7 suku kata.

Akan tetapi, pola puitis dari suku kata (onji) yang telah meningkat dari

abad ke-7 adalah penggunaan dari 5 atau 7 suku kata (onji) untuk satu tanka atau

puisi pendek yang terdiri dari 31 onji, yang diatur di dalam bentuk percakapan

dari 5-7, 5, dan 7-7.

Tanka digunakan dalam suatu kebiasaan yang meliputi alam di dalam

mengungkapkan perasaan atau pemikiran, walaupun tidak selalu. Di dalam

praktek tradisional, dua bagian pertama (5-7) melukiskan sesuatu yang tentang

alam, bagian ketiga sebagai penengah dan dua bentuk akhir menyatakan satu

kondisi manusia atau perasaan.

Tanka pada masa lampau disebut hanka ( puisi kesimpulan ). Hal ini

dikarenakan bentuk 5-7-5-7-7 yang diperoleh merupakan kesimpulan dari satu

choka atau merupakan puisi yang mewakili keseluruhan isi suatu choka tetapi

jumlah suku katanya tidak sebanyak choka. Biasanya satu choka mempunyai dua

perwakilan atau dua hanka atau tanka.

2.1.2. Sejarah Tanka

Menurut Japan The Official Guide ( hal.159 ), bahwa dahulu, 17 suku

(27)

selanjutnya dibuat orang yang baru. Misalnya, dalam sebuah perkumpulan,

seseorang yang hadir memulai acara tersebut dengan merangkai 17 suku pertama

dari tanka dan orang yang lain melanjutkannya dengan merangkai 14 suku

terakhir yaitu dua deret kata – kata penutupnya sehingga dengan begitu selesailah

tanka tersebut.

Selain itu, penyair-penyair abad ke-7 pada masa kaisar Saimei mulai

menciptakan tanka dan choka yang bentuknya ada sampai saat ini. Di dalamnya

terdapat nama tempat yang membangkitkan ingatan dan kata-kata bantal atau

makurakotoba ( 枕詞 ). Seiring dengan itu, kesusastraan Cina diperkenalkan di

dalam Jepang juga pada abad ke-7.

Sebenarnya, pada setengah abad sebelumnya, kesusastraan Cina mulai

mempengaruhi kesusastraan Jepang. Sejak masa pemerintahan kaisar Temmu,

bangsawan telah membuat beberapa usaha untuk menceriterakan puisi Cina.

Huruf Cina merupakan simbol pendidikan dan memiliki nilai tinggi sehingga

kebanyakan orang istana berpuisi di dalam bahasa Cina. Karya-karya ini

dikumpulkan di dalam Kaifuso yaitu kumpulan puisi Cina yang paling awal dalam

perpuisian di Jepang yang diterbitkan pada awal periode Heian. Dalam buku ini

puisi kematian dari Pangeran Ōtsu masih ada hingga saat ini.

Selanjutnya, tanka juga dihasilkan di dalam Kojiki yang merupakan tulisan

paling tua yang muncul pada abad ke-8 yang termasuk dalam literatur Jepang.

Ōno Yasumaro ( 太安万侶 ) merupakan orang yang menyusun sejarah dan

mitologi Jepang yang disusun di dalam Kojiki. Banyak dari potongan-potongan

(28)

tulisan. Akan tetapi, pada masa Kojiki tersebut telah ada sistem penulisan Jepang

yang paling awal dan penting yang juga digunakan dalam manyoshu yaitu

manyogana.

Sistem penulisan ini digunakan pada masa awal Kojiki (712). Sistem

penulisan ini cukup berpengaruh dalam sistem menulis yang bernama kana

Manyoshu. Sistem ini menggunakan huruf Cina dalam suatu variasi dari

fungsi-fungsi seperti, pikiran, logografik atau ideografik umum mereka untuk

merepresentasikan suku kata Jepang secara fonetis. Penggunaan huruf Cina untuk

merepresentasikan suku kata Jepang dalam kenyataannya merupakan asal usul

sistem penulisan kana silabis modern, yang disederhanakan menjadi hiragana atau

katakana yang berasal dari manyogana.

Selanjutnya, buku sejarah paling tua dari Jepang yang selesai dua tahun

setelah Kojiki, juga berisi potongan-potongan puisi tanka walaupun sebagian

besar puisi yang ada di dalamnya tidak panjang dan tidak mempunyai bentuk yang

tetap. Puisi pertama terdokumentasikan di dalam buku kedua ini, dihubungkan

dengan satu kami (dewa), yang dinamai Susanoo (須佐之男) yang merupakan

adik laki-laki dari Amaterasu. Ketika ia menikahi Puteri Kushinada di propinsi

Izumo, ia membuat sebuah waka yang berbentuk tanka yaitu sebagai berikut:

八雲立つ 出雲八重垣 妻籠 に 八重垣作 そ 八重垣

(29)

Puisi tersebut adalah waka paling tua dan merupakan puisi tertua yang tertulis

dalam bahasa Jepang. Puisi tersebut sangat dipuji dan dihormati karena diciptakan

oleh seorang kami (dewa).

Buku selanjutnya adalah Nihonshoki yang berisi tentang tokoh-tokoh yang

lebih baru dan hal-hal baru selanjutnya (hingga pemerintahan kaisar Temmu)

dibandingkan dengan Kojiki. Tema-tema dari waka di dalam Nihonshoki yaitu;

cinta, duka cita, sindiran, tangis peperangan, pujian dari kemenangan, teka-teki

dan sebagainya. Banyak orang yang berkarya di dalam Kojiki tanpa nama.

Sebagian orang di dalamnya berhubungan dengan kami (dewa), permaisuri -

permaisuri, kaisar - kaisar, jendral-jendral ,bangsawan, masyarakat biasa dan

kadang-kadang musuh kerajaan. Kebanyakan karya – karya di dalamnya selalu

dihubungkan dengan seorang yaitu kami (dewa) Susanoo.

Selanjutnya, pada abad 9 di tahun 710 ibukota Jepang pindah ke Nara

sehingga dimulailah periode Nara (710-794). Pada periode Nara, pengaruh Cina

mencapai puncaknya. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya sebuah kuil

budha yang bernama Todaiji. Selain itu, dibuat patung budha besar atas perintah

kaisar Shumu. Pada pertengahan periode Nara tepatnya tahun 760 dihasilkan

sebuah buku antologi puisi yang dikenal dengan sebutan manyoshu. Manyoshu

terdiri dari 4516 puisi. 4173 puisi berbentuk tanka, 260 puisi berbentuk choka, 62

puisi berbentuk sedoka, 21 puisi berbentuk nagauta. Penyair-penyair penting

waka yang juga menghasilkan tanka di dalamnya adalah Otomo No Tabito,

Yamanoue No Okura, dan Yamabe No Akahito. Di dalamnya juga banyak

penyair-penyair wanita yang sebagian besar menulis puisi-puisi cinta yang

(30)

Penyair-penyair manyoshu yang berasal dari kaum bangsawan dilahirkan

di Nara. Akan tetapi, kadang-kadang tinggal atau menempuh perjalanan di

propinsi - propinsi lain sebagai birokrat - birokrat kaisar. Penyair-penyair ini

menuliskan citraan perjalanan mereka dan emosi mereka yang dinyatakan untuk

anak-anak atau kekasih-kekasihnya. Kadang-kadang puisi-puisi mereka

mengkritik kegagalan politik pemerintahan atau kekejaman dari pejabat-pejabat

lokal.

Contohnya, Yamanoue No Okura menulis satu choka yang merupakan

sebuah tanya jawab dari dua orang pengemis (貧窮問答歌, Hinkyu mondoka).

Dalam puisi ini, dua manusia miskin meratapi hidup mereka yang berasal dari

kemiskinan. Choka tersebut disimpulkan dalam sebuah hanka tetapi berbentuk

tanka sebagai berikut:

世 中 憂し やさし へ 飛び立ち つ 鳥にしあら

Yononaka wo / ushi to yasashi to / omohe domo / tobitachi kanetsu / tori ni shi araneba. Terjemahan :

Aku merasakan hidup adalah / tak tertahankan dan sedih / meskipun demikian / aku tidak bisa pergi melarikan diri / karena aku bukan seekor burung.

Manyoshu tidak hanya berisi puisi-puisi dari kaum bangsawan tetapi juga

orang-orang biasa yang tidak dikenal. Puisi-puisi tersebut dinamai Yomibito

shirazu yang merupakan puisi-puisi yang pengarangnya tidak dikenal.

Selanjutnya, pada periode Heian terlihat banyak tanka. Pada awal periode

(31)

dalam bentuk choka menjadi jarang dihasilkan. Oleh karena itu, tanka menjadi

bentuk utama dari waka. Tanka menjadi populer di kalangan wanita istana, para

bangsawan, dan para pendeta. Sejak itulah istilah umum waka menjadi hampir

serupa dengan tanka. nada dari puisi tanka selalu mencerminkan nada

kebangsawanan kaisar Jepang dan para selirnya.

Pada periode Heian juga terdapat suatu penemuan baru permainan tanka

yaitu dengan cara seorang penyair menciptakan separuh dari jumlah suku kata

sebuah tanka dan penyair yang lainnya membalasnya dan menyelesaikannya.

Permainan ini merupakan tanka kolaboratif yang disebut renga ( puisi yang

terhubung atau bersambung ). Bentuk dan peraturan tentang renga berkembang

selama masa pertengahan.

Pada masa selanjutnya, tanka masih ada pada antologi puisi yang bernama

kokinshu yang dibuat pada tahun 950 yang dibuat atas perintah kaisar. Tanka terus

berlanjut dan masih ada pada masa Kamakura ( 1185-1336 ) yaitu pada antologi

puisi yang bernama shinkokinshu yang dibuat pada permulaan masa tersebut.

Keberadaan tanka tampaknya masih banyak digemari oleh penyair Jepang hingga

saat ini, bahkan penyair barat juga berusaha membuat puisi dengan bahasa Inggris

dalam bentuk tanka.

2.1.3. Syarat Tanka

Tanka merupakan sebuah puisi yang bentuknya harus dibangun dari 5

bagian (ku) dengan suku kata (onji) dalam jumlah ganjil yaitu 5 dan 7 suku kata

(32)

keempat7 onji, ku kelima 7 onji.Tanka ditulis dalam satu garis atau deretan yang

tidak diberi tanda baca.

Suku kata di dalamnya terdiri atas satu huruf vokal, atau huruf konsonan

plus huruf vokal. Selain itu, puisi Jepang hanya mempunyai lima huruf hidup,

karenanya puisi Jepang tidak tergantung pada sajak. Tidak ada aksen-aksen

tekanan puisi. Sebagai gantinya, puisi Jepang tradisional diberi irama dengan

menuliskannya pada suatu pola yaitu 5/7/5/7/7 bagian atau penentuan bunyi,

dengan bermacam-macam perhentian nafas yang dibuat ketika membacanya.

Perhentian napas untuk tanka ada yang dengan dua jarak terpisah yaitu

bagian irama utama yang dipisahkan oleh satu perhentian pertama pada ujung

suku kata (onji) ke-12. Setelah itu, irama memulai tugas lagi dan berlanjut hingga

akhir puisi. Akan tetapi, menurut Richard MacDonald dalam artikelnya yang

berjudul What Is A Tanka (1995), menyatakan bahwa tanka memiliki irama

dengan pola – pola berikut :

1. Pola awal irama ini adalah:

irama bagian (ku) pertama : 5-7 suku kata (onji)

irama bagian (ku) kedua : 5-7-7 suku kata (onji).

2. Kemudian, pola irama dominan berubah ke:

irama bagian (ku) pertama : 5-7-5 suku kata (onji)

irama bagian (ku) kedua : 7-7 suku kata (onji).

3. Variasi lain ada yang dicoba dan dengan sukses digunakan, seperti :

irama bagian (ku) pertama : 5 suku kata (onji)

irama bagian (ku) kedua : 7-5 suku kata (onji)

(33)

atau:

irama bagian (ku) pertama : 5-7 suku kata (onji)

irama bagian (ku) kedua : 5-7 suku kata (onji)

irama bagian (ku) ketiga: 7 suku kata (onji).

2.1.4. Jenis – jenis Tanka

Tanka diklasifikasikan jenis isinya ada tiga yaitu soumonka, banka, dan

zouka. Soumonka merupakan tanka yang isinya tentang cinta.Tanka – tankanya

adalah sebagai berikut :

MYS IV: 748 ( www.2001wakaforjapan.com )

Kohishinamu / soko mo onaji zo / nani semu ni / hitöme hito goto / kochitami are semu

Terjemahan :

Mati disebabkan cinta / itu semua ada / oh, mengapa / perlukah kerlingan dan lidah-lidah dengki /

sangat menyakitkan aku

Manyoshu IV: 746 ( www.2001wakaforjapan.com )

(34)

nuheru fukuro wa Terjemahan :

Senja dan dinihari / adalah waktu aku melihat / kekasihku / belum melihatnya seolah-olah aku telah melihatnya bukan / Betapa aku mencintainya.

Selanjutnya, banka adalah tanka yang isinya menceritakan tentang hal –

hal yang menyebabkan kesedihan misalnya kematian dan perpisahan dan nasib

yang menyedihkan. Tanka – tankanya adalah sebagai berikut :

Manyoshu II: 218 ( www.2001wakaforjapan.com )

Sasanami no / shigatsu no kora ga / makarimichi no / kawase no michi wo / mireba sabusi mo

Terjemahan :

Koncah-koncah / di Shigatsu, rumah mu, nyonya, / alur perpisahanmu / di antara sungai dangkal / satu pandangan sekilas membawa duka cita

Goshuishu X: 575 Izumi Shikibu ( www.2001wakaforjapan.com )

Naki hito no / kuru yo to kikedo / kimi mo nasi / wa ga sumu yado ya / tamanaki no sato

(35)

Orang mati / kembali malam ini, aku telah mendengar, namun / kau bukan di sini / dengan nyata ditempat hunianku /

sebuah rumah tanpa jiwa

Selanjutnya, zouka adalah tanka yang isinya menceritakan di luar dari isi

soumonka dan banka misalnya tentang alam, nasehat, perjalanan, religi, dan

sebagainya. Contohnya, pada tanka- tanka dan terjemahan tanka berikut :

Manyoshu III : 318 Sepanjang pantai Tago kami tiba di tanah terbuka dan melihat betapa putih ia

kerucut agung gunung Fuji gemerlap

diselimuti salju yang baru mengendap ( Mengenal Sastra dan SastrawanJepang,Ajip Rosidi, 1989 ) ( tanka alam )

Manyoshu XX: 4468 ( www.2001wakaforjapan.com )

utsusemi wa / kazu naki mï nari / yama kawa no / sayakeki mitsutsu / michi wo tazune na

Terjemahan :

Dunia kita ini / tidak lain adalah sesuatu yang melewati /

sebuah arus gunung /

kemurnian bersih di dalam tatapanku /

(36)

Manyoshu V : 803

銀 金 玉 何せ に さ 宝子にし や

Shirogane mo / kogane mo tama mo / Nanisen ni / masareru takara / konishikame yamo.

Terjemahan :

Apa guna buatku perak, emas dan permata, tidak ada harta yang lebih mulia dari anak – anak kita. ( tanka nasehat )

Tujuh dari delapan puisi Hitomaro ketika melakukan perjalanan ( www.2001wakaforjapan.com )

tamamo karu / minume wo sugite / natsu kusa nö / noshima ga saki ni / punechikatjukinu

Terjemahan :

Rumput – rumput laut yang dipanen / ketika melewati Minume / di saat rumput-rumput musim panas subur / ketika berhenti di Noshima / kapalku mendekat ( tanka perjalanan )

2.2. Pantun Melayu

2.2.1. Pengertian Pantun Melayu

Pantun Melayu merupakan karya sastra puisi yang dihasilkan oleh suku

(37)

bunyi terakhir pada baris kedua b, bunyi terakhir pada baris ketiga a, dan bunyi

terakhir pada baris keempat b ). Biasanya jumlah kata pada tiap-tiap baris adalah

empat kata. Dua baris pertama pada pantun Melayu merupakan sampiran dan dua

baris terakhir pada pantun Melayu merupakan isi dari pantun Melayu.

Selanjutnya, mengenai kata ‘pantun’ itu sendiri. Ada berbagai pendapat

mengenai asal dan makna kata ‘pantun’. Ada yang berpendapat bahwa makna

pantun sama dengan ‘umpama’. Menurut Zuber Usman, kata pantun berasal dari

‘pa-tuntun’ ( pa-tuntun = penuntun ). Sementara itu, A.A. Navis (1985) dalam

bukunya Alam Terkembang Jadi Guru menjelaskan bahwa, perubahan bunyi

‘pa-tuntun’ menjadi ‘pantun’ adalah hal yang lazim dalam bahasa Melayu, seperti

halnya kata ‘rumput-rumput’ menjadi ‘rerumput’ dan ‘laki-laki’ menjadi ‘lelaki’.

Beberapa pantun Melayu sendiri menunjukkan bahwa kata ‘sepantun’ sama

dengan ‘seumpama’.

2.2.2. Syarat Pantun Melayu

Pantun Melayu merupakan karya sastra puisi lama dan puisi lama

memiliki bentuk terikat. Bentuk terikat tersebut dikarenakan adanya beberapa

syarat yang harus dipenuhi dalam menciptakan sebuah pantun Melayu sehingga

sebuah puisi yang diciptakan dapat dikatakan atau digolongkan sebagai puisi yang

berjeniskan pantun Melayu. Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah puisi

agar dapat digolongkan atau dikatakan sebagai sebuah pantun Melayu adalah

sebagai berikut :

(38)

b. Pola bunyi a-b-a-b. Maksudnya, bunyi akhir pada kata terakhir dalam baris

yang pertama adalah a, bunyi akhir pada kata terakhir dalam baris yang kedua

adalah b, bunyi akhir pada kata terakhir dalam baris yang ketiga adalah a, bunyi

akhir pada kata terakhir dalam baris yang keempat adalah b. Namun, a-b-a-b

tersebut hanya umpama. Maksud yang sebenarnya adalah bunyi akhir pada kata

terakhir dalam baris yang pertama dan ketiga adalah huruf dengan bunyi yang

sama. Selanjutnya, bunyi akhir pada kata terakhir dalam baris yang kedua dan

keempat juga huruf dengan bunyi yang sama. Akan tetapi, bunyi akhir pada kata

terakhir dalam baris yang pertama dan ketiga tidak sama dengan bunyi akhir pada

kata terakhir dalam baris yang kedua dan keempat.

c. Baris pertama dan kedua dijadikan sebagai sampiran dari sebuah pantun

Melayu.

d. Baris ketiga dan keempat dijadikan sebagai isi dari sebuah pantun Melayu.

e. Sebuah pantun Melayu haruslah memiliki irama yang baik. Untuk memenuhi

irama yang baik inilah, maka pantun Melayu setiap baris harus terdiri dari 8 suku

kata dan tidak lebih dari 12 suku kata.

f. Menurut Nyoman Tusthi Eddy ( 1991:102 ), menyatakan bahwa pola irama

pantun Melayu bersifat tetap yaitu tiap selesai dua kata ada jeda yang ditandai

dengan tanda (/ ) yaitu sebagai berikut :

(39)

2.2.3. Sejarah Pantun Melayu

Sejarah pantun Melayu tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan Pasai

karena pantun Melayu mulai dikenal pada masa sejarah kesusastraan Pasai.

Kerajaan Pasai ada pada 1250-1524 M atau tepatnya pada pertengahan abad ke-12

hingga abad ke-15. Pada awalnya, Pasai belum memeluk agam Islam.Akan tetapi,

raja pertama Pasai yang bernama Sultan Malik Al Saleh memeluk agama Islam

pada akhir abad ke-12.Selanjutnya, pada abad ke-13 seluruh Pasai telah memeluk

agama Islam.

Pada saat itu pula, Pasai pun dijadikan sebagai pusat perkembangan agama

Islam.Dengan dijadikannya Pasai sebagai pusat perkembangan agama Islam,

maka terjadilah peralihan kesusastraan Melayu kuno dibawah pengaruh

kebudayaan Hindu yang menggunakan huruf pallawa dengan bahasa sansekerta

menjadi kesusastraan Melayu Islam dibawah pengaruh kebudayaan Islam yang

menggunakan huruf Jawi dengan bahasa Melayu atau dikenal dengan tulisan Arab

Melayu.

Pada masa kesusastraan Melayu Islam, kaum ulama yang memiliki

peranan besar dalam perkembangan kesusastraan serta peranan yang kuat dalam

istana. Karya – karya sastra yang dihasilkan sebagian besar selalu berhubungan

dengan Islam. Akan tetapi, pada masa sebelum abad ke-15, pantun Melayu belum

dikenal. Pada masa sebelum abad ke-15, karya – karya sastra yang dihasilkan

berupa silsilah raja Pasai, cerita – cerita hikayat, cerita riwayat nabi, karya agama

tentang ajaran dan hukum Islam, puisi lama yang menggunakan bahasa berirama

(40)

Barulah pada abad ke-15 muncul karya sastra yang disebut pantun Melayu.

Menurut Winstedt ( 1960,195 ) bahwa, pantun Melayu mulai dikenal dalam

kesusastraan Melayu klasik sekitar abad ke-15. Ada sebuah pantun Melayu yang

ditemukan pada teks – teks sejarah Melayu yang ditulis oleh Raffles MS 18 yang

diterjemahkan oleh Winstedt. Pantun Melayu tersebut adalah sebagai berikut :

Cau Pandan anak Bubunnya

Hendak menyerang ka-Malaka

Ada cincin berisi bunga

Bunga berisi air mata

Akan tetapi, ada peneliti lain yang meneliti setelah Winstedt yaitu

Shellabear. Dalam teks – teks sejarah Melayu yaitu cerita Hikayat Raja Pasai yang

diterjemahkan oleh Shellabear terdapat lebih banyak lagi pantun – pantun Melayu

yang ditemukannya. Pantun - pantun Melayu tersebut adalah sebagai berikut :

Telur itik dari Senggora

Pandan terletak dilangkahi

Darahnya titik di Singapura

Badannya terhantar di Langkawi.

Kota Pahang dimakan api

Antara Jali dengan Bintan

(41)

Bukan begitu perjanjian.

Tidak hanya itu saja, Shellabear juga menemukan pantun – pantun Melayu

dalam teks – teks sejarah Melayu dalam cerita – cerita hikayat lainnya. Dalam

cerita Hikayat Si Miskin pantunnya sebagai berikut :

Ayam Wolanda terbang ke Haji

Sampai di Haji memakan padi

Masuk Serani memakan babi.

Dalam Hikayat Langlang Buana, pantunnya adalah sebagai berikut :

Buah sentul buah kecapi

Buahnya ada di dalam serahi

Berkat Rasul khatam albani

Terimalah apa kiranya kami.

Dalam Hikayat Inderapatera, pantunnya adalah sebagai berikut :

Lebah dikarang di dalam hutan

Dibakar lagi ditebang

Adakah ingat baginda Sultan

(42)

Peneliti – peneliti pantun Melayu tersebut menemukan teks – teks pantun

Melayu di dalam kitab sejarah Melayu yang menggunakan huruf Jawi. Huruf

Jawi merupakan tulisan arab tetapi menggunakan fonetik bahasa Melayu.

Diperkirakan huruf ini dikenalkan pada zaman permulaan Islam. Pada saat itu

pula kerajaan Pasai menjadi pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu ( 1250 –

1524 M ). Oleh karena itu pantun – pantun Melayu klasik yang dihasilkan banyak

ditemukan dari peninggalan – peninggalan kerajaan Pasai dan menggunakan huruf

Jawi.

Selain Winstedt dan Shellabear, ada peneliti lain sebelumnya yang

bernama Overbeck yang meneliti mengenai asal mula pantun Melayu. Menurut

Overbeck dalam bukunya ( TheMalay Pantun, 1922 ) bahwa, pantun Melayu

berasal dari seloka Hindu mendapat pengaruh India yang terdiri dari empat baris

dan delapan suku kata dalam setiap barisnya. Hal itu dikarenakan ia menemukan

seloka dalam karya Ramayana dan Sakuntala yang memiliki seni kata seperti pada

pantun Melayu. Seloka merupakan bentuk puisi yang terkenal pada masa kejayaan

kerajaan Hindu yang telah berkembang lebih dahulu sebelum masuknya Budha

dan Islam.

Akan tetapi, setelah kedatangan Islam di Indonesia dengan kerajaan Pasai

sebagai pusat perkembangannya, maka muncullah suatu karya yang seperti seloka

milik Hindu yang disebut pantun Melayu. Seloka terdiri dari 4 baris dengan

delapan suku kata tiap baris, mendapat pengaruh dari India, menggunakan huruf

pallawa yang sekarang digunakan dalam bahasa sansekerta tetapi pada masa itu

(43)

terdiri dari 4 baris dengan delapan suku kata tiap baris, mendapat pengaruh dari

Arab, menggunakan huruf Jawi yaitu huruf arab dengan fonetik bahasa Melayu.

Hal itu semua dikarenakan, setelah masuknya Islam ke Indonesia dengan

kerajaan Pasai sebagai pusat perkembangannya, maka runtuhlah kerajaan –

kerajaan Hindu dan Budha. Dengan demikian, seluruh peninggalan karya – karya

sastra Hindu dan Budha ditulis kembali dengan menggunakan huruf Jawi. Oleh

karena itu, muncul hikayat klasik Melayu yang menggunakan motif – motif karya

Hindu tetapi ada terdapat pantun Melayu dan pantun – pantun tersebut

mengandung unsur – unsur Islam.

Selanjutnya, sejarah mengenai bentuk pantun. Menurut Noriah Taslim

( Pantun dan Psikodinamika Kelisanan, www.pantun.usm.com ) bahwa, pantun

Melayu pada awalnya berbentuk dua baris ( satu baris sampiran dan satu baris isi ).

Akan tetapi, banyak pencipta pantun dahulu merasa bentuk tersebut kurang bisa

memberi kebebasan bereksperesi sehingga dibuat bentuk empat baris.

Tidak hanya itu saja, para pencipta pantun juga mencoba membuat pantun

dalam bentuk enam baris, delapan baris, sepuluh baris, sampai dua belas baris.

Akan tetapi, bentuk tersebut dirasakan terlalu susah untuk membuat sebuah

pantun agar dapat diingat semua orang sehingga terkenal. Dengan demikian,

diputuskanlah bahwa bentuk empat baris adalah yang paling tepat untuk

mengatasi kesulitan – kesulitan tersebut.

2.2.4. Jenis - jenis Pantun Melayu

Menurut Nursito ( 2000:12-13 ), menyatakan bahwa jenis - jenis pantun

(44)

Pantun remaja yang terbagi atas pantun cinta, perpisahan, jenaka, teka – teki.

Pantun orang tua yang terbagi atas pantun agama, adat, nasehat.

Pantun anak – anak pada umumnya bertemakan suka dan duka dalam

kehidupan anak – anak. Pantun duka digumamkan pada saat sedih. Pantun suka

digumamkan pada saat gembira. Contoh pantun suka dan pantun duka adalah

sebagai berikut:

www.melayuonline.com

Ramai orang bersorak –sorak Menepuk gendang dengan rebana Alangkah besar hati awak

Mendapat baju dan celana.

Sri Mersing lagulah Melayu Dikaranglah oleh pujangga dahulu Hatiku runcing bertambahlah pilu Mengenangkan nasib yatim piatu.

Pantun orang tua digunakan dalam pertemuan – pertemuan adat sebagai

selingan dalam berdialog atau berdebat. Selain itu, juga digunakan untuk

menasehati anak cucunya. Pantun adat merupakan salah satu jenis pantun Melayu

yang isinya tentang suatu hal yang menjadi kebiasaan dan adat – istiadat di dalam

kehidupan masyarakat Melayu. Biasanya, di dalam pantun adat itu sendiri terdapat

(45)

www.melayuonline.com : Lebat daun bunga tanjung Berbau harum bunga cempaka Adat dijaga pusaka dijunjung Baru terpelihara adat pusaka

Selanjutnya, pantun agama. Isi dari pantun jenis ini tentang hal – hal yang

berhubungan dengan agama. Misalnya, tentang hal – hal yang diperintahkan

dalam agama dalam agama dan yang dilarang dalam agama. Contohnya sebagai

berikut:

www.melayuonline.com : Anak ayam turun sepuluh mati seekor tinggal sembilan bangun pagi sembahyang subuh

minta ampun kepada Tuhan

Selanjutnya, pantun nasehat. Pantun ini berisikan tentang anjuran atau

nasehat yang menurut orang tua zaman dulu sangat bermanfaat dalam menjalani

kehidupan bila diterapkan dalam kehidupan. Contohnya pada pantun –pantun

Melayu berikut :

www.melayuonline.com

(46)

Parang ditetak kebatang sena Belah buluh taruhlah temu Barang dikerja takkan sempurna Bila tak penuh menaruh ilmu.

Selanjutnya, pantun remaja yang bertemakan kehidupan remaja yang

banyak didominasi pantun cinta. Isi dari pantun jenis ini mengisahkan tentang

perasaan cinta seseorang. Dalam sejarahnya, pantun Melayu digunakan sebagai

ekspresi dari seorang pemuda yang jatuh cinta pada seorang wanita dalam

kehidupan masyarakat Melayu. Jika pemuda tersebut mengungkapkan pantun

sebagai tanda ia suka pada seorang gadis ia juga akan berpantun untuk

mengharapkan jawaban dari gadis tersebut apakah gadis tersebut menyukainya

atau tidak. Oleh karena itu, gadis tersebut juga harus membalasnya dalam bentuk

pantun sebagai jawaban bahwa ia suka dan mau menerima pemuda tersebut atau

tidak. Contohnya sebagai berikut:

www.melayuonline.com : Coba-coba menanam mumbang moga-moga tumbuh kelapa coba-coba bertanam sayang moga-moga menjadi cinta

Ada juga pantun remaja yang sifatnya berisikan tentang sesuatu yang

(47)

hanya untuk sebagai hiburan dan untuk menyenangkan hati. Contohnya pantun –

pantun Melayu berikut :

www.melayuonline.com

Elok-elok menunggang kuda Tebing bertarah tanahnya licin Elok-elok berbini muda Nasi hangus gulainya masin.

Gunting Cina ada pasaknya Gunting Siantan apa besinya Bunting betina ada anaknya Bunting jantan apa isinya.

Selanjutnya, pantun remaja tentang perpisahan. Pantun ini berisikan

tentang perpisahan dan biasa dibawakan ketika sepasang kekasih mau berpisah.

Selain itu juga dibawakan ketika menutup suatu acara. Contohnya pantun –

pantun berikut :

www.melayuonline.com

Bunga Cina bunga karangan Tanamlah rapat tepi perigi Adik dimana abang gerangan Bilalah dapat bertemu lagi.

(48)

Kalau ada umur panjang Bolehlah kita bertemu lagi.

BAB III

ANALISIS PERBANDINGAN TANKA DENGAN PANTUN MELAYU

DARI SEGI BENTUK DAN ISI

3.1. Persamaan Tanka dengan Pantun Melayu dari Segi Bentuk

Pada awalnya, tanka dan pantun Melayu memang berasal dari kata – kata

yang dipikirkan lalu diucapkan oleh penciptanya. Dengan kata lain, dapat

dikatakan bahwa tanka dan pantun Melayu merupakan karya sastra yang berasal

dari tradisi lisan atau merupakan karya sastra lisan. Akan tetapi, setelah

masyarakat penciptanya mengenal tulisan, maka tanka dan pantun Melayu

berubah menjadi karya sastra tulisan. Oleh karena itu, dengan adanya proses

penulisan tersebut, maka tanka dan pantun Melayu yang tergolong ke dalam karya

sastra yang berjeniskan puisi tersebut dapat dilihat bagaimana bentuknya.

Menurut Suminto Sayuti ( 1985:16 ), bahwa puisi memiliki unsur intrinsik

yang terbagi atas unsur bentuk dan unsur isi, unsur bentuk adalah bunyi (irama

dan rima), kata ( diksi, suku kata, gaya bahasa ) dan tipografi ( baris dan bait ),

unsur isi adalah tema dan pesan.

Berdasarkan teori tersebut dalam kaitannya dengan perbandingan tanka

dan pantun Melayu, penulis membatasi hanya membahas unsur intrinsik bentuk

yaitu bunyi (irama dan rima), suku kata, dan tipografi ( baris dan bait ) untuk

(49)

3.1.1. Persamaan dari Segi Irama

Irama merupakan alun bunyi yang kedengaran pada waktu seseorang

membaca sebuah puisi. Menurut Nyoman Tusthi Eddy ( 1991,100 ), bahwa irama

terjadi karena adanya pengulangan kata, teraturnya jeda ritme, komposisi rima.

Hal – hal tersebut akan terasa ketika sebuah puisi dibacakan atau disuarakan.

Begitu juga dengan tanka dan pantun Melayu, keduanya sama –sama memiliki

irama di dalamnya.

Untuk menganalisa hal tersebut, maka akan disajikan sebuah tanka yaitu

sebagai berikut:

( www.2001wakaforjapan.com ) Ariwara no Motokata, Kokinshu I: 1

Toshi no uchi / haru wa kinikeri / hitotose wo / Toshi no uchi / haru wa kinikeri / hitotose wo / kozo to ya ihamu / kotoshi to ya ihamu

dan sebuah pantun Melayu yaitu sebagai berikut:

(50)

Dendam dahulu belum lagi sembuh.

Analisa : Pada irama tanka dan pantun Melayu di atas, ada yang

dipengaruhi oleh jeda ritme. Menurut Nyoman Tusthi Eddy ( 1991:102 ), bahwa

jeda ritme yaitu tempat perhentian sejenak di tengah – tengah larik atau bagian

puisi untuk menciptakan irama. Dalam puisi, jeda ritme bisa ditandai dengan

tanda baca atau tanpa tanda baca. Jeda ritme yang tanpa tanda baca ditandai

dengan terhentinya suara sejenak di tengah – tengah larik atau di tengah – tengah

bagian. Dengan jeda inilah irama dapat tercipta.

Pada tanka di atas, irama yang muncul karena pengaruh jeda ritme jika

dibacakan, didasarkan pada pola irama tanka yang menurut Richard MacDonald

dalam artikelnya yang berjudul What Is A Tanka (1995), memiliki banyak

variasi yaitu sebagai berikut :

1. Pertama : 5-7 / 5-7-7 suku kata (onji).

2. Kedua : 5-7-5 / 7-7 suku kata (onji).

3. Ketiga : 5 / 7-5 / 7-7 suku kata (onji).

4. Keempat : 5-7 / 5-7 / 7 suku kata (onji).

Penulis memberikan tanda ( / ) pada setiap jedanya berdasarkan pola irama

tanka untuk pola irama pertama ( 5-7 / 5-7-7 suku kata )yaitu sebagai berikut :

toshi no uchi ( 5 ) haru wa kinikeri ( 7 ) / hitotose wo ( 5 ) kozo to ya ihamu ( 7 )

kotoshi to ya ihamu ( 7 ).

Berdasarkan pola irama kedua ( 5-7-5 / 7-7 suku kata ) yaitu sebagai berikut :

toshi no uchi ( 5 ) haru wa kinikeri ( 7 ) hitotose wo ( 5 ) / kozo to ya ihamu ( 7 )

kotoshi to ya ihamu ( 7 ).

(51)

toshi no uchi ( 5 ) / haru wa kinikeri ( 7 ) hitotose wo ( 5 ) / kozo to ya ihamu ( 7 )

kotoshi to ya ihamu ( 7 ).

Berdasarkan pola irama keempat ( 5-7 / 5-7 / 7 suku kata ) yaitu sebagai berikut :

toshi no uchi ( 5 ) haru wa kinikeri ( 7 ) / hitotose wo ( 5 ) kozo to ya ihamu ( 7 ) /

kotoshi to ya ihamu ( 7 ).

Selanjutnya, pada pantun Melayu di atas irama yang muncul karena

pengaruh jeda ritme jika dibacakan, penulis memberikan tanda ( / ) pada setiap

jeda ritmenya untuk mengetahui letaknya yaitu sebagai berikut :

Air dalam / bertambah dalam Hujan di hulu / belum lagi teduh Hati dendam / bertambah dendam Dendam dahulu / belum lagi sembuh.

Selain irama yang timbul karena keteraturan jeda ritme, pada tanka dan

pantun Melayu tersebut juga sama –sama ditemukan irama yang timbul karena

adanya komposisi rima dan pengulangan kata. Penulis memberikan tanda garis

bawah pada kata – kata yang mengalami pengulangan dan menebalkan huruf yang

merupakan komposisi rima yang ada pada tanka dan pantun Melayu di atas untuk

mengetahui iramanya sehingga menjadi seperti berikut :

Toshi no uchi haru wa kinikeri hitotose wo

(52)

Air dalam bertambah dalam Hujan di hulu belum lagi teduh Hati dendam bertambah dendam Dendam dahulu belum lagi sembuh

3.1.2. Persamaan dari Segi Rima atau Persamaan Bunyi

Rima adalah persamaan bunyi yang terdapat dalam sebuah puisi. Menurut

Nyoman Tusthi Eddy ( 1991:179 ), menyatakan bahwa persamaan bunyi dapat

terjadi dalam sebuah larik dan antar larik atau dalam satu bagian dan antar bagian.

Berdasarkan posisinya, rima ada tiga yaitu; rima awal, rima tengah, rima akhir.

Rima akhir sendiri terbagi atas lima macam yaitu; rima terus dengan pola bunyi

a/a/a/a, rima bersilang dengan pola bunyi a/b/a/b, rima berpadanan dengan pola

bunyi a/a/b/b, rima berpeluk dengan pola bunyi a/b/b/a, rima terputus dengan pola

bunyi a/b/a/a.

Rima atau persamaan bunyi ada terdapat di dalam tanka dan pantun

Melayu. Untuk menganalisa hal tersebut, penulis menyajikan sebuah tanka yang

telah diberi tanda huruf tebal yang merupakan rima dan tanda garis bawah yang

merupakan pengulangan kata serta nomor urutan bagiannya seperti berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini untuk mengetahui bentuk dan warna ornamen Melayu apa saja yang diterapkan pada setiap sisi bangunan khas Melayu yang ada di kota Medan.. Populasi yang diambil

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ornamen, warna dan makna simbol yang terkandung dalam kain songket Melayu Batubara di Desa Padang Genting

2113151020, “ ANALISIS PENERAPAN ORNAMEN TRADISIONAL ALAS PADA KHUMAH ADAT ALAS DITINJAU DARI SEGI BENTUK, WARNA, DAN MAKNA SIMBOLIK DI KEC.. Penelitian ini bertujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ornamen, warna, makna simbol dan nilai estetika yang terkandung kain songket Melayu Langkat di Desa Pekubuan Kabupaten

Makna dari bentuk setiap tanjak pada masyarakat Melayu di Kabupaten Siak Provinsi Riau ini memiliki filsafah yang berbeda-beda seperti (a) Tanjak Dendam tak sudah

Meskipun dari segi pola irama agak berbeda dari lullaby pada umumnya (menggunakan meter 3/4), namun bentuk dan esensi dari lagu tersebut tetaplah sama, yakni

Bentuk kutang atau bentuk kemeja disebut juga tunika. Bentuk ini dalam bahasa Inggris disebut robe. Tunika dibuat dari sehelai kain segi empat panjang berukuran dua kali panjang

Berdasarkan dapatan kajian melalui perbandingan dua buah bahasa Austonesia, iaitu bahasa Banjar dengan bahasa Melayu melalui kaedah leksikostatistik dan penerapan rumus glotokronologi,