• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpratek (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpratek (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Verina Pradita Agusti NIM : 1111048000082

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Verina Pradita Agusti

NIM : 1111048000082

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

ii

(4)

iii

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dlaam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

iv

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011), Kosentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M, viii + 66 halaman + 3 daftar pustaka + halaman lampiran.

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam tentang perlindungan hukum bagi pasien korban malpraktek dengan menelaah Undang Kesehatan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Perundang-Undang-Undangan yang terkait. Serta bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus perkara malpraktek telah sesuai atau tidak dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dengan melihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 sebagai bahan pertimbangan analisis atas permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non-hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan), baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ataupun bahan non hukum dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif. Dalam pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian ini adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini sudah dapat melindungi pasien dari adanya dugaan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal membuktikan bahwa dokter melakukan suatu tindakan malpraktek harus melihat kepada Peraturan Perundang-Undangan khusus yaitu Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kesehatan dan Pratik kedokteran.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen, Malpraktik, Pasien.

(6)

v

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPRATEK (Analisis

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)”. Sholawat serta

salam penulis sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH.,MA., selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA., selaku sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Sodikin, SH., MH., dan Fitria, SH., MR., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, dan ketelitian serta memberikan masukan dan mau meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.

4. Dr. Mahesa Paranadipa, MH. yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi yang dibutuhkan penulis untuk menyempurnakan skripsi penulis.

5. Dra. Hj. Hafni Mochtar, SH, MH, MM. dan Nur Rohim Yunus, LLM, yang telah meluangkan waktu yang berharganya untuk menguji skripsi penulis serta memberikan masukan terhadap skripsi yang penulis buat.

6. Pembimbing Akademik, Bapak Burhanuddin, M.Hum. yang telah banyak membantu penulis.

7. Segenap staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 8. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(7)

vi

memberikan semangat dan dukungan selama ini kepada penulis.

11.Kepada Nenek dan Mbah Putri yang selalu senantiasa mendoakan yang terbaik untuk penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada Almarhum kakek dan mbah yang selalu memberikan nasehat–nasehat yang tak pernah terlupakan untuk penulis untuk selalu berjuang.

13.Kepada Nurdiansyah, yang telah banyak memberikan banyak dukungan, semangat, dan motivasi serta selalu meluangkan waktunya untuk menemani penulis selama pengerjaan skripsi ini hingga skripsi ini terselesaikan.

14.Sahabat – sahabatku tercinta Elfa Juliana, Ike Pratiwi Wulandari, Nurul Afifah Puspa, Siti Nuraini, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini dan selalu memberikan semangat serta dukungan kepada penulis.

15.Sahabat – sahabat di kampus khususnya untuk Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty Zahara, Fitriana, Syahirah Banun, Lidia Asrida, terima kasih untuk kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini yang senantiasa memberikan warna baru dikehidupan penulis selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini.

16.Keluarga besar Ilmu Hukum kelas B dan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas ilmu dan kebersamaan untuk selalu berbagi.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 28 Mei 2015

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ………...…….………. iii

ABSTRAK …...………...………..…. iv

KATA PENGANTAR …..………....………...….... v

DAFTAR ISI ………..………..………. vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….….... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah ………..………….….. 5

2. Rumusan Masalah ………..………….….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ………...………....….. 6

2. Manfaat Penelitian ………..……….….. 7

D. Tinjauan Studi (Review) Terdahulu ………...……….…. 7

E. Kerangka Konseptual ………...…….…. 9

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian ……….………….…….. 10

2. Pendekatan Penelitian ………….………….…….. 11

3. Sumber Data ……….………….…….. 12

4. Teknik Pengumpulan Data ………….………….…….. 13

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .…………... 14

6. Teknik Penulisan ……….…...…….... 14

G. Sistematika Penulisan ……….…………... 14

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Malpraktek 1. Pengertian Malpraktek ……….…………... 17

2. Unsur – Unsur Malpraktek ……….….………….. 19

3. Kategori Malpraktek ……….………... 20

B. Resiko Medis ……….………... 22

C. Perbedaan Malpraktek dan Resiko Medis ….………... 25

D. Persetujuan Tindakan Medik ……….………... 27

E. Hak dan Kewajiban ……….………... 29

(9)

viii SAKIT

A. Terdapat Hak yang Terlanggar Akibat Kasus Malpraktek

………... 34

B. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek Menurut Peraturan Perundang-Undangan ………... 35

1. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH Perdata………... 36

2. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Hukum Perlindungan Konsumen ………... 37

3. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang Praktik Kedokteran …………... 37

C. Tanggung Jawab Dokter Terhadap Kasus Malpraktek …... 40

1. Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Hukum …………... 41

2. Tanggung Jawab Dokter dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ………... 44

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Duduk Perkara ………... 47

B. Posisi Kasus ………... 48

C. Putusan Hakim ………... 53

D. Analisis Putusan Hakim ………... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….…..… 61

B. Saran ……….…..… 62

DAFTAR PUSTAKA ………..…. 64

(10)

1

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan,

merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Usaha tersebut meliputi

peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Di dalam Sistem

Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi

kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks1.

Hal ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia

Internasional sebagai berikut: A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of deseaseor infirmity2, yang artinya sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang

merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.

Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kesehatan telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan

yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional

di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula.

Berbagai cara perawatan dikembangkan sehingga akibatnya juga

bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar

1

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Surabaya : Rineka Cipta, 2005), h. 2.

2

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Surabaya : Erlangga University

(11)

pula. Dalam banyak hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan sering

ditemui kasus-kasus yang merugikan pasien. Oleh sebab itu, tidak mengherankan

apabila profesi kesehatan serta perlindungan terhadap pasien diperbincangkan

baik dikalangan intelektual maupun masyarakat awam dan kalangan pemerhati

kesehatan.

Dilihat dari kacamata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter

termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian

karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan dan

kesembuhan pasien3. Timbulnya dan adanya perlindungan hukum terhadap pasien

sebagai konsumen didahului dengan adanya hubungan antara dokter dengan

pasien.

Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dalam masyarakat, pada

dasarnya terdapat 2 (dua) macam hak dasar yang bersifat individual, yaitu hak

atas informasi (the rigth to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the rigth of self determonation)4. Jika dulu obyek keputusan dokter adalah manusia dalam wujud badaniah (fisikalistis), dengan adanya perkembangan dibidang sosial dan budaya yang menyertai perkembangan masyarakat telah

membawa perubahan terhadap status manusia sebagai obyek ilmu kedokteran

menjadi subyek yang berkedudukan sederajat.

3

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, h. 6. 4

(12)

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat merupakan suatu hal yang

sangat penting, sehingga sangat diperlukan suatu kehati-hatian dan

keprofesionalisme dari seorang tenaga kesehatan, untuk menunjang program

pemerintah dalam mewujudkan indonesia sehat maka sangat diperlukan tenaga

kesehatan yang lebih profesional dan bertanggungjawab dalam bidang pelayanan

kesehatan.

Beberapa waktu lalu media masa sering menyoroti dunia pelayanan

kesehatan khususnya mengenai kesenjangan hubungan antara pasien dan dokter,

penyediaan fasilitas yang kurang memadai, terjadinya kasus pelanggaran

pelayanan medis (malpraktik). Umumnya sorotan tersebut lebih ditujukan pada

kekurangan pihak dokter dalam memenuhi hak-hak pasien, pemeriksaan dokter

yang tidak tepat waktu, serta kurangnya informasi medis yang diberikan kepada

pasien sehingga pasien mengalami kecacatan hingga traumatic dengan

pengobatan tenaga kesehatan.

Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan

profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini

disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak

yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat

terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien5.

Namun demikian untuk mengetahui seorang dokter melakukan

malpraktek atau tidak maka dapat dilihat dari penjelasan pasal 50

5

(13)

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengenai unsur

standar profesi kedokteran. Standar profesi merupakan batasan kemampuan yang

meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill performance) dan sikap profesionalitas (professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara

mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi6.

Semakin sadarnya masyarakat akan aturan hukum, semakin terlihat

hak dan kewajiban pasien dan semakin luas pula tuntutan agar peranan hukum

dilaksanakan di bidang konsumen jasa kesehatan. Hal tersebut yang menyebabkan

masyarakat (pasien) tidak mau menerima begitu saja pengobatan yang dilakukan

oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis dilakukan

agar nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian pihak

medis didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (Lebih lanjut disebut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen).

Seperti realita tentang kurang adanya perlindungan terhadap pasien

dapat digambarkan dengan kasus dugaan malpraktek yang terjadi di RSCM pada

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 yang menimpa

ND (22 Tahun) yang tidak dapat buang air dan harus mengggunakan kateter

karena cacat permanen. Diagnosa yang berbeda-bedapun menjadi salah satu

6

(14)

penyebab kecacatan ND. Hak-hak yang dimiliki ND pun seakan-akan diabaikan

oleh tenaga kesehatan yang mengobati ND. Salah satu hak yang tidak diterima

keluarga ND seperti hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan meminta isi

rekam medis pasien pun seakan di tutup-tutupi oleh tenaga rumah sakit yang

mengobati.

Padahal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan pernyataan

tentang rekam medis/kesehatan (Medical Record) melalui Lampiran SKPB IDI NO. 315/PB/A.4/88 yang mengatakan bahwa pemilik isi rekam medis adalah hak

pasien, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya dokter yang merawat

harus mengutarakannya kepada pasien baik secara lisan maupun tertulis7.

Dari gambaran kasus dugaan malpraktek tersebut yang mendorong

penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai penegakan perlindungan pasien

selaku konsumen yang memiliki hak-hak yang melekat ketika pasien tersebut

dirawat oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu penulis akan meneliti mengenai

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPRATEK (Analisis

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Mengingat penelitian mengenai perlindungan hukum bagi pasien

malpraktek sangat luas oleh karena itu peneliti membatasi pembahasan

7

(15)

penelitian hanya pada perlindungan hukum bagi pasien dengan melihat pada

peraturan perundang – undangan yang berlaku dengan mengacu kepada

putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011.

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas rumusan yang akan penulis

bahas dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bagaimana pengaturan mengenai malpraktek menurut Peraturan

Perundang – Undangan?

b. Bagaimana putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 dikaitkan dengan Peraturan Perundang –

Undangan yang berlaku ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan

dan wawasan kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai perlindungan

hukum bagi pasien malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan Rumah

Sakit.

Secara khusus tujuan dari penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai malprkatek menurut Peraturan

(16)

b. Untuk mengetahui bagaimana putusan hakim dalam Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 dikaitkan dengan Peraturan

Perundang – Undangan yang berlaku.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan

pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari

penelitian ini yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dan wawasan dibidang hukum perlindungan konsumen dan

hukum kesehatan terutama dalam kasus malpraktek yang menimpa pasien

korban malpraktek.

b. Manfaat Praktik

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

dan evaluasi bagi para pihak terkait mengenai kasus malpraktek yang

merugikan pasien selaku konsumen pengguna jasa. Dengan adanya

masukan dan evaluasi ini diharapkan masyarakat selaku pasien pengguna

jasa dapat percaya kembali untuk melakukan pengobatan dirumah sakit

hingga penyakit yang dideritanya sembuh.

(17)

Skripsi mengenai, TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA, Oleh Amalia Taufani Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2011, dalam skripsi ini menerangkan mengenai tinjauan yuridis mengenai malpraktek secara umum.

Selain itu, dalam skripsi ini menerangkan mengenai bagaimana pengaturan

malpraktek medis dalam sistem hukum di Indonesia serta ketentuan yuridis

tentang malpraktek medis. Jelas beda dengan apa yang peneliti buat peneliti

meneliti mengenai perlindungan hukum bagi pasien malpraktek dengan melihat

perlindungan hukum bagi pasien yang mengacu kepada Peraturan

Perundang-Undangan. Selain itu, dalam penelitian ini mengunakan putusan pengadilan

negeri Jakarta Pusat untuk menjawab penelitian ini.

Tesis mengenai, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

SEBAGAI KONSUMEN YANG MENGALAMI MALPRAKTIK JASA PELAYANAN KESEHATAN (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Sanggata Kabupaten Kutai Timur), oleh Indrawati La Sina Prija Djamika Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, perbedaan tesis ini dengan penelitian yang peneliti buat ialah dalam hal ini objek yang akan diteliti jelas

berbeda. Jika dalam tesis ini mengambil objek di Rumah Sakit Umum Daerah

Sanggata Kabupaten Kutai Timur, sedangkan Peneliti mengambil objek rumah

sakit dengan mengacu kepada putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat. Jenis

penelitiannya pun berbeda dalam tesis ini menggunakan jenis penelitian empiris

(18)

keadaan hukum yang berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah Sangata

Kabupaten Kutai Timur, khususnya terhadap perlindungan hukum Pasien akibat

terjadi malpraktik, sedangan dalam penelitian ini menggunakan yuridis normatif

dengan menelaah pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan dan

disatukan dengan permasalahan yang akan peneliti bahas.

E. Kerangka Konseptual

Perlindungan Konsumen Segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen8.

Konsumen Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan9.

Tenaga Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1992 Pasal 1 tenaga kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang

kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang

8

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, cet. II, (Jakarta : Diadit Media, ), h. 53.

9

(19)

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Malpraktek Perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan

dalam keterampilan yang dibawah standar, atau

tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan

kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek

atau ilegal atau perbuatan yang tidak

bermoral.10

Jasa Jasa adalah setiap layanan yang diberbentuk

pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi

masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen.11

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah tipe

penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu

hukum tetapi disamping itu juga mengacu pada peraturan

perundang-undangan dan menelaah kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat.12 Dalam

penelitian ini peneliti mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan

10

Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005), h. 21.

11

Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, cet I, (Bandung: Nusa Media,2010), h. 120. 12

(20)

Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan serta Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu,

pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis, dan

pendekatan konseptual13. Pendekatan-pendekatan penelitian tersebut

digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu

yang akan diteliti.

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan yang terkait dengan

penelitian ini, yaitu pertama, Pendekatan perundang-undang yang mana

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14

Kedua, menggunakan pendekatan konseptual dilakukan dengan

beranjak dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum. dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum

yang relevan dengan isu hukum.15

Dalam penelitian ini mengacu kepada konsep-konsep yang ada sesuai

dengan tema penelitian yang akan diteliti.

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 132. 14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.93. 15

(21)

Ketiga, pendekatan kasus yang mana dalam hal ini peneliti menelaah

kasus malpraktek yang terjadi antara Tn. Gunawan dan RSCM Jakarta dengan

melihat putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini ada tiga

jenis, antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat16. Bahan-bahan hukum primer meliputi

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim17.

Sesuai dengan keterangan diatas penelitian ini termasuk dalam

bahan hukum primer karena bahan hukum yang digunakan untuk

penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dalam

judul penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan

Konsumen;

2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;

16

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet III, (Jakarta : Universitas Indonesia Pers, 1986), h. 52.

17

(22)

3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan

penelitian ini, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer18 dan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini

adalah buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi yang sesuai dengan judul

yang penulis akan teliti.

c. Bahan Non-Hukum

Badan hukum non hukum adalah bahan pendukung lain

diluar bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang dapat

memberikan petunjuk penjelasan terkait dengan isu hukum yang sedang

diangkat. Adapun sumber bahan non hukum dapat berupa data yang

diperoleh melalui internet, kamus, ataupun wawancara dengan narasumber

yang terkait dengan permasalahan yang dikaji.19

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

secara library research (studi kepustakaan), yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber kepada bahan-bahan pustaka. Baik bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder ataupun bahan non hukum dikumpulkan

18

Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), h. 119.

19

(23)

berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara

komprehensif.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis.

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi.20

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini mulai dari awal hingga akhir penelitian,

penulis mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah

penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011)

20

(24)

dirasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai

gambaran singkat. Adapun rinciannya yaitu sebagai berikut :

Bab Pertama PENDAHULUAN

Dalam bab pertama penelitian ini memuat mengenai latar

belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian

dan manfaat penelitian, tinjauan (review) terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, dan Sistematika penulisan.

Bab Kedua TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab kedua penelitian ini memuat mengenai Pengertian

Malpraktek, Unsur – Unsur Malpraktek, Kategori Malpraktek,

Resiko Medis, Perbedaan Resiko Medis dan Malpraktek,

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Hak dan Kewajiban

Konsumen, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.

Bab Ketiga PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN

MALPAKTEK DAN TANGGUNG JAWAB PIHAK

RUMAH SAKIT

Dalam bab ketiga penelitian ini memuat mengenai

Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek Menurut

Peraturan Perundang-Undangan yang mana terdiri dari

Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH

(25)

Menurut Hukum Perlindungan Konsumen, dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang

Praktik Kedokteran. Serta, Tanggung Jawab Pihak Rumah

Sakit yang terdiri dari, Tanggung Jawab Dokter Terhadap

Kasus Malpraktek, dan Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kasus Malpraktek.

Bab Keempat HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab keempat penelitian ini memuat mengenai analisis

dan hasil penelitian. Adapun yang akan peneliti bahas yaitu,

Duduk Perkara, Posisi Kasus, Putusan Hakim, dan Analisis

Putusan Hakim.

Bab Kelima PENUTUP

Dalam bab kelima penelitian ini memuat kesimpulan dan saran

yang mana dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam

penulisan penelitian ini, untuk itu penulis menarik beberapa

kesimpulan dari hasil penelitian, dan penulis menengahkan

(26)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Malpraktek

1. Pengertian Malpraktek

Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai “any

professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan

jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar,

atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara

hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral)21.

Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku

tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau

pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara

perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.,

ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tenaga Kesehatan dapat

dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik

dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang

seharusnya dilakukan.

21

Desriza Ratman, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan Malpraktek Medik (Dalam bentuk Tanya-Jawab), (Bandung : CV Keni Media, 2014), h. 55-56.

(27)

Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-U Tenaga Kesehatan berbunyi22:

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perUndang-undang-Undang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:

a. melalaikan kewajiban;

b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;

c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;

d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.

Menurut Stedman’s Medical Dictionary malpraktek adalah salah cara

pengobatan suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap-tindak yang

acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminil23. Jika menurut

Coughlin’s Dictionary of Law malpraktek adalah sikap-tindak professional

yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan,

dokter gigi, dokter hewan24.

Dari pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan mengenai apa itu

malpraktek. Bahwa malpraktek merupakan suatu yang seharusnya tidak boleh

dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, tindakan melakukan apa yang

seharusnya tidak dilakukan atau melalaikan kewajiban (Negligence), dan dalam kasus malpraktek sudah tentu melanggar suatu ketentuan menurut atau

didasarkan Peraturan Perundang-undangan.

22

Hukumonline.com, Hukum Malpraktek di Indonesia, Artikel diakses pada 16 Maret 2015,

dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia. 23

J. Guwandi, Hukum Medic (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004), h. 22. 24

(28)

2. Unsur – Unsur Malpraktek

Penilaian atas tindakan kelalaian medik sangat penting karena

merupakan salah satu unsur utama dari malpraktek. Seorang penulis

merumuskan ukuran seorang dokter, yaitu “…that he should show is fair,

reasonable and competent degree of skill”25. Jika norma ini tidak dapat dicapai, pada dasarnya dokter harus bertanggung jawab terhadap kerugian

yang timbul akibat tindakannya.

Dalam kepustakaan-kepustakaan Anglo-Saxon dikatakan bahwa

seseorang dokter baru dapat dipersalahkan (dan digugat) menurut hukum,

apabila telah memenuhi syarat yang dirumuskan dalam Formul a 4-D26, Yaitu

kewajiban (Duty), penyimpangan terhadap kewajiban (Dereliction of Duty), kerugian (Damage), akibat langsung (Direct Causation).

Van derMijn mengemukakan Three Elements of Liability sebagai tolak ukur malpraktek atau kelalaian medik27, yaitu adanya kelalaian yang dapat

dipersalahkan (Culpability), adanya Kerugian (Damages), dan adanya hubungan kausal (Causal Relationship). Sedangkan menurut Vestal untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi Terdiri dari 4

25

Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan

Zaman, (Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2007), h.32. 26

Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan

Zaman, h.32. 27

Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan

(29)

unsur yang harus ditetapkan 28: Kewajiban (Duty), Tidak Melasanakan Kewajiban (Breach Of The Duty), Sebab - Akibat (Proximate Caused), dan

Cedera (Injury).

Dari uraian diatas perlu ditekankan bahwa unsur-unsur tersebut

berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya, karena antara satu

dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi. Dengan kata

lain, dokter atau tenaga kesehatan dapat dikatakan melakukan tindakan

malpraktek jika semua unsur tersebut terpenuhi dan dilakukan.

3. Kategori Malpraktek

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik

menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan

malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan

segi hukum.29

a. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga

kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya

sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang

dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,

prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

28

Deniaprianichan, Malpraktik, Artikel diakses pada 21 Maret 2015, dari

https://deniaprianichan.wordpress.com/2013/05/17/henry-campell-b/. 29

(30)

b. Malpraktek Yuridis

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga

bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).30

1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang

menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan

melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam

melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang

bersifat ringan (culpa levis). 2) Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau

mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau

kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien

yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga

bentuk yaitu:31

30

Anny Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, h.33.

31

(31)

a) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya

melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan

standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan

tindakan medis.

b) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi

cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga

kesehatan yang kurang hati-hati.

c) Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya

pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan

pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada

orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan

yang tidak benar.

3) Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan

melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang

berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin

praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau

izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan

menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

4. Resiko Medis

Resiko medis adalah suatu peristiwa yang tidak terduga yang timbul

(32)

standart prosedur medis, kompetensi, dan etika yang berlaku32. Semua

tindakan medik mengandung resiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu

mengandung apa yang dinamakan resiko.33

Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat

pada tindak medik tersebut (inherent risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan

berdasarkan SPM (Standar Pelayanan Medik), tetapi ternyata risiko itu tetap

terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.

Dalam penjelasan resmi atas pasal 44 Undang-Undang Praktik

Kedokteran ditentukan sebagai berikut:34

1. Yang dimaksud “standar pelayanan" adalah pedoman yang harus diikuti

oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.

2. Yang dimaksud “Strata sarana pelayanan” adalah tingkatan pelayanan

yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang

diberikan.

Dalam keterangan diatas dapat kita liat bahwa tenaga kesehatan tidak

dapat dikatakan lalai atau melakukan tindakan malpraktek jika tenaga kesehatan

telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Hal tersebut juga ditegaskan dalam

32

Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), h.30. 33

Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, h.30. 34

(33)

islam, yang mana Syaikh Abdurrahman bin Nashir As

Sa’di rahimahullahu berkata35 :

، ي جت م رشاب ا إ ح ق اح ا بيبط ا أ ى ع بترت

يف أم أ ؛ ماضب سي ف ، ف ت ك

ضم ريغ ف ، يف أ ا ى ع بترت ام ف . ي أ ف ا م

“Dokter yang mahir jika melakukan (praktek kedokteran) dna tidak melakukan

kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusahan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia mendapatkan izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka

tidak harus mengganti rugi.”

Yang dimaksud dengan mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau

diobati oleh dokter, atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan

padanya. Hal ini diperkuat dengan kaidah fiqhiyah36.

س ع اب س ع ا , ضم ريغ ف أ ا ى ع بترت ام

“Apa-apa (kerusakan) yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak

harus mengganti rugi, dan kebalikannya”

selain itu, untuk membuktikan bahwa seorang tenaga kesehatan

melakukan suatu kelalaian atau tindakan malpraktek kita harus mengetahui

apakah unsur-unsur yang dapat mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan

(dokter) melakukan malpraktek.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 585/

Men.Kes / Per /IX /1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, menyebutkan

istilah resiko secara eksplisit dan tersirat, antara lain37:

35

Raehanul Bahraen, Malpraktek Telah Diatur dalam Islam Sejak Dahulu, Artikel diakses Pada 22 April 2015, dari http://muslimafiyah.com/malprakrek-sudah-diatur-islam-sejak-dahulu.html.

36

(34)

1. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat informasi yang akurat tentang perlunya tindakan

medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.

2. Pasal 7 ayat ( 2 ) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya

dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.

3. Pasal 3 ayat (1 ) : Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi

harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangai oleh yang hendak

memberikan persetujuan.

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat diambil pengertian tentang

resiko medik, yaitu Bahwa di dalam tindakan medik terdapat tindakan yang

mengandung resiko tinggi. Resiko tinggi tersebut berkaitan dengan

keselamatan jiwa pasien.

Tindakan medik memiliki kemungkinan (resiko) yang dapat terjadi yang

mungkin tidak sesuai dengan harapan pasien. Tentang kekeliruan penilaian

klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena bagaimanapun sebagai

seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari kemungkinan melakukan

kesalahan.

5. Perbedaan Malpraktek dan Resiko Medis

Adapun perbandingan Resiko Medik dan Malpraktek dapat kita liat

dari bagan dibawah ini antara lain sebagai berikut38:

37

Anny Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, h.1. 38

(35)

Bagan 1 : Perbandingan Resiko Medik dan Malpraktek Medik

Dari bagan diatas dapat kita simpulkan bahwa untuk membedakan

antara malpraktek medik dengan resiko medik yaitu adanya unsur kelalaian39.

Adanya kelalaian ini harus dapat dibuktikan sehingga kelalaian ada

hubungannya dengan akibat meninggalnya atau cacatnya pasien. Bila unsur

kelalaian ini tidak ada, berarti kematian atau cacatnya pasien bukan sebagai

akibat dari adanya malpraktek, tetapi merupakan resiko medik yang mungkin

dapat terjadi atau karena perjalanan penyakitnya memang demikian.

Apabila dokter melakukan suatu tindakan yang memiliki resiko

medik, maka dokter tidak harus bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.

Berbeda dengan malpraktek medik, apabila dokter melakukan suatu tindakan

yang menyebabkan timbulnya malpraktek medik, maka dokter harus

mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.

39

(36)

6. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)

Persetujuan tindakan medik adalah salah satu kewajiban dokter kepada

pasien dalam melaksanakan praktek kedokteran yang harus diberikan saat

dokter akan melakukan suatu tindakan kedokteran kepada seorang pasien.

Pada dasarnya Persetujuan Tindakan Medik berasal dari hak asasi pasien

dalam hubungan dokter pasien yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri

dan hak untuk mendapatkan informasi. Persetujuan tindakan medik diberikan

oleh pasien atau keluarga pasien terdekat setelah mendapatkan penjelasan

secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap

pasien40.

Persetujuan tindakan medik tersebut juga diperjelas dalam Pasal 45

Undang-Undang Praktik Kedokteran yang berbunyi :

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secaratertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

40

(37)

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa persetujuan

tindakan medik harus dilakukan oleh dokter ketika pasien melakukan suatu

hubungan dengan dokter. Hal tersebut bertujuan untuk Memberikan

perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak

diperlukan dan secara medic tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan

tanpa sepengetahuan pasiennya, dan Memberi perlindungan hukum kepada

dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative karena prosedur medik

modern bukan tanpa resiko dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu

resiko ( Permenkes no.290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3).

Suatu persetujuan yang dapat dianggap efektif lazimnya didasarkan

pada kondisi-kondisi tertentu. Kondisi-kondisi itu adalah41:

a. Secara factual pasien mau menjalani suatu prosedur kesehatan dalam

rangka penanganan terhadap penyakitnya.

b. Dengan atau tanpa persetujuan yang factual itu, berdasarkan sikap tindak

pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa yang bersangkutan memberikan

persetujuannya.

Menurut hukum, kondisi-kondisi itu merupakan dasar penting untuk

menentukan sahnya persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga

kesehatan yang merawatnya.

41

(38)

Bentuk informed consent dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu42: a. Dengan pernyataan (expression), yaitu dapat secara lisan (oral) dan dapat

secara tertulis (written).

b. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan normal dan dalam keadaan gawat darurat.

7. Hak dan Kewajiban

Suatu hubungan antara pasien selaku konsumen jasa dan pihak

rumah sakit sebagai pelaku usaha tidak luput dari hak dan kewajiban yang

dimiliki dan melekat ketika kedua belah pihak saling berhubungan dan

menghasilkan suatu perjanjian baik secara tersirat maupun tersurat. Untuk itu,

agar kita dapat lebih mengetahui mengenai hak dan kewajiban bagi konsumen

pelaku usaha dalam melakukan suatu kegiatan usaha ada baiknya kita

memaparkan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha.

a. Hak dan Kewajiban Konsumen

Konsumen sebagai menerima barang dan/atau jasa memiliki

hak yang melekat tidak terkecuali pasien. karena pasien dapat disebut

konsumen jasa kesehatan. Oleh karena itu pasien juga memiliki hak yang

sama dengan konsumen. Hak-hak konsumen dimuat dalam

42

(39)

Undang Perlindungan Konsumen pasal 4 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yang berbunyi43:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

c. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

f. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau pergantain, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;

Dari hak-hak diatas jelas dapat kita liat bahwa pasien selaku

konsumen jasa kesehatan mempunyai hak untuk dilindungi dari tindakan

tenaga kesehatan atau dari prosedur pihak rumah sakit yang didalamnya

terdapat pelanggaran terhadap pasien selaku konsumen jasa kesehatan.

Selain itu hak konsumen dapat dilihat pada Undang-Undang

Praktik Kedokteran, konsumen jasa kesehatan dalam hal ini pasien

memiliki hak yang melekat pada dirinya sebagai pasien, menurut pasal 52

Undang-Undang Praktik kedokteran yang berbunyi:

43

(40)

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapatkan dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Untuk mengimbangi akan hak-hak pasien sebagai konsumen jasa

kesehatan, maka terdapat kewajiban bagi konsumen yang terdapat dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5 yang berbunyi44:

a. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

b. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

c. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

d. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

Selain hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan, konsumen

juga harus memperhatikan kewajiban yang harus ditaati oleh konsumen

guna memperkecil kemungkinan kecurangan atau kelalaian yang dibuat

oleh pelaku usaha (dalam hal ini dokter dan pihak rumah sakit).

Menurut Undang-Undang Praktik Kesehatan Pasal 53

menyebutkan bahwa kewajiban pasien antara lain45:

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

44

NHT Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, h.

85. 45

(41)

d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam berusaha pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang

diberikan guna memberikan keseimbangan antara pelaku usaha dan

konsumen. Hak Pelaku Usaha Untuk menciptakan kenyamanan berusaha

bagi para pelaku usaha tidak terkecuali tenaga kesehatan (dokter atau

pihak rumah sakit), pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam

pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi46:

a. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

b. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

c. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

d. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Pelaku Usaha, Pelaku usaha tidak terkecuali tenaga

kesehatan (dokter atau pihak rumah sakit), memiliki kewajiban

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

pasal 7, yang berbunyi47:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

46

Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen,h. 122. 47

(42)

c. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

(43)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN KORBAN MALPAKTEK DAN TANGGUNG JAWAB DOKTER

A. Terdapat Hak yang Terlanggar Akibat Kasus Malpraktek

Berbicara mengenai malpraktek, tidak luput dari adanya hubungan

terapeutik antara pasien dan dokter. Akibat adanya hubungan tersebut sehingga

Pasien selaku Konsumen jasa kesehatan sebagai penerima barang dan/atau jasa

memiliki hak yang melekat pada dirinya. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi

pasien dari hal yang dapat merugikan pasien.

Namun, ketika seorang dokter melakukan suatu kelalaian atau dugaan

malpraktek yang menyebabkan kerugian terhadap pasien, secara langsung ada hak

yang dilanggar oleh dokter sebagai tenaga kesehatan. Seperti dalam Pasal 4 ayat

(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai hak atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa48.

Jelas kita lihat bahwa malpraktek yang dilakukan oleh dokter melanggar

hak pasien selaku konsumen jasa kesehatan karena dengan adanya kelalaian yang

dilakukan dokter pasien menjadi tidak nyaman, merasa tidak aman, dan

keselamatan terhadap pasien pun dapat hilang karena malpraktek yang dilakukan

dokter dapat menghilangkan nyawa pasien.

48

Abdul Halim Barakatullah, Hak-Hak Konsumen, h. 121.

(44)

Pasien menurut pasal 52 ayat (3) butir a Undang-Undang Praktik

kedokteran memiliki hak untuk Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang

tindakan medis. Kadang kala dokter dalam memeriksa pasien tidak menjelaskan

secara rinci mengenai penyakit apa saja yang diderita oleh pasien.

Padahal penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang

dilakukan merupakan hak pasien sebagai konsumen. hal tersebut juga melanggar

Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4 ayat butir b mengenai Hak atas

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa.

B. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktek

Ketika kita berbicara mengenai malpraktek hal tersebut tidak luput

dari adanya kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan terhadap pasien selaku konsumen jasa kesehatan. Oleh karena

itu untuk melindungi pasien, pemerintah membuat Peraturan

Perundang-Undangan yang berkaitan dengan kelalaian atau malpraktek yang dilakukan

tenaga kesehatan agar pasien selaku jasa konsumen merasa nyaman dan terlidungi

dari kelalaian yang ditimbulkan akibat adanya dugaan malpraktek.

Selain itu, dengan adanya Peraturan Perundangan-Undangan yang

mengatur diharapkan pasien dapat mengadukan kesalahan yang diderita kepada

(45)

Perlindugan hukum bagi pasien dapat dilihat dalam Peraturan

Perundang-undangan antara lain :

1. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut KUH Perdata

Didalam hukum perdata untuk melindungi pasien jika terjadi kelalaian

pada hakikatnya terdapat 2 (dua) bentuk pertanggungjawaban dokter, yaitu :

a. Pertanggungjawaban yang dapat digugat oleh pasien malpraktek terhadap

dokter itu adalah pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan

karena wanprestasi (prestasi yang buruk) dalam perjanjian terapeutik; dan

b. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan

melawan hukum (onrechtmatige daad) oleh dokter, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi.

Menurut Safitri Hariyani berdasarkan pasal 1366 KUH Perdata, Pasien

korban malpraktek dapat menggugat dokter atas perbuatannya dalam

pelaksanaan perjanjian terapeutik apabila memenuhi syarat-syarat berikut49:

a. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian tidak sesuai dengan sikap

hati-hati yang normal.

b. Yang harus dibuktikan adalah tergugat (dokter) lalai dalam kewajiban

berhati-hati terhadap penggugat (korban malpraktek).

c. Kelakuan itu merupakan penyebab yang nyata atau proximate cause dari

kerugian yang timbul.

49

(46)

2. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Hukum Perlindungan

Konsumen

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen perlindungan hukum

terhadap pasien malpraktek kedokteran sebagai konsumen jasa kesehatan

dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yaitu, dengan memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai

akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau mengonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

Oleh karena itu, ketika adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan

kesehatannya yang di lakukan oleh dokter selaku pelaku usaha. Dokter harus

memberikan pertanggungjawaban atas kelalaian yang ia lakukan.

Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang,

tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau

setara nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku50.

3. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Malpraktek Menurut Undang-Undang

Praktik Kedokteran

Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran disebutkan dalam Pasal

66 Ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran, jika terjadi kesalahan yang

melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini oleh dokter dapat diajukan

50

Susanti dan Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

(47)

pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

(MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan.

Di samping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada

MKDKI, menurut Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran,

pasien malpraktek yang dirugikan atas kesalahan atau kelalaian dokter dalam

melakukan tindakan medis juga dapat melaporkan adanya dugaan pidana

kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara perdata ke

pengadilan. Sebagai contoh dalam kasus dugaan Malpraktek dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011 yang menjadi

pembahasan penulis.

Dalam putusan tersebut Penguggat mengetahui dan merasa mengalami

kerugian akibat kelalaian dan ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh dokter

yang melakukan tindakan medik. Penggugat lalu mengadukan dugaan

malpraktek tersebut kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia (MKDKI).

Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 67 dan 68 Undang-Undang

Praktik Kedokteran bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

berwenang untuk memeriksa dan memberikan keputusan atas pengaduan yang

diterima. Apabila ditemukan adanya pelangaraan etika (berdasarkan

KODEKI) maka MKDKI yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi

(48)

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk

perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktek kedokteran yang

diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, yaitu berupa

pemberian hak kepada korban malpraktek untuk melakukan upaya hukum

pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia,

yang dapat juga secara bersamaan melakukan upaya hukum secara hukum

pidana maupun hukum perdata ke pengadilan serta pemberian wewenang

kepada MKDKI untuk mengeluarkan keputusan menjatuhkan sanksi disiplin

kepada dokter yang terbukti bersalah.

Hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa suatu kelalaian

yang dilakukan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diputus oleh

MKDKI tetap dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang dan/atau

digugat secara pidana ataupun perdata.

Namun, selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran harus

dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian

terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata

dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana pada

umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi

kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan

(49)

Pengaduan tersebut tetap diperbolehkan untuk melindungi hak-hak

pasien dan pemangku kepentingan dari tindakan dokter atau dokter gigi yang

berada di luar cangkupan disiplin profesi kedokteran, atau melindungi hak

pasien jika tindakan dokter yang dinyatakan MKDKI melanggar disiplin

profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien.

Dari keterangan diatas jelas kita lihat bahwa perlindungan hukum bagi

pasien korban malpraktek telah diatur sedemikian rupa agar pasien selaku

konsumen jasa kesehatan dapat lebih nyaman dan tidak merasa takut akibat

kesalahan untuk melakukan pengobatan dirumah sakit yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan. Karena pada dasarnya seorang tenaga kesehatan harus

melakukan suatu tindakan medis berdasarkan sikap kehati-hatian dan sesuai

dengan standar profesi yang telah diatur dalam Peraturan

Perundang-Undangan agar kelalaian yang dapat merugikan pasien dapat terhindari.

C. Tanggung Jawab Dokter Terhadap Kasus Malpraktek

Pada umunya tiap orang harus bertanggung jawab terhadap setiap

tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan. Memberikan pelayanan kepada

pasien merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayakan kepada

para dokter sebagai pengemban profesi mulia yang harus

(50)

yang diriwayatkan oleh Ahmad, orang yang tidak memelihara amanah dapat

dianggap sebagai orang yang tidak beriman sebagaimana disebutkan berikut51 :

ن ـ ع َ ـ م نـيمد َ ، ةن ا م أ َ ـ م ا نـيمإ َ : ا ق َمإ ، م س م ـي ع ها ى ص مها ّمب ا ب ط خ ا م .

Dari Anas, Rasulullah saw selalu menyatakan dalam khutbah atau pidatonya

bahwa “tidak ada iman pada orang yang tidak dapat dipercaya, tidak memelihara amanat dan tidak ada agama pada orang yang tidak menepati janji”

Selanjutnya tentang pertanggung jawaban terhadap amanah ini, akbar

juga menyebutkan sabda Rasulullah saw dalam riwayat An Nasai dan Ibnu Hibban

dari Anas bin Malik yang menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah akan

memeriksa setiap orang tentang urusan yang dipertanggungjawabkan kepadanya,

apakah urusannya dengan baik atau disia-siakannya.52

Patut disyukuri tatkala ada beberapa pasien yang telah mengingatkan

dokter tentang kewajibannya yang kadang-kadang tanpa disengaja telah

mengakibatkan kerugian bagi diri pasien.

Untuk membantu para dokter agar memahami tanggung jawab mereka

dalam pelayanan medis atau praktik kedokteran yang mereka lakukan, ada

beberapa rambu-rambu yang harus diperhatikan dan ditaati, yaitu KODEKI (Kode

Etik Kedokteran Indonesia) yang telah disepakati bersama dalam ikatan profesinya

dan peraturan Negara yang berbentuk Undang-Undang.

1. Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Hukum

51

Ali Akbar, Etika Kedokteran dalam Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Antara,1988), h. 74. 52

(51)

Dalam petanggungjawaban hukum seorang dokter sebagai pengemban

profesi harus selalu bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Karena

tanggung jawab dokter dalam hukum sedemikian luasnya, maka dokter juga

harus mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam

pelaksanaan profesinya. Termasuk tentang pemahaman hak-hak dan kewajiban

dalam menjalankan profesinya sebagai dokter.

a. Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi (Pasal 1239 KUH

Perdata)

Dalam bahasa hukum wanprestasi adalah suatu keadaan dimana

seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu

perjanjian atau kontrak.

Menurut ilmu hukum perdata, seorang dapat dikatakan melakukan

wanprestasi apabila tidak melakukan yang disanggupi akan dilakukan,

terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan, melaksanakan apa

yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan melakukan

sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan53.

Wanprestasi yang dilakukan oleh dokter bukan semata-mata

dikarenakan adanya akibat dari perlakuan medis yang dilakukan dokter,

tetapi pada penilaian terhadap upaya yang dilakukan dokter dengan mengacu

kepada ukuran-ukuran standar pengetahuan, standar profesi, dan standar

prosedur, dan kepatutan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pasien sebagai korban kesalahan pencantuman label obat menurut Undang Nomor 8 Tahun 1999

Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, perlindungan hukum bagi pasien belum sepenuhnya terlaksana dan pengaturan di undang-undang perlindungan

Perlindungan hukum terhadap korban KDRT sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia khususnya kaum perempuan, telah diatur dalam bentuk undang- undang yaitu

Ketiga, perlindungan hukum bagi korban perdagangan manusia (human trafficking) lintas batas negara dalam sudah banyak diatur dalam konvensi

Jurnal ini berjudul Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak di Kota Denpasar. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini

Mengenai perlindungan hukum pada pasien korban malpraktek untuk menuntut ganti rugi diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU Kesehatan yang menyatakan “setiap orang berhak

Perlindungan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual menjadi perhatian khusus lebih dari perlindungan korban kekerasan seksual pada umumnya, karena selain

Perlindungan dari hukum untuk korban masih belum cukup, hukum pidana formil atau hukum pidana materil, karna itu walaupun Undang-Undang tahun 2004 diciptakan korban dari tindak pidana