• Tidak ada hasil yang ditemukan

Afiksasi Dalam Bahasa Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Afiksasi Dalam Bahasa Nias"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

AFIKSASI DALAM BAHASA NIAS

SKRIPSI

OLEH

FEBRIANI LAOLI

070701006

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

AFIKSASI DALAM BAHASA NIAS

OLEH

FEBRIANI LAOLI

070701006

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dwi Widayati, M. Hum Dra. Sugihana, M. Hum NIP 196505141988032001 NIP 196003071986012001

Departemen Sastra Indonesia Ketua

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2011

(4)

AFIKSASI DALAM BAHASA NIAS

OLEH

FEBRIANI LAOLI

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan proses afiksasi dalam bahasa Nias yang meliputi jenis, bentuk, distribusi, fungsi dan makna afiks. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Metode simak dilakukan dengan teknik simak libat cakap dan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan dilakukan dengan menyeleksi kata-kata yang termasuk dalam kategori prefiks, infiks, sufiks, ataupun konfiks, sedangkan metode agih dilakukan dengan teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, dan teknik sisip. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi struktural, yaitu teori yang mengkaji struktur dan proses pembentukan kata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis afiksasi dalam bahasa Nias ada empat, yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Prefiks terdiri atas {ma-}, {me-}, {mo-}, {la-}, {i-}, {te-}, {fa-}, {a-}, {o-}, {sa-}, dan {da-}. Infiks dalam bahasa Nias hanya satu, yaitu ga}. Sufiks terdiri atas ö}, gö}, ni}, {-si}, {-ma}, {-i}, {-wa}, {-la}, {-sa}, dan {-a}. Konfiks terdiri atas {a-ö}, ö}, {fa-gö}, {fa-ni}, {fa-si}, {a-la}, {o-ta}, {ol-ö}, {la-si}, {ma-i}, dan {la-ni}.

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan afiksasi dalam bahasa Nias agar bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dan juga penulis sendiri.

Dari awal hingga akhir penelitian ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua saya yang telah tulus dan ikhlas memberikan dorongan dan semangat dalam bentuk moril ataupun materi. Terima kasih atas pengorbanan dan kasih sayang kalian yang melebihi segalanya.

2. Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta kepada Dr. M. Husnan Lubis, M.A. sebagai Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan sebagai Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian M., M.A. sebagai Pembantu Dekan III. 3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Ketua Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Drs. Haris Sutan Lubis, M.SP. sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen Penasihat Akademik penulis.

(6)

untuk memberikan bimbingan dan saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

6. Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra, ataupun bidang ilmu lainnya.

7. Teman-teman/Informan yang telah bersedia membantu penulis untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini.

8. Saudari Tika yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh anggota keluarga (Paman, Bibi, Nenek, Kakek, Abang/Kakak serta Adikku) yang telah ikut berpartisipasi dalam membantu penulis dari awal kuliah hingga saat ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan dan ketulusan hati yang kalian miliki.

10.Kak Riz’ atas perhatiannya kepada penulis terlebih-lebih saat penulis sedang sakit. Terima kasih telah menjadi kakak yang baik bagi penulis. 11.Personil Gang Rangers atas dukungan semangat dan kebersamaan yang

telah kita bina di atas perbedaan pendapat, karakter, dan prinsip hidup. Berbeda bukan berarti tidak bisa seiring karena dengan perbedaan itu kita semakin mengerti bagaimana caranya menghargai satu persamaan yang menjadi alasan mengapa kita harus bertemu.

(7)

13.Tante Ima Zebua yang walaupun orangnya hobby marah-marah dan membentak-bentak anak orang (Peace ;-P), tetapi sebenarnya orangnya baik dan perhatian. Thanks atas kepeduliannya selama ini.

14.Personil Gang Triola’s atas doa dan harapannya, semoga kita mendapatkan yang terbaik. Percayalah, hanya kejujuran dan ketulusan yang bisa membuat kita tetap bertahan sesulit apapun itu.

15.Semua teman-teman stambuk ’07 dan kakak-kakak stambuk ’06 yang telah menyemangati penulis serta kesediaannya berbagi informasi yang dibutuhkan penulis selama pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis miliki, skripsi ini masih jauh dari sempurna meskipun penulis telah berusaha menyajikan yang terbaik. Oleh sebab itu diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi perbaikannya pada masa yang akan datang.

Medan, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

PERNYATAAN

ABSTRAK

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Konsep... 7

2.1.1 Afiks dan Afiksasi ... 7

2.1.2 Bahasa Nias ... 10

2.2 Landasan Teori ... 12

2.3 Tinjauan Pustaka ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 21

(9)

BAB IV PEMBAHASAN... 27

4.1 Pengantar ... 27

4.2 Jenis Afiks dalam Bahasa Nias ... 28

4.3 Proses Afiksasi, Fungsi, dan Arti/Nosi Afiks dalam Bahasa Nias 30 4.3.1 Prefiks ... 30

4.3.1.1 Prefiks {ma-}... 30

4.3.1.2 Prefiks {me-}... 38

4.3.1.3 Prefiks {mo-} ... 41

4.3.1.4 Prefiks {la-} ... 43

4.3.1.5 Prefiks {i-} ... 45

4.3.1.6 Prefiks {te-} ... 47

4.3.1.7 Prefiks {fa-} ... 49

4.3.1.8 Prefiks {a-}... 58

4.3.1.9 Prefiks {o-} ... 62

4.3.1.10 Prefiks {sa-} ... 64

4.3.1.11 Prefiks {da-} ... 71

4.3.2 Infiks ... 72

4.3.3 Sufiks ... 74

4.3.3.1 Sufiks {-ö} ... 74

4.3.3.2 Sufiks {-gö} ... 76

4.3.3.3 Sufiks {-ni} ... 78

4.3.3.4 Sufiks {-si} ... 81

4.3.3.5 Sufiks {-ma} ... 83

(10)

4.3.3.7 Sufiks {-wa} ... 86

4.3.3.8 Sufiks {-la}... 88

4.3.3.9 Sufiks {-sa} ... 90

4.3.3.10 Sufiks {-a} ... 92

4.3.4 Konfiks ... 94

4.3.4.1 Konfiks {a-ö} ... 94

4.3.4.2 Konfiks {fa-ö} ... 97

4.3.4.3 Konfiks {fa-gö} ... 99

4.3.4.4 Konfiks {fa-ni} ... 101

4.3.4.5 Konfiks {fa-si} ... 102

4.3.4.6 Konfiks {a-la} ... 104

4.3.4.7 Konfiks {o-ta} ... 106

4.3.4.8 Konfiks {ol-ö} ... 108

4.3.4.9 Konfiks {la-si} ... 109

4.3.4.10 Konfiks {ma-i} ... 111

4.3.4.11 Konfiks {la-ni} ... 113

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 116

5.1 Simpulan... 116

5.2 Saran... 117 DAFTAR PUSTAKA

(11)

AFIKSASI DALAM BAHASA NIAS

OLEH

FEBRIANI LAOLI

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan proses afiksasi dalam bahasa Nias yang meliputi jenis, bentuk, distribusi, fungsi dan makna afiks. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Metode simak dilakukan dengan teknik simak libat cakap dan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan dilakukan dengan menyeleksi kata-kata yang termasuk dalam kategori prefiks, infiks, sufiks, ataupun konfiks, sedangkan metode agih dilakukan dengan teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, dan teknik sisip. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi struktural, yaitu teori yang mengkaji struktur dan proses pembentukan kata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis afiksasi dalam bahasa Nias ada empat, yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Prefiks terdiri atas {ma-}, {me-}, {mo-}, {la-}, {i-}, {te-}, {fa-}, {a-}, {o-}, {sa-}, dan {da-}. Infiks dalam bahasa Nias hanya satu, yaitu ga}. Sufiks terdiri atas ö}, gö}, ni}, {-si}, {-ma}, {-i}, {-wa}, {-la}, {-sa}, dan {-a}. Konfiks terdiri atas {a-ö}, ö}, {fa-gö}, {fa-ni}, {fa-si}, {a-la}, {o-ta}, {ol-ö}, {la-si}, {ma-i}, dan {la-ni}.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Afiksasi merupakan bagian dari proses morfologi (proses pembentukan kata). Afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks (Putrayasa, 2008 : 5). Setiap afiks merupakan bentuk terikat. Artinya, bentuk tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan secara gramatis selalu melekat pada bentuk lain (bentuk dasar). Pembubuhan afiks terhadap bentuk dasar dapat mengakibatkan bentuk dasar tersebut mengalami perubahan bentuk, perubahan kelas kata, dan perubahan makna.

Setiap bahasa pasti memiliki sistem pembentukan kata tersendiri yang kemungkinan besar berbeda dengan bahasa lainnya. Demikian juga halnya dengan bahasa Nias. Bahasa yang merupakan salah satu bahasa daerah yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang berada di pulau Nias ini memiliki sistem pembentukan kata tersendiri, khususnya dalam bidang afiksasi.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis berasal dari rumpun bahasa mana. Bahasa ini juga termasuk bahasa yang unik karena setiap fonemnya selalu diakhiri dengan huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o, dan ö (dibaca dengan "ə" seperti dalam penyebutan "enam" ).

(13)

Sumatera, dan berdekatan dengan pantai Sibolga yang dikenal dengan sebutan pulau Nias atau Tanö Niha. Pulau Nias terletak 125 km sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau ini terletak di Lautan Hindia, dan merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Apabila ditinjau dari segi geografis, pulau Nias terletak pada titik koordinat

Pulau dengan luas wilayah 5.625 km2 ini berpenduduk 700.000 jiwa. Daerah Nias terbagi atas empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Hampir seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di pulau Nias menggunakan bahasa daerah Nias dalam komunikasi sehari-hari. Tidak terkecuali masyarakat pendatang yang berasal dari etnis lain, seperti Batak, Jawa, Padang, dll.

Bahasa Nias memiliki beberapa dialek berdasarkan cara pengucapannya. Menurut Zagoto (1975 dalam Halawa, 1983), bahasa Nias mempunyai variasi dan dialek yang ditandai oleh perbedaan intonasi dan cara pengucapannya, yaitu (1) bahasa Nias dialek utara, (2) bahasa Nias dialek tengah, dan (3) bahasa Nias dialek selatan. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian (Halawa, 1983 : 3) ditemukan bahwa bahasa Nias dapat dibagi atas beberapa variasi atau dialek, berdasarkan cara pengucapannya, yaitu:

(1) Bahasa Nias dialek utara yang meliputi daerah sekitar Kecamatan Alasa dan Kecamatan Lahewa;

(2) Bahasa Nias dialek Kota Gunungsitoli yang meliputi sekitar Kecamatan Gunungsitoli dan Kecamatan Tuhemberua;

(14)

(4) Bahasa Nias dialek Nias tengah yang meliputi daerah Kecamatan Gidö, Kecamatan Idanö Gawo, Kecamatan Gomo, dan Kecamatan Lahusa; (5) Bahasa Nias dialek selatan yang meliputi daerah Kecamatan Teluk

Dalam, Kecamatan Pulau Tello, dan Pulau-pulau Batu.

Di antara beberapa dialek dalam bahasa Nias, dialek yang umum dikenal ialah dialek Gunungsitoli dan sekitarnya. Hal ini berhubungan dengan sejarah pembelajaran bahasa Nias oleh warga asing yang mulanya mempelajari bahasa Nias dialek Gunungsitoli kemudian menyampaikan misinya ke berbagai daerah di Pulau Nias dalam dialek tersebut. Selain itu, buku-buku yang dikarang dalam bahasa Nias juga selalu menggunakan dialek Gunungsitoli. Dalam penelitian ini, peneliti lebih memilih menggunakan dialek Gunungsitoli karena dialek ini dianggap sebagai dialek yang cukup dikenal dan dapat dipahami dengan mudah.

Peneliti melakukan penelitian terhadap proses morfologi bahasa Nias, khususnya afiksasi dengan dua alasan, yaitu alasan teoritis dan alasan praktis. Alasan praktis mencakup keinginan peneliti untuk melestarikan bahasa daerahnya agar tidak punah oleh perkembangan zaman yang bersifat dinamis. Sementara itu, alasan teoritis peneliti adalah agar penelitian ini dapat menjadi salah satu sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang linguistik.

(15)

Penelitian terhadap bahasa ini dilakukan terhadap tataran morfologi, khususnya di bidang afiksasi. Tataran morfologi merupakan salah satu bagian dari tataran linguistik yang mengkaji mengenai struktur dan proses pembentukan kata. Berdasarkan prosesnya tataran ini masih terbagi atas afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Afiksasi adalah proses penambahan morfem terikat pada bentuk dasar; reduplikasi merupakan pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak; sedangkan pemajemukan ialah proses penggabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Agar cakupannya tidak terlalu luas, peneliti mengkaji satu proses saja yaitu afiksasi. Selain itu, penelitian terhadap afiksasi bahasa Nias juga masih sedikit jumlahnya sehingga peneliti tertarik untuk mengembangkannya supaya dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang linguistik.

Penelitian terhadap afiksasi bahasa Nias pernah dilakukan oleh T. Halawa pada tahun 1983 dalam bukunya yang berjudul “Struktur Bahasa Nias. Dari hasil penelitian tersebut peneliti mengamati bahwa ada beberapa imbuhan yang tidak lazim digunakan dalam tuturan pada saat ini. Contohnya, dalam kata balugöi (tutupi).

Kata ini terbentuk dari sufiks {-i} dan bentuk dasar balugö (tutup). Pada saat ini kata

tutupi dalam bahasa Nias cukup dikatakan dengan kata balugö tanpa sufiks {-i}. Hal tersebut juga terlihat jelas dalam kata mombalugö (menutup/menutupi). Kata ini terbentuk dari prefiks {ma-} dan bentuk dasar balugö (tutup/tutupi). Kata menutupi

dalam bahasa Nias tidak dikatakan dengan kata mombalugöi tetapi dengan kata

(16)

bahasa Nias, biasanya digunakan kata tola labogö. Misalnya, dalam kalimat ‘tola labogö rigi da’ö’ (jagung itu dapat dibakar). Kata labogö terbentuk dari prefiks {la-} dan bentuk dasar bogö (bakar).

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, peneliti akan mendeskripsikan perkembangan baru terhadap masalah pemakaian afiks dalam bahasa Nias yang lazim digunakan pada saat ini.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apa sajakah jenis afiks dalam bahasa Nias?

b. Bagaimanakah proses afiksasi dalam bahasa Nias? c. Apakah fungsi afiks dalam bahasa Nias?

d. Apakah arti/nosi afiks dalam bahasa Nias?

1.3 Batasan Masalah

Peneliti membatasi penelitian ini pada proses afiksasi dalam bahasa Nias dialek Gunungsitoli. Pembatasan ini dilakukan agar cakupannya tidak terlalu luas.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(17)

c. Untuk menjelaskan fungsi afiks dalam bahasa Nias d. Untuk menjelaskan arti/nosi afiks dalam bahasa Nias

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Menambah wawasan pembaca dan peneliti tentang afiksasi, khususnya dalam bahasa Nias.

b. Menjadi sumber acuan bagi peneliti lain yang ingin mengkaji afiksasi dalam bahasa Nias.

c. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pemahaman tentang afiksasi.

d. Sebagai salah satu upaya untuk melestarikan bahasa daerah yang ada di Indonesia.

(18)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dan Afiksasi

Ramlan (1983 : 48) menyatakan bahwa afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Misalnya kata minuman. Kata ini terdiri dari dua unsur, ialah minum yang merupakan kata dan –an yang merupakan satuan terikat. Maka morfem –an diduga merupakan afiks. Setiap afiks berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara garamatikal selalu melekat pada satuan lain. Afiks-afiks yang terletak di lajur paling depan disebut prefiks karena selalu melekat di depan bentuk dasar; yang terletak di jalur tengah disebut infiks karena selalu melekat di tengah bentuk dasar, dan yang terletak di lajur belakang disebut sufiks karena selalu melekat di belakang bentuk dasar. Ketiga macam afiks itu biasa juga disebut awalan, sisipan, dan akhiran (Ramlan, 1983 : 50).

(19)

dalam Yogianto, 2010) yang menyatakan bahwa afiks adalah morfem terikat yang dilekatkan pada morfem dasar atau akar.

Sementara itu, Muslich (2008 : 41) mengemukakan bahwa afiks ialah bentuk kebahasaan terikat yang hanya mempunyai arti gramatikal, yang merupakan unsur langsung suatu kata, tetapi bukan merupakan bentuk dasar, yang memiliki kesanggupan untuk membentuk kata-kata baru.

Afiksasi (affixation) adalah penambahan dengan afiks (affix). Afiks itu selalu berupa morfem terikat, dan dapat ditambahkan pada awal kata (prefiks; prefix) dalam proses yang disebut prefiksasi (prefixation), pada akhir kata (sufiks; suffix) dalam proses yang disebut sufiksasi (suffixation), untuk sebagian pada awal kata serta untuk sebagian pada akhir kata (konfiks, ambifiks, atau simulfiks; confix, ambifix, simulfix) dalam proses yang disebut konfiksasi, ambifiksasi atau simulfiksasi (confixation,

ambifixation, simulfixation), atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu “sisipan” (infiks; infix) dalam proses yang disebut infiksasi (infixation) (Verhaar, 1988 : 60).

Samsuri (1994 : 190) menyatakan bahwa afiksasi yaitu penggabungan akar atau pokok dengan afiks (-afik).

Kridalaksana berpendapat bahwa afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya (1996 : 28). Selanjutnya ia menambahkan bahwa proses afiksasi bukanlah hanya sekadar perubahan bentuk saja, melainkan juga pembentukan leksem menjadi kelas kata tertentu (1996 : 32). Jenis afiks secara tradisional dapat diklasifikasikan atas:

(20)

Contoh: me-, di-, ber-, ke-, ter-, pe-, per-, se-, b. Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar,

Contoh: -el-, -er-, -em-, dan –in-.

c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar, Contoh: -an, -kan, -i.

d. Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar, dan fungsinya ialah membentuk verba atau memverbalkan nomina, ajektiva atau kelas kata lain. Contoh berikut terdapat dalam bahasa Indonesia non-standar: kopi-ngopi, soto-nyoto, sate-nyate, kebut-ngebut. e. Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar

dan satu di belakang bentuk dasar; dan berfungsi sebagai salah satu morfem terbagi.

Contoh: ke-an, pe-an, per-an, dan ber-an (Kridalaksana, 1996 : 29).

(21)

2.1.2 Bahasa Nias

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang terdapat di Sumatera Utara, tepatnya di sebelah barat pulau Sumatera yang dikenal dengan nama Pulau Nias. Dalam wikipedia (2010) dikatakan bahwa Pulau Nias disebut dengan istilah Tanö Niha yang berasal dari kata Tanö

(tanah) dan Niha (manusia).

Penduduk asli pulau Nias dikenal dengan sebutan suku Nias. Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö, yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.

Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (suatu istilah yang menunjuk pada peninggalan-peninggalan budaya prasejarah yang menggunakan batu-batu besar). Hal ini dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Penduduk Nias masih mengandalkan hasil pertanian sebagai penghasilan utamanya hingga saat ini. Hal tersebut didukung oleh alam Nias yang menawarkan lahan potensial untuk dibudidayakan. Hasil-hasil pertanian yang terdapat di Nias antara lain yaitu karet, kelapa, kopi, cengkeh dan nilam.

(22)

komunikasi dalam berinteraksi. Hal ini juga ikut dipengaruhi oleh mobilitas penduduk yang semakin dinamis dan perkembangan teknologi yang sekarang bisa menjalar ke pelosok-pelosok.

Gambaran tentang pulau Nias dapat dilihat pada peta berikut:

(23)

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi struktural. Morfologi struktural merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji struktur dan proses pembentukan kata. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 1983 : 16). Ilmu morfologi menyangkut struktur “internal” (Verhaar, 2001 : 11). Verhaar (2001) juga berpendapat bahwa cabang yang namanya “morfologi” mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem (Cahyono, 1995 : 140).

(24)

Proses morfologis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah proses pembubuhan afiks. Hal ini sejalan dengan topik yang diteliti oleh peneliti, yaitu proses afiksasi dalam bahasa Nias.

Pengertian afiksasi atau pengimbuhan menurut Putrayasa (2008 : 5) adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks.

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks ada 4 macam:

a. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut “prefiksasi”.

Contoh: prefiks {men-} seperti dalam: mencuri, menyalak, melintang, dan

merintis; prefiks {pen-} seperti dalam pengurus, pemarah, pencipta, dan

penyatu; prefiks {ke-} dalam kedua, ketiga; prefiks {se-} seperti dalam

setinggi dan sesuai; {ber-} seperti dalam berjuang, belajar; {memper-} seperti dalam memperbanyak atau memperkuat.

b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut “ sufiksasi”.

Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, wan} dan {-wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya} seperti dalam permainanku, permainanmu dan permainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya “infiksasi”.

Contoh: infiks {-in-} dalam kata kesinambungan.

(25)

kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi, atau “simulfiksasi”, atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”.

Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-kan}, {men-i}, {memper-i} seperti dalam menyembelihkan, mempermainkan, menduduki, dan memperingati; {ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

Proses pembubuhan afiks pada morfem lain sering diikuti dengan perubahan-perubahan fonem. Perubahan itu bisa berupa perubahan-perubahan fonem ke fonem lain, penambahan fonem, dan penghilangan fonem. Contoh: morfem afiks {meN-} yang memiliki tiga fonem, yaitu /m/, /e/, dan /N/, setelah bergabung dengan bentuk dasar

potong, fonem /N/ berubah menjadi /m/, sehingga pertemuan itu menghasilkan kata

memotong. Dengan demikian, pada proses morfologis itu terjadi pula proses morfofonemis yang berupa perubahan fonem, yaitu perubahan fonem /N/ menjadi /m/: {meN]  {mem} (Muslich, 2008 : 41).

Proses pembubuhan afiks meliputi fungsi dan arti. Fungsi ialah kemampuan morfem untuk membentuk kelas kata tertentu (Muslich, 2008 : 94). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan morfem yang membentuk kelas kata itu adalah morfem imbuhan.

Contoh 1:

(26)

Contoh 2:

Bentuk dasar malas yang berkelas kata sifat apabila mendapatkan morfem imbuhan {peN-} akan menjadi kelas kata benda (pemalas). Dari contoh ini dapat diketahui bahwa prefiks {peN-} berfungsi untuk membentuk kata benda.

Contoh 3:

Bentuk dasar makan yang berkelas kata kerja apabila mendapatkan morfem imbuhan {-an} akan menjadi kelas kata benda (makanan). Dari contoh ini dapat diketahui bahwa sufiks {-an} berfungsi untuk membentuk kata benda.

Contoh 4:

Bentuk dasar wibawa yang berkelas kata benda apabila mendapatkan morfem imbuhan {ber-} akan menjadi kelas kata sifat (berwibawa). Dari contoh ini dapat diketahui bahwa prefiks {ber-} berfungsi untuk membentuk kata sifat.

Contoh 5:

Bentuk dasar lelah yang berkelas kata sifat apabila mendapatkan morfem imbuhan {ke-an} akan menjadi kelas kata kerja (kelelahan). Dari contoh ini dapat diketahui bahwa konfiks {ke-an} berfungsi untuk membentuk kata kerja.

Contoh 6:

Bentuk dasar ikat yang berkelas kata kerja apabila mendapatkan morfem imbuhan {ter-} akan menjadi kelas kata sifat (terikat). Dari contoh ini dapat diketahui bahwa prefiks {ter-} berfungsi untuk membentuk kata sifat.

(27)

kata sifat menjadi kata kerja atau dari golongan kata kerja menjadi kata sifat. Perubahan-perubahan tersebut tentu saja tidak terlepas dari imbuhan yang melekati bentuk dasar dari golongan kata tertentu.

Arti atau nosi adalah arti yang ditimbulkan oleh proses afiksasi. Arti ini timbul sebagai akibat bergabungnya morfem satu dengan yang lain. Muslich (2008 : 66) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arti pada pembicaraan ini bukanlah arti suatu kata yang terdapat dalam kamus, arti leksikal, tetapi arti sebagai akibat bergabungnya morfem satu dengan yang lain, arti struktural atau arti gramatikal.

Jika fungsi gramatik disebut sebagai fungsi, maka fungsi semantik disebut sebagai arti atau nosi dalam proses pengimbuhan morfem. Arti morfem imbuhan selalu bergantung pada kelas kata bentuk dasarnya. Selain itu, arti morfem imbuhan tidak dapat dipisahkan dengan fungsi morfem itu sendiri.

Contoh 1:

Prefiks{meN-} mempunyai arti ‘melakukan tindakan seperti yang tersebut pada bentuk dasarnya’. Misalnya, dalam kata membaca, menendang, mengantar.

Contoh 2:

Infiks {-er-} mempunyai arti ‘menyatakan banyak dan bermacam-macam’. Misalnya dalam kata gigi-gerigi, sabut-serabut, titik-teritik.

Contoh 3:

(28)

Contoh 4:

Konfiks {me-kan} mempunyai arti ‘menjadikan sesuatu atau menganggap sebagai ‘. Misalnya, dalam kata-kata memperhambakan, mempermasalahkan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap proses pembentukan kata, khususnya terhadap proses afiksasi pernah dilakukan sebelumnya. Tambun (1980) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Afiksasi antara Bahasa Alas dengan Bahasa Indonesia” membandingkan afiksasi bahasa Alas dengan afiksasi bahasa Indonesia yang meliputi prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Menurutnya, terdapat perbedaan dan persamaan antara afiksasi bahasa Alas dengan bahasa Indonesia.

Syafii (1981), dalam skripsinya yang berjudul “Afiksasi Bahasa Kurinci Tanjung Morawa” melakukan penelitian terhadap afiksasi dalam bahasa Kurinci. Namun, penelitiannya dibatasi pada afiks yang produktif saja, seperti prefiks, sufiks, dan konfiks.

Kasmi (1981), dalam skripsinya yang berjudul “Pemakaian Prefiks dalam Bahasa Minangkabau” mengkaji tentang pembagian prefiks dalam bahasa Minangkabau yang melingkupi bentuk, distribusi, fungsi dan nosi dari prefiks tersebut.

Selain itu, dalam skripsi yang berjudul “Morfologi Bahasa Jawa Dialek Gebang” (1981), Deliana meneliti morfologi dalam bahasa Jawa dialek Gebang yang meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan klitisasi.

(29)

meneliti tentang morfologi dan proses morfologis yang di dalamnya mencakup tentang awalan (prefiks) dan akhiran (sufiks).

Purba (1984), dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Komparatif antara Prefiks Bahasa Nias dengan Prefiks Bahasa Pakpak Dairi” membahas persamaan dan perbedaan prefiks antara kedua bahasa tersebut. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Siahaan (1986) dalam skripsi yang judulnya sama, tetapi dengan penguraian yang agak berbeda dari peneliti sebelumnya. Menurut Purba prefiksasi adalah proses pembubuhan afiks atau imbuhan di depan kata dasar/pelekatan kepada kata dasar dan membentuk kesatuan arti, sedangkan menurut Siahaan prefiksasi ialah proses penambahan prefiks di awal bentuk dasar. Dari kedua skripsi tersebut dijelaskan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara prefiks bahasa Nias dengan prefiks bahasa Pakpak Dairi. Prefiks dalam bahasa Nias terdiri atas /maN-/, /mo-/, /me-/, /mu-/, /la-/, /i-/, /te-/, /faN-/, /fa-/, /aN-/, /a-/, /da-/, /saN-/, sedangkan prefiks dalam bahasa Pakpak Dairi terdiri atas /meN-/, /i-/, /ter-/, /pe-/, /per-/, /me-/, /se-/, /ki-/, /N-/.

(30)

lambang yang digunakannya adalah lambang fonetis. Hal lain yang juga tidak luput dari pengamatan peneliti adalah setiap kata ‘prefiks’ dalam skripsi tersebut selalu dituliskan dengan kata ‘prepiks’.

Butet Popy (1987), dalam skripsinya yang berjudul “Afiksasi Bahasa Pesisir Sibolga” membahas tentang afiksasi yang terdapat dalam bahasa Pesisir Sibolga. Menurutnya afiks atau imbuhan ialah bentuk linguistik yang dapat melekat pada berbagai-bagai kata untuk membentuk kata baru. Ia membahas tentang prefiks, sufiks, dan simulfiks dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Sembiring (1992), dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Afiksasi antara Bahasa Batak Karo dengan Bahasa Nias” membahas perbedaan dan persamaan afiksasi antara kedua bahasa tersebut. Penelitiannya dibatasi pada prefiks, infiks, dan sufiks. Sembiring menjelaskan bahwa afiksasi adalah pembubuhan afiks pada bentuk dasar, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan baik dalam jenis bentuk dan arti. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa prefiks dalam bahasa Nias terdiri atas /man-/, /me-/, /mo-/, /mu-/, /la-/, /i-/, /te-/, /fan-/, /fa-/, /an-/, /da-/, /san-/, /a-/; infiks hanya satu, yaitu /-ga-/; sufiks terdiri atas /-o/, /-go/, /-fo/, /-ni/, /-si/, /-ma/, /-i/, /-so/, /-ta/, /-wa/, /-to/, /-nia/, /-la/, /-sa/, /-a/. Menurutnya terdapat persamaan dan perbedaan antara bahasa Batak Karo dan bahasa Nias.

(31)

Dalam skripsi yang berjudul “Analisis Morfologis pada Novel La Barka Karya Nh. Dini (1994), Harsani mengkaji proses morfologis pada novel tersebut yang meliputi afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan.

Nilawijaya (1997) membahas tentang morfem bebas dan morfem terikat, proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, dan kompositum) bahasa Melayu Palembang dalam skripsinya yang berjudul “Morfologi Bahasa Melayu Palembang”.

Siregar (2000), dalam skripsinya yang berjudul “Morfologi Kata Kerja Bahasa Angkola” membahas tentang morfologi kata kerja bahasa Angkola yang meliputi ciri morfologis, sintaksis, semantis, dan bentuk kata kerja. Ia juga membahas tentang reduplikasi dan kata kerja berimbuhan.

Perbandingan prefiks antara dua bahasa dilakukan oleh Siagian (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Prefiks Bahasa Indonesia dengan Prefiks Bahasa Batak Toba”. Ia membandingkan antara prefiks bahasa Indonesia dan prefiks bahasa Batak Toba dengan menjelaskan persamaan dan perbedaan prefiks dari kedua bahasa tersebut.

Dari penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa pembentukan kata, khususnya afiksasi, mencakup jenis-jenis afiks itu sendiri serta hal-hal yang meliputi proses pengimbuhannya, seperti bentuk afiks, distribusi afiks, juga fungsi dan makna afiks tersebut. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi informasi dan acuan bagi peneliti saat ini dalam meneliti afiksasi bahasa Nias.

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat (Whitney :1960). Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006 : 72). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Secara deskriptif peneliti dapat memerikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilahan data yang dilakukan pada tahap pemilahan data setelah data yang diperlukan terkumpul.

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan peneliti dalam penelitian ini berupa data tulisan dan data lisan. Untuk mendapatkan data tulis, peneliti menggunakan metode simak dengan teknik catat. Data tulis bersumber dari studi pustaka. Peneliti melakukan studi pustaka dengan mencari buku-buku dan hasil penelitian terdahulu yang menyangkut afiksasi bahasa Nias. Salah satu buku yang digunakan peneliti sebagai sumber data adalah buku 164 Manömanö Moroi Ba Zoera Daroma Li Lowalangi

(33)

membaca dan menyimak buku tersebut kemudian mencatat kata-kata yang merupakan hasil dari proses afiksasi. Selanjutnya data-data ini diklasifikasikan sesuai kategorinya, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks.

Untuk memperoleh data lisan, peneliti menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993 : 133). Dalam hal ini peneliti melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa Nias oleh masyarakat penutur asli, khususnya kata-kata yang merupakan hasil dari afiksasi. Metode ini dilakukan dengan teknik simak libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti terlibat langsung dalam dialog. Peneliti berusaha memperhatikan penggunaan bahasa mitra wicaranya dan ikut serta dalam pembicaraan mitra wacaranya itu (Sudaryanto, 1993 : 133). Selain itu, peneliti juga sebagai penutur asli bahasa Nias ikut berperan dalam menambah data-data yang diperlukan. Setiap data yang diperoleh akan dicatat dalam kartu data untuk dianalisis selanjutnya.

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah semua data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya peneliti menganalisis data tersebut. Tahapan ini disebut dengan tahap analisis data. Pada tahap ini peneliti menggunakan metode padan dan metode agih.

(34)

Dalam penelitian ini metode padan digunakan untuk menyeleksi kata-kata mana yang termasuk prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks serta menjelaskan fungsi dan makna dari afiks-afiks tersebut.

Contoh: a. Pefiks

• Salah satu bentuk prefiks dalam bahasa Nias adalah prefiks {mo-}.

Prefiks ini tidak mengalami perubahan bentuk jika melekat pada bentuk dasar seperti dalam kata mogawu (berpasir). Kata ini terbentuk dari prefiks {mo-} dan bentuk dasar gawu (pasir).

• Prefiks {mo-} dapat melekat pada kata benda dan kata kerja.

• Prefiks {mo-} berfungsi untuk membentuk kata kerja dan kata sifat.

Contoh:

{mo-} + sarewa ‘celana’  mosarewa ‘bercelana’  kata kerja. {mo-} + gawu ‘pasir’  mogawu ‘berpasir’  kata sifat. • Arti dari prefiks {mo-} pada contoh di atas adalah:

- Memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar. - Mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasar.

b. Infiks

• Infiks {-ga-} mengalami perubahan bentuk bila melekat pada bentuk

(35)

Contoh: egebua (besar-besar). Kata ini terbentuk dari infiks {-ge-} dan bentuk dasar ebua (besar).

• Infiks {-ga-} hanya dapat melekat pada kata sifat yang berfonem awal

vokal.

• Infiks {-ga-} berfungsi untuk membentuk kata sifat.

Contoh:

{-ga-} + atoru ‘jatuh’  agatoru ‘berjatuhan’

• Arti dari infiks {-ga-} pada contoh di atas adalah menyatakan banyak

yang tersebut pada bentuk dasar.

c. Sufiks

• Salah satu bentuk sufiks dalam bahasa Nias adalah sufiks {-ni} tidak

mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar seperti dalam kata föröni (tiduri). Kata ini terbentuk dari sufiks {-ni} dan bentuk dasar förö (tidur).

• Sufiks {-ni} dapat melekat pada kata benda, kata kerja, dan kata sifat. • Sufiks {-ni} berfungsi untuk membentuk kata kerja.

Contoh:

Aukhu ‘panas’ + {-ni}  aukhuni ‘panaskan’

• Arti dari sufiks {-ni} pada contoh di atas adalah menjadikan seperti

yang tersebut pada bentuk dasar.

d. Konfiks

• Salah satu bentuk konfiks dalam bahasa Nias adalah konfiks {ol-ö}

(36)

seperti dalam kata olohiö (segera kejar). Kata ini terbentuk dari konfiks {ol-ö} dan bentuk dasar ohi (kejar).

• Konfiks {ol-ö} hanya dapat melekat pada kata kerja.

• Konfiks {ol-ö}berfungsi untuk membentuk kata kerja.

Contoh:

{ol-ö} + ohe ‘bawa’  olohe’ö ‘segera bawa’

• Arti dari konfiks {ol-ö} pada contoh di atas adalah menyuruh

melakukan dengan segera hal yang tersebut pada bentuk dasar.

Sementara itu, metode agih dilakukan dengan menerapkan teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, dan teknik sisip. Teknik-teknik ini berkaitan dengan proses pembubuhan afiks terhadap morfem-morfem serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebagai hasil dari proses tersebut.

Contoh:

a. Pada proses pembubuhan afiks {ma-} terhadap bentuk dasar bokai (buka) terjadi pelesapan fonem /b/ sehingga bentuknya menjadi mamokai

(membuka).

b. Pada proses pembubuhan afiks {me-} terhadap bentuk dasar tölu (tiga) terjadi pergantian fonem /t/ menjadi fonem /d/ sehingga bentuknya menjadi medölu (tiga kali).

(37)

d. Pada bentukan kata agatoru (berjatuhan) dan aganau (panjang-panjang) diketahui bahwa terdapat penyisipan afiks {-ga-} terhadap bentuk dasar

(38)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pengantar

Afiks (imbuhan) merupakan satuan gramatik terikat yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki arti sebelum melekat pada satuan lain. Satuan-satuan lain yang dimaksud adalah morfem dasar (bentuk dasar). Morfem dasar berupa satuan tunggal ataupun kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar. Sebagai satuan terikat, afiks memiliki potensi untuk membentuk kata-kata baru apabila dibubuhkan pada morfem dasar tersebut.

Proses pembubuhan afiks merupakan proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar. Proses ini meliputi bentuk, distribusi, fungsi, dan arti/nosi. Distribusi adalah kesanggupan afiks untuk melekatkan dirinya kepada kelas kata, misalnya kelas kata kerja, kata benda, dan kata sifat. Fungsi ialah kemampuan morfem untuk membentuk kelas kata yang dilekatinya. Dalam hal ini afiks dapat mengubah sebuah kelas kata menjadi kelas kata yang lain. Arti/nosi yaitu arti yang ditimbulkan oleh proses pembubuhan afiks terhadap bentuk dasar. Arti ini timbul sebagai akibat bergabungnya morfem yang satu dengan yang lain.

(39)

4.2 Jenis Afiks dalam Bahasa Nias

a. Prefiks

Prefiks adalah afiks yang melekat di awal bentuk dasar (awalan). Prefiks yang terdapat dalam bahasa Nias, yaitu {ma-}, {me-}, {mo-}, {la-}, {i-},{te-}, {fa-}, {a-}, {o-}, {sa-}, {da-}.

Contoh:

{ma-} + bözini ‘sapu’  mamözini ‘menyapu’ {me-} + walu ‘delapan’  mewalu ‘delapan kali’ {mo-} + kabu ‘kebun’  mokabu ‘berkebun’ {la-} + ra’u ‘tangkap’  lara’u ‘ditangkap’ {i-} + boto ‘pecahkan’  iboto ‘dipecahkan’ {te-} + sura ‘tulis’  tesura ‘tertulis’

{fa-} + okafu ‘dingin’  fangokafu ‘pendingin’ {a-} + era-era ‘pikiran’  angera-ngera ‘berpikirlah’ {o-} + nowi ‘ladang’  onowi ‘berladanglah’

{sa-} + abölö ‘kuat’  sangabölö ‘yang menguatkan’ {da-} + lima ‘lima’  dalima ‘berlima’

b. Infiks

Infiks adalah afiks yang melekat di dalam bentuk dasar (sisipan). Infiks yang terdapat dalam bahasa Nias, yaitu {-ga-}.

Contoh:

(40)

c. Sufiks

Sufiks adalah afiks yang melekat di akhir bentuk dasar (akhiran). Sufiks yang terdapat dalam bahasa Nias, yaitu {-ö}, {-gö}, {-ni}, {-si}, {-ma}, {-i}, {-wa}, {-la}, {-sa}, {-a}.

Contoh:

ebolo ‘lebar’ + {-ö}  ebolo’ö ‘lebarkan’ tanö ‘tanam’ + {-gö}  tanögö ‘tanamkan’ asio ‘garam’ + {-ni}  asioni ‘garami’ ta’unö ‘kotor’ + {-si}  ta’unösi ‘kotori’

dadao ‘duduk’ + {-ma}  dadaoma ‘tempat duduk’ otufo ‘kering’ + {-i}  otufoi ‘keringkan’

angandrö ‘memintalah’ + {-wa}  angandröwa ‘permintaan’ aboto ‘pecah’ + {-la}  abotola ‘pecahan’

fa’awö ‘berteman’ + {-sa}  fa’awösa’ ‘pertemanan’ owulo ‘berkumpul’ + {-a}  owuloa ‘perkumpulan’

d. Konfiks

Konfiks adalah afiks yang melekat di awal dan di akhir bentuk dasar. Konfiks yang terdapat dalam bahasa Nias, yaitu ö}, {fa-ö}, {fa-gö}, {fa-ni}, {fa-si}, {a-la}, {o-ta}, {ol-ö}, {la-si}, {ma-i}, {la-ni}.

Contoh:

{a-ö} + sifa ‘sepak’  anifa’ö ‘sepak dengan segera’ {fa-ö} + tema ‘terima’  fanema’ö ‘penerimaan’ {fa-gö} + badu ‘minum’  fabadugö ‘minumkan’ {fa-ni} + bohou ‘baru’  famohouni ‘pemabaharuan’ {fa-si} + obou ‘busuk’  fangobousi ‘pembusukan’ {a-la} + fabu’u ‘janji’  amabu’ula ‘perjanjian’ {o-ta} + röi ‘tinggalkan’  ondröita ‘tinggalkan’

(41)

{la-si} + awai ‘selesai’  la’awaisi ‘diselesaikan’

{ma-i} + sagö ‘atap’  managöi ‘sedang memasang atap’ {la-ni} + förö ‘tidur’  laföröni ‘ditiduri’

4.3 Proses Afiksasi, Fungsi, dan Arti/Nosi Afiks dalam Bahasa Nias

Proses afiksasi mencakup prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi. Berikut ini dideskripsikan proses-proses tersebut sekaligus fungsi dan arti/nosi dari tiap-tiap afiks.

4.3.1 Prefiks

4.3.1.1 Prefiks {ma-}

a. Proses Prefiksasi {ma-}

Prefiks {ma-} memiliki beberapa bentuk apabila melekat pada bentuk dasar sesuai dengan fonem awal bentuk dasar tersebut. Bentuk-bentuk ini terdiri atas {mang-}, {mam}, {man-}, {mom-}, {mond-}, {mol-}, {wa-} atau {wo-}.

1. Prefiks {ma-} menjadi {mang-} apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal vokal. Penggabungan prefiks {ma-} dengan bunyi vokal yang terletak di awal bentuk dasar menyebabkan penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ di depan bentuk dasar tersebut.

Contoh :

{ma-} + elifi ‘kutuk’  mangelifi ‘mengutuk’ {ma-} + ebua ‘besar’  mangebua ‘membesar’

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar elifi

(kutuk) terjadi penambahan fonem /ŋ/ sehingga bentuknya menjadi

(42)

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar ebua

(besar) terjadi penambahan fonem /ŋ/ sehingga bentuknya menjadi

mangebua (membesar).

2. Prefiks {ma-} menjadi {mam-} apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal konsonan /b/ atau /f/. Penggabungan prefiks {ma-} dengan bunyi konsonan bilabial bersuara /b/ dan bunyi konsonan frikatif labiodental tidak bersuara /f/ menyebabkan bunyi konsonan yang berada di awal bentuk dasar tersebut berubah menjadi bunyi konsonan nasal bilabial /m/.

Contoh :

{ma-} + bokai ‘buka’  mamokai ‘membuka’ {ma-} + fotu ‘nasihat’  mamotu ‘menasihati’

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar bokai

(buka) terjadi pelesapan fonem /b/ dan digantikan oleh fonem /m/ sehingga bentuknya menjadi mamokai (membuka).

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar fotu

(nasihat) terjadi pelesapan fonem /f/ dan digantikan oleh fonem /m/ sehingga bentuknya menjadi mamotu (menasihati).

3. Prefiks {ma-} menjadi {man-} apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal konsonan /s/ atau /t/. Penggabungan prefiks {ma-} dengan bunyi konsonan frikatif alveolar /s/ dan bunyi konsonan hambat alveolar tidak bersuara /t/ menyebabkan bunyi konsonan yang berada di awal bentuk dasar tersebut berubah menjadi bunyi konsonan nasal alveolar /n/.

Contoh :

(43)

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar sasai

(cuci) terjadi pelesapan fonem /s/ dan digantikan oleh fonem /n/ sehingga bentuknya menjadi manasai (mencuci).

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar taha

(tahan) terjadi pelesapan fonem /t/ dan digantikan oleh fonem /n/ sehingga bentuknya menjadi manaha (menahan).

4. Prefiks {ma-} menjadi {mom-} apabila melekat pada bentuk dasar yang suku

awalnya berfonem /ba/. Penggabungan prefiks {ma-} dengan bunyi konsonan bilabial bersuara /b/ menyebabkan penambahan bunyi konsonan nasal bilabial /m/ di depan bunyi konsonan suku awal bentuk dasar tersebut, sedangkan bunyi vokal /a/ pada prefiks {ma-} berubah menjadi vokal /o/.

Contoh :

{ma-} + bala ‘babat’  mombala ‘membabat’ {ma-} + baloi ‘tunggu’  mombaloi ‘menunggu’

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar bala

(babat) terjadi perubahan fonem /a/ menjadi fonem /o/ pada prefiks {ma-} dan penambahan fonem /m/ di depan suku awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi mombala (membabat).

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar baloi

(tunggu) terjadi perubahan fonem /a/ menjadi fonem /o/ pada prefiks {ma-}dan penambahan fonem /m/ di depan suku awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi mombaloi (menunggu).

(44)

konsonan getar alveolar /r/ menyebabkan penambahan bunyi gugus konsonan dental (nd) di awal bentuk dasar tersebut, sedangkan bunyi vokal /a/ pada prefiks {ma-} berubah menjadi bunyi vokal /o/.

Contoh :

{ma-} + ra’u ‘tangkap’  mondra’u ‘menangkap’ {ma-} + ra’a ‘iris’  mondra’a ‘mengiris’

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar ra’u

(tangkap) terjadi perubahan fonem /a/ menjadi fonem /o/ pada prefiks {ma-} dan penambahan gugus fonem /nd/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi mondra’u (menangkap).

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar ra’a (iris) terjadi perubahan fonem /a/ menjadi fonem /o/ pada prefiks {ma-} dan penambahan gugus fonem /nd/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi mondra’a (mengiris).

6. Prefiks {ma-} menjadi {mol-} apabila melekat pada bentuk dasar berupa kata kerja intransitif yang berfonem awal vokal /o/. Penggabungan prefiks {ma-} dengan bunyi vokal /o/ menyebabkan penambahan bunyi konsonan lateral alveolar /l/ di awal bentuk dasar tersebut, sedangkan bunyi vokal /a/ pada prefiks {ma-} berubah menjadi bunyi vokal /o/.

Contoh :

{ma-} + osi ‘hapus’  molosi ‘menghapus’ {ma-} + ohe ‘bawa’  molohe ‘membawa’

(45)

penambahan fonem /l/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi molosi (menghapus).

• Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar ohe (bawa) terjadi pergantian fonem /a/ menjadi fonem /o/ pada prefiks {ma-}dan penambahan fonem /l/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi molohe (membawa).

7. Prefiks {ma-} menjadi {wa-} atau {wo-} apabila bentuk dasar yang mendapat imbuhan prefiks {ma-} dipakai dalam hubungan kalimat. Namun, aturan ini tidak berlaku jika bentuk dasar tersebut terletak di awal kalimat atau didahului oleh kata no ‘sudah’ atau ‘tidak’. Perubahan prefiks {ma-} menjadi {wa-} atau {wo-} disesuaikan dengan bentuk dasar yang telah mendapatkan imbuhan tersebut. Perubahan tersebut menyebabkan bunyi konsonan nasal bilabial /m/ menjadi bunyi konsonan semivokal bilabial /w/. Contoh :

{ma-} + sasai ‘cuci’  manasai ‘mencuci’ Manasai  wanasai ‘mencuci’

Dalam kalimat:

Möi ia wanasai nukha ba hele

Pergi dia mencuci kain di sumur ‘dia pergi mencuci kain di sumur’

Pada proses perubahan prefiks {ma-} menjadi {wa-} terhadap bentuk

manasai (mencuci) terjadi perubahan fonem /m/ menjadi fonem /w/ sehingga bentuknya menjadi wanasai (mencuci).

{ma-} + ohe ‘bawa’  molohe ‘membawa’

Molohe  wolohe ‘membawa’

(46)

Tohare ia ma’ifutö ba wolohe dalu-dalu da’ö

Datang dia sebentar lagi untuk membawa obat itu ‘Dia datang membawa obat itu sebentar lagi’

Pada proses perubahan prefiks {ma-} menjadi {wo-} terhadap bentuk molohe

(membawa) terjadi perubahan fonem /m/ menjadi fonem /w/ sehingga bentuknya menjadi wolohe (membawa).

Berdasarkan distribusinya, prefiks {ma-} dapat melekat pada: 1. Kata kerja

Contoh :

{ma-} + bözini ‘sapu’  mamözini ‘menyapu’ 2. Kata benda

Contoh:

{ma-} + adulo ‘telur’  mangadulo ‘bertelur’ 3. Kata sifat

Contoh:

{ma-}+ a’usö ‘kuning’  manga’usö ‘menguning’

b. Fungsi Prefiks {ma-}

Prefiks {ma-} berfungsi untuk membentuk kata kerja. Contoh:

{ma-} + faku ‘cangkul’  mamaku ‘mencangkul’ Dalam kalimat:

Möi ndra’aga mamaku laza

Pergi kami mencangkul sawah ‘Kami pergi mencangkul sawah’

(47)

c. Arti/nosi Prefiks {ma-}

Prefiks {ma-} mempunyai arti sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar. Contoh:

{ma-} + su’a ‘ukur’  manu’a ‘mengukur’ Dalam kalimat:

Manu’a wa’alawa mboto nono ga’ania

Mengukur tinggi badan anak kakaknya ‘Dia sedang mengukur tinggi badan anak kakaknya’

Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar su’a (ukur) terjadi perubahan bunyi konsonan frikatif alveolar /s/ menjadi bunyi konsonan alveolar nasal /n/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi manu’a (mengukur).

{ma-} + tagö ‘curi’  managö ‘mencuri’ Dalam kalimat:

Asese managö sandala ia ba nomoma

Sering mencuri sandal dia di rumah kami ‘Dia sering mencuri sandal di rumah kami’

Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar tagö (curi) terjadi perubahan bunyi konsonan hambat alveolar tidak bersuara /t/ menjadi bunyi konsonan nasal alveolar /n/ di awal bentuk dasar tersebut sehingga bentuknya menjadi managö (mencuri).

2. Menjadi seperti apa yang tersebut pada bentuk dasar. Contoh:

{ma-} + afusi ‘putih’  mangafusi ‘memutih’ Dalam kalimat:

Mangafusi mbawara me larongo duria da’ö

(48)

Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar afusi (putih) terjadi penambahan penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ di depan bentuk dasar yang berfonem awal vokal tersebut sehingga bentuknya menjadi

mangafusi (memutih).

{ma-} + aitö ‘hitam’  mangaitö ‘menghitam’ Dalam kalimat:

Itugu ara, itugu mangaitö gulinia

Semakin lama, semakin menghitam kulitnya ‘Semakin lama, kulitnya semakin menghitam’

Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar aitö (hitam) terjadi penambahan penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ di depan bentuk dasar yang berfonem awal vokal tersebut sehingga bentuknya menjadi

mangaitö (menghitam).

3. Menghasilkan apa yang tersebut pada bentuk dasar. Contoh:

{ma-} + adulo ‘telur’  mangadulo ‘bertelur’ Dalam kalimat:

No mangadulo manugu

Sudah bertelur ayamku ‘Ayamku sudah bertelur’

Pada proses pembubuhan prefiks {ma-} terhadap bentuk dasar adulo (telur) terjadi penambahan penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ di depan bentuk dasar yang berfonem awal vokal tersebut sehingga bentuknya menjadi

(49)

4.3.1.2 Prefiks {me-}

a. Proses Prefiksasi {me-}

Prefiks {me-} mempunyai beberapa bentuk, yaitu {me-}, {mendr-}, {med-}, {mew-}, dan {mez-}.

1. Prefiks {me-} tidak mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal vokal dan juga bentuk dasar yang berfonem awal konsonan /l/ dan /w/. Penggabungan prefiks {me-} dengan bunyi konsonan lateral alveolar /l/ dan bunyi konsonan semivokal bilabial /w/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

Contoh:

{me-} + öfa ‘empat’  me’öfa ‘empat kali’ {me-} + lima ‘lima’  melima ‘lima kali’ {me-} + walu ‘delapan’  mewalu ‘delapan kali’

2. Prefiks {me-} menjadi {mendr-} apabila melekat pada bentuk dasar bersilabel (suku kata) satu dan berfonem awal konsonan /d/. Penggabungan prefiks {me-} dengan bunyi konsonan hambat alveolar bersuara /d/ menyebabkan pelesapan fonem awal pada bentuk dasar dan digantikan oleh bunyi gugus konsonan hambat dento-alveolar bersuara /ndr/.

Contoh:

{me-} + do ‘darah’  mendro ‘berdarah’

Pada proses pembubuhan prefiks {me-} terhadap bentuk dasar do (darah) terjadi pelesapan fonem /d/ dan digantikan oleh gugus fonem /ndr/ sehingga bentuknya menjadi mendro (berdarah).

(50)

konsonan hambat alveolar tidak bersuara /t/ menyebabkan bunyi konsonan yang berada di awal bentuk dasar tersebut berubah menjadi bunyi konsonan hambat alveolar bersuara /d/.

Contoh:

{me-} + tölu ‘tiga’  medölu ‘tiga kali’

Pada proses pembubuhan prefiks {me-} terhadap bentuk dasar tölu (tiga) terjadi pelesapan fonem /t/ dan digantikan oleh fonem /d/ sehingga bentuknya menjadi medölu (tiga kali).

4. Prefiks {me-} menjadi {mew-} apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal konsonan /f/. Penggabungan prefiks {me-} dengan bunyi konsonan frikatif labiodental tidak bersuara /f/ menyebabkan bunyi konsonan yang berada di awal bentuk dasar tersebut menjadi bunyi konsonan semivokal bilabial /w/.

Contoh:

{me-} + fulu ‘sepuluh’  mewulu ‘sepuluh kali’

Pada proses pembubuhan prefiks {me-} terhadap bentuk dasar fulu ( sepuluh) terjadi pelesapan fonem /f/ dan digantikan oleh fonem /w/ sehingga bentuknya menjadi mewulu (sepuluh kali).

5. Prefiks {me-} menjadi {mez-} apabila melekat pada bentuk dasar yang berfonem awal konsonan /s/. Penggabungan prefiks {me-} terhadap bunyi vokal frikatif alveolar tidak bersuara /s/ menyebabkan bunyi konsonan yang berada di awal bentuk dasar tersebut berubah menjadi frikatif alveolar bersuara /z/.

Contoh:

(51)

Pada proses pembubuhan prefiks {me-} terhadap bentuk dasar siwa

(sembilan) terjadi pelesapan fonem /s/ dan digantikan oleh fonem /z/ sehingga bentuknya menjadi meziwa (sembilan kali).

Berdasarkan distribusinya prefiks {me-} dapat melekat pada: 1. Kata bilangan

Contoh:

{me-} + lima ‘lima’  melima ‘lima kali’ 2. Kata benda.

Contoh:

{me-} + do ‘darah’  mendro ‘berdarah’

b. Fungsi Prefiks {me-}

Prefiks {me-} berfungsi untuk membentuk kata sifat. Contoh:

{me-} + do ‘darah’  mendro ‘berdarah’ Dalam kalimat:

Mendro dangagu

Berdarah tanganku ‘Tanganku berdarah’

Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (do ‘darah’) menjadi kelas kata sifat (mendro ‘berdarah’).

c. Arti/nosi Prefiks {me-}

Prefiks {me-} mempunyai arti sebagai berikut :

1. Menjadi beberapa kali seperti yang tersebut pada bentuk dasar.

Contoh:

(52)

Mewalu itötöi döigu

Delapan kali disebutnya namaku

‘Namaku disebutnya sebanyak delapan kali’

2. Mengeluarkan apa yang tersebut pada bentuk dasar. Contoh:

{me-} + do ‘darah’  mendro ‘berdarah’

4.3.1.3 Prefiks {mo-}

a. Proses Prefiksasi {mo-}

Prefiks {mo-} tidak mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar.

Contoh:

{mo-} + hanu-hanu ‘nafas’  mohanu-hanu ‘bernafas’ {mo-} + gawu ‘pasir’  mogawu ‘berpasir’ {mo-} + tawö ‘lemak’  motawö ‘berlemak’

{mo-} + nowi ‘ladang’  monowi ‘mempunyai ladang’

Pada contoh di atas terlihat bahwa penggabungan prefiks {mo-} dengan bunyi konsonan frikatif laringal /h/, bunyi konsonan hambat velar /g/, bunyi konsonan hambat alveolar /t/, dan bunyi konsonan nasal alveolar /n/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

Berdasarkan distribusinya prefiks {mo-} dapat melekat pada: 1. Kata benda

Contoh:

{mo-} + halöwö ‘pekerjaan’  mohalöwö ‘bekerja’ 2. Kata kerja

Contoh:

(53)

b. Fungsi Prefiks {mo-}

Prefiks {mo-} berfungsi untuk membentuk kata kerja dan kata sifat. 1. Kata kerja

Contoh:

{mo-} + sandala ‘sandal’  mosandala ‘memakai sandal’ Dalam kalimat:

Mosandala nakhigu ba zekola

Memakai sandal adikku ke sekolah ‘Adikku memakai sandal ke sekolah’

Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (sandala ‘sandal’) menjadi kelas kata kerja (mosandala ‘memakai sandal’).

2. Kata sifat Contoh:

{mo-} + bu ‘rambut’  mobu ‘berambut’ Dalam kalimat:

Mobu safusi niha satua da’o

Berambut putih orang tua itu ‘Orang tua itu berambut putih’

Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (bu ‘rambut’) menjadi kelas kata sifat (mobu ‘berambut’).

c. Arti/nosi Prefiks {mo-}

Prefiks {mo-} mempunyai arti sebagai berikut : 1. Mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasar.

Contoh:

{mo-} + laza ‘sawah’  molaza ‘mempunyai sawah’ Dalam kalimat:

Molaza ira me ndröfi si no numalö

(54)

Pada proses pembubuhan prefiks {mo-} terhadap bentuk dasar laza (sawah) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan lateral alveolar /l/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

2. Memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar. Contoh:

{mo-} + sandala ‘sandal’  mosandala ‘memakai sandal’

Pada proses pembubuhan prefiks {mo-} terhadap bentuk dasar sandala

(sandal) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan frikatif alveolar /s/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

4.3.1.4 Prefiks {la-}

a. Proses Prefiksasi {la-}

Prefiks {la-} tidak mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar.

Contoh:

{la-} + tagu ‘jahit’  latagu ‘dijahit’ {la-} + wa’ö ‘bilang’  lawa’ö ‘dibilang’ {la-} + söbi ‘tarik’  lasöbi ‘ditarik’ {la-} + irö’ö ‘simpan’  la’irö’ö ‘disimpan’

Pada contoh di atas diketahui bahwa penggabungan prefiks {la-} dengan bunyi konsonan hambat alveolar /t/, bunyi konsonan semivokal bilabial /w/, bunyi konsonan frikatif alveolar /s/, dan bunyi vokal /i/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

Berdasarkan distribusinya prefiks {la-} dapat melekat pada: 1. Kata kerja

(55)

{la-} + söbi ‘tarik’  lasöbi ‘ditarik’ 2. Kata benda

Contoh:

{la-} + faku ‘cangkul’  lafaku ‘dicangkul’

b. Fungsi Prefiks {la-}

Prefiks {la-} berfungsi untuk membentuk kata kerja pasif. Contoh:

Dalam kalimat:

{la-} + faku ‘cangkul’  lafaku ‘dicangkul’ Dalam kalimat:

Lafaku danö da’ö he wa’ae no olofo sibai ira

Dicangkul tanah itu walaupun sudah lapar sangat mereka

‘Tanah itu dicangkul oleh mereka walaupun mereka merasa sangat lapar’ Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (faku ‘cangkul’) menjadi kelas kata kerja (lafaku ‘dicangkul’).

c. Arti/nosi Prefiks {la-}

Arti prefiks {la-} adalah menyatakan suatu tindakan yang pasif. Contoh:

{la-} + böbö ‘ikat’  laböbö ‘diikat’ Dalam kalimat:

Laböbö nambi da’ö tou döla geu sebua

Diikat kambing itu di bawah batang kayu yang besar ‘Kambing itu diikat di bawah pohon yang besar’

(56)

{la-} + odödögö ‘tekuni’  la’odödögö ‘ditekuni’ Dalam kalimat:

Na la’odödögö wobabaya ya’ia fefu halöwö tola alio awai

Jika ditekuni pengerjaannya semua pekerjaan bisa cepat selesai ‘Semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat jika ditekuni’

Pada proses pembubuhan prefiks {la-} terhadap bentuk dasar odödögö (tekuni) yang fonem awalnya berupa bunyi vokal /o/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

4.3.1.5 Prefiks {i-}

a. Proses Prefiksasi {i-}

Prefiks {i-} tidak mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar.

Contoh:

{i-} + rawi ‘sobek’  irawi ‘disobek’ {i-} + faku ‘cangkul’  ifaku ‘dicangkul’ {i-} + faigi ‘lihat’  ifaigi ‘dilihat’ {i-} + fotöi ‘namai’  ifotöi ‘dinamai’

Pada contoh di atas diketahui bahwa penggabungan prefiks {i-} dengan bunyi konsonan getar alveolar /r/, bunyi konsonan frikatif labiodental tidak bersuara /f/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

Berdasarkan distribusinya prefiks {i-} dapat melekat pada: 1. Kata kerja

Contoh:

{i-} + lu’i ‘gendong’  ilu’i ‘digendong’ 2. Kata benda.

Contoh:

(57)

b. Fungsi Prefiks {i-}

Prefiks {i-} berfungsi untuk membentuk kata kerja pasif. Contoh:

{i-} + faku ‘cangkul’  ifaku ‘dicangkul’ Dalam kalimat:

Ifaku namagu danö ba zinga nomoma

Dicangkul ayahku tanah di samping rumah kami ‘Tanah di samping rumah kami dicangkul oleh ayahku’

Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (faku ‘cangkul’) menjadi kelas kata kerja (ifaku ‘dicangkul’).

c. Arti/nosi Prefiks {i-}

Arti prefiks {i-} adalah menyatakan suatu tindakan yang pasif. Jika digunakan dalam kalimat, maka bentuk dasar yang dilekati prefiks {i-} menunjukkan makna tunggal.

Contoh:

{i-} + boto ‘pecahkan’  iboto ‘dipecahkan’ Dalam kalimat:

Iboto ga’agu wiga da’ö fao fönu

Dipecahkan abangku piring itu ikut kemarahan

‘Piring itu dipecahkan oleh abangku dengan penuh kemarahan’

Pada proses pembubuhan prefiks {i-} terhadap bentuk dasar boto (pecahkan) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan hambat bilabial /b/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

{i-} + tegu ‘tegur’  itegu ‘ditegur’ Dalam kalimat:

Itegu ia gurunia

(58)

‘Dia ditegur oleh gurunya’

Pada proses pembubuhan prefiks {i-} terhadap bentuk dasar tegu (tegur) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan hambat alveolar /t/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

4.3.1.6 Prefiks {te-}

a. Proses prefiksasi {te-}

Prefiks {te-} tidak mengalami perubahan bentuk apabila melekat pada bentuk dasar.

Contoh:

{te-} + fahö ‘tikam’  tefahö ‘tertikam’ {te-} + tuyu ‘pilih’  tetuyu ‘terpilih’ {te-} + rongo ‘dengar’  terongo ‘terdengar’ {te-} + faku ‘cangkul’  tefaku ‘tercangkul’

Pada contoh di atas diketahui bahwa penggabungan prefiks {te-} dengan bunyi konsonan frikatif labiodental tidak bersuara /f/, bunyi konsonan hambat alveolar /t/, dan bunyi konsonan getar alveolar /r/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

Berdasarkan distribusinya prefiks {te-} dapat melekat pada: 1. Kata kerja

Contoh:

{te-} + rara ‘hibur  terara ‘terhibur’ 2. Kata benda.

Contoh:

(59)

b. Fungsi Prefiks {te-}

Prefiks {te-} berfungsi untuk membentuk kata kerja pasif. Contoh:

{te-} + faku ‘cangkul’  tefaku ‘tercangkul’ Dalam kalimat:

Tefaku danö da’a börö walö ahono dangamö da’ö!

Tercangkul tanah ini karena ketidaktenangan tanganmu itu! ‘Tanah ini tercangkul gara-gara tanganmu yang jahil itu!’

Pada contoh di atas terjadi perubahan kelas kata benda (faku ‘cangkul’) menjadi kelas kata kerja (tefaku ‘tercangkul’)

c. Arti/nosi Prefiks {te-}

Arti prefiks {te-} adalah menyatakan ketidaksengajaan. Contoh:

{te-} + khökhö ‘iris’  tekhökhö ‘teriris’ Dalam kalimat:

Tekhökhö durugu sebua ba rosö

Teriris jariku yang besar di pisau ‘Ibu jariku teriris pisau’

Pada proses pembubuhan prefiks {te-} terhadap bentuk dasar khökhö (iris) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan frikatif velar /x/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

{te-} + tanö ‘tanam’  tetanö ‘tertanam’ Dalam kalimat:

Utötöna enaö tetanö ba dödömi niwa’ögu da’a

(60)

Pada proses pembubuhan prefiks {te-} terhadap bentuk dasar tanö (tanam) yang fonem awalnya berupa bunyi konsonan hambat alveolar /t/ tidak menyebabkan perubahan fonem pada bentuk dasar.

4.3.1.7 Prefiks {fa-}

a. Proses Prefiksasi {fa-}

Prefiks {fa-} terdiri dari dua bagian, yaitu prefiks {fa-} yang mengalami perubahan bentuk dan prefiks {fa-} yang tidak mengalami perubahan bentuk.

a.1 Prefiks {fa-} yang mengalami perubahan bentuk

Prefiks {fa-} terbagi atas {fang-}, {fam-}, {fan-}, {fondr-}, {fond-}, dan {fo-}. 1. Prefiks {fa-} menjadi {fang-} apabila melekat pada bentuk dasar yang

berfonem awal vokal. Penggabungan prefiks {fa-} dengan bunyi vokal yang terletak di awal bentuk dasar menyebabkan penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ di depan bentuk dasar tersebut.

Contoh:

{fa-} + okafu ‘dingin’  fangokafu ‘pendingin’ {fa-} + aukhu ‘panas’  fangaukhu ‘pemanas’

• Pada proses pembubuhan prefiks {fa-} terhadap bentuk dasar okafu

(dingin) terjadi penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ sehingga bentuknya menjadi fangokafu (pendingin).

• Pada proses pembubuhan prefiks {fa-} terhadap bentuk dasar aukhu

Gambar

Gambaran tentang pulau Nias dapat dilihat pada peta berikut:

Referensi

Dokumen terkait

hasil deteksi maka sangat penting dilakukan proses pencarian potensi objek yang diduga sebagai kandidat lingkaran terlebih dahulu sebelum melakukan proses deteksi

• Susunan dari sejumlah n antena-antena sejenis, dapat diperhatikan sebagai susunan sejumlah n sumber isotropik dengan catuan arus dan fasa tertentu, sehingga memiliki Diagram Arah

Dengan ini saya Irainsani Purba menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Penggunaan Teknik Warming up for Reading (WFR) dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman”

Jadi oleh sebab timbulnya perubahan tahanan akibat adanya medan luar, maka sistem tersebut bisa diaplikasikan sebagai sensor magnet tanpa menggunakan arus seperti pada metoda

The results of this study concluded that exposure to ionizing radiations with LET it is low radiation x-ray radiography intra-oral periapical 4 times, 8 times and 14

Ketentuan-ketentuan tentang pembentukan, pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah yang diatur dalam Pasal 105 sampai dengan Pasal 115 Peraturan Tata Tertib DPRD

Dengan adanya sosialisasi yang dilakukan Dirjen Pajak akan menimbulkan persepsi atau pandangan posiif terhadap whistleblowing yang akan mempengaruhi niat pegawai pajak

Perbedaan Tekanan Darah antara Penambahan Klonidin 75 µgr dan 150 µgr pada Blok Subarakhnoid Dengan Lidokain 5% 100 mg Hiperbarik.. Resta Farits Pradana * , Johan Arifin