JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina (Forsk) vierh SETELAH APLIKASI
FUNGI Aspergillus sp., Curvullaria sp., Penicillium sp. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS
DI DESA SICANANG BELAWAN
SKRIPSI
AFRIDA YANTI DAMANIK
060805014
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina (Forsk) vierh SETELAH APLIKASI
FUNGI Aspergillus sp., Curvullaria sp., Penicillium sp. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS
DI DESA SICANANG BELAWAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
AFRIDA YANTI DAMANIK
060805014
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI
PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN AVICENNIA. MARINA (FORSK) VIERH SETELAH APLIKASI FUNGI ASPERGILLUS SP., CURVULARIA SP., PENICILLIUM SP. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS DI DESA SICANANG BELAWAN
Kategori : SKRIPSI
Nama : AFRIDA YANTI DAMANIK
Nomor Induk Mahasiswa : 060805014
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI
Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGERAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diluluskan di
Medan, 27 Desember 2010
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc Dr. Ir. Yunasfi., M.Si
NIP. 19640409 199403 1 003 NIP. 19671119 200012 1
001
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN AVICENNIA. MARINA (FORSK) VIERH SETELAH
APLIKASI FUNGI ASPERGILLUS SP., CURVULARIA SP.,
PENICILLIUM SP. PADA BEBERAPA TINGKAT
SALINITAS DI DESA SICANANG BELAWAN
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, 27 Desember 2010
PENGHARGAAN
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi., M.Si selaku pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc, selaku pembimbing kedua yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan masukan-masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir., M.Sc, selaku penguji pertama dan Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus., M.Sc, selaku penguji kedua yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ketua Departemen, Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc, Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, semua dosen serta pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.
ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi
Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas
telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, Departeman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dari bulan Desember 2009 sampai bulan juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi yang terdiri atas 8 genus, yaitu Aspergillus (6 jenis),
Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5).
Keanekaragaman jenis fungi yang paling banyak ditemukan pada salinitas 0-10 ppt, dan yang paling sedikit pada salinitas 20-30 ppt.
ABSTRACT
The research that knowing the species of fungi in decomposition Avicennia marina’s litter after application of Aspergillus sp., Curvularia sp., and Penicillium sp. in the various salinity level has been done at Microbiology Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Scientic, North Sumatera University from December 2009 until June 2010. The results of research indicated that fiveteen species of fungi were isolated from A. marina litter during decomposition including 8 genus, such as
Aspergillus (6 jenis), Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1
jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), and 1 fungi unidentified (sp. 5). The highest diversity of species fungi at 0-10 ppt and the lowest at 20-30 ppt.
DAFTAR ISI
2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove 6
2.1.2 Jenis dan Penyebaran Hutan Mangrove 7
2.1.3 Adaptasi Hutan Mangrove 8
2.2 Fungsi Hutan Mangrove 9
3.3 Tahapan Penelitian 16
3.3.1 Penentuan Lokasi berdasarkan Tingkat Salinitas 16
3.3.2 Pembuatan Suspensi Jamur 16
3.3.3 Penyiapan Serasah 16
3.3.4 Penempatan Serasah 17
3.3.5 Pengambilan Serasah 17
3.3.6 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) 17
3.3.7 Isolasi Fungi dari Serasah 17
3.3.8 Identifikasi Fungi 18
3.3.8.1 Identifikasi secara Makroskopis 18 3.3.8.2 Identifikasi secara Mikroskopis 18
3.4 Variabel yang Diamati 18
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20
4.1. Jenis-Jenis Fungi 20
4.2. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 0-10 ppt 23 4.3. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 10-20 ppt 27 4.4. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 20-30 ppt 31 4.5. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Jenis Fungi 38 4.6. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Rata-Rata
Fungi 41
4.7 Perbandingan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi setelah
Aplikasi Funhgi pada Berbagai Tingkat Salinitas 43
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 46
5.1 Kesimpulan 46
5.2 Saran 47
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Kehadiran Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A.marina pada Kontrol dan setelah Aplikasi Fungi pada Beberapa
Tingkat Salinitas 21
2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 0-10 ppt 24
3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 0-10 ppt 25
4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 0-10 ppt 26
5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 10-20 ppt 28
6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 10-20 ppt 29
7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 10-20 ppt 30
8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Deomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 20-30 ppt 32
9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada
10.Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada
Salinitas 20-30 ppt 34
11.Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang pada Kontrol dan setelah
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi setelah Aplikasi Fungi pada
Beberapa Tingkat Salinitas 39
2. Perbandingan Jumlah Rata-Rata Fungi setelah Aplikasi Fungi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun
A. marina pada Kontrol dengan Salinitas 0-10 ppt. 53
2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun
A. marina pada Kontrol dengan Salinitas 10-20 ppt. 54
3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun
A. marina yang pada Kontrol dengan Salinitas 20-30 ppt. 55
4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 15 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 56
5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 30 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 57
6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang setelah Aplikasi
Fungi selama 45 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 58
7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 60 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 59
8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 75 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 60
9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 90 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 61
10.Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi
selama 105 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 62
11.Struktur dan Ciri Makroskopis dan Mikroskopis Fungi pada Dekomposisi Serasah A. marina setelah Aplikasi Fungi pada
12.Pembuatan Suspensi Fungi (Aspergillus sp., Curvularia sp.,
dan Penicillium sp.) 78
13.Penyiapan Serasah Avicennia marina 79
14.Penempatan dan Pengambilan Serasah Avicennia marina 80
15.Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) sebagai Media
Tumbuh Fungi Hasil Isolasi 81
16.Isolasi Fungi dari Serasah Avicennia marina 82
17.Identifikasi secara Makroskopis Fungi Hasil Isolasi 83
ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi
Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas
telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, Departeman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dari bulan Desember 2009 sampai bulan juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi yang terdiri atas 8 genus, yaitu Aspergillus (6 jenis),
Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5).
Keanekaragaman jenis fungi yang paling banyak ditemukan pada salinitas 0-10 ppt, dan yang paling sedikit pada salinitas 20-30 ppt.
ABSTRACT
The research that knowing the species of fungi in decomposition Avicennia marina’s litter after application of Aspergillus sp., Curvularia sp., and Penicillium sp. in the various salinity level has been done at Microbiology Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Scientic, North Sumatera University from December 2009 until June 2010. The results of research indicated that fiveteen species of fungi were isolated from A. marina litter during decomposition including 8 genus, such as
Aspergillus (6 jenis), Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1
jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), and 1 fungi unidentified (sp. 5). The highest diversity of species fungi at 0-10 ppt and the lowest at 20-30 ppt.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mangrove merupakan hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang tumbuh di daerah
tropis dan subtropis. Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang
spesifik, hal ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang
saling berkaitan, baik yang terdapat di darat maupun di laut (Martosubroto, 1978).
Rantai makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove ini tidak terputus. Bunga,
ranting dan daun mangrove yang jatuh ke perairan akan tenggelam atau terapung dan
terbawa oleh arus laut ke daerah lain. Hasil penelitian di Florida, Amerika Serikat
menunjukkan serasah (bunga, ranting, dan daun) yang dihasilkan oleh pohon-pohon
mangrove merupakan bahan penting bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah
pantai. Zat organik yang berasal dari penguraian serasah hutan mangrove ikut
menentukan kehidupan ikan dan invertebrata di areal tersebut (Soeroyo, 1987).
Aliran energi pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik
seperti sungai-sungai, pasang surut, gelombang laut dan faktor-faktor biologi seperti
produksi serasah dari tumbuhan yang jatuh dan mengalami dekomposisi, serta semua
mekanisme yang mengatur kecepatan pemasukan, pengeluaran dan penyimpanan
material organik dan anorganik. Faktor fisik ini membawa unsur hara ke lingkungan
mangrove yang secara aktif diabsorbsi oleh akar-akar permukaan substrat, mikroflora
dan mikrofauna. Mangrove seperti tumbuhan lainnya membutuhkan unsur hara untuk
pertumbuhan. Secara umum arti dari pergerakan dan perpindahan materi dan energi
dalam ekosistem mangrove yaitu mangrove menggunakan material anorganik yang
serasah tumbuhan yang dapat menyokong rantai makanan dekat pantai (Soeroyo,
1987).
Menurut Moore-Landecker (1996), seperti saproba lainnya, fungi saprofit
merupakan organisme penyebab kerusakan yang memperoleh nutrisi dari material
organik yang telah mati. Substrat atau sumber nutrisi dapat berupa jasad tumbuhan
atau hewan yakni bagian dari tanaman atau hewan seperti daun, ranting, sampah
organik, beberapa komponen sintetis, dan beberapa produk lain yang dapat terlarut.
Komponen dari makhluk hidup tersebut digunakan sebagi nutrisi. Dengan degradasi
atau dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah
menjadi molekul-molekul organik.
Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme pengurai seperti fungi
dalam ekosistem setempat jelas tidak dapat diabaikan (Efendi, 1999). Fungi terdapat
hampir di seluruh ekosistem yang terdapat di bumi yang berperan dalam
mendegradasi dan mendaur ulang unsur-unsur esensial seperti karbon, nitrogen, dan
fosfor (Alongi, 1994). Serasah yang jatuh ke dalam sungai dan daerah pantai
mengalami dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme seperti bakteri dan
fungi. Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika ada mikroorganisme tersebut. Oleh
karena itu, dengan penambahan fungi pada serasah Avicennia marina diharapkan
proses dekomposisi akan lebih cepat. Kecepatan proses dekomposisi serasah tidak
hanya dipengaruhi oleh mikroorganisme pengurai tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
iklim seperti curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya, suhu udara di sekitar
kawasan mangrove dan kondisi lingkungan tempat tumbuh organisme seperti suhu air,
pH, salinitas air, kandungan oksigen terlarut dalam air, kandungan hara organik dalam
air dan lain-lain. Dalam proses dekomposisi, semua faktor baik faktor fisik, kimia,
maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain ( Anderson dan Swift, 1979 ).
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan
yang sangat menentukan perkembangan organisme. Salinitas air juga berperan penting
dalam proses dekomposisi serasah. Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan
dengan satuan promil (0/00). Kandungan utama dari air laut dibentuk oleh ion Na+ dan
Cl-, ditambah berbagai jenis unsur lain yang jumlahnya relatif sedikit (Barus, 2004).
Hutan mangrove di kawasan desa Sicanang, Belawan merupakan salah satu
kawasan yang banyak didominasi oleh jenis vegatasi Avicennia marina . Penelitian
tentang jenis-jenis fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah A. Marina
setelah aplikasi fungi pada beberapa tingkat salinitas masih sangat terbatas. Maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh aplikasi fungi yang
diperoleh pada penelitian sebelumnya yaitu Aspergillus sp., Curvularia sp.,
Penicillium sp., terhadap keanekaragaman jenis fungi yang berasosiasi pada serasah
daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada beberapa tingkat salinitas pada
kawasan desa Sicanang.
1.2 Permasalahan
Serasah daun A. marina di kawasan mangrove desa Sicanang memberikan sumbangan
unsur hara dan bahan organik bagi organisme dan perairan sekitarnya. Serasah
merupakan bahan utama untuk tempat berkumpulnya mikroorganisme seperti fungi
dan bakteri. Fungi sangat berperan dalam proses dekomposisi. Informasi yang
mengungkap fungi dalam dekomposisi serasah daun A. marina setelah aplikasi fungi
Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., pada beberapa tingkat salinitas di
lingkungan mangrove secara khusus masih sangat terbatas, terutama di kawasan
mangrove desa Sicanang, Belawan. Maka dari itu, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu:
1. Apakah fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., menunjukkan
keanekaragaman fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah daun A.
marina.
2. Apakah tingkat salinitas menunjukkan keanekaragaman fungi yang berasosiasi
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah
daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi
Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas.
1.4 Hipotesis
Aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. dan tingkat salinitas
terhadap keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi.
1.5 Manfaat
1. Mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang berperan dalam proses dekomposisi
pada berbagai tingkat salinitas setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia
sp., Penicillium sp.
2. Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat umumnya ataupun instansi yang
terkait.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di
bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih
dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genus tumbuhan
berbunga: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam
atau salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies
(Supriharyono, 2000). Agar lebih jelas, (Macnae, 1968) menggunakan istilah mangal
apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan.
Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove, yaitu Rhizophora mucronata.
2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan
yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh di daerah payau (Santoso, 2000). Menurut Soerianegara dan
Indrawan (1982), ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut: tidak dipengaruhi
iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat,
tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai stratum tajuk dan tinggi mencapai 30
meter.
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem
lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga
ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka
terdapat keterkaitan antara ketiganya. Setiap ekosistem mempunyai fungsi
masing-masing.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, unsur hara dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan unsur hara yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
tempat migrasi organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun
kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).
2.1.2 Jenis dan Penyebaran Hutan Mangrove
Secara umum, hutan mangrove mempunyai keanekaragaman jenis yang rendah.
Chapman (1975) melaporkan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia.
Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih
tinggi (63 jenis) dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian
Barat (43 jenis). Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari Asia Timur jauh
mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua
jenis mangrove (Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi,
mineralogi, efek neotektonik (Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan
bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada
faktor-faktor seperti, cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut,
ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Avicennia sp., Rhizophora sp.,
Soneratia sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Bruguiera sp., dan tumbuh-tumbuhan
bawah yang hidup diantaranya Acrostichum aureum, Achantus iliciflius, dan
Archanthus ebracteatus. Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah di
daerah pesisir, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mangandung pasir dan
lumpur serta umumnya pada pantai landai yang terhindar dari ombak besar. Vegetasi
mangrove mempunyai zonasi yang khas, dicirikan oleh adanya perbedaan jenis yang
tersusun menurut urutan tertentu walaupun dengan batas yang kurang jelas (Sagala,
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung
oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di
Indonesia: (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasanya berasosiasi dengan
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur yang kaya bahan organik. (2)
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. di
zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. (3) Zona berikutnya
didominasi oleh Bruguiera sp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan
dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem
lainnya.
Beberapa spesies mangrove memperlihatkan sifat viviparitas (biji sudah
berkecambah selagi buah masih menempel pada ranting). Semua anggota dari suku
Rhizophoraceae, Avicennia sp, (Verbenaceae), dan Aegiceros corniculatum
(Myrsinaceae) memperlihatkan viviparitas (Kusmana, 1996).
2.1.3 Adaptasi Hutan Mangrove
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:
a. Adaptasi terhadap kadar-kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya: Avicennia sp., dan Sonneratia sp.) untuk mengambil oksigen dari udara;
dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizophora
sp.).
b. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi: (1) Memiliki sel-sel khusus dalam daun
yang berfungsi untuk menyimpan garam. (2) Berdaun kuat dan tebal yang banyak
mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. (3) Daunnya memiliki
struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara
horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Menurut Chapman (1975), terdapat tujuh bentuk perakaran utama mangrove,
yaitu: (1) Bentuk perakaran sederhana yang timbul tenggelam di dalam tanah, misal
Lumnitzera sp. (2) Bentuk akar lutut, misal Bruguiera sp. (3) Akar dorsal yang
tumbuh ke atas yang bertumpu pada akar horizontal, misal Camptostemon sp. (4)
Bentuk perakaran horizontal yang berupa banir, misal Xylocarpus sp. (5) Akar pasak,
misal Avicennia sp. (6) Akar pasak yang memproduksi pneumathoda terminal, misal
Laguncularia sp. (7) Akar tunjang, misal Rhizophora sp.
2.2 Fungsi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya
(Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi penting terhadap produktivitas
ekosistem pesisir (Harger, 1982). Ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara
ekologis dan ekonomis (Santoso dan Arifin, 1998). Menurut Anwar et al (1984),
hutan mangrove bagi kebanyakan pesisir pantai di Sumatera Utara merupakan suatu
daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak
dan perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi yang secara
garis besarnya dapat dibagi tiga aspek:
(1) aspek fisik,
(2) aspek biologi, dan
(3) aspek ekonomis.
Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu
diterapkan serta digalakkan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it
(manfaatkan). Semua itu tentu memerlukan koordinasi antara stakeholders dan
masyarakat di sekitar kawasan tersebut maupun para pecinta lingkungan, terutama
kalangan akademis. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan
kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari,
yaitu teknologi, diversifikasi pemanfaatan upaya sustainable, dan pengelolaan terpadu
2.3 Serasah Mangrove
Menurut hasil penelitian Cracc (1964) yang dilakukan di Florida, Amerika Serikat,
serasah di perairan sekitar hutan mangrove umumnya berasal dari pohon-pohon
mangrove. Sebagian besar dari serasah ini akan larut dalam air sebagai material halus,
sehingga sekitar 35%-60% dari unsur hara yang terlarut di perairan dekat pantai
diperkirakan berasal dari pohon mangrove. Hal ini memang belum dapat dibuktikan
secara pasti. Walaupun luas perairan pantai hanya sekitar 10% dari luas lautan, namun
para ahli berpendapat bahwa 90% dari produktivitas laut terdapat di perairan pantai.
Sedangkan setengah dari luas lautan hanya memiliki produktivitas sebesar 0,1%.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dalam suatu hutan mangrove di Florida
menunjukkan pentingnya serasah yang dihasilkan oleh pohon-pohon mangrove
sebagai landasan bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah pantai (Soeroyo,
1987).
Menurut Lear dan Turner (1977), bagian terbesar dari serasah merupakan
bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahan-bahan tersebut
mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari hewan-hewan laut. Bagian
partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri dan seterusnya
dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut sampai
menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan akhirnya dimakan
oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama
perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas
sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh
partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.
Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan
mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama.
Menurut Cracc (1964), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove
adalah sebagai berikut: (1) Iklim, (2) Ketinggian tempat, (3) Kesuburan tanah, (4)
Kelembaban tanah, (5) Kerapatan pohon dan bidang dasar, (6) Pengaruh waktu
2.3.1 Dekomposisi Serasah
Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat terdekomposisi daripada serasah yang
mengandung sedikit unsur hara. Residu tumbuhan yang mempunyai kandungan
dinding sel yang tinggi memiliki konsentrasi unsur hara yang rendah. Keefektifan
bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari
cepat atau lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Air dan
CO2 merupakan senyawa sederhana yang mudah dihasilkan melalui dekomposisi
bahan organik. Proses dekomposisi serasah mangrove menghasilkan unsur hara yang
diserap kembali oleh tumbuhan dan sebagian larut terbawa oleh air surut ke perairan
sekitarnya. Proses akhir dari dekomposisi serasah mangrove serta pelepasan unsur
hara dalam bentuk mineral melengkapi siklus transformasi unsur kimia essensial yang
berguna untuk menunjang kehidupan di alam (Sunarto, 2003)
Penguraian serasah mangrove dalam perairan pantai menghasilkan unsur hara
seperti nitrogen organik dan senyawa fosfat. Di Victoria, Australia materi yang
berasal dari mangrove api-api (A. marina) ternyata sangat kaya unsur hara tersebut,
terutama senyawa fosfat. Peranan mangrove begitu aktif dan penting dalam proses
daur unsur hara. Hal ini telah ditunjukkan pada penelitian di Western Port Bay yang
dilakukan oleh Goulter and Allaway (1979), daun dan akar yang jatuh selama satu
tahun mempunyai kadar nitrogen sebanyak empat kali lipat dan fosfat setengah dari
kadar nitrat dan fosfat dalam perairan di pantai itu sendiri. Penguraian serasah
mangrove menurut Swift et al (1979) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Alam dan komunitas pengurai (binatang dan mikroorganisme).
b. Kualitas sumber (jenis serasah).
c. Faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban tanah.
2.4 Peranan Fungi dalam Dekomposisi Serasah
Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme dalam ekosistem setempat tidak
dapat diabaikan. Aktivitas penguraian bahan organik dan anorganik yang sampai ke
pemakan sampah). Bahan yang telah terurai ini selanjutnya diserap oleh makhluk
ototrof sebagai produsen primer yang sebagian diantaranya berupa mikroba.
Selanjutnya organisme ototrof dikonsumsi oleh kelompok hewan heterotrof seperti
ikan, udang, moluska dan hewan air lainnya (Efendi, 1999). Menurut Sikong (1978),
massa bakteri dan fungi bersama hasil penguraian menjadi makanan bagi organisme
pemakan detritus yang kebanyakan terdiri atas hewan-hewan invertebrata. Organisme
pemakan detritus ini pada gilirannya dimakan oleh ikan-ikan dan crustaceae lainnya.
Seperti saproba lainnya, fungi saprofit merupakan organisme penyebab
kerusakan yang memperoleh unsur hara dari material organik yang telah mati.
Substrat atau sumber nutrisi dapat berupa jasad tumbuhan atau hewan yakni bagian
dari tanaman atau hewan seperti daun, ranting, rambut, sampah organik, beberapa
komponen sintetis, dan beberapa produk lain yang dapat terlarut. Komponen dari
makhluk hidup tersebut digunakan sebagai nutrisi. Dengan degradasi atau
dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah menjadi
molekul-molekul organik. Molekul-molekul ini antara lain seperti polisakarida, asam
organik, lignin, senyawa aromatik dan hidrokarbon alifatik, gula, alkohol, purin, asam
amino, lipid protein dan asam nukleat yang merupakan ciri dari kehidupan
(Moore-Landecker, 1996).
Serasah dari dedaunan tumbuh-tumbuhan tersebut menyumbang unsur hara ke
perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme setempat. Mengingat
lingkungan mangrove pada waktu pasang digenangi air laut, maka mikroorganisme
yang hidup di daerah tersebut harus memiliki ketahanan terhadap lingkungan berkadar
garam tinggi. Selain serasah dari pepohonan mangrove, sungai-sungai yang bermuara
ke daerah tersebut juga membawa bahan organik dari daratan ( Gandjar et al, 2006).
Bagi mikroorganisme, proses degradasi dalam arti sederhana hanya untuk
memperoleh nutrisi dengan mencernanya. Bakteri dan fungi mengeluarkan cairan
berupa enzim ke lingkungan yang memecah molekul spesifik menjadi lebih sederhana
sehingga dapat larut. Menurut Deacon (1984), fungi saprofit diperoleh pada semua
lingkungan baik alami maupun buatan, saproba memproduksi beberapa enzim
juga menghasilkan beberapa polimer yang kompleks dan bersifat resisten dari hasil
aktivitas saprofitnya. Komponen yang dihasilkan dapat berupa bahan utama
pembentuk humus yakni humic acid yang dapat menyuburkan tanah.
Menurut Lear dan Turner (1977), bagian terbesar dari serasah merupakan
bahan pokok untuk tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Bakteri dan fungi yang
terdapat pada serasah tersebut diperkirakan memiliki peranan penting dalam proses
dekomposisi serasah. Menurut Ayunasari (2009), beberapa fungi yang memiliki
kontribusi terbesar dalam proses dekomposisi serasah A. marina adalah Aspergillus
sp., Curvularia sp., Penicillium sp. Menurut Gandjar et al (2006), para peneliti Jepang
telah mengisolasi fungi dari lumpur hutan mangrove yang terdapat di pulau Okinawa,
dan menemukan Penicillium purpurogenum, Aspergillus terreus, Trichoderma
harzianum, Penicillium cristosum, Acremonium alabamense, Talaromyces flavus var.
flavus, dan Phialophora fastigiata. Mereka melanjutkan penelitian dengan
mengisolasi fungi dari rhizosfer tumbuhan mangrove Salicornia europaea L.
(tumbuhan halofit) dan menemukan: Acremonium strictum, Alternaria alternate,
Cladosporium cladosporoides, Penicillium citrinum, Phoma sp., Trichoderma sp.,
Pestalotiopsis sp., Cylindrocarpon destructans, dan Coelomycetes sp.
2.5 Salinitas
Salinitas air juga berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Salinitas
merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan
volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (0/00). Kandungan utama
dari air laut dibentuk oleh ion Na+ dan Cl-, ditambah berbagai jenis unsur lain yang
jumlahnya relatif sedikit. Umumnya garam terlarut pada ekosistem laut terutama
terdiri atas NaCl, sedangkan pada perairan tawar terutama terdiri atas kalsium
karbonat. Berdasarkan venice system to classification of water according to salinity,
jenis air payau (mixohalin) memiliki tingkat salinitas 0,5-30 0/00 (Barus, 2004).
Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila
dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari organisme air akan meningkatkan
proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam
tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton,
tumbuhan air, dan fungi yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Proses
penguraian bahan organik dalam air, yang berasal dari pembuangan limbah cair
misalnya, melalui proses biodegradasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang
dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis alga dan fitoplankton lain. Hal ini akan
menyebabkan kadar garam terlarut dalam air akan mengalami fluktuasi sesuai dengan
fluktuasi dari populasi fitoplankton, tumbuhan air, fungi dan fluktuasi dari jumlah
bahan organik yang ada dalam air (Barus, 2004).
Semakin tinggi tingkat salinitas maka semakin sedikit mikroorganisme yang
mampu beradaptasi dan dapat bertahan hidup. Menurut Muslimin (1996),
mikroorganisme yang terdapat pada perairan dipengaruhi oleh faktor fisik maupun
kimia seperti tekanan hidrostatik, sinar, pH, salinitas dan suhu. Salah satu respons
mikroorganisme terhadap salinitas adalah tidak dapat bertoleransi dan akan mati pada
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Juni 2010 bertempat di
Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara dan Laboratorium
Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan adalah kantong nilon dengan pori-pori 2 mm (40 cm
x 30 cm), tali rafia, hand refractometer, benang nilon, jarum, tabung reaksi, rak
tabung reaksi, cawan petri, jarum ose, bunsen, sprayer, aluminium foil, gelas ukur,
corong, spatula, batang pengaduk, hockey stick, mancis, labu erlenmeyer, gelas
beaker, mortal dan alu, pipet serologi, propipet, kertas saring, hot plate, vorteks,
magnetic stirer, autoklaf, oven, inkubator fungi, mikroskop cahaya, kaca objek,
kulkas, timbangan analitik, timbangan elektrik. Sedangkan bahan-bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah serasah A. marina, media PDA (Potato Dextrose
Agar), antibiotik chloramfenicol, air laut dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30
3.3 Tahapan Penelitian
3.3.1 Penentuan Lokasi berdasarkan Tingkat Salinitas
Penentuan zona salinintas dilakukan setelah melakukan survey lokasi penelitian
terlebih dahulu. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian diukur berdasarkan
tingkat salinitas. Pengukuran tingkat salinitas dilakukan pada titik tertentu dari darat
ke laut dengan menggunakan alat hand refractometer yang terdiri atas 3 zona, yaitu:
a. Lokasi I dengan tingkat salinitas 0-10 ppt
b. Lokasi II dengan tingkat salinitas 10-20 ppt
c. Lokasi III dengan tingkat salinitas 20-30 ppt
3.3.2 Pembuatan Suspensi Fungi
Masing-masing fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. dipotong
berukuran 1x1 cm dan diinokulasikan ke dalam 10 ml air laut yang telah disterilkan
secara aseptis sehingga terbentuk suspensi fungi. Suspensi fungi dihomogenkan
dengan menggunakan vorteks. Suspensi fungi ini digunakan untuk 1 kantong serasah.
3.3.3 Penyiapan Serasah
Daun A. marina di kawasan hutan mangrove desa Sicanang yang sudah menguning
dan gugur dikumpulkan sebanyak 9.450 gram. Sebanyak 50 gram serasah dimasukkan
kedalam kantong serasah yang terbuat dari jaring nilon dengan pori-pori 1 mm (40 cm
x 30 cm). Kemudian suspensi fungi disemprotkan pada serasah daun A. marina.
Jumlah kantong serasah yang diperlukan sebanyak 189 buah (7 pengambilan x 3
3.3.4 Penempatan Serasah
Kantong yang berisi serasah daun A. marina diletakkan pada kawasan payau di sekitar
tambak udang milik masyarakat setempat dengan perbedaan tingkat salinitas.
Pengukuran salinitas dilakukan dengan alat hand refractormeter. Kantong tersebut
kemudian diletakkan pada 3 lokasi dengan perbedaan tingkat salinitas. Salinitas 1
(0-10 ppt), salinitas 2 ((0-10-20 ppt), salinitas 3 (20-30 ppt). Jumlah kantong serasah yang
diperlukan pada setiap salinitas sebanyak 63 buah (7 pengambilan x 3 ulangan x 3
perlakuan).
3.3.5 Pengambilan Serasah
Serasah yang telah diletakkan pada tiap salinitas, diambil setiap 15 hari sekali
sebanyak 9 kantong dengan perlakuan fungi yang berbeda pada setiap salinitas. Pada
setiap pengambilan dan ketiga salinitas sebanyak 27 kantong. Pengambilan serasah
dilakukan sebanyak 7 kali (selama 105 hari). Serasah kemudian dianalisis di
laboratorium untuk mengetahui keanekaragaman dan karakteristik fungi yang didapat.
3.3.6 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)
Media Potato Dextrose Agar (PDA) ditimbang sebanyak 3,9 gram. Kemudian
dilarutkan dengan 100 ml air laut dari masing-masing salinitas serta ditambahkan
Chloramfenicol. Media tersebut dipanaskan diatas hotplate, dan disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf.
3.3.7 Isolasi Fungi dari Serasah
Sebanyak 10 gram sampel serasah A. marina dihaluskan dengan mortal dan alu secara
aseptis. Serasah yang telah halus dicampurkan dengan 100 ml air laut pada
diencerkan sampai mencapai tingkat 10-2. Lalu 1 ml dari pengenceran 10-2 ditanam
kedalam cawan petri yang sudah berisi media PDA dengan menggunakan metode
cawan sebar. Kemudian hasil isolasi diinkubasi selama 5-8 hari. Fungi yang tumbuh
pada media dihitung jumlah koloni masing-masing jenis dan dikultur tunggal untuk
diidentifikasi.
3.3.8 Identifikasi Fungi
3.3.8.1 Identifikasi secara Makroskopis
Masing-masing jenis fungi yang telah diperoleh, dikultur tunggal pada media PDA
dan diidentifikasi secara makroskopis. Identifikasi makroskopis dilakukan setiap hari
selama 7 hari dengan mengamati warna spora, permukaan atas dan permukaan bawah,
serta diameter koloni.
3.3.8.2 Identifikasi secara Mikroskopis
Identifikasi dilakukan dengan metode Block square. Pengamatan hifa, konidia, bentuk
spora, dan warna spora dilakukan di bawah mikroskop cahaya. Data hasil pengamatan
diidentifikasi dan dicocokkan dengan menggunakan buku Fungi and Food Spoilage.
3.4 Variabel yang Diamati
Variabel fungi yang diamati dalam penelitian ini adalah:
a. Jumlah jenis fungi
b. Populasi fungi
c. Frekuensi kolonisasi jenis fungi
3.5 Analisis Data
Metode yang dipakai untuk mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang diisolasi
dari serasah A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada beberapa tingkat
salinitas dilakukan dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner dalam
Odum (1971); Barnes et al (1997) dengan rumus:
H’= -Σ(Ni/N) ln (Ni/N)
dengan:
Ni= nilai kuantitatif suatu jenis
N= jumlah nilai kuantitatif semua jenis dalam komunitas
Kisaran dari Indeks Keanekaragaman (H’) (Magurran, 1988):
0<H’<1,5 = Keanekaragaman rendah
1,5<H’<3,5 = Keanekaragaman sedang
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi
Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. pada beberapa tingkat salinitas di
kawasan mangrove Desa Sicanang, Belawan menunjukkan keanekaragaman jenis
fungi, seperti dijelaskan berikut:
4.1. Jenis-Jenis Fungi
Jenis-jenis fungi pada serasah daun A. marina yang dijadikan kontrol (tanpa aplikasi
fungi) dan setelah aplikasi fungi yang mengalami dekomposisi menunjukkan jumlah
jenis fungi yang berbeda. Jumlah jenis fungi yang diperoleh pada serasah daun A.
marina yang mengalami proses dekomposisi tanpa aplikasi fungi yaitu 4 jenis,
sedangkan jumlah jenis fungi yang diperoleh pada serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp.,
dan Penicillium sp. pada salinitas 0-10 ppt yaitu 15 jenis, 14 jenis pada salinitas 10-20
Tabel 1. Kehadiran Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina pada Kontrol dan setelah Aplikasi Fungi pada Beberapa Tingkat Salinitas
No Jenis fungi Kehadiran
Menurut Affandi (2000), hasil karakterisasi dan identifikasi fungi dari serasah
daun tumbuhan di Kawasan Gunung Lawu, Surakarta, JawaTengah, didapatkan 30
strain jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah, terdiri dari 7 genus
masing-masing Aspergillus (10 jenis), Penicillium (4 jenis), Paecilomyces (2 jenis),
Trichoderma (10 jenis), Ghocladiurn (2 jenis), Gonatobotryum (1 jenis), dan
Syncephalastrum (1 jenis). Dari hasil isolasi serasah daun A. marina ditemukan
beberapa genus berbeda yaitu genus Aspergillus (6 jenis), Penicillium (3 jenis),
Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis),
Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5) diduga karena
dikhususkan pada serasah daun A. marina sedangkan hasil isolasi dari serasah daun
tumbuhan secara umum ditemukan sebanyak 7 genus.
Menurut Gandjar et al (1999), Arthirinium phaeospermum kosmopolit dan
terdapat terutama pada tumbuhan Graminae. Jenis ini telah diisolasi dari tanah hutan,
tanah pertanian, kompos kebun, tanah yang terpolusi sampah, dan kayu yang busuk.
Basipetospora halophila juga telah banyak diisolasi dari tanah di daerah tropis
maupun subtropis. Curvularia sp. banyak sekali ditemukan di daerah tropis, dan
tumbuh dengan baik pada permukaan berbahan selulosa. Jenis ini sering ditemukan
tumbuh di tanah, serasah tumbuhan (seperti daun dan bagian tanaman lainnya)
sering ditemukan dari isolasi tanah ataupun jenis makanan, dan biji-bijian. Diduga
serasah A. marina yang diisolasi mengandung lumpur, atau tanah yang menempel.
Aplikasi fungi pada serasah daun A. marina diharapkan berperan sebagai
dekomposer awal yang berguna untuk merombak senyawa organik yang terdapat pada
serasah tersebut. Menurut Effendi (1999), di lingkungan perairan, keterlibatan
mikroorganisme pengurai seperti fungi dalam ekosistem tidak dapat diabaikan.
Menurut Affandi (2000), keberadaan fungi ini diantaranya adalah sebagai organisme
dekomposer dalam proses dekomposisi serasah yang merupakan proses penting dalam
ekosistem dan memainkan peran penting dalam regulasi unsur hara dan siklus karbon.
Menurut Alexander (1977), Genus Aspergillus, Penicillium, Curvularia dan beberapa
genus lainnya seperti Trichoderma, Pseudomonas, Phanerochaeta, Cellulomonas, dan
Thermospora merupakan fungi perombak bahan organik yang mengurai sisa-sisa
tanaman khususnya yang mengandung hemiselulosa, selulosa, dan lignin.
Fungi-fungi yang diisolasi dari lingkungan mangrove juga mempunyai prospek
pengembangan dalam bidang industri maupun dalam bidang pembuangan limbah
karena mempunyai kemampuan dalam mendegradasi senyawa liyrnoselulosa serta
berpotensi memproduksi enzim, khususnya enzim pemecah lignin. Menurut Eriksson
et al. (1989), fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi yang berperan dalam
mengubah bahan organik kompleks menjadi senyawa organik sederhana. Senyawa
organik sederhana berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan
melepaskan hara di sekitar tanaman.
Faktor salinitas menunjukkan keanekaragaman dan bertambahnya jumlah jenis
fungi yang diperoleh. Serasah daun A. marina dengan aplikasi 3 fungi pada salinitas
0-10 ppt didapatkan jumlah jenis paling banyak yaitu 15 jenis dan paling sedikit pada
serasah daun A. marina dengan aplikasi 3 fungi pada salinitas 20-30 ppt yaitu 12 jenis.
Semakin tinggi tingkat salinitas, semakin sedikit jenis fungi yang didapat. Menurut
memberikan efek negatif terhadap kelimpahan dan keanekaragaman jenis fungi.
Tingginya tingkat salinitas merupakam faktor pembatas yang mengontrol jumlah jenis
fungi dan menyebabkan rendahnya tingkat aktivitas fungi akibat terjadinya shock
osmotic atau toksik yang mengakibatkan menurunnya jumlah jenis yang diperoleh
pada salinitas 20-30 ppt.
Saccharomyces sp. selalu muncul pada setiap salinitas yaitu pada serasah daun
A. marina pada salinitas 0-10 ppt , 10-20 ppt dan 20-30 ppt dan setiap aplikasi 3 jenis
fungi. Menurut Moore-landecker (1996), yeast berkembang cepat dengan membelah
diri dengan cara fission dan budding. Jenis yeast yang diisolasi dari dekomposisi
serasah ini diperkirakan halofil (tahan pada salinitas tinggi) sehingga dapat
menyesuaikan diri pada setiap salinitas.
4.2. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 0-10 ppt
Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp.
(Tabel. 2) dan aplikasi Curvularia sp. (Tabel. 3) pada salinitas 0-10 ppt, sedangkan
serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. (Tabel. 4). Pada aplikasi
Penicillium sp., diperoleh jumlah jenis fungi terbanyak yaitu 14 jenis fungi, sedangkan
pada aplikasi Aspergillus sp. dan Curvularia sp. diperoleh jumlah jenis fungi paling
Tabel 2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10 ppt
No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10
No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10 ppt
No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Serasah daun A. marina dengan aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 0-10 ppt
diperoleh 12 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah A.
tereus yaitu sebesar 8 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 7 kali dengan frekuensi
kehadiran 100%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah sp 5.,
Penicillium sp. 6., dan Penicillium sp. 3 yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Ketiga jenis
ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina dengan aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 0-10 ppt
diperoleh 12 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah
Arthrinium phaeospermum yaitu sebesar 6,57 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak
7 kali dengan frekuensi kehadiran 100%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit
muncul adalah sp. 5., Aspergillus sp. 6., dan A. niger yaitu sebesar 0,09 x 102 cfu/ml.
Ketiga jenis ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina dengan aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 0-10 ppt
diperoleh 14 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah
Saccharomyces sp. yaitu sebesar 19 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 5 kali
dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit
muncul adalah Mucor sp.. dan Aspergillus sp. 5. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml.
Kedua jenis ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
4.3. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 10-20 ppt
Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp.
pada salinitas 10-20 ppt (Tabel. 5). Serasah daun A. marina setelah aplikasi
Curvularia sp. (Tabel. 6). Sedangkan serasah daun A. marina setelah aplikasi
Penicillium sp. (Tabel. 7). Pada aplikasi Curvularia sp., diperoleh jumlah jenis fungi
terbanyak yaitu 15 jenis fungi, sedangkan pada aplikasi Aspergillus sp. diperoleh
Tabel 5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt
No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt
No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt
a: Jumlah kemunculan koloni (kali)/Jumlah pengamatan x 100%
No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 10-20
ppt diperoleh 10 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul
adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 31,9 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak
5 kali dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit
muncul adalah A. niger. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul
sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 10-20
ppt diperoleh 13 jenis. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah
Saccharomyces sp. yaitu sebesar 33,86 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 5 kali
dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit
muncul adalah Penicillium sp. 3 dan sp. 5, yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi
ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 10-20
ppt diperoleh 12 jenis. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah
Saccharomyces sp., yaitu sebesar 17,14 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 4 kali
dengan frekuensi kehadiran 57,14%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit
muncul adalah Penicillium sp. 3. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini
muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
4.4. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 20-30 ppt
Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp.
pada salinitas 20-30 ppt (Tabel. 8). Serasah daun A. marina setelah aplikasi
Curvularia sp. (Tabel. 9). Sedangkan serasah daun A. marina setelah aplikasi
Penicillium sp. (Tabel. 10). Pada aplikasi Penicillium sp. didapatkan jumlah jenis
fungi terbanyak yaitu 11 jenis fungi dan yang paling sedikit diperoleh setelah aplikasi
Tabel 8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 pada Salinitas 20-30 ppt
No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 20-30
No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Tabel 10. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 20-30
No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah
total
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 20-30
ppt diperoleh 8 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak
muncul adalah Arthrinium phaeospermum yaitu sebesar 7,09 x 102 cfu/ml. Jenis ini
muncul sebanyak 3 kali dengan frekuensi kehadiran 42,85%. Jumlah koloni rata-rata
yang paling sedikit muncul adalah A. flavus dan Basipetospora halophila. yaitu
sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi
kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 20-30
ppt diperoleh 9 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak
muncul adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 12,85 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul
sebanyak 6 kali dengan frekuensi kehadiran 85,71%. Jumlah koloni rata-rata yang
paling sedikit muncul adalah A. niger. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini
muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 20-30
ppt diperoleh 11 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak
muncul adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 3,62 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul
sebanyak 3 kali dengan frekuensi kehadiran 42,85%. Jumlah koloni rata-rata yang
paling sedikit muncul adalah Mucor sp., dan Aspergillus sp.5 yaitu sebesar 0,05 x 102
cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa aplikasi Curvularia sp. dan Penicillium
sp. menunjukkan jumlah jenis paling besar yaitu pada salinitas 0-10 ppt dan salinitas
20-30 ppt. Jumlah jenis paling sedikit pada setiap salinitas adalah setelah aplikasi
Aspergillus sp. Aplikasi Penicillium yang biasanya menghasilkan antibiotik berupa
penisilin merupakan antibakteri, jadi penambahan Penicillium tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan fungi yang berperan dalam proses dekomposisi serasah A.
marina. Menurut Greenwood et al (1992), beberapa contoh senyawa yang mempunyai
aktivitas sebagai antibakteri adalah penicillin, cephalosporin, glycopeptide,
tetracycline, chloramphenicol, aminoglycoside, sulfonamide, sedangkan senyawa
yang mempunyai aktivitas sebagai antifungal adalah amphotericin, flucytocin,
Aplikasi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. memiliki arti
penting dalam proses dekomposisi serasah A. marina. Menurut Affandi et al (2001),
jenis-jenis jamur yang bersifat asosiatif dalam proses degradasi serasah mangrove
adalah Aspergillus, Trichoderma, Penicillium, Paecilomyces, Gliocladium,
Gonatobotryum dan Syncephalastrum. Dengan ditambahkan Aspergillus sp.,
Curvularia sp., dan Penicillium sp. diduga terlibat langsung dalam proses
dekomposisi awal serasah A. marina dan kehadiran jenis fungi yang lain umumnya
bersifat saprofit dan berperan sebagai pengurai bahan organik. Fungi tersebut berperan
besar dalam menjaga kelangsungan daur unsur hara khususnya daur karbon, nitrogen,
dan fosfor (Hobbie et al., 2003). Menurut (Gandjar et al., 1999), fungi genus
Aspergillus, Curvularia dan Penicillium yang secara alami banyak ditemukan pada
serasah dan berperan besar dalam proses dekomposisi awal serasah daun.
Aspergillus dan Penicillium merupakan jenis fungi yang paling banyak
ditemukan dari hasil isolasi serasah daun A. marina dengan penambahan Aspergillus
sp. selama 105 hari pada salinitas 0-10 ppt. kelompok fungi ini mendominasi baik dari
segi jenis maupun jumlah yang diduga karena kelompok fungi ini merupakan fungi
Ascomycetes yang sering hidup di tanah sebagai mikroorganisme saprofit. Menurut
(Kohlmeyer et al, 1995), bahwa habitat mangrove bagi kelompok jenis fungi yang
disebut Manglicolous Fungi. Kelompok organisme ini berperan dalam siklus unsur
hara pada habitat mangrove. Menurut Atlas & Bartha (1981), persaingan dalam
memperoleh nutrisi dari material organik menyebabkan peningkatan atau penurunan
populasi fungi. Persaingan ini juga dapat dilihat sebagai daya adaptasi fungi terhadap
proses dekomposisi. Beberapa fungi mungkin terlihat seperti dorman, tetapi masih
memiliki kemampuan untuk mendekomposisi substrat.
Selain itu, Arthirinium phaeospermum, Basipetospora halophila, Curvularia
sp., Mucor sp., dan Saccharomyces sp. juga hasil isolasi dari daun A. marina. Menurut
Gandjar et al (1999), Arthirinium phaeospermum kosmopolit dan terdapat terutama
pada tumbuhan Graminae. Spesies ini telah diisolasi dari tanah hutan, tanah pertanian,
kompos kebun, tanah yang terpolusi sampah, kayu yang busuk, dll. Basipetospora
halophila juga telah banyak diisolasi dari tanah di daerah tropis maupun subtropis.
tanah, serasah, lumpur hutan bakau. Curvularia sp. mampu tumbuh dengan baik pada
permukaan berbahan selulosa. Jenis ini sering ditemukan tumbuh di tanah, serasah
tumbuhan (seperti daun dan bagian tanaman lainnya)
tanah ataupun jenis makanan, dan biji-bijian. Diduga serasah A. marina yang diisolasi
mengandung lumpur, atau tanah yang menempel. Maka spesies ini muncul walaupun
dalam jumlah yang sedikit.
Saccharomyces sp. selalu muncul pada setiap salinitas yaitu pada salinitas 0-10
ppt, 10-20 ppt dan 20-30 ppt dan setelah aplikasi fungi. Menurut Moore-landecker
(1996), yeast berkembang cepat dengan membelah diri dengan cara fission dan
budding. Jenis yeast yang diisolasi dari dekomposisi serasah ini diperkirakan halofil
(tahan pada salinitas tinggi) sehingga dapat menyesuaikan diri pada setiap salinitas.
Menurut Yale & Bohnert (2001), ketahanan Saccharomyces terhadap salinitas tinggi
dipengaruhi oleh mekanisme biokimia khusus yang berkaitan dengan transkripsi
DNA, tanggapan detoksifikasi, transport membran khusus, metabolisme energy
cadangan, komponen lain dalam sel (nitrogen, belerang dan lipid), serta biosintesis
asam lemak/isoprenoid.
Saccharomyces sp. juga selalu ditemukan saat populasi fungi yang lain mulai
menurun sejalan dengan bertambahnya lamanya waktu dekomposisi. Pada salinitas
20-30 ppt disaat spesies tertentu mulai menurun dan sama sekali tidak muncul,
Saccharomyces sp. masih bisa bertahan. Saccharomyces sp. memiliki ketahanan
terhadap salinitas yang lebih tinggi. Menurut Jennings (1990), beberapa jenis
Saccharomyces bahkan mampu hidup pada lingkungan atau dengan konsentrasi NaCl
sebesar 855 mM. dalam kondisi stress, mikroorganisme ini memproduksi substansi
(compatible solute) seperti gliserol. Pada banyak penelitian, substansi ini dipakai
sebagai efek untuk menghilangkan pengaruh garam, seperti NaCl. Mekanisme ini
disebut haloprotection. Yeast seperti Saccharomyces memiliki konsentrasi gliserol
pada selnya sebesar 1,21 M.
Dalam penelitian Fery Kurniawan (2010), bahwa jumlah jenis fungi yang
dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis
fungi dengan 6 genus fungi yaitu Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, Arthrinium,
Curvularia, dan Mucor. Pada penelitian Winda Ayunasari (2009) bahwa jumlah jenis
fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi
(kontrol) dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan
13 jenis fungi dengan 4 genus yaitu Aspergillus, Penicillium, Curvularia, dan
Saccharomyces. Genus Aspergillus dan Penicillium memiliki jumlah jenis yang paling
banyak ditemukan baik pada kontrol maupun pada berbagai tingkat salinitas.
4.5. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Jenis Fungi
Banyak faktor lingkungan yang dapat mempercepat proses dekomposisi, salah satunya
adalah faktor salinitas. Peranan mikroorganisme seperti fungi juga sangat penting.
Hubungan antara tingkat salinitas dengan jumlah jenis fungi yang telah mengalami
proses dekomposisi pada kontrol dan setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia
sp. dan Penicillium sp. pada beberapa tingkat salinitas dapat dilihat pada (Gambar 1.)