PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TERHADAP KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS
YANG MENJALANI HEMODIALISA
TESIS
Oleh:
DEVI NOVITA DAMANIK
127046039/KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TERHADAP KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS
YANG MENJALANI HEMODIALISA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEVI NOVITA DAMANIK
127046039 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah diuji
Pada tanggal : 25 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si
Judul Tesis : Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap Kecemasan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisa
Nama Mahasiswa : Devi Novita Damanik
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
PMR (Progressive Muscle Relaxation) merupakan suatu teknik relaksasi pada otot
dengan memberikan sensasi ketegangan pada 10 kelompok otot dan
menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian untuk
mendapatkan sensasi rileks. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana
pengaruh pemberian latihan PMR terhadap penurunan tingkat kecemasan pada
pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa dan mengalami
kecemasan. Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan 25
pasien kelompok intervensi dan 25 pasien kelompok kontrol. Latihan PMR
dilakukan kepada 10 kelompok otot, kelompok intervensi mendapatkan perlakuan
sebanyak 6 kali selama jangka waktu 3 minggu dengan durasi waktu perlakuan
selama 15 menit tiap sesi. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Variabel
kecemasan diukur dengan menggunakan instrumen kecemasan HARS (Hamilton
0,93. Uji statistik digunakan uji Independent t Tes. Hasil penelitian menunjukkan
ada perbedaan yang signifikan nilai rerata kecemasan antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol dengan p value<0,05 dan nilai t=-5,779. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian latihan PMR terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam
menjadikan PMR sebagai intervensi keperawatan dalam menurunkan kecemasan
pasien yang menjalani hemodialisa.
Kata kunci: kecemasan, progressive muscle relaxation, hemodialisa, penyakit
Thesis Title : Effect of Progressive Muscle Relaxation on Anxiety in End Stage Kidney Disease
Patients Undergoing Hemodialysis
Name : Devi Novita Damanik
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
PMR (Progressive Muscle Relaxation) is a relaxation technique on the sceletal
muscles by giving the sensation of tension in a sceletal muscle group and then the
voltage to focus on getting the sensation of relax. This study aims to see how the
effect of PMR exercise in end stage kidney disease patients undergoing
hemodialysis and supper anxiety. This study running quasi-experimental design
with 25 patients intervention and 25 pastients control group. The intervention
group get treated 6 times over a period of 3 weeks with treatment duration of 15
minutes each season. Anxiety analyze with Hamilton Anxiety Rating Scale
(HARS) with validity value: 0,68 until 0,93 and the relibility: 0,93. The statistical
test used is Independent t test to analyze differences in mean anxiety post-test
between the intervention group and the control group with p value p <0.05 with
t=-5,977. The conclusion, there’re any difference giving PMR to decrease anxiety
the PMR as a reference in making nursing interventions in decrease anxiety
patients in hemodialysis.
Keywords: anxiety, progressive muscle relaxation, hemodialysis, end stage kidney
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul “Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap Kecemasan Pasien
Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa”, disusun untuk memenuhi
sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan di Program
Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara (USU) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan.
2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan USU.
3. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psi selaku dosen pembimbing I. Terima kasih
telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan tesis ini hingga selesai.
4. Cholina Trisa S. S. Kp., M.Kep., Sp. KMB selaku pembimbing II yang tidak
henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada
5. Prof. Harun Al Rasyid D, Sp. PD, Sp. GK dan dr. Dedi Ardinata, M.Kes
selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
6. RSUD Dr. Pirngadi Medan dan RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit
tersebut.
7. Ayah, Ibu, Suami dan keluarga penulis yang telah banyak memberikan
dukunganmateril dan moril dalam penyelesaian tesis ini.
8. Yayasan Pendidikan AKPER Malahayati Medan atas kesempatan dan
dukungan yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini dengan baik.
9. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu
dan memberi dorongan untuk menyelesaikan laporan tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan
penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
profesi keperawatan.
Medan, 25 Agustus 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Devi Novita Damanik
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 31 Oktober 1988
Alamat Asal : Jln. Kebun Sayur No.318 Tembung
No. Telp/HP : 085270020345
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD MIN Medan 2000
SLTP MTs Negeri 2 Medan 2003
SMA MAN 1 Medan 2006
Ners Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2011
Magister Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2014
Riwayat Pekerjaan :
Kegiatan Akademik Selama Studi :
Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan
Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop
Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean
Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.
Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE
“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical
Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera
Utara.
Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic,
24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.
Peserta “Pelatihan Basic Hypnotherapy For Nursing, 30 Februari dan 1 Maret
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Hipotesis ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Kecemasan ... 9
2.1.1. Definisi Kecemasan ... 9
2.1.2. Gejala Kecemasan ... 11
2.1.3. Faktor Penyebab Kecemasan ... 12
2.1.4. Tingkat Kecemasan ... 16
2.1.5. Manajemen Kecemasan ... 18
2.1.6. Kecemasan Pada Pasien Penyakit ginjal Kronis yang Menjalai Hemodialisa ... 19
2.1.7. Peran Perawat Hemodialisa ... 22
2.2. Progressive Muscle Relaxation... 24
2.2.1. Definisi Progressive Muscle Relaxation ... 24
2.2.2. Manfaat Progressive Muscle Relaxation ... 25
2.2.3. Prinsip Kerja Progressive Muscle Relaxation ... 28
2.2.4. Mekanisme Fisiologis Progressive Muscle Relaxation Dalam Mengatasi Kecemasan ... 29
2.2.5. Pelaksanaan Progressive Muscle Relaxation ... 30
2.3. Landasan Teori Keperawatan ... 38
2.4. Kerangka Teori ... 41
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 43
3.1. Jenis Penelitian ... 44
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44
3.3. Populasi dan Sampel ... 44
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 46
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 49
3.7. Uji Validitas dan Realibilitas ... 51
3.8. Metode Analisa Data ... 51
3.9. Pertimbangan Etik ... 53
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55
4.2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 56
4.3. Deskripsi Tingkat Kecemasan Pre Test ... 58
4.4. Deksripsi Tingkat Kecemasan Post Test ... 58
4.5. Analisis Perbedaan Tingkat Kecemasan ... 59
4.6. Analisis Sampel Individual ... 61
BAB 5. PEMBAHASAN ... 64
5.1. Deskripsi Tingkat Kecemasan pre test kelompok kontrol dan intervensi ... 64
5.2. Deskripsi Tingkat Kecemasan post test kelompok kontrol dan intervensi ... 67
5.3. Analisis Perbedaan Tingkat Kecemasan Post Test Kelompok Intervensi dan Kontrol ... 68
5.4. Analisis Data Individual ... 71
5.5. Keterbatasan Penelitian ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1. Kesimpulan ... 73
6.2. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1 Tingkat Respon Kecemasan ... 17
Tabel 3.2 Defenisi Operasional dan Variabel Penelitian ... 49
Tabel 3.3 Hasil Uji Normalitas Sebaran ... 52
Tabel 3.4 Hasil Uji Homogenitas antar kelompok intervensi dan kontrol sebelum perlakuan ... 52
Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Penellitian Berdasarkan Karakteristik Demografi di Unit Hemodialisa RSUP HAM dan RSUD
Pirngadi Medan Mei-Juni 2014 ... 57
Tabel 4.2 Deskripsi Tingkat Kecemasan Pre test di Unit Hemodialisa
RSUP HAM dan RSUD Pirngadi Medan Mei-Juni 2014 ... 58
Tabel 4.3 Deskripsi Tingkat Kecemasan Post test di Unit Hemodialisa
RSUP HAM dan RSUD Pirngadi Medan Mei-Juni 2014 ... 58
Tabel 4.4 Nilai Rerata Kecemasan pre dan post test kelompok intervensi dan kontrol di Unit Hemodialisa RSUP HAM dan RSUD
Pirngadi Medan Mei-Juni 2014 ... 59
Tabel 4.5 Data rerata kecemasan post test kelompok intervensi dan
Kontrol ... 60
Tabel 4.6 Kategori skor variabel kecemasan
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap
Kecemasan ... 42
Gambar 3.1 Skema Penelitian ... 43
Gambar 4.1 Perbedaan skor rerata Kecemasan pre dan post test ... 60
Gambar 4.2 Perbedaan rerata kecemasan post test kelompok intervensi
dan kontrol ... 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 81
a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 82
b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 83
c. Kuesioner Data Demografi ... 84
d. Kuesioner Kecemasan ... 85
e. Lembar Isian Harian Progressive Muscle Relaxation ... 87
f. Panduan Pelaksanaan Latihan Progressive Muscle Relaxation ... 88
Lampiran 2 Biodata Expert ... 100
Lampiran 3 Izin Penelitian ... 103
a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ke RSUD Dr Pirngadi Medan ... 104
b. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ke RSUP HAM Medan ... 105
c. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 106
d. Surat Selesai Penelitian RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 107
Thesis Title : Effect of Progressive Muscle Relaxation on Anxiety in End Stage Kidney Disease
Patients Undergoing Hemodialysis
Name : Devi Novita Damanik
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
PMR (Progressive Muscle Relaxation) is a relaxation technique on the sceletal
muscles by giving the sensation of tension in a sceletal muscle group and then the
voltage to focus on getting the sensation of relax. This study aims to see how the
effect of PMR exercise in end stage kidney disease patients undergoing
hemodialysis and supper anxiety. This study running quasi-experimental design
with 25 patients intervention and 25 pastients control group. The intervention
group get treated 6 times over a period of 3 weeks with treatment duration of 15
minutes each season. Anxiety analyze with Hamilton Anxiety Rating Scale
(HARS) with validity value: 0,68 until 0,93 and the relibility: 0,93. The statistical
test used is Independent t test to analyze differences in mean anxiety post-test
between the intervention group and the control group with p value p <0.05 with
t=-5,977. The conclusion, there’re any difference giving PMR to decrease anxiety
the PMR as a reference in making nursing interventions in decrease anxiety
patients in hemodialysis.
Keywords: anxiety, progressive muscle relaxation, hemodialysis, end stage kidney
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai fungsi utama
mempertahankan homeostasis dalam tubuh dengan cara mengatur konsentrasi
banyaknya konstituen plasma, terutama elektrolit dan air, mengeliminasi zat-zat
yang tidak diperlukan atau berlebihan di urin (Brunner & Suddarth, 2008).
Penyakit Ginjal Kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang terjadi ketika
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan
kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh menjadi
mudah lelah dan lemas sehingga akan berdampak pada kualitas hidup pasien
(Prince & Wilson, 2006).
Laporan USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2011
menunjukkan angka kejadian penderita penyakit ginjal kronispada tahun 2009 di
Amerika Serikat sebesar 1.811/1.000.000 penduduk, di Taiwan sebesar
2.447/1.000.000 penduduk dan di Jepang sebesar 2.205/1.000.000 penduduk.
Penderita penyakit ginjal kronis di dunia pada tahun 2010 berjumlah 2.622.000,
sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan
593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal (Fresenius Medical Care,
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita penyakit ginjal kronik
yang cukup tinggi, data dari ASKES tahun 2010 tercatat 17.507 pasien, tahun
berikutnya tercatat 23.261 dan data terakhir tahun 2013 tercatat 24.141 orang
pasien (Nawawi, 2013). Data yang diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan,
jumlah pasien yang menjalani hemodialisa rutin pada tahun 2009 adalah 166 orang,
dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 191 pasien. Data di rumah sakit dr. Pirngadi
Medan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 123 pasien, meningkat menjadi 126 orang
pada tahun berikutnya, dan terakhir tahun 2013 tercatat 184 orang yang rutin
menjalani hemodialisa.
Penderita penyakit ginjal kronis akan mengalami berbagai dampak fisik
dan dampak psikologis yang akan mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari (Kelly,
2006). Dampak fisik yang bisa terjadi berupa rasa haus berlebihan, tenggorokan
kering, tidak selera makan, gastritis, konstipasi, gangguan tidur, kesulitan bernafas
dan kelemahan, selain dampak fisik individu juga akan mengalami dampak
psikologis berupa kecemasan. Tingginya angka kejadian penyakit ginjal
kronis dan dampak penyertanya sehingga harus dilakukan tindakan untuk
mengatasi atau menangani masalah yang muncul akibat penyakit ginjal kronis ini
diantaranya mengatur pola makan, tindakan dialisis bahkan sampai pada tindakan
transplantasi ginjal (Smeltzer & Bare, 2009). Tindakan dialisis merupakan terapi
pengganti utama pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan sepanjang usia
mereka. Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam kehidupan pasien baik kondisi fisik maupun kondisi
Perubahan psikologis yang dirasakan dapat dilihat dari kondisi fisik dan
perubahan perilaku diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak
aman, ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Dua pertiga dari pasien
yang menjalani terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas atau pekerjaan
seperti sebelum dia menjalani hemodialisa. Pasien sering mengalami masalah
seperti: kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, usia harapan hidup yang
menurun dan fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan dan akan
mengarah pada suatu kondisi kecemasan sebagai akibat dari penyakit sistemik
yang mendahuluinya (Fatayi, 2008).
Kecemasan merupakan kondisi gangguan psikologis dan fisiologis yang di
tandai dengan gangguan kognitif, somatik, emosional dan komponen dari
rangkaian tingkah laku (Cahyaningsih, 2009). Takaki (2003) di Jepang
penelitiannya menyebutkan pasien yang menjalani hemodialisa mengalami
kecemasan: kecemasan ringan 65,9%, kecemasan sedang 12,8% dan kecemasan
berat 4,2%. Squalli (2005) di Rumania menemukan angka kejadian kecemasan
yang tinggi pada pasien Penyakit Ginjal Kronis yang menjalani hemodialisa yaitu
sebesar 69,3%. Penelitian Dumitrescu (2009) di Rumania pada pasien yang
menjalani hemodialisa mengalami kecemasan sebesar 85,1%.Penelitian Kohli (2011) di India pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa mengalami
kecemasan sebanyak 86,7%.
Reski (2009) melakukan penelitian di Ruang unit hemodialisa RSI Jakarta
dari 40 responden 70% pasien hemodialisa mengalami kecemasan sedang dan
2011 di Ruang Hemodialisa RSU Dr. Ramelan Surabaya pasien yang menjalani
hemodialisa dari 40 respon yang diteliti 33% mengalami kecemasan berat, 45%
kecemasan sedang dan 22% mengalami kecemasan ringan. Dewi (2012) meneliti
di unit Hemodialisa RSUD Wangaya Denpasar dari 8 pasien yang menjalani
hemodialisa sebanyak 62,5% (5 pasien) mengatakan dirinya mengalami
kecemasan saat menjalani Hemodialisa.
Kecemasan yang tidak teratasi dapat menyebabkan individu mengalami
depresi (Wicks, Bolden, Mynatt, Rice & Acchiardo, 2007). Kecemasan dan
depresi merupakan kondisi gangguan psikologis yang sering terjadi pada pasien
penyakit ginjal kronis dan sangat sering terkait dengan angka kematian yang
tinggi, angka kesakitan dan hospitalisasi yang tinggi (Kojima, 2012). Tindakan
bunuh diri saat menjalani hemodialisa berkepanjangan 15 kali lebih tinggi dari
populasi umum dan lebih tinggi dari pasien dengan kondisi kanker (McQuillan &
Jassal, 2010).
Kecemasan yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa secara
rutin akan menyebabkan penurunan kualitas hidup (Lysaght & Mason, 2000).
Kualitas hidup merupakan satu hal yang sangat penting yang harus dipantau dari
pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Kualitas hidup yang
baik dapat dicapai dengan menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa, sehingga
seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan. Kecemasan
merupakan salah satu dampak psikologi yang dihadapi oleh pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa. Kondisi cemas pasien harus dikontrol agar
kronis yang menjalani hemodialisa (Ventegodt, 2003). Penelitian Daria (2009)
menyebutkan bahwa kecemasan, depresi dan persepsi terhadap kesehatan yang
memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup pasien dan pasien yang
mengalami kecemasan sebanyak 41%. Kulitas hidup pasien dengan penyakit
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa adalah sesuatu yang penting untuk kita
jaga karena agar mencapai kondisi kesehatan individu yang optimal (Prince &
Wilson, 2006).
Intervensi yang diberikan pada pasien yang mengalami kecemasan dapat
berupa terapi individu seperti terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping,
relaksasi (yoga, logoterapi, progressive muscle relaxation). Terapi kelompok
berupa terapi suportif dan logoterapi dan terapi keluarga berupa psikoedukasi
keluarga (Stuart, 2009). Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind body
therapy dalam Coplementary and Alternatif Therapy (Moyand & Hawks, 2009).
Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat
dipakai sebagai pendamping terapi medis yang pelaksanaannya dapat dilakukan
bersamaan dengan terapi medis (Tzu, 2010).
Di luar negri seperti Amerika dan Jepang teknik relaksasi dan musik
adalah bagian yang integral dari pendekatan non-farmakologi dan diketahui untuk
mengatasi kecemasan (Tzu, 2010). Salah satu jenis terapi relaksasi adalah
progressive muscle relaxation (PMR) yang diperkenalkan oleh Jacobson (Davis,
1995). Singh pada tahun 2009 melakukan penelitian penggunaan teknik PMR
pada pasien COPD yang mengalami kecemasan, setelah dua kali diberi tindakan
penurunan sehingga memberikan dampak positif terhadap perjalanan proses
penyembuhannya.
Wilk dan Turkoski (2002) menggunakan PMR pada pasien rehabilitasi
pasca operasi jantung dan berhasil mencegah kenaikan tekanan darah dan
mencegah terjadinya kecemasan. PMR juga efektif untuk mengurangi mual
muntah pasien kanker payudara (Mollasiotis, Yung, Yam, Chan. & Mok, 2002).
Pasien yang menjalani rehabilitasi penyakit paru yang mengalami kecemasan
dilakukan pemberian teknik relaksasi PMR rutin selama dalam proses rehabilitasi
efektif untuk mengatasai kecemasannya (Lee, Bhattacharya, Sohn & Verres,
2012). Lauche (2013) melakukan penelitian efektifitas massase cuping dan PMR
pada pasien chronic neck pain. Pasien yang menerima massase cuping hidung
tetap mengalami nyeri dan peningkatan tekanan darah sedangkan pada pasien
yang menerima PMR mengalami angka penurunan nyeri dan stabil hingga minggu
ke 12. Vancamport (2012) meneliti PMR dalam menurunkan gejala dan tanda
kecemasan, psikologi distres dan untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien
dengan penyakit skizofrenia.
Di Indonesia penelitian penggunaan progressive muscle ralaxation (PMR)
sudah dilakukan beberapa diantaranya Mashudi (2011) melakukan penelitian
berupa pemberian tindakan latihan PMR pada pasien dengan kadar glukosa darah
pasien DM Tipe 2 di Jambi mendapatkan hasil bahwa tindakan PMR memiliki
hubungan yang signifikan dalam menurunkan kadar glukosa darah pasien DM
Tipe 2. Penelitian Harmono 2010 PMR juga menurunkan tekanan darah pada
memaknai hidup pasien pasien kanker dan menjadi alternatif dalam terapi
keperawatan dalam merawat luka kanker dengan kecemasan dan depresi.
Berdasarkan fenomena tersebut maka akan diteliti bagaimana pengaruh
progressive muscle relaxation dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa.
1.2 Permasalahan
Dampak psikologis pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani program
terapi seperti hemodialisis dapat dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan
perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung
dan menderita. Tingginya jumlah pasien dengan kondisi penyakit ginjal kronis
dan menjalani terapi hemodialisa dan melihat tingginya angka prevalensi
kecemasan pada pasien hemodialisis yang harus segera ditangani, dan perlu untuk
dilakukan penelitian bagaimana tindakan progressive muscle relaxation dapat
menurunkan angka kejadian kecemasan yang dihadapi oleh pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani terapi hemodialisa.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum:
Menganalisis pengaruh progressive muscle relaxation terhadap tingkat
kecemasan pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisa.
b. Tujuan Khusus
1) Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa
dan mengalami kecemasan pada kelompok kontrol dan kelompok
2) Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa
dan mengalami kecemasan pada kelompok intervensi setelah diberikan
latihan progressive muscle relaxation.
3) Menganalisa perbedaan tingkat kecemasaan pasien yang menjalani
hemodialisa dan mengalami kecemasan sebelum dan sesudah diberikan
latihan progressive muscle relaxation.
1.4 Hipotesis
Ha: ada pengaruh pemberian latihan Progressive Muscle Relaxation
terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisa.
1.5 Manfaat Penelitian
1) Praktik Keperawatan
a. Menjadikan latihan progressive muscle relaxation sebagai salah satu terapi
komplementer dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien penyakit
ginjal kronis yang menjalani Hemodilisa
b. Memperkenalkan kepada seluruh masyarakat latihan progressive muscle
relaxation sebagai terapi komplementer dalam menurunkan tingkat
kecemasan pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisa
2) Pendidikan Keperawatan
a. Memperkuat dukungan teoritis penggunaan latihan progressive muscle
relaxation dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien khususnya
b. Mengembangkan kajian penggunaan latihan progressive muscle relaxation
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
2.1.1 Definisi Kecemasan
Menurut KBBI, kecemasan berasal dari kata cemas yang artinya tidak
tentram hati, merasa gelisah dan takut. Kecemasan atau anxiety berasal dari
bahasa Jerman dari kata angst yang artinya ketakutan. Secara konseptual,
kecemasan berarti suatu perasaan emosional seperti rasa takut (Hamlin & Pottash,
1986).
Menurut Post (1978) dalam Hawari (2006) kecemasan adalah kondisi
emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan-perasaan
subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan
aktifnya sistem saraf pusat. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak
menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu, seperti perubahan
detak jantung dan pernafasan. Kecemasan juga melibatkan persepsi tentang
perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis. Dengan kata lain,
kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya.
Lefrancois dalam Hawari (2006) juga menyatakan bahwa kecemasan
merupakan reaksi emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan
ketakutan. Hanya saja menurut Lefrancois pada kecemasan bahaya bersifat kabur,
misalnya ada ancaman, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi, adanya
mengungkapkan bahwa kecemasan ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan
kecemasan yang kronis, walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Menurut
Kartono (1981), ada perbedaan mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada
ketakutan yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata,
sedangkan pada kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan
tegas, jelas dan tepat.
Menurut Kaplan, Saddock, dan Grebb (2010) kecemasan adalah respon
terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal normal yang terjadi
yang disertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru, serta dalam
menemukan identitas diri dan hidup. Kecemasan merupakan suatu perasaan
subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum
dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.
Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang
nantinya akan menimbulkan perubahan fisiologis dan psikologis. Kecemasan
dalam pandangan kesehatan juga merupakan suatu keadaan yang menggoncang
karena adanya ancaman terhadap kesehatan.
Secara garis besar, kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan dan kekhawatiran diri akibat kondisi atau keadaan yang sedang
dijalani yang akan mempangaruhi kondisi fisik dan psikologis seorang individu.
Pasien sering mengalami masalah seperti: kehilangan pekerjaan, penghasilan,
menimbulkan kemarahan dan akan mengarah pada suatu kondisi kecemasan
sebagai akibat dari penyakit sistemik yang mendahuluinya (Fatayi, 2008).
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia
sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan
cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah
menjadi gangguan cemas atau anxietydisorders (Kaplan, Saddock & Grab, 2010).
Kecemasan merupakan kondisi gangguan psikologis dan fisiologis yang di
tandai dengan gangguan kognitif, somatik, emosional dan komponen dari
rangkaian tingkah laku. Kecemasan pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa merupakan salah satu dampak psikologis yang dialami oleh pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa (Cahyaningsih, 2009).
Angka kejadian kecemasan yang terjadi baik di dunia maupun di Indonesia
sangat terlihat, dibuktikan dengan beberapa penelitian yang memaparkan jumlah
pasien yang menjalani hemodialisa dan mengalami kecemasan. Penelitian yang
dilakukan di RS Universitas Kristen Indonesia menemukan bahwa dari 54 pasien
hemodialisa yang diteliti, didapati 28 responden menderita kecemasan ringan dan
26 pasien menderita kecemasan sedang (Luana, Panggabean, Lengkong &
Christine, 2012).
2.1.2 Gejala Kecemasan
Kondisi kecemasan yang dialami oleh seorang individu akan memberikan
tanda dan gejala atau manifestasi klinik berupa tanda fisik dan mental. Menurut
Kaplan, Sadock & Grebb (2010) menyebutkan bahwa takut dan cemas merupakan
akan muncul jika adanya ancaman yang jelas dan nyata yang berasal dari
lingkungan dan tidak menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan
akan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri sendiri dan menyebabkan konflik
bagi diri.
Dewi (2012) meneliti di unit Hemodialisa RSUD Wangaya Denpasar dari 8
pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak 62,5% (5 pasien) mengatakan
dirinya mengalami kecemasan saat menjalani hemodialisa dengan mengalami
tanda-tanda merasa tegang, jantung berdebar-debar, serta khawatir terhadap efek
samping setelah hemodialisa (misalnya mual dan kepala terasa pusing).
Keluhan yang dirasakan penderita juga bermacam-macam, seperti rasa
khawatir, gelisah, sulit tidur, takut mati, sulit membuat keputusan, dan
sebagainya. Hal ini mengakibatkan dalam praktek sehari-hari, gangguan cemas
sering luput dari diagnosis oleh karena keluhan yang dirasakan bersifat umum
atau tidak khas (Romadhon, 2002).
Tanda dan gejala individu yang mengalami kecemasan menurut Jeffrey,
Spencter & Beverley (2005) dibagi dalam tiga gejala, yaitu;
a. Gejala fisik: gelisah, anggota tubuh bergetar, berkeringat, sulit bernafas,
jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah dan
tersinggung.
b. Gejala behavioral: perilaku menghindar, terguncang, melekat dan dependen.
c. Gejala kognitif: khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan
sesuatu yang akan terjadi di masa depan, ketakutan akan ketidakmampuan
2.1.3 Faktor Penyebab Kecemasan
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar
tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau
situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut
Stuart (2006) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan,
diantaranya yaitu:
a. Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu
tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat,
ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman
terhadap lingkungannya.
b. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar
untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya
menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.
c. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan,
semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa
kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul dan ini dapat
Hawari (2006) mengemukakan beberapa penyebab dari kecemasan yaitu :
1) Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut, karena sumbernya
terlihat jelas di dalam pikiran.
2) Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan ini sering pula
menyertai gejala-gejala gangguan mental yang kadang-kadang terlihat dalam
bentuk yang umum.
3) Kecemasan karena penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Kecemasan
ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak berhubungan dengan
apapun yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang mempengaruhi
keseluruhan kepribadian penderitanya. Kecemasan hadir karena adanya suatu
emosi yang berlebihan. Selain itu, keduanya mampu hadir karena lingkungan
yang menyertainya, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun
penyebabnya.
Cahyaningsih (2009) menyebutkan faktor yang mempengaruhi adanya
kecemasan yaitu:
a) Lingkungan keluarga
Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran atau penuh
dengan kesalahpahaman serta adanya ketidakpedulian orangtua terhadap
anggota keluarga yang lain dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta
kecemasan saat berada di dalam rumah.
Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kecemasan individu. Jika individu tersebut berada pada lingkungan yang
tidak baik dan individu tersebut menimbulkan suatu perilaku yang buruk,
maka akan menimbulkan adanya berbagai penilaian buruk di mata
masyarakat. Sehingga dapat menyebabkan munculnya kecemasan.
Kecemasan timbul karena adanya ancaman atau bahaya yang tidak nyata
dan sewaktu-waktu terjadi pada diri individu serta adanya penolakan dari
masyarakat menyebabkan kecemasan berada di lingkungan yang baru dihadapi
(Kaplan, Sadock & Grebb, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
adalah :
1. Faktor fisik: kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu
sehingga memudahkan timbulnya kecemasan.
2. Trauma atau konflik: Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada
kondisi individu dalam arti bahwa pengalaman-pengalaman emosional atau
konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya
gejala-gejala kecemasan.
3. Lingkungan awal yang tidak baik: lingkungan adalah faktor utama yang dapat
mempengaruhi kecemasan individu, jika faktor tersebut kurang baik maka
akan menghalangi pembentukan kepribadian sehingga muncul gejala-gejala
kecemasan.
Kecemasan pasien hemodialisa terjadi karena beberapa hal diantaranya
disebabkan karena harus menaati diet yang ketat, membatasi minum dan melihat
(Reski, 2009). Berdasarkan etiologi, gangguan kecemasan pasien hemodialisa
dapat disebabkan oleh faktor genetik, gangguan neurobiokimiawi, aspek
kepribadian, dan penyakit fisik (Nutt & Balenger, 2007). Dikenal adanya tujuh
jenis gangguan cemas, yaitu gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia,
agorafobia dengan atau tanpa gangguan panik, fobia spesifik, fobia sosial,
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca trauma (posttraumatic stress
disorder/PTSD), dan gangguan kecemasan umum (Romadhon, 2002).
Seperti halnya pada sakit fisik lainnya, kecemasan pada pasien penyakit
ginjal kronik stadium terminal sering dianggap sebagai kondisi yang wajar terjadi.
Penyakit ginjal kronik (PGK) stadium terminal menyebabkan pasien harus
menjalani hemodialisis. Selain oleh karena penyakit PGK itu sendiri, biaya
hemodialisis yang cukup mahal mengakibatkan kecemasan maupun depresi pada
pasien bertambah, sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial terhadap para
penderita ini (Njah, Nasr & Ben, 2001).
2.1.4 Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2009) ada 4 tingkat kecemasan yaitu:
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
c. Kecemasan Berat
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada
sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.
Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area yang lain.
d. Panik (Kecemasan Sangat Berat)
Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan
kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan.
Kecemasan yang dialami akan memberikan berbagai respon yang dapat
dimanifestasikan pada respon fisiologis, respon kognitif dan respon perilaku yang
[image:38.595.79.561.556.755.2]tergambar pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.1 Tingkat respon kecemasan (Stuart, 2009)
Tingkat Kecemasan Ringan Sedang Berat Panik Fisiologis
Tekanan Darah (TD) TD Tidak ada perubahan
TD meningkat TD Meningkat TD meningkat kemudian menurun
Nadi Nadi tidak berubah Nadi cepat Nadi cepat Nadi cepat kemudian lambat
Pernafasan Pernafasan tidak ada perubahan
Pernafasan meningkat
Pernafasan meningkat
Pernafasan cepat dan dangkal
Ketegangan Otot Rileks Wajah tampak tegang
Rahang menegang, menggertakkan gigi
Wajah menyeringai, mulut ternganga
Pola makan Masih ada nafsu makan
Meningkat/menurun Kehilangan nafsu makan
Mual dan muntah
Pola tidur Pola tidur teratur Sulit mengawali tidur
Sering terjaga Insomnia
Pola eliminasi Teratur Frekuensi BAB dan BAK meningkat
Frekuensi BAB dan BAK meningkat
akral dingin dan pucat
Kulit teraba panas dingin
Kognitif
Fokus perhatian Cepat berespon terhadap stimulasi
Fokus pada hal yang penting
Fokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik
Fokus perhatian terpecah
Proses belajar Motivasi belajar tinggi
Perlu arahan Perlu banyak arahan Tidak bisa berfikir
Orientasi Baik Ingatan menurun pelupa Disorientasi waktu, orang dan tempat
Perilaku
Motorik Rileks Gerakan mulai tidak terarah
Agitasi Aktivitas motorik kasar dan meningkat
Komunikasi Koheren Koheren Bicara cepat Inkoheren
Produktivitas Kreatif Menurun Bicara cepat Tidak produktif
Interaksi sosial Memerlukan orang lain
Memerlukan orang lain
Interaksi kurang Menarik diri
2.1.5 Manajemen Kecemasan
Intervensi yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami kecemasan
dapat berupa terapi individu seperti terapi kognitif, terapi perilaku, thought
stopping, relaksasi. Terapi kelompok berupa terapi suportif dan logoterapi dan
terapi keluarga berupa psikoedukasi keluarga (Stuart, 2009). Relaksasi merupakan
salah satu bentuk mind body therapy dalam Coplementary and Alternatif Therapy
(Moyand & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional
yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi medis yang
pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Tzu, 2010).
Menurut Townsand (2009), terapi spesialis untuk mengatasi cemas adalah:
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang didasarkan pada keyakinan pasien
dalam kesalahan berfikir, penilaian negatif terhadap diri sendiri dan orang
lain. Terapi membantu pasien mengidentifikasi pikiran negatif yang
menyebabkan kecemasan. Menciptakan suatu realita dan membangun hal-hal
b. Terapi perilaku: merupakan terapi yang diberikan untuk merubah perilaku
pasien yang menyimpang sehingga menjadi perilaku yang adaptif. Terapi
tersebut digunakan sebagai pembelajaran dan praktik secara langsung dalam
upaya menurunkan kecemasan.
c. Logoterapi: merupakan sebuah aliran psikologis yang berfokus pada
memaknai hidup.
2.1.6 Kecemasan pada pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa
Pasien penyakit ginjual kronis akan mengalami ketergantungan pada
mesin dialisa seumur hidupnya hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
kehidupan pasien. Perubahan tersebut antara lain: perubahan fisik yang
mengakibatkan penyakit jantung, gangguan tidur, perubahan nafsu makan dan
berat badan, konstipasi dan keinginan seksual yang menurun (Kimel, 2001).
Tindakan dialisis merupakan terapi pengganti utama pada pasien penyakit ginjal
kronis yang dilakukan sepanjang usia mereka. Tindakan dialisis dapat dilakukan
untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti: hiperkalemia,
perikarditis, dan kejang.
Pasien penyakit ginjal kronis menjalani hemodialisa membutuhkan waktu
12-15 jam untuk dialisis setiap minggunya, atau paling sedikit mejalani 3-4 jam
setiap kali melakukan terapi hemodialisa. Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien baik kondisi fisik
Perubahan sosial yang dirasakan oleh individu terjadi karena rangkaian
perawatan medis yang harus dijalani sehingga individu merasa kehilangan
kebebasan pribadi dan merasa terasingkan dalam kehidupan sosial sehingga
menimbulkan perubahan perilaku yang mengarah pada interaksi negatif
(Cahyaningsih, 2009).
Perubahan psikologis yang dirasakan dapat dilihat dari kondisi fisik dan
perubahan perilaku diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak
aman, ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Dua pertiga dari pasien
yang menjalani terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas atau pekerjaan
seperti sebelum dia menjalani hemodialisa. Pasien sering mengalami masalah
seperti: kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, usia harapan hidup yang
menurun dan fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan dan akan
mengarah pada suatu kondisi kecemasan sebagai akibat dari penyakit sistemik
yang mendahuluinya (Fatayi, 2008).
Kecemasan merupakan kondisi gangguan psikologis dan fisiologis yang di
tandai dengan gangguan kognitif, somatik, emosional dan komponen dari
rangkaian tingkah laku. Kecemasan merupakan salah satu dampak psikologis
yang dialami oleh pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.
Pasien tidak mampu menerima kondisi bahwa harus menjalani terapi hemodialisa
seumur hidup, sehingga pasien menganggap dirinya sudah cacat dan menderita
sepanjang hidupnya. Pasien menganggap tidak ada lagi cita-cita, harapan dan
Kecemasan yang dirasakan oleh pasien hemodialisa dapat terlihat dari
beberapa gejala menurut Jeffrey, Spencter & Beverley (2005), yaitu;
a. Gejala fisik: otot terasa tegang, gelisah, anggota tubuh bergetar,
berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas
dingin, mudah marah dan tersinggung.
Penelitian Daria (2009) 50 – 80% pasien mengalami kondisi anoreksia,
susah tidur, kelemahan dan perubahan berat badan.
b. Gejala behavioral/psikososial: perilaku menghindar, terguncang, melekat
dan dependen.
Penelitian Daria (2009) pasien mengalami kondisi yang mudah marah,
sedih, pesimis, merasa tidak puas, dan mengalami gangguan dalam
interaksi sosial. Sedangkan Kimel (2001) menyebutkan pasien yang
menjalani hemodialisa akan mengalami kegelisahan, kecemasan, harga
diri rendah yang akan mengarah pada tindakan bunuh diri.
c. Gejala kognitif: khawatir tentang efek hemodialisa, perasaan terganggu
akan ketakutan sesatu yang akan terjadi di masa depan, ketakutan akan
ketidakmampuan mengatasi masalah, bingung dan sulit berkonsentrasi.
Penelitian Daria (2009), pasien mengalami kesulitan berkonsentrasi,
produktivitas menurun, sering merasa bersalah dan terganggunya suasana
hati.
Kecemasan yang tidak teratasi dapat menyebabkan individu mengalami
depresi (Wicks, Bolden, Mynatt, Rice & Acchiardo, 2007). Kecemasan dan
penyakit ginjal kronis dan sangat sering terkait dengan angka kematian yang
tinggi, angka kesakitan dan hospitalisasi yang tinggi (Kojima, 2012). Tindakan
bunuh diri saat menjalani hemodialisa berkepanjangan 15 kali lebih tinggi dari
populasi umum dan lebih tinggi dari pasien dengan kondisi kanker (McQuillan &
Jassal, 2010).
Kecemasan yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa secara
rutin akan menyebabkan penurunan kualitas hidup (Lysaght & Mason, 2000).
Kualitas hidup merupakan satu hal yang sangat penting yang harus dipantau dari
pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Kualitas hidup yang
baik dapat dicapai dengan menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa, sehingga
seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan. Kecemasan
merupakan salah satu dampak psikologi yang dihadapi oleh pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa. Sehingga kondisi cemas pasien harus
dikontrol agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang baik pada pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa (Ventegodt, Merrick &
Anderson, 2003). Daria (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor apa
saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa dan menemukan bahwa kecemasan, depresi dan persepsi
terhadap kesehatan yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas
hidup pasien. Kulitas hidup pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa adalah sesuatu yang penting untuk kita jaga karena agar mencapai
kondisi kesehatan individu yang optimal (Prince & Wilson, 2006).
Perawat hemodialisa adalah perawat yang bersertifikat perawat dialisis
yang bertanggung jawab melaksanakan perawatan dan bekerja secara tim di unit
hemodialisa. Perawat hemodialisa mempunyai peranan penting sebagai pemberi
asuhan, advokasi, konsultan pemberi edukasi untuk membantu pasien dengan
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa agar mendapatkan adekuasi
hemodialisa yang baik sehingga pasien akan memiliki kualitas hidup yang baik
(Depkes, 1999). Kallenbech, et al (2005) menyebutkan peran perawat dialisis
adalah sebagai care provider (pemberi asuhan keperawatan), educator (pendidik),
conselor, administrator, advocatte, researcher dan collaborator.
Tindakan dialisis merupakan terapi pengganti utama pada pasien penyakit
ginjal kronis yang dilakukan sepanjang usia mereka. Penyesuaian diri terhadap
kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien baik
kondisi fisik maupun kondisi psikososialnya (Brunner & Suddart, 2008).
Perubahan psikologis yang dirasakan dapat dilihat dari kondisi fisik dan
perubahan perilaku diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak
aman, ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Pasien sering mengalami
masalah seperti: kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, usia harapan
hidup yang menurun dan fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan
dan akan mengarah pada suatu kondisi kecemasan sebagai akibat dari penyakit
sistemik yang mendahuluinya (Fatayi, 2008).
Kecemasan merupakan kondisi gangguan psikologis dan fisiologis yang di
tandai dengan gangguan kognitif, somatik, emosional dan komponen dari
gangguan pada komponen pemenuhan kebutuhan keperawatan individu sesuai
dengan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Hildegard E. Peplau (Tomey, A.,
M & Alligod, M., A, 2006).
Kecemasan yang terjadi akibat kondisi penyakit kronis pada pasien akan
menyebabkan pasien mengalami gangguan dalam menjalankan proses
interpesonal sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik individu. Oleh karena itu
perawat memiliki peranan penting dalam mengatasi kondisi kecemasan yang
dialami oleh individu melalui intervensi keperawatan secara berkesinambungan.
2.2 Progressive Muscle Relaxation
2.2.1 Definisi Progressive Muscle Relaxation
Relaksasi merupakan teknik mengatasi kekhawatiran/kecemasan melalui
pengendoran otot-otot dan saraf yang terjadi atau bersumber dari objek tertentu
(Thantawy, 1997). Teknik relaksasi dan musik adalah bagian yang integral dari
pendekatan non-farmakologi dan diketahui untuk mengatasi kecemasan (Tzu,
2010). Relaksasi merupakan suatu kondisi istirahat pada aspek fisik dan mental
individu, sementara aspek bawah sadar tetap bekerja. Dalam keadaan relaksasi
seluruh tubuh dalam keadaan seimbang, keadaan tenang tapi tidak tertidur dan
seluruh otot dalam keadaan rileks dan posisi tubuh yang nyaman.
Mengurangi ketegangan otot merupakan komponen dari terapi
komplementer yang digunakan untuk menurunkan angka kecemasan dan
memberikan kenyamanan (Snyder, Pestka & Bly, 2006). Sebagai contoh, relaksasi
otot sering menjadi bagian dari guided imagery. Banyak teknik yang ditawarkan
Progressive Muscle Relaxation yang diperkenalkan oleh Edmund Jacobson pada
tahun 1938.
Relaksasi otot memberikan sensasi kesadaran terhadap otot dan ketegangan
yang ada pada diri individu dan menurunkan ketegangan tersebut. Kesadaran
tersebut dapat dicapai dengan menegangkan otot-otot dan merelakskannya dengan
fokus terhadap otot tersebut dan membayangkan otot tersebut bebas dari
ketegangan yang dirasakan (Snyder, Pestka & Bly, 2006).
Progressive Muscle Relaxationmerupakan salah satu teknik untuk
mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam
menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali (Snyder,
Pestka & Bly, 2006). Ketika otot tubuh terasa tegang, kita akan merasakan
ketidaknyamanan, seperti sakit pada leher, punggung belakang, serta ketegangan
pada otot wajahpun akan berdampak pada sakit kepala. Jika ketegangan otot ini
dibiarkan akan menganggu aktivitas dan keseimbangan tubuh seseorang (Marks,
2011).
Progressive Muscle Relaxation merupakan kombinasi latihan pernafasan
yang terkontrol dengan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot.
Kegiatan ini menciptakan sensasi dalam melepaskan ketidaknyamanan dan stress
(Potter dan Perry, 2005). Dengan melakukan tindakan Progressive Muscle
Relaxation secara berkelanjutan, seorang individu dapat merasakan relaksasi otot
pada berbagai kelompok otot yang diinginkan.
Dalam buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson mengembangkan
memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan. Saat ini ini serangkaian
teknik tersebut telah disederhanakan menjadi 15-20 latihan dasar, yang telah
ditemukan dan memberikan efek yang sama dengan gerakan aslinya jika
dilakukan secara teratur (Jacobson, 1938 dalam Snyder, Pestka & Bly, 2006).
2.2.2 Manfaat Progressive Muscle Relaxation
Progressive Muscle Relaxationmemberikan hasil yang memuaskan dalam
program terapi terhadap ketegangan otot, menurunkan kecemasan, memfasilitasi
tidur, depresi, mengurangi kelelahan, kram otot, nyeri pada leher dan pungung,
menurunkan tekanan darah tinggi, fobia ringan, serta meningkatkan konsentrasi
(Davis, 1995). Target yang tepat dan jelas dalam memberikan Progressive Muscle
Relaxationpada keadaan yang memiliki respon ketegangan otot yang cukup tinggi
dan membuat tidak nyaman sehingga dapat menggangu kegiatan sehari-hari.
Jacobson (1938) dalam Snyder, Pestka & Bly, (2006)mengatakan bahwa
Progressive Muscle Relaxationmenurunkan konsumsi oksigen tubuh,
metabolisme tubuh, frekuensi nafas, ketegangan otot, kontraksi ventrikel yang
tidak sempurna, tekanan darah sistolik dan diastolik, dan meningkatkan
gelombang alpha otak.
Manfaat dari Progressive Muscle Relaxationtelah dibuktikan pada beberapa
jenis penyakit dan gangguan pada pasien yang dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan di dunia maupun di Indonesia.Singh pada tahun 2009 melakukan
penelitian penggunaan teknik Progressive Muscle Relaxationpada pasien COPD
yang mengalami kecemasan. Dalam penelitiannya diketahui bahwa setelah
COPD memiliki penurunan angka kecemasan terhadap penyakitnya sehingga
memberikan dampak positif terhadap perjalanan proses penyembuhannya.
Wilk dan Turkoski (2001) melakukan penelitian penggunaan Progressive
Muscle Relaxationpada pasien rehabilitasi pasca operasi jantung dan berhasil
mencegah kenaikan tekanan darah dan mencegah terjadinya kecemasan.
Progressive Muscle Relaxation juga efektif untuk mengurangi mual muntah
pasien kanker payudara (Mollasiotis, Yam, Chan & Mok, 2002). Pasien yang
menjalani rehabilitasi penyakit gangguan pernafasan penyakit paru yang
mengalami kecemasan dilakukan pemberian teknik relaksasi Progressive Muscle
Relaxationrutin selama dalam proses rehabilitasi efektif untuk mengatasai cemas
pada pasien rehabilitasi pada pasien gangguan pernafasan penyakit paru (Lee,
Bhattacharya, Sohn & Verres, 2012). Lauche (2013) melakukan penelitian melihat
efektifitas antara massase cuping dan Progressive Muscle Relaxation pada pasien
chronic neck pain yang dilakukan selama 12 minggu dan memperoleh hasil
bahwa pasien yang menerima massase cuping hidung tetap mengalami nyeri dan
peningkatan tekanan darah sedangkan pada pasien yang menerima Progressive
Muscle Relaxation mengalami angka penurunan nyeri dan stabil hingga minggu
ke 12. Sehingga dapat diketahui bahwa Progressive Muscle Relaxation lebih
efektif untuk mengurangi nyeri kronis leher pasien dari pada massase cuping.
Vancamport (2012) meneliti Progressive Muscle Relaxation dalam menurunkan
gejala dan tanda kecemasan, psikologi distres dan untuk meningkatkan angka
Di Indonesia penelitian penggunaan Progressive Muscle Relaxation sudah
pernah ada dilakukan beberapa diantaranya Mashudi (2011) melakukan penelitian
berupa pemberian tindakan latihan Progressive Muscle Relaxation pada pasien
dengan kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 di Jambi mendapatkan hasil bahwa
tindakan PMR memiliki hubungan yang signifikan dalam menurunkan kadar
glukosa darah pasien DM Tipe 2. Penelitian Harmono 2010 Progressive Muscle
Relaxation juga menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian
Duma (2012) Progressive Muscle Relaxation meningkatkan kemampuan
memaknai hidup pasien pasien kanker dan menjadi alternatif dalam terapi
keperawatan dalam merawat luka kanker dengan kecemasan dan depresi.
2.2.3 Prinsip Kerja Progressive Muscle Relaxation
Dalam melakukan Progressive Muscle Relaxation, hal yang penting dikenali
adalah tegangan otot ketika otot berkontraksi (tegang) maka rangsangan akan
disampaikan ke otot melalui jalur saraf aferent. Tension merupakan kontraksi dari
serat otot rangka yang menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi adalah
pemanjangan dari serat serat otot tersebut yang dapat menghilangkan sensasi
ketegangan setelah memahami dalam mengidentifikasi sensasi tegang, kemudian
dilanjutkan dengan merasakan relaks. Ini merupakan sebuah prosedur umum
untuk mengidentifikasi lokalisasi ketegangan, relaksasi dan merasakan perbedaan
antara keadaan tegang (tension) dan relaksasi yang akan diterapkan pada semua
kelompok otot utama. Dengan demikian, dalam Progressive Muscle
memungkinkan setiap bagian merasakan sensasi tegang dan relaks secara
sistematis (Mc Guigan dan Lehrer, 2005).
Teknik kerja Progressive Muscle Relaxation mencakup:
a. Mengisolasi kelompok otot yang terpilih saat fase kontraksi dan otot lain
dalam keadaan rileks.
b. Mengontraksikan kelompok otot yang serupa pada kedua sisi tubuh secara
bersamaam (misalnya: kedua tangan).
c. Memfokuskan perhatian pada intensitas kontraksi, rasakan ketegangan
pada setiap kelompok otot.
d. Selama fase relaksasi, fokuskan pikiran untuk merasakan kondisi relaks
tersebut. Bandingkan kondisi kontraksi (tension) dengan kondisi relaks.
2.2.4 Mekanisme Fisiologi Progressive Muscle Relaxationdalam Mengatasi Kecemasan
Kontraksi dari serat otot rangka mengarah kepada sensasi dari tegangan otot
yang merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari sistem saraf pusat dan
sistem saraf tetapi dengan otot dan sistem otot rangka. Dalam hal ini, saraf pusat
melibatkan sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Beberapa organ
dipengaruhi oleh kedua sistem saraf ini. Walaupun demikian, terdapat perbedaan
antara efek sistem saraf simpatis dan para simpatis yang berasal dari otak dan
saraf tulang belakang (Andreassi, 2000 dalam Conrad dan Roth, 2007). Antara
simpatik dan para simpatik bekerja saling timbal balik. Aktifasi dari sistem saraf
simpatik disebut juga erotropic atau respon figh or flight (Cannon, 1929 dalam
ini memerlukan energi yang cepat, sehingga hati lebih banyak melepaskan
glukosa untuk menjadi bahan bakar otot sehingga metabolisme juga
meningkatkan. Cannon (1929) dalam Conrad dan Roth (2007) mengobservasi
efek dari saraf simpatis, yaitu meningkatkan denyut nadi, tekanan darah,
hiperglikemia, dan dilatasi pupil, pernafasan meningkatkan, serta otot menjadi
tegang.
Aktivitas dari sistem saraf parasimpatis disebut juga trophotropic yang dapat
menyebabkan perasaan ingin istirahat, dan perbaikan fisik tubuh. aktivas ini
merupakan dasar yang disebut Benson (1972) dalam Condrad dan Roth (2007)
yaitu respon relaksasi. Respon parasimpatik meliputi penurunan denyut nadi dan
tekanan darah serta meningkatkan aliran darah (Conrad dan Roth, 2007). Oleh
sebab itu melalui latihan relaksasi dapat memunculkan respon relaksasi sehingga
dapat mencapai keadaan tenang.
2.2.5 Pelaksanaan Progressive Muscle Relaxation
Davis (2005), Progressive Muscle Relaxationmemberikan cara dalam
mengidentifikasi otot dan kumpulan otot tertentu serta membedakan antara
perasaan tegang dan relaks. Dalam pelaksanaannya, otot akan mendapatkan
penegangan terlebih dahulu kemudian menghentikan penegangan dan merasakan
hilangnya ketegangan otot secara rileks. Untuk hasil yang maksimal, dianjurkan
untuk melakukan latihan Progressive Muscle Relaxationsebanyak 2 kali sehari
selama satu minggu dengan waktu 20-30 menit (Davis, 2005). Greenberg (2002)
mengatakan bahwa latihan Progressive Muscle Relaxation akan memberikan
diperlukan untuk melakukan Progressive Muscle Relaxation sehingga dapat
menimbulkan efek yang maksimal adalah selama satu sampai dua minggu dan
dilaksanakan selama satu sampai dua kali 15 menit per hari (Davis, 1995).
Dalam buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson mengembangkan
serangkaian 200 latihan relaksasi otot yang berbeda dan program pelatihan yang
memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan. Saat ini ini serangkaian
teknik tersebut telah disederhanakan menjadi 15-20 latihan dasar yang telah
ditemukan dan memberikan efek yang sama dengan gerakan aslinya jika
dilakukan secara teratur (Jacobson, 1938 dalam Conrad & Roth, 2007).
Progressive Muscle Relaxation memberikan kondisi tegang dan relaks,
secara bergantian, enam belas kelompok otot tubuh yang berbeda. Tekniknya
adalah dengan memberikan ketegangan (sesuai kemampuan individu) kepada otot
selama sekitar 10 detik dan kemudian merilekskannya. Setelah itu individu
merasakan perasaan rileks dan santai selama 15-20 detik dan rasakan perubahan
kondisi tegang dan rileks (Jacobson, 1938). Jika sudah berada dalam kondisi yang
nyaman, lakukan latihan sebagai berikut:
a. Untuk memulai awali denga tarik nafas dalam sebanyak 3 kali, tarik nafas
melalui hidung dan menghembuskan napas perlahan-lahan melalui mulut
dan setiap kali menghembuskan nafas rasakan ketegangan seluruh tubuh
hilang.
b. Kepalkan tangan, tahan selama 7-10 detik dan kemudian lepaskan selama
15-20 detik. Gunakan interval waktu yang sama untuk semua kelompok otot
c. Kencangkan otot bisep Anda dengan menggambar lengan Anda ke arah
bahu dan "membuat otot" dengan kedua tangan. Tahan dan kemudian relaks.
d. Kencangkan trisep, otot pada sisi bawah lengan atas dengan memperpanjang
lengan Anda keluar lurus dan mengunci siku Anda. Tahan dan kemudian
relaks .
e. Tegangkan otot-otot di dahi Anda dengan menaikkan alis Anda sejauh yang
Anda bisa. Tahan dan kemudian relaks. Bayangkan otot dahi Anda menjadi
halus dan lemas.
f. Tegang otot-otot di sekitar mata Anda dengan menutup kelopak mata Anda
tertutup rapat. Tahan dan kemudian relaks. Bayangkan sensasi relaksasi
yang mendalam menyebar di sekitar mata.
g. Kencangkan rahang dengan membuka mulut Anda begitu lebar bahwa Anda
meregangkan otot-otot sekitar engsel rahang Anda. Tahan dan kemudian
relaks. Biarkan bibir Anda dan bagian rahang Anda untuk longgar dan
rileks.
h. Kencangkan otot-otot di bagian belakang leher Anda dengan menarik kepala
Anda ke belakang, seolah-olah Anda akan menyentuh kepala Anda ke
punggung Anda (semampu anda dan tidak untuk dipaksakan). Fokus hanya
pada menegangkan otot-otot di leher Anda. Tahan dan kemudian relaks.
i. Kencangkan bahu Anda dengan meningkatkan mereka seolah-olah Anda
j. Kencangkan otot-otot sekitar tulang belikat Anda dengan mendorong bahu
Anda kembali seolah-olah Anda akan menyentuh mereka bersama-sama.
Tahan ketegangan di bahu Anda dan kemudian relaks .
k. Kencangkan otot-otot dada Anda dengan mengambil napas dalam-dalam.
Tahan hingga 10 detik dan kemudian lepaskan perlahan-lahan. Bayangkan
ketegangan berlebih di dada mengalir pergi dengan pernafasan.
l. Kencangkan otot perut Anda dengan mengecilkan perut Anda masuk Tahan
dan kemudian lepaskan. Bayangkan gelombang relaksasi menyebar melalui
perut Anda.
m. Kencangkan punggung bawah dengan melengkung ke atas. (jangan lakukan
bagian ini kalau ada nyeri punggung). Tahan dan kemudian relaks.
n. Kencangkan bokong Anda dengan menarik mereka bersama-sama. Tahan
dan kemudian relaks. Bayangkan otot-otot di pinggul Anda akan longgar
dan lemas.
o. Remas otot-otot di paha Anda semua jalan ke lutut. Anda mungkin harus
mengencangkan pinggul Anda bersama dengan paha. Tahan dan kemudian
relaks. Rasakan otot-otot paha Anda santai sepenuhnya.
p. Kencangkan otot betis Anda dengan menarik jari-jari kaki ke arah Anda
(melenturkan dengan hati-hati untuk menghindari kram). Tahan dan
kemudian relaks .
q. Kencangkan kaki Anda dengan jari-jari kaki meringkuk ke bawah. Tahan
r. Sekarang bayangkan gelombang relaksasi perlahan-lahan menyebar ke
seluruh tubuh Anda, mulai dari kepala Anda dan secara bertahap menembus
setiap kelompok otot sepanjang jalan turun ke jari-jari kaki Anda.
Penelitian ini akan melakukan pemberian latihan Progressive Muscle
Relaxation dengan menggunakan modifikasi oleh Davis (1995) pada 10 kelompok
otot utama yang meliputi (1) kelompok otot pergelangan tangan, (2) kelompok
otot lengan bawah, (3) kelompok otot siku dan lengan atas, (4) kelompok otot
bahu, (5) kelompok otot kepala dan leher, (6) kelompok otot wajah, (7) kelompok
otot punggung, (8) kelompok otot dada, (9) kelompok otot perut, (10) kelompok
otot kaki dan paha.
Latihan Progressive Muscle Relaxation akan dilakukan kepada kelompok
intervensi dengan latihan panduan secara langsung saat melakukan hemodialisa
dan latihan mandiri di rumah dengan melihat buku panduan dalam durasi waktu
30 menit per latihan dan selama 4 minggu. Relaksasi dilakukan secara bertahap
dan dipraktekkan dengan berbaring atau duduk di kursi dengan kepala di topang
dengan bantal. Setiap kelompok otot di tegangkan selama 5-7 detik dan di
relaksasikan selama 10-20 detik. Prosedur ini diulang paling tidak satu kali.
Petunjuk progressive muscle relaxation dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian
pertama dengan mengulang kembali pada saat praktek sehingga lebih mengenali
bagian otot tubuh yang paling sering tegang, dan bagian kedua dengan prosedur
singkat untuk menegangkan merilekskan beberapa otot secara simultan sehingga
relaksasi otot dapat dicapai dalam waktu singkat. Adapun urutan pelaksanaannya
1. Kelompok otot pergelangan tangan
a. Rentangkan lengan dan kepalkan kedua telapak tangan anda dengan
kencang, sekuat dan semampu yang anda bisa. Rasakan ketegangan pada
kedua pergelangan tangan anda selama 5-7 detik.
b. Lepaskan kepalan tangan anda dan rasakan tangan anda menjadi lemas dan
semua ketegangan pada tangan anda menjadi hilang. Rasakan hal tersebut
selama 10-20 detik.
c. Ulangi lagi gerakan menegangkan dan melemaskan otot tangan anda.
Rasakan pergelangan tangan anda menjadi semakin lemas.
2. Kelompok otot lengan bawah
a. Tekuklah kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sekuat dan
semampu yang anda bisa. Sehingga otot-otot di tangan bag