• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak Terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak Terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Bogor"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN DAN

KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK TERHADAP

KINERJA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI

KABUPATEN BOGOR

RIZKY PRAYOGO RAMADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Rizky Prayogo Ramadhan

(4)

RINGKASAN

RIZKY PRAYOGO RAMADHAN. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan BURHANUDDIN.

Ayam ras pedaging merupakan salah satu sumber protein hewani yang diminati oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, produk primer maupun olahan yang berasal dari ayam ras pedaging memiliki permintaan yang terus meningkat saat ini. Salah satu sentra produksi ayam ras pedaging yang selama ini memenuhi permintaan ayam ras pedaging berasal dari Provinsi Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor dengan populasi ayam ras pedaging pada tahun 2015 sebesar 19 062 875. Namun terdapat beberapa permasalahan pada usaha peternakan ini, yaitu pertumbuhan jumlah populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor semakin menurun dan kinerja usaha dari peternakan ayam ras pedaging yang terindikasi belum optimal. Hal tersebut disebabkan 1) tingginya risiko yang akan dihadapi oleh para pelaku usaha, khususnya peningkatan harga pakan ternak yang berasal dari luar negeri, sehingga para pelaku usaha mencoba untuk melakukan investasi di sektor usaha lain; 2) iklim usaha peternakan ayam ras pedaging yang tidak mendukung pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging; 3) minimnya kemampuan peternak dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi eksternal, khususnya terkait dengan adopsi teknologi tepat guna bagi pengelolaan di kandang; serta 4) menurunnya sikap kewirausahaan pada diri peternak.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor; 2) menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak terhadap kinerja usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor; 3) serta menghasilkan rumusan kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Jawa Barat. Metode pengambilan sampel responden ditentukan secara convenience

dengan melibatkan sebanyak 120 peternak ayam ras pedaging yang melakukan kemitraan. Para peternak tersebar di beberapa kecamatan, yaitu di Kecamatan Pamijahan, Kecamatan Parung, Kecamatan Nanggung, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Cigudeg, dan Kecamatan Ciampea. Data penelitian yang diperoleh dianalisis menggunakan metode deskriptif, analisis tabulasi silang, dan analisis

multivariate dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).

(5)

peluang, dan kemauan untuk berubah akan meningkatkan perilaku kewirausahaan peternak.

Kompetensi kewirausahaan peternak dipengaruhi oleh faktor kompetensi teknis dan kompetensi managerial peternak. Namun, kompetensi managerial peternak lebih berpengaruh terhadap peningkatan variabel kompetensi kewirausahaan peternak dengan nilai koefisien pengaruh ( ) sebesar 0.78. Hal ini menunjukkan peningkatan kompetensi managerial seperti peningkatan terhadap kemampuan operasional, kemampuan pengelolaan SDM, kemampuan pemasaran, kemampuan pengelolaan keuangan, serta kemampuan bernegosiasi dan berkomunikasi dapat meningkatkan kompetensi kewirausahaan pada diri peternak. Kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging dipengaruhi secara langsung oleh variabel perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan. Analisis model struktural menunjukkan bahwa variabel kompetensi kewirausahaan berpengaruh lebih dominan terhadap kinerja usaha. Variabel kompetensi kewirausahaan tersebut dipengaruhi secara dominan oleh variabel kompetensi managerial. Adapun variabel manifest yang dominan mempengaruhi variabel kompetensi managerial adalah kemampuan peternak dalam mengelola sumber daya manusia. Oleh karena itu, salah satu kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor adalah dengan melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan peternak khususnya terkait peningkatan kompetensi managerial peternak dan kemampuan pengelolaan sumberdaya manusia.

(6)

SUMMARY

RIZKY PRAYOGO RAMADHAN. The Influence of Breeder’s Entrepreneurial Behavior and Entrepreneurial Competence on Broiler Farm Performance in Bogor. Supervised by RITA NURMALINA and BURHANUDDIN.

Broiler chicken is one of animal protein sources that demanded by Indonesian people. The demand of primary and derived products of broiler chicken are increasing nowadays. One of broiler chicken production centers, which have complied with the request of broiler chicken, is from West Java Province particularly in Bogor District with approximately 19 062 875 broiler chickens in 2015. However, there were some problems in this business such as the growth number of broiler chicken population in Bogor District was decreasing and there was indicated that business performance of broiler farm was not optimum yet. They were due to 1) the high risk that will be faced by breeders, especially rising price of animal feed came from abroad, that made breeders try to invest in other business sectors; 2) the business climate of broiler chicken farm that did not support the growth of broiler farm; 3) the farmers lack of adaptability to changes in external conditions, particularly to the adoption of appropriate technologies for henhouse management; and 4) the decreasing of entrepreneurial attitude on the breeders themselves.

The objectives of this research were 1) to analyze some factors that affecting breeders’ entrepreneurial behavior and entrepreneurial competence; 2) to analyze the impact of breeders’ entrepreneurial behavior and entrepreneurial competence on business performance of broiler chicken farm in Bogor, and 3) to formulate policy that can improving the business performance of broiler chicken farm in Bogor.

This research took place in Bogor because it was one of broiler chicken production centers in West Java. The sampling method was using convenience technique, involving of 1β0 breeders’ who did the contract farming when running the business. Those breeders’ scattered in some sub-districts, there were Pamijahan, Parung, Nanggung, Dramaga, Cigudeg, and Ciampea. The data analyzed by descriptive methods, cross tabulation analysis, and multivariate analysis using

Structural Equation Modeling (SEM).

The results showed that breeders’ entrepreneurial behavior variable was influenced by entrepreneurial characteristic variable and business environment variable. The entrepreneurial characteristic variable was more dominant in influencing the breeders’ entrepreneurial behavior with coefficient of influence ( ) by 0.93. This suggested that increasing of entrepreneurial characteristic such as breeders’s business motivation, willingness to work hard, result oriented, willingness to accept the idea, desire for searching information, ability to find opportunities, and willingness to change will enhance breeders’ entrepreneurial behavior.

(7)

management, marketing skills, financial management, and negotiation skills and communication skills will enhance breeders’ entrepreneurial competence.

Business performance of broiler chicken farm was influenced by breeders’ entrepreneurial behavior and entrepreneurial competence. Structural model conducted showed that breeders’ entrepreneurial competence was more dominant in influencing the business performance of broiler chicken farm. Entrepreneurial competence variable was mostly influenced by managerial competence variable. The manifest variable that dominant in increasing the managerial competence was the ability of breeders in managing human resources. Therefore, one of the policies that can be done to improve the performance of broiler chicken farm in Bogor is to make a training to improve the entrepreneurial capacity of breeders, especially related to improvement of managerial competence of breeders and human resource management capabilities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN DAN

KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK TERHADAP

KINERJA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI

KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Pengaruh Perilaku Kewirausahaa dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak Terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor” telah berhasil diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1 Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Burhanuddin, MM atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan kepada penulis selama penyelesaian tesis ini.

2 Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3 Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, MEc selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, MADev selaku dosen penguji perwakilan program studi atas saran dan masukan yang diberikan untuk menyempurnakan tesis ini.

4 Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi dan Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis, beserta seluruh staff Departemen Agribisnis atas dorongan semangat dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan magister.

5 Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerima Beasiswa Unggulan Pegiat Sosial dan Seniman sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah magisternya.

6 Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor atas diskusi, bantuan, dan izin yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 7 Para peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor atas kesediaannya

menjadi responden dalam penelitian ini.

8 Penghargaan yang tinggi dan ucapan terimakasih kepada Ayahanda Iwan Supeno dan Ibunda Windarwati atas doa, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan.

9 Rekan-rekan MSA Angkatan 5 atas dorongan semangat dan kebersamaan selama menempuh studi di Program Studi Magister Sains Agribisnis.

10 Keluarga besar Rumah Peradaban Pelajar Indonesia dan Forkom Alims yang selalu menjadi pengingat untuk menebar kebaikan dimanapun berada serta menjadi tempat silaturahmi yang menyenangkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Kewirausahaan pada Petani 10

Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 11 Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 13 Pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) untuk Analisis

Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 15

Kerangka Pemikiran Teoritis 15

Kerangkan Pemikiran Operasional 23

4 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Populasi dan Sampel Penelitian 25

Metode Pengumpulan Data 26

Variabel Penelitian 26

Metode Pengolahan dan Analisis Data 30

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36

Gambaran Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan di

Kabupaten Bogor 36

Faktor Karakteristik Wirausaha Peternak Ayam Ras Pedaging 43 Faktor Lingkungan Bisnis Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging 46 Perilaku Kewirausahaan Peternak Ayam Ras Pedaging 49 Faktor Kompetensi Teknis Peternak Ayam Ras Pedaging 50 Faktor Kompetensi Manajerial Peternak Ayam Ras Pedaging 52 Kompetensi Kewirausahaan Peternak Ayam Ras Pedaging 55

Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging 56

Analisis Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan Peternak terhadap Kinerja Usaha dengan Pendekatan Structural

(14)

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan

Peternak Ayam Ras Pedaging 67

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan

Peternak Ayam Ras Pedaging 71

Pengaruh Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan

Peternak terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging 74

Implikasi Kebijakan 75

6 SIMPULAN DAN SARAN 78

Simpulan 78

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 83

(15)

DAFTAR TABEL

1 Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian

tahun 2011-2014 2

2 Konsumsi daging segar per kapita per tahun 2010-2014 2 3 Produksi, Pertumbuhan, dan Share Produksi Daging Ayam Ras

Pedaging per Provinsi Tahun 2011-2015 3

4 Populasi ayam ras pedaging di Kabupaten/Kota sentra produksi

Provinsi Jawa Barat tahun 2012-2015 6

5 Variabel manifest karakteristik wirausaha peternak 27 6 Variabel manifest karakteristik lingkungan bisnis 28 7 Variabel manifest karakteristik perilaku kewirausahaan 28

8 Variabel manifest kompetensi teknis peternak 29

9 Variabel manifest kompetensi managerial peternak 29

10 Variabel manifest kompetensi kewirausahaan 30

11 Variabel manifest kinerja usaha peternakan 30

12 Jumlah dan presentase peternak ayam ras pedaging di

Kabupaten Bogor berdasarkan pola usaha kemitraan yang digunakan 37 13 Kapasitas produksi usaha peternakan ayam ras pedaging

berdasarkan pola usaha kemitraan 38

14 Pertumbuhan skala usaha peternakan ayam ras pedaging

berdasarkan pola usaha kemitraan 39

15 Rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum, dan minimum tingkat mortalitas ayam ras pedaging pada periode terakhir

berdasarkan pola usaha kemitraan 39

16 Rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum, dan minimum nilai FCR

ayam ras pedaging pada periode terakhir berdasarkan pola usaha kemitraan 40 17 Lama usaha berdasarkan pola kemitraan yang dilakukan peternak

ayam ras pedaging 41

18 Tingkat pendidikan terakhir peternak berdasarkan pola kemitraan 42 19 Rentang usia peternak berdasarkan pola kemitraan 42 20 Presentase penilaian peternak terhadap faktor karakteristik wirausaha 43 21 Presentase penilaian peternak terhadap faktor lingkungan bisnis 47 22 Presentase penilaian peternak terhadap faktor perilaku kewirausahaan 49 23 Presentase penilaian peternak terhadap faktor kompetensi teknis 51 24 Presentase penilaian peternak terhadap faktor kompetensi manajerial 53 25 Presentase penilaian persepsi peternak terhadap faktor kompetensi

kewirausahaan 55

26 Presentase penilaian peternak terhadap faktor kinerja usaha 56 27 Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) sebelum respesifikasi 59 28 Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) setelah respesifikasi 60 29 Muatan faktor dan nilai t-hitung variabel manifest sebelum respesifikasi

model 61

30 Muatan faktor dan nilai t-hitung variabel manifest setelah respesifikasi 62 31 Pengujian reliabilitas model pengukuran setelah respesifikasi model 64 32 Komposisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan populasi dan pertumbuhan ayam ras pedaging di

Kabupaten Bogor tahun 2010-2015 7

2 Proses Kewirausahaan 16

3 Konsep Perilaku Kewirausahaan 18

4 Model Perilaku Kewirausahaan dan Kinerja Bisnis 19

5 Model Pusat dan Permukaan Kompetensi 20

6 Model Kompetensi Kewirausahaan dan Kinerja Bisnis 21

7 Kerangka pemikiran operasional 24

8 Model Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan

Peternak Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor, Jawa Barat 34 9 Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku

kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak terhadap

kinerja usaha 66

10 Nilai t-hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan dan

kompetensi kewirausahaan peternak terhadap kinerja usaha 66

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji reliabilitas pada model awal 84

2 Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak terhadap

kinerja usaha sebelum dilakukan respesifikasi model 84 3 Nilai t-hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan dan

kompetensi kewirausahaan peternak terhadap kinerja usaha sebelum

dilakukan respesifikasi model 85

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor tumpuan dalam prioritas pembangunan nasional. Hal tersebut disebabkan sektor pertanian merupakan sektor utama dalam menopang ketahanan pangan di Indonesia1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap individu di suatu negara yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Peranan sektor pertanian dalam ketahanan pangan nasional tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan individu di Indonesia dengan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, melainkan juga berperan untuk meningkatkan kualitas produksi dan distribusi pangan, sehingga masyarakat dapat dengan mudah untuk mengakses pangan yang berkualitas. Selain dari peranannya dalam ketahanan pangan, sektor pertanian juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja dalam skala besar. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan usaha pertanian dari hulu ke hilir, menunjukkan bahwa sektor pertanian berperan besar dalam menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat di Indonesia. Pranadji dan Hardono (2015) menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap oleh sektor pertanian pada periode 2004-2014 mencapai 45 persen dari angkatan kerja di Indonesia. Jumlah ini meliputi sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

Peranan sektor pertanian juga dapat diketahui melalui kontribusi sektor pertanian terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional. Menurut Kementan (2015), kontribusi sektor pertanian dalam arti sempit (di luar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2014 yaitu sekitar 879.23 triliun rupiah atau sebesar 10.26 persen dari PDB Nasional. Sedangkan tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian dari tahun 2010-2014 adalah sebesar 3.90 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan PDB Nasional yang mencapai 5.70 persen (Kementan 2015). Salah satu sub sektor yang mengalami pertumbuhan terbesar adalah sub sektor peternakan. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan sub sektor peternakan dari tahun 2011-2014 sebesar 5.07 persen, jumlah ini berada pada peringkat kedua setelah sub sektor perkebunan yang mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 5.97 persen. Menurut Kementan (2015), besarnya laju pertumbuhan sub sektor peternakan disebabkan oleh adanya peningkatan produksi daging secara nasional pada periode 2011-2014 sebesar 5.98 persen per tahun dan menghasilkan 2.98 juta ton daging segar pada 2014 dengan didominasi oleh daging ayam ras pedaging sebesar 52 persen.

1 Siregar BP. 2015. Ekonomi melambat, kinerja sektor pertanian tumbuh positif [internet]. [diunduh

pada: 23 Maret 2016]. Tersedia pada:

(18)

2

Tabel 1 Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2011-2014

Selain memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan nilai PDB di sektor pertanian, sub sektor peternakan juga memiliki beberapa peran strategis yang tidak dimiliki oleh sub sektor lainnya. Daryanto (2009) menyebutkan bahwa sub sektor peternakan merupakan salah satu sumberdaya penting bagi hajat hidup orang banyak serta memiliki potensi sebagai penggerak perekonomian nasional yang berbasis sumberdaya lokal, khususnya dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia melalui daging yang dihasilkan. Ditjennak (2015) menyebutkan bahwa konsumsi daging segar masyarakat Indonesia pada tahun 2014 hanya sekitar 5.005 kg per kapita. Jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Argentina, Brazil, Singapura, dan Malaysia2. Konsumsi daging segar yang dikonsumsi tersebut didominasi oleh daging ayam ras pedaging. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 jumlah konsumsi daging ayam ras pedaging sebesar 3.963 kg per kapita per tahun atau sebesar 79.18 persen dari konsumsi daging segar secara keseluruhan.

Tabel 2 Konsumsi daging segar per kapita per tahun 2010-2014

Komoditas Satuan Tahun Pertumbuhan

(%) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2015)

2 Dyah DA. 2015. Konsumsi daging sapi orang Indonesia masih rendah [internet]. [diunduh pada 20

(19)

3

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tingkat konsumsi daging ayam ras pedaging mengalami peningkatan sebesar 11.76 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih memilih untuk mengonsumsi daging ayam ras pedaging dibandingkan dengan daging lainnya. Peningkatan konsumsi daging ayam ras pedaging tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, sehingga mampu meningkatkan daya beli masyarakat untuk produk olahan berprotein tinggi; (2) harga daging ayam ras pedaging yang lebih terjangkau dibandingkan dengan harga daging sapi; serta (3) banyaknya variasi produk olahan turunan dari daging ayam yang disukai oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak jenuh untuk mengonsumsi satu varian olahan daging ayam (Kementan 2015). Tingginya variasi produk olahan tersebut juga dapat diketahui dari adanya peningkatan jumlah industri pengolahan ayam sebesar 15 persen (Kusnadi et al. 2013).

Jika dilihat dari sisi produksi, populasi ayam ras pedaging di Indonesia selalu tumbuh dan berkembang sejak pertama kali diinisiasi oleh pemerintah melalui program Bimas Ayam tahun 1960 (Tamalluddin 2014). Menurut Ditjennak (2015), pada tahun 2015 populasi ayam ras pedaging mencapai 1 497 626 000 ekor atau tumbuh sebesar 3.76 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan populasi ini berbanding lurus dengan produksi daging ayam ras pedaging yang dihasilkan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan produksi daging ayam mencapai 6.05 persen per tahun (Ditjennak 2015). Berdasarkan Tabel 3, saat ini terdapat lima provinsi di Indonesia yang menjadi sentra produksi daging ayam ras pedaging, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten. Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan produksi daging ayam ras pedaging terbesar di Indonesia memiliki kapasitas produksi sebesar 566 559 ton atau berkontribusi sebesar 34.82 persen produksi daging ayam ras pedaging secara nasional pada tahun 2015.

Tabel 3 Produksi, Pertumbuhan, dan Share Produksi Daging Ayam Ras Pedaging per Provinsi Tahun 2011-2015

Provinsi Produksi (ton) Share

(%)

2011 2012 2013 2014 2015

Jawa Barat 492 413 498 862 563 529 543 765 566 559 34.82

Jawa Timur 159 822 162 845 162 892 198 016 202 967 12.47

Jawa Tengah 104 744 114 178 123 726 130 357 132 563 8.15

DKI Jakarta 108 642 117 913 129 206 102 794 102 794 6.32

Banten 114 568 111 159 109 029 96 554 98 973 6.08

Provinsi Lain 357 722 395 513 409 492 472 893 523 250 32.16

Nasional 1 337 911 1 400 470 1 497 874 1 544 379 1 627 106 100.00

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2015)

(20)

4

sebagai perusahaan peternakan atau usaha peternakan rakyat. Perusahaan peternakan didefinisikan sebagai peternakan yang diselenggarakan dalam bentuk komersil dan mempunyai izin usaha dengan skala usaha yang besar. Sedangkan usaha peternakan rakyat merupakan usaha peternakan yang dijalankan oleh masyarakat umum. Dibandingkan dengan perusahaan peternakan, usaha peternakan rakyat umumnya memiliki keterbatasan modal, adopsi teknologi yang rendah, akses pasar yang sulit dan terbatas, serta kampuan manajerial pelaku usaha (peternak) yang rendah. Perbedaan kemampuan peternak kedua jenis usaha tersebut juga dapat dilihat dari adanya perbedaan tingkat mortalitas dari usaha yang dijalankan. Burhadnuddin (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa rataan tingkat mortalitas bagi perusahaan peternakan lebih rendah dibandingkan dengan usaha peternakan rakyat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan peternakan lebih efisien dibandingkan dengan usaha peternakan rakyat, sehingga hal ini memicu persaingan yang tidak baik dan menyebabkan peternak rakyat banyak yang gulung tikar.

Sebagai upaya untuk melindungi peternakan rakyat, pemerintah menganjurkan peternak untuk melakukan kerjasama melalui pola kemitraan dengan perusahaan peternakan. Inisiasi tersebut mulai dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1984 melalui pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) (Sumardjo et al. 2004). Namun, pola kemitraan tersebut baru diminati oleh sebagian besar peternak rakyat ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejak tahun 1998, berbagai pola kemitraan berkembang dengan pesat. Subkhie (2009) menyebutkan bahwa pola kemitraan ini dilakukan dengan pola kemitraan inti plasma. Tamalluddin (2014) menyebutkan bahwa perkembangan pola kemitraan pada usaha ayam ras pedaging terbagi menjadi tiga pola kemitraan, yaitu sistem kontrak, bagi hasil, dan maklon. Sedangkan Nurfadillah (2015) menyebutkan bahwa dalam usaha ayam ras pedaging, pola kemitraan terbagi menjadi pola inti plasma dan pola kerjasama operasional agribisnis. Daryanto (2009) menyebutkan bahwa berbagai pola kemitraan tersebut merupakan suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat adanya kegagalan pasar dan atau kegagalan pemerintah dalam menyediakan input yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha, serta dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam menjalankan usaha peternakannya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tujuan tersebut tidak selalu tercapai dari setiap pola kemitraan. Noviana (2015) menyebutkan bahwa pada pola kemitraan tidak menguntungkan kedua belah pihak, bahkan cenderung merugikan peternak rakyat seperti buruknya kualitas sapronak, adanya keterlambatan pengiriman sapronak, keterlambatan pembayaran hasil, serta tidak adanya pengayaan dan peningkatan kemampuan bagi peternak plasma. Oleh karena itu, dalam rencana strategis Kementerian Pertanian (2015) disebutkan bahwa salah satu strategi untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah melalui pembangunan menyeluruh berbasis sumberdaya manusia, yaitu peningkatan kualitas para pelaku usahaternak ayam ras pedaging.

(21)

5 penelitian yang dilakukan oleh Muatip et al. (2008), Gerli dan Gubita (2011), dan Pamela (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh positif antara kompetensi yang dimiliki oleh seorang pelaku usaha dengan kinerja usaha pertanian. Kompetensi tersebut disebut sebagai kompetensi kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku usaha. Kompetensi kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam hal pengelolaan teknis dan manajerial yang dimiliki oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Kemampuan ini akan berpengaruh positif terhadap peningkatan suatu kinerja usaha karena dapat memberikan stimulus kepada pelaku usaha agar dapat menjalankan usahanya dengan baik. Stimulus tersebut dapat berpengaruh terhadap kemampuan pelaku usaha dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan yang dilakukan serta mencirikan kemampuan seseorang dalam berperilaku, berpikir, dan bertindak dalam suatu situasi bisnis (Spenser dan Spencer 1993).

Tidak hanya kompetensi kewirausahaan yang perlu ditingkatkan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu menghasilkan kinerja usaha yang lebih baik. Muharastri (2013) menyebutkan bahwa karakteristik seorang pelaku usaha juga dapat mempengaruhi kinerja usaha yang dijalankan. Karakteristik individu tersebut dapat tercermin melalui perilaku para peternak dalam menjalankan usahanya. Perilaku para peternak sebagai seorang wirausaha perlu diperhatikan agar mampu mencapai rencana strategis yang ditentukan oleh pemerintah. Perilaku kewirausahaan tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada berbagai konsep kewirausahaan untuk mengembangkan dan mencapai tujuan usaha, yaitu keberanian mengambil risiko, kemampuan berinovasi atau menciptakan produk baru, memiliki kreativitas, kegigihan, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada (Delmar 1996, Dirlanudin 2010). Oleh karena itu, pengembangan sumberdaya manusia pada sub sektor peternakan melalui penerapan nilai-nilai kewirausahaan diharapkan mampu untuk meingkatkan kinerja usaha.

(22)

6

Perumusan Masalah

Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2016), populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor selalu menjadi yang terbesar dibandingkan dengan Kota dan Kabupaten lainnya di Jawa Barat selama lima tahun terakhir. Jika dilihat pada Tabel 4, diketahui bahwa pada tahun 2015 jumlah populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor adalah sebanyak 19 062 875 ekor atau menguasai 18.33 persen populasi ayam ras pedaging di Jawa Barat. Hal ini membuat Kabupaten Bogor memiliki peran strategis dalam menyediakan daging ayam segar yang menjadi kebutuhan protein hewani masyarakat. Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2016) menunjukkan bahwa besarnya populasi tersebut telah menghasilkan daging ayam segar sebanyak 94 865 480 kg atau berkontribusi sebesar 17.05 persen terhadap produksi daging ayam ras pedaging di Jawa Barat.

Tabel 4 Populasi ayam ras pedaging di Kabupaten/Kota sentra produksi Provinsi Jawa Barat tahun 2012-2015 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat (2016)

(23)

7

Gambar 1 Perkembangan populasi dan pertumbuhan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor tahun 2010-2015

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2016), diolah

Menurunnya tingkat pertumbuhan populasi tersebut disebabkan beberapa hal, seperti: 1) besarnya risiko yang akan dihadapi oleh para peternak, khususnya peningkatan harga pakan ternak yang berasal dari luar negeri, sehingga para peternak mencoba untuk melakukan investasi di sektor usaha lain (Setiadi 2015); 2) iklim usaha peternakan ayam ras pedaging yang tidak mendukung pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging; serta 3) minimnya kemampuan peternak dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi eksternal, khususnya terkait dengan adopsi teknologi tepat guna bagi pengelolaan di kandang. Ketiga hal tersebut perlu untuk diselesaikan agar tidak terjadi ketimpangan antara tingkat permintaan dan ketersediaan bahan baku ayam ras pedaging. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor.

Selama ini, pola usaha ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor terbagi menjadi pola usaha mandiri dan pola usaha kemitraan. Namun jumlah peternakan dengan pola usaha mandiri semakin menurun setiap tahunnya. Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2016) pola usaha kemitraan berkembang di Kabupaten Bogor sebagai alternatif dari pola usaha mandiri. Tujuannya adalah agar para peternak pola mandiri mampu bertahan dalam krisis yang menyebabkan melambungnya harga sapronak, adanya kegagalan pasar dalam menetapkan harga, serta besarnya risiko yang dihadapi (Daryanto 2009).

Berdasarkan hasil studi literatur dan studi pendahuluan yang dilakukan, diketahui bahwa penerapan pola usaha kemitraan pada usaha peternakan ayam ras pedaging masih memiliki beberapa kekurangan. Noviana (2015) menyebutkan

-2500000 -2000000 -1500000 -1000000 -500000 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000

5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Perkembangan Populasi dan

Pertumbuhan Ayam Ras Pedaging di

Kabupaten Bogor

(24)

8

bahwa kontrak kerjasama pada pola kemitraan ayam ras pedaging tidak dibuat berdasarkan kesepakatan antara peternak plasma dan perusahaan inti, namun dibuat berdasarkan keputusan perusahaan inti. Hal ini menyebabkan kontrak tersebut kurang mengakomodir kepentingan peternak plasma, sehingga kontrak tersebut lebih merugikan peternak, seperti adanya keterlambatan dalam pengiriman sapronak, kualitas sapronak yang tidak baik, serta adanya keterlambatan pembayaran hasil panen. Hal ini juga berdampak terhadap rendahnya posisi tawar peternak plasma, sehingga peternak tidak dapat mengutarakan kerugian tersebut kepada pihak perusahaan. Selain itu, Nurfadillah (2015) menyebutkan bahwa harga ayam tidak hanya disepakati melalui kontrak harga melainkan dengan sistem bagi hasil yang disesuaikan pada harga pasar. Hal ini menyebabkan tidak terjadi risk sharing antara peternak plasma dan perusahaan inti karena nilai bagi hasil tersebut sama dengan bunga kredit penyediaan sapronak (Nurfadillah 2015). Fakta ini bertentangan dengan konsep kemitraan dimana kemitraan merupakan bentuk kerjasama yang saling memperkuat, saling menguntungkan, saling menghidupi, dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, meningkatkan skala usaha, serta menumbuhkan kemampuan usaha (Sumardjo et al. 2004).

Hasil pra penelitian di lapangan juga menunjukkan suatu fakta bahwa dari 50 peternak yang dijadikan sampel awal pada penelitian ini memiliki tingkat rata-rata mortalitas sebesar 5.97 persen pada periode terakhir. Rata-rata tingkat mortalitas tersebut masih melebihi nilai mortalitas maksimal yang ditetapkan oleh perusahaan inti, yaitu sebesar 5.00 persen. Selain itu, rata-rata nilai konversi pakan atau Feed Convertion Ratio (FCR) dari sampel awal penelitian ini adalah sebesar 1.55 dengan rata-rata bobot ayam sebesar 1.72 kg. Nilai FCR ini sudah cukup baik, namun nilai konversi pakan tersebut masih lebih besar dibandingkan dengan nilai konversi ideal untuk ayam yang diproduksi selama 32 hari, yaitu sebesar 1.50 (Rasyaf 1993). Hal ini terjadi akibat peternak belum mampu menjalankan usaha secara efisien serta belum mampu menerapkan teknologi tepat guna agar usaha peternakan ayam ras pedaging berjalan secara efisien. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dengan pola kemitraan masih terjadi inefisiensi dalam pengelolaannya. Selain itu, pola usaha tersebut belum mampu meningkatkan kualitas ayam yang dihasilkan. Pola usaha tersebut juga belum mampu untuk meningkatkan kemampuan usaha peternak dalam mengelola usaha peternakannya.

Pelaksanaan pola usaha peternakan ayam ras pedaging yang belum efisien menyebabkan peningkatan pendapatan peternak plasma tidak tercapai. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah belum diterapkannya entrepreneurial skills

(25)

9 dilakukan dengan menganalisis perilaku peternak dalam menjalankan usaha peternakannya.

Pada usaha peternakan ayam ras pedaging, baik pola mandiri maupun pola kemitraan, para peternak sebenarnya telah memiliki nilai-nilai kewirausahaan tersebut. Namun, entrepreneurial skills tersebut perlu distimulus kembali agar menjadi lebih aktif dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi usaha, inovatif dalam melakukan proses produksi, serta memiliki kemampuan yang lebih dalam memperhitungkan berbagai risiko usaha. Argumen tersebut diperkuat oleh penelitian Muharastri (2013), Nursiah (2015), dan Rahmi (2015) yang menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja usaha adalah perilaku kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku usaha. Perilaku kewirausahaan tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman yang dimiliki dan faktor internal pada diri pelaku usaha, sehingga membentuk suatu proses pembelajaran kewirausahaan yang melekat menjadi karakter pelaku usaha. Selain itu, perilaku kewirausahaan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bisnis yang kondusif.

Selain faktor perilaku kewirausahaan, peningkatan kinerja usaha peternakan tersebut harus diimbangi dengan kemampuan peternak dalam mengelola usaha peternakannya. Kemampuan tersebut menjadi suatu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh peternak. Spenser dan Spencer (1993) menyebutkan bahwa suatu kompetensi perlu dimiliki seseorang agar mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi serta mencirikan kemampuan seseorang dalam berperilaku, berpikir, dan bertindak dalam suatu situasi bisnis. Muatip et al. (2008) dalam penelitiannya membagi kompetensi yang perlu dimiliki oleh pelaku usaha di sektor peternakan menjadi dua, yaitu kompetensi teknis dan kompetensi manajerial. Kompetensi teknis menggambarkan kemampuan peternak dalam mengelola ternak yang dimiliki, sedangkan kompetensi manajerial merupakan kemampuan peternak dalam merencanakan, mengorganisir, serta melakukan evaluasi terhadap pengelolaan usaha peternakannya. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Muatip et al. (2008), Gerli dan Gubita (2011), dan Pamela (2013) menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki seseorang berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja usaha sektor pertanian.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka diduga terdapat pengaruh dari perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu timbul beberapa pertanyaan yang menjadi landasan dilakukannya penelitian ini, yaitu: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan dan

kompetensi kewirausahaan peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana pengaruh perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan

terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(26)

10

2. Menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak terhadap kinerja usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. 3. Adanya rumusan kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja usaha

peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembinaan dan pengembangan usaha peternakan ayam ras pedaging, khususnya di Kabupaten Bogor. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah dengan menganalisis perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak dapat dijadikan sebagai suatu alternatif pendekatan lain dalam meningkatkan kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging. Selain itu, penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmiah bidang kewirausahaan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada penilaian persepsi terhadap perilaku kewirausahaan dan kompetensi kewirausahaan peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor serta bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat menyimpulkan kondisi di wilayah lain. Peternak ayam ras pedaging yang dimaksud adalah pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging yang melakukan kemitraan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kewirausahaan pada Petani

Paradigma pembangunan pertanian di masa yang akan datang, tidak hanya berfokus pada penjualan hasil panen yang dihasilkan dan pengembangan usaha yang dimiliki, tetapi juga melakukan pembangunan manusia yang memiliki kemampuan dalam menjalankan usahatani yang dimiliki. Petani yang kompeten diharapkan tidak hanya mampu menciptakan suatu pasar baru dan meningkatkan daya beli, tetapi juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan yang diperoleh dan mampu untuk bersaing dalam era global saat ini. Hal ini hanya akan dicapai jika para petani memiliki daya dorong dari dalam diri berupa jiwa kewirausahaan (Pambudy 2005).

(27)

11 menjalankan usaha akan berdampak positif terhadap kinerja usaha yang dijalankan (Dirlanudin 2010, Puspitasari 2013, Nursiah 2015, Rahmi 2015). Selain itu, tingkat pendidikan, karakteristik petani, dan kompetensi manajerial juga memiliki peranan yang sama pentingnya dalam meningkatkan kinerja usaha yang dijalankan (Sapar 2006, Sumantri 2013, Mothibi 2015). Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai wirausaha memang harus ditempatkan menjadi faktor utama dalam pembangunan pertanian.

Seorang petani yang memiliki jiwa kewirausahaan akan melihat usahatani yang dijalankan sebagai suatu bisnis. Orientasi bisnis terhadap usaha yang dijalankan ini menjadi penting karena dapat menjadikan petani mampu melihat pertanian sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan. Implikasinya adalah petani mempunyai gairah dalam menjalankan usahanya dan mampu mengambil risiko yang telah diperhitungkan untuk mencapai keuntungan. Oleh karena itu, ketekunan bagi seorang petani wirausaha adalah suatu keharusan yang akan berpengaruh terhadap kinerja usaha yang dijalankan (Rahmi 2015).

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja usaha di sektor pertanian dalam rangka pembangunan pertanian dapat difokuskan pada petani sebagai pelaku utama dalam pembangunan pertanian. Petani dengan kemampuan dan nilai-nilai kewirausahaan yang dimiliki, mampu menemukan kombinasi-kombinasi baru yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja usaha pertanian yang dimilikinya. Oleh karena itu, kemampuan dan nilai-nilai kewirausahaan pada diri petani harus terus dikembangkan dan mencapai kondisi optimal. Pengembangan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi internal petani, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar diri petani (Sapar et al. 2006, Dirlanudin 2010, Wijayanto 2013, Rahmi 2015). Oleh karena itu, perlu ada peran pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk mengatur berbagai kebijakan yang dapat mengoptimalkan kemampuan dan nilai-nilai kewirausahaan yang dimiliki petani, seperti menciptakan iklim usaha yang kondusif (Nursiah 2015), melakukan penyuluhan dan pelatihan (Sapar et al. 2006, Mothibi 2015, Rahmi 2015), pemberian akses permodalan dan kemudahan dalam memperoleh input produksi (Dirlanudin 2010, Rahmi 2015), serta pemberdayaan kelompok-kelompok tani (Dirlanudin 2010, Nursiah 2015, Rahmi 2015).

Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha

Kinerja suatu usaha dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah penjualan, adanya peningkatan pendapatan, tingkat pengembalian modal, serta meluasnya pangsa pasar. Keeh et al. (2007) menjelaskan kaitan antara kinerja bisnis dan pendapatan, dimana kinerja adalah keinginan untuk tumbuh yang tercermin dalam pendapatan. Sementara itu, menurut Praag (2008) keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya keberlangsungan dan pertumbuhan usaha, penambahan tenaga kerja, dan peningkatan keuntungan dan pendapatan.

(28)

12

kewirausahaan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada berbagai konsep kewirausahaan untuk mengembangkan dan mencapai tujuan usaha, yaitu keberanian mengambil risiko, kemampuan berinovasi atau menciptakan produk baru, memiliki kreativitas, kegigihan, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada (Delmar 1996, Dirlanudin 2010). Selain itu, perilaku kewirausahaan dapat diukur dengan penilaian terhadap pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Sapar et al. 2006, Dirlanudin 2010). Berbeda dengan Sumantri (2013) yang melakukan penilaian perilaku kewirausahaan dengan mengukur tingkat motivasi, inovasi, dan keberanian mengambil risiko. Sikap inovasi dan pengambil risiko merupakan dua indikator penilaian yang sesuai untuk kondisi peternakan ayam ras pedaging. Burhanuddin (2014) menyebutkan bahwa inovasi merupakan salah satu sikap yang mempengaruhi secara signifikan pada kewirausahaan ayam ras pedaging peternak rakyat mandiri. Kemudian sikap berani mengambil risiko merupakan sikap yang sesuai dengan kondisi usaha ayam ras pedaging yang memiliki banyak risiko, baik risiko produksi maupun risiko harga.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan yang mampu mendorong seseorang untuk menjadi seorang wirausaha sukses. Beberapa penelitian terdahulu, membagi berbagai faktor tersebut menjadi dua kategori, yaitu faktor internal yang berasal dari diri pengusaha tersebut dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri pengusaha tersebut. Berbagai literatur menyebutkan bahwa faktor internal yang dapat berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan seseorang meliputi usia, pendidikan formal, dan pendidikan non formal (Sapar et al. 2006). Hal ini disebabkan ketiga indikator tersebut memberikan pengaruh terhadap pola pikir seseorang dalam menjalankan usahanya. Selain itu, faktor internal yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan adalah pengalaman menjalankan usaha, motif untuk berprestasi, dan motivasi menjalankan usaha (Sapar et al. 2006, Puspitasari 2013, Rahmi 2015). Sedangkan menurut Nursiah (2015) faktor internal yang menjadi penentu perilaku kewirausahaan seseorang adalah sifat inovatif yang dimiliki.

(29)

13 Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha

Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa kompetensi kewirausahaan yang dimiliki oleh seorang wirausaha dapat mempengaruhi kinerja usaha yang dijalankannya. Muatip et al. (2008), Gerli dan Gubita (2011), dan Pamela (2013) menyebutkan bahwa kompetensi kewirausahaan mempengaruhi kinerja bisnis yang dijalankan. Sedangkan dalam penelitian Muharastri (2013) disebutkan bahwa tidak hanya kompetensi kewirausahaan yang mempengaruhi kinerja bisnis yang dijalankan melainkan secara bersama-sama dengan karakteristik individu dapat mempengaruhi kinerja bisnis.

Kompetensi merupakan karakteristik mendasar yang dimiliki seseorang dan menentukan hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam pekerjaan tersebut (Spenser dan Spencer 1993). Kompetensi yang dimiliki seseorang dapat menentukan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan yang dilakukan dengan baik atau tidak, serta menentukan bagaimana seseorang dalam berperilaku, berpikir, menyesuaikan diri dalam situasi, dan kemampuan bertahan dalam waktu yang lama.

Oleh karena itu, berbagai faktor yang mempengaruhi kompetensi yang dimiliki oleh seorang wirausaha menjadi penting untuk diketahui. Hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai kompetensi menjadi semakin komprehensif dan dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kinerja bisnis yang dijalankan oleh seorang wirausaha. Syafruddin (2006), Muatip et al. (2008), Negara et al. (2013), dan Muharastri (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karakteristik individu seorang wirausaha memiliki pengaruh terhadap kompetensi kewirausahaan yang dimiliki. Selain itu, kompetensi yang dimiliki oleh seorang wirausaha juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana bisnis tersebut dijalankan (Muatip et al. 2008, Maman dan Jahi 2009), dan orientasi individu dalam menjalankan usahanya (Gerli dan Gubitta 2011, Pamela 2013).

Pada usaha peternakan, faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi tersebut dapat dibagi menjadi dua faktor utama, yaitu kompetensi teknis dan kompetensi manajerial. Muatip et al. (2008), Negara et al. (2013), dan Muharastri (2013) termasuk yang melakukan pembagian dua jenis kompetensi ini untuk dijadikan aspek pembahasan dalam penelitiannya. Kompetensi teknis dijelaskan berdasarkan kemampuan yang dimiliki peternak terkait dengan pengelolaan usahaternak yang dijalankan seperti kemampuan berproduksi, pemeliharaan, pembersihan kandang, serta kemampuan yang berkaitan dengan aspek teknis lainnya. Sedangkan kompetensi manajerial dapat dijelaskan berdasarkan kemampuan peternak dalam melakukan manajemen usaha peternakannya yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan evaluasi jalannya proses produksi.

(30)

14

Berdasarkan penjelasan di atas, baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial memiliki pengaruh terhadap kinerja usaha yang dijalankan. Peningkatan kemampuan seorang wirausaha di sektor peternakan tentunya dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan informal serta penyuluhan (Muatip et al. 2008, Gerli dan Gubitta 2011, Muharastri 2013) dan perbaikan orientasi individu dalam menjalankan usaha ternaknya (Pamela 2013) sehingga para peternak memiliki kemampuan yang lebih baik pada kompetensi manajerial. Pada akhirnya kompetisi yang semakin baik ini akan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha ternak yang dijalankan.

Pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) untuk Analisis Perilaku Kewirausahaan dan Kompetensi Kewirausahaan

Structural Equation Modeling (SEM) merupakan salah satu model ilmu statistik yang dapat menjelaskan hubungan-hubungan diantara satu variabel dengan variabel lainnya. Persamaan tersebut menggambarkan semua hubungan diantara konstruk yang membangun model (variabel dependen dan independen) di dalam suatu analisis (Wijanto 2008). Model SEM memiliki karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa. Model regresi pada umumnya melakukan spesifikasi hubungan antara variabel-variabel tidak teramati (variabel laten). Wijanto (2008) menjelaskan bahwa SEM memiliki kelebihan dibandingkan dengan regresi berganda, yaitu SEM dapat mengatasi variabel laten yang dapat menimbulkan kesalahan pengukuran pada regresi berganda dengan memasukkan kesalahan pengukuran tersebut melalui persamaan-persamaan yang ada pada model pengukuran. Parameter-parameter dari persamaan pada model pengukuran SEM merupakan muatan faktor dari variabel laten terhadap indikator terkait. Dengan demikian, model SEM tersebut selain memberikan informasi tentang hubungan diantara variabel-variabelnya, juga memberikan informasi tentang muatan faktor dan kesalahan-kesalahan dalam pengukuran.

Pendekatan SEM banyak digunakan untuk menganalisis perilaku, termasuk perilaku kewirausahaan. Dirlanudin (2010) menggunakan model SEM untuk melihat perilaku kewirausahaan dan pengaruhnya terhadap keberhasilan usaha kecil berbasis industri agro. Pendekatan serupa dilakukan oleh Sumantri (2013), Puspitasari (2013), Burhanuddin (2014), Nursiah (2015), dan Rahmi (2015). Sumantri (2013) menggunakan SEM untuk menganalisis pengaruh karakteristik personal dan lingkungan internal-eksternal terhadap jiwa kewirausahaan serta menganalisis pengaruh jiwa kewirausahaan, karakteristik personal, dan lingkungan internal-eksternal usaha terhadap kinerja usaha. Puspitasari (2013), Nursiah (2015), dan Rahmi (2015) menggunakan SEM untuk menganalisis pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap perilaku kewirausahaan serta menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha petani. Kemudian Burhanuddin (2014) menggunakan SEM untuk menganalisis pengaruh faktor internal-eksternal usaha peternakan ayam broiler terhadap aktivitas kewirausahaan yang dilakukan serta untuk menganalisis bagaimana pengaruh aktivitas kewirausahaan terhadap pertumbuhan bisnis peternakan.

(31)

15 variabel-variabel tersebut. Selain itu, dalam penggunaan model SEM, diperlukan jumlah responden dalam ukuran besar. Dirlanudin (2010), Sumantri (2013), Puspitasari (2013), Burhanuddin (2014), Nursiah (2015), dan Rahmi (2015) menggunakan lebih dari atau sama dengan 100 responden dalam penelitian yang dilakukan. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan dalam penggunaan metode ini, yaitu harus menggunakan sample atau jumlah responden yang cukup banyak. Firdaus dan Farid (2008) juga menyatakan bahwa syarat jumlah responden yang memadai untuk digunakan pada analisis SEM sebaiknya berjumlah antara 100 sampai 200 responden, sehingga hasil analisis mampu menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Kewirausahaan

Drucker (1991) menyatakan bahwa konsep kewirausahaan pertama kali diungkapkan oleh ahli ekonomi Perancis bernama JB. Say sekitar tahun 1800, yaitu dengan memberikan pengertian terkait dengan aktivitas memindahkan sumber daya ekonomi dari kawasan produktivitas rendah ke kawasan produktivitas yang lebih tinggi dan hasil yang lebih tinggi. Casson et al. (2006) memaparkan bahwa pemikiran kewirausahaan yang popular adalah pengertian wirausaha yang didasarkan atas pemikiran Schumpeter pada tahun 1934 yang menyebutkan bahwa entrepreneur adalah seorang inovator yang menciptakan industri baru dan dengan cara tersebut mempercepat perubahan struktural dalam ekonomi melalui pengembangan suatu teknologi. Robbins dan Coulter (2010) mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang berani mengambil risiko waktu dan finansial secara terorganisir dalam mengejar peluang untuk menciptakan nilai dan pertumbuhan melalui inovasi dan keunikan, tanpa memandang sumberdaya yang sekarang dikendalikannya.

Alma (2007) berpendapat bahwa wirausaha adalah seorang inovator, seorang individu yang bergerak dengan naluri dalam melihat peluang-peluang yang ada serta mempunya semangat, kemampuan, dan pikiran untuk menaklukan cara berpikir lamban dan malas. Seorang wirausaha juga mempunya peran untuk menemukan kombinasi-kombinasi baru yang merupakan gabungan dari pengenalan barang dan jasa baru, metode produksi baru, sumber bahan mentah baru, pasar-pasar baru, dan organisasi industri baru. Davidsson (2003) dan Kirzner (1973) berpendapat bahwa wirausaha memiliki perilaku kompetitif yang mendorong pasar, bukan hanya menciptakan pasar baru tetapi menciptakan inovasi baru ke dalam pasar, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

(32)

16

kemungkinan dan memperhitungkan tindakannya secara tepat sehingga mampu meraih kesuksesan.

Sedangkan Casson et al. (2006) menyatakan bahwa pendekatan utama wirausaha dalam teori ekonomi dibedakan menjadi empat hal, yaitu wirausaha sebagai pengambil risiko, wirausaha sebagai sebuah perantara pada proses pasar (Kirzner 1973), wirausaha sebagai seorang inovator (Schumpeter dalam Burhanuddin 2014), dan wirausaha sebagai seorang yang ahli dalam membuat suatu keputusan (Casson et al. 2006). Pambudy (2005) mendefinisikan bahwa wirausaha merupakan seseorang yang menciptakan sebuah usaha yang dihadapkan dengan risiko dan ketidakpastian untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan bisnis dengan cara mengenali kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Wirausaha adalah seseorang yang menciptakan sebuah usaha baru dengan menghadapi risiko dan ketidakpastian melalui pengidentifikasian peluang-peluang yang dilakukan dengan melakukan kombinasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan manfaatnya (Zimmerer dalam Muharastri 2013).

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa kewirausahaan merupakan suatu proses yang secara terintegrasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Menurut Bygrave (1997), proses kewirausahaan diawali dengan adanya suatu inovasi yang akan dilakukan oleh seseorang dan mendorong seseorang untuk melakukan suatu hal yang berbeda dari biasanya. Setelah itu, proses kewirausahaan dilanjutkan ke tahapan pemicu, dimana pada tahapan ini seseorang memutuskan untuk menjadi wirausaha atau tidak. Kemudian, tahapan selanjutnya adalah tahap implementasi yang dicerminkan dari dibukanya usaha oleh seseorang. Dan tahap terakhir adalah tahap pertumbuhan bisnis yang dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan, peningkatan jumlah usaha, dan status kepemilikan usaha. Untuk lebih jelasnya, tahapan proses kewirausahaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Perilaku Kewirausahaan

Apabila dicermati, kewirausahaan muncul karena adanya dorongan perilaku dan sikap kepribadian yang dimiliki oleh individu. Perilaku-perilaku inilah yang dapat menunjukkan bagaimana kewirausahaan dapat dilakukan serta perilaku ini yang menunjukkan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang wirausaha. Lewin dalam Dirlanudin (2010) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku dengan kepribadian seseorang. Hubungan tersebut dirumuskan menjadi Personality = f (heredity, experience), artinya kepribadian merupakan fungsi dari pembawaan sejak lahir dan lingkungan (pengalaman). Berdasarkan teori tersebut, terdapat aspek-aspek pembawaan dari lahir sebagai sifat keturunan atau genetic. Selain itu, perilaku tersebut juga terbentuk akibat adanya

Triggering Event (Pemicu) Innovation

(Inovasi)

Implementation (Penerapan)

Growth (Tumbuh)

(33)

17 pengaruh dari lingkungan eksternal. Dirlanudin (2010) mengemukakan bahwa pada dasarnya lingkungan memberikan input berupa pengaruh pada seseorang berupa motivasi untuk melakukan proses perubahan berupa suatu tindakan atau perilaku tertentu.

Manusia memiliki sifat dasar yang dibawanya sejak lahir, sifat dasar tersebut adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan motivasi untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Baik kebutuhan berprestasi, menunjukkan kemampuan diri, serta berkuasa (need for power, need for affiliation, and need for achievement). Berdasarkan sifat dasar tersebut, manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup ekonominya dengan dasar motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari segi perekonomian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara pengaruh lingkungan seseorang serta sifat dasar manusia akan menimbulkan kebutuhan serta motivasi untuk berkembang. Motivasi tersebut mendorong seseorang untuk melakukan atau berperilaku sebagai wirausaha. Perilaku seorang wirausaha sangat dipengaruhi oleh sifat dasar manusia serta lingkungannya. Menurut David Mc Clelland dalam Riyanti (2003) menyatakan bahwa seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki keinginan berprestasi yang tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berwirausaha.

Berdasarkan definisi dari wirausaha yang dikemukakan oleh beberapa pakar, seorang wirausaha mempunyai aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri seseorang yang akan menjadikan dirinya menjadi wirausaha, dan ditunjukkan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam melakukan usaha dengan keberanian berinovasi serta berani mengambil risiko. Aspek-aspek tersebut tercermin dalam perilaku pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Perilaku kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang berdasarkan pada konsep-konsep kewirausahaan dalam mengembangkan usaha dan mencapai tujuan usahanya, yaitu konsep berani mengambil risiko, berinovasi, memiliki kreativitas, gigih, serta mampu membaca peluang yang ada sehingga mampu menciptakan produk baru yang berbeda. Menurut Bird (1996), perilaku kewirausahaan adalah aktivitas wirausaha yang mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), berani menerima risiko, dan kreatif. Perilaku kewirausahaan tidak terlepas dari karakteristik atau ciri yang dimiliki oleh pelaku wirausaha.

(34)

18

proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi. Proses perilaku terbentuk dan berkembang berdasarkan komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik dikaitkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Kognitif berhubungan dengan kepercayaan (belief), ide, dan konsep. Kepercayaan muncul berdasarkan pa yang pernah dilihat dan diketahui. 2. Afektif lebih terkait dengan kehidupan emosional seseorang yang secara

umum sebagai reaksi emosional ditentukan oleh kepercayaan.

3. Psikomotorik merupakan kecenderungan dalam tingkah laku dengan obyek yang dihadapi. Kecenderungan terhadap perilaku yang konsisten serta selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang membentuk perilaku kewirausahaan.

Perilaku kewirausahaan terbentuk dari unsur-unsur atas perilaku yang tidak tampak pada diri seorang wirausaha yang terdiri dari pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta unsur pembentuk yang tampak yaitu keterampilan (psycomotoric) dan adanya tindakan nyata (action) yang dilakukan (Bird 1996), seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Penelitian lain pun menyebutkan bahwa perilaku kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang pengusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tindakan-tindakan inilah yang nantinya menentukan bagaimana suatu proses bisnis yang dijalankan dapat berhasil atau tidak. Secara lebih terperinci, perilaku wirausaha dapat dijabarkan menjadi apa yang diinginkan dan dilakukan oleh seorang pengusaha, dan bagaimana kaitannya dengan kinerja usaha yang dijalankan. Delmar (1996) menyebutkan bahwa perilaku kewirausahaan akan sangat menentukan bagaimana kinerja dari usaha tersebut. Perilaku para pengusaha ini timbul akibat adanya pengaruh dari sisi internal dari masing-masing pengusaha ataupun lingkungan di luar diri pengusaha tersebut (Bird 1996; Delmar 1996). Faktor internal individu meliputi motivasi individu dan kemampuan tiap individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan untuk faktor lingkungan eksternal meliputi bagaimana pengaruh lingkungan bisnisnya dan respon individu tersebut terhadap lingkungan.

Berdasarkan dari teori Delmar (1996), yang menyatakan bahwa ada kaitan antara perilaku kewirausahaan dengan kinerja bisnis. Kinerja usaha atau bisnis dapat juga diartikan sebagai keberhasilan usaha yang telah dicapai. Beberapa

Pengetahuan (cognitive)

Sikap Mental (affective)

Keterampilan (psycomotoric)

)

Tindakan Nyata (action)

Perilaku Kewirausahaan

(35)

19 peneliti telah menjabarkan definisi dari kinerja bisnis (business performance) yaitu gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja perusahaan dapat dilihat atau diukur dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, dan pangsa pasar yang diraihnya. Keeh et al. (2007) menjelaskan kaitan antara kinerja bisnis dan pendapatan, di mana kinerja adalah keinginan untuk tumbuh yang tercermin dalam pendapatan. Sementara itu, menurut Praag (2008) keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya keberlangsungan dan pertumbuhan usaha, penambahan tenaga kerja, dan peningkatan keuntungan dan pendapatan. Berikut disajikan model umum perilaku kewirausahaan dan kinerja usaha menurut Delmar (1996) pada Gambar 4.

Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara perilaku kewirausahaan dan kinerja suatu bisnis. Faktor internal individu dapat dinilai melalui pendekatan karakteristik individu para pelaku usaha yang dapat dilihat dari pendidikan, usia, pengalaman, serta latar belakang keluarga (Hisrich 1992). Selain itu, penilaian karakteristik seorang wirausaha juga dapat dilakukan dengan menilai beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu kemauan bekerja keras, insiatif, kemampuan untuk berorientasi hasil, keuletan, rasa percaya diri, kemauan menerima ide, ketegasan, kemauan mencari informasi, kemauan untuk belajar, kemauan untuk mencari peluang, dan kemauan untuk berubah (Wickham 2004). Sedangkan untuk mengetahui bagaimana faktor lingkungan eksternal individu dapat mempengaruhi perilaku kewirausahaan individu, dilakukan dengan mengetahui iklim bisnis dari usaha yang dijalankan.

Kompetensi Kewirausahaan

Peternak tidak hanya berperan sebagai seorang wirausaha, melainkan berperan juga sebagai seorang manajer dalam menjalankan usahanya. Sebagai seorang manajer, peternak diharuskan untuk memiliki kemampuan dalam mengembangkan strategi untuk mengatur, merencanakan, merealisasikan rencana, dan mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan usahaternaknya. Pada usahaternak ayam ras pedaging, kompetensi manajerial merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh peternak ayam ras pedaging karena usahaternak ayam ras pedaging memiliki karakteristik sebagai usahaternak yang sangat rentan terhadap penyakit dan memiliki proses manajemen kandang yang sangat ketat. Kompetensi

Faktor Internal Individu

Faktor Lingkungan

Perilaku

Kewirausahaan Kinerja Bisnis

(36)

20

manajerial tersebut dibutuhkan peternak untuk merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan usaha peternakan ayam ras pedaging yang dijalankannya. Spenser dan Spencer (1993) menyebutkan bahwa inilah yang disebut sebagai suatu kompetensi dalam diri seorang pengusaha, dimana kompetensi ini merupakan karakteristik mendasar yang menentukan hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai kriteria yang ditentukan. Bird (1996) menambahkan bahwa kemampuan manajerial seorang wirausaha merupakan salah satu penentu keberhasilan dari usaha yang dijalankannya.

Tingkat kompetensi seseorang akan menentukan kemampuan dirinya dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak, serta menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan diri dalam berbagai situasi, dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Spenser dan Spencer (1993) menambahkan bahwa kompetensi merupakan karakter individu yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat suatu kesimpulan atas situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam dirinya. Spenser dan Spencer (1993) menggambarkan bahwa kompetensi terbagi menjadi dua unsur utama seperti model gunung es, yaitu unsur yang dapat dilihat dan unsur yang tersembunyi. Unsur yang dapat dilihat merupakan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pengusaha. Unsur ini merupakan unsur yang dapat diubah dan dikembangkan melalui pelatihan agar kualitasnya semakin membaik. Sedangkan unsur yang tersembunyi merupakan konsep diri, karakter pribadi, dan motif. Unsur-unsur ini merupakan unsur-unsur yang tidak mudah untuk diubah karena merupakan sifat yang sudah melekat pada diri individu tersebut. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh seorang pengusaha dapat ditingkatkan kemampuannya untuk mencapai kinerja usaha yang lebih baik lagi. Seorang pelaku usaha yang memiliki kompetensi yang baik dapat

Keterampilan Pengetahuan

Konsep Diri Karakter Pribadi Motif

Terlihat

Tersem -bunyi

Karakter pribadi, motif

Sikap, Nilai Konsep Diri

Pengetahuan Keterampilan

Lapisan yang mudah diubah

Lapisan yang sulit diubah

Gambar

Gambaran Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan di
Tabel 1 Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2011-2014
Tabel 4  Populasi ayam ras pedaging di Kabupaten/Kota sentra produksi Provinsi
Gambar 1  Perkembangan populasi dan pertumbuhan ayam ras pedaging di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Batas kematian ayam akibat hama dan predator yang dianggap normal oleh para peternak yang berada di Kecamatan Pamijahan diperoleh dari nilai rata-rata persentase

Pengusahaan ayam ras yang paling menguntungkan dilakukan oleh peternak mitra skala I dengan R/C rasio sebesar 1.47, yang berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang

(1997) menyimpulkan bahwa: (1) usaha ayam ras rakyat sulit berkembang karena peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan peternak kemitraan baik dalam memperoleh harga input

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung

Pendapatan usahaternak pada peternak mandiri lebih tinggi dari peternak plasma baik atas biaya tunai maupun biaya total.. Tingginya pendapatan peternak mandiri karena

MLJ, biaya produksi yang dikeluarkan oleh peternak, penerimaan usaha serta pendapatan yang diterima oleh peternak selama satu periode pemeliharaan.. Berdasarkan kegiatan PKL

Pengusahaan ayam ras yang paling menguntungkan dilakukan oleh peternak mitra skala I dengan R/C rasio sebesar 1,47, yang berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa kedua karakteristik peternak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kedua kom- petensi, serta berpengaruh tidak langsung terhadap