• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia

STRUKTUR KEPEMILIKAN BANK DI INDONESIA

A. Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia

Kepemilikan bank berkaitan dengan pihak yang menjadi pemilik dari suatu bank termasuk di dalamnya pemilikan saham dari bank yang telah go public, juga persyaratan posisi sesorang atau badan hukum sebagai pemilik bank atau komposisi dari pihak asing dari sebuah bank, serta mekanisme dan prosedur peralihannya. Dalam hal kepemilikan ini tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirian bank itu sendiri. Pihak yang menjadi pemilik awal dari sebuah bank pada dasarnya mereka yang mendirikan bank tersebut.64

Mengenai kepemilikan bank telah diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 28 Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan Undang-undang Perbankan, kepemilikan suatu bank ditentukan pula dari jenis banknya. Kepemilikan Bank Umum akan berbeda dengan kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat.

Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:65

1. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau

64

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bankti, 2000). hal. 267.

65

Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan. Dari ketentuan diatas maka sekarang pendirian bank dapat langsung dilakukan dengan melibatkan warga negara asing ataupun badan hukum asing. Namun demikian untuk pihak badan hukum asing dipersyaratkan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter dari negara asal badan hukum asing tersebut. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum tersebut mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.

Persyaratan kepemilikan Bank Umum dan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah telah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah.66 Disana lebih lanjut disebutkan bahwa kepemilikan bank umum oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modal bersih sendiri badan hukum yang bersangkutan, yang merupakan penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan kerugian, bagi badan hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah; atau penjumlahan

66

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2001) hal. 77

dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum koperasi.67

Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank Umum tidak boleh berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari Bank Umum dan/atau pihak lain di Indonesia dan berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering), atau berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah. Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank Umum adalah mereka yang, antara lain:

a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, yakni: memiliki akhlak dan moral yang baik; mematuhi peraturan perudang-undangan yang berlaku; memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembangunan operasional bank yang sehat; dan dinilai layak dan wajar untuk menjadi pemegang saham bank.

Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:68

67

Muhamad Djumhana, Op.Cit.,hal. 230. Pengaturan mengenai kepemilikan Bank Umum Konvensional maupun kepemilikan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah pada dasarnya sama, yaitu diatur dalam Bab IV Pasal 13 sampai dengan Pasal 18 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sehingga dengan demikian ketentuannya tidak berbeda, seperti mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik bank.

b. Persyaratan untuk seseorang menjadi pemilik bank yaitu yang berkaitan dengan sumber dana, kualitas pribadi dan integritasnya.

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; c. Pemerintah daerah atau;

d. Dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia dan/atau pemerintah daerah.

Persyaratan kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS) lebih lanjut diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.

Ketentuan yang terdapat dalam pasal 22 dan pasal 23 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan hanya berlaku bagi pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi. Di dalam pasal 24 dinyatakan bahwa Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang Perkoperasian yang berlaku.

Pasal 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan khusus bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Saham bank atas

68

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan

nama ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kepemilikan saham bank. Ini berarti saham dalam bentuk saham atas tunjuk tidak diperbolehkan, sebab dalam saham atas tunjuk tidak dicantumkan nama pemegang atau pemiliknya, siapa yang mengajukan saham tersebut dianggap sebagai pemegang atau pemiliknya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk mengetahui perubahan kepemilikan saham bank yang bersangkutan.69

Dalam kehidupan perekonomian yang semakin terbuka dan berkembang cepat seperti saat ini, dibutuhkan layanan jasa perbankan yang semakin luas, baik, dan berkualitas. Sehubungan dengan itu diperlukan sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh, dan mampu bersaing. Oleh karena itu, perbankan perlu didorong untuk memperkuat struktur permodalannya, baik dengan mengupayakan sumber dana dari dalam maupun luar negeri, termasuk pula untuk penyebaran kepemilikan dan meningkatkan kinerja bank yang bersangkutan.

Untuk memperkuat struktur permodalan perbankan tersebut, maka dibuka kemungkinan yang lebih besar bagi masyarakat untuk membeli saham Bank Umum. Pasal 26 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan bahwa Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek di Indonesia dan atau di luar negeri. Sebagai pembelinya tidak terbatas, siapa saja diberikan kesempatan untuk memiliki saham Bank Umum dengan secara langsung dan atau melalui bursa efek, baik perorangan maupun badan hukum, serta baik warga negara Indonesia maupun warga

69

negara asing dan atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing dengan tetap mempertahankan psinsip kemitraan.70

Diperbolehkannya pihak asing memiliki saham mayoritas pada Bank Umum dimaksudkan untuk membuka kesempatan yang lebih luas kepada berbagai pihak, baik Indonesia maupun asing untuk turut serta memiliki Bank Umum. Hal ini sudah menjadi komitmen Indonesia untuk melaksanakan isi Perjanjian Putaran Uruguay di bidang jasa finansial.

Selain tentang pembelian saham, dalam pasal 27 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga diatur tentang perubahan kepemilikan bank, dimana selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3), pasal 22, pasal 23, pasal 24, pasal 25, dan pasal 26 yang berhubungan dengan soal perizinan dan kepemilikan usaha bank, wajib pula melaporkannya kepada Bank Indonesia. Pelaporan ini dimaksudkan untuk memastikan agar peralihan kepemilikan dilakukan kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan sebagai pemilik bank.

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.71 Pentingnya persetujuan Bank Indonesia dilatarbelakangi pengalaman bahwa pemilik, direksi, dan pejabat eksekutif bank merupakan penanggung jawab utama dalam menjaga bank

70

Ibid.,Pelaksanaan ketentuan pembelian saham Bank Umum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum, kemudian dijabarkan lagi dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.

71

Pasal 26 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI

tetap sehat dan kuat. Secara bersama-sama pemilik dan pengurus harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman.

Struktur kepemilikan bank dapat menjadi insentif bagi pemilik untuk melakukan kegiatan yang tidak sehat dan tidak aman. Bank dapat disalahgunakan menjadi sumber dana bagi pemilik. Bilamana motivasi memiliki bank adalah untuk merampoknya maka internal governance semata tidak akan dapat mencegah hal tersebut.72

Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan maka jumlah pemegang saham pun turut bertambah. Masing-masing pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang kecil, dengan kata lain tidak terdapat konsentrasi kepemilikan saham yang konsekwensinya kewenangan pengurusan dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian terjadi peralihan kewenangan pengurusan dari pemegang saham kepada pengurus perusahaan.

Pada prisnsipnya kepemilikan perusahaan terbagi ke dalam dua sistem.73

Pertama, sistem kepemilikan terkonsentrasi (concentrated ownership). Kedua, sistem

kepemilikan tersebar (dispersed ownership) dengan karakteristik struktur pengelolaannya masing-masing. Struktur kepemilikan yang tersebar kepada outside

investors (para pemegang saham publik) dan struktur kepemilikan terkonsentrasi

72

Carl-Johan Lindgren, et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, dalam Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi …”, Loc.Cit.

73

dengan pengendalian (control) pada segelintir pemegang saham saja.74 Ahli pengelolaan perusahaan berpendapat bahwa konsentrasi kepemilikan perusahaan merupakan konsekuensi lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas. Sedangkan kepemilikan yang tersebar luas di masyarakat dapat mendorong perusahaan untuk mampu memiliki fungsi kontrol terhadap perusahaan.

Sejak lama telah bermunculan pendapat bahwa pengurus perusahaan memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya untuk mengeksploitasi investor, konsumen atau keduanya. Dengan pengetahuan pribadi dan kemampuan menciptakan investor dalam kegelapan, pengurus perusahaan dapat membentuk opini untuk kepentingan mereka dan sekaligus mencuri dan melakukan salah pengelolaan.

Di Amerika Serikat sistem pengelolaan perusahaan dilakukan oleh outsider atau arm’s-length, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar perusahaan.75 Sistem ini terjadi karena tersebarnya kepemilikan suatu perusahaan. Terminologi

arm’s length tepat untuk konteks Amerika Serikat karena pemegang saham menjaga

jarak dan membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini berhasil karena dalam situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio saham yang mereka miliki dibandingkan perkembangan kinerja suatu perusahaan.

Gejala pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan ini telah diidentifikasi oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930 yang

74

Indra Surya, Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, (Jakarta: Kencana-Prenada Media Group, 2008), hal. 3.

75 Ibid.

kemudian dikenal dengan Berle-Means Corporation.76 Pemisahan antara kepemilikan

dan kepengurusan merupakan sistem yang menguntungkan karena pengurus dapat dipekerjakan semata-mata beradasarkan atas kompetensi yang mereka miliki. Kondisi ini dapat terjadi karena pengurus tidak diharapkan dapat memberikan kontribusi keuangan kepada perusahaan yang memperkerjakan mereka atau memiliki ikatan keluarga atau hubungan pribadi dengan Pemegang Saham Pengendali (PSP).

Berbeda dengan Amerika Serikat, di Jepang dan Eropa Kontiniental, pengelolaan perusahaan dilakukan oleh insider atau Control-oriented.77 Dengan

sistem ini pasar modal misalnya hanya memainkan peran kedua dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh PSP dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. Namun kecenderungan yang terjadi belakangan bahwa konsep Berle-Means Corporation dirasakan lebih menghasilkan efisiensi dan kenyataannya perusahaan-perusahaan dengan insider

control mulai melakukan divestasi dan menghilangkan struktur kepemilikan silang

yang rumit dan secara perlahan bergerak kearah kepemilikan yang tersebar.

Bank Holding Company Act secara umum melarang perusahaan yang

melakukan kegiatan non-financial memiliki bank, dengan tujuan untuk membatasi risiko kebangkrutan, menghindari benturan kepentingan dan mencegah pemusatan

76

Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi...”, Loc.Cit. 77

kekuasaan keuangan. Pembatasan kepemilikan bank dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:78

1. Membatasi jumlah kepemilkan saham oleh individu atau lembaga dengan maksud mencegah dominasi pemilik atas pengurus

2. Membatasi kepemilikan berdasarkan kriteria pemilik

Sementara itu di Indonesia, besarnya peranan bank milik pemerintah (state-

owned bank) dalam sistem perbankan merupakan masalah tersendiri dalam kaitannya

dengan efektifitas pengawasan. Besarnya kepemilikan saham bank oleh pemerintah cenderung berkaitan dengan rendahnya perkembangan perbankan, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal. Dengan demikian meskipun secara teoritis bank milik pemerintah dapat membantu mengatasi masalah kelangkaan modal bagi proyek- proyek yang sangat produktif akan tetapi kepemilikan bank oleh pemerintah yang besar cenderung berkaitan dengan lemahnya operasi sistem keuangan.

Membatasi kepemilikan saham bank, baik perorangan maupun lembaga (pemerintah) dilakukan di bebarapa negara. Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan misalnya membatasi kepemilikan maksimal 4-5% dari modal bank. Pembatasan lain yang berkaitan dengan kepemilikan bank adalah larangan bank dimiliki oleh shell

company. Australia misalnya melarang bank dimiliki oleh holding company yang

tidak melakukan usaha (non operating holding company) atau paper company.

78

Edward L. Symons, Jr., Banking Law Teaching Materials, dalam Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. Cit ., hlm.118

Alasannya adalah perusahaan induk seperti ini tidak memiliki kapabilitas untuk mengawasi kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip kehati-hatian.79

Basle Committee on Banking Supervision dalam rekomendasi nomor 3 (tiga)

tentang Effective Banking Supervision juga menyarankan agar masalah kepemilikan saham bank mendapat perhatian serius.80 Rekomendasi tersebut meminta agar pengawas bank memiliki kewenangan untuk menilai struktur kepemilikan suatu bank. Apabila bank merupakan bagian dari suatu organisasi besar, maka harus ada jaminan bahwa struktur organisasi dan kepemilikan tersebut bukan merupakan sumber kelemahan bagi bank. Risiko bagi nasabah penyimpan akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan satu grup harus diminimalkan dan bank dilarang dijadikan sebagai sumber dana bagi pemiliknya.