SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Verina Pradita Agusti NIM : 1111048000082
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Verina Pradita Agusti
NIM : 1111048000082
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
ii
iii
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dlaam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011), Kosentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M, viii + 66 halaman + 3 daftar pustaka + halaman lampiran.
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam tentang perlindungan hukum bagi pasien korban malpraktek dengan menelaah Undang Kesehatan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Perundang-Undang-Undangan yang terkait. Serta bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus perkara malpraktek telah sesuai atau tidak dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dengan melihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 sebagai bahan pertimbangan analisis atas permasalahan yang akan diteliti.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non-hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan), baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ataupun bahan non hukum dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif. Dalam pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian ini adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini sudah dapat melindungi pasien dari adanya dugaan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal membuktikan bahwa dokter melakukan suatu tindakan malpraktek harus melihat kepada Peraturan Perundang-Undangan khusus yaitu Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kesehatan dan Pratik kedokteran.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen, Malpraktik, Pasien.
v
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPRATEK (Analisis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)”. Sholawat serta
salam penulis sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH.,MA., selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA., selaku sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sodikin, SH., MH., dan Fitria, SH., MR., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, dan ketelitian serta memberikan masukan dan mau meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
4. Dr. Mahesa Paranadipa, MH. yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi yang dibutuhkan penulis untuk menyempurnakan skripsi penulis.
5. Dra. Hj. Hafni Mochtar, SH, MH, MM. dan Nur Rohim Yunus, LLM, yang telah meluangkan waktu yang berharganya untuk menguji skripsi penulis serta memberikan masukan terhadap skripsi yang penulis buat.
6. Pembimbing Akademik, Bapak Burhanuddin, M.Hum. yang telah banyak membantu penulis.
7. Segenap staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 8. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
memberikan semangat dan dukungan selama ini kepada penulis.
11.Kepada Nenek dan Mbah Putri yang selalu senantiasa mendoakan yang terbaik untuk penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12.Kepada Almarhum kakek dan mbah yang selalu memberikan nasehat–nasehat yang tak pernah terlupakan untuk penulis untuk selalu berjuang.
13.Kepada Nurdiansyah, yang telah banyak memberikan banyak dukungan, semangat, dan motivasi serta selalu meluangkan waktunya untuk menemani penulis selama pengerjaan skripsi ini hingga skripsi ini terselesaikan.
14.Sahabat – sahabatku tercinta Elfa Juliana, Ike Pratiwi Wulandari, Nurul Afifah Puspa, Siti Nuraini, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini dan selalu memberikan semangat serta dukungan kepada penulis.
15.Sahabat – sahabat di kampus khususnya untuk Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty Zahara, Fitriana, Syahirah Banun, Lidia Asrida, terima kasih untuk kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini yang senantiasa memberikan warna baru dikehidupan penulis selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini.
16.Keluarga besar Ilmu Hukum kelas B dan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas ilmu dan kebersamaan untuk selalu berbagi.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 28 Mei 2015
vii
LEMBAR PERNYATAAN ………...…….………. iii
ABSTRAK …...………...………..…. iv
KATA PENGANTAR …..………....………...….... v
DAFTAR ISI ………..………..………. vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….….... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah ………..………….….. 5
2. Rumusan Masalah ………..………….….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ………...………....….. 6
2. Manfaat Penelitian ………..……….….. 7
D. Tinjauan Studi (Review) Terdahulu ………...……….…. 7
E. Kerangka Konseptual ………...…….…. 9
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian ……….………….…….. 10
2. Pendekatan Penelitian ………….………….…….. 11
3. Sumber Data ……….………….…….. 12
4. Teknik Pengumpulan Data ………….………….…….. 13
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .…………... 14
6. Teknik Penulisan ……….…...…….... 14
G. Sistematika Penulisan ……….…………... 14
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Malpraktek 1. Pengertian Malpraktek ……….…………... 17
2. Unsur – Unsur Malpraktek ……….….………….. 19
3. Kategori Malpraktek ……….………... 20
B. Resiko Medis ……….………... 22
C. Perbedaan Malpraktek dan Resiko Medis ….………... 25
D. Persetujuan Tindakan Medik ……….………... 27
E. Hak dan Kewajiban ……….………... 29
viii SAKIT
A. Terdapat Hak yang Terlanggar Akibat Kasus Malpraktek
………... 34
B. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek Menurut Peraturan Perundang-Undangan ………... 35
1. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH Perdata………... 36
2. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Hukum Perlindungan Konsumen ………... 37
3. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang Praktik Kedokteran …………... 37
C. Tanggung Jawab Dokter Terhadap Kasus Malpraktek …... 40
1. Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Hukum …………... 41
2. Tanggung Jawab Dokter dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ………... 44
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Duduk Perkara ………... 47
B. Posisi Kasus ………... 48
C. Putusan Hakim ………... 53
D. Analisis Putusan Hakim ………... 56
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….…..… 61
B. Saran ……….…..… 62
DAFTAR PUSTAKA ………..…. 64
1
Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan,
merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Usaha tersebut meliputi
peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Di dalam Sistem
Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi
kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks1.
Hal ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia
Internasional sebagai berikut: A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of deseaseor infirmity2, yang artinya sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang
merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.
Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan
yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional
di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula.
Berbagai cara perawatan dikembangkan sehingga akibatnya juga
bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar
1
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Surabaya : Rineka Cipta, 2005), h. 2.
2
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Surabaya : Erlangga University
pula. Dalam banyak hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan sering
ditemui kasus-kasus yang merugikan pasien. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila profesi kesehatan serta perlindungan terhadap pasien diperbincangkan
baik dikalangan intelektual maupun masyarakat awam dan kalangan pemerhati
kesehatan.
Dilihat dari kacamata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter
termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian
karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan dan
kesembuhan pasien3. Timbulnya dan adanya perlindungan hukum terhadap pasien
sebagai konsumen didahului dengan adanya hubungan antara dokter dengan
pasien.
Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dalam masyarakat, pada
dasarnya terdapat 2 (dua) macam hak dasar yang bersifat individual, yaitu hak
atas informasi (the rigth to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the rigth of self determonation)4. Jika dulu obyek keputusan dokter adalah manusia dalam wujud badaniah (fisikalistis), dengan adanya perkembangan dibidang sosial dan budaya yang menyertai perkembangan masyarakat telah
membawa perubahan terhadap status manusia sebagai obyek ilmu kedokteran
menjadi subyek yang berkedudukan sederajat.
3
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, h. 6. 4
Pelayanan kesehatan kepada masyarakat merupakan suatu hal yang
sangat penting, sehingga sangat diperlukan suatu kehati-hatian dan
keprofesionalisme dari seorang tenaga kesehatan, untuk menunjang program
pemerintah dalam mewujudkan indonesia sehat maka sangat diperlukan tenaga
kesehatan yang lebih profesional dan bertanggungjawab dalam bidang pelayanan
kesehatan.
Beberapa waktu lalu media masa sering menyoroti dunia pelayanan
kesehatan khususnya mengenai kesenjangan hubungan antara pasien dan dokter,
penyediaan fasilitas yang kurang memadai, terjadinya kasus pelanggaran
pelayanan medis (malpraktik). Umumnya sorotan tersebut lebih ditujukan pada
kekurangan pihak dokter dalam memenuhi hak-hak pasien, pemeriksaan dokter
yang tidak tepat waktu, serta kurangnya informasi medis yang diberikan kepada
pasien sehingga pasien mengalami kecacatan hingga traumatic dengan
pengobatan tenaga kesehatan.
Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini
disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak
yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien5.
Namun demikian untuk mengetahui seorang dokter melakukan
malpraktek atau tidak maka dapat dilihat dari penjelasan pasal 50
5
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengenai unsur
standar profesi kedokteran. Standar profesi merupakan batasan kemampuan yang
meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill performance) dan sikap profesionalitas (professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi6.
Semakin sadarnya masyarakat akan aturan hukum, semakin terlihat
hak dan kewajiban pasien dan semakin luas pula tuntutan agar peranan hukum
dilaksanakan di bidang konsumen jasa kesehatan. Hal tersebut yang menyebabkan
masyarakat (pasien) tidak mau menerima begitu saja pengobatan yang dilakukan
oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis dilakukan
agar nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian pihak
medis didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Lebih lanjut disebut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen).
Seperti realita tentang kurang adanya perlindungan terhadap pasien
dapat digambarkan dengan kasus dugaan malpraktek yang terjadi di RSCM pada
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 yang menimpa
ND (22 Tahun) yang tidak dapat buang air dan harus mengggunakan kateter
karena cacat permanen. Diagnosa yang berbeda-bedapun menjadi salah satu
6
penyebab kecacatan ND. Hak-hak yang dimiliki ND pun seakan-akan diabaikan
oleh tenaga kesehatan yang mengobati ND. Salah satu hak yang tidak diterima
keluarga ND seperti hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan meminta isi
rekam medis pasien pun seakan di tutup-tutupi oleh tenaga rumah sakit yang
mengobati.
Padahal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan pernyataan
tentang rekam medis/kesehatan (Medical Record) melalui Lampiran SKPB IDI NO. 315/PB/A.4/88 yang mengatakan bahwa pemilik isi rekam medis adalah hak
pasien, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya dokter yang merawat
harus mengutarakannya kepada pasien baik secara lisan maupun tertulis7.
Dari gambaran kasus dugaan malpraktek tersebut yang mendorong
penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai penegakan perlindungan pasien
selaku konsumen yang memiliki hak-hak yang melekat ketika pasien tersebut
dirawat oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu penulis akan meneliti mengenai
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPRATEK (Analisis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Mengingat penelitian mengenai perlindungan hukum bagi pasien
malpraktek sangat luas oleh karena itu peneliti membatasi pembahasan
7
penelitian hanya pada perlindungan hukum bagi pasien dengan melihat pada
peraturan perundang – undangan yang berlaku dengan mengacu kepada
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas rumusan yang akan penulis
bahas dalam penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimana pengaturan mengenai malpraktek menurut Peraturan
Perundang – Undangan?
b. Bagaimana putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 dikaitkan dengan Peraturan Perundang –
Undangan yang berlaku ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan
dan wawasan kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai perlindungan
hukum bagi pasien malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan Rumah
Sakit.
Secara khusus tujuan dari penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai malprkatek menurut Peraturan
b. Untuk mengetahui bagaimana putusan hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 dikaitkan dengan Peraturan
Perundang – Undangan yang berlaku.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan
pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari
penelitian ini yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan dibidang hukum perlindungan konsumen dan
hukum kesehatan terutama dalam kasus malpraktek yang menimpa pasien
korban malpraktek.
b. Manfaat Praktik
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
dan evaluasi bagi para pihak terkait mengenai kasus malpraktek yang
merugikan pasien selaku konsumen pengguna jasa. Dengan adanya
masukan dan evaluasi ini diharapkan masyarakat selaku pasien pengguna
jasa dapat percaya kembali untuk melakukan pengobatan dirumah sakit
hingga penyakit yang dideritanya sembuh.
Skripsi mengenai, TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA, Oleh Amalia Taufani Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2011, dalam skripsi ini menerangkan mengenai tinjauan yuridis mengenai malpraktek secara umum.
Selain itu, dalam skripsi ini menerangkan mengenai bagaimana pengaturan
malpraktek medis dalam sistem hukum di Indonesia serta ketentuan yuridis
tentang malpraktek medis. Jelas beda dengan apa yang peneliti buat peneliti
meneliti mengenai perlindungan hukum bagi pasien malpraktek dengan melihat
perlindungan hukum bagi pasien yang mengacu kepada Peraturan
Perundang-Undangan. Selain itu, dalam penelitian ini mengunakan putusan pengadilan
negeri Jakarta Pusat untuk menjawab penelitian ini.
Tesis mengenai, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN YANG MENGALAMI MALPRAKTIK JASA PELAYANAN KESEHATAN (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Sanggata Kabupaten Kutai Timur), oleh Indrawati La Sina Prija Djamika Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, perbedaan tesis ini dengan penelitian yang peneliti buat ialah dalam hal ini objek yang akan diteliti jelas
berbeda. Jika dalam tesis ini mengambil objek di Rumah Sakit Umum Daerah
Sanggata Kabupaten Kutai Timur, sedangkan Peneliti mengambil objek rumah
sakit dengan mengacu kepada putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat. Jenis
penelitiannya pun berbeda dalam tesis ini menggunakan jenis penelitian empiris
keadaan hukum yang berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah Sangata
Kabupaten Kutai Timur, khususnya terhadap perlindungan hukum Pasien akibat
terjadi malpraktik, sedangan dalam penelitian ini menggunakan yuridis normatif
dengan menelaah pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan dan
disatukan dengan permasalahan yang akan peneliti bahas.
E. Kerangka Konseptual
Perlindungan Konsumen Segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen8.
Konsumen Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan9.
Tenaga Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 Pasal 1 tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang
8
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, cet. II, (Jakarta : Diadit Media, ), h. 53.
9
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Malpraktek Perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan
dalam keterampilan yang dibawah standar, atau
tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan
kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek
atau ilegal atau perbuatan yang tidak
bermoral.10
Jasa Jasa adalah setiap layanan yang diberbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.11
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah tipe
penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu
hukum tetapi disamping itu juga mengacu pada peraturan
perundang-undangan dan menelaah kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat.12 Dalam
penelitian ini peneliti mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan
10
Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005), h. 21.
11
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, cet I, (Bandung: Nusa Media,2010), h. 120. 12
Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan serta Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu,
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis, dan
pendekatan konseptual13. Pendekatan-pendekatan penelitian tersebut
digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu
yang akan diteliti.
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan yang terkait dengan
penelitian ini, yaitu pertama, Pendekatan perundang-undang yang mana
dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14
Kedua, menggunakan pendekatan konseptual dilakukan dengan
beranjak dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum. dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
yang relevan dengan isu hukum.15
Dalam penelitian ini mengacu kepada konsep-konsep yang ada sesuai
dengan tema penelitian yang akan diteliti.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 132. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.93. 15
Ketiga, pendekatan kasus yang mana dalam hal ini peneliti menelaah
kasus malpraktek yang terjadi antara Tn. Gunawan dan RSCM Jakarta dengan
melihat putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini ada tiga
jenis, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat16. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim17.
Sesuai dengan keterangan diatas penelitian ini termasuk dalam
bahan hukum primer karena bahan hukum yang digunakan untuk
penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dalam
judul penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan
Konsumen;
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet III, (Jakarta : Universitas Indonesia Pers, 1986), h. 52.
17
3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
penelitian ini, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer18 dan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi yang sesuai dengan judul
yang penulis akan teliti.
c. Bahan Non-Hukum
Badan hukum non hukum adalah bahan pendukung lain
diluar bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang dapat
memberikan petunjuk penjelasan terkait dengan isu hukum yang sedang
diangkat. Adapun sumber bahan non hukum dapat berupa data yang
diperoleh melalui internet, kamus, ataupun wawancara dengan narasumber
yang terkait dengan permasalahan yang dikaji.19
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara library research (studi kepustakaan), yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber kepada bahan-bahan pustaka. Baik bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder ataupun bahan non hukum dikumpulkan
18
Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), h. 119.
19
berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara
komprehensif.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis.
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.20
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini mulai dari awal hingga akhir penelitian,
penulis mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah
penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)”
20
dirasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai
gambaran singkat. Adapun rinciannya yaitu sebagai berikut :
Bab Pertama PENDAHULUAN
Dalam bab pertama penelitian ini memuat mengenai latar
belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, tinjauan (review) terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, dan Sistematika penulisan.
Bab Kedua TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam bab kedua penelitian ini memuat mengenai Pengertian
Malpraktek, Unsur – Unsur Malpraktek, Kategori Malpraktek,
Resiko Medis, Perbedaan Resiko Medis dan Malpraktek,
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Hak dan Kewajiban
Konsumen, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.
Bab Ketiga PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN
MALPAKTEK DAN TANGGUNG JAWAB PIHAK
RUMAH SAKIT
Dalam bab ketiga penelitian ini memuat mengenai
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek Menurut
Peraturan Perundang-Undangan yang mana terdiri dari
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH
Menurut Hukum Perlindungan Konsumen, dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang
Praktik Kedokteran. Serta, Tanggung Jawab Pihak Rumah
Sakit yang terdiri dari, Tanggung Jawab Dokter Terhadap
Kasus Malpraktek, dan Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kasus Malpraktek.
Bab Keempat HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab keempat penelitian ini memuat mengenai analisis
dan hasil penelitian. Adapun yang akan peneliti bahas yaitu,
Duduk Perkara, Posisi Kasus, Putusan Hakim, dan Analisis
Putusan Hakim.
Bab Kelima PENUTUP
Dalam bab kelima penelitian ini memuat kesimpulan dan saran
yang mana dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam
penulisan penelitian ini, untuk itu penulis menarik beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian, dan penulis menengahkan
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Malpraktek
1. Pengertian Malpraktek
Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai “any
professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan
jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar,
atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara
hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral)21.
Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku
tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau
pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara
perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.,
ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tenaga Kesehatan dapat
dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik
dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan.
21
Desriza Ratman, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek Medik (Dalam bentuk Tanya-Jawab), (Bandung : CV Keni Media, 2014), h. 55-56.
Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-U Tenaga Kesehatan berbunyi22:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perUndang-undang-Undang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Menurut Stedman’s Medical Dictionary malpraktek adalah salah cara
pengobatan suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap-tindak yang
acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminil23. Jika menurut
Coughlin’s Dictionary of Law malpraktek adalah sikap-tindak professional
yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan,
dokter gigi, dokter hewan24.
Dari pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan mengenai apa itu
malpraktek. Bahwa malpraktek merupakan suatu yang seharusnya tidak boleh
dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, tindakan melakukan apa yang
seharusnya tidak dilakukan atau melalaikan kewajiban (Negligence), dan dalam kasus malpraktek sudah tentu melanggar suatu ketentuan menurut atau
didasarkan Peraturan Perundang-undangan.
22
Hukumonline.com, Hukum Malpraktek di Indonesia, Artikel diakses pada 16 Maret 2015,
dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia. 23
J. Guwandi, Hukum Medic (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004), h. 22. 24
2. Unsur – Unsur Malpraktek
Penilaian atas tindakan kelalaian medik sangat penting karena
merupakan salah satu unsur utama dari malpraktek. Seorang penulis
merumuskan ukuran seorang dokter, yaitu “…that he should show is fair,
reasonable and competent degree of skill”25. Jika norma ini tidak dapat dicapai, pada dasarnya dokter harus bertanggung jawab terhadap kerugian
yang timbul akibat tindakannya.
Dalam kepustakaan-kepustakaan Anglo-Saxon dikatakan bahwa
seseorang dokter baru dapat dipersalahkan (dan digugat) menurut hukum,
apabila telah memenuhi syarat yang dirumuskan dalam Formul a 4-D26, Yaitu
kewajiban (Duty), penyimpangan terhadap kewajiban (Dereliction of Duty), kerugian (Damage), akibat langsung (Direct Causation).
Van derMijn mengemukakan Three Elements of Liability sebagai tolak ukur malpraktek atau kelalaian medik27, yaitu adanya kelalaian yang dapat
dipersalahkan (Culpability), adanya Kerugian (Damages), dan adanya hubungan kausal (Causal Relationship). Sedangkan menurut Vestal untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi Terdiri dari 4
25
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2007), h.32. 26
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, h.32. 27
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
unsur yang harus ditetapkan 28: Kewajiban (Duty), Tidak Melasanakan Kewajiban (Breach Of The Duty), Sebab - Akibat (Proximate Caused), dan
Cedera (Injury).
Dari uraian diatas perlu ditekankan bahwa unsur-unsur tersebut
berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya, karena antara satu
dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi. Dengan kata
lain, dokter atau tenaga kesehatan dapat dikatakan melakukan tindakan
malpraktek jika semua unsur tersebut terpenuhi dan dilakukan.
3. Kategori Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik
menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan
segi hukum.29
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga
kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya
sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang
dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
28
Deniaprianichan, Malpraktik, Artikel diakses pada 21 Maret 2015, dari
https://deniaprianichan.wordpress.com/2013/05/17/henry-campell-b/. 29
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).30
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam
melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang
bersifat ringan (culpa levis). 2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau
kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga
bentuk yaitu:31
30
Anny Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, h.33.
31
a) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis.
b) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga
kesehatan yang kurang hati-hati.
c) Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya
pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan
yang tidak benar.
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin
praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau
izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
4. Resiko Medis
Resiko medis adalah suatu peristiwa yang tidak terduga yang timbul
standart prosedur medis, kompetensi, dan etika yang berlaku32. Semua
tindakan medik mengandung resiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu
mengandung apa yang dinamakan resiko.33
Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat
pada tindak medik tersebut (inherent risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan
berdasarkan SPM (Standar Pelayanan Medik), tetapi ternyata risiko itu tetap
terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.
Dalam penjelasan resmi atas pasal 44 Undang-Undang Praktik
Kedokteran ditentukan sebagai berikut:34
1. Yang dimaksud “standar pelayanan" adalah pedoman yang harus diikuti
oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.
2. Yang dimaksud “Strata sarana pelayanan” adalah tingkatan pelayanan
yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang
diberikan.
Dalam keterangan diatas dapat kita liat bahwa tenaga kesehatan tidak
dapat dikatakan lalai atau melakukan tindakan malpraktek jika tenaga kesehatan
telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Hal tersebut juga ditegaskan dalam
32
Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), h.30. 33
Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, h.30. 34
islam, yang mana Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di rahimahullahu berkata35 :
، ي جت م رشاب ا إ ح ق اح ا بيبط ا أ ى ع بترت
يف أم أ ؛ ماضب سي ف ، ف ت ك
ضم ريغ ف ، يف أ ا ى ع بترت ام ف . ي أ ف ا م
“Dokter yang mahir jika melakukan (praktek kedokteran) dna tidak melakukan
kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusahan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia mendapatkan izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka
tidak harus mengganti rugi.”
Yang dimaksud dengan mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau
diobati oleh dokter, atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan
padanya. Hal ini diperkuat dengan kaidah fiqhiyah36.
س ع اب س ع ا , ضم ريغ ف أ ا ى ع بترت ام
“Apa-apa (kerusakan) yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak
harus mengganti rugi, dan kebalikannya”
selain itu, untuk membuktikan bahwa seorang tenaga kesehatan
melakukan suatu kelalaian atau tindakan malpraktek kita harus mengetahui
apakah unsur-unsur yang dapat mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan
(dokter) melakukan malpraktek.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 585/
Men.Kes / Per /IX /1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, menyebutkan
istilah resiko secara eksplisit dan tersirat, antara lain37:
35
Raehanul Bahraen, Malpraktek Telah Diatur dalam Islam Sejak Dahulu, Artikel diakses Pada 22 April 2015, dari http://muslimafiyah.com/malprakrek-sudah-diatur-islam-sejak-dahulu.html.
36
1. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat informasi yang akurat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
2. Pasal 7 ayat ( 2 ) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya
dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
3. Pasal 3 ayat (1 ) : Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangai oleh yang hendak
memberikan persetujuan.
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat diambil pengertian tentang
resiko medik, yaitu Bahwa di dalam tindakan medik terdapat tindakan yang
mengandung resiko tinggi. Resiko tinggi tersebut berkaitan dengan
keselamatan jiwa pasien.
Tindakan medik memiliki kemungkinan (resiko) yang dapat terjadi yang
mungkin tidak sesuai dengan harapan pasien. Tentang kekeliruan penilaian
klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena bagaimanapun sebagai
seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari kemungkinan melakukan
kesalahan.
5. Perbedaan Malpraktek dan Resiko Medis
Adapun perbandingan Resiko Medik dan Malpraktek dapat kita liat
dari bagan dibawah ini antara lain sebagai berikut38:
37
Anny Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, h.1. 38
Bagan 1 : Perbandingan Resiko Medik dan Malpraktek Medik
Dari bagan diatas dapat kita simpulkan bahwa untuk membedakan
antara malpraktek medik dengan resiko medik yaitu adanya unsur kelalaian39.
Adanya kelalaian ini harus dapat dibuktikan sehingga kelalaian ada
hubungannya dengan akibat meninggalnya atau cacatnya pasien. Bila unsur
kelalaian ini tidak ada, berarti kematian atau cacatnya pasien bukan sebagai
akibat dari adanya malpraktek, tetapi merupakan resiko medik yang mungkin
dapat terjadi atau karena perjalanan penyakitnya memang demikian.
Apabila dokter melakukan suatu tindakan yang memiliki resiko
medik, maka dokter tidak harus bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.
Berbeda dengan malpraktek medik, apabila dokter melakukan suatu tindakan
yang menyebabkan timbulnya malpraktek medik, maka dokter harus
mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.
39
6. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)
Persetujuan tindakan medik adalah salah satu kewajiban dokter kepada
pasien dalam melaksanakan praktek kedokteran yang harus diberikan saat
dokter akan melakukan suatu tindakan kedokteran kepada seorang pasien.
Pada dasarnya Persetujuan Tindakan Medik berasal dari hak asasi pasien
dalam hubungan dokter pasien yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan hak untuk mendapatkan informasi. Persetujuan tindakan medik diberikan
oleh pasien atau keluarga pasien terdekat setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien40.
Persetujuan tindakan medik tersebut juga diperjelas dalam Pasal 45
Undang-Undang Praktik Kedokteran yang berbunyi :
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secaratertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
40
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa persetujuan
tindakan medik harus dilakukan oleh dokter ketika pasien melakukan suatu
hubungan dengan dokter. Hal tersebut bertujuan untuk Memberikan
perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medic tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya, dan Memberi perlindungan hukum kepada
dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative karena prosedur medik
modern bukan tanpa resiko dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu
resiko ( Permenkes no.290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3).
Suatu persetujuan yang dapat dianggap efektif lazimnya didasarkan
pada kondisi-kondisi tertentu. Kondisi-kondisi itu adalah41:
a. Secara factual pasien mau menjalani suatu prosedur kesehatan dalam
rangka penanganan terhadap penyakitnya.
b. Dengan atau tanpa persetujuan yang factual itu, berdasarkan sikap tindak
pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa yang bersangkutan memberikan
persetujuannya.
Menurut hukum, kondisi-kondisi itu merupakan dasar penting untuk
menentukan sahnya persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga
kesehatan yang merawatnya.
41
Bentuk informed consent dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu42: a. Dengan pernyataan (expression), yaitu dapat secara lisan (oral) dan dapat
secara tertulis (written).
b. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan normal dan dalam keadaan gawat darurat.
7. Hak dan Kewajiban
Suatu hubungan antara pasien selaku konsumen jasa dan pihak
rumah sakit sebagai pelaku usaha tidak luput dari hak dan kewajiban yang
dimiliki dan melekat ketika kedua belah pihak saling berhubungan dan
menghasilkan suatu perjanjian baik secara tersirat maupun tersurat. Untuk itu,
agar kita dapat lebih mengetahui mengenai hak dan kewajiban bagi konsumen
pelaku usaha dalam melakukan suatu kegiatan usaha ada baiknya kita
memaparkan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha.
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Konsumen sebagai menerima barang dan/atau jasa memiliki
hak yang melekat tidak terkecuali pasien. karena pasien dapat disebut
konsumen jasa kesehatan. Oleh karena itu pasien juga memiliki hak yang
sama dengan konsumen. Hak-hak konsumen dimuat dalam
42
Undang Perlindungan Konsumen pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang berbunyi43:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
c. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
f. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau pergantain, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
Dari hak-hak diatas jelas dapat kita liat bahwa pasien selaku
konsumen jasa kesehatan mempunyai hak untuk dilindungi dari tindakan
tenaga kesehatan atau dari prosedur pihak rumah sakit yang didalamnya
terdapat pelanggaran terhadap pasien selaku konsumen jasa kesehatan.
Selain itu hak konsumen dapat dilihat pada Undang-Undang
Praktik Kedokteran, konsumen jasa kesehatan dalam hal ini pasien
memiliki hak yang melekat pada dirinya sebagai pasien, menurut pasal 52
Undang-Undang Praktik kedokteran yang berbunyi:
43
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapatkan dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Untuk mengimbangi akan hak-hak pasien sebagai konsumen jasa
kesehatan, maka terdapat kewajiban bagi konsumen yang terdapat dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5 yang berbunyi44:
a. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
b. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
c. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
d. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
Selain hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan, konsumen
juga harus memperhatikan kewajiban yang harus ditaati oleh konsumen
guna memperkecil kemungkinan kecurangan atau kelalaian yang dibuat
oleh pelaku usaha (dalam hal ini dokter dan pihak rumah sakit).
Menurut Undang-Undang Praktik Kesehatan Pasal 53
menyebutkan bahwa kewajiban pasien antara lain45:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
44
NHT Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, h.
85. 45
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam berusaha pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang
diberikan guna memberikan keseimbangan antara pelaku usaha dan
konsumen. Hak Pelaku Usaha Untuk menciptakan kenyamanan berusaha
bagi para pelaku usaha tidak terkecuali tenaga kesehatan (dokter atau
pihak rumah sakit), pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam
pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi46:
a. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
b. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
c. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
d. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha, Pelaku usaha tidak terkecuali tenaga
kesehatan (dokter atau pihak rumah sakit), memiliki kewajiban
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
pasal 7, yang berbunyi47:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
46
Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen,h. 122. 47
c. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPAKTEK DAN TANGGUNG JAWAB DOKTER
A. Terdapat Hak yang Terlanggar Akibat Kasus Malpraktek
Berbicara mengenai malpraktek, tidak luput dari adanya hubungan
terapeutik antara pasien dan dokter. Akibat adanya hubungan tersebut sehingga
Pasien selaku Konsumen jasa kesehatan sebagai penerima barang dan/atau jasa
memiliki hak yang melekat pada dirinya. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi
pasien dari hal yang dapat merugikan pasien.
Namun, ketika seorang dokter melakukan suatu kelalaian atau dugaan
malpraktek yang menyebabkan kerugian terhadap pasien, secara langsung ada hak
yang dilanggar oleh dokter sebagai tenaga kesehatan. Seperti dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai hak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa48.
Jelas kita lihat bahwa malpraktek yang dilakukan oleh dokter melanggar
hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan karena dengan adanya kelalaian yang
dilakukan dokter pasien menjadi tidak nyaman, merasa tidak aman, dan
keselamatan terhadap pasien pun dapat hilang karena malpraktek yang dilakukan
dokter dapat menghilangkan nyawa pasien.
48
Abdul Halim Barakatullah, Hak-Hak Konsumen, h. 121.
Pasien menurut pasal 52 ayat (3) butir a Undang-Undang Praktik
kedokteran memiliki hak untuk Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis. Kadang kala dokter dalam memeriksa pasien tidak menjelaskan
secara rinci mengenai penyakit apa saja yang diderita oleh pasien.
Padahal penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang
dilakukan merupakan hak pasien sebagai konsumen. hal tersebut juga melanggar
Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4 ayat butir b mengenai Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
B. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek
Ketika kita berbicara mengenai malpraktek hal tersebut tidak luput
dari adanya kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap pasien selaku konsumen jasa kesehatan. Oleh karena
itu untuk melindungi pasien, pemerintah membuat Peraturan
Perundang-Undangan yang berkaitan dengan kelalaian atau malpraktek yang dilakukan
tenaga kesehatan agar pasien selaku jasa konsumen merasa nyaman dan terlidungi
dari kelalaian yang ditimbulkan akibat adanya dugaan malpraktek.
Selain itu, dengan adanya Peraturan Perundangan-Undangan yang
mengatur diharapkan pasien dapat mengadukan kesalahan yang diderita kepada
Perlindugan hukum bagi pasien dapat dilihat dalam Peraturan
Perundang-undangan antara lain :
1. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH Perdata
Didalam hukum perdata untuk melindungi pasien jika terjadi kelalaian
pada hakikatnya terdapat 2 (dua) bentuk pertanggungjawaban dokter, yaitu :
a. Pertanggungjawaban yang dapat digugat oleh pasien malpraktek terhadap
dokter itu adalah pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan
karena wanprestasi (prestasi yang buruk) dalam perjanjian terapeutik; dan
b. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) oleh dokter, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi.
Menurut Safitri Hariyani berdasarkan pasal 1366 KUH Perdata, Pasien
korban malpraktek dapat menggugat dokter atas perbuatannya dalam
pelaksanaan perjanjian terapeutik apabila memenuhi syarat-syarat berikut49:
a. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian tidak sesuai dengan sikap
hati-hati yang normal.
b. Yang harus dibuktikan adalah tergugat (dokter) lalai dalam kewajiban
berhati-hati terhadap penggugat (korban malpraktek).
c. Kelakuan itu merupakan penyebab yang nyata atau proximate cause dari
kerugian yang timbul.
49
2. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Hukum Perlindungan
Konsumen
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen perlindungan hukum
terhadap pasien malpraktek kedokteran sebagai konsumen jasa kesehatan
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu, dengan memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai
akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau mengonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan.
Oleh karena itu, ketika adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatannya yang di lakukan oleh dokter selaku pelaku usaha. Dokter harus
memberikan pertanggungjawaban atas kelalaian yang ia lakukan.
Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang,
tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku50.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang
Praktik Kedokteran
Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran disebutkan dalam Pasal
66 Ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran, jika terjadi kesalahan yang
melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini oleh dokter dapat diajukan
50
Susanti dan Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan.
Di samping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada
MKDKI, menurut Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran,
pasien malpraktek yang dirugikan atas kesalahan atau kelalaian dokter dalam
melakukan tindakan medis juga dapat melaporkan adanya dugaan pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara perdata ke
pengadilan. Sebagai contoh dalam kasus dugaan Malpraktek dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 yang menjadi
pembahasan penulis.
Dalam putusan tersebut Penguggat mengetahui dan merasa mengalami
kerugian akibat kelalaian dan ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh dokter
yang melakukan tindakan medik. Penggugat lalu mengadukan dugaan
malpraktek tersebut kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI).
Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 67 dan 68 Undang-Undang
Praktik Kedokteran bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
berwenang untuk memeriksa dan memberikan keputusan atas pengaduan yang
diterima. Apabila ditemukan adanya pelangaraan etika (berdasarkan
KODEKI) maka MKDKI yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktek kedokteran yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, yaitu berupa
pemberian hak kepada korban malpraktek untuk melakukan upaya hukum
pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia,
yang dapat juga secara bersamaan melakukan upaya hukum secara hukum
pidana maupun hukum perdata ke pengadilan serta pemberian wewenang
kepada MKDKI untuk mengeluarkan keputusan menjatuhkan sanksi disiplin
kepada dokter yang terbukti bersalah.
Hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa suatu kelalaian
yang dilakukan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diputus oleh
MKDKI tetap dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang dan/atau
digugat secara pidana ataupun perdata.
Namun, selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran harus
dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian
terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata
dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana pada
umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi
kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan
Pengaduan tersebut tetap diperbolehkan untuk melindungi hak-hak
pasien dan pemangku kepentingan dari tindakan dokter atau dokter gigi yang
berada di luar cangkupan disiplin profesi kedokteran, atau melindungi hak
pasien jika tindakan dokter yang dinyatakan MKDKI melanggar disiplin
profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien.
Dari keterangan diatas jelas kita lihat bahwa perlindungan hukum bagi
pasien korban malpraktek telah diatur sedemikian rupa agar pasien selaku
konsumen jasa kesehatan dapat lebih nyaman dan tidak merasa takut akibat
kesalahan untuk melakukan pengobatan dirumah sakit yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan. Karena pada dasarnya seorang tenaga kesehatan harus
melakukan suatu tindakan medis berdasarkan sikap kehati-hatian dan sesuai
dengan standar profesi yang telah diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan agar kelalaian yang dapat merugikan pasien dapat terhindari.
C. Tanggung Jawab Dokter Terhadap Kasus Malpraktek
Pada umunya tiap orang harus bertanggung jawab terhadap setiap
tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan. Memberikan pelayanan kepada
pasien merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayakan kepada
para dokter sebagai pengemban profesi mulia yang harus
yang diriwayatkan oleh Ahmad, orang yang tidak memelihara amanah dapat
dianggap sebagai orang yang tidak beriman sebagaimana disebutkan berikut51 :
ن ـ ع َ ـ م نـيمد َ ، ةن ا م أ َ ـ م ا نـيمإ َ : ا ق َمإ ، م س م ـي ع ها ى ص مها ّمب ا ب ط خ ا م .
Dari Anas, Rasulullah saw selalu menyatakan dalam khutbah atau pidatonya
bahwa “tidak ada iman pada orang yang tidak dapat dipercaya, tidak memelihara amanat dan tidak ada agama pada orang yang tidak menepati janji”
Selanjutnya tentang pertanggung jawaban terhadap amanah ini, akbar
juga menyebutkan sabda Rasulullah saw dalam riwayat An Nasai dan Ibnu Hibban
dari Anas bin Malik yang menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah akan
memeriksa setiap orang tentang urusan yang dipertanggungjawabkan kepadanya,
apakah urusannya dengan baik atau disia-siakannya.52
Patut disyukuri tatkala ada beberapa pasien yang telah mengingatkan
dokter tentang kewajibannya yang kadang-kadang tanpa disengaja telah
mengakibatkan kerugian bagi diri pasien.
Untuk membantu para dokter agar memahami tanggung jawab mereka
dalam pelayanan medis atau praktik kedokteran yang mereka lakukan, ada
beberapa rambu-rambu yang harus diperhatikan dan ditaati, yaitu KODEKI (Kode
Etik Kedokteran Indonesia) yang telah disepakati bersama dalam ikatan profesinya
dan peraturan Negara yang berbentuk Undang-Undang.
1. Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Hukum
51
Ali Akbar, Etika Kedokteran dalam Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Antara,1988), h. 74. 52
Dalam petanggungjawaban hukum seorang dokter sebagai pengemban
profesi harus selalu bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Karena
tanggung jawab dokter dalam hukum sedemikian luasnya, maka dokter juga
harus mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan profesinya. Termasuk tentang pemahaman hak-hak dan kewajiban
dalam menjalankan profesinya sebagai dokter.
a. Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi (Pasal 1239 KUH
Perdata)
Dalam bahasa hukum wanprestasi adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu
perjanjian atau kontrak.
Menurut ilmu hukum perdata, seorang dapat dikatakan melakukan
wanprestasi apabila tidak melakukan yang disanggupi akan dilakukan,
terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan, melaksanakan apa
yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan53.
Wanprestasi yang dilakukan oleh dokter bukan semata-mata
dikarenakan adanya akibat dari perlakuan medis yang dilakukan dokter,
tetapi pada penilaian terhadap upaya yang dilakukan dokter dengan mengacu
kepada ukuran-ukuran standar pengetahuan, standar profesi, dan standar
prosedur, dan kepatutan.