• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Kadar Zat Pewarna (Tartrazine Dan Sunset yellow) Pada Sirup Kemasan Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penetapan Kadar Zat Pewarna (Tartrazine Dan Sunset yellow) Pada Sirup Kemasan Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA (Tartrazine dan

Sunset yellow) PADA SIRUP KEMASAN DENGAN

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI

SKRIPSI

ATINA WAHYUNI

NIM : 107102000278

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA (Tartrazine dan

Sunset yellow) PADA SIRUP KEMASAN DENGAN

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ATINA WAHYUNI

NIM : 107102000278

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Atina Wahyuni

Program Studi : Farmasi

Judul : Penetapan Kadar Zat Pewarna (Tartrazine Dan Sunset yellow) Pada Sirup Kemasan Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Tartazine dan Sunset yellow merupakan dua jenis pewarna sintetis yang sering digunakan pada beberapa jenis makanan dan minuman. Analisis kadar zat pewarna sintetis Tartrazine dan Sunset yellow pada beberapa sirup kemasan yang beredar dipasaran telah dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dalam analisis ini digunakan kolom (Eclipse plus) C-18 5μm (150 x 4,6 mm), detektor UV-Vis pada 450 nm, dengan komposisi fase gerak metanol (fase gerak A) dan buffer fosfat 0,01M pH 7 (fase gerak B). Pemisahan zat warna dilakukan melalui teknik gradient elusi dengan laju alir 1 ml/menit dan volume injeksi 20 μl. Kurva kalibrasi linier pada rentang 1,56 - 25 μg/ml menghasilkan persamaan regresi y = 0,0532x - 0,0368 (Tartrazine) dan y = 0,0183x – 0,0004 (Sunset yellow) dengan koevisien korelasi (r2) = 0,999 (Tartrazine) dan 0,9997 (Sunset yellow). Batas deteksi 0,386 μg/ml (Tartrazine) dan 0,81λ7 μg/ml

(Sunset yellow) serta batas kuantitasi 1,286 μg/ml (Tartrazine) dan 0,011 μg/ml (Sunset yellow). Standar deviasi relative (RSD) sebesar 0,064% (Tartrazine) dan 0,043% (Sunset yellow). Hasil pemeriksaan terhadap sampel 4 jenis sirup kemasan menghasilkan kadar zat pewarna : sampel A 5,924 μg/ml (Tartrazine) dan 56,614 μg/ml (Sunset yellow); sampel B 7,011 μg/ml

(Tartrazine) dan 7,846 μg/ml (Sunset yelow); sampel C yaitu 33,758 μg/ml

(Tartrazine) dan 77,λ64 μg/ml (Sunset yellow); dan sampel D yaitu 17,667 μg/ml (Tartrazine) dan 11,712 μg/ml (Sunset yellow). Dari keempat sampel yang diteliti kadarnya masih berada dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yakni ug/mL.

(7)

vii

Name : Atina Wahyuni

Program Study : Pharmacy

Tittle : Determination of Synthetic Dyes, Tartrazine and Sunset Yellow in Commercial Soft Drink by High Performance Liquid Chromatography Methods

Tartazine and Sunset yellow are two types of synthetic dyes are often used in some foods and beverages. Analysis of synthetic dyes i.e. Tartrazine and Sunset yellow packaging on some commercial syrup were accurately quantified using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. In this analysis used Eclipse plus column 5μm C-18 (150 x 4.6 mm), UV-Vis detector at 450 nm, with a mobile phase composition of methanol (mobile phase A) and 0.01 M phosphate buffer pH 7 (mobile phase B). Separation of dye through gradient elution technique with a flow rate of 1 ml / min and 20 mL injection volume. Linear calibration curve in the range of 1,56 to 25 / ml produced the regression equation y = 0,0532x - 0,0368 (Tartrazine) and y =0,0183x – 0,0004 (Sunset yellow) with koevisien correlation (r2) = 0,999 (Tartrazine) and 0,9997 (Sunset yellow). Limit of detection (LOD) of Tartrazine was 0,386 μg/ml and Sunset yellow was 0,8197 μg/ml while the limit of quantitation (LOQ) of Tartrazine was 1,286 μg/ml and

Sunset yellow was 0,011 μg/ml. Relative standard deviation (RSD) of (Tartrazine) 0,064% and (Sunset yellow) 0,043% Determination of dyes contained of four types of commercial syrup packing produce levels of dye : 5,924 ug/ml (Tartrazine) and 56,614 ug/ml (Sunset yellow) for sample A, 7,011 ug/ml (Tartrazine) and 7,846 ug/ml (Sunset yellow) for sample B; 33,758 ug/ml (Tartrazine) and 77,964 ug/ml (Sunset yellow) for sample C, and 17,667 ug/ml (Tartrazine) and 11,712 ug/ml (Sunset yellow) for sample D. Four of samples studied levels remain below the recommended of Regulation of the Ministry of Health, that is 70 ug/mL.

(8)

viii

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi

pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak

dan masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya

untuk menyelesaikan skripsi ini. oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala,M.Sc.,Ph.D.,Apt selaku pembimbing I dan Bapak S.

Hermanto, M.S.i. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu

dan tenaga, serta memberikan bimbingan, saran, dan dukungan selama

penelitian.

2. Bapak Pras Setiawan selaku analis dari LAPTIAB Puspitek Tangerang

berserta staf atas penggunaan segala fasilitas dan bantuan selama penelitian.

3. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Umar Mansur M.Si, Apt selaku ketua Program Studi Farmasi

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakartaa

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membantu penulis selama mengikuti

pendidikan di Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh staf Laboratorium Farmasi (FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

dan Laboratorium Pangan (PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang telah

memberikan bantuan dan dukungannya selama proses penelitian berlangsung.

7. Kedua orang tua tercinta (Bapak dan Mama) yang selalu memberikan kasih

sayang yang tak terhingga, doa, serta dukungan baik moril maupun materil

(9)

ix

9. Teman seperjuangan (NAFTALEN) yang sering memberi dukungan semangat

dan kasih sayang, canda – tawa. Semoga selamanya kita akan selalu keluarga,

amiiin.

10.Teman – teman dari PASIFIK (Paduaan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan) atas kasih sayang, semangat dan doa-nya.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi memberikan

kontribusinya dalam penelitian ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu.

Ciputat, Januari 2013

(10)
(11)

xi

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang masalah ... 1

1.2 Rumusan masalah... 3

1.3Tujuan penelitian ... 3

1.4Manfaat penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Bahan tambahan makanan... 4

2.2 Zat pewarna ... 6

2.2.1 Pewarna alami ... 6

2.2.2 Pewarna sintetik ... 8

2.2.2.1 Tartrazine ... 13

2.2.2.2 Sunset yellow ... 15

(12)

xii

2.4.2 Komponen instrument KCKT ... ... 19

2.4.3 Teknik pemisahan dalam KCKT ... ... 21

2.4.4 Metode analisis dalam KCKT ... .. 21

2.5 Validasi metode ... 23

2.6 Teknik sampling ... .... 25

Kerangka konsep ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ...30

3.1 Tempat dan waktu penelitian ... 30

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat ... 30

3.2.2 Bahan ... 30

3.3 Cara kerja 3.3.1 Prosedur pengambilan sampel ... 30

3.3.2 Preparasi standar ... 31

3.3.3 Penentuan serapan maksimum ... 31

3.3.4 Analisa kondisi optimum ... 31

3.3.5 Pembuatan kurva kalibrasi ... 32

3.3.6 Pengujian batas deteksi dan batas kuatitasi ... 33

3.3.7 Pengujian keterulangan (Presisi) ... 33

3.3.8 Penetapan kadar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow dalam produk sirup kemasan ... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Spektrum serapan maksimum Tartrazine dan Sunset yellow 34 4.2 Hasil analisa kondisi optimum ... 35

4.3 Hasil linieritas kurva kalibrasi ... 37

4.4 Hasil analisa batas deteksi dan batas kuantitas ... 38

4.5 Hasil analisa keterulangan (Presisi) ... 38

(13)

xiii

5.2 Saran ... 41

(14)

xiv

Halaman

Gambar 1. Struktur Tartrazine ... 13

Gambar 2. Struktur Sunset yellow ... 15

Gambar 3. Diagram alir KCKT ... 19

Gambar 4. Kromatogram untuk uji kesesuaian sistem ... 34

Gambar 5. Kurva kalibrasi Tartrazine ... 37

Gambar 6. Kurva kalibrasi Sunset yellow ... 38

Gambar 7. Standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 46

Gambar 8. Sampel ... 47

Gambar 9. Alat KCKT Kenaur Detektor UV Autosampler ... 48

Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis ... 48

Gambar 11. Vacum filter ... 48

Gambar 12. Spektrum serapan Tartrazine ... 52

Gambar 13. Spektrum serapan Sunset yellow ... 52

Gambar 14. Kromatogram sampel A ... 53

Gambar 15. Kromatogram sampel B ... 53

Gambar 16. Kromatogram sampel C ... 53

(15)

xv

Halaman

Tabel 2.1. Sifat – sifat dari beberapa bahan pewarna alami ... 7

Tabel 2.2. Pewarna sintetik terdaftar ... 8

Tabel 3.1. Komposisi fase gerak dalam rentang gradient elusi ... 32

Tabel 4.1. Hasil uji kesesuaian sistem ... 36

Tabel 4.2. Hasil analisa uji kurva kalibrasi ... 37

Tabel 4.3. Hasil analisa uji LOD dan LOQ ... 38

Tabel 4.4. Hasil analisa uji presisi ... 39

(16)

xvi

Halaman

Lampiran 1. Standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 46

Lampiran 2. Sampel minuman ... 47

Lampiran 3. Alat – alat yang digunakan ... 48

Lampiran 4. Skema kerja penelitian ... 49

Lampiran 5. Skema kerja pembuatan larutan untuk kurva kalibrasi ... 50

Lampiran 6. Skema kerja preparasi sampel ... 51

Lampiran 7. Spektrum serapan standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 52

Lampiran 8. Kromatogram Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel ... 53

Lampiran 9. Perhitungan hasil uji kesesuaian sistem... 55

Lampiran 10 Perhitungan ratio luas area ... 56

Lampiran 11 Perhitungan LOD dan LOQ ... 57

Lampiran 12. Perhitungan hasil uji presisi ... 59

Lampiran 13. Perhitungan kadar Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel.. 60

Lampiran 14. Sertifikat analisis Tartrazine ... 61

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Perkembangan teknologi pengolahan pangan dewasa ini telah

menghasilkan berbagai produk makanan dan minuman yang terbungkus

dengan berbagai bahan kemasan baik dari kaleng, gelas, alumunium, dan

berbagai jenis plastik. Aneka ragam jenis kemasan makanan dan minuman

dengan berbagai warna dan bentuk mempunyai nilai tersendiri dan sangat

menarik (Kristianigrum, 1997).

Minuman kemasan merupakan salah satu diantara contoh kemajuan

teknologi pengolahan pangan. Dahulu orang lebih suka membuat minuman

sendiri seperti jus, tetapi karena dinilai kurang praktis, tidak awet dan warna

yang dihasilkan kurang menarik sehingga masyarakat lebih memilih

minuman yang sudah dikemas karena dinilai lebih praktis, awet dan warna

yang lebih menarik.

Sebagian besar minuman kemasan banyak mengandung bahan aditif

seperti pengawet, pemanis, pewarna dan lain – lain. Walaupun penggunaan

bahan aditif mempunyai nilai positif pada produk pangan yang diproduksi

tetapi penggunaan bahan aditif juga dampak negatif atau sangat berbahaya

bagi kesehatan.

Pemakaian bahan pewarna pangan sintetis walaupun mempunyai dampak

positif bagi produsen dan konsumen, ternyata dapat pula menimbulkan hal –

hal yang tidak diinginkan dan bahkan mungkin memberikan dampak negatif

terhadap kesehatan manusia. Kinosita dalam Saprinto dan Hidayati (2006),

telah melihat adanya efek karsinogenik pada iritasi kimia akibat paparan

senyawa zat warna, salah satu percobannya adalah dengan cara memberi

makanan hewan – hewan percobaan di laboratorium dengan senyawa –

senyawa zat warna Butter yellow yang dianggap karsinogen menunjukkan

dosis ± 3 mg/hari pada tikus – tikus, menyebabkan sebagian mati sebelum 30

(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

macam tumor hati. Efek kronis yang diakibatkan oleh zat warna azo yang

dikonsumsi dalam jangka waktu lama, pada percobaan dipakai

ortoaminoazo-toulen dapat menyebabkan kanker hati. Para ilmuwan pada umumnya

mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari

bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Saprinto dan Hidayati,

2006). Salah satu kelompok zat warna azo adalah Tartrazine dan Sunset

yellow, penelitian menunjukkan bahwa Tartrazine berhubungan dengan

berbagai penyakit antara lain asma, hiperaktif pada anak, migrain. Di

Norwegia dan Austria Tartrazine sudah tidak digunakan lagi (Li dkk, 2008).

Penggunaan bahan pewarna makanan yang diizinkan dalam makanan

dengan batas maksimum penggunannya telah ditetapkan dalam Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang Bahan

Tambahan Makanan (BMT) khususnya untuk Tartrazine dan Sunset yellow

dengan kadar yang diizinkan masing – masing untuk minuman ringan dan

makanan cair yaitu 70 µg/mL untuk produk siap konsumsi. Sedangkan

berdasarkan WHO adalah 0 – 2,5 mg/Kg untuk Sunset yellow (Anonim,

2008) dan Tartrazine adalah sebanyak 0 – 7,5 mg/Kg (Anonim, 1984).

Mengingat adanya bahaya menggunakan Tartrazine dan Sunset yellow

yang melebihi kadar yang ditetapkan, maka dipandang perlu untuk

melakukan analisis kandungan Tartrazine dan Sunset yellow dalam produk

pangan yang beredar. Beberapa metode analisa yang sering digunakan untuk

mengukur kadar suatu senyawa dalam sediaan adalah spektrofotometri

UV-Vis , kromatografi cair, kapiler kromatografi, kromatografi ion, voltametri

dan LC-MS (Li dkk, 2008), selain itu KLT dan kolom poliamida, (Anonim,

1992).

Dasar pemilihan metode KCKT karena memiliki beberapa keuntungan

antara lain dapat menganalisa senyawa – senyawa yang non-volatil,

termolabil dengan daya pisahnya lebih baik, kolom dapat digunakan kembali,

serta sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pada penelitian ini telah

dilakukan penetapan kadar zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow) pada

sirup kemasan yang beredar di pasaran secara Kromatografi Cair Kinerja

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang baik bagi

institusi pemerintah dan masyarakat dalam penggunaan dan pengawasan

minuman kemasan yang beredar di masyarakat.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana hasil validasi metode analisis zat pewarna (Tartrazine dan

Sunset yellow) dengan mengunakan alat KCKT ?

2. Apakah kadar zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow) yang

terkandung pada 4 sampel minuman kemasan yang beredar dimasyarakat

melebih batas normal yang diizinkan oleh Pemerintah?

1.3Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sensitifitas

dan validitas metode analisis yang digunakan mengetahui kadar pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow pada minuman kemasan yang beredar dipasaran.

1.4Manfaat

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan metode alternatif untuk analisis zat pewarna sintetis

(Tartrazine dan Sunset yellow) yang lebih kuantitatif.

2. Memberikan informasi kadar zat pewarna sintetis yang sering digunakan

pada minuman kemasan yang beredar di masyarakat, sehingga informasi

diperoleh dapat membantu masyarakat mengetahui bahaya pewarna pada

minuman kemasan yang beredar di pasaran jika terakumulasi didalam

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Bahan tambahan makanan

Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) pada umumya bertujuan

untuk memenuhi target tertentu dan memenuhi keinginan konsumen.

Penggunaan bahan tambahan makanan dalam pembuatan makanan, minuman

maupun jajanan makin pesat seiring dengan makin banyaknya jenis makanan,

minuman, dan jajanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi, baik dalam

kondisi siap saji maupun setelah diawetkan selama beberapa waktu (Pitojo dan

Zumiati, 2009).

Definisi tentang bahan tambahan makanan atau zat tambahan makanan

diambil oleh Komisi Codex Alimentarius, suatu badan antar-pemerintah yang

terdiri dari 120 negara (FAO/WHO, 1983) yaitu zat tambahan makanan berarti

bahan apa pun yang biasa tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan dan

biasanya tidak digunakan sebagai bahan – bahan khas untuk makanan, baik

mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada

makanan untuk tujuan teknologi (termasuk organoleptik) dalam pembuatan,

pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan

atau penanganan makanan akan mengakibatkan atau dapat diharapkan

berakibat ( secara langsung atau tidak langsung ) terhadap makanan itu atau

hasil sampingan menjadi bagian komponen makanan atau mempengaruhi ciri –

ciri makanan itu. Istilah ini tidak mencakup “pencemar” atau zat – zat yang ditambahkan pada makanan untuk mempertahankan atau memperbaiki mutu

gizi (Lu, 2006).

Definisi resmi yang muncul dalam Undang – undang Federal mengenai

Makanan, Obat dan Kosmetik, seperti diamandemenkan pada oktober 1976,

berbeda dengan difnisi di atas dalam beberapa segi. Perundang – undangan AS

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditambahkan pada makanan tetapi didefinisikan sebagai “secara umum dikenal

aman”(Generally Recognized as Safe = GRAS) (Lu, 2006).

Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim

dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses

pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang

tidak (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar

yaitu :

a. Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja maksud dan

tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita

rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan

rupa, dan lain sebagainya.

b. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam

jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan (Winarno,

1992).

Bila dilihat dari asalnya, aditif didapat dari sumber alamiah seperti lesitin,

asam sitrat, dan lain sebagainya; dapat juga disintesis dari bahan kimia yang

mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik

susunan kimia maupun sifat metebolismenya seperti misalnya β-karoten, asam

askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan

yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada

kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga

mengandung zat – zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang – kadang

bersifat kasinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan

atau manusia (Winarno, 1997).

Fungsi bahan tambahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor 235/MEN.KES/PER/VI/1979, tanggal 19 Juni 1979,

yaitu sebagai (1) antioksidan, (2) antikempal, (3) pengasam, penetral dan

pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7)

penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi,pemantap, dan pengental, (10)

pengeras, (11) pewarna alami dan sintetik, (12) penyedap rasa dan aroma, (13)

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Adapun tujuan penambahan bahan tambahan pangan (BTP) secara umum

adalah untuk :

 Meningkatkan nilai gizi makanan,

 Memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan, dan

 Memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. (Saparinto dan

Hidayati, 2006).

2.2Zat pewarna

Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraaan yang berasal

dari aktivitas retina mata. Jika cahaya mencapai retina, mekanisme saraf mata

menanggapi, salah satunya memberi sinyal warna. Cahaya adalah energi

radiasi dengan rentang panjang gelombang sekitar 400 – 800 nm (Deman,

1997).

Warna makanan memiliki peran penting pada makanan yang dihidangkan.

Selain memiliki daya tarik yang dapat dinikamati oleh indra penglihatan,

warna berperan penting dalam membentuk cita rasa makanan. Warna makanan

berasal dari beberapa sumber, masing – masing adalah sebagai berikut :

a. Warna makanan yang berasal dari penambahan zat warna sintetis.

b. Warna makanan yang berasal dari reaksi pencokelatan atau browning.

c. Warna makanan yang berasal dari pigmen tanaman dan bahan asli

tanaman (Pitojo dan Zumiati, 2009).

2.2.1 Pewarna alami

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan

dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna

alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karoteniod, riboflavin, dan

kobalamin), bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke

bahan olahannya (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Warna makanan disebabkan oleh pigmen alam atau pewarna yang

ditambahkan. Pigmen alam adalah segolongan senyawa yang terdapat

dalam produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Pigmen alam

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terbentuk pada pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan (Deman,

1997).

Pewarna alami dapat diperoleh dengan jalan ekstraksi maupun melalui

cara yang lain, yang ditangani oleh pabrikan, secara legal, diawasi dan

mendapatkan izin dari pemerintah. Pewarna nabati adalah pewarna alami

yang diperoleh dari tumbuh – tumbuhan atau tanaman. Sama halnya

dengan pewarna sintetis, penggunaaan pewarna alami pada bahan pangan

perlu mengikuti petunjuk yang telah ada. Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 772/Menkes/Per/IX/88, yang berisi tentang

beberapa pewarna alami (natural colour) yang diizinkan oleh pemerintah,

memuat perihal nama zat pewarna di Indonesia, nama asing, nama

makanan yang bersangkutan (Pitojo dan Zumiati, 2009).

Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan,

diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin,

flavanoid, tannin, betalain, quinon dan xanthon, serta karotenoid

(Saparinto dan Hidayati, 2006).

Tabel 2.1. Sifat – sifat dari Beberapa Bahan Pewarna Alami

Kelompok Warna Sumber Kelarutan Stabilitas

Karamel Cokelat gula dipanaskan Air Stabil Anthosianin Jingga

merah

Tanaman Air stabil terhadap panas

Leucoantho sianin

tidak bewarna

Tanaman Air stabil terhadap panas

Tannin tidak bewarna

Tanaman Air stabil terhadap panas

Batalain kuning, merah

Tanaman Air sensitif

terhadap panas Quinon kuning –

hitam

Tanaman Air stabil terhadap panas

Xanthon Kuning Tanaman bakteria lumut

Air stabil terhadap panas

Karotenoid tanpa kuning dan

Tanaman / hewan

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merah

Klorofil hijau, cokelat

Tanaman Lipida dan air sensitif terhadap

kesehatan bahan tambahan pangan edisi kedua.

2.2.2 Pewarna sintetis

Pewarna sintetik yang dipakai secara komersil dikenal juga sebagai

tinambah warna bersertifikat. Ada dua jenis zat warna, yaitu pewarna (dye)

FD&C dan lake FD&C. FD&C menunjukkan senyawa yang sudah

disetujui untuk digunakan dalam makanan (F, food), obat (D, drug) dan

kosmetik (C, cosmetic) oleh peraturan federal Amerika Serikat (Deman,

1997).

Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna sintetis

yang diizinkan dan dilarang untuk pangan telah diatur melalui SK Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/MenKes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan

pangan (Departemen Kesehatan RI). Tabel dibawah ini menyebutkan

beberapa pewarna sintetis yang diizinkan oleh Pemerintah.

Tabel 2.2. Pewarna sintetik tedaftar

No

Nama Bahan

Tambahan Makanan Jenis / Bahan Makanan

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6 Indigotin Indigotine; Indigo 7 Karmoisin Carmoisine; C

(27)
(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12. Tartrazine Tartrazine; C I

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber : SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MenKes/Per/IX/88

2.2.2.1Tartrazine

Tartrazine merupakan jenis pewarna sintetik yang terdaftar atau

diizinkan oleh Pemerintah digunakan untuk pewarna makanan dan

minuman. Selain untuk makanan dan minuman Tartrazine juga

digunakan untuk kosmetik dan obat – obatan.

Sifat – sifat atau karakteristik dari Tartrazine :

 Organoleptik

 Bentuk : serbuk atau tepung  Warna : kuning jingga

 Kelarutan : mudah larut dalam air, sedikit larut dalam

alkohol 95%, mudah larut dalam gliesrol

dan glikol

 Berat molekul : 534. 4

 Rumus kimia : C16H9N4Na43O9S2

 Rumus bangun :

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tartrazine adalah pewarna makanan kuning yang telah

digunakan selama bertahun-tahun, namun telah ditemukan dapat

menghasilkan reaksi intoleran dalam beberapa individu. Penggunaan

Tartrazine pada jangka waktu yang lama dapat memberikan efek

yang berbahya. Reaksi merugikan yang telah dilaporkan termasuk

urtikaria (ruam kulit alergi), rhinitis (pilek), asma, purpura (kulit

memar keunguan) dan anafilaksis sistemik (Shock). Reaksi samping

ini lebih umum pada penderita asma dan orang-orang yang peka

terhadap aspirin (Anonim, 2002).

Pewarna kuning Tartrazine yang digunakan dalam obat-obatan

dan makanan dapat menyebabkan gejala reaksi alergi (urtikaria,

rinitis, atau asma) dapat terjadi setelah paparan bahan kimia yang

digunakan untuk warna, bumbu, atau mengawetkan makanan dan

obat-obatan, tapi Tartrazine (FD & C kuning No 5) adalah warna

yang paling sering dicurigai. Intoleransi terhadap Tartrazine pertama

kali dilaporkan pada tahun 1959, dan bagian dalam induksi dari

urtikaria telah diakui sejak tahun 1975. Non-thrombocytopenic

purpura juga dilaporkan karena hipersensitivitas terhadap Tartrazine

yang menunjukkan kemungkinan bahwa tartrazine dapat bertindak

sebagai hapten yang terikat pada sel endotel pembuluh darah kecil

(Miller, 1982).

Penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi Tartrazine

telah dipelajari secara ekstensif di hewan dan manusia. Sementara

sebagian besar studi selama 40-50 tahun yang lalu dengan teknik dan

metode yang digunakan untuk identifikasi senyawa induk dan

metabolitnya adalah digunakan untuk menjelaskan dan

mengidentifikasi dengan metabolisme sebagian besar dari jalur

xenobiotik. Setelah pemberian secara oral dari Tartrazine utuh

penyerapan pada kisaran dosis yang rendah diabaikan (<5%) dan

tartrazine utuh pada saat diekskresikan warnanya tidak berubah

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Batas normal pewarna Tartrazine yang diizinkan oleh

Pemerintah Indonesia beradasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor :722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan

Makanan adalah 70 µg/mL produk siap dikonsumsi untuk minuman

dan makanan cair (Departemen Kesehatan RI,1988). Sedangkan

berdasarkan WHO adalah ADI 0 – 7,5 mg/kg. Sedangkan LD50 dari

Tartrazine 6000 – 10000 mg/Kg pada tikus (Anonim, 2002).

2.2.2.2Sunset yellow

Sunset yellow merupakan salah satu pewarna yang juga sering

digunakan, bahkan penggunaannya sering dikombinasikan dengan

pewarna tartrazine. Sunset yellow juga merupakan jenis pewarna

sintetik yang terdaftar atau diizinkan oleh Pemerintah digunakan

untuk pewarna makanan dan minuman, kosmetik dan obat -obatan.

Sifat – sifat atau karakteristik (monografi) dari Sunset yellow :

 Organoleptik

 Bentuk : serbuk atau granul  Warna : orange

 Kelarutan : mudah larut dalam air, sedikit larut dalam

alkohol 95%, mudah larut dalam gliesrol

dan glikol

 Berat molekul : 534. 37

 Kegunaan : zat pewarna sintetik

 Rumus kimia : C16H9N4Na3O9S2

 Rumus bangun :

Gambar 2. Struktur kimia Sunset yellow (Anonim, 2012)

Sunset yellow sebagian kecil diserap pada saluran pencernaan

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yellow kemungkinan akan dipecah oleh reduksi azo-usus. Urin juga

didominasi produk azo-reduksi (sulphanilic asam, asam

1-amino-2-naftol-6-sulfonat, dan bentuk bentuk N-asetilasi) (Anonim, 2009)

Beberapa penelitian mencatat adanya kandungan amina

aromatik unsulphonated didalam pewarna Sunset yellow dengan

konsentrasi sampai 100 mg / kg. Meskipun beberapa amina aromatik

mungkin terkait dengan genotoxicity atau bahkan carcinogenicity,

peneliti mencatat bahwa Sunset yellow menunjukkan hasil yang

negatif pada genotoxicity secara in vitro juga seperti dalam studi

carcinogenicity jangka panjang. Peneliti menyimpulkan bahwa

potensi genotoxicity Sunset yellow telah sepenuhnya diteliti baik

secara in vitro dan in vivo, dan tidak ada indikasi adanya potensi

genotoksik pada pewarna Sunset yellow atau metabolitnya (Anonim,

2009).

Sebuah penelitian McCann et al melakukan uji pada bahan

tambahan makanan menyimpulkan bahwa paparan dalam makanan

untuk dua campuran dari empat warna sintetik ditambah pengawet

natrium benzoat, Mix A dan Mix B, keduanya mengandung Sunset

yellow mengakibatkan hiperaktif meningkat pada umur 3 tahun, 8

tahun dan anak-anak yang berusia 9 tahun pada populasi. (Anonim,

2009).

Batas normal pewarna Sunset yellow yang diizinkan oleh

Pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor :722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan

Makanan adalah 70 µg/mL produk siap dikonsumsi untuk minuman

dan makanan cair (Departemen Kesehatan RI, 1988). Sedangkan

berdasarkan WHO adalah ADI 0 – 2,5 mg/kg. Sedangkan LD50 dari

Sunset yellow 5000mg/Kg pada tikus (Anonim, 2008).

2.3 Minuman sirup

Menurut Departemen Perindustrian (1977) sirup ialah minumam gula

(sakrosa) pekat yang dipergunakan sebagai bahan minuman dengan / tanpa

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

aroma dan zat warna. Sirup dapat dibuat dari gula alami (tebu dan bit) dan gula

sintetik (sakarin, siklamat, aspartam dan sorbitol). (Hubies, dkk., 1994).

Sirup dikatakan baik jika larutannya kental alami (tanpa penambahan

pengental), mempunyai rasa manis alami, diolah dan dikemas secara aseptik

dan mempunyai warna yang baik (menggunakan pewarna makanan / food

colour) (Hubies, dkk., 1994).

Komponen utama pembuatan sirup antara lain gula (alami: sukrosa,

glukosa dan fruktosa. Sedangakan sintetik: sorbitol, aspartam dan sakarin),

pewarna, flavor dan air. Bahan aditif seperti asam sitrat dan CMC tetapi tidak

selalu digunakan (tergantung kebutuhan) (Hubies, dkk., 1994).

Cara pembuatan sirup yaitu dengan cara:

a. Memilih buah yang telah tua, segar dan yang masak kemudian dicuci,

b. Buah dipotong menjadi 4 bagian,

c. Buah diparut hingga menjadi bubur,

d. Ditambahkan air, gula pasir, natrium benzoat, asam sitrat dan garam

dapur,

e. Diaduk sampai rata,

f. Campuran dipanaskan hingga mendidih dan biarkan sampai agak

mengental,

g. Dalam keadaan panas disaring kemudian didinginkan setelah dingin

segera dimasukkan kedalam botol (Margono, dkk., 2000)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau juga biasanya disebut

dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatograhpy) dikembangkan

pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan

teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian

senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain:

farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri - industri makanan

(Rohman dan Gandjar, 2007).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah senyawa

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(impurities); analisis senyawa – senyawa yang tidak mudah menguap (non -

volatil); penentuan molekul – molekul netral, ionik maupun zwitter ion;

pemisahan senyawa – semyawa yang strukturnya hampir sama dan lain- lain.

KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik

untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Rohman dan Gandjar, 2007).

Keuntungan KCKT menawarkan beberapa keuntungan dibanding dengan

kromatografi cair klasik, antara lain kolom bisa digunakan kembali dan cepat:

waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak analisis yang dapat

diselesaikari sekitar 15-30 menit. Untuk analisis yang tidak rumit

(uncomplicated), waktu analisis kurang dari 5 menit bisa dicapai (Putra, 2004).

Keterbatasan metode KCKT adalah jika digunakan untuk identifikasi

senyawa harus menggunakan standar atau pembanding, kecuali jika KCKT

dihubungkan dengan spektrofotometer massa (MS) (Rohman dan Gandjar,

2007).

2.4.1 Cara kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat – zat terlarut

terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan zat terlarut ini

melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan zat terlarut ini diatur oleh

distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi

cair secara luas terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan

penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional

seperti kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel

(Rohman dan Gandjar, 2007).

Untuk memilih kombinasi kondisi kromatografi yang terbaik, maka

dibutuhkan pemahaman yang mendasar tentang berbagai macam faktor

yang mempengaruhi pemisahan kromatografi cair (Rohman dan Gandjar,

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4.2 Komponen instrument KCKT

Instrument KCKT pada dasarnya terdiri dari beberapa komponen

pokok, yaitu pompa, injektor, guard kolom, kolom, detektor, perekam

(rekorder) dan integrator.

Rekorder

Pompa

kolom

Gambar 3. Diagram Alir Alat KCKT (Anonim, 2007 )

a. Pompa

Pompa digunakan untuk menjamin proses penghantaran fase gerak

berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan.

Syarat pompa yang baik untuk KCKT yaitu pompa harus inert terhadap

fase gerak, mampu memberikan tekanan sampai 5000psi dan mampu

mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Bahan yang

umum yang dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karet, teflon,

dan batu nilam (Rohman dan Gandjar, 2007).

b. Injektor

Kegunaan injektor adalah tempat untuk memasukkan sampel – sampel

cair atau larutan secara langsung kedalam fase gerak yang mengalir

dibawah tekanan menuju kolom (Rohman dan Gandjar, 2007).

c. Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen

sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadamya

(analisis kuantitatif).Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi,

Pelarut

Injektor Detektor

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gangguan (noise) yang rendah, respons linier yang luas, dan memberi

respons untuk semua tipe senyawa. Sensitifitas yang rendah terhadap

aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat

diperoleh (Putra, 2004).

Adapun jenis detektor pada KCKT yang sering digunakan antara lain:

 Detektor Spektrofotometri UV-Vis

Detektor ini didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultraviolet

(UV) dan sinar tampak (Vis) pada kisaran panjang gelombang 190 –

800 nm (Rohman dan Gandjar, 2007).

 Detektor Fluoresensi

Fluoresensi merupakan fenomena luminisensi yang terjadi ketika

suatu senyawa menyerap sinar UV atau visibel lalu mengemisikannya

pada panjang gelombang yang lebih besar. Keunggulan dari detektor ini

adalah bahwa detektor ini lebih sensitif dan selektif. Sedangkan

kelemahan dari detektor ini adalah terkait dengan rentang linieritasnya

yang sempit yakni antara 10 – 100 (Rohman dan Gandjar, 2007).

 Detektor indeks bias

Detektor ini merupakan detektor yang bersifat universal yang

mampu memberikan respon (signal) pada setiap zat terlarut. Detektor

ini akan merespon setiap perbedaan indeks bias antara analit (zat

terlarut) dengan pelarutnya (fase gerak). Kelemahan utama detektor ini

adalah bahwa ineks bias dipengaruhi oleh suhu, oleh karena itu suhu

fase gerak, kolom dan detektor harus dikendalikan secara seksama.

Penggunaan detektor ini terutama untuk senyawa yang tidak memiliki

gugus kromofor (Rohman dan Gandjar, 2007).

d. Guard kolom

Guard kolom bertindak sebagai filter kimia untuk menahan material

yang mungkin dapat merusak atau menyumbat kolom yang berakhir pada

memendeknya umur kolom.

e. Kolom

Kolom merupakan jantung dari kromotografi karena berhasil atau

(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

percobaan yang sesuai yang berfungsi untuk memisahkan masing –

masing komponen. Kolom umumnya dibuat dari stainlesteel dan biasanya

dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan

temperatur lebih tinggi (Putra, 2004).

f. Komputer, integrator, dan rekorder

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, atau rekorder

dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik

yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu

kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis

(Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.3 Teknik pemisahan dalam KCKT

Sistem isokratik yaitu suatu teknik pemisahan dimana selama proses

analisis berlangsung, fase gerak atau komposisi fase gerak tidak berubah

yang berarti polaritasnya juga tetap.

Sedangkan sistem gradient adalah suatu teknik pemisahan dimana

selama analisis berlangsung komposisi fase gerak berubah secara periodik.

Teknik ini dilakukan dengan tujuan memisahkan campuran dengan

polaritas yang sangat beragam.

2.4.4 Metode analisis dalam KCKT

Metode analisis KCKT dapat dilakukan secara kualitatif dan

kuantitatif. Analisis kualitatif merupakan cara yang terbaik adalah dengan

menggunakan metode waktu retensi :

Keterangan : tRi = waktu retensi komponen zat

tRst = waktu retensi standar

Data waktu retensi khas tetapi tidak spesifik, artinya terdapat lebih dari

satu komponen zat yang mempunyai waktu retensi yang sama (Rohman

dan Gandjar, 2007).

Analisis kuantitatif memiliki tahapan adalah sebagai berikut :

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sampel, mencari panjang gelombang optimum untuk campuran komponen

zat dalam sampel, dan mencari fase gerak yang sesuai agar komponen –

komponen tersebut terpisah (Rohman dan Gandjar, 2007).

Dasar perhitungan kuantitatif untuk suatu komponen yang dianalisis

adalah mengukur luas puncaknya. Ada beberapa metode yang dapat

digunakan, yaitu :

a. Baku luar (Baku eksternal)

Metode kuntitatif yang paling umum untuk menetapkan

konsentrasi senyawa yang tidak diketahui konsentrasinya dalam suatu

sampel adalah dengan menggunakan plot kalibrasi menggunakan baku

eksternal. Larutan – larutan ini ditunjuk sebagai larutan eksternal

karena larutan – larutan ini disiapkan dan dianalisa secara terpisah dari

kromatogram senyawa tertentu yang ada dalam sampel. Sampel yang

mengandung senyawa tertentu yang akan ditetapkan konsentrasinya

dan telah disiapkan, selanjutnya diinjeksikan dan dianalisis dengan

cara yang sama (Rohman dan Gandjar, 2007).

Senyawa atau senyawa-senyawa yang akan ditetapkan kadarnya,

idealnya jumlah baku sama dengan jumlah bahan yang akan dianalisis,

selanjutnya membandingkan kromatogram baku dengan kromatogram

sampel (Putra, 2004).

Keterangan : Cs = konsentrasi sampel

Cst = konsentrasi standar

As = luas puncak sampel

Ast = luas puncak standar

Bila bekerja dengan metoda ini, respons detektor harus linier

untuk setiap senyawa pada kisaran (range) konsentrasi yang

digunakan, dan juga kita harus menginjeksikan (bila secara manual)

jumlah yang sama untuk setiap komponen pada kedua kromatografi,

sehingga berhasilnya operasi dari metoda ini tergantung pada

kemampuan menginjeksi sampel dengan presisi yang bagus (Putra,

(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Baku dalam (Baku internal)

Baku internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit,

meskipun demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama

proses pemisahan (Rohman dan Gandjar, 2007).

Pada metode ini pada sampel ditambahkan zat tertentu

(konsentrasi yang diketahui). Kromatogram yang diperoleh

dibandingkan dengan kromatogram sampel atau campuran senyawa

dalam sampel (Putra, 2004).

Baku inetrnal dapat menghilangkan pengaruh karena adanya

perubahan – perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena

variasi instrumen (Rohman dan Gandjar, 2007). Selain itu, metoda ini

mempunyai keuntungan dibanding dengan metoda baku luar karena

metode ini mengkompensasi variasi volume injeksi dan juga untuk

perubahan yang kecil dari sensitivitas detektor yang bisa terjadi

karena itu tidak perlu menginjeksi dalam jumlah yang sama setiap

waktu, maka metoda ini biasanya mempunyai presisi yang lebih baik

dari pada menggunakan baku luar (Putra, 2004).

2.5 Validasi metode

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap

parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan

bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.

a. Uji kesesuaian Sistem

Sebelum digunakan sistem harus diuji terlebih dahulu agar dapat

menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan

presisi yang dapat diterima. Parameter – parameter yang digunakan

meliputi bilangan lempeng teori (N), resolusi, HETP (height equivalent

to a theoretical plate) dan koefisien variasi (KV) atau simpangan data

relatif (RSD) (Rohman dan Gandjar, 2007).

b. Akurasi (kecermatan)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan

(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery). Ada tiga cara

untuk menentukan akurasi, yaitu metode perbandingan terhadap

standar acuan, metode simulasi atau spiked placebo recovery dan

metode penambahan bahan baku atau standard addition method.

Persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil kadar

yang diperoleh dengan kadar yang sebenarnya (Harmita, 2004).

c. Presisi

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian

antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual

dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada

sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi diukur

sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif atau koefisien

variasi 2% atau kurang (Harmita, 2004).

Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan

(repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah

keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang

sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek.

Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi

yang berbeda (Harmita, 2004).

d. Selektivitas (spesifikasi)

Selektivitas atau spesifisitas adalah suatu metode kemampuannya

yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama

dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks

sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat

penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap

sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran,

hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan

terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang

ditambahkan. Pada metode analisis dengan kromatografi, selektivitas

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik diperoleh bila nilai resolusinya lebih besar dari 1,5 (Harmita,

2004).

e. Linearitas dan rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan

respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi

matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam

sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan

tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan

kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Harmita,

2004).

f. Batas deteksi dan batas kuatitasi (LOD dan LOQ)

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang

dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan

dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji

batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan

diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih

dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Batas deteksi dan

kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dan

kurva. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan

garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan

simpangn baku residual (Sy/x) (Harmita, 2004).

2.6Teknik sampling

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian (sampel

sendiri secara harfiah berarti contoh). Hasil pengukuran atau karakteristik dari

sampel disebut "statistik" yaitu X untuk harga rata-rata hitung dan S atau SD

untuk simpangan baku. Alasan perlunya pengambilan sampel adalah sebagai

berikut :

1. Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Lebih cepat dan lebih mudah.

2. Memberi informasi yang lebih banyak dan dalam.

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel kadang-kadang merupakan satu-satunya jalan yang harus

dipilih, (tidak mungkin untuk mempelajari seluruh populasi) misalnya

meneliti air sungai, mencicipi rasa makanan didapur, dan mencicipi duku yang

hendak dibeli (Nasution, 2003).

Pengambilan sampel dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) pengambilan

sampel secara acak (random sampling) dan (2) pengambilan sampel tanpa

acak (non-random sampling).

Pengambilan sampel acak dilakukan secara objektif sedemikian rupa

sehingga probabilitas setiap unit sampel diketahui, sedangakan pengambilan

sampel tanpa acak dilakukan sedemikian rupa sehingga probabilitas setiap unit

sampel tidak diketahui dan faktor subjektif memegang peran penting. Oleh

karena itu, pengambilan sampel tanpa acak ini, walaupun dilakukan

sedemikian rupa sehingga mempunyai tingkat kewakilan yang tinggi, tetap

tidak dapat dievaluasi secara objektif (Budiarto, 2002).

Random sampling yang akan diuraikan adalah sebagai berikut.

1. Pengambilan sampel acak sederhana (Simple random sampling)

Pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga setiap unit

dasar (individu) mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil

sebagai sampel. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana

dan dalam praktik jarang digunakan secara tunggal terutama saat

pengambilan sampel pada populasi besar. Cara ini mempunyai arti

sangat penting karena pengambilan sampel secara acak sederhana

merupakan dasar dari cara pengambilan sampel yang lain

(Budiarto, 2002).

2. Pengambilan sampel acak stratifikasi (Stratified random sampling)

Pengambilan sampel dilakukan dengan membagi populasi

menjadi beberapa strata, dimana setiap strata adalah homogen,

sedangkan antra-strata terdapat sifat yang berbeda kemudian

dilakukan pengambilan sampel pada setiap strata. Cara

pengambilan sampel demikian disebut pengambilan sampel acak

dengan setrifikasi (Budiarto, 2002).

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel cara ini yaitu dengan cara membagi

populasi menjadi beberapa fraksi kemudian diambil sampelnya.

Sampel fraksi yang dihasilkan dibagi lagi menjadi fraksi – fraksi

yang lebih kecil kemudian diambil sampelnya. Pembagian menjadi

fraksi ini dilakukan terus sampai pada unit sampel yang diinginkan.

Unit sampel pertama disebut Primary Sampling Unit (PSU). PSU

dapat berupa fraksi besar atau fraksi kecil. Pengambilan sampel

acak bertingkat ini biasanya digunakan bila kita ingin mengambil

sampel dengan jumlah yang tidak banyak pada populasi yang besar

(Budiarto, 2002).

4. Pengambilan sampel acak sistematik (Systematic random

sampling)

Pengambilan sampel cara ini yaitu dengan cara

pengambilan sampel acak dilakukan secara berurutan dengan

interval tertentu. Besarnya interval (i) dapat ditentukan dengan

membagi populasi (N) dengan jumlah sampel yang diinginkan (n)

atau i = N/n (Budiarto, 2002).

5. Pengambilan sampel acak kelompok (Cluster random sampling)

Pengambilan sampel cara ini dengan cara yaitu jika kita

akan melakukan suatu penelitian dengan mengambil kelompok unit

dasar sebagai sampel. Cluster sampling dapat pula dilakukan

dengan membagi populasi studi menjadi beberapa bagian (Blok)

sebagai cluster dan dilakukan pengambilan sampel kelompok

(cluster) tersebut (Budiarto, 2002).

6. Probability Proportionate to Size (PPS)

Pengambilan sampel dengan cara PPS ini merupakan

variasi dari pengambilan sampel bertingkat dengan pengambilan

PSU yang dilakukan secara proporsional. Pengambilan sampel cara

ini biasanya digunakan bersamaan dengan cara pengambilan

sampel yang lain, seperti sampel acak sederhana, sampel

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel tanpa acak yang akan diuraikan adalah sebagai

berikut :

1. Pengambilan sampel seadanya (Accidental sampling)

Pengambil sampel cara ini dilakukan secara subjektif oleh peneliti

ditinjau dari sudut kemudahan, tempat pengambilan sampel, dan

jumlah sampel yang akan diambil (Budiarto, 2002).

2. Pengambilan sampel berjatah (Quota sampling)

Cara pengambilan sampel ini hampir sama dengan pengambilan

sampel seadaanya, tetapi dengan kontrol yang lebih baik untuk

mengurangi terjadinya bias. Pelaksanaan pengambilan sampel dengan

jatah sangat tergantung pada peneliti, tetapi dengan kriteria dan jumlah

yang telah ditentukan sebelumnya (Budiarto, 2002).

3. Pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposive sampling)

Dikatakan pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan apabila

cara pengambilan sampel dilakukan sedemikian rupa sedemikian rupa

sehingga keterwakilannya ditentukan oleh peneliti berdasarkan

pertimbangan orang – orang yang telah berpengalaman. Cara ini lebih

baik dari dua cara sebelumnya karena dilakukan berdasarkan

pengalaman berbagai pihak (Budiarto, 2002).

Pengambilan sampel tanpa acak ini digunakan bila kita ingin mengambil

sampel yang sangat kecil pada populasi yang besar karena dengan cara

apapun tidak mungkin mendapatkan sampel yang dapat menggambarkan

keadaaan populasinya, bahkan mungkin dengan pengambilan sampel tanpa

acak akan menghasilkan bias yang lebih kecil dibandingkan dengan

(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KERANGKA KONSEP

Teknologi pengolahan pangan Sirup kemasan

Kadar zat pewarna (Uji laboratorium)

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :

722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan

Makanan

Efek dari zat pewarna hiperaktif, migrain, dan intoleran terhadap penyakit asma dan alergi aspirin

Tartrazine dan Sunset yellow

Zat aditif yang terkandung antara lain pemanis, pewarna ,

pengawet dll

Praktis, awet dan warna menarik

Batas penggunaan maksimum adalah 70mg/l produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan

cair

KCKT T

RSD (Simpangan Data Relatif)

Hasil analisis kadar zat pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow

Linieritas

(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Pengembangan Teknologi

Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) Puspiptek BPPT Serpong -

Tangerang. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai Agustus

2012.

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Beacker glass; tabung eppendrof; spatula; labu ukur; timbangan analitik;

Column Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm); pipet mikro dan tube;

vacum fiter; spektrofotometer UV-Vis dan HPLC Knaur detektor UV

(autosampler).

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

Standar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow (Sigma); aquabidest;

Metanol (gradient grade for liquid chromatography) (Merck); Riboflavin;

buffer fosfat pH 7; dan sampel sirup kemasan diperoleh dari swalayan dan

minimarket yang ada di sekitar Tangerang.

3.3 Cara kerja

3.3.1 Prosedur pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara tanpa acak (Purposive

sampling) berdaasarkan pertimbangan yaitu pemilihan sampel minuman

yang digunakan berdasarkan kode kadaluarsa dan kede produksi dan juga

spesifikasinya hampir sama seperti ukuran kemasan, jenis kemasan, rasa

(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemasan dalam bentuk gelas plastik yang terbuat dari poli etilen dengan

merek yang berbeda.

3.3.2 Preparasi standar

a. Pembuatan larutan induk dan larutan kerja Tartrazine dan Sunset yellow

Cara membuat larutan induk dan larutan kerja Tartrazine dan

Sunset yellow dibuat dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh

Vachirapatama dkk (2008), yaitu standar Tartrazine dan Sunset yellow

masing – masing ditimbang dan dilarutkan dengan aquabidest sehingga

diperoleh konsentrasi 1000µg/mL. Larutan kerja dibuat dengan

mengencerkan larutan induk kedua zat pewarna tersebut dan

mencampurkannya dengan perbandingan 1:1 sehingga diperoleh

konsentrasi 50 µg/mL; 25 µg/mL; 12,5 µg/mL; 6,25 µg/mL; dan 3,125

µg/mL.

b. Pembuatan larutan standar internal (Riboflavin 50ppm)

Penggunaan larutan standar internal mengikuti penelitian yang

dilakukan oleh Veni dkk., (2011). Riboflavin ditimbang dan dilarutkan

dengan aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 50µg/mL.

3.3.3 Penentuan serapan maksimum

Larutan standar dari Tartrazine dan Sunset yellow masing - masing dibuat dengan konsentrasi 10 μg/mL, dan masing - masing serapannya diukur pada 300 – 600 nm secara spektrofotometri, hingga diperoleh

panjang gelombang maksimumnya.

3.3.4 Analisa kondisi optimum KCKT

Uji keseuaian sistem dilakukan mengacu pada beberapa penelitian

seperti Vachirapatama, dkk. (2008), Veni N (2011) dan Dionex (Anonim,

2010) dan dimodifikasi dengan kondisi percobaan sebagai berikut :

Spesifikasi column : C18 (fase diam); Eclipse plus C-18 5μm (150 x

4,6 mm)

Detektor : UV

(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mode elusi : Gradient

Fase gerak :

Tabel 3.1. Komposisi fase gerak dalam rentang gradient elusi

Laju alir : 1 mL / menit

Volume injeksi : 20 μL

3.3.5 Pembuatan kurva kalibrasi

Pembuatan kurva kalibrasi mengikuti penelitian dari Veni dkk (2011)

dengan penambahan larutan standar internal. Larutan standar internal yang

digunakan larutan Riboflavin.. Penambahan yang dilakukan yaitu dengan

perbandingan 1:1 (larutan Riboflavin 50 µg/mL : campuran larutan zat

pewarna Tartrazine dan Sunset yellow).

Pembuatan kurva kalibrasi menggunakan larutan kerja dari Tartrazine

dan Sunset yellow yang masing – masing telah dicampurkan dan kemudian

ditambahkan larutan internal standar perbandingan 1:1 sehingga

memperoleh konsentrasi 25 µg/mL; 12,5 µg/mL; 6,25 µg/mL; 3,125

µg/mL, dan 1,56 µg/mL dan masing – masing konsentrasi tersebut

mengandung larutan internal standar dengan konsentrasi 25 µg/mL.

Kemudian, disuntikkan pada column terpilih pada kondisi yang telah

ditentukan dan dibuat kurva kalibrasinya dengan menggunakan microsoft

(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.6 Pengujian batas deteksi dan batas kuantitasi

Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung secara

statistik melalui regresi linier dari kurva kalibrasi yang diperoleh.

3.3.7 Pengujian keterulangan (presisi)

Larutan standar dengan konsentrasi 6,25 µg/ml disuntikkan sebanyak

20 µL kedalam column Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm) pada

kondsi yang telah di tentukan dan diulangi sebanyak 6 kali. Kemudian

dicatat luas area dan dihitung koefisien variasinya.

3.3.8 Penetapan Kadar Zat Pewarna Tartrazine dan Sunset Yellow Dalam Produk Minuman Sirup

Cara mementukan kadar Tartrazine dan Sunset yellow dalam sirup

kemasan dilakukan dengan metode yang telah dilakukan oleh Veni dkk

(2011) dengan penambahan larutan internal standar . Larutan internal

standar yang digunakan larutan Riboflavin dan telah dimodifikasi.

Penambahan yang dilakukan yaitu dengan perbandingan 1:1 (larutan

riboflavin 50 µg/mL : sampel sirup kemasan).

Sampel X dipipet sebanyak 500 µL kemudian dimasukkan kedalam

tabung eppendrof ukuran 2 ml kemudian ditambahkan 500 µL larutan

standar riboflavin 50 µg/mL kedalam tabung dan dikocok hingga

homogen, kemudian disuntikkan kedalam column Eclipse plus C-18 5μm

(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spektrum serapan maksimum Tartrazine dan Sunset yellow

Sebelum dilakukan uji menggunakan alat KCKT terlebih dahulu

ditentukan nilai serapan maksimum ( maks) dari masing – masing standar

Tartrazine dan Sunset yellow menggunakan alat Spektrofotometer UV-Vis

dan didapatkan panjang gelombang maksimum yaitu 426, 27 nm untuk

Tartrazine dan 482,18 nm untuk Sunset yellow. Berdasarkan sertifikat of

analysis dari Sigma panjang gelombang maksimum untuk Tartrazine pada

427 nm dan Sunset yellow 482 nm.

Panjang gelombang yang digunakan pada penelitian ini adalah 450 nm

dikarenakan pada gelombang tersebut dimaksudkan agar dapat

mengidentifikasikan 2 kromatogram secara bersamaan yaitu Tartrazine dan

Sunset yellow dan diharapkan mendapatkan kromotogram yang tingginya

tidak terlalu jauh berbeda karena pada panjang gelombang ini berada ditengah – tengah dari panjang gelombang Tartrazine dan Sunset yellow. Kromatogram yang dihasilkan pada panjang gelombang tersebut dapat dilihat

pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.. Kromatogram standar Tartrazine (A), Sunset Yellow (B) dan

(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gerak methanol - buffer fosfat 0,01M, laju alir 1ml/menit dan

volume injeksi 20μL.

4.2Hasil analisa kondisi optimum

Uji kesesuaian sistem dilakukan untuk mengkalibrasi alat KCKT yang

digunakan sehingga didapatkan kondisi yang optimum, dimana kondisi

analisa yang digunakan / dipilih pada pengujian kedua zat warna ini sebagai

berikut :

Spesifikasi kolom : C18 (fase diam); Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6

mm)

Detektor : UV

Panjang gelombang : 450nm

Metode Elusi : Gradient

Fase gerak :

Buffer fosfat 0,01 M (%)

masing-masing standar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow

(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pemilihan metode gradient elusi digunakan karena matriks senyawa yang

kompleks dan analisis dilakukan secara langsung tanpa melalui proses

ekstraksi sehingga diharapkan proses pemisahan komponen zat pewarna

mampu menghasilkan pemisahan dengan resolusi yang lebih baik. Waktu

yang digunakan untuk identifikasi selama 23 menit setiap sampel, dimana

pada menit 1 – 13 yaitu untuk proses identifikasi atau pemisahan

kromatogram yang di inginkan; 14 – 18 menit yaitu untuk proses pencucian

kolom dari senyawa – senyawa atau analit yang digunakan; dan 19 – 23 yaitu

untuk proses penjenuhan sehingga kolom siap untuk digunakan untuk

mengidentifikasi analit selanjutnya. Sedangkan penggunaan buffer fosfat

mengacu pada jurnal dari Dionex (Anonim, 2010) yang menggunakan buffer

fosfat dengan ph 8,8 untuk fase geraknya. Pemilihan buffer fosfat sebagai

fase gerak dimungkinkan untuk mengkondisikan suasana pH analit yang akan

di identifikasi pada kondisi panjang gelombang 450nm, dimana pada kondisi

pH tersebut sehingga diharapkan mampu menghasilkan puncak kromatogram

yang ideal.

Berdasarkan kedua puncak kromatogram (Tartrazine dan Sunset yellow)

yang diperoleh, selanjutnya dihitung nilai resolusi, plat teoritis dan nilai

HETP-nya seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Dari hasil kromatogram

tersebut didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.1. Hasil uji kesesuaian sistem

Standar pewarna

Tartrazine 10881,94 0,01378

10,99

Sunset yellow 7251, 79 0,02068

Hasil uji kesesuaian sistem yang diperoleh yaitu jumlah plat teoritis (N)

10881,94 untuk Tartrazine dan 7251,79 untuk Sunset yellow, dan nilai HETP

yang diperoleh untuk Tartrazine 0,01378 dan Sunset yellow 0,02068. Hasil

ini menunjukkan bahwa memenuhi persyaratan uji untuk nilai jumlah plat

teoritis (N) > 2500 dan nilai HETP karena HETP < N. Resolusi yang

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.1.  Sifat – sifat dari Beberapa Bahan Pewarna Alami
Tabel 2.2.  Pewarna sintetik tedaftar
Gambar 1. Struktur kimia Tartrazine (Anonim, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penentuan kadar difenhidramin HCl dalam obat batuk sirup dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan detektor UV-Vis dengan

Dari identifikasi yang dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) diperoleh kadar natrium siklamat pada Sirup Markisa Madan adalah 657 mg/kg. Kadar

Dari hasil pemeriksaan terdapat 2 sampel yang menggunakan zat pewarna yang tidak diizinkan, yaitu pada sirup SG menggunakan zat pewarna Ponceau 3R dengan kadar 11,56 mg/lt, dan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dari 20 sampel yang diperiksa, 18 sampel menggunakan zat pewarna yang diizinkan yaitu Sunset Yellow, Tartrazine, dan Ponceau

Dari hasil percobaan pengujian disolusi dan penetapan kadar kloramfenikol dalam kapsul dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi, diketahui bahwa zat aktif terlarut

Metode yang digunakan dalam penetapan kadar kofein pada minuman berenergi kemasan botol yang beredar di daerah kota Padang, yaitu menggunakan metoda kromatografi

Berdasarkan hasil tersebut, metode KCKT fase terbalik pada penetapan kadar guaifenesin dalam sediaan sirup “X” meme nuhi parameter validitas yang baik, tetapi

Metode yang digunakan dalam penetapan kadar kofein pada minuman berenergi kemasan botol yang beredar di daerah kota Padang, yaitu menggunakan metoda kromatografi