• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Pemegang Saham Pengendali Dalam Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Pemegang Saham Pengendali Dalam Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DALAM

STRUKTUR KEPEMILIKAN BANK DI INDONESIA

TESIS

Oleh

DELLA MARIA NOVITA PANJAITAN

077005067/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Kemudahan untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya telah membuat jumlah bank berkembang sangat pesat sehingga jumlahnya melebihi kapasitas bank sentral untuk dapat melakukan pengawasan secara intensif dan mendetail sehingga terjadi kerawanan dalam struktur perbankan Indonesia. Efektivitas pengawasan berkaitan erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat kritis dalam mencapai praktek perbankan yang sehat. Kepemilikan bank secara mayoritas memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Keberadaan Single

Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia bertujuan mewujudkan konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank sehingga tercapailah sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia. Pokok dari Single Presence Policy adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada satu bank.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, mengapa kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia menjadi penting? Kedua, bagaimanakah keberadaan Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal dalam memperkuat perbankan di Indonesia? Ketiga, bagaimanakah kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia setelah keluarnya Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan bersifat deskriptif analitis. Metode yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang ada.

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pertama, Pemegang saham pengendali bersama direksi dan pejabat eksekutif bank merupakan penanggung jawab utama untuk menjaga bank tetap sehat dan kuat. Secara bersama pemilik dan pengurus bank harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman. Kehadiran pengendali dalam struktur kepemilikan bank mempunyai peranan besar, pengendali mempunyai kemampuan dalam memonitor dan mendisiplinkan manajemen. Hal ini dapat memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah utama seputar corporate governance yang timbul akibat tindakan buruk yang dilakukan pihak manajemen, khususnya yang menimbulkan kerugian bagi para pemegang saham publik. Kedua, Single Presence

Policy dikeluarkan sebagai implementasi dari program Arsitektur Perbankan

(3)

Fungsi Pengawasan dengan tujuan untuk mencapai proses konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga juga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan bank. Upaya mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas pengawasan bank, khususnya consolidated bank supervision, dilakukan Bank Indonesia pada aspek permodalan dan juga pada aspek kepemilikan. Pada aspek permodalan, peningkatan modal bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sistem perbankan. Pada aspek kepemilikan, dilakukan dengan menata kembali struktur kepemilikan bank umum yakni melalui penerapan kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence Policy. Ketiga, Sejak mulai diberlakukannya PBI No: 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia, kepada pihak-pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya. Beberapa alternatif cara penyesuaian kepemilikan saham diberikan dengan mengacu pada tujuan Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank dengan tetap memperhatikan kepentingan para Pemegang Saham Pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia Opsi atau pilihan yang diberikan kepada Pemegang Saham Pengendali dalam melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya antara lain: (a) Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) bank; atau (b) Melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya atau (c) Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dengan cara: (1) Mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company atau (2) Menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company. Pilihan mana yang ditetapkan tentunya harus berdasarkan keputusan bisnis, artinya opsi yang sejalan dengan strategi pengembangan usaha.

(4)

ABSTRACT

Facility to establish a bank and the other finance institutions has rapidly made the number of existing banks exceeds the capacity of central bank to intensively control the existing banks in detail that it resulted in the unsafe structure of Indonesia banking. The effectiveness of control is closely related to the pattern and structure of bank ownership. This is something critical in obtaining a healthy banking practice. Majority bank ownership may result in the too much intervention of the owner in the bank management. The existence of Single Presence Policy issued by Bank Indonesia in the regulation of Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 on single ownership in Indonesian Banking is intended to materialize banking consolidation and the increase of bank control effectiveness that a healthy, strong and efficient banking system which meets the vision of Indonesian banking Architecture can be achieved. The main point of Single Presence Policy is a condition in which only one party becomes the Leading Stockholder in a bank.

The research problem to be answered in this thesis were, first, why the position of Leading Stockholder in the structure of bank ownership in Indonesia becomes important; second, how the Single Presence Policy strengthens the Indonesian banking; and third, what position the Leading Stockholder holds in the structure of bank ownership in Indonesia after the issuance of the Single Presence Policy.

This study employed a normative juridical method with descriptive analytical approach to analyze the research problems by approaching the legal principles and referring to the existing legal norms.

(5)

consolidation and support the effectiveness of bank control, especially the consolidated bank supervision, was done by Bank Indonesia in the aspect of capitalization as well as the aspect of ownership. In the aspect of capitalization, the increase of bank capital is one of the attempts to strengthen the banking system. In the aspect of ownership, the structure of public bank ownership is restructured based on the Single Presence Policy. Third, since the activation of the regulation of Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 on Single Presence Policy in Indonesian Banking, the parties who have become the leading stockholder for more than 1 (one) bank is required to amend the structure of their stockholding in the banks under their control. Several alternatives to amend their structure of their stockholding were given based on the objective of Single Presence Policy such as banking consolidation and the improvement of the effectiveness of bank control by keeping paying attention to the interest of the Leading Stockholders who have invested their capital in the Indonesian banks. The options given to the Leading Stockholders in amending the structure of their stockholding, among other things, (a) To transfer part or all of the share he/she owns in one or more banks he/she controls to the other parties that he/she is only the Leading Stockholder in one bank only; or (b) To merge or consolidate the banks he/she controls; or (c) To establish a bank holding company through (1) establishing a new corporate body as a Bank Holding Company or (2) appointing one of the banks he/she controls to act as a Bank Holding Company. Either option decided must be based on a business decision meaning the option must in line with the strategy of business development.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala berkat dan kasih karuniaNya sehingga semua proses penulisan tesis ini dapat

penulis selesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan

dari berbagai pihak, baik itu bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh karena itu,

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

Msc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan,

pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut

ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing

dan Dr. Zulkarnain Sitompul, SH,LLM serta Dr. Mahmul Siregar, SH,

M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian

telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta

kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam

(7)

4. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, dan Dr. Utari Maharani Barus, SH, MHum,

selaku penguji tesis penulis;

5. Seluruh Dosen penulis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitaas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu

serta motivasi dalam setiap perkuliahan;

6. Kedua orang tua tercinta, Ir. Effendy Panjaitan dan R. Tampubolon, terima

kasih atas semua doa, kasih sayang dan dukungan yang tidak pernah ada

hentinya untuk penulis;

7. Saudara-saudaraku tercinta, Deddy Leonard Marolop Panjaitan, ST, MT dan

Danny Riaunita Magdalena Panjaitan, S.IP, atas semua doa, dorongan,

semangat dan penghiburan dikala susah;

8. Ipda. Hans Philip Samosir, SH, atas semua doa, perhatian, kesabaran, dan

dukungan yang selalu menyemangati penulis;

9. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2007 Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kerja sama dan

pertemanan yang berharga;

10. Seluruh Staf Pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala bantuan serta kemudahan

(8)

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan dibalas oleh Tuhan

Yang Maha Baik. Akhir kata Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang memerlukan dan mengembangkannya. Terima kasih.

Medan, September 2010

Penulis

DELLA M.N.PANJAITAN

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Della Maria Novita Panjaitan

Tempat/Tgl. Lahir : Tanjung Morawa/ 15 Nopember 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Menikah

Pendidikan : - SD St. Antonius 5 Medan (1989-1995)

- SMP Tri Sakti 1 Medan (1995-1998)

- SMU Negeri 5 Medan (1998-2001)

- Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara (2001-2005)

- Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………. iii

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……… viii

DAFTAR ISI………. xi

BAB I: PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah……… 13

C. Tujuan Penelitian……… 13

D. Manfaat Penelitian……….. 14

E. Keaslian Penelitian……….. 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori... 16

2. Landasan Konsepsi... 23

G. Metode Penelitian... 25

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 25

2. Sumber Data... 26

3. Teknik Pengumpulan Data... 28

(11)

BAB II: STRUKTUR KEPEMILIKAN BANK DI INDONESIA 29

A. Struktur Kepemilikan Bank... 29

B. Potensi Konflik Dalam Struktur Kepemilikan... 39

C. Pemegang Saham Pengendali

Dalam Struktur Kepemilikan Bank... 48

BAB III: KEBIJAKAN KEPEMILIKAN TUNGGAL

(SINGLE PRESENCE POLICY) OLEH

BANK INDONESIA……… 53

A. Pengertian Single Presence Policy

Dan Ruang Lingkupnya………. 53

B. Single Presence Policy Dalam Arsitektur

Perbankan Indonesia……….. 58

C. Prinsip-Prinsip Pengawasan Bank Yang Efektif……. 70

D. Kesahatan Bank... 79

BAB IV: KEDUDUKAN PEMEGANG SAHAM PENGENDALI

DALAM STRUKTUR KEPEMILIKAN BANK DI

INDONESIA... 86

A. Kedudukan Pemegang Saham Pengendali Dalam Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia

Setelah Keluarnya Single Presence Policy... 86

B. Bank-Bank Di Indonesia Yang Telah Menerapkan

Single Presence Policy……….. 110

C. Opsi Pemerintah Sebagai Pemegang Saham

(12)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……….. 120

A. Kesimpulan……… 120

B. Saran……… 122

(13)

ABSTRAK

Kemudahan untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya telah membuat jumlah bank berkembang sangat pesat sehingga jumlahnya melebihi kapasitas bank sentral untuk dapat melakukan pengawasan secara intensif dan mendetail sehingga terjadi kerawanan dalam struktur perbankan Indonesia. Efektivitas pengawasan berkaitan erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat kritis dalam mencapai praktek perbankan yang sehat. Kepemilikan bank secara mayoritas memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Keberadaan Single

Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia bertujuan mewujudkan konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank sehingga tercapailah sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia. Pokok dari Single Presence Policy adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada satu bank.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, mengapa kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia menjadi penting? Kedua, bagaimanakah keberadaan Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal dalam memperkuat perbankan di Indonesia? Ketiga, bagaimanakah kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia setelah keluarnya Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan bersifat deskriptif analitis. Metode yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang ada.

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pertama, Pemegang saham pengendali bersama direksi dan pejabat eksekutif bank merupakan penanggung jawab utama untuk menjaga bank tetap sehat dan kuat. Secara bersama pemilik dan pengurus bank harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman. Kehadiran pengendali dalam struktur kepemilikan bank mempunyai peranan besar, pengendali mempunyai kemampuan dalam memonitor dan mendisiplinkan manajemen. Hal ini dapat memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah utama seputar corporate governance yang timbul akibat tindakan buruk yang dilakukan pihak manajemen, khususnya yang menimbulkan kerugian bagi para pemegang saham publik. Kedua, Single Presence

Policy dikeluarkan sebagai implementasi dari program Arsitektur Perbankan

(14)

Fungsi Pengawasan dengan tujuan untuk mencapai proses konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga juga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan bank. Upaya mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas pengawasan bank, khususnya consolidated bank supervision, dilakukan Bank Indonesia pada aspek permodalan dan juga pada aspek kepemilikan. Pada aspek permodalan, peningkatan modal bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sistem perbankan. Pada aspek kepemilikan, dilakukan dengan menata kembali struktur kepemilikan bank umum yakni melalui penerapan kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence Policy. Ketiga, Sejak mulai diberlakukannya PBI No: 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia, kepada pihak-pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya. Beberapa alternatif cara penyesuaian kepemilikan saham diberikan dengan mengacu pada tujuan Single Presence Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank dengan tetap memperhatikan kepentingan para Pemegang Saham Pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia Opsi atau pilihan yang diberikan kepada Pemegang Saham Pengendali dalam melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya antara lain: (a) Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) bank; atau (b) Melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya atau (c) Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dengan cara: (1) Mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company atau (2) Menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company. Pilihan mana yang ditetapkan tentunya harus berdasarkan keputusan bisnis, artinya opsi yang sejalan dengan strategi pengembangan usaha.

(15)

ABSTRACT

Facility to establish a bank and the other finance institutions has rapidly made the number of existing banks exceeds the capacity of central bank to intensively control the existing banks in detail that it resulted in the unsafe structure of Indonesia banking. The effectiveness of control is closely related to the pattern and structure of bank ownership. This is something critical in obtaining a healthy banking practice. Majority bank ownership may result in the too much intervention of the owner in the bank management. The existence of Single Presence Policy issued by Bank Indonesia in the regulation of Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 on single ownership in Indonesian Banking is intended to materialize banking consolidation and the increase of bank control effectiveness that a healthy, strong and efficient banking system which meets the vision of Indonesian banking Architecture can be achieved. The main point of Single Presence Policy is a condition in which only one party becomes the Leading Stockholder in a bank.

The research problem to be answered in this thesis were, first, why the position of Leading Stockholder in the structure of bank ownership in Indonesia becomes important; second, how the Single Presence Policy strengthens the Indonesian banking; and third, what position the Leading Stockholder holds in the structure of bank ownership in Indonesia after the issuance of the Single Presence Policy.

This study employed a normative juridical method with descriptive analytical approach to analyze the research problems by approaching the legal principles and referring to the existing legal norms.

(16)

consolidation and support the effectiveness of bank control, especially the consolidated bank supervision, was done by Bank Indonesia in the aspect of capitalization as well as the aspect of ownership. In the aspect of capitalization, the increase of bank capital is one of the attempts to strengthen the banking system. In the aspect of ownership, the structure of public bank ownership is restructured based on the Single Presence Policy. Third, since the activation of the regulation of Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 on Single Presence Policy in Indonesian Banking, the parties who have become the leading stockholder for more than 1 (one) bank is required to amend the structure of their stockholding in the banks under their control. Several alternatives to amend their structure of their stockholding were given based on the objective of Single Presence Policy such as banking consolidation and the improvement of the effectiveness of bank control by keeping paying attention to the interest of the Leading Stockholders who have invested their capital in the Indonesian banks. The options given to the Leading Stockholders in amending the structure of their stockholding, among other things, (a) To transfer part or all of the share he/she owns in one or more banks he/she controls to the other parties that he/she is only the Leading Stockholder in one bank only; or (b) To merge or consolidate the banks he/she controls; or (c) To establish a bank holding company through (1) establishing a new corporate body as a Bank Holding Company or (2) appointing one of the banks he/she controls to act as a Bank Holding Company. Either option decided must be based on a business decision meaning the option must in line with the strategy of business development.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perekonomian dunia yang mengglobal telah menciptakan kondisi saling

ketergantungan ekonomi antar negara, dan cenderung menimbulkan proses penyatuan

aktivitas ekonomi baik di sektor riel maupun di sektor keuangan, sehingga batas-batas

antar negara dalam berbagai praktik kegiatan ekonomi tersebut seakan-akan tidak

berlaku lagi.1 Para ahli ekonomi dan keuangan sependapat bahwa arus globalisasi

ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang

finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak pada pengelolaan

ekonomi Indonesia.2

Selama dekade 80-an hampir semua negara di Asia, termasuk juga Indonesia

melakukan liberalisasi sistem keuangannya sebagai tuntutan dari globalisasi

ekonomi.3 Implikasi dari liberalisasi keuangan ini adalah tersedianya banyak pilihan

bagi masyarakat akan jasa-jasa keuangan dan tuntutan akan kualitas sumber daya

1

Sebagai motor penggerak globalisasi ekonomi ini adalah “sistem persaingan”, yang oleh sebagian pihak dianggap akan dapat menghasilkan perbaikan kualitas pemenuhan kebutuhan dan pelayanan bagi para pelaku ekonomi di negara-negara yang terlibat. Marsuki, Analisis Perekonomian Nasional &Internasional, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2005), hal. 207.

2

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: BooksTerrace & Library:2007), hal.2.

3

(18)

manusia serta persaingan yang semakin ketat. Secara umum liberalisasi keuangan

yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi melalui pemberian peran

yang lebih besar pada kekuatan pasar dan direfleksikan dengan pelonggaran aturan

seperti kemudahan bagi masuknya modal asing dan penetapan nilai tukar yang lebih

luwes.4

Titik awal liberalisasi ekonomi Indonesia adalah saat dikeluarkannya

Deregulasi Juni 1983. Saat itulah diluncurkan deregulasi perbankan yang pertama

kali bersamaan dengan restrukturisasi ekonomi secara keseluruhan, terutama untuk

memperbaiki sektor keuangan dan sektor produktif riil yang berorientasi ekspor.5

Dalam deregulasi ini terdapat penekanan peningkatan peran swasta untuk

menggantikan sebagian besar peran pemerintah. Sejalan dengan strategi ini maka

kebijakan-kebijakan dibidang perekonomian difokuskan pada upaya mendorong

tumbuhnya industri-indusrti baru, yang sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta.

Kemudian dalam rangka mendorong, mempertahankan, dan memelihara

kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta perluasan kesempatan

kerja, maka pada Oktober 1988 pemerintah kembali mengambil langkah kebijakan

lanjutan yang dikenal dengan Pakto 88.6 Kebijakan ini membuka jalan bagi

perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dengan memberi kemudahan

4

HLB Hadori & Rekan, BI dan BLBI: Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum, (Jakarta: Bank Indonesia, 2002), hal. 9.

5 Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta: Mardi Mulyo, 2000), hal. 43.

6

(19)

mendirikan bank, membuka kantor cabang dan memperluas instrumen pengerahan

dana masyarakat. Kewajiban likuiditas minimum setiap bank diturunkan dari 15%

menjadi hanya 3% saja, dimana hal ini berhasil mengundang para pemilik modal

untuk mendirikan sejumlah besar bank baru. Akibatnya pertumbuhan bank baik dari

sisi jumlah bank, volume usaha, kredit yang diberikan dan dana masyarakat yang

dihimpun mengalami perkembangan pesat.7

Deregulasi ini bertujuan meningkatkan kemampuan dunia perbankan dan

sektor keuangan pada umumnya dalam menunjang perkembangan dunia usaha. Hal

ini menunjukkan bahwa perbankan merupakan lembaga yang amat penting baik

ditinjau dari segi peranannya sebagai sarana pelaksanaan kebijakan moneter maupun

sebagai lembaga pembiayaan dalam keseluruhan mata rantai proses pembangunan

nasional.8 Peran perbankan sangat menentukan bagi pertumbuhan perekonomian

negara, karena dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi melalui liabilitas dan

aset.9

Kenyataan yang kemudian dihadapi bahwa keleluasaan yang diberikan

melalui deregulasi tidak dibarengi dengan peningkatan profesionalisme dan integritas

dari pemilik dan pengurus bank yang sebagian besar merupakan kelompok-kelompok

bisnis besar. Liberalisasi telah memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepat,

7

Pertumbuhan pesat dialami oleh bank umum swasta nasional, bank asing, dan campuran serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Secara nasional jumlah bank sebelum Pakto 88 diluncurkan baru mencapai 111 bank, tetapi pada akhir 1997 jumlahnya menjadi dua kalinya atau sebanyak 222 bank, bahkan pada akhir 1995 jumlah bank pernah mencapai 240 bank. Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, Op.Cit, hal .45.

8

Aulia Pohan,Op.Cit, hal. 180. 9

(20)

sehingga juga memberikan peluang untuk masuknya individu yang tidak bermutu ke

dalam bisnis perbankan.10 Telah menjadi fakta bahwa bank-bank hanya dijadikan

kendaraan untuk menggelembungkan konglomerasi usaha. Sejumlah bank yang

tumbuh dan berkembang tidak lepas dari kepentingan bisnis pemiliknya, sehingga

tidak ada ruang yang memadai untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi perbankan.

Kondisi perbankan nasional akhirnya malah semakin buruk karena besarnya

kredit macet ( non performing loans) akibat kurang hati-hati dalam menyalurkan

dana. Meningkatnya kredit macet itu antara lain juga disebabkan pelanggaran batas

maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang dilakukan oleh pengelola

bank.11 Perbankan yang dikuasi oleh kelompok usaha memungkinkan terjadinya

praktik penyaluran kredit kepada perusahaan yang merupakan anggota kelompok

usaha bank tersebut. Pemberian kredit kepada kelompok usahanya sendiri tersebut

sering kali tidak diiringi dengan penyediaan jaminan yang memadai.12 Dalam kondisi

seperti ini bank telah kehilangan fungsi utamanya sebagai lembaga perantara

keuangan (financial intermediary)13, yang seharusnya bertindak netral.

Kemudahan untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya telah

membuat jumlah bank berkembang sangat pesat sehingga jumlahnya melebihi

kapasitas bank sentral untuk dapat melakukan pengawasan secara intensif dan

10

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 55.

11

Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, Op.Cit, hal. 8. 12

Ibid, hal. 6. 13

(21)

mendetail sehingga terjadi kerawanan dalam struktur perbankan Indonesia.14

Walaupun pada satu sisi kebijakan deregulasi perbankan digunakan sebagai

instrumen untuk membuka partisipasi swasta setelah daya dorong pertumbuhan

sektor pemerintah melemah, namun pada sisi lainnya ketika fondasi institusi

pendukungnya lemah dan pengawasan tidak memadai, maka liberalisme perbankan

tersebut menjadi bumerang dan ikut berperan besar menyumbang terjadinya krisis

moneter di Indonesia.15

Cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian

global ternyata tidak mampu diikuti oleh infrastruktur perekonomiannya. Perangkat

kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum tertata

dengan baik.16 Dinamisme perekonomian yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya

disertai dengan upaya untuk menata pengalaman dunia usaha dan menciptakan

penyelenggaraaan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada kurangnya

transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.

Soedrajad Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa

para ahli telah membagi krisis 1997 menjadi dua kelompok. Pertama, pendapat yang

menyebutkan bahwa krisis sebagai suatu kepanikan finansial yang melanda banyak

14

Situasi ini berdampak langsung kepada besaran ketidakseimbangan dalam perkembangan kredit, dimana kredit menumpuk pada sektor tertentu khususnya property yang memiliki risiko sangat tinggi. Demikian pula dengan pelanggaran batas minimum pemberian kredit kepada pemilik dan kelompok usaha milik bank baik yang nyata maupun yang terselubung. Selain itu juga konsentrasi pinjaman luar negeri menjadi meningkat sangat tajam yang sangat berisiko terhadap gejolak nilai tukar. HLB Hadori &Rekan, Op.Cit, hal. 10.

15

H. As. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal. 88.

16

(22)

negara di dunia melalui proses penularan. Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa

krisis sebagai akibat dari kelemahan fundamental ekonomi nasional karena

pelaksanaan kapitalisme kroni yang mengandung banyak kelemahan struktural.

Selanjutnya Soedrajad mengatakan bahwa timbulnya krisis merupakan kombinasi dua

unsur yang bekerja secara bersamaan, yakni unsur eksternal berupa kepanikan

keuangan dan lemahnya ekonomi nasional, baik sektor perbankan maupun sektor

riil.17

Krisis perbankan yang terjadi pada tahun 1997 tersebut telah memberikan

pelajaran akan pentingnya menciptakan industri perbankan nasional yang memiliki

ketahanan dan kemampuan yang memadai untuk menghadapi berbagai macam

gejolak eksternal. Dalam rangka menghadapi segala perubahan dan tantangan

tersebut, perbankan nasional perlu mempersiapkan segala sesuatunya agar memiliki

ketahanan yang kuat dalam menghadapi berbagai macam perubahan serta memiliki

daya saing yang sehat dan wajar baik di pasar nasional maupun internasional.18

Industri perbankan nasional memerlukan adanya suatu kerangka acuan

bagaimana perbankan nasional mampu mengatasi segala perubahan dan tantangan

serta arah yang hendak dicapai di masa yang akan datang. Kerangka acuan tersebut

diwujudkan oleh Bank Indonesia pada awal tahun 2004 dengan mengeluarkan cetak

biru (blue print) perbankan nasional yang bersifat menyeluruh dan dapat dipakai

17

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002), hal. 58.

18

(23)

sebagai acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam industri perbankan dan dikenal

dengan nama Arsitektur Perbankan Nasional (API) .19

Bank Indonesia menyatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi

kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam

menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, sekaligus menjadi

arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun

waktu yang cukup panjang.20 Dapatlah dikatakan bahwa API merupakan suatu

blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, dimana isi dokumennya

menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti

kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya.

Penegakan API di Indonesia sesungguhnya juga berjalan seiring dengan

wacana arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank For Settlement (BIS).

BIS adalah organisasi internasional yang memprakarsai dan memfasilitasi kerjasama

antar bank sentral berbagai negara ditambah dengan beberapa organisasi

internasional.21 BIS memiliki komite khusus yaitu suatu komite pengawas perbankan

yang disebut The Basle Committee on Banking Supervision. Komite tersebut

mempunyai tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan Prinsip-prinsip

19

Istilah “Arsitektur Perbankan” digunakan oleh Bank Indonesia karena dianggap memberikan nuansa yang bersifat komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang diinginkan sampai waktu yang akan datang. Ada banyak istilah lain yang memiliki pengertian serupa dengan arsitekur perbankan, serta kerap kali dipergunakan dalam analisis oleh para ahli atau pengamat perbankan. Istilah tersebut anatara lain: blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, dan pemetaan perbankan. Awawil Rizky, Nasyith Majidi, Bank Bersubsidi Yang Membebani, (Jakarta: E Publishing, 2008) hal. 17.

20

Ibid, hal. 152. 21

(24)

Pengawasan Bank Yang Efektif yang semuanya berjumlah 25 Butir (25 Core

Principles For Effective Banking Supervision). Prinsip-prinsip ini pada dasarnya

merupakan standar minimum yang digunakan sebagai referensi atau acuan dasar

dalam melaksanakan pengawasan bank bagi otoritas pengawas perbankan secara

internasional.22

Sebagai sebuah rancangan bentuk industri perbankan yang ingin dicapai di

masa depan, API memuat berbagai program yang terfokus pada upaya pembentukan

industri perbankan melalui langkah-langkah penguatan pada semua sendi-sendi

fundamental. Penguatan aspek kelembagaan, penyiapan infrastruktur pendukung,

peningkatan pelaksanaan fungsi perbankan dalam melayani masyarakat, peningkatan

kemampuan institusi dan sumber daya, peningkatan kualitas pengawasan dan

pengaturan perbankan, sampai dengan menarik peran serta masyarakat dalam

menjaga ketahanan dan daya saing perbankan.23

Visi API adalah untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan

efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu dan

mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam rangka mewujudkan visinya, API

menetapkan 6 pilar sasaran yang ingin dicapai dan diimplementasikan dalam

program-program, sebagai berikut:24

22

Dahlan Siamat, Op.Cit., hal. 197 23

Burhanuddin Abdullah, “Arah Kebijakan Perbankan”, dalam:

http://www.bexi.co.id/images/_res/perbankan-Arah%20Kebijakan%20Perbankan.pdf. Diakses pada tanggal 20 November 2008.

24

Bank Indonesia, “Arsitektur Perbankan Indonesia (API)”, 2004, dalam:

(25)

1. Program penguatan struktur perbankan nasional

2. Program peningkatan kualitas pengaturan perbankan

3. Program peningkatan fungsi pengawasan

4. Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional

5. Program pengembangan infrastruktur perbankan

6. Program peningkatan perlindungan nasabah

Berkaitan dengan implementasi program API tersebut, Bank Indonesia telah

mengambil langkah-langkah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan

merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan yang sehat dan

kuat. Dilaksanakannya konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi

sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan bank. Dalam rangka

konsolidasi dilakukan penataan kembali srtuktur kepemilikan bank yang

dimaksudkan untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat sehingga mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi yang

berkesinambungan.25

Langkah penguatan struktur perbankan yang ditempuh melalui kebijakan

konsolidasi antara lain dengan peningkatan modal bank. Kondisi permodalan yang

kuat membuat bank dapat mengemban risiko yang tinggi. Itulah sebabnya kecukupan

modal tetap merupakan fokus utama regulator dalam menciptakan bank yang sehat

25

(26)

dan aman. Untuk meningkatkan permodalan bank, Bank Indonesia menetapkan

ketentuan agar bank umum meningkatkan modal inti menjadi minimal Rp 80 Milyar

pada Desember 2007 dan minimal Rp 100 Milyar pada Desember 2010.26

Selain memperhatikan peningkatan aspek permodalan, untuk mendorong

konsolidasi dan mendukung efektivitas pengawasan, khususnya consolidated bank

supervision,27 juga dilakukan dengan penataan struktur kepemilikan perbankan. Berkaitan dengan hal ini, Bank Indonesia pada tanggal 5 Okteber 2006

mengumumkan Paket Kebijakan Perbankan Otober 2006, dimana salah satu isi

kebijakannya adalah penerapan Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single

Presence Policy (SPP) yang dituangkan dalam Peraturan Bank Inonesia

No.8/16/PBI/2006. 28

Pokok kebijakan SPP ini adalah bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi

Pemegang Saham Pengendali (PSP) pada 1 (satu) bank umum di Indonesia.29

Bank-bank diberi waktu untuk menyesuaikan struktur kepemilikan sampai dengan akhir

26

Peraturan Bank Indonesia No. 7/15/PBI/2005 Tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum jo Peraturan Bank Indonesia No. 9/16/PBI/2007 tentang Perubahan Atas PBI No. 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum

27

Consolidated Bank Supervision adalah pengawasan bank secara konsolidasi, baik downstream dengan anak perusahaan maupun upstream hingga ke perusahaan induk. Metode pengawasan bank secara consolidated supervision merupakan tambahan dari metode pengawasan bank secara solo (solo-basis) yang umumnya dilakukan oleh otoritas pengawas. Melalui metode tersebut, otoritas pengawas turut memperhitungkan potensi risiko yang ada di anak perusahaan dan perusahaan induk dari bank. Bank Indonesia, ”Glosari Laporan Pengawasan Perbankan 2007”, dalam

http://www.scribd.com/doc/6455650/Bank-Indonesia-Laporan-Pengawasan-Perbankan-2007. Diakses tanggal 20 Maret 2009.

28

Bank Indonesia, “Kebijakan Baru Mendorong Intermediasi dan Konsolidasi Perbankan”, Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat, 2006, dalam

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A185B4F2-C181-4F03-A93C-46731FBE841B/10536/Boks2.pdf. Diakses tanggal 5 Maret 2009.

29

(27)

Desember 2010. Pada prinsipnya SPP pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk

kepemilikan saham bank oleh PSP yang diperolehnya setelah berlakunya ketentuan

ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut ,

maka PSP bank yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank umum pada saat

berlakunya ketentuan ini wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan

sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya.30

Kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan saham bank memberikan

beberapa alternatif yang dapat dipilih oleh pihak-pihak yang telah menjadi PSP pada

lebih dari satu bank, antara lain:31

a. Mengalihkan sebagian sahamnya atau seluruh kepemilikan sahamnya pada

salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga

yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu)

bank; atau

b. Melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya,

atau

c. Membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (Bank Holding Company)

dengan cara:

1) Mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company, atau

30

Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 Tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan Indonesia

31

(28)

2) Menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding

Company

Saat ini pelaksanaan dari kebijakan kepemilikan tunggal ini dapat dilihat dari

disahkannya merger antara PT Bank Niaga Tbk dan PT Bank Lippo Tbk pada bulan

oktober 2008, dimana sebelumnya Bank Niaga dan Bank Lippo telah sepakat untuk

melakukan konsolidasi terhadap bisnis mereka pada bulan Juni 2008. Konsolidasi ini

memungkinkan Khazanah Berhad selaku pemegang saham pengendali kedua bank

untuk melakukan langkah penyesuaian struktur kepemilikan dalam memenuhi tenggat

waktu yang telah ditentukan dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Kepemilikan

Tunggal Perbankan Indonesia, yakni pada tahun 2010.32

Konsentrasi kepemilikan bank selama ini telah memungkinkan timbulnya

campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Situasi yang

sama telah mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang efektif.33

Keberadaan Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau SPP yang merestrukturisasi

kepemilikan bank di Indonesia berupaya mewujudkan tujuan konsolidasi perbankan

dan peningkatan efektifitas pengawasan bank dengan tetap memperhatikan

kepentingan para PSP yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia,

sehingga tercapailah sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan visi

32KOMPAS,dalam

http://properti.kompas.com/read/xml/2008/10/17/08341378/bi.setujui.m erger.cimb.niaga-lippo, Diakses tanggal 17 oktober 2008.

33

(29)

API guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu

mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur

kepemilikan bank di Indonesia menjadi penting?

2. Bagaimanakah keberadaan Single Presence Policy atau Kebijakan

Kepemilikan Tunggal dalam memperkuat perbankan di Indonesia?

3. Bagaimanakah kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam struktur

kepemilikan bank di Indonesia setelah keluarnya Single Presence Policy atau

Kebijakan Kepemilikan Tunggal?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan yang akan dicapai dari penelitian tesis ini antara lain:

1. Untuk mengetahui pentingnya kedudukan Pemegang Saham Pengendali

dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia.

2. Untuk mengetahui keberadaan Single Presence Policy atau Kebijakan

(30)

3. Untuk mengetahui kedudukan dari Pemegang Saham Pengendali dalam

struktur kepemilikan bank di Indonesia setelah keluarnya Single Presence

Policy atau Kebijakan Kepemilikan Tunggal.

D. Manfaat Penulisan

Selain tujuan-tujuan diatas, penelitian ini juga memiliki manfaat teoritis dan

praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dalam khasanah ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perbankan

berkaitan dengan struktur kepemilikan bank setelah dikeluarkannya kebijakan

Kepemilikan Tunggal, dan diharapkan juga dapat menjadi landasan untuk

melakukan penelitian lebih mendalam.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau referensi bagi pihak bank

khususnya para Pemegang Saham Pengendali maupun terkait dengan

penyesuaian struktur kepemilikan bank setelah diberlakukannya kebijakan

Kepemilikan Tunggal. Disamping itu juga dapat memberikan masukan

kepada pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengatasi kendala-kendala

yang ditemui dilapangan sehubungan dengan pelaksanan kebijakan ini. serta

(31)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan khususnya di lingkungan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum,

diketahui bahwa belum pernah dilakukan penelitian tentang kedudukan pemegang

saham pengendali dalam struktur kepemilikan bank di Indonesia dalam pendekatan

dan perumusan masalah yang sama. Penelitian ini membahas tentang struktur

kepemilikan bank di Indonesia setelah diberlakukannya single presence policy dalam

rangka konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank oleh

Bank Indonesia yang berdampak terhadap kedudukan para pemegang saham

pengendalinya. Sedangkan yang menyangkut masalah single presence policy, setelah

dilakukan pemeriksaan terdapat penelitian oleh Gilang Medina dari Sekolah

Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Tesis tersebut berjudul: Merger Bank Umum Dalam

Rangka Implementasi Single Presence Policy Menurut Peraturan Bank Indonesia No.

8/16/PBI/2006 Tentang Kapemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia. Penelitian

yang dilakukan oleh Gilang Medina menitikberatkan pada masalah merger bank

umum dengan pendekatan dan perumusan masalah yang berbeda.

Jadi penelitian dengan judul “Kedudukan Pemegang Saham Pengendali dalam

Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia” ini adalah asli karena sesuai dengan

asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

(32)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tetentu terjadi, sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori

atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis.34 Teori hukum yang berkenaan dengan pembangunan

ekonomi sangat erat kaitannya dengan ajaran yang melihat adanya hubungan yang

erat antara hukum dengan masyarakat.

Di dalam pembangunan ekonomi suatu negara keberadaan industri perbankan

dalam sistem keuangan mempunyai fungsi yang sangat krusial. Industri perbankan

merupakan salah satu cabang industri yang paling banyak diatur oleh pemerintah

karena stabilitas sistem perbankan dan keuangan merupakan prasyarat mutlak bagi

pertumbuhan dan stabilitas perekonomian secara keseluruhan.35 Dapat disimpulkan

ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank, yaitu sebagai lembaga

penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana masyarakat atau

dunia usaha.36

Pada tahun 1997 perbankan nasional mengalami keterpurukan akibat

keleluasaan yang diberikan melalui deregulasi tidak dibarengi dengan peningkatan

profesionalisme dan integritas dari pemilik dan pengurus bank. Jumlah bank yang

34

JJJ. M. Wuisman, Pebelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal.203.

35

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op.Cit.,hal. 68. 36

(33)

banyak telah menyebabkan kesulitan bank sentral untuk melakukan pengawasan.

Konsentrasi kepemilikan bank oleh individu-individu sekaligus sebagai pengurus

bank telah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan moral hazard dalam

pengelolaan bank. Dampak dari krisis perbankan tersebut tentu saja mempengaruhi

stabilitas perekonomian negara secara umum.

Krisis tersebut telah memberikan pelajaran akan pentingnya menciptakan

industri perbankan nasional yang memiliki ketahanan dan kemampuan yang memadai

untuk mengahadapi berbagai macam gejolak eksternal. Berkaitan dengan ini

keberadaan sarana dan pranata hukum sangat besar dalam pembangunan ekonomi

khususnya perbankan nasional agar dapat mencapai tujuannya sesuai dengan yang

direncanakan.37 Peranan hukum sangat besar dalam mengorganisir industri perbankan

secara efektif dan efisien, dimana hukum selain berfungsi mengatur juga berfungsi

sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyimbang, yang sifatnya

tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan atisivatif. Potensi

hukum ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif

dan fungsi represif.38

Sesuai dengan ajaran Roscoe Pound bahwa hukum adalah alat untuk

memperbaharui masyarakat (law is a tool of social engineering), disebutkan bahwa

dalam melaksanakan tugasnya tersebut kepentingan yang harus dilindungi oleh

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hal. 6. 38

(34)

hukum salah satunya adalah kepentingan umum (public interest)39 dan yang menjadi

tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare)40. Pemikiran ini

kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menyebutkan bahwa

hukum sebegai sarana pembaharuan masyarakat, yang didasarkan pada anggapan

bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses pembangunan merupakan

suatu hal yang diinginkan dan dianggap perlu.41

Bank Indonesia sebagai bank sentral yaitu lembaga negara yang mempunyai

wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara,

merumusakan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta

menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.42 Bank Indonesia kemudian

mengeluarkan suatu kerangka acuan bagaimana perbankan nasional mampu

mengatasi segala perubahan dan tantangan serta arah yang hendak dicapai di masa

yang akan datang. Kerangka acuan tersebut dikenal dengan nama Arsitektur

Perbankan Nasional (API) yang kemudian menjadi cetak biru perbankan (blue print).

API dirancang sebagai suatu rekomendasi kebijakan (policy recomendation)

sekaligus sebagai arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh

perbankan nasional. API mempunyai visi untuk mencapai suatu sistem perbankan

39

Mr. Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hal. 75. 40

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 25.

41

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 14.

42

(35)

yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam

rangka membantu dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. API juga

mempunyai program-program yang diimplementasikan dalam 6 Pilar sasaran yang

hendak dicapai.

Untuk mencapai tujuan program API, Bank Indonesia mengambil

langkah-langkah konsolidasi perbankan, yaitu salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur

perbankan yang sehat dan kuat. Konsolidasi perbankan dilakukan dengan cara

peningkatan modal bank dan penataan kembali struktur kepemilikan bank.

Dilaksankannya konsolidasi perbankan diharapkan dapat menciptakan peningkatan

skala ekonomi dan efektivitas pengawasan bank, sehingga tercapailah struktur

perbankan yang sehat dan akhirnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta

mendorong pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.

Dikeluarkannya API sebagai cetak biru perbankan nasional, yang

diimplementasikan dengan pelaksanaan konsolidasi perbankan merupakan cerminan

dari Teori Utilitarianisme atau Teori Kemanfaatan. Teori ini pertama kali

dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832)43 dengan tulisannya yang amat

penting adalah Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Teori

utilitarianisme menyatakan suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara

43

(36)

moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau

mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.44

Teori utilitarianisme ini juga mendapatkan dukungan dari Thomas Hobbes

(1588-1679).45 Filsafat hukum Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan

prinsip utilitas.46 Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan

mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan

ketentraman sebagai hal yang bermanfaat.47 Teori ini diimplementasikan dengan

dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/16/PBI/2006 Tentang

Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia atau Single Presence Policy (SPP)

oleh Bank Indonesia dalam rangka konsolidasi perbankan dan efektivitas pengawasan

bank. Berdasarkan PBI No. 8/16/PBI/2006, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa:

”Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya

menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) bank.”

Pasal 3 ayat (1) PBI ini juga menyatakan bahwa:

“Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1(satu) bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut:

a. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) bank; atau

44

Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transtion: Toward Responsive Law, (NewYork: Harper & Row), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di Masa Kini, (Jakarta: Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Hu Ma), hal. 4.

45

Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 63.

a46 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: PNM, 2004), hal. 109.

(37)

b. Melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya; atau c. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company)

dengan cara:

1) Mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company atau

2) Menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding

Company”.

Pada prinsipnya SPP ini diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh

Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini.

Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan tersebut, maka PSP

yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank umum pada saat mulai berlakunya

ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada

bank-bank yang dikendalikannya.48

Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk mewujudkan struktur perbankan

Indonesia yang sehat dan kuat, melalui langkah-langkah konsolidasi perbankan

dengan cara penataan kembali struktur kepemilikan perbankan dan juga untuk

mendukung efektivitas pengawasan bank di Indonesia. Salah satu teori pengawasan

bank mengemukakan bahwa sistem pengawasan bank yang semata-mata untuk

mewujudkan dan menjaga sistem perbankan yang sehat akan tercapai apabila otoritas

pengawas dapat dengan mudah melakukan pengawasan secara efektif serta semua

bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Hal ini dimungkinkan

apabila bank yang diawasi sedikit atau diupayakan menjadi sangat minimal, dan

semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis diatur melalui seperangkat

48

(38)

aturan yang ketat dan ruang gerak usaha bank dibatasi melalui berbagai aturan yang

bersifat larangan.49

Struktur kepemilikan bank dapat menjadi insentif bagi pemilik untuk

melakukan kegiatan yang tidak sehat dan tidak aman. Bank dapat digunakan menjadi

sumber dana bagi pemilik. Bilamana motivasi memiliki bank adalah untuk

merampoknya maka internal governance semata tidak akan dapat mencegah hal

tersebut.50 Dalam menetapkan pemillik bank, Bank Indonesia menerapkan konsep

Ultimate Owner, dimana berdasarkan konsep ini pemilik adalah pihak yang

menerima manfaat kepemilikan tersebut (beneficial owner).51 Pihak yang menerima

manfaat ini dapat berbeda dari legal owner. Oleh sebab itu pihak yang menerima

manfaat dari kepemilikan bank wajib diungkapkan.

Pada prinsipnya kepemilikan perusahaan terbagi ke dalam dua sistem.

Pertama, sistem kepemilikan terkonsentrasi. Kedua, sistem kepemilikan tersebar (dispersed) dengan karakteristik struktur pengelolaannya masing-masing. Ahli

pengelolaan perusahaan berpendapat bahwa konsentrasi kepemilikan perusahaan

merupakan konsekuensi lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham

minoritas. Sedangkan kepemilikan yang tersebar luas di masyarakat dapat mendorong

perusahaan untuk mampu memiliki fungsi kontrol terhadap perusahaan.52

49

Hasanuddin Rahman, Pendekatan Teknis dan Filosofis Legal Audit Operasional Perbankan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 221-222.

50

Carl-Johan Lindgren, et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, dalam Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi Perbankan...”, Loc.Cit.

51 Ibid. 52

(39)

Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan

hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Berkaitan dengan uraian di

atas, Posner dengan teorinya Analisis Ekonomi Atas Hukum (economic analysis of

law) berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk menganalisa permasalahan-permasalahan hukum yang terdapat di sekitar

kita.53 Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya

untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai

aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat positive atau descriptive, berkenaan

dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang

yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule), dan analisis yang

bersifat normative, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan

hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule).

2. Landasan Konsepsi

Untuk menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan

dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut,

sebagai berikut:

53

(40)

a. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.54

b. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.55

c. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayarannya.56

d. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah kerangka dasar sistem

perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah,

bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai

sepuluh tahun kedepan.57

e. Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence Policy (SPP) adalah

suatu kondisi dimana siatu pihak hanya menjadi pemegang saham

pengendali pada 1 (satu) bank.58

f. Pemegang saham pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan

dan atau kelompok usaha yang:59

54

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat (1)

55

Ibid, Pasal 1 ayat (2) 56

Ibid, Pasal 1 ayat (3) 57

Bank Indonesia, Blue Print Arsitektur Perbankan Indonesia (API), 2004, Op.Cit. 58

(41)

1. Memiliki saham bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus)

atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan

mempunyai hak suara.

2. Memiliki saham bank kurang dari 25 % (dua puluh lima

perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan

mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan

pengendalian bank baik secara langsung maupun tidak langsung.

g. Pengendalian adalah kemampuan untuk menentukan, baik secara langsung

maupun tidak langsung dengan cara apapun, pengelolaan dan atau

kebijaksanaan bank.60

h. Saham Bank adalah bukti penyetoran modal atas naam pemegangnya bagi

bank yang berbentuk Perseroan Terbatas atau bentuk lain yang disamakan

dengan saham bagi bank yang berbentuk badan hukum lainnya.61

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan

pendekatan bersifat deskriptif analitis. Metode yuridis normatif dilakukan dengan

melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan

59

Ibid, Pasal 1 ayat (3) 60

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi, Dan Akuisisi Bank, Pasal 1 ayat (5)

61

(42)

terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang ada dan ini

menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library

research).

Metode yuridis normatif tersebut didukung dengan pendekatan yang bersifat

deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan tentang situasi atau keadaan

yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk

membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara

langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.62

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data yang berasal dari:

(1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang

terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan,

antara lain:

1) undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

2) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

3) undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

4) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

62

(43)

5) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

6) Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan

Tunggal Pada Perbankan Indonesia;

7) Peraturan Bank Indonesia No. 9/16/PBI/2007 tentang Perubahan Atas PBI

No. 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum;

8) Peraturan Bank Indonesia No. 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti

Minimum Bank Umum;

9) Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tentang Perubahan Atas PBI

No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and

Proper Test);

10) Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian

Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).

(2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal-jurnal, pendapat para sarjana dan hasil-hasil penelitian.

(3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal

ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat

dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.63

63

(44)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam pada penelitian tesis ini menggunakan penelusuran

kepustakaan (library research) dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan

dengan topik dalam penelitian tesis ini seperti: buku-buku hukum, majalah hukum,

artikel-artikel hukum, jurnal hukum, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah

dan dianalisis secara kualitatif. Analisis untuk data kualitatif tersebut dilakukan

dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang kedudukan pemegang saham pengendali dalam struktur kepemilikan bank di

Indonesia dikaitkan dengan Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 Tentang

Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia, yang selanjutnya dihubungkan

dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pemegang

saham pengendali. Kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga

menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan

konkret yang dihadapi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan

(45)

BAB II

STRUKTUR KEPEMILIKAN BANK DI INDONESIA

A. Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia

Kepemilikan bank berkaitan dengan pihak yang menjadi pemilik dari suatu

bank termasuk di dalamnya pemilikan saham dari bank yang telah go public, juga

persyaratan posisi sesorang atau badan hukum sebagai pemilik bank atau komposisi

dari pihak asing dari sebuah bank, serta mekanisme dan prosedur peralihannya.

Dalam hal kepemilikan ini tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirian

bank itu sendiri. Pihak yang menjadi pemilik awal dari sebuah bank pada dasarnya

mereka yang mendirikan bank tersebut.64

Mengenai kepemilikan bank telah diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal

28 Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan

Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan Undang-undang Perbankan,

kepemilikan suatu bank ditentukan pula dari jenis banknya. Kepemilikan Bank

Umum akan berbeda dengan kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat.

Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:65

1. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau

64

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bankti, 2000). hal. 267.

65

(46)

2. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan

warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.

Dari ketentuan diatas maka sekarang pendirian bank dapat langsung dilakukan

dengan melibatkan warga negara asing ataupun badan hukum asing. Namun demikian

untuk pihak badan hukum asing dipersyaratkan terlebih dahulu harus memperoleh

rekomendasi dari otoritas moneter dari negara asal badan hukum asing tersebut.

Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan

hukum tersebut mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan

perbuatan tercela di bidang perbankan.

Persyaratan kepemilikan Bank Umum dan Bank Umum berdasarkan Prinsip

Syariah telah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum dan Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999

tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah.66 Disana lebih lanjut disebutkan

bahwa kepemilikan bank umum oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya

adalah sebesar modal bersih sendiri badan hukum yang bersangkutan, yang

merupakan penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan

kerugian, bagi badan hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah; atau penjumlahan

66

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang melarang kepemilikan saham secara nominee, yakni: “penanam modal dalam negeri dan penanam

2008 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh struktur kepemilikan saham yang terdiri dari kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saham-saham yang membentuk portofolio optimal dari saham-saham perusahaan perbankan dengan model indeks tunggal, proporsi

Judul Skripsi : “ PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN SAHAM TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE

Persentase kepemilikan saham < 5% adalah sebesar 40% atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor. Jumlah hari yang memenuhi kriteria 1 dan 2 dalam setahun minimal

Pemegang saham pengendali berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia tanggal 5

Persentase kepemilikan saham < 5% adalah sebesar 40% atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor. Jumlah hari yang memenuhi kriteria 1 dan 2 dalam setahun minimal

• Merger atau konsolidasi: o PSP yang telah menjadi pengendali pada lebih dari 1 satu bank pada saat PBI Kepemilikan Tunggal berlaku, diberikan waktu paling lama 1 satu tahun sejak PBI