LARANGAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM NOMINEE
DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 030200196
AHMAD AMAN
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LARANGAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM NOMINEE
DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 030200196
AHMAD AMAN
KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
NIP: 195603291986011001 Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH
NIP: 195603291986011001 NIP: 197302202002121001
Dr. Mahmul Siregar, SH. M. Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang melarang kepemilikan saham secara nominee, yakni: “penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.” Ketentuan larangan pemegang saham nominee ini sungguh suatu hal yang menarik untuk diteliti, mengapa justru setelah 40 (empat puluh) tahun dibukanya kembali penanaman modal asing di Indonesia pada tahun 1967 melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, baru timbul larangan tegas seperti ini.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan tentang pemegang saham dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bagaimana larangan terhadap pemegang saham nominee dalam perseroan terbatas, bagaimana kedudukan pemegang saham nominee sebelum dan setelah adanya larangan undang-undang
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis
didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan
skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan
menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari
oleh nur iman dan Islam.
Skripsi ini berjudul: “Larangan terhadap Pemegang Saham Nominee
dalam Peraturan Perundang-undangan”.
Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak
mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta
petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan
baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang
bersifat membangun di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari
berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, sebagai Rektor Universitas Sumatera
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum USU.
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum USU.
5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum USU.
6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai Ketua Jurusan
Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
7. Prof. Dr. Sunarmi, SH. M. Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Sekaligus Sebagai
Dosen Pembimbing I.
8. Dr. Mahmul Siregar, sebagai Dosen Pembimbing II skripsi ini.
9. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, sebagai Dosen Penasehat Akademik
selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU.
10.Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
11.Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.
12.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,
perhatian, dan memberi kesempatan untuk berjuang menuntut ilmu
sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.
13.Ucapan terima kasih yang sangat spesial diperuntukkan bagi
memberikan support dan dorongan selama menuntut ilmu di Fakultas
Hukum USU, khususnya ketika menjadi Ketua Umum HMI Komisariat
Fakultas Hukum USU Periode 2007-2008.
14.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian
yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh
keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.
15.Kepada teman-teman, khusunya stambuk 2004 Fakultas Hukum USU
yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.
16.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi
ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Demikianlah yang dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan 01 Agustus 2010
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PEMEGANG SAHAM DI INDONESIA ... 21
A. Hak dan Kewajiban Pemegang Saham ... 21
B. Jenis-jenis Kepemilikan Saham dalam Perseroan Terbatas ... 30
C. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham... 41
BAB III TINJAUAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM NOMINEE... 45
A. Latar Belakang Lahirnya Pemegang Saham Nominee ... 45
B. Perjanjian pemegang saham nominee... 49
BAB IV LARANGAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM NOMINEE ... 53
B. Kedudukan pemegang saham nominee setelah adanya larangan dalam Undang-undang Penanaman Modal Asing dan
Undang-undang Perseroan Terbatas... 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perseroan terbatas (limited liability company, naamloze vennootschap)
adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha bisnis1. Perseroan
Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat
ini, di samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, Perseroan
Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang saham) nya untuk
mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham
yang dimilikinya pada perusahaan tersebut Kata “perseroan” menunjuk kepada
modal yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan kata “terbatas” menunjuk kepada
tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang
diambil bagian dan dimiliki.2 Perseroan terbatas menurut hukum Indonesia adalah
suatu badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham3
Pada tanggal 16 Agustus 2007 diundangkanUndang-undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), yang
menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995. Perubahan ini dilakukan
dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan
sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi .
1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 35.
2 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal.1.
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era gobalisasi pada masa
mendatang sehingga dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang
kondusif. Oleh karena itu perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan
perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu
pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas, yang menggantikan peraturan
perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial yang terdapat dalam Buku
I Bab III bagian III Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847 :23) sebagaimana
telah dirubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971, dan terdapat
dalam Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonantie op de Indonesische
Maatschappij op Aandelen (Stb.1939-569 jo.717).
Keadaan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tersebut menyebabkan terjadinya dualisme undang-undang yang mengatur
perseroan. Hal ini memang dikehendaki oleh pemerintah kolonial Belanda waktu
itu yang membedakan golongan penduduk dan hukum yang berlaku bagi mereka..
Bagi golongan Eropa atau yang dipersamakan dengan itu berlaku Pasal 36 sampai
dengan Pasal 56 KUHD. Sedangkan bagi golongan bumi putera berlaku ketentuan
Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, hal tersebut
tentunya menimbulkan kejanggalan, karena adanya diskriminasi dalam
pemberlakuan hukum perseroan.4
Dalam perkembangannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut
dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
karena kedaaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di
samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat,
kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai
dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance)
menuntut penyempurnaan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.5
Sebagai suatu badan hukum, perseroan dapat diidentikkan seperti halnya
manusia, dalam pengertian ini maka suatu perseroan akan dapat bertindak sebagai
pemegang hak dan kewajiban, di samping juga dapat memiliki kekayaan,
memiliki utang dan berperkara di muka pengadilan. Status seperti inilah yang
kemudian menempatkan Perseroan Terbatas, modal atau capital merupakan faktor
utama. Tujuannya adalah untuk memperoleh laba atau keuntungan semaksimal
mungkin (profit oriented). Fungsi perseroan terbatas dalam sistem perekonomian
Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945 adalah sebagai pelengkap dan
pembantu dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur.6
Dalam pergaulan hukum, manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung
hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dinamakan badan hukum
(rechtspersoon) untuk membedakan dengan manusia (natuurlijk persoon). Jadi
5 Lihat Penjelasan atas Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
bentuk hukum (rechtsfiguur) yaitu badan hukum yang dapat mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan hukum.7
Sebagai suatu badan hukum yang independen, dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang mandiri, lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban
para pemegang sahamnya maupun para pengurusnya, perseroan jelas harus
memiliki harta kekayaan tersendiri dalam menjalankan kegiatan usahanya serta
untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.8
Sesuai dengan pedoman good corporate governance yang disusun oleh
Komite Nasional Kebijakan good corporate governance telah diatur dan
ditetapkan secara tegas bahwa hak pemegang saham harus dilindungi, agar
pemegang saham dapat melaksanakannya berdasarkan prosedur yang benar yang
ditetapkan oleh perseroan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengurus atau pengelola perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau
dengan kata lain sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Tujuan
Corporate governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakes holders).9
Sosialisasi dan pengembangan area Good Corporate Governance di
Indonesia dewasa ini lebih ditujukan kepada perusahaan berbentuk perseroan
7 Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1983), hal.9.
8 Ibid., hal.13.
terbatas. Perseroan terbatas adalah badan hukum (recht persoon). Sebagai badan
hukum, ia oleh hukum diakui sebagai subjek hukum seperti halnya orang
(natuurlijk persoon). Oleh karenanya karena bukan “organ sungguhan”, maka
agar dapat bertindak seperti “orang sungguhan” diperlukan organ. Organ PT
adalah Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris dan direksi.10
Pemegang saham merupakan salah satu stakeholeders dalam suatu
perseroan terbatas di samping stakeholders yang lain, seperti pekerja, kreditur,
investor, konsumen ataupun masyarakat secara keseluruhan. Bahkan lebih dari itu,
para pemegang saham dalam suatu perseroan terbatas juga merupakan pihak yang
membawa dana ke dalam perusahaan, sehingga dia di samping disebut
stakeholders, disebut juga sebagai bagholders bagi perusahaan.11
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam
Pasal 5 ayat (2) menentukan bahwa penanam modal asing di Indonesia harus
dalam bentuk perseroan terbatas. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang melarang kepemilikan saham secara
nominee:
“Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.”12
Ketentuan larangan pemegang saham nominee ini sungguh suatu hal yang
menarik untuk diteliti, mengapa justru setelah 40 (empat puluh) tahun dibukanya
kembali penanaman modal asing di Indonesia pada tahun 1967 melalui
10 Nindyo Pramono, Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal..69-70.
11 Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: CV.Utomo, 2005), hal. 1.
undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, baru timbul
larangan tegas seperti ini.
Selain ketentuan dalam Undang-Undang Penanaman Modal di atas,
terdapat juga ketentuan yang melarang praktek pemegang saham nominee dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Pasal 48
ayat (1) yang menyebutkan:
”Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya.”13
Kendatipun di dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ketentuan ayat (1) adalah bahwa perseroan hanya
diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak
boleh mengeluarkan saham atas tunjuk, namun Pasal ini dapat diartikan bahwa
saham harus dikeluarkan atas nama pemilik sebenarnya dan sama sekali tidak
boleh dikeluarkan atas nama pemilik yang dinominasikan yang bukan pemilik
sebenarnya.
Pemegang saham nominee dapat terjadi pertama karena penanam modal
asing ingin memasuki bidang usaha tertentu yang tertutup bagi asing sehingga
penanam modal asing menggunakan mekanisme pemegang saham nominee
dengan menunjuk dua orang atau lebih menjadi pemegang saham nominee dengan
jalan pemegang saham nominee itu akan mendirikan suatu perseroan, dan di
samping penanam modal asing dan pemegang saham nominee menandatangani
perjanjian di bawah tangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemilik
saham sebenarnya adalah penanam modal asing. Kedua, pemegang saham
nominee dapat terjadi dalam hal bidang usaha tertentu yang hendak dimasuki oleh
13 Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang PerseroanTerbatas
penanam modal asing tidak 100% terbuka. Tidak 100% terbuka berarti di dalam
perseroan yang hendak didirikan harus ada pihak Indonesia (joint venture). Dalam
joint venture ini dapat saja penanam modal asing diizinkan untuk memiliki saham
mayoritas (di atas 50%) atau dapat juga penanam modal asing hanya dapat
memilik saham minoritas (di bawah 50%). Jalan keluar yang diambilnya adalah
pemegang saham asing mendirikan perusahaan joint venture dengan pihak
Indonesia, tetapi di samping dokumen yang ditandatangani berupa anggaran dasar
perseroan dan joint venture agreement terdapat juga dokumen yang
ditandatangani diantara penanam modal asing dengan pemegang saham Indonesia
yang ditunjuk berupa dokumen yang dibuat di bawah tangan yang pada pokoknya
menentukan bahwa saham tersebut sebenarnya adalah milik penanam modal
asing, dengan maksud agar pihak asing menguasi lebih banyak dari yang
diizinkan atau memegang kedudukan pemegang saham mayoritas.
B. Permasalahan
1. Bagaimana pengaturan tentang pemegang saham dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007?
2. Bagaimana larangan terhadap pemegang saham nominee dalam perseroan
terbatas?
3. Bagaimana kedudukan pemegang saham nominee sebelum dan setelah
adanya larangan undang-undang?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang pemegang
saham di Indonesia
b. Untuk mengetahui dan menganalisis larangan terhadap pemegang
saham nominee dalam perseroan terbatas
c. Untuk mengetahui kedudukan pemegang saham nominee sebelum dan
setelah adanya larangan undang-undang
2. Manfaat
a. Teoritis
1) Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah
kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum
perseroan
2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan
bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang
penelitiannya.
b. Praktis
Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan
mahasiswa, masyarakat, lembaga kenotariatan, praktisi hukum dan
pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan
larangan terhadap pemegang saham nominee dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Larangan Terhadap Pemegang Saham Nominee dalam Peraturan
Perundang-undangan Indonesia” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli disusun oleh penulis
sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi lain. Semua ini merupakan
implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini
dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada
skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian saham
Saham merupakan bukti penyertaan modal seseorang dalam sebuah
perusahaan, pengertian ini terlihat dari bunyi Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas yaitu : “Perseroan Terbatas,
yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini serta peraturan
perlaksanaanya.”
Dari ketentuan tersebut dapat diambil pengertian bahwa saham merupakan
bukti persekutuan modal perusahaan. Hal ini ditegaskan juga oleh M. Irsan
Nasarudin dan Indra Surya dalam bukunya yang mengatakan bahwa saham pada
sebuah perusahaan.14
2. Kepemilikan saham
Ketentuan tersebut sesuai dengan aturan yang terdapat
dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang berbunyi: “modal dasar perusahaan terdiri atas seluruh nominal
saham.”
Para pemegang saham diberikan bukti kepemilikan atas saham yang
dimilikinya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: “pemegang saham diberi bukti
pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya.” Dalam penjelasan Pasal yang
sama diterangkan bahwa penggaturan bentuk bukti pemilikan saham ditetapkan
dalam anggaran dasar sesuai dengan kebutuhan.
Pada ketentuan lain dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas tepatnya dalam Pasal 48 ayat (1) disebutkan bahwa saham
perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Jadi dengan demikian dapat
disimpulkan juga, bahwa bukti kepemilikan saham adalah adanya nama yang
tertera/tertulis dalam sertifikat saham yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut.
Nama yang tercantum dalam sertifikat saham merupakan bukti, bahwa pemilik
sertifikat saham itu adalah sesuai dengan nama yang tercantum.
Selain itu bukti kepemilikan lain, adalah adanya catatan kepemilikan
saham yang dimiliki oleh perusahaan yang mengeluarkan saham yang dibuat oleh
Direksi Perseroan. Dalam catatan tersebut dapat dilihat pihak-pihak yang
memiliki saham dan hal-hal yang tersangkut dengan saham-saham, misalnya
apakah saham itu dijadikan jaminan utang atau tidak, serta perubahan pemilikan
saham dan klasifikasi sahamnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan
ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi:
Ayat (1): direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat pemegang saham;
b. Jumlah, nomor, dan tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang saham, dan klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi; c. Jumlah yang disetor atas setiap saham;
d. Nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut;
e. Keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
Ayat (2): selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris berserta keluarganya dalam perseroan dan/atau pada perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh.
Ayat (3): dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di catat pula setiap perubahan kepemilikan saham.
3. Jenis dan Klasifikasi Saham
a. Jenis Saham
Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas hanya dikenal satu jenis saham yaitu saham atas nama. Hal ini diatur
dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yaitu: saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dan tidak
dikenal lagi adanya saham atas unjuk sebagaimana pernah diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.15
b. Klasifikasi saham
Pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang dikeluarkan pada 16 Agustus 2007 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 106 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756 Tahun 2007 ditentukan ada beberapa klasifikasi saham, sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 ayat (4) yang berbunyi : klasifikasi saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), antara lain :
a. Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris;
c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar
dengan klasifikasi saham lain;
d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau non kumulatif;
e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa
kekayaan Perseroan dalam Likuidasi
Selain dari jenis saham di atas, umumnya saham juga diklasifikasikan
sebagai berikut:16
a. Saham biasa (common stock)
Saham Biasa adalah suatu sertifikat atau piagam yang memiliki fungsi
sebagai bukti pemilikan suatu perusahaan dengan berbagai
aspek-aspek penting bagi perusahaan. Pemilik saham akan mendapatkan hak
untuk menerima sebagaian pendapatan tetap / deviden dari perusahaan
serta kewajiban menanggung resiko kerugian yang diderita
perusahaan.
b. Saham preferen
Saham preferen adalah saham yang pemiliknya akan memiliki hak
lebih dibanding hak pemilik saham biasa. Pemegang saham preferen
akan mendapat dividen lebih dulu dan juga memiliki hak suara lebih
dibanding pemegang saham biasa seperti hak suara dalam pemilihan
direksi sehingga jajaran manajemen akan berusahan sekuat tenaga
untuk membayar ketepatan pembayaran dividen preferen agar tidak
lengser.
4. Pemindahan saham
Pemindahan hak atas saham dilakukan melalui akta pemindahan hak. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan akta pemindahan hak adalah bisa berupa akta yang dibuat di hadapan
Notaris maupun akta bawah tangan. Pada ayat (2) Pasal 56 ditentukan bahwa akta
pemindahan hak tersebut atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada
perseroan.
Tujuan dilakukan pemberitahuan kepada Perseroan adalah untuk dilakukan
pencatatan terhadap perubahan hak yang terjadi pada pemegang saham yang wajib
dicatat oleh Direksi Perseroan sebagaimana diatur pada Pasal 50 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Akan tetapi dalam
untuk saham Perseraon Terbatas yang diperdagangkan di bursa efek atau Pasar
Modal, pemindahan haknya ditentukan menurut ketentuan yang berlaku dalam
undang-undang Pasar Modal, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (3)
yaitu: ketetuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang
diperdagangkan di Pasar Modal, diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal.
Saham dalam sebuah perusahaan dapat dialihkan (transfer) tanpa
mengubah kepemilikan hukum dan bisnis dasar perusahaan. Bagaimanapun,
penjualan saham dalam sebuah perusahaan patungan adalah umum dan tunduk
kepada ketentuan-ketentuan dan pembatasan yang diperlukan. Tidak semua
pengalihan saham dapat dilakukan begitu saja oleh salah satu pihak, melainkan
harus memenuhi ketentuan-ketentuan dan pembatasan yang disepakati.
Pengalihan saham secara langsung akan mengakibatkan berubahnya
komposisi kepemilikan saham, jika saham dialihkan kepada pihak yang sudah
memiliki saham di dalam perusahaan (internal transfer), maka ketentuan yang
sudah ada tidak akan banyak mengalami perubahan, itupun masih tergantung dari
jumlah saham yang di alihkan. Jika jumlah saham yang dialihkan mempengaruhi
dan menyebabkan penggantian kontrol perusahaan, maka akan merubah
perjanjian sebelumnya.
Namun jika pengalihan saham tersebut dialihkan kepada pihak di luar
perusahaan (external transfer), maka hal tersebut menyebabkan masuknya
investor baru ke perusahaan. Ketentuan masuknya investor baru atau pemegang
venture agreement mengandung ketentuan yang membatasi pengalihan saham.
Pendekatan yang dapat diambil dalam pembatasan pengalihan saham diantaranya:
a. Pengalihan saham tidak diperbolehkan tanpa persetujuan para pihak.
b. Pengalihan saham tidak boleh dilakukan dalam periode tertentu,
misalnya selama 3 tahun pertama.
c. Pengalihan saham kepada pihak asing diperbolehkan dangan persyaratan
bahwa pemegang saham baru menyetujui ketentuan-ketentuan bisnis
joint venture company yang telah ditetapkan sebelumnya.
d. Dalam banyak ketentuan joint venture company yang terdiri banyak
pihak, para pihak diberikan hak untuk dapat membeli kembali
saham-saham yang ada terutama saham-saham yang akan dialihkan, sebelum dijual
kepada pihak asing, saham tersebut harus ditawarkan kepada pemegang
saham lainnya terlebih dahulu dengan harga yang telah ditetapkan dan
disetujui.
Untuk melindungi permodalannya, perseroan dapat mengeluarkan ketentuan
pembelian kembali saham yang telah dijual, penjualan saham, penjaminan dan
atau gadai saham. berikut ini salah satu pasal UUPT yang menjelaskan
pemindahan hak atas saham:
Pasal 57
(1) Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu:
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemengang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan; dan/atau
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.17
F. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha
untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan
teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang
digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan
menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.18
1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini
termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan
secara tepat serta menganalisa peraturan perundang - undangan yang berkaitan
dengan larangan terhadap pemegang saham nominee.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.19
Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, Logika keilmuan yang juga dalam
penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara
kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
18 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hal 1.
dokumen terkait dan beberapa buku tentang larangan terhadap pemegang saham
nominee
2. Sumber data
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang.20
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam penelitian ini bahan
hukum primer diperoleh melalui Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, dan peraturan lain yang terkait.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal
hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
4. Analisis data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan
dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan
topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas tinjauan umum terhadap pemegang
saham di Indonesia, yang memuat tentang hak dan kewajiban
pemegang saham, jenis-jenis pemegang saham, dan perlindungan
hukum terhadap pemegang saham.
BAB III: Bab ini akan membahas tentang tinjauan terhadap pemegang
pemegang saham nominee dan perjanjian pemegang saham
nominee.
BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang larangan terhadap pemegang saham
nominee, yang membahas dan menganalisa kedudukan pemegang
saham nominee sebelum adanya larangan oleh
undang-undang-undang dan kedudukan pemegang saham nominee setelah adanya
larangan dalam Undang-undang Penanaman Modal Asing dan
Undang-undang Perseroan Terbatas
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PEMEGANG SAHAM DI INDONESIA
A. Hak dan Kewajiban Pemegang Saham
Saham adalah benda bergerak yang memberikan hak kebendaan bagi
pemiliknya. Hak-hak pemegang saham lahir dari kebendaan tersebut. Saham yang
dimiliki oleh pemegang saham memberikan hak kepada pemegang saham.
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh para pemegang saham antara lain:21
1. Hak Pemegang Saham
a. Hak memesan terdahulu
Dalam undang-undang perseroan terbatas bila perseroan terbatas
menerbitkan saham yang baru, terlebih dahulu ditawarkan kepada
pemegang saham lama.22
b. Hak mengajukan gugatan ke pengadilan
Dalam rangka memenuhi kewajiban Pasal
tersebut, maka pihak manajemen perusahaan menawarkan ke pemegang
saham lama. Sedangkan pihak pemegang saham lama akan melakukan
pemesanan saham yang akan diterbitkan.
Bila pemegang saham melihat tindakan yang dilakukan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham, Komisaris, Direksi dapat membahayakan kelangsungan
PT, maka pemegang saham dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh organ PT tersebut dapat merugikan
pemegang saham. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 UUPT yang
21 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006), hal. 61
mengemukakan, setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan
terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri, apabila dirugikan karena
tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar,
sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, atau Komisaris. Gugatan
semacam ini dinamakan dengan personal rights yang dimiliki oleh setiap
pemegang saham. Selain itu, terdapat juga bentuk gugatan derivative
action, yaitu suatu gugatan berdasarkan atas hak utama (primary rights)
dari perseroan, tetapi dilaksanakan oleh pemegang saham atas nama
perseroan, gugatan mana dilakukan karena adanya suatu kegagalan dalam
perseroan, atau dengan perkataan lain, derivative action merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh para pemegang saham untuk dna atas nama
perseroan.23
c. Hak saham dibeli dengan harga wajar
Ada kemungkinan perseroan akan membeli kembali saham yang telah
dikeluarkan. Bila terjadi hal semacam ini, dalam UUPT dijelaskan bahwa
para pemegang saham berhak mendapatkan harga yang wajar terhadap
saham yang dipegangnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 62 ayat (1)
UUPT, yang mengemukakan bahwa setiap pemegang saham berhak
meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar
apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang
merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:
a. Perubahan anggaran dasar
b. Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai
nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih perseroan
c. Penaggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan.
Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan
dan gadai sahamatau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh
Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara langsung
atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan, kecuali
diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 24
Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihibatas ketentuan
pembelian kembali saham oleh Perseroan, Perseroan wajib mengusahakan
agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.25
d. Hak meminta ke pengadilan negeri menyelenggarakan RUPS
Pada dasarnya penyelenggaraan RUPS dilakukan sekali dalam setahun,
namun dalam hal tertentu, para pemegang saham dapat meminta diadakan
RUPS. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 79 UUPT yakni sebagai berikut:
a. Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya dengan
didahului pemanggilan RUPS
b. Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang
atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/100 (satu
persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara,
kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang kecil atau
dewan komisaris.
24 Pasal 37 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
c. Permintaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
direksi dengan surat tercatat disertai alasannnya.
d. RUPS diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS
membicarkan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan mata acara lainnya yang dipandang perlu
oleh Direksi.
e. RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan
RUPS sebagaimana pada ayat (6) huruf b dan ayat (2) hanya
membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
Jika RUPS belum diselenggarakan sebagaimana layaknya, maka
pemegang saham berhak meminta kepada ketua pengadilan negeri untuk
menyelenggarakan RUPS. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 80 UUPT
sebagai berikut:
a. Ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan perseroan dapat memberikan izin kepada pemohon untuk:
1) Melakukan sendiri pemanggilan RUPS tahunan, atas permohonan
pemegang saham apabila direksi atau komisaris tidak
menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang telah
ditentukan
2) Melakukan sendiri RUPS lainnya, atas permohonan pemegang
saham sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1),
hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS
diterima
3) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat menetapkan bentuk, isi, dan jangka waktu pemanggilan
RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada ketentuan
undang-undang ini atau anggaran dasar.
4) Dalam RUPS yang diselenggarakan ketua pengadilan dapat
memerintahkan direksi dan atau komisaris untuk hadir
5) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan penetapan
instansi pertama dan terakhir
e. Hak menghadiri RUPS
Salah satu hak yang cukup penting bagi pemegang saham adalah
menghadiri RUPS. Dalam Pasal 85 UUPT dijelaskan sebagai berikut:
a. Pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik sendiri maupun
dengan kuasa tertuis, berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak
suaranya
b. Dalam pemungutan suara, anggota direksi, anggota komisaris, dan
karyawan-karyawan perseroan yang bersangkutan dilarang untuk
bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
Saham juga memberikan hak kepada pemiliknya untuk:26
a. Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS
b. Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi
c. Menjalankan hak lainnya berdasarkan undang-undang ini
d. Hak menerima dividen
e. Hak menerima sisa kekayaan perseroan dalam hal perseroan dilikuidasi
Selain mempunyai hak, pemegang saham juga memiliki kewajian yang
harus dijalankan oleh pemegang saham, kewajiban tersebut yaitu:27
2. Kewajiban pemegang saham
a. Kewajiban dalam pengalihan saham
Mengalihkan saham yang dimiliki oleh pemegang saham merupakan hak
dari pemegang saham yang bersangkutan. Hak ini tidak berarti dapat
dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan
anggaran dasar perseroan. Anggaran dasar perseroan dapat menetapkan
kewajiban bagi pemegang saham yang akan mengalihkan sahamnya
terlebih dahulu harus menawarkan saham yang akan dialihkan tersebut
kepada kelompok pemegang saham tertentu atau pemegang saham lain
untuk kepada karyawan melakukan penawaran kepada pihak lain.
Pemegang saham wajib terlebih dahulu meminta persetujuan dari organ
perseroan apabila anggaran dasar menetapkan bahwa pengalihan hak atas
saham harus mendapatkan eprsetujuan dari organ perseroan.
Ketentuan lain yang harus diperhatikan oleh pemegang saham adalah
kewajiban pengalihan saham atas nama dengan mempergunakan akta
pemindahan hak. Akta dimaksud dapat berupa akta di bawah tangan
ataupun akta otentik
b. Kewajiban mengalihkan saham dalam hal pemegang saham kurang dari
dua orang
Pengertian perseroan terbatas dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 mengandung pengertian bahwa perseroan terbatas
terbentuk berdasarkan sebuah perjanjian. Dengan demikian, berarti
dibutuhkan lebih dari satu orang dalam pembentukan sebuah perseroan
terbatas. Atau dengan kata lain saat perseroan didirikan harus terdapat
paling sedikit dua orang pemegang saham. Namun adakalanya bisa terjadi
bahwa setelah perseroan disahkan (memperoleh status badan hukum) salah
seorang atau beberapa pemegang saham mengalihkan sahamnya kepada
pemegang saham lain, sehingga bisa terjadi keadaan dimana hanya satu
orang saja pemegang saham perseroan.28
Apabila terjadi keadaan yang demikian, maka pemegang saham tunggal
tersebut dalam jangka waktu bulan tertentu sejak keadaan tersebut, wajib
mengalihkan sahamnya kepada orang lain. Akibat hukum yang diterima
oleh pemegang saham tunggal tersebut apabila terlampau jangka waktu
enam bulan tersebut adalah pemegang saham tunggal tersebut betanggung
jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan.
Tangung jawab yang demikian tidak terbatas hanya pada besaran saham
yang dimiliki dalam perseroan, tapi juga meliputi harta pribadi pemegang
saham yang bersangkutan.29
c. Tanggung jawab terbatas
28 http://boedexx.blogspot.com/2009_08_01_archive.html. Diakses tanggal 7 Desember 2010.
Ciri utama perseroan terbatas adalah bahwa PT merupakan subjek hukum
yang berstatus badan hukum. Status yang demikian membawa
konsekuensi berupa terbatasnya tanggung jawab para pemegang saham
(limited liability). Prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham
dianut dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, yang
berbunyi:
Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab
atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
a. Persoalan tanggung jawab terbatas pemegang saham ini, pada awalnya
memunculkan kontroversi. Sebagian ahli hukum dan para praktisi
bisnis berpendapat bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para
pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas jumlah saham
yang telah diambilnya. Sebagian ahli hukum dan para praktisi bisnis
berpendapat bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para
pemegang saham ini bersifat mutlak absolute. Artinya dalam segala
keadaan pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas jumlah
saham yang telah diambilnya. Pendapat ini diajukan dengan
pertimbangan bahwa jika pertanggungjawaban terbatas tersebut
bersifat absolute, maka perseroan terbatas sebagai badan hukum belum
b. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata
untuk kepentingan pribadi.
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun secara
tidak langsung melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dengan
demikian, terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup
kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang
saham.
Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab terbatas dari pemegang
saham dikenal dengan prinsip piercing corporate veil.30
Dalam keadaan tersebut diketahui bahwa untuk terjadinya piercing the
corporate veil dipersyaratkan beberapa hal sebagai berikut:
Prinsip ini dalam bahasa
Indonesia selalu diartikan “menyingkap tabir atau cadar perseroan”. Tabir atau
cadar yang disingkap dimaksud adalah diterobosya pertanggungjawaban terbatas
dari pemegang saham yang telah ditetapkan dalm Pasal 3 ayat (1) Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tersebut.
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk
kepentingan pribadi
30 Rudhi Prasetya, Upaya Mencegah Penyalahgunaan Badan Hukum, Serangkaian
Pembahasan Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.
B. Jenis-jenis Kepemilikan Saham dalam Perseroan Terbatas
Pada umumnya setiap orang yang dapat menjadi pendiri suatu perseroan
terbatas dapat menjadi pemegang sahamn perseroan terbatas. Pendiri adalah
mereka yang hadir di hadapan notaries pada saat akta pendirian perseroan terbatas
ditandatangani. Status hukum para pendiri ini akan berubah menjadi pemegang
saham pada saat perseroan terbatas memperoleh status sebagai badan hukum,
yaitu pada saat akta pendirian perseroan terbatas tersebut memperoleh pengesahan
dari Menteri Hukum dan HAM. Dengan demikian, berarti pada saat yang
bersamaan juga, yaitu pada saat perseroan terbatas memperoleh status badan
hukum, saham perseroan sebagai bukti pemilikan pemegang saham dalam
perseroan terbatas memperoleh kedudukan dalam hukum.
Kepemilikan saham dalam perseroan terbatas dapat diklasifikan dalam:
1. Kepemilikan melalui perusahaan kelompok
Perusahaan kelompok dikenal dengan berbagai macam istilah, ada yang
menyebut holding company/ parent company/ controlling company atau dikenal
Perusahaan kelompok adalah perusahaan yang bertujuan untuk memiliki
saham satu atau lebih perusahaan lain dan/ atau mengatur satu atau lebih
perusahaan lain tersebut. Yang lain menyebutnya sebagai satuan ekonomi dimana
badan-badan hukum/ perseroan secara organisasi terkait sedemikian rupa sehingga
mereka berada di bawah satu pimpinan.31
Dalam struktur kepemilikan saham dalam perseroan terbatas,
dimungkinkan pemilikan saham oleh induk perusahaan ke dalam lebih dari satu
anak perusahaan dan selanjutnya, sehingga membentuk suatu kepemilikan
bertingkat yang pada akhirnya bermuara pada suatu perusahaan kelompok dengan
anak perusahaan, cucu perusahaan, dan seterusnya.
Di dalam kedua pengertian tersebut di
atas, pada prinsipnya memiliki poin yang sama dalam aspek ekonomi, dimana
adanya perusahaan sentral yang memimpin anak-anak perusahaan. Perusahaan
sentral tersebut disebut juga dengan induk perusahaan (parent company/
controlling company) yang kegiatan utamanya adalah melaksanakan investasi
pada anak-anak perusahaan dan selanjutnya mengontrol dan mengawasi kegiatan
manajemen anak perusahaan (daughter company) dan juga mengawasi kegiatan
antar anak perusahaan (sister company)
Sebagai suatu perusahaan, perusahaan kelompok dapat merupakan
perusahaan dengan berbagai macam bentuk persekutuan perdata, firma,
persekutuan komanditer sampai dengan perseroan terbatas. Bentuk-bentuk
tersebut bukanlah suatu keharusan, namun dalam praktek bisnis sehari-hari
ditemukan bahwa perusahaan kelompok selalu dibentuk dalam suatu perseroan
terbatas. Dengan status hukum perseroan terbatas maka perusahaan kelompok di
Indonesia tunduk kepada Undang-undang Perseroan Terbatas.
Pada perusahaan kelompok, hubungan antara induk dan anak perusahaan
terjadi karena berbagai sebab antara lain, karena penguasaan saham, karena
perjanjian dan dapat juga terjadi karena fakuta unipersonal/ personnya dimana
anggota direksi perusahaan anak adalah juga anggota direksi pada perusahaan
induk, sehingga kebijakan dalam menjalankan perseroan ada pada perusahaan
induk.32
Beberapa ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas seharusnya
diperhatikan baik oleh induk dan anak perusahaan, yaitu:33
a. Ketentuan mengenai batas-batas kewenangan dan tanggung jawab
direksi, komisaris dan pemegang saham
b. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, akuisisi dan (spin off)
c. Ketentuan mengenai kepemilikan saham
d. Ketentuan mengenai treasury stock
e. Ketentuan mengenai perjanjian penjaminan saham dan jual beli saham.
2. Kepemilikan piramid oleh perseroan
Di samping kepemilikan melalui holding company serikali dalam
kepemilikan saham perseroan terjadi kepemilikan piramid. Kepemilikan pyramid
ini terdiri dari piramid 2 (dua) tingkat dan piramid 3 (tiga) tingkat. Dalam piramid
2 (dua) tingkat, pemegang saham minoritas pengendali memegang saham
pengendali di dalam suatu perusahaan induk (holding company) yang selanjutnya
32 Ningrum N. Sirait, Modul Hukum Perusahaan, Program Studi Magister Ilmu Hukum, (Medan: USU, 2006), hal. 32
memegang saham pengendali (controlling stake) di dalam perusahaan yang
menjalankan operasional (operating company). Di dalam Piramid 3 (tiga) tingkat,
perusahaan induk utama (primary holding company) yang selanjutnya memegang
kendali atas perusahaan induk sekunder (secondtier holding company) yang
selanjutnya memegang kendali atas perusahaan yang menjalankan operasional
(operating company).34
Gunawan Widjaya menyebutkan kepemilikan piramid adalah
pengendalian suatu perseroan oleh pemegang saham minoritas dalam suatu
perusahaan, sekaligus yang juga merupakan pemegang saham pengendali pada
pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut. Dengan kata lain, kepemilikan
piramid adalah kepemilikan saham minoritas oleh induk perusahaan pada cucu
perusahaan dimana saham mayoritasnya dimiliki oleh anak perusahaan dari induk
perusahaan tersebut.35
3. Kepemilikan oleh anak perusahaan
Dalam kepemilikan piramid atau disebut juga piramid
holding, tidak ada hubungan kepemilikan yang bersilang secara horizontal
(horizontal cross holding) pada saham pengendali yang mempunyai kekuatan
pengendali secara terpusat. Karenanya hak suara yang digunakan untuk
mengendalikan kelompok perusahaan tetap didistribusikan ke seluruh anggota gru
bukan terkonsentrasi di tangan satu perusahaan atau pemegang saham.
Undang-undang Perseroan terbatas melarang perseroan untuk
mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri atau dimiliki oleh perseroan lain yang
sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan.36
34 Ibid, hal. 155.
35 Gunawan Widjaja, Hak Individu dan Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 43
Karena pada prinsipnya pengeluaran saham adalah suatu upaya pengumuman
modal karena kewajiban penyetoran saham sudah seharusnya dibebankan kepada
pihak lain.
Selain itu, kepemilikan langsung atau penguasaan langsung oleh perseroan
atas saham-saham miliknya sendiri dapat menciptakan kesewenang-wenangan
dalam perseroan terbatas, oleh karena perseroan terbatas tersebut menjadi tidak
dapat lagi dikontrol dan diawasi.37 Di samping itu, menyatunya pemilikan dan
pengurusan perseroan di bawah satu kendali, yaitu direksi sebagai wakil perseroan
sebagai pemilik dan direksi sekaligus sebagai organ yang melaksanakan fungsi
pengurusan dan perwakilan jelas sangat bertentangan dengan prinsip good
corporate governance, sehingga kepemilikan jenis ini pada umumnya dilarang.38
Kepemilikan sendiri secara langsung ini dapat terjadi karena:39
a. Perseroan mengeluarkan sahamnya untuk diambil bagian dan dimiliki
sendiri
b. Perseroan membeli saham dari pemegang saham yang hendak menjual
sahamnya
c. Suatu peristiwa atau perbuatan hukum, misalnya merger antara anak
perusahan dengan cuaca perusahaan.
Berkaitan dengan konteks pembelian saham, terutama pembelian kembali saham
perseroan, Pasal 37 Undang-undang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa hal
tersebut masih diperbolehkan dengan ketentuan bahwa:
a. Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan
bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang
ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan
b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh
perseroan berikut gadai saam atau jaminan fidusia atas saham yang
dipegang oleh perseroan sendiri dan/ atau perseroan lain yang
sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan,
tidak melebihi 10% dari jumlah yang ditempatkan dalam perseroan,
kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal, dan
c. Hanya boleh dikuasai perseroan paling lama tiga tahun
Pembelian kembali saham oleh perseroan tersebut di atas dan atau
pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal, dengan ketentuan bahwa keputusan RUPS yang memuat persetujuan
tersebut hanya sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan
rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dan/ atau anggaran
dasar. RUPS dapat menyerahkan kewenangan persetujuan pembelian kembali
saham oleh perseroan kepada dewan komisaris untuk jangka waktu paling lama
satu tahun, dan setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama,
namun demikian penyerahan kewenangan tersebut hanya ditarik kembali
sewaktu-waktu oleh RUPS.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tidak ada mengatur mengenai
mengenai larangan kepemilikan silang. Larangan yang terdapat dalam Pasal 29
Undang-undang ini adalah larangan kepada perseroan terbatas untuk
mengeluarkan saham dengan tujuan untuk dimiliki sendiri, dan larangan
kepemilikan saham tersebut juga berlaku bagi anak perusahaan terhadap saham
yang dikeluarkan oleh induk perusahaan. Alasan larangan tersebut berpegang
pada prinsip bahwa pengeluaran saham bertujuan untuk mengumpulkan modal,
karenanya kewajiban penyetoran saham seharusnya dibebankan kepada pihak
lain,40
Menurut undang-undang perseroan terbatas, kepemilikan silang adalah
kepemilikan yang timbul sebagai akibat pengeluaran saham baru untuk dimiliki
anak perusahaan dan atau cucu perusahaan dan seterusnya. Dengan demikian,
berarti dari tiga jenis kepemilikan saham perseroan terbatas oleh anak perusahaan
hanya kepemilikan saham yang timbul sebagai akibat pengeluaran saham baru
saja yang dilarang dengan tegas.
dan alasan mengapa anak perusahaan dilarang memiliki saham yang
dikeluarkan oleh induk perusahaan adalah karena anak dan induk perusahaan
dianggap merupakan satu kesatuan bisnis yang tidak dapat dipisahkan
kepemilikan di antara mereka, baik oleh induk perusahaan maupun anak
perusahaan.
Kepemilikan saham silang melanggar Undang-Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu pada Pasal 36 ayat (1) yang
mengatur mengenai larangan kepemilikan saham silang oleh Perseroan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Sehubungan dengan penjelasan Pasal berkenaan, kepemilikan saham
perseroan oleh anak perusahaan dan atau cucu perusahaan dan seterusnya yang
timbul sebagai akibat peralihan karena hukum dan atau jual beli, hibah dan wasiat
tidak secara eksplisit dikatakan dilarang, namun dengan konsekuensi hukum
bahwa terjadinya kepemilikan silang tidak boleh dibiarkan permanen.41
Ada beberapa alasan yang merupakan penyebab tidak disukainya bentuk
kepemilikan silang, yaitu:
a. Dari sisi permodalan, khusus dalam konteks pengeluaran saham baru,
maka jelas tidak ada setoran modal secara riil yang masuk ke dalam
perseroan
b. Dari sisi manajemen, kepemilikan silang cenderung menyebabkan
terjadinya percampuran antara pemilikan dan pengurusan perseroan,
sehingga dalam hal ini manajemen menjadi tidak lagi independent satu
terhadap lainnya.
5. Kepemilikan oleh Nominee
Secara harfiah, nominee mempunyai dua arti yang berbeda. Pertama,
nominee merujuk pada suatu usulan, atau nominasi kandidat atau calon untuk
menduduki suatu jabatan tertentu, untuk memperoleh suatu penghargaan tertentu,
atau untuk jenis-jenis pencalonan lainnya. Kedua nominee memberikan pengertian
sebagai seseorang yang mewakili kepentingan pihak lain. Dalam pengertian kedua
ini, seorang nominee menjadi pemilik dari suatu benda (termasuk kepentingan
atau hak yang lahir dari suatu perikatan) yang berada dalam pengurusannya,
sedangkan penerima kuasa tidak pernah menjadi pemilik dari benda (termasuk
kepentingan) yang diurus oleh nominee ini.42
Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang hanya
mengenal satu pemegang saham sebagai pemegang saham dalam dominium
ternyata telah mendapatkan terobosannya dalam Undang-undang Pasar Modal,
melalui pranata penitipan kolektif pada lembaga Kustodian, dimana lembaga
kustodian tersebut selanjutnya menjadi pemegang saham terdaftar dalam
perseroan terbatas tersebut. Perjanjian penitipan kolektif yang dibuatkan oleh dan
antara emiten dengan lembaga Kustodian, yang salah satunya adalah Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) yang dalam hal ini diwakili oleh Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI) akan mengatur dengan tegas dan jelas hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang terkait di antara kedua belah pihak, termasuk hak-hak
yang diturunkan dari perjanjian penitipan kolektif tersebut, khususnya yang terkait
dengan hak-hak pemilik rekening dalam penitipankolektif pada LPP tersebut dan
lain seterusnya. Berdasarkan pada perjanjian penitipan kolektif itulah, dapat
dijelaskan, dipahami dan dimengerti mengapa yang tercatat dalam daftar
pemegang saham emiten adalah lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
sedangkan pihak yang berhak hadir dlam rapat RUPS emiten adalah pemegang
“sub” rekening dalam Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Dengan
demikian berarti, selama dan sepanjang diakui oleh undang-undang (khusus) dan
diatur dengan jelas dan tegas pengaturannya dalam perjanjian penunjukan
nominee shareholders, maka keberadaan nominee shareholders tidak perlu
dipersoalkan. Namun demikian, seperti diketahui bahwa hingga saat ini tidak ada
aturan khusus yang mengesampingkan atau memberikan kemungkinan lain terkait
dengan masalah kepemilikan saham mutlak (dominium plenum) oleh pemegang
saham yang terdaftar dalam daftar pemegang saham perseroan terbatas, selain
Undang-undang Pasar Modal dalam bentuk penitipan kolektif, maka jelaslah
keberadaan nominee shareholders, dapat dikatakan belum diakui keberadaannya di
Indonesia. Undang-undang PT hanya mengenal satu orang pemegang saham
dengan segala hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab yang melekat padanya
sebagai pemegang saham mutlak (dominium plenum).43
6. Kepemilikan tunggal
Sebagaimana Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas
menyebutkan bahwa perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih…., maka
diketahui bahwa pada dasarnya perseroan terbatas didirikan berdasarkan
perjanjian yang diperjelas pula oleh Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perseroan
Terbatas, dimana di dalam perjanjian tersebut minimal terdapat dua orang/ pihak
yang eksistensinya harus tetap dipertahankan oleh perseroan tersebut selama
perseroan terbats berdiri.
Terhadap kemungkinan terjadinya pemilikan perseroan oleh hanya satu
orang/ pihak atau terjadinya pemilikan tunggal setelah perseroan berdiri, jika
perseroan yang berdiri belum memperoleh pengesahan dari menteri hukum dan
HAM, maak selama pendiri belum memperoleh pihak lain sebagai pasangan
perjanjiannya, maka ia tidak akan pernah memperoleh pengesahan sebagai badan
hukum dan otomatis ia juga tetap dianggap sebagai usaha perseorangan dengan
tanggung jawab pribadi dari satu-satunya pendiri dan atau pihak lain yang
mengambil alih seluruh penyertaan pendiri.
Apabila perseroan telah berstatus badan hukum dan pihak pemegang
sahamnya menjadi satu orang saja, maka Pasal 7 ayat (5) Undang-undang
Perseroan Terbatas mengharapkan pemegang saham tersebut dalam waktu paling
lama enam bulan terhitung sejak keadaan ia menjadi pemegang saham tunggal,
wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau perseroan
mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
Jadi, undang-undang perseroan terbatas memungkinkan suatu perseroan
yang berbadan hukum dengan satu pemegang saham, untuk masa waktu maksimal
enam bulan saja, tetapi ketika keadaan ini terjadi, otomatis tanggung jawab
perseroan terbatas akan digantikan oleh tanggung jawab pribadi pemegang saham
terhadap berbagai bentuk kerugian perseroan dan prinsip piercing the corporate
veil bagi pemegang saham perseroan berlaku dalam hal ini, tetapi terhitung sejak
lewat masa enam bulan yang diizinkan oleh UUPT.
Konsekuensi lain dari pemilikan tunggal adalah dapat menyebabkan
dibubarkannya perseroan tersebut oleh pengadilan negeri atas permohonan pihak
yang berkepentingan, termasuk kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang
saham, direksi, dewan komisaris, karyawan perseroan, kreditur dan/ atau
pemangku kepentingan (shareholder) lainnya.
Pengecualian terhadap pemilikan tunggal terdapat dalam ketentuan Pasal 7
ayat (7) yang mengizinkan perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara
dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,
dalam undang-undang tentang pasar modal untuk didirikan oleh satu orang saja,
dan tentu saja prinsip piercing the corporate veil tidak berlaku di sini.
C. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham
Dengan diberlakukannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, maka setiap Pemegang Saham mempunyai hak satu suara, kecuali
anggaran dasar menentukan lain. Pemegang saham mempunyai hak suara sesuai
dengan jumlah saham yang dimiliki (one share one vote).44
Dasar Hukum perlindungan terhadap pemegang saham ini terdapat dalam
Pasal 84 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga
dapat disimpulkan bahwa UU PT ini tidak membatasi kekuatan Pemegang saham
dalam jumlah yang besar dalam perolehan hak suara yang diperoleh, seperti yang
tercantum dalam Pasal 54 KUHD.
Berikut Pasal-Pasal yang terkait dengan perlindungan pemegang saham:
1. Pasal 3 tentang tanggung jawab pemegang saham
Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 maka, Pemegang saham bertanggungjawab
hanya sebatas setoran atas seluruh saham yang dimiliki dan tidak sampai
bertanggungjawab sampai harta pribadi dari pemegang saham
2. Pasal 60 ayat 4 tentang gadai saham
Adanya Prinsip perlekatan antara kepemilikan saham dengan hak suara,
maksunya walupun saham telah digadaikan, maka hak suara tetap berada
dalam pemgang saham bukan pemegang hak fidusia. Sehingga
memberikan perjanjian tertentu yaitu voting agreement yang merupakan
voting persetujuan oleh pihak pemegang saham yang dilakukan di dalam